Sumpah Menjauhi Istri Harus Ditepati
Umar ra. menceritakan bahwa ia memunyai tetangga seorang sahabat dari golongan Anshor. Ia bersama tetangganya itu selalu bergantian menunggu berita dari Rosululloh Saw, kalau-kalau ada wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Jika hari ini Umar yang menunggu, maka esok harinya giliran orang Anshor itu yang menunggu. Lalu mereka saling memberitahukan setiap berita yang mereka dengar.
Suatu hari Umar ra. dan tetangganya itu bercakap-cakap soal Bani Ghossan yang telah bersiap-siap menyerang umat Islam. Orang Anshor itu pergi menemui Nabi Saw seperti biasa, dan baru kembali setelah Isya’.
Lalu memberitahukan semua yang telah didengarnya kepada Umar ra. Tetapi berita yang dibawa oleh orang Anshor pada hari itu lain dari biasanya. “Telah terjadi suatu peristiwa yang amat besar,” beritahu sahabat Anshor tersebut.
“Apakah Bani Ghossan telah menyerang?” tanya Umar ra. “Bahkan lebih besar dan lebih panjang dari itu,” ucap orang Anshor itu. “Nabi Saw telah menceraikan semua istri beliau.” “Sungguh malang dan merugilah Hafsoh,” komentar Umar ra.
menyesalkan nasib putrinya sendiri yang juga diperistri oleh Rosululloh Saw. “Aku telah menduga kasus ini akan terjadi”. Usai sholat Subuh keesokan harinya, Umar segera pergi ke rumah Hafsoh.
Sesampai di sana ia mendapati putrinya sedang menangis. “Benarkah Rosululloh Saw telah menceraikan kalian semua?” tanya Umar ra. “Aku tidak tahu,” jawab Hafsoh, putrinya.
“Yang pasti beliau mengasingkan diri di gudang tempat penyimpanan barangbarang.” Umar ra. segera menemui pelayan Nabi Saw, “Mintakanlah izin kepada Rosululloh Saw, bahwa Umar mohon bertemu beliau.”
Pelayan itu masuk ke tempat Nabi Saw, dan tidak lama kemudian keluar lagi. “Aku telah menyampaikan pesan engkau pada beliau, namun beliau diam saja.” Lalu Umar ra.
pergi ke tempat yang biasa digunakan oleh Nabi Saw memberikan ceramah. Sesampai di dekat mimbar, Umar duduk di antara para sahabat yang telah berada di sana. Di antara para sahabat itu ada yang menangis.
Setelah duduk beberapa saat, Umar kembali menemui pelayan Nabi Saw, “Mintakanlah izin bagi Umar untuk menemui beliau kembali.” Pelayan itu menemui Nabi Saw dan tidak lama kemudian keluar kembali, “Pesan engkau telah aku sampaikan, tetapi beliau diam saja.”
Ketika Umar telah bangkit beranjak pergi, pelayan itu tibatiba memanggilnya. “Beliau mengizinkan engkau masuk.” Umar bergegas masuk ke tempat Rosululloh Saw mengasingkan diri sambil mengucapkan salam.
Ketika itu Umar melihat Nabi Saw sedang berbaring di atas tikar anyaman, dan tikarnya membekas di rusuk beliau. “Benarkah engkau menceraikan semua istri engkau, ya Rosululloh?” tanya Umar akhirnya. “Tidak.”
“Alloohu Akbar,” sebut Umar ra. “Engkau tentu telah maklum, ya Rosululloh. Sebagai kaum Quraisy, kita suatu kaum yang berkuasa atas wanita. Tatkala kita hijrah ke Madinah kita dapati di sana kaum wanitanya yang menguasai pria.
Sudah tentu wanita-wanita kita belajar dari mereka. Pada suatu hari aku marah-marah kepada istriku, tetapi dia membantahku. Aku menyalahkannya karena dia membantahku.
Lalu istriku menjawab, ‘Engkau tidak dapat menyalahkanku, demi Alloh. Sungguh para istri Nabi Saw sering membantah beliau. Bahkan salah seorang di antaranya menjauhi beliau sampai malam.’
Maka aku menjawabnya, ‘Sungguh malang dan merugilah siapa yang berbuat demikian. Apakah dia merasa aman dari murka Alloh, yang disebabkan oleh murka Rosululloh Saw kepadanya?” Mendengar cerita Umar ra.
tersebut, Rosululloh Saw tersenyum. “Ya Rosululloh, aku baru datang dari rumah Hafsoh,” Umar ra. melanjutkan ceritanya. “Lalu aku berkata kepadanya, ‘Jangan lah engkau terpengaruh jika ada madumu yang lebih cantik dan lebih dicintai Rosululloh Saw darimu.”
Muhammad Rosululloh Saw kembali tersenyum. “Ya Rosululloh, aku mohon izin untuk tinggal lebih lama di sini,” pinta Umar. “Ya, bolehlah.” Umar mengamat-amati keadaan sekelilingnya.
Dan ia jatuh iba melihat dalam tempat tersebut tidak tersimpan satu pun barang berharga. Lalu katanya, “Berdoalah kepada Alloh, ya Rosululloh. Semoga Dia melapangkan umat engkau.
Alloh Ta’ala telah melapangkan penghidupan orang-orang Persia dan Romawi, padahal mereka tidak menyembah-Nya.” Rosululloh Saw duduk bersila, lalu bersabda, “Apakah engkau masih ragu, hai anak Khotthob.
Mereka memang disegerakan untuk menerima segala kebaikan dalam hidup di dunia ini, (tetapi mereka akan menderita di akhirat kelak).” “Mohonkanlah ampun bagiku, ya Rosululloh,” ujar Umar ra.
Akhirnya tahulah Umar bahwa Rosululloh Saw telah bersumpah tidak akan pulang ke rumah istrinya selama sebulan karena sangat tersinggung oleh ulah mereka, sehingga beliau mendapat teguran dari Alloh ‘Azza wa Jalla.
Umar mendengar dari Az Zuhri yang mendapat berita dari Urwah bahwa ‘Aisyah menyatakan, bahwa setelah cukup dua puluh sembilan malam, Rasululloh Saw pulang ke rumahnya.
Beliau mulai giliran dengan ‘Aisyah. ‘Aisyah bertanya, “Ya Rosululloh, engkau telah bersumpah tidak akan pulang ke rumah kami selama sebulan. Sekarang baru tanggal 29, engkau telah pulang.
Aku menghitungnya sendiri, ya Rosululloh.” “Sebulan itu kadang-kadang 29 hari,” sabda Rosululloh Saw. “Ya ‘Aisyah, aku hendak mengatakan kepadamu sesuatu yang penting.
Karena itu hendaknya engkau jangan terburuburu menjawabnya sekarang, sebelum engkau musyawarahkan dengan kedua orangtuamu.” Lalu beliau membacakan ayat:
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian mengingin kan kehidup an dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah*) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhoan) Alloh dan Rasul-Nya serta (kesenang-an) negeri akhirat, maka sesungguhnya Alloh menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antaramu.” (QS. 33/ Al-Ahzaab: 28-29)
Karena ‘Aisyah yakin bahwa bapak-ibunya tidak mungkin menyuruhnya bercerai dari Nabi Muhammad Saw, maka ia menjawab, “Apakah untuk masalah ini engkau menyuruhku bermusyawarah dengan orangtuaku? Aku menginginkan Alloh dan Rosul-Nya serta kehidupan di akhirat.” (HR. Muslim)
Keterangan: *)Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada wanita yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami.
Peristiwa di atas mengandung beberapa pelajaran yang baik bagi kita semua: Jika kita sangat marah kepada istri,
alangkah baiknya cukup • memberinya peringatan dengan bersumpah untuk menjauhinya beberapa waktu lamanya.
Jadi, tidak usah menjatuhkan talak atau mencerikannya. Selama kita menjalankan sumpah tersebut,
masing-masing • pihak, suami dan istri, hendaklah saling merenungkan perilakunya masing-masing.
Sebab, yang terjadi di masyarakat kita selama ini, masing-masing pihak merasa paling benar.
Padahal, seharusnya sama-sama mengakui kesalahannya agar masalahnya cepat selesai.
Apabila masa sumpah kita menjauhi istri sudah berlalu, hendaklah kita kembali lagi sebagai suami-istri
dan harus saling memaafkan. Jadi, janganlah memperpanjang persoalan.