Setiap Bid’ah adalah Sesat
Irbadl bin Sariyah ra. mengutarakan, Muhammad Rosululloh Saw bersabda, “Berpeganglah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang terpimpin.
Peganglah dia dengan gigigigi taringmu, dan jauhilah oleh kalian mengada-adakan urusan baru. Sebab sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Empat Ahli Hadits, kecuali Nasa’i)
Keterangan: Benarkah “setiap bid’ah adalah sesat”? Kata “setiap” dalam hadits tersebut adalah terjemahan dari kata “kull”.
Memang benar makna atau arti kata kull itu adalah “setiap”. Namun, salah besar jika kata kull itu ditafsirkan “meliputi semua tanpa pengecualian”.
Sebab, dalam bahasa Arab, kata kull bisa berarti “hampir semua” atau “kebanyakan”.
Gaya bahasa yang menunjukkan “sebagian” dengan menggunakan kata “keseluruhan”, dalam bahasa Arab diistilahkan ‘Abbaro ‘an katsroh bi al-kulliyyah.
Dalam Al-Qur’an pun ada beberapa ayat yang menggunakan kata kull (setiap atau semua) untuk suatu hal yang sebagian.
Misalnya, dalam ayat 25 dari surat Al Achqof yang menerangkan tentang penghancuran kaum kair ‘Aad.
Ayatnya sebagai berikut: Tudammiru kulla syai-in bi amri robbihaa, fa asbahuu laa yuroo illaa masaakinahum
(artinya: Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak terlihat (punah),
kecuali (bekas-bekas) tempat-tempat tinggal mereka (saja)). Perhatikan arti kata kull dalam ayat tersebut adalah “setiap atau semua atau segala sesuatu”,
tetapi tidak bisa ditafsirkan “meliputi semua atau seluruh”. Sebab, ternyata tempat-tempat tinggal mereka tidak dihancurkan.
Dengan demikian, kata “semua/segala sesuatu” di sini menunjukkan secara khusus pada kehidupan orang-orang kair dari bangsa ‘
Aad dan harta benda mereka, tidak termasuk tempat tinggal mereka. Dengan demikian kata “kull” dalam hadits tentang bid’ah itu pun tidak berlaku untuk semua bid’ah.
Jadi, ada bid’ah yang baik/ terpuji (yakni yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah) dan bid’ah yang buruk/tercela (yakni yang bertentangan dengan AlQur’an dan sunnah).
Pemahaman ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh para imam terkemuka, antara lain: a.
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Syai’i (Imam Syai’i), pendiri madzhab Syai’i, menyatakan, “Bid’ah ada dua macam.
Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’. Itulah bid’ah dholalah (sesat).
Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Itulah bid’ah yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al Syai’I, 1/469)
Bahkan sesuatu yang baru itu yang memiliki landasan dalam syara’ meskipun belum pernah diamalkan oleh salaf, menurut Imam Syai’i,
bukanlah bid’ah. Alasan mereka (salaf) meninggalkan hal tersebut, karena: Ada uzur yang terjadi pada saat itu.
• Ada amalan lain yang lebih utama. • Barangkali hal itu belum diketahui oleh mereka.
• b. Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad ‘Aini terkenal dengan julukan Imam ‘Aini (762-855 H/1361-1451 M),
haizh dan faqih bermadzhab Hanai menyatakan, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rosululloh Saw.
Bid’ah itu ada dua macam. Apabila termasuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’ disebut bid’ah hasanah.
Jika termasuk dalam sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’ disebut bid’ah tercela.” c. Imam Qodhi Abu Bakar Ibnu ‘Arobi al Maliki, seorang haizh,
ulama tafsir, dan iqih yang bermadzhab Maliki membagi bid’ah menjadi dua. Hal itu beliau nyatakan dalam kitab ‘Aridhot al-Ahwadzi Syarh Jami’ al Tirmidzi,
dengan diawali mengutip pernyataan Umar bin Khotthob perihal perintah beliau agar sholat Tarawih dilaksanakan secara berjama’ah dengan satu imam.
“Umar berkata, ‘Ini sebaik-baik bid’ah’. Bid’ah yang dicela hanyalah bid’ah yang menyalahi sunnah. Perkara baru (muhdats) yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.”