Fitnah yang Menimpa ‘Aisyah ra.

‘Aisyah ra. (istri Muhammad Rosululloh Saw) menceritakan, apabila akan bepergian Nabi Saw mengadakan undian di antara istriistri beliau. Siapa yang namanya keluar dalam undian tersebut, dia-lah yang ikut mendampingi perjalanan beliau.

Suatu ketika Nabi Saw mengundi nama para istrinya untuk mendamping beliau dalam suatu peperangan yang dipimpin beliau sendiri. Saat itu ‘Aisyah yang beruntung, karena namanya keluar sebagai pemenang, berarti berhak mendampingi beliau.

Peristiwa itu terjadi setelah turun ayat tentang hijab (tabir) yakni QS. 33/Al-Ahzaab: 53-59. Ikutlah ‘Aisyah mendampingi Rosululloh Saw. Ia dinaikkan dalam sebuah sekedup (tandu) dan diturunkan dalam setiap pemberhentian

(hanya sekedupnya yang diturun-naikkan di punggung unta, ‘Aisyah sendiri tidak keluar dari sekedup). Setelah perang usai, Rosululloh Saw dan rombongan pulang kembali ke Madinah (membawa kemenangan).

Ketika hampir sampai di Madinah, Rosululloh Saw memberi izin istirahat kepada seluruh pasukan. Saat istirahat itulah ‘Aisyah keluar dari sekedup dan berjalan menjauhi pasukan untuk buang hajat.

Usai buang hajat, ‘Aisyah kembali bergabung dengan pasukan. Namun, ketika ia menyentuh dadanya, ‘Aisyah rasakan kalungnya yang terbuat dari permata zhafar telah hilang.

Karena itu ia kembali lagi menyusuri jalan ke tempat buang hajat, mencari kalungnya. Setelah menemukan kalungnya, ia kembali ke tempat Nabi Saw dan pasukannya,

tetapi rombongan itu telah pergi. Itu berarti pasukan yang menjaganya selama dalam perjalanan telah mengangkat sekedupnya dan menaikkannya ke punggung unta

tanpa memeriksa lebih dulu apakah ‘Aisyah ada di dalamnya atau tidak. Saat itu, menurut ‘Aisyah, berat badannya memang masih terhitung ringan karena usianya masih muda.

Jadi andai ‘Aisyah berada dalam sekedupnya, para pengawal tidak akan merasa lebih berat bila mereka mengangkat sekedup itu.

Akhirnya ‘Aisyah memutuskan untuk tetap menunggu di tempat istirahat rombongan tadi. Sebab ia berpendapat, jika rombongan tidak menemukannya,

tentu akan kembali mencarinya. Saat menunggu itulah, ‘Aisyah mengantuk lalu tertidur. Kebetulan Shofwan bin Mu’aththol As-Sulami juga ketinggalan rombongan

sebab tertidur sewaktu rombongan berangkat. Setelah terbangun Shofwan segera menyusul rombongan, dan melewati tempat ‘Aisyah menunggu.

Shofwan mengenali bahwa yang sedang tertidur itu ‘Aisyah, istri Rosululloh Saw. Ia mengenali ‘Aisyah karena sudah pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab.

Ia pun mengucapkan istirja’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun) yang membuat ‘Aisyah terbangun. ‘Aisyah segera menutupkan mukanya dengan hijab.

Lalu Shofwan menyuruh untanya merunduk, dan menyilakan ‘Aisyah menaikinya. Kemudian Shofwan menuntun untanya dengan berjalan kaki

sampai rombongan induk pasukan tersusul oleh keduanya pada saat rombongan itu beristirahat dari terik panas tengah hari. Namun, peristiwa (‘Aisyah naik unta yang dituntun Shofwan) itu akhirnya menimbulkan itnah yang diprakarsai oleh Abdulloh bin Ubay bin Salul. Sesampai di Madinah ‘Aisyah jatuh sakit sampai sebulan lamanya. Dan yang mengherankannya adalah sikap Nabi Saw yang tidak memperlihatkan kasih sayang seperti biasanya kalau ia sedang sakit.

Beliau pernah menengok ‘Aisyah sekali. Setelah memberi salam, Nabi Saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Pada saat itu ‘Aisyah belum mengetahui berita bohong tentang dirinya yang menghebohkan masyarakat luas. Suatu hari setelah agak sembuh,

‘Aisyah ditemani oleh Salma (dikenal sebagai Ummu Misthoh) ke tempat buang hajat. Sepulang dari buang hajat sandal Salma tersandung, lalu dia menyumpah, “Celakalah si Misthoh.”

“Tidak baik berkata begitu,” tegur ‘Aisyah. “Bukankah engkau memaki orang yang ikut dalam peperangan Badar?” Salma menjawab, “Alangkah bodohnya engkau.

Apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakannya?” “Apa yang dikatakannya?” tanya ‘Aisyah. “Dia mengabarkan kepadaku omongan tukang-tukang itnah yang menjelek-jelekkan dirimu,”jawab Salma.

Sejak mendengar berita dari Salma, sakit ‘Aisyah semakin parah. Suatu ketika Rosululloh Saw menengoknya. Setelah memberi salam, beliau bertanya, “Bagaimana keadaan sakitmu?” ‘Aisyah balik bertanya, “Sudikah Tuan izinkan aku pulang ke rumah orangtuaku?”

Muhammad Rosululloh Saw mengizinkan ‘Aisyah pulang ke rumah orangtuanya. Sesampai di sana, ia bertanya kepada ibunya. “Wahai ibu, benarkah ada berita buruk yang dipercakapkan orang mengenai diriku?” “Wahai anakku sayang, janganlah engkau pedulikan.

Demi Alloh, jarang sekali wanita cantik yang disayangi suaminya, padahal ia memunyai madu yang tidak dibicarakan orang,” tutur ibu ‘Aisyah menghiburnya. “Subhaanalloh (Maha Suci Alloh),” ucap ‘Aisyah.

“Jika begitu, benarlah banyak orang yang memperbincangkan diriku.” Semalam an ‘Aisyah tidak bisa tidur. Ia hanya menangis, tanpa mampu menahan air matanya.

Sementara itu Muhammad Rosululloh Saw memanggil Ali bin Abu Tholib ra.

dan Usamah bin Zaid ra.–karena wahyu belum turun. Beliau bermusyawarah dengan kedua sahabatnya itu, apakah harus menceraikan ‘Aisyah atau tidak.

Usamah bin Zaid ra.

berpendapat, “Aku yakin benar semua istri engkau adalah istri yang setia.” “Alloh Ta’ala tidak akan mempersulit engkau,” komentar Ali bin Abu Tholib.

“Masih banyak wanita selain dia (‘Aisyah). Jika engkau menghendaki seorang gadis, tidak ada seorang pun yang akan menolak.” Lalu Muhammad Rosululloh Saw memanggil Bariroh, pembantu rumah tangga ‘Aisyah.

“Hai Bariroh, apakah engkau melihat sesuatu yang mencurigakan mengenai diri ‘Aisyah?” “Demi Alloh yang mengutus engkau dengan agama yang benar,” ujar Bariroh mengawali jawabannya.

“Sungguh, aku tidak melihat sesuatu sedikit pun yang mencemarkan nama baiknya. Selain hanya dia seorang wanita belia yang manja yang pergi tidur meninggalkan adonan kue. Lalu datang hewan piaraan memakan adonan itu.”

Beberapa waktu kemudian, Rosululloh Saw berpidato di mimbar menyatakan keberatannya atas tuduhan (penyelewengan ‘Aisyah) yang diprakarsai Abdulloh bin Ubay bin Salul.

“Hai kaum muslimim,” sabda beliau. “Siapakah di antara tuan-tuan yang setuju dengan penolakanku atas tuduhan yang telah mencemarkan nama baik keluargaku? Demi Alloh,

aku yakin keluargaku bersih dari tuduhan kotor yang tidak benar itu. Mereka juga telah menyebut-nyebut seorang laki-laki (Shofwan bin Mu’aththol AsSulami, penolong ‘Aisyah)

yang aku yakin bahwa dia orang baik. Dia tidak pernah masuk ke rumahku, kecuali bersamaku.” Berdirilah Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshori memberikan pembelaan.

“Aku membela engkau dalam hal ini, ya Rosululloh. Jika tuduhan itu datang dari suku Aus, kami akan penggal lehernya. Dan apabila tuduhan itu datang dari suku Khozroj,

kami menunggu perintah engkau. Apa yang engkau perintahkan, akan segera kami laksanakan.” Berdiri pula Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khozroj.

Sesungguhnya ia seorang yang saleh, hanya sayang sekali diperdaya oleh fanatik kesukuan. “Engkau bohong. Demi Alloh, engkau tidak boleh membunuhnya,

dan memang engkau tidak sanggup melakukannya.” Usaid bin Hudhoir, anak paman Sa’ad bin Mu’adz bangkit. Lalu ia berkata kepada Sa’ad bin Ubadah,

“Engkaulah yang bohong. Demi Alloh, kapan saja dan di mana saja, kami sanggup membunuhnya. Engkau munaik, karena engkau membela orang-orang munaik.”

Pertengkaran antara suku Aus dan suku Khozroj semakin memanas. Hampir saja terjadi perkelahian di antara mereka, kalau saja Rosululloh Saw tidak segera menenangkan mereka.

Sementara itu, yang dapat dilakukan ‘Aisyah dari hari ke hari hanya menangis siang dan malam. Itulah yang menyebabkan kedua orangtuanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan istri beliau cemas.

Karena itu, kedua orangtuanya selalu mendampinginya. Ada juga seorang wanita Anshor yang meminta izin bertemu dengan ‘Aisyah. Dan setelah bertemu, wanita tersebut turut menangisinya, yang membuat ‘Aisyah bertambah duka.

Rosululloh Saw akhirnya menjenguknya pula. Setelah memberi salam, beliau duduk di samping ‘Aisyah. Sejak berita bohong itu tersebar,

sekitar sebulan lamanya, beliau tidak pernah duduk di samping ‘Aisyah. Selama itu juga wahyu tidak turun kepada beliau.

Setelah duduk di samping ‘Aisyah, mula-mula beliau membaca tasyahud. Lalu bersabda, “Hai ‘Aisyah, telah sampai kepadaku berita mengenai dirimu begini dan begini. Jika engkau bersih dari tuduhan itu, maka Alloh Ta’ala akan membebaskanmu.

Jika engkau berdosa, mohonlah ampun kepada Alloh Ta’ala dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, jika seorang hamba sadar bahwa dia telah berdosa kemudian dia bertobat, niscaya Alloh menerima tobatnya.” ‘Aisyah hanya menangis mendengar sabda Nabi Saw.

Karena itu ia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, tolonglah aku menjawab sabda Rosululloh Saw.” “Demi Alloh,” ucap bapak ‘Aisyah ra. “Aku tidak tahu apa yang harus aku ucapkan kepada Rosululloh Saw.”

‘Aisyah pun meminta pertolongan pada ibunya, namun beliau juga menjawab dengan kalimat yang sama. Akhirnya ‘Aisyah berkata, “Aku ini seorang wanita muda yang belum banyak mengetahui isi Al-Qur’an.

Demi Alloh, sekarang aku tahu engkau telah mendengar tuduhan terhadap diriku, sehingga tuduhan itu tertanam dalam diri engkau dan tampaknya engkau membenarkan berita itu.

Walaupun aku katakan kepada engkau, aku bersih dari tuduhan itu, tentu engkau tidak akan memercayaiku. Demi Alloh, hanya Alloh Yang Maha Tahu bahwa aku memang bersih.

Seandainya aku mengatakan bahwa aku telah bersalah dan berbuat dosa, tentu engkau akan memercayainya. Demi Alloh, Dia jugalah Yang Maha Tahu bahwa aku bersih.

Dalam menghadapi peristiwa ini aku tidak memperoleh contoh yang tepat, selain ucap an Nabi Ya’qub as. (bapak Nabi Yusuf as.): ‘Sabar jugalah yang paling indah, dan hanya Alloh sajalah tempat minta tolong atas segala tuduhan mereka.’”

Kemudian ‘Aisyah berpaling dan berbaring di tempat tidurnya.

“Demi Alloh aku bersih dari tuduhan itu, dan aku yakin Alloh Ta’ala akan membersihkan nama baikku.” Keyakinan ‘Aisyah itu akhirnya terbukti.

Rosululloh Saw belum beranjak dari tempat duduknya, dan tidak seorang pun keluar dari rumah Abu Bakar ra. ketika Alloh SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Saw.

Tiba-tiba beliau terlihat seperti orang yang keberatan memikul beban berat sebagaimana biasanya jika wahyu sedang diturunkan kepada beliau, sehingga beliau bersimbah peluh.

Wahyu itu tercantum dalam surat An-Nuur ayat 11-20, antara lain: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga …” Setelah wahyu selesai turun,

Muhammad Rosululloh Saw tersenyum. “Gembiralah, wahai ‘Aisyah,” kalimat itulah yang pertama diucapkannya. “Alloh Ta’ala telah mengatakan bahwa engkau sungguh-sungguh bersih dari tuduhan itu.”

Lalu berkatalah ibunya kepada ‘Aisyah, “Bangunlah nak, mintalah maaf kepada beliau.” “Demi Alloh aku tidak perlu minta maaf kepada beliau,” jawab ‘Aisyah.

“Aku hanya wajib memuji Alloh, karena Dia-lah yang menurunkan wahyu yang menyatakan bahwa aku memang bersih dari tuduhan kotor itu.” ‘Aisyah juga menuturkan, bahwa selama itu Misthoh dibelanjai oleh bapaknya, yakni Abu Bakar ra.

Sejak kasus itu terjadi Abu Bakar bersumpah tidak akan membelanjai Misthoh untuk selama-lamanya Maka turunlah wahyu yang melarang penghentian bantuan itu:

“Dan janganlah orang-orang yang memunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya.... Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh mengampunimu?” (QS. 24/An-Nuur: 22)

Maka berkatalah Abu Bakar ra. “Demi Alloh, aku lebih suka mendapat ampunan dari Alloh Ta’ala.” Maka ia tetap membantu membelanjai Misthoh. Dan ‘Aisyah tidak menghentikan nafkah untuk Misthoh sepeninggal Abu Bakar ra.

Keterangan: Peristiwa yang menimpa ‘Aisyah sesungguhnya bisa menimpa keluarga siapa saja.

Apalagi jika ada orang yang iri atas kesejahteraan atau kebahagiaan yang berhasil kita raih.

Untuk itu, saat ada itnah dialamatkan kepada salah satu anggota keluarga kita, atau kepada suami/istri kita, sebaiknya kita usut lebih dahulu kebenarannya.

Jangan keburu panik. Dan, selesaikanlah dengan kepala dingin. Banyak pelajaran yang terkandung dalam kasus berita bohong (itnah) yang menimpa ‘Aisyah ra.

di atas, antara lain: Nabi Muhammad Rosululloh Saw adalah benar-benar manusia biasa. Beliau tidak mengetahui perkara yang gaib,

sebelum Alloh SWT mewahyukan kepadanya. Sebaiknya orang yang tidak mengetahui duduk perkara yang sebenarnya,

bertindak netral seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar dan istrinya. Keduanya tidak berani membela ‘Aisyah, meskipun dia putri mereka,

karena tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Sikap sabar dan hanya memohon pertolongan kepada Alloh SWT

seperti yang ditunjukkan oleh ‘Aisyah sangat diperlukan dalam menghadapi segala masalah.

Yakinlah bahwa kebenaran pasti akan menang, dan orang-orang yang berdosa pasti tercela. Hanya waktulah yang menentukan.

Kalaupun sampai kita meninggal dunia kebenaran itu belum terkuak juga, kebenaran akan terbuka di akhirat kelak.