Membayar Maskawin adalah Suatu Kewajiban

Ibnu Mas’ud ra. pernah ditanya soal seorang laki-laki yang telah menikahi seorang wanita. Laki-laki itu tidak menentukan maskawinnya dan belum mencampurinya hingga ia meninggal dunia.

“Wanita itu harus memperoleh maskawin yang setara dengan maskawin yang biasa diterima oleh kalangan keluarganya.

Tidak boleh kurang, dan tidak boleh lebih. Ia juga berhak memperoleh warisan dari suaminya, dan harus melakukan iddah,” jawab Ibnu Ma’ud. Ma’qil ibnu Sinan Al-Asyja’i berkomentar,

“Rosululloh Saw telah memutuskan terhadap Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah engkau putuskan itu.” Ibnu Mas’ud merasa gembira dengan kesaksian tersebut. (HR. Ash-habus Sunan)

Keterangan: Apabila dalam akad nikah seorang laki-laki telah menyebutkan jumlah maskawin,

maka ia wajib membayar maskawin sebanyak yang disebutkannya.

Jika ia tidak menyebutkannya dalam akad nikah, lalu mencampuri istrinya, maka ia wajib memberi maskawin kepada istrinya.

Soal maskawin istri yang ditinggal mati suaminya sebelum dicampuri, ada dua pendapat.

Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Syai’i berpendapat bahwa istri wajib melakukan iddah ditinggal mati suami,

dan berhak memperoleh warisan. Namun, ia tidak berhak mendapatkan maskawin,

karena maskawin itu menjadi haknya jika ia telah dicampuri/digauli.

Sebaliknya, menurut para tabi’in dan Abu Hanifah si istri itu harus menjalankan iddah,

berhak mendapat warisan, dan berhak memperoleh maskawin, meskipun belum digauli.