Tentu saja ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena Al-Quran itu diinterpretasikan/dipahami sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah & Rasul-Nya, bukan sesuai keinginan manusia, karena keinginan manusia berbeda-beda sesuai dengan akal dan hawa nafsu mereka.
Berikut kami nukilkan sedikit definisi apa itu metode hermeutika (sumber-sumber lainnya masih banyak):
“Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein,yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalih bahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.” [Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks Jurnal Sosioteknologi Edisi 13Tahun 7, April 2008]
Sebelumnya kita harus paham kaidah bahwa Agama ini harus dipahami sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jadi bukan apa yang dikehendaki oleh manusia dan apa yang dinginkan oleh manusia, sehingga manusia dengan bebas menafsirkan Al-Quran dan hadits sesuka mereka. Tentu tidak ilmiah apabila ditafsirkan sesuai keinginan manusia, karena manusia yang mana kita jadikan patokan? Logika siapa? Akal siapa? Tentu akan berbeda-beda dan tidak ilmiah tafsir tersebut.
Perhatikan perkataan Imam Syafi’i berikut:
آمنت بالله وبما جاء عن الله، على مراد الله. وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله
“Aku beriman dengan Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai dengan KEINGINAN/MAKSUD Allah dan aku beriman dengan Rasulullah dan beriman dengan apa yang beliau bawa sesuai dengan KEINGINAN/MAKSUD Rasulullah.” [Al-Irsyad Syarh Lum’atul I’tiqad hal 90]
Dalam menafsirkan Al-Quran juga tidak sembarangan. Para ulama dahulu sangat ilmiah dan memiliki kaidah dalam menafsirkan Al-Quran. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan kadiah dasar menafsirkan Al-Quran. Beliau berkata:
المرجع في التفسير إلى ما يأتي :
أ-كلام الله تعالى بحيث يفسر القرآن بالقرآن .
ب- سنة الرسول صلي الله عليه وسلم ؛ لأنه مبلغ عن الله تعالى ، وهو أعلم الناس بمراد الله تعالى في كتاب الله .
ج. كلام الصحابة رضي الله عنهم لا سيما ذوو العلم منهم والعناية بالتفسير ، لأن القرآن نزل بلغتهم وفي عصرهم .
د. كلام كبار التابعين الذين اعتنوا بأخذ التفسير عن الصحابة رضي الله عنهم .
هـ . ما تقتضيه الكلمات من المعاني الشرعية أو اللغوية حسب السياق ، فإن اختلف الشرعي واللغوي ، أخذ بالمعني الشرعي بدليل يرجح اللغوي
“Sumber utama menafsirkan Al-Quran adalah:
Jadi apabila kita ingin menafsirkan Al-Quran hendaknya mendahulukan dahulu urutan di atas karena menafsirkan Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lainnya adalah yang utama. Tidak boleh menafsirkan Al-Quran LANGSUNG berdasarkan logika, bahasa tanpa melihat dahulu sumber rujukan Al-Quran dan hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
فإن قال قائل : فما أحسن طرق التفسير ؟ فالجواب : إن أصح الطرق في ذلك أن يفسر القرآن بالقرآن ، فما أجمل في مكان ، فإنه قد فسر في موضع آخر ، وما اختصر في مكان فقد بسط في موضع آخر
“Apabila ada yang bertanya: ‘apa metode terbaik menafsirkan Al-Quran?’, jawabnya: cara paling baik adalah menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran. Inilah yang paling baik, terkadang Al-Quran ditafsirkan dengan ayat lainnya atau terkadang diringkas pada ayat lainnya atau dijelaskan panjanglebar di ayat lainnya.” [Muqaddimah fii Ushul Tafsir hal. 93]