Juz 2
Surat Al-Baqarah |2:142|
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا ۚ قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
sayaquulus-sufahaaa`u minan-naasi maa wallohum 'ang qiblatihimullatii kaanuu 'alaihaa, qul lillaahil-masyriqu wal-maghrib, yahdii may yasyaaa`u ilaa shiroothim mustaqiim
Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?" Katakanlah (Muhammad), "Milik Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus."
The foolish among the people will say, "What has turned them away from their qiblah, which they used to face?" Say, "To Allah belongs the east and the west. He guides whom He wills to a straight path."
(Orang-orang yang bodoh, kurang akalnya, di antara manusia) yakni orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin akan mengatakan,
(Apakah yang memalingkan mereka) yakni Nabi saw. dan kaum mukminin (dari kiblat mereka yang mereka pakai selama ini) maksudnya yang mereka tuju di waktu sholat
, yaitu Baitulmakdis. Menggunakan 'sin' yang menunjukkan masa depan, merupakan pemberitaan tentang peristiwa gaib.
(Katakanlah, "Milik Allahlah timur dan barat) maksudnya semua arah atau mata angin adalah milik Allah belaka, sehingga jika Dia menyuruh kita menghadap ke arah mana saja,
maka tak ada yang akan menentang-Nya. (Dia memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya) sesuai dengan petunjuk-Nya (ke jalan yang lurus") yakni agama Islam.
Termasuk dalam golongan itu ialah kamu sendiri dan sebagai buktinya ialah:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 142 |
Tafsir ayat 142-143
Menurut Az-Zujaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Saddi, mereka adalah orang-orang munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، سَمِعَ زُهَيراً، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ستَّة عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَاهَا، صَلَاةَ الْعَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ. فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ صَلَّى مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صليتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبَل مَكَّةَ، فدارُوا كَمَا هُمْ قَبِلَ الْبَيْتِ. وَكَانَ الذِي مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوّل قِبَلَ الْبَيْتِ رِجَالًا قُتِلُوا لَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a.,bahwa Rasulullah Saw. salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas
atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka'bah. Mula-mula salat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah salat Asar, dan ikut salat bersamanya suatu kaum.
Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang salat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan salat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia berkata,
"Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah salat bersama Nabi Saw. menghadap ke arah Mekah (Ka'bah)." Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang sedang salat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki
yang meninggal dunia selama salat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah. Kami tidak mengetahui apa yang harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)Imam Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadis ini melalui sanad tersebut.
Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut,
bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. salat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan,
"Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat (Ka'bah), dan bagaimana dengan salat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis.
" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia; mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia
akan berkata. (Al-Baqarah: 142), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq,
dari Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau Saw. lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka'bah, maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144);
Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi Saw. menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh firman-Nya:
Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;
Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap
ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya). Maka orang-orang Yahudi gembira melihatnya. dan Rasulullah Saw. menghadap kepadanya selama belasan bulan. padahal di dalam hati beliau Saw. sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat
Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144) Orang-orang Yahudi merasa
curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan: Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)Banyak hadis yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan
bahwa pada mulanya Rasulullah Saw. menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau Saw. ketika di Mekah selalu salat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di hadapannya ada Ka'bah;
sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Ycaissalem). Ketika beliau Saw. hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat itu; maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis.
Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur'an atau lainnya?
Ada dua pendapat mengenainya.Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi Saw. sendiri. Yang dimaksudkan
dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau Saw. tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi Saw. selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya
agar dihadapkan ke arah Ka'bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim a.s. Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah Swt. memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah Saw. berkhotbah kepada orang-orang
dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Barra r.a.
Akan tetapi, di dalam kitab Imam Nasai melalui riwayat Abu Sa'id ibnul Ma'la disebutkan bahwa salat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka'bah) adalah salat Lohor. Abu Sa'id ibnul Ma'la mengatakan, dia dan kedua
temannya termasuk orang-orang yang mula-mula salat menghadap ke arah Ka'bah.Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika beliau Saw.
salat dua rakaat dari salat Lohor, turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang salat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain.Di dalam hadis Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka
berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam salat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, "Setelah ada berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum wanita menduduki tempat kaum laki-laki.
" Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada salat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab
Sahihain (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari Ibnu Umar r.a. yang menceritakan:
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قد أنزل عليه الليلة قرآن وقد أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا. وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
Ketika orang-orang sedang melakukan salat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menerima wahyu tadi malam yang memerintahkan
agar menghadap ke arah Ka'bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka'bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah Ka'bah.Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan
bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu. Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi salat Asar, Magrib, dan Isya.
Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan
seperti yang disitir oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا}
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" (Al-Baqarah: 142)Dengan kata lain, mereka bermaksud 'mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu
dan sesekali yang lain menghadap ke anu'. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)Adapun firman-Nya:
ولَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177)Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai
kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah. Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita
diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap ke arah
yang diperintahkan-Nya.Allah Swt. mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw. dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap
ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka'bah yang dibangun atas nama Allah Swt. semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ka'bah merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini,
mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah Swt., Nabi Ibrahim a.s. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan:
{قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." (Al-Baqarah: 142)
وَقَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ حُصَيْنِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُمَر بْنِ قَيْسٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْأَشْعَثِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِي فِي أَهْلِ الْكِتَابِ -:"إِنَّهُمْ لَا يَحْسُدُونَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَنَا عَلَى يَوْمِ الْجُمْعَةِ، التِي هَدَانَا اللَّهُ لَهَا وضلوا عنها، وعلى القبلة التي هدانا الله لَهَا وَضَلُّوا عَنْهَا، وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ: آمِينَ"
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu Asim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy'As, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan kaum
Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya;
dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (Al-Baqarah: 143)
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah kiblat Ibrahim a.s. dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat
menjadi saksi atas umat-umat lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian."Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang paling baik
keturunan dan kedudukannya. Rasulullah Saw. seorang yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke dalam pengertian ini salatul wusta, salat yang paling utama, yaitu salat Asar,
seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dan lain-lainnya. Allah Swt. menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.) merupakan umat yang terbaik; Allah Swt. telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat
yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
هُوَ اجْتَباكُمْ وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْراهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ
Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula)
dalam (Al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supava kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al-Hajj: 78)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بلَّغت؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُدْعَى قَوْمُهُ فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ وَمَا أَتَانَا مِنْ أَحَدٍ، فَيُقَالُ لِنُوحٍ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ" قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: الْوَسَطُ: الْعَدْلُ، فَتُدْعَوْنَ، فَتَشْهَدُونَ لَهُ بِالْبَلَاغِ، ثُمَّ أَشْهَدُ عَلَيْكُمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi', dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan
kepadanya, "Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?" Nuh menjawab, "Ya." Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, "Apakah dia telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Maka mereka menjawab,
"Kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami." Lalu ditanyakan kepada Nuh, "Siapakah yang bersaksi untukmu?" Nuh menjawab, "Muhammad dan umatnya."
Abu Sa'id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil" (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil. Kemudian kalian dipanggil dan kalian
mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian. Hadis riwayat Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam Nasai.
Dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَجِيءُ النَّبِيُّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالنَّبِيُّ] وَمَعَهُ الرَّجُلَانِ وَأَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ فَيُدْعَى قَوْمُهُ، فَيُقَالُ [لَهُمْ] هَلْ بَلَّغَكُمْ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: لَا. فَيُقَالُ لَهُ: هَلْ بَلَّغْتَ قَوْمَكَ؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيُقَالُ [لَهُ] مَنْ يَشْهَدُ لَكَ؟ فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ فَيُدْعَى بِمُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ، فَيُقَالُ لَهُمْ: هَلْ بَلَّغَ هَذَا قَوْمَهُ؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ. فَيُقَالُ: وَمَا عِلْمُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: جَاءَنَا نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَنَا أَنَّ الرُّسُلَ قَدْ بَلَّغُوا" فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا {لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا} "
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, "Apakah nabi ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?" Mereka menjawab, "Tidak." Maka dikatakan kepada si nabi,
"Apakah kamu telah menyampaikan(nya) kepada mereka?" Nabi menjawab, "Ya." Lalu dikatakan kepadanya, "Siapakah yang menjadi saksimu?" Nabi menjawab, "Muhammad dan umatnya." Lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya
dan dikatakan kepada mereka, "Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?" Mereka menjawab, "Ya." Dan ditanyakan pula, "Bagaimana kalian dapat mengetahuinya?" Mereka menjawab, "Telah datang kepada kami Nabi kami,
lalu dia menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya." Yang demikian itu adalah firman-Nya, "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian men-jadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian" (Al-Baqarah: 143).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا} قَالَ: "عَدْلًا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil. (Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil.Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Abdul Wahid ibnu Ziad,
dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
أَنَا وأمَّتي يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى كَوْم مُشرفين عَلَى الْخَلَائِقِ. مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ إِلَّا وَدَّ أَنَّهُ منَّا. وَمَا مِنْ نَبِيٍّ كَذَّبه قَوْمُهُ إِلَّا وَنَحْنُ نشهدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ رسالةَ رَبِّهِ، عز وجل
Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami,
dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya
dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa yang ada pada Ibnu Murdawaih melalui hadis Mus'ab ibnu Sabit, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan:
شَهِدَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِنَازَةً، فِي بَنِي سَلِمَةَ، وَكُنْتُ إِلَى جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: وَاللَّهِ -يَا رسولَ اللَّهِ -لَنِعْمَ المرءُ كَانَ، لَقَدْ كَانَ عَفِيفًا مُسْلِمًا وَكَانَ ... وَأَثْنَوْا عَلَيْهِ خَيْرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْتَ بِمَا تَقُولُ". فَقَالَ الرَّجُلُ: اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ فَذَاكَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَجَبَتْ". ثُمَّ شَهِد جِنَازَةً فِي بَنِي حَارِثة، وكنتُ إِلَى جَانِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَا رسولَ اللَّهِ، بِئْسَ المرءُ كَانَ، إِنْ كَانَ لفَظّاً غَلِيظًا، فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ شَرًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَعْضِهِمْ: "أَنْتَ بِالذِي تَقُولُ". فَقَالَ الرَّجُلُ: اللَّهُ أَعْلَمُ بِالسَّرَائِرِ، فَأَمَّا الذِي بَدَا لَنَا مِنْهُ فَذَاكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَجَبَتْ". قَالَ مُصْعَبُ بْنُ ثَابِتٍ: فَقَالَ لَنَا عِنْدَ ذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْب: صدقَ رسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَرَأَ: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا}
bahwa Rasulullah Saw. menghadiri suatu jenazah di kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka sebagian dari mereka mengatakan, "Demi Allah, wahai Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik,
sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah diri (muslim)," dan mereka memujinya dengan pujian yang baik. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Anda berani mengatakan
yang seperti itu?" Maka laki-laki itu menjawab, "Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Nabi Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Kemudian Rasulullah Saw.
menghadiri pula jenazah lain di kalangan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, "Wahai Rasulullah, dia adalah seburuk-buruk manusia,
jahat lagi kejam." Lalu mereka membicarakannya dengan pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada sebagian mereka, "Anda berani mengatakan yang seperti itu?" Jawabnya, "Hanya Allah Yang Mengetahui
rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hal itu pasti (baginya)." Mus'ab ibnu Sabit berkata, "Pada saat itu Muhammad ibnu Ka'b mengatakan kepada kami, 'Benarlah apa yang dikatakan
oleh Rasulullah Saw. itu,' kemudian ia membacakan firman-Nya: 'Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kalian ' (Al-Baqarah: 143)."Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُريدة، عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ أَنَّهُ قَالَ: أتيتُ الْمَدِينَةَ فَوَافَقْتُهَا، وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ، فَهُمْ يَمُوتُونَ مَوْتًا ذَريعاً. فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَمَرَّتْ بِهِ جِنَازَةٌ، فَأثْنِيَ عَلَى صَاحِبِهَا خَيْرٌ. فَقَالَ: وَجَبَتْ وجَبَت. ثُمَّ مُرّ بِأُخْرَى فَأُثْنِيَ عَلَيْهَا شرٌّ، فَقَالَ عُمَرُ: وَجَبَتْ [وَجَبَتْ]. فَقَالَ أَبُو الْأَسْوَدِ: مَا وَجَبَتْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالَ: قُلْتُ كَمَا قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِد لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ". قَالَ: فَقُلْنَا. وَثَلَاثَةٌ؟ قَالَ: "وَثَلَاثَةٌ". قَالَ، فَقُلْنَا: وَاثْنَانِ؟ قَالَ: "وَاثْنَانِ" ثُمَّ لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadis berikut:
Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Lalu aku duduk di sebelah Khalifah Umar r.a., maka lewatlah suatu iringan jenazah,
kemudian jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, "Hal itu pasti baginya." Kemudian lewat pula suatu iringan jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah yang buruk.
Maka Umar r.a. berkata, "Hal itu pasti baginya." Abul Aswad bertanya, "Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?" Umar r.a. mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan
oleh Rasulullah Saw., yaitu sabdanya: Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan oleh empat orang dengan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga. Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau tiga orang?" Beliau Saw.
menjawab, "Ya, tiga orang juga." Maka kami bertanya, "Bagaimana kalau oleh dua orang?" Beliau Saw. menjawab, "Ya, dua orang juga." Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu orang.Demikian pula hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Daud ibnul Furat dengan lafaz yang sama.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو قِلابة الرَّقَاشِيُّ، حَدَّثَنِي أَبُو الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي أُمِّيَّةُ بْنُ صَفْوَانَ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ الثَّقَفِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بالنَّباوَة يَقُولُ: "يُوشِكُ أَنْ تَعْلَمُوا خِيَارَكُمْ مِنْ شِرَارِكُمْ" قَالُوا: بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: بِالثَّنَاءِ الْحَسَنِ وَالثَّنَاءِ السَّيِّئ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ".
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan kepada kami
Nafi' ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika di Al-Banawah:
Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan orang-orang yang jahat dari kalian. Mereka bertanya, "Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Dengan melalui pujian yang baik
dan sebutan yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi."Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad,
dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar serta Syuraih, dari Nafi', dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. (Al-Baqarah: 143) Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Kami pada mulanya mensyariatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis,
kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke Ka'bah. Hal ini tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan sesungguhnya dari orang-orang yang mengikutimu, taat kepadamu, dan menghadap bersamamu ke mana
yang kamu hadapi."
مِمَّن يَنْقَلْبُ عَلَى عَقبَيْه
dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143) Maksudnya, murtad dari agamanya.
{وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً}
Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat. (Al-Baqarah: 143)Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah serta merasa yakin
dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang didatangkan beliau hanyalah perkara hak semata yang tidak diragukan lagi. Allah Swt. berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia memutuskan hukum menurut kehendak-Nya,
Dia berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, dan me-nasakh apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah hikmah yang sempurna dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara keseluruhan.
Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman,
di dalam hati mereka keyakinan dan kepercayaan bertambah kuat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَإِذَا مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ * وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini
menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada).
(At-Taubah: 124-125)
{قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى}
Katakanlah, Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka." (Fushshilat: 44)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً
Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82) Karena itu, terbuktilah
bahwa orang-orang yang teguh dalam membenarkan Rasulullah Saw. dan tetap mengikutinya dalam hal tersebut serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya tanpa bimbang dan tanpa ragu
barang sedikit pun, mereka adalah para sahabat yang terhormat.Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang mendapat predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan orang-orang Ansar,
yaitu mereka yang salat ke dua kiblat.Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفيان، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: بَيْنَا الناسُ يُصَلُونَ الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُباء إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: قَدْ أُنْزِلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا. فَتَوَجَّهُوا إِلَى الْكَعْبَةِ
telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang mengerjakan salat Subuh di Masjid Quba,
tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi Saw. sebuah ayat yang memerintahkan kepada Nabi Saw. agar menghadap ke arah Ka'bah, maka menghadaplah kalian ke Ka'bah.
" Maka mereka pun menghadapkan dirinya ke Ka'bah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim melalui jalur yang lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri.
Di dalam riwayat Imam Turmuzi disebutkan:
أَنَّهُمْ كَانُوا رُكُوعًا، فَاسْتَدَارُوا كَمَا هُمْ إِلَى الْكَعْبَةِ، وَهُمْ رُكُوعٌ
Bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka berputar, sedangkan mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka'bah.Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Hammad ibnu Salimah, dari Sabit,
dari Anas dengan lafaz yang semisal.Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap perintah-perintah Allah Swt. Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya
kepada mereka (para sahabat) semua.
******
Firman Allah Swt.:
{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143)Yakni salat kalian yang telah kalian lakukan dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka'bah. Dengan kata lain, Allah Swt.
tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu ada di sisi-Nya.Di dalam kitab sahih disebutkan melalui Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Barra yang menceritakan:
مَاتَ قَوْمٌ كَانُوا يُصَلُّونَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ النَّاسُ: مَا حَالُهُمْ فِي ذَلِكَ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ}
Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka salat menghadap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
iman kalian" (Al-Baqarah: 143).Hadis diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ibnu Abbas, dan Imam Turmuzi menilainya sahih. Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad,
dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Yaitu iman kalian kepada kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan kalian
kepada Nabi kalian serta mengikutinya menghadap ke arah kiblat yang lain (Ka'bah). Dengan kata lain, Allah pasti akan memberi kalian pahala keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
(Al-Baqarah: 143)Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad Saw.
dan berpaling kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143)Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw.
melihat seorang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya,
sedangkan dia terus berputar ke sana kemari mencari bayinya. Setelah wanita itu menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَلَّا تَطْرَحَهُ؟ " قَالُوا: لَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "فَوَاللَّهِ، لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا"
"Bagaimanakah pendapat kalian, akankah wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu untuk tidak melemparkannya?" Mereka menjawab, "Tentu tidak, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. bersabda,
"Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya."
Surat Al-Baqarah |2:143|
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
wa każaalika ja'alnaakum ummataw wasathol litakuunuu syuhadaaa`a 'alan-naasi wa yakuunar-rosuulu 'alaikum syahiidaa, wa maa ja'alnal-qiblatallatii kunta 'alaihaaa illaa lina'lama may yattabi'ur-rosuula mim may yangqolibu 'alaa 'aqibaiih, wa ing kaanat lakabiirotan illaa 'alallażiina hadalloh, wa maa kaanallohu liyudhii'a iimaanakum, innalloha bin-naasi laro`uufur roḥiim
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.
And thus we have made you a just community that you will be witnesses over the people and the Messenger will be a witness over you. And We did not make the qiblah which you used to face except that We might make evident who would follow the Messenger from who would turn back on his heels. And indeed, it is difficult except for those whom Allah has guided. And never would Allah have caused you to lose your faith. Indeed Allah is, to the people, Kind and Merciful.
(Demikian pula) sebagaimana Kami telah membimbing kamu padanya. (Kami jadikan kamu) hai Muhammad (sebagai umat yang pertengahan) artinya sebagai umat yang adil dan pilihan,
(agar kamu sekalian menjadi saksi terhadap umat manusia) pada hari kiamat bahwa rasul-rasul mereka telah menyampaikan risalah kepada mereka (dan agar rasul menjadi saksi terhadap kamu sekalian) bahwa ia telah menyampaikan risalahnya kepadamu.
(Dan tidaklah Kami jadikan kiblat) kamu sekarang ini (menurut arah kiblatmu dulu) yaitu Kakbah yang menjadi kiblatmu yang mula-mula. Di Mekah Nabi saw.
ketika sholat menghadap ke sana dan tatkala ia hijrah ke Madinah disuruhnya menghadap ke Baitulmakdis guna mengambil hati orang-orang Yahudi.
Ada 16 atau 17 bulan lamanya Nabi menghadap ke Baitulmakdis, lalu kembali menghadap ke Kakbah (melainkan agar Kami ketahui) menurut ilmu lahir (siapa yang mengikuti rasul)
lalu membenarkannya (di antara orang-orang yang membelot) artinya murtad dan kembali pada kekafiran disebabkan keragu-raguan terhadap agama dan dugaan bahwa Nabi saw.
dalam kebimbangan menghadapi urusannya. Memang ada segolongan orang yang murtad disebabkan ini.
(Dan sungguh) 'in' berasal dari 'inna', sedangkan isimnya dibuang dan pada mulanya berbunyi 'wa-innaha', artinya 'dan sesungguhnya ia' (adalah ia) yakni pemindahan kiblat itu (amat berat) amat sulit diterima manusia,
(kecuali bagi orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah) di antara mereka (dan Allah tidak akan menyia-nyiakan keimanan mereka)
maksudnya sholat mereka yang dulu menghadap ke Baitulmakdis, tetapi akan tetap memberi pahala kepada mereka karenanya.
Sebagaimana kita ketahui sebab turun ayat ini adalah datangnya pertanyaan mengenai orang yang meninggal sebelum pemindahan kiblat.
(Sesungguhnya Allah terhadap manusia) yakni yang beriman (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) sehingga Dia tidak akan menyia-nyiakan amal perbuatan mereka.
'Ra`fah', artinya amat pengasih dan didahulukan agar lebih tepat menemui sasaran.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 143 |
Penjelasan ada di ayat 142
Surat Al-Baqarah |2:144|
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
qod naroo taqolluba waj-hika fis-samaaa`, fa lanuwalliyannaka qiblatan tardhoohaa fa walli waj-haka syathrol-masjidil-ḥaroom, wa ḥaiṡu maa kuntum fa walluu wujuuhakum syathroh, wa innallażiina uutul-kitaaba laya'lamuuna annahul-ḥaqqu mir robbihim, wa mallohu bighoofilin 'ammaa ya'maluun
Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
We have certainly seen the turning of your face, [O Muhammad], toward the heaven, and We will surely turn you to a qiblah with which you will be pleased. So turn your face toward al-Masjid al-Haram. And wherever you [believers] are, turn your faces toward it [in prayer]. Indeed, those who have been given the Scripture well know that it is the truth from their Lord. And Allah is not unaware of what they do.
(Sungguh) menyatakan kepastian (telah Kami lihat perpalingan) atau tengadah (wajahmu ke) arah (langit) menunggu-nunggu kedatangan wahyu dan rindu menerima perintah untuk menghadap Kakbah.
Sebabnya tidak lain karena ia merupakan kiblat Nabi Ibrahim dan lebih menggugah untuk masuk Islamnya orang-orang Arab (maka sungguh akan Kami palingkan kamu) pindahkan kiblatmu (ke kiblat yang kamu ridai) yang kamu sukai.
(Maka palingkanlah mukamu) artinya menghadaplah di waktu sholat (ke arah Masjidilharam) yakni Kakbah (dan di mana saja kamu berada) ditujukan kepada seluruh umat (palingkanlah mukamu) dalam sholat.
(ke arahnya! Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Alkitab sama mengetahui bahwa itu) maksudnya pemindahan kiblat ke arah Kakbah (benar) tidak disangsikan lagi (dari Tuhan mereka)
karena di dalam kitab-kitab suci mereka dinyatakan bahwa di antara ciri-ciri Nabi saw. ialah terjadinya pemindahan kiblat di masanya. (Dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan)
jika dengan ta, maka ditujukan kepada 'kamu' hai orang-orang yang beriman, yang mematuhi segala perintah-Nya, sebaliknya bila dengan ya, maka ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang menyangkal soal kiblat ini.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 144 |
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, mula-mula ayat Al-Qur'an yang di-mansukh adalah masalah kiblat. Demikian itu terjadi ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, kebanyakan penduduk Madinah saat itu terdiri
atas orang-orang Yahudi. Maka Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis. Melihat hal ini orang-orang Yahudi merasa gembira. Rasulullah Saw. menghadap ke Baitul Maqdis selama belasan bulan,
padahal beliau sendiri menyukai kiblat Nabi Ibrahim a.s. Beliau Saw. selalu berdoa kepada Allah serta sering memandang ke langit (menunggu-nunggu wahyu). Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Sampai dengan firman-Nya: Palingkanlah muka kalian ke arahnya. (Al-Baqarah: 144)Melihat hal tersebut orang-orang Yahudi merasa curiga, lalu mereka mengatakan seperti
yang disebutkan oleh firman-Nya:
{مَا وَلاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ}
Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat." (Al-Baqarah: 142)
فَأَيْنَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115)
{وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ}
Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143)Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Al-Qasim
Al-Umra dan pamannya Ubaidillah ibnu Amr, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Saw. apabila telah salam dari salatnya yang menghadap ke arah Baitul Maqdis selalu menengadahkan
kepalanya ke langit, maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Yakni ke arah Ka'bah, tepat ke arah mizab
(talang)nya, sedangkan Malaikat Jibril a.s. bermakmum kepadanya.Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan melalui hadis Syu'bah, dari Ya'la ibnu Ata, dari Yahya ibnu Quttah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat
Abdullah ibnu Amr duduk di Masjidil Haram di tempat yang lurus dengan talang Ka'bah, lalu ia membacakan firman-Nya: Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144) Ia membacakan ayat ini
seraya mengisyaratkan ke arah talang Ka'bah. Kemudian Imam Hakim mengatakan, hadis ini sahih sanad-nya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim,
dari Al-Hasan ibnu Arafah, dari Hisyam, dari Ya'la ibnu Ata dengan lafaz yang sama. Hal yang sama dikatakan pula oleh yang lainnya. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafii r.a. yang mengatakan bahwa
sesungguhnya yang dimaksud ialah menghadap ke arah 'ainul Ka'bah. Sedangkan pendapat lainnya yang dianut oleh kebanyakan ulama mengatakan, yang dimaksud ialah muwajahah (menghadap ke arahnya), seperti yang disebutkan
di dalam riwayat Imam Hakim melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, dari Umair ibnu Ziad Al-Kindi, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144)
Yang dimaksud dengan syatrahu ialah ke arahnya (tidak harus tepat ke Ka'bah). Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hal ini merupakan pendapat Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya. Seperti yang telah disebutkan dalam hadis terdahulu, yaitu:
«مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ»
Di antara timur dan barat terdapat arah kiblat. Al-Qurtubi mengatakan bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِي مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِي "
Baitullah adalah kiblat bagi ahli masjid, dan masjid adalah kiblat bagi penduduk kota suci, sedangkan kota suci merupakan kiblat bagi penduduk bumi yang ada di timur dan barat dari kalangan umatku.Abu Na'im (yaitu Al-Fadl ibnu Dakin) mengatakan:
حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلَّى قبلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ وَأَنَّهُ صَلّى صَلَاةَ الْعَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يُصَلِّي مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلّيت مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قبل مكَّة، فداروا كما هم قبل البيت
telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadis berikut: Bahwa Nabi Saw. salat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal beliau sendiri lebih suka
bila kiblatnya ke arah Baitullah (Ka'bah). Dan (pada suatu hari) beliau melakukan salat Asar dan salat pula bersamanya suatu kaum (maka turunlah ayat memerintahkan agar menghadap ke Ka'bah), lalu keluarlah seorang lelaki dari jamaah
yang ikut salat bersamanya. Kemudian lelaki itu melewati ahli masjid yang sedang rukuk dalam salatnya, lalu lelaki itu berkata, "Aku bersaksi dengan nama Allah, sesungguhnya aku telah solat bersama Rasulullah Saw. Dengan menghadap
ke arah Mekah.” Maka mereka berputar menghadap ke arah Baitullah dalam keadaan rukuk.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan "bahwa ketika Rasulullah Saw.
tiba di Madinah, beliau salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah Saw. menyukai bila dipalingkan ke arah Ka'bah. Maka turunlah firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit. (Al-Baqarah: 144) Maka beliau berpaling menghadap ke arah Ka'bah.Imam Nasai meriwayatkan dari Abu Sa'id ibnul Ma'la yang menceritakan:
كُنَّا نَغْدُو إِلَى الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَمُرُّ عَلَى الْمَسْجِدِ فَنُصَلِّي فِيهِ، فَمَرَرْنَا يَوْمًا -وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ -فَقُلْتُ: لَقَدْ حَدث أَمْرٌ، فَجَلَسْتُ، فَقَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْآيَةِ. فَقُلْتُ لِصَاحِبِي: تَعَالَ نَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَكُونَ أَوَّلَ مَنْ صَلَّى، فَتَوَارَيْنَا فَصَلَّيْنَاهُمَا. ثُمَّ نَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى لِلنَّاسِ الظُّهْرَ يَوْمَئِذٍ
"Kami biasa berangkat ke masjid di siang hari pada masa Rasulullah Saw. untuk melakukan salat. Pada suatu hari kami lewat ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di atas mimbarnya. Maka aku berkata, 'Sesungguhnya telah terjadi
suatu peristiwa penting.' Aku duduk dan Rasulullah Saw. membacakan ayat ini: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144),
hingga selesai dari ayat ini. Aku berkata kepada temanku, 'Marilah kita salat dua rakaat sebelum Rasulullah Saw. turun dari mimbarnya. Dengan demikian, kita adalah orang yang mula-mula salat (menghadap ke arah Ka'bah).'
Maka kami bersembunyi dan salat dua rakaat. Kemudian Nabi Saw. turun dari mimbamya dan salat Lohor menjadi imam orang-orang yang hadir saat itu." Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui sahabat Ibnu Umar r.a.,
bahwa salat yang mula-mula dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah kiblat ialah salat Lohor. Salat Lohorlah yang dimaksud dengan salat Wusta itu.Tetapi menurut pendapat yang masyhur, salat yang mula-mula dilakukan
oleh Rasulullah Saw. dengan menghadap ke arah Ka'bah adalah salat Asar. Karena itu, maka berita pemindahan ini terlambat sampai kepada penduduk Quba dan baru sampai kepada mereka pada salat Subuhnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التَّسْتَري، حَدَّثَنَا رَجَاءُ بْنُ مُحَمَّدٍ السَّقَطِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ نُوَيلة بِنْتِ مُسْلِمٍ، قَالَتْ: صَلَّينا الظُّهْرَ -أَوِ الْعَصْرَ -فِي مَسْجِدِ بَنِي حَارِثَةَ، فَاسْتَقْبَلْنَا مَسْجِدَ إِيلِيَاءَ فَصَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ جَاءَ مَنْ يُحَدِّثُنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِ اسْتَقْبَلَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ، فَتَحَوَّلَ النساءُ مَكَانَ الرِّجَالِ، والرجالُ مَكَانَ النِّسَاءِ، فَصَلَّيْنَا السَّجْدَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ، وَنَحْنُ مُسْتَقْبِلُونَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ. فَحَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي حَارِثَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُولَئِكَ رِجَالٌ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Raja' ibnu Muhammad As-Siqti,
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari neneknya (ibu ayah-nya) —yaitu Nuwailah binti Muslim— yang menceritakan,
"Kami salat Lohor atau salat Asar di masjid Bani Harisah. Kami menghadapkan wajah kami ke arah Masjid Elia (Yerussalem/Baitul Maqdis). Setelah kami lakukan salat dua rakaat, tiba-tiba datanglah seseorang yang menceritakan kepada kami
bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah Baitullah. Maka kaum wanita beralih menduduki tempat kaum laki-laki, dan kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita. Lalu kami melanjutkan salat kami yang tinggal dua rakaat
lagi menghadap ke arah Baitullah." Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Bani Harisah yang menceritakan kepadaku bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Mereka adalah kaum laki-laki yang beriman kepada yang gaib.
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail An-Nahdi, telah menceritakan
kepada kami Qais, dari Ziad ibnu Alaqah ibnu Imarah ibnu Aus yang menceritakan, "Ketika kami sedang dalam salat kami yang menghadap ke Baitul Maqdis, yaitu dalam rukuk kami, tiba-tiba datanglah seorang yang menyerukan di pintu
(masjid) bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah."Imarah ibnu Aus melanjutkan kisahnya, bahwa ia menyaksikan imam mereka berpaling mengalihkan wajah mereka ke arah Ka'bah bersama-sama kaum laki-laki dan anak-anak
yang bermakmum kepadanya, semua dalam keadaan rukuk.
***********
Firman Allah Swt:
{وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ}
Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah mukamu ke arah-nya. (Al-Baqarah: 144)Allah Swt. memerintahkan menghadap ke arah Ka'bah dari segenap penjuru dunia, baik dari timur, barat, utara, maupun selatan;
semua diperintahkan agar menghadap ke arahnya. Dalam hal ini tiada yang dikecualikan selain dari orang yang mengerjakan salat sunat di atas kendaraannya dalam perjalanan; ia diperbolehkan mengerjakan salat sunat menghadap
ke arah mana pun kendaraannya menghadap, tetapi hatinya harus tetap tertuju ke arah Ka'bah. Demikian pula di saat perang sedang berkecamuk, orang-orang yang terlibat di dalamnya diperbolehkan salat dalam keadaan apa pun.
Dan orang yang tidak mengetahui arah kiblat boleh salat menghadap ke arah yang menurut ijtihadnya adalah arah kiblat, sekalipun pada hakikatnya keliru; karena sesungguhnya Allah Swt. tidak sekali-kali memberatkan seseorang melainkan
sesuai dengan kemampuannya.Mazhab Maliki menyimpulkan dalil ayat ini, bahwa orang yang salat harus memandang ke arah depannya, bukan ke arah tempat sujudnya. Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad,
dan Imam Abu Hanifah.Mazhab Maliki mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Seandainya seseorang menghadapkan pandangannya ke tempat sujudnya,
niscaya hal ini memerlukan sedikit menunduk, padahal hal ini bertentangan dengan kesempurnaan berdiri.Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah dadanya.
Syuraik Al-Qadi mengatakan bahwa orang yang berdiri dalam salatnya memandang ke arah tempat sujudnya. Hal yang sama dikatakan oleh jumhur jamaah, karena hal ini lebih menampilkan rasa tunduk dan lebih kuat kepada kekhusyukan,
dan memang ada keterangan hadis yang menganjurkannya.Dalam keadaan rukuk pandangan mata diarahkan ke tempat kedua telapak kaki, dan dalam keadaan sujud pandangan mata ditujukan ke arah hidung,
sedangkan dalam keadaan duduk pandangan mata diarahkan ke pangkuan.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 144)Yakni orang-orang Yahudi
yang memprotes kalian menghadap ke arah Ka'bah dan berpalingnya kalian dari arah Baitul Maqdis mengetahui bahwa Allah Swt. pasti akan mengarahkan kamu ke Ka'bah, melalui apa yang termaktub di dalam kitab-kitab mereka
dari para nabi mereka tentang sifat dan ciri khas Nabi Muhammad Saw. serta umatnya. Disebutkan pula di dalamnya kekhususan yang diberikan oleh Allah kepadanya serta penghormatan yang diberikan-Nya, yaitu berupa syariat
yang sempurna lagi besar. Akan tetapi Ahli Kitab menyembunyikan hal ini di antara sesama mereka karena dengki, kufur, dan ingkar. Karena itulah Allah mengancam mereka melalui firman-Nya:
{وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ}
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 144)
Surat Al-Baqarah |2:145|
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
wa la`in ataitallażiina uutul-kitaaba bikulli aayatim maa tabi'uu qiblatak, wa maaa anta bitaabi'ing qiblatahum, wa maa ba'dhuhum bitaabi'ing qiblata ba'dh, wa la`inittaba'ta ahwaaa`ahum mim ba'di maa jaaa`aka minal-'ilmi innaka iżal laminazh-zhoolimiin
Dan walaupun engkau (Muhammad) memberikan semua ayat (keterangan) kepada orang-orang yang diberi Kitab itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk orang-orang zalim.
And if you brought to those who were given the Scripture every sign, they would not follow your qiblah. Nor will you be a follower of their qiblah. Nor would they be followers of one another's qiblah. So if you were to follow their desires after what has come to you of knowledge, indeed, you would then be among the wrongdoers.
(Dan sesungguhnya jika) lam untuk sumpah (kamu datangkan kepada orang-orang yang diberi Alkitab semua bukti) atas kebenaranmu tentang soal kiblat (mereka tidak mengikuti)
maksudnya tidak akan mengikuti (kiblatmu) disebabkan keingkaran (dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka). Hal ini dipastikan Allah mengingat keinginan kuat dari Nabi agar mereka masuk Islam
dan keinginan kuat mereka agar Nabi saw. kembali berkiblat ke Baitulmakdis. (Dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain)
maksudnya orang-orang Yahudi terhadap kiblat orang-orang Kristen dan sebaliknya orang-orang Kristen terhadap kiblat orang-orang Yahudi. (Dan sekiranya kamu mengikuti keinginan mereka)
yang mereka ajukan dan tawarkan kepadamu (setelah datang ilmu kepadamu) maksudnya wahyu, (maka kalau begitu kamu) apabila kamu mengikuti mereka (termasuk golongan orang-orang yang aniaya).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 145 |
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan tentang kekufuran dan keingkaran orang-orang Yahudi serta pertentangan mereka terhadap apa yang mereka ketahui mengenai diri Rasulullah Saw. Seandainya ditegakkan terhadap mereka
semua dalil yang membuktikan kebenaran apa yang disampaikan kepada mereka, niscaya mereka tidak akan mengikutinya dan justru mereka hanya tetap mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya,
yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ. وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97) Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:
{وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145) ********* Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ}
Dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. (Al-Baqarah: 145)Ayat ini menggambarkan tentang keteguhan hati Rasulullah Saw. dalam mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Sebagaimana beliau berpegang teguh
kepada perintah Allah, maka sebaliknya mereka pun berpegang teguh pula kepada pendapat dan keinginan mereka sendiri. Nabi Saw. akan tetap berpegang teguh kepada perintah Allah dan taat kepada-Nya serta mengikuti jalan
yang di-ridai-Nya, beliau tidak akan mengikuti keinginan mereka dalam semua tindak tanduknya. Tidak sekali-kali beliau pernah menghadap ke arah Baitul Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi, melainkan semata-mata
karena perintah Allah belaka.Kemudian Allah Swt. memperingatkan agar jangan menentang perkara yang hak yang telah diketahuinya, dengan cara mengikuti keinginan diri sendiri. Karena sesungguhnya orang yang mengetahui,
jika ia salah dalam berhujah akan berbalik menyerangnya, haruslah bersikap lebih lurus daripada orang lain (yang tidak mengetahui hujah). Untuk itu Allah berfirman kepada Rasul-Nya, sedangkan yang dimaksudkan adalah umatnya, yaitu:
{وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ}
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 145)
Surat Al-Baqarah |2:146|
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
allażiina aatainaahumul-kitaaba ya'rifuunahuu kamaa ya'rifuuna abnaaa`ahum, wa inna fariiqom min-hum layaktumuunal-ḥaqqo wa hum ya'lamuun
Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).
Those to whom We gave the Scripture know him as they know their own sons. But indeed, a party of them conceal the truth while they know [it].
(Orang-orang yang Kami beri Alkitab mengenalnya) Muhammad (sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri) karena disebutkan ciri-cirinya dalam kitab-kitab suci mereka.
Kata Ibnu Salam, "Sesungguhnya ketika aku melihatnya, maka aku pun segera mengenalnya, sebagaimana aku mengenal putraku sendiri, bahkan lebih kuat lagi mengenal Muhammad.
" (Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran) maksudnya ciri-cirinya itu (padahal mereka mengetahui) keadaanmu dan siapa kamu yang sebenarnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 146 |
Tafsir ayat 146-147
Allah Swt. memberitahukan bahwa ulama Ahli Kitab mengenal kebenaran dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. kepada mereka, sebagaimana seseorang dari mereka mengenal anaknya sendiri. Orang-orang Arab biasa
membuat perumpamaan seperti ini untuk menunjukkan pengertian pengenalan yang sempurna. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki yang bersama anaknya:
"ابْنُكُ هَذَا؟ " قَالَ: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَشْهَدُ بِهِ. قَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْكَ وَلَا تجْنِي عَلَيْهِ"
"Apakah ini adalah anakmu?" Si lelaki menjawab, "Benar, wahai Rasulullah, aku bersaksi bahwa dia adalah anakku." Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya dia tidak samar kepadamu dan kamu tidak samar kepadanya."
Al-Qurtubi mengatakan, telah diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Salam, "Apakah engkau dahulu mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu sendiri?"
Abdullah ibnu Salam menjawab, "Ya, dan bahkan lebih dari itu; malaikat yang dipercaya turun dari langit kepada orang yang dipercaya di bumi seraya membawa keterangan mengenai sifat-sifatnya. Karena itu, aku dapat mengenalnya,
tetapi aku tidak mengetahui seperti apa yang diketahui oleh ibunya." Menurut kami, firman-Nya berikut ini:
{يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ}
Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya sendiri. (Al-Baqarah: 146)Dapat diartikan bahwa mereka mengenal Nabi Muhammad Saw. seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri
di antara anak-anak manusia lainnya. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang bimbang dan ragu dalam mengenal anaknya sendiri jika dia melihatnya di antara anak-anak orang lain.Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa
sekalipun mereka mengetahui kenyataan ini dengan pengenalan yang yakin, tetapi mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran ini. Dengan kata lain, mereka menyembunyikan apa yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka
mengenai sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dari pengetahuan umum, padahal mereka mengetahuinya, seperti yang disebutkan oleh firman selanjutnya:
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 146)Kemudian Allah Swt. mengukuhkan kedudukan Nabi-Nya dan kaum mukmin serta memberitahukan kepada mereka
bahwa apa yang dibawa oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak, tiada keraguan di dalamnya dan tiada pula kebimbangan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ}
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al-Baqarah: 147)
Surat Al-Baqarah |2:147|
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
al-ḥaqqu mir robbika fa laa takuunanna minal-mumtariin
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.
The truth is from your Lord, so never be among the doubters.
(Kebenaran itu) betapa pun (dari Tuhanmu, maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan) dalam kebimbangan, misalnya mengenai soal kiblat ini.
Susunan kata seperti itu lebih kuat lagi daripada mengatakan, "Jangan kamu ragu!"
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 147 |
Penjelasan ada di ayat 146
Surat Al-Baqarah |2:148|
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
wa likulliw wij-hatun huwa muwalliihaa fastabiqul-khoiroot, aina maa takuunuu ya`ti bikumullohu jamii'aa, innalloha 'alaa kulli syai`ing qodiir
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
For each [religious following] is a direction toward which it faces. So race to [all that is] good. Wherever you may be, Allah will bring you forth [for judgement] all together. Indeed, Allah is over all things competent.
(Dan bagi masing-masing) maksudnya masing-masing umat (ada arah dan tujuan) maksudnya kiblat (tempat ia menghadapkan wajahnya) di waktu sholatnya.
Menurut suatu qiraat bukan 'muwalliihaa' tetapi 'muwallaahaa' yang berarti majikan atau yang menguasainya, (maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan) yakni segera menaati dan menerimanya.
(Di mana saja kamu berada, pastilah Allah akan mengumpulkan kamu semua) yakni di hari kiamat, lalu dibalas-Nya amal perbuatanmu. (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 148 |
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan pengertian 'tiap-tiap umat mempunyai kiblatnya yang ia menghadap kepadanya' ialah semua pemeluk agama. Dengan kata lain, tiap-tiap kabilah mempunyai kiblatnya
sendiri yang disukainya, dan kiblat yang diridai oleh Allah ialah kiblat yang orang-orang mukmin menghadap kepadanya.Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap
kepadanya, dan orang-orang Nasrani mempunyai kiblatnya sendiri yang mereka menghadap kepadanya. Allah memberikan petunjuk kepada kalian, hai umat Muhammad, kepada kiblat yang merupakan kiblat yang sesungguhnya.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal dengan pendapat Abul Aliyah tadi.Mujahid mengatakan dalam riwayat yang lain —begitu pula Al-Hasaiy— bahwa Allah memerintahkan
kepada semua kaum agar salat menghadap ke arah Ka'bah.Ibnu Abbas, Abu Ja'far Al-Baqir, dan Ibnu Amir membaca ayat ini dengan bunyi walikullin wajhatun huwa muwallaha (Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri yang diperintahkan
oleh Dia (Allah) agar mereka menghadap kepadanya). Ayat ini serupa maknanya dengan firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kalian semuanya. (Al-Maidah: 48)Dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
Di mana saja kalian berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 148)Yakni Dia berkuasa untuk menghimpun kalian dari muka bumi, sekalipun jasad dan tubuh kalian bercerai-berai.
Surat Al-Baqarah |2:149|
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۖ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
wa min ḥaiṡu khorojta fa walli waj-haka syathrol-masjidil-ḥaroom, wa innahuu lal-ḥaqqu mir robbik, wa mallohu bighoofilin 'ammaa ta'maluun
Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
So from wherever you go out [for prayer, O Muhammad] turn your face toward al- Masjid al-Haram, and indeed, it is the truth from your Lord. And Allah is not unaware of what you do.
(Dan dari mana saja kamu keluar) untuk sesuatu perjalanan, (maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam
. Dan sesungguhnya itu merupakan ketentuan yang hak dari Tuhanmu dan Allah tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan) dibaca dengan ta dan ya.
Ayat seperti ini telah kita temui dulu dan diulang-ulang untuk menyatakan persamaan hukum dalam perjalanan dan lain-lainnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 149 |
Tafsir ayat 149-150
Apa yang disebutkan oleh ayat ini adalah perintah yang ketiga dari Allah Swt. yang memerintahkan agar semuanya dari berbagai penjuru dunia menghadap ke arah kiblat.Mufassirin berbeda pendapat mengenai hikmah yang terkandung
di dalam pengulangan sebanyak tiga kali ini. Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan taukid (pengukuhan), mengingat ia merupakan permulaan nasikh yang terjadi di dalam Islam, menurut apa yang di-nas-kan oleh Ibnu Abbas
dan lain-lainnya.Menurut pendapat yang lain bahkan hal ini merupakan tahapan dari berbagai keadaan. Tahapan yang pertama ditujukan kepada orang yang menyaksikan Ka'bah, tahapan yang kedua ditujukan kepada orang yang berada
di dalam kota Mekah tetapi tidak melihat Ka'bah, dan tahapan yang ketiga ditujukan bagi orang yang berada di kota-kota lainnya. Demikianlah menurut pengarahan yang diketengahkan oleh Fakhrud Din Ar-Razi.Menurut Al-Qurtubi,
tahapan yang pertama ditujukan kepada orang yang berada di dalam kota Mekah, tahapan yang kedua ditujukan kepada orang yang tinggal di kota-kota lainnya, sedangkan tahapan yang ketiga ditujukan kepada orang yang berada
di dalam perjalanannya. Demikianlah menurut apa yang ditarjihkan oleh Imam Qurtubi dalam jawabannya.Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya yang demikian itu dikemukakan hanyalah karena ia berkaitan dengan konteks
yang sebelum dan yang sesudahnya. Pada awalnya Allah Swt. berfirman:
{قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا}
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144)Sampai dengan firman-Nya:
{وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ}
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan. (Al-Baqarah: 144)Dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang permintaan Nabi Saw. yang dikabulkan-Nya dan Allah memerintahkannya untuk menghadap ke arah kiblat yang disukainya. Kemudian dalam tahapan
yang kedua Allah Swt. berfirman:
{وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ}
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.
(Al-Baqarah: 149)Maka Allah Swt. menyebutkan bahwa perintah tersebut adalah kebenaran yang datang dari Allah. Pada tahapan pertama disebutkan bahwa kiblat Ka'bah tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Rasul Saw.
sendiri, dan padanya disebutkan bahwa hal tersebut merupakan kebenaran yang disukai dan diridai Allah pula.Kemudian dalam tahapan yang ketiga disebutkan suatu hikmah yang mematahkan hujah orang-orang yang menentangnya
dari kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang memprotes masalah Rasul Saw. yang menghadap ke arah kiblat mereka, padahal mereka mengetahui melalui kitab-kitab mereka bahwa kelak Rasul Saw. akan dipalingkan ke arah kiblat
Nabi Ibrahim a.s., yaitu ke Ka'bah. Demikian pula terpatahkan hujah orang-orang musyrik Arab ketika Rasu-lullah Saw. dipalingkan dari kiblat orang-orang Yahudi ke kiblat Nabi Ibrahim a.s., yaitu kiblat yang lebih mulia daripada kiblat Yahudi.
Mereka mengagungkan Ka'bah dan merasa takjub dengan menghadap-nya Rasul ke arah Ka'bah.Menurut pendapat yang lain tidak demikian alasan hikmah yang terkandung dalam pengulangan ini, seluruhnya dikemukakan oleh Ar-Razi
dan lain-lainnya dengan bahasan yang terinci.
***********
Firman Allah Swt.:
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150)Yang dimaksud dengan manusia adalah Ahli Kitab, karena sesungguhnya mereka mengetahui bahwa salah satu dari sifat umat ini ialah menghadap ke arah Ka'bah
dalam ibadahnya. Apabila umat ini (Nabi Saw.) tidak mempunyai sifat tersebut, barangkali mereka (Ahli Kitab) akan menjadikannya sebagai senjata buat menghujah orang-orang muslim. Agar mereka tidak menghujah kaum muslim pula,
karena kaum muslim mempunyai kiblat yang sesuai dengan kiblat mereka, yaitu Baitul Maqdis. Hal ini jelas.Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150)
Yang dimaksud dengan manusia dalam ayat ini ialah kaum Ahli Kitab. yaitu di kala mereka mengatakan.”Muhammad telah dipalingkan ke arah Ka'bah.” Mereka mengatakan pula, "Lelaki ini merindukan rumah ayahnya dan agama kaumnya."
Tersebutlah bahwa hujah mereka terhadap Nabi Saw. ialah berpalingnya Nabi Saw. ke arah Baitul Haram, lalu mereka mengatakan, "Kelak dia akan kembali lagi kepada agama kita, sebagaimana dia kembali lagi kepada kiblat kita."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Saddi hal yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali orang-orang yang zalim
di antara mereka. (Al-Baqarah: 150) Menurut mereka, yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim di antara mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy. Salah seorang dari mereka menghipotesiskan hujah orang-orang yang zalim itu,
padahal hujah mereka dapat dipatahkan. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya lelaki ini menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi Ibrahim. Maka jika dia menghadap ke arah Baitul Maqdis karena memeluk agama Nabi Ibrahim,
lalu mengapa dia berpaling darinya?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt. memerintahkannya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis pada mulanya karena hikmah yang tertentu, lalu Nabi Saw. menaati Tuhannya
dalam hal tersebut. Setelah itu Allah memalingkannya ke arah kiblat Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah; maka beliau menjalankan pula perintah Allah Swt. dalam hal tersebut. Nabi Saw. dalam semua keadaannya selalu taat kepada Allah,
beliau tidak pernah menyimpang dari perintah Allah barang sekejap pun, dan umatnya berjalan mengikuti jejaknya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي}
Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kalian kepada-Ku. (Al-Baqarah: 150)Artinya, janganlah kalian merasa takut terhadap tuduhan yang dilancarkan oleh orang-orang zalim yang ingkar itu, dan takutlah kalian
hanya kepada-Ku, karena sesungguhnya Allah Swt. lebih berhak untuk ditakuti.Firman Allah Swt. yang mengatakan:
{وَلأتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ}
Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atas kalian. (Al-Baqarah: 150)di-ataf-kan kepada firman-Nya:
{لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ}
Agar tidak ada hujah bagi manusia atas kalian. (Al-Baqarah: 150)Dengan kata lain, Aku akan menyempurnakan kepada kalian nikmat-Ku, yaitu dengan mensyariatkan kepada kalian agar menghadap ke arah Ka'bah, agar syariat yang kalian jalani merupakan syariat yang paling sempurna dari segala seginya.
{وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ}
Dan supaya kalian mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 150)Yakni agar kalian tidak sesat seperti apa yang dialami oleh umat-umat terdahulu dari apa yang telah Kami tunjukkan kepada kalian dan Kami khususkan hal itu buat kalian. Karena itu, maka umat ini merupakan umat yang paling mulia dan paling utama.
Surat Al-Baqarah |2:150|
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
wa min ḥaiṡu khorojta fa walli waj-haka syathrol-masjidil-ḥaroom, wa ḥaiṡu maa kuntum fa walluu wujuuhakum syathrohuu li`allaa yakuuna lin-naasi 'alaikum ḥujjatun illallażiina zholamuu min-hum fa laa takhsyauhum wakhsyaunii wa li`utimma ni'matii 'alaikum wa la'allakum tahtaduun
Dan dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu) kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu dan agar kamu mendapat petunjuk.
And from wherever you go out [for prayer], turn your face toward al-Masjid al-Haram. And wherever you [believers] may be, turn your faces toward it in order that the people will not have any argument against you, except for those of them who commit wrong; so fear them not but fear Me. And [it is] so I may complete My favor upon you and that you may be guided.
(Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah mukamu ke arahnya!)
Diulang-ulang untuk memperkuat (agar tidak ada bagi manusia) baik Yahudi maupun orang musyrik (hujah atas kamu) maksudnya alasan agar kamu meninggalkan dan berpaling ke arah lainnya,
yakni untuk menyangkal perdebatan mereka dengan kamu, misalnya kata orang-orang Yahudi, "Ia mengingkari agama kita tetapi ia mengikuti arah kiblat kita," dan kata orang-orang musyrik,
"Ia mengaku mengikuti agama Ibrahim tetapi ia melanggar arah kiblatnya," (kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka) disebabkan keingkaran.
Mereka mengatakan bahwa perpalingan Muhammad ke Kakbah itu sebabnya tidak lain hanyalah karena kecenderungannya pada agama nenek moyangnya.
'Itstitsna' atau pengecualian di sini adalah 'muttashil' atau berhubungan dan maksudnya adalah tak ada omelan seorang pun kepadamu selain dari omelan mereka itu.
(Maka janganlah kamu takut kepada mereka) maksudnya teramat khawatir disebabkan peralihan kiblat itu (tetapi takutlah kepada-Ku) yaitu dengan mengikuti segala perintah-Ku,
(dan agar Aku sempurnakan) `athaf atau dihubungkan pada 'li alla yakuuna', (nikmat-Ku kepadamu) dengan menuntunmu pada pokok agamamu (dan supaya kamu memperoleh petunjuk) pada kebenaran.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 150 |
Penjelasan ada di ayat 149
Surat Al-Baqarah |2:151|
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
kamaaa arsalnaa fiikum rosuulam mingkum yatluu 'alaikum aayaatinaa wa yuzakkiikum wa yu'allimukumul-kitaaba wal-ḥikmata wa yu'allimukum maa lam takuunuu ta'lamuun
Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Quran) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.
Just as We have sent among you a messenger from yourselves reciting to you Our verses and purifying you and teaching you the Book and wisdom and teaching you that which you did not know.
(Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari golonganmu) berhubungan dengan lafal 'utimma', yakni untuk menyempurnakan sebagaimana sempurnanya utusan Kami, yaitu Nabi Muhammad saw.
(yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami) Alquran, (menyucikan kamu) membersihkan kamu dari kesyirikan, (mengajari kamu Alkitab) Alquran (dan hikmah) yakni hukum-hukum yang terkandung di dalamnya,
(serta mengajari kamu apa-apa yang belum kamu ketahui).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 151 |
Tafsir ayat 151-152
Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, yaitu diutus-Nya seorang Rasul —yakni Nabi Muhammad Saw.— untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah
yang jelas; menyucikan serta membersihkan mereka dari akhlak-akhlak yang rendah, jiwa-jiwa yang kotor, dan perbuatan-perbuatan Jahiliah; mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al-Qur'an
dan sunnah, serta mengajarkan kepada mereka banyak hal yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Di zaman Jahiliah mereka hidup dalam kebodohan yang menyesatkan. Akhirnya berkat barakah risalah Nabi Saw. dan misi yang diembannya,
mereka menjadi orang-orang yang dikasihi oleh Allah, berwatak sebagai ulama, dan menjadi orang-orang yang berilmu paling mendalam, memiliki hati yang suci, paling sedikit bebannya, dan paling jujur ungkapannya.Allah Swt. berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa)
mereka. (Ali Imran: 164), hingga akhir ayat.Allah Swt. mencela orang yang tidak menghargai nikmat ini. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? (Ibrahim: 28)Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan nikmat ini ialah nikmat
yang berupa diutus-Nya Nabi Muhammad Saw. kepada mereka. Karena itulah maka Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin agar mengakui nikmat ini dan membalasnya dengan banyak berzikir menyebut asma-Nya dan bersyukur
kepada-Nya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian. (Al-Baqarah: 151) Yakni sebagaimana Aku telah melimpahkan nikmat kepada kalian,
maka ingatlah kalian kepada-Ku.Abdullah ibnu Wahb meriwayatkan dari Hisyam ibnu Sa'id, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Nabi Musa pernah berkata, "Wahai Tuhan-ku, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu?" Tuhan berfirman kepadanya,
"Ingatlah Aku dan jangan kamu lupakan Aku. Maka apabila kamu ingat kepada-Ku, berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku. Apabila kamu lupa kepada-Ku, berarti kamu ingkar kepada-Ku."Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, As-Saddi,
dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah Swt. selalu mengingat orang yang ingat kepada-Nya, memberikan tambahan nikmat kepada orang yang bersyukur kepada-Nya, dan mengazab orang yang ingkar terhadap-Nya.
Salah seorang ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ
Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya. (Ali Imran: 102)Bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya kita taat kepada-Nya dan tidak durhaka terhadap-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya,
selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap-Nya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun,
telah menceritakan kepada kami Imarah As-Saidalani, telah menceritakan kepada kami Makhul Al-Azdi yang mengatakan asar berikut, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Bagaimanakah menurutmu tentang orang
yang membunuh jiwa, peminum khamr, pencuri, dan pezina yang selalu ingat kepada Allah, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian ' (Al-Baqarah: 152)?
" Ibnu Umar menjawab, "Apabila Allah mengingat orang ini, maka Dia mengingatnya melalui laknat-Nya hingga dia diam."Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku,
niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Makna yang dimaksud ialah: "Ingatlah kalian kepada-Ku dalam semua apa yang telah Kufardukan atas kalian, maka niscaya Aku akan mengingat kalian dalam semua apa yang Aku
wajibkan bagi kalian atas diri-Ku".Menurut Sa'id ibnu Jubair artinya: "Ingatlah kalian kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, niscaya Aku selalu ingat kepada kalian dengan magfirah (ampunan)-Ku". Menurut riwayat yang lain disebutkan
"dengan rahmat-Ku".Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian. (Al-Baqarah: 152) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah 'ingat Allah
kepada kalian jauh lebih banyak daripada ingat kalian kepada-Nya'. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُ".
Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam dirinya, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam diri-Ku; dan barang siapa yang ingat kepada-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat (pula) kepadanya di dalam golongan yang lebih baik daripada golongannya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرْتَنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُكَ، فِي مَلَأٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ -أَوْ قَالَ: [فِي] مَلَأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ -وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي شِبْرًا دَنَوْتُ مِنْكَ ذِرَاعًا، وَإِنْ دَنَوْتَ مِنِّي ذِرَاعًا دَنَوْتُ مِنْكَ بَاعًا، وَإِنْ أَتَيْتَنِي تَمْشِي أَتَيْتُكَ أُهَرْوِلُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman,
"Hai anak Adam, jika kamu ingat kepada-Ku di dalam dirimu, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam diri-Ku. Dan jika kamu mengingat-Ku di dalam suatu golongan, niscaya Aku ingat pula kepadamu di dalam golongan dari kalangan
para malaikat -atau beliau Saw. bersabda, 'Di dalam golongan yang lebih baik dari golonganmu'-. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadamu satu hasta. Dan jika kamu mendekat kepada-Ku
satu hasta, niscaya Aku mendekat kepadamu satu depa. Dan jika kamu datang kepada-Ku jalan kaki, niscaya Aku datang kepadamu dengan berlari kecil.Sanad hadis ini sahih, diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Qatadah
yang di dalamnya disebutkan bahwa Qatadah mengatakan, "Makna yang dimaksud dari keseluruhannya ialah rahmat Allah lebih dekat kepadanya."
************
Firman Allah Swt.:
{وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ}
Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)Allah Swt. memerintahkan bersyukur dan menjanjikan pahala bersyukur berupa tambahan kebaikan dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Ibrahim: 7)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ فَضَالَةَ -رَجُلٍ مِنْ قَيْسٍ- حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ وَعَلَيْهِ مطْرف مِنْ خَزٍّ لَمْ نَرَهُ عَلَيْهِ قَبْلَ ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى خَلْقِهِ". وَقَالَ رَوْحٌ مَرَّةً: "عَلَى عَبْدِهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Fudail ibnu Fudalah (seorang lelaki dari kalangan Bani Qais), telah menceritakan kepada kami Abu Raja Al-Ataridi
yang mengatakan bahwa Imran Ibnu Husain keluar menemui kami memakai jubah kain sutra campuran yang belum pernah kami lihat dia memakainya, baik sebelum itu ataupun sesudahnya. Lalu ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Barang siapa dianugerahi suatu nikmat oleh Allah, maka sesungguhnya Allah menyukai bila melihat penampilan dari nikmat yang telah Dia berikan kepada makhluk-Nya. Dan adakalanya Rauh mengatakan 'kepada hamba-Nya".
Surat Al-Baqarah |2:152|
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
fażkuruuniii ażkurkum wasykuruu lii wa laa takfuruun
Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.
So remember Me; I will remember you. And be grateful to Me and do not deny Me.
(Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku) yakni dengan sholat, tasbih dan lain-lain (niscaya Aku ingat pula kepadamu). Ada yang mengatakan maksudnya niscaya Aku balas amalmu itu.
Dalam sebuah hadis qudsi diketengahkan firman Allah, "Barang siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya niscaya Aku akan ingat dia dalam diri-Ku dan barang siapa mengingat-Ku di hadapan khalayak ramai,
maka Aku akan mengingatnya di hadapan khalayak yang lebih baik!"
(Dan bersyukurlah kepada-Ku) atas nikmat-Ku dengan jalan taat kepada-Ku (dan janganlah kamu mengingkari-Ku) dengan jalan berbuat maksiat dan durhaka kepada-Ku.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 152 |
Penjelasan ada di ayat 151
Surat Al-Baqarah |2:153|
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
yaaa ayyuhallażiina aamanusta'iinuu bish-shobri wash-sholaah, innalloha ma'ash-shoobiriin
Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.
O you who have believed, seek help through patience and prayer. Indeed, Allah is with the patient.
(Hai orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan) untuk mencapai kebahagiaan akhirat (dengan jalan bersabar) taat melakukan ibadah dan sabar menghadapi cobaan (dan mengerjakan sholat).
dikhususkan menyebutkannya disebabkan berat dan berulang-ulang (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar) artinya selalu melimpahkan pertolongan-Nya kepada mereka.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 153 |
Tafsir ayat 153-154
Setelah Allah Swt. menerangkan perintah untuk bersyukur kepada-Nya, maka melalui ayat ini Dia menjelaskan perihal sabar dan hikmah yang terkandung di dalam masalah menjadikan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing.
Karena sesungguhnya seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, lalu ia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, lalu ia bersabar menanggungnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah hadis yang mengatakan:
"عَجَبًا لِلْمُؤْمِنِ. لَا يَقْضِي اللَّهُ لَهُ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ، فَشَكَرَ، كَانَ خَيْرًا لَهُ؛ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ فَصَبَرَ كَانَ خَيْرًا لَهُ".
Mengagumkan perihal orang mukmin itu. Tidak sekali-kali Allah menetapkan suatu ketetapan baginya, melainkan hal itu baik belaka baginya. Jika dia mendapat kesenangan, maka bersyukurlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya;
dan jika tertimpa kesengsaraan, maka bersabarlah dia yang hal ini adalah lebih baik baginya. Allah Swt. menjelaskan bahwa sarana yang paling baik untuk menanggung segala macam cobaan ialah dengan sikap sabar dan banyak salat,
seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّها لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Al-Baqarah: 45)Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَه أَمْرٌ صَلَّى
Rasulullah Saw. apabila mendapat suatu cobaan, maka beliau mengerjakan salat.Sabar itu ada dua macam, yaitu sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam mengerjakan ketaatan dan amal-amal
taqarrub. Jenis yang kedua inilah yang lebih utama, mengingat ia adalah tujuan utama. Adapun jenis sabar lainnya yaitu sabar dalam menanggung berbagai macam musibah dan cobaan, jenis ini pun hukumnya wajib;
perihalnya sama dengan istigfar (memohon ampun) dari segala macam cela.Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sabar itu ada dua macam, yaitu: Sabar karena Allah dalam mengerjakan hal-hal yang disukai oleh Allah,
sekalipun berat terasa oleh jiwa dan raga; dan sabar karena Allah dalam meninggalkan hal-hal yang dibenci oleh-Nya, sekalipun bertentangan dengan kehendak hawa nafsu sendiri. Barang siapa yang demikian keadaannya,
maka dia termasuk orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang beroleh keselamatan. Insya Allah.Ali ibnul Husain Zainul Abidin mengatakan, apabila Allah menghimpun semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir,
maka terdengarlah suara seruan, "Di manakah orang-orang sabar? Hendaklah mereka masuk ke surga sebelum ada hisab (tanpa hisab)!" Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu mereka bersua dengan para malaikat yang bertanya
kepada mereka, "Hendak ke manakah kalian, hai anak Adam?" Mereka menjawab, "Ke surga." Para malaikat bertanya, "Sebelum ada hisab?" Mereka menjawab, "Ya." Para malaikat bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab,
"Kami adalah orang-orang yang sabar." Para malaikat bertanya, "Apakah sabar kalian?" Mereka menjawab, "Kami sabar dalam mengerjakan taat kepada Allah dan sabar dalam meninggalkan maksiat terhadap Allah, hingga Allah mewafatkan
kami." Para malaikat berkata, "Kalian memang seperti apa yang kalian katakan, sekarang masuklah kalian semua ke dalam surga, maka sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal adalah kalian."Menurut kami, hal ini dapat dibuktikan
dengan nas firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّما يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسابٍ
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab (batas). (Az-Zumar: 10)Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sabar itu merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah
atas apa yang menimpanya, dan ia jalani hal ini dengan penuh ketabahan karena mengharapkan pahala yang ada di sisi-Nya. Adakalanya seorang lelaki itu berkeluh kesah, tetapi dia tabah dan tiada yang kelihatan dari dirinya
melainkan hanya kesabaran semata.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ}
Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu. hidup. (Al-Baqarah: 154)Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang
yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah; seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim,
"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"
bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.
Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman, "Apakah yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu
yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?" Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya,
akhirnya mereka berkata, "Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan
pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu. Maka Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)."Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنِ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ، عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ تَعْلَقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ"
dari Imam Syafii, dari Imam Malik, dari Az-Zuhri, dari Abdur Rahman ibnu Ka'b ib'nu Malik, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Roh orang mukmin itu merupakan burung yang hinggap di pepohonan surga,
hingga Allah mengembalikannya ke jasadnya pada hari dia dibangkitkan.Di dalam hadis ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut semua orang mukmin lainnya, hanya saja arwah para syuhada
secara khusus disebutkan di dalam Al-Qur'an sebagai penghormatan buat mereka dan memuliakan serta mengagungkan derajat mereka.
Surat Al-Baqarah |2:154|
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
wa laa taquuluu limay yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat, bal aḥyaaa`uw wa laakil laa tasy'uruun
Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
And do not say about those who are killed in the way of Allah, "They are dead." Rather, they are alive, but you perceive [it] not.
(Dan janganlah kamu katakan terhadap orang yang terbunuh di jalan Allah) bahwa mereka itu (mati, tetapi) mereka itu (masih hidup) di mana roh-roh mereka bersemayam dalam jiwa burung-burung hijau terbang bebas di dalam surga
ke mana saja mereka kehendaki. Demikian menurut suatu hadis, (hanya kamu tidak menyadarinya) artinya mengetahui mereka.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 154 |
Penjelasan ada di ayat 153
Surat Al-Baqarah |2:155|
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
wa lanabluwannakum bisyai`im minal-khoufi wal-juu'i wa naqshim minal-amwaali wal-anfusi waṡ-ṡamaroot, wa basysyirish-shoobiriin
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
And We will surely test you with something of fear and hunger and a loss of wealth and lives and fruits, but give good tidings to the patient,
(Dan sungguh Kami akan memberimu cobaan berupa sedikit ketakutan) terhadap musuh, (kelaparan) paceklik, (kekurangan harta) disebabkan datangnya malapetaka,
(dan jiwa) disebabkan pembunuhan, kematian dan penyakit, (serta buah-buahan) karena bahaya kekeringan, artinya Kami akan menguji kamu, apakah kamu bersabar atau tidak.
(Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar) bahwa mereka akan menerima ganjaran kesabaran itu berupa surga.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 155 |
Tafsir ayat 155-157
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia pasti menimpakan cobaan kepada hamba-hamba-Nya, yakni melatih dan menguji mereka. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبارَكُمْ
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui (supaya nyata) orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwal kalian. (Muhammad: 31)
Adakalanya Allah Swt. mengujinya dengan kesenangan dan adakalanya mengujinya dengan kesengsaraan berupa rasa takut dan rasa lapar, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
فَأَذاقَهَا اللَّهُ لِباسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ
Karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan. (An-Nahl: 112)Di dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
{بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ}
dengan sedikit ketakutan dan kelaparan. (Al-Baqarah: 155)Yang dimaksud dengan sesuatu ialah sedikit. Sedangkan firman-Nya:
{وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ}
dan kekurangan harta. (Al-Baqarah: 155) Yakni lenyapnya sebagian harta.
{وَالأنْفُسِ}
dan kekurangan jiwa. (Al-Baqarah: 155)Yaitu dengan meninggalnya teman-teman, kaum kerabat, dan kekasih-kekasih.
{وَالثَّمَرَاتِ}
dan kekurangan buah-buahan. (Al-Baqarah: 155)Yakni kebun dan lahan pertanian tanamannya tidak menghasilkan buahnya sebagaimana kebiasaannya (menurun produksinya). Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa
sebagian pohon kurma sering tidak berbuah; hal ini dan yang semisal dengannya merupakan suatu cobaan yang ditimpakan oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya. Barang siapa yang sabar, maka ia mendapat pahala;
dan barang siapa tidak sabar, maka azab-Nya akan menimpanya. Karena itulah, maka di penghujung ayat ini disebutkan:
{وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ}
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 155)Salah seorang Mufassirin meriwayatkan bahwa makna yarg dimaksud dengan al-khauf ialah takut kepada Allah, al-ju'u ialah puasa bulan Ramadan,
naqsul amwal ialah zakat harta benda, al-anfus ialah berbagai macam sakit, dan samarat ialah anak-anak. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar
yang mendapat pahala dari Allah ialah mereka yang disebutkan di dalam firman berikut:
{الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ}
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. (Al-Baqarah: 156)Yakni mereka menghibur dirinya dengan mengucapkan kalimat tersebut manakala mereka tertimpa musibah,
dan mereka yakin bahwa diri mereka adalah milik Allah. Dia memberlakukan terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang Dia kehendaki. Mereka meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala di sisi-Nya seberat biji sawi
pun kelak di hari kiamat. Maka ucapan ini menanamkan di dalam hati mereka suatu pengakuan yang menyatakan bahwa diri mereka adalah hamba-hamba-Nya dan mereka pasti akan kembali kepada-Nya di hari akhirat nanti.
Karena itulah maka Allah Swt. memberita-hukan tentang pahala yang akan diberikan-Nya kepada mereka sebagai imbalan dari hal tersebut melalui firman-Nya:
{أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ}
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157)Maksudnya, mendapat pujian dari Allah Swt. Sedangkan menurut Sa'id ibnu Jubair, yang dimaksud ialah aman dari siksa Allah. ************* Firman Allah Swt.:
{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ}
Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan bahwa sebaik-baik kedua jenis pahala ialah yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka itulah
yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 157) Kedua jenis pahala tersebut adalah berkah dan rahmat yang sempurna. Dan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157) adalah pahala tambahannya, yang ditambahkan kepada salah satu dari kedua sisi timbangan hingga beratnya bertambah. Demikian pula keadaan mereka; mereka diberi pahala
yang setimpal berikut tambahannya.Sehubungan dengan pahala membaca istirja' di saat tertimpa musibah, banyak hadis-hadis yang menerangkannya. Yang dimaksud dengan istirja' ialah ucapan Inna lillahi wainna ilaihi raji'un
(Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kita semua dikembalikan).Antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang mengatakan:
حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ -يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ -عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُسَامَةَ بْنِ الْهَادِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرو، عَنِ الْمُطَّلِبِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: أَتَانِي أَبُو سَلَمَةَ يَوْمًا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: لَقَدْ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلًا سُررْتُ بِهِ. قَالَ: "لَا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعُ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أجُرني فِي مُصِيبَتِي واخلُف لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا فُعِل ذَلِكَ بِهِ". قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَحَفِظْتُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ أَبُو سَلَمَةَ اسْتَرْجَعْتُ وَقُلْتُ: اللَّهُمَّ أَجِرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَاخَلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهُ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى نَفْسِي. فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ لِي خَيْرٌ مِنْ أَبِي سَلَمَةَ؟ فَلَمَّا انْقَضَتْ عدَّتي اسْتَأْذَنَ عَلِيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَنَا أَدْبُغُ إِهَابًا لِي -فَغَسَلْتُ يَدِي مِنَ القَرَظ وَأَذِنْتُ لَهُ، فَوَضَعْتُ لَهُ وِسَادَةَ أَدَمٍ حَشْوُها لِيفٌ، فَقَعَدَ عَلَيْهَا، فَخَطَبَنِي إِلَى نَفْسِي، فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ مَقَالَتِهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بِي أَلَّا يَكُونَ بِكَ الرَّغْبَةُ، وَلَكِنِّي امْرَأَةٌ، فِيَّ غَيْرة شَدِيدَةٌ، فَأَخَافَ أَنْ تَرَى مِنِّي شَيْئًا يُعَذِّبُنِي اللَّهُ بِهِ، وَأَنَا امْرَأَةٌ قَدْ دخلتُ فِي السِّنِّ، وَأَنَا ذَاتُ عِيَالٍ، فَقَالَ: "أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذهبها اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ عَنْكِ. وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّن فَقَدْ أَصَابَنِي مثلُ الذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي". قَالَتْ: فَقَدْ سلَّمْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَتَزَوَّجَهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت أُمُّ سَلَمَةَ بَعْدُ: أَبْدَلَنِي اللَّهُ بِأَبِي سَلَمَةَ خَيْرًا مِنْهُ، رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'd), dari Yazid ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnul Had, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib,
dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Salamah datang kepadanya sepulang dari Rasulullah Saw. Lalu Abu Salamah berkata, "Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. suatu ucapan yang membuat
hatiku gembira karenanya." Beliau Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia membaca istirja' ketika musibah menimpanya, kemudian mengucapkan, "Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini,
dan gantikanlah buatku yang lebih baik daripadanya," melainkan diberlakukan kepadanya apa yang dimintanya itu. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku hafal doa tersebut darinya. Ketika Abu Salamah meninggal dunia,
maka aku ber-istirja'' dan kuucapkan pula, 'Ya Allah, berilah daku pahala dalam musibahku ini, dan berilah daku ganti yang lebih baik daripada dia.' Kemudian aku berkata kepada diriku sendiri, 'Dari manakah aku mendapatkan suami
yang lebih baik daripada Abu Salamah?' Tatkala masa idahku habis, Rasulullah Saw. meminta izin untuk menemuiku; ketika itu aku sedang menyamak selembar kulit milikku. Maka aku mencuci kedua tanganku dari cairan qaraz
(bahan penyamak), dan aku izinkan beliau Saw. masuk, lalu aku letakkan sebuah bantal kulit yang berisikan sabut, kemudian Rasulullah Saw. duduk di atasnya dan mulailah beliau Saw. melamarku. Setelah Rasulullah Saw.
selesai dari ucapannya, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak menyangka kalau engkau mempunyai hasrat kepada diriku, sedangkan diriku ini adalah seorang wanita yang sangat pencemburu, maka aku merasa khawatir bila kelak engkau
akan melihat dari diriku sesuatu hal yang menyebabkan Allah akan mengazabku karenanya. Aku juga seorang wanita yang sudah berumur serta mempunyai banyak tanggungan anak-anak.' Maka Rasulullah Saw. bersabda,
'Adapun mengenai cemburu yang kamu sebutkan, mudah-mudahan Allah Swt. akan melenyapkannya dari dirimu. Dan mengenai usia yang telah kamu sebutkan, sesungguhnya aku pun mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami
(berusia lanjut). Dan mengenai anak-anak yang kamu sebutkan tadi, sesungguhnya anak-anak tanggunganmu itu nanti akan menjadi tanggunganku pula'." Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, "Maka aku memasrahkan diriku
kepada Rasulullah Saw." Kemudian Rasulullah Saw. mengawininya. Sesudah itu Ummu Salamah mengatakan, "Allah Swt. telah menggantikan Abu Salamah dengan orang yang lebih baik daripada dirinya, yaitu Rasulullah Saw."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ummu Salamah. Ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: {إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ} اللَّهُمَّ أجُرني في مصيبتي واخلف لي خيرا منها، إلا آجَرَهُ اللَّهُ مِنْ مُصِيبَتِهِ، وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا" قَالَتْ: فَلَمَّا تُوُفي أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ كَمَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْلَفَ اللَّهُ لِي خَيْرًا مِنْهُ: رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak sekali-kali seorang hamba tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan, "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami hanya kepada-Nyalah dikembalikan). Ya Allah, berilah daku pahala
dalam musibahku ini, dan gantikanlah kepadaku yang lebih baik daripadanya," melainkan Allah akan memberinya pahala dalam musibahnya itu dan menggantikan kepadanya apa yang lebih baik daripadanya. Ummu Salamah melanjutkan
kisahnya, "Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku mengucapkan doa seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. itu. Maka Allah memberikan gantinya kepadaku dengan yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah Saw.
sendiri."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، وعَبَّاد بْنُ عَبَّادٍ قَالَا حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِي هِشَامٍ، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ فَاطِمَةَ ابْنَةِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ وَلَا مُسَلَمَةَ يُصَابُ بِمُصِيبَةٍ فَيَذْكُرُهَا وَإِنْ طَالَ عَهْدُهَا -وَقَالَ عَبَّادٌ: قَدُمَ عَهْدُهَا -فَيُحْدِثُ لِذَلِكَ اسْتِرْجَاعًا، إِلَّا جَدَّدَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ فَأَعْطَاهُ مِثْلَ أَجْرِهَا يَوْمَ أُصِيبَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid dan Abbad ibnu Abbad. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Abu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad, dari ibunya,
dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki atau perempuan muslim tertimpa suatu musibah, lalu ia mengingatnya, sekalipun waktunya telah berlalu —Abbad
mengatakan, "Sekalipun waktunya telah silam"—, kemudian ingatannya itu menggerakkannya untuk membaca istirja', melainkan Allah memperbarui untuknya saat itu dan memberikan kepadanya pahala yang semisal dengan pahala ketika
di hari ia tertimpa musibah.Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayah-nya.
Ismail ibnu Ulayyah dan Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan pula hadis yang sama, dari Hisyam ibnu Ziad, dari ibunya, dari Fatimah, dari ayahnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ السَّالَحِينِيُّ، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ قَالَ: دفنتُ ابْنًا لِي، فَإِنِّي لَفِي الْقَبْرِ إِذْ أَخَذَ بِيَدِي أَبُو طَلْحَةَ -يَعْنِي الْخَوْلَانِيُّ -فَأَخْرَجَنِي، وَقَالَ لِي: أَلَا أُبَشِّرُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: حَدَّثَنِي الضَّحَّاكُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عرْزَب، عَنْ أَبِي مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ اللَّهُ :يَا مَلَكَ الْمَوْتِ، قبضتَ وَلَدَ عَبْدِي؟ قَبَضْتَ قُرَّة عَيْنِهِ وَثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَمَا قَالَ؟ قَالَ: حَمِدَك وَاسْتَرْجَعَ، قَالَ: ابْنُو لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ، وسمُّوه بيتَ الْحَمْدِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq As-Sailahini, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Samalah, dari Abu Sinan yang menceritakan, "Aku baru menguburkan salah seorang anakku
yang meninggal dunia. Ketika aku masih berada di pekuburan, tiba-tiba tanganku dipegang oleh Abu Talhah Al-Aulani, lalu ia mengeluarkan aku dari pekuburan itu dan berkata kepadaku, 'Maukah engkau aku sampaikan berita gembira
kepadamu?' Aku menjawab, 'Tentu saja mau'." Abu Talhah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Auzab, dari Abu Musa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Allah berfirman, "Hai malaikat maut, engkau telah mencabut anak hamba-Ku, engkau telah mencabut nyawa penyejuk mata dan buah hatinya!" Malaikat maut menjawab, "Ya." Allah Swt. bertanya, "Lalu apa yang dikatakannya?"
Malaikat maut menjawab, "Dia memuji dan ber-istirja' kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Bangunkanlah buatnya sebuah gedung di dalam surga dan namailah gedung itu dengan sebutan Baitul Hamdi (rumah pujian)."
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Ali ibnu Ishaq, dari Abdullah ibnul Mubarak, lalu ia mengetengahkannya. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Suwaid ibnu Nasr, dari Ibnul Mubarrak.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Nama asli Abu Sinan ialah Isa ibnu Sinan.
Surat Al-Baqarah |2:156|
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
allażiina iżaaa ashoobat-hum mushiibah, qooluuu innaa lillaahi wa innaaa ilaihi rooji'uun
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
Who, when disaster strikes them, say, "Indeed we belong to Allah, and indeed to Him we will return."
(Yaitu orang-orang yang apabila mereka ditimpa musibah) bencana atau malapetaka (mereka mengucapkan, 'Innaa lillaahi') artinya sesungguhnya kita ini milik Allah;
- maksudnya menjadi milik dan hamba-Nya yang dapat diperlakukan-Nya sekehendak-Nya, ('wa innaa ilaihi raaji`uun') artinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita akan kembali, yakni ke akhirat,
di sana kita akan diberi-Nya balasan. Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang istirja`/mengucapkan 'innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun' ketika mendapat musibah,
maka ia diberi pahala oleh Allah dan diiringi-Nya dengan kebaikan." Juga diberitakan bahwa pada suatu ketika lampu Nabi saw.
padam, maka beliau pun mengucapkan istirja`, lalu kata Aisyah, "Bukankah ini hanya sebuah lampu!" Jawabnya, "Setiap yang mengecewakan (hati) orang mukmin itu berarti musibah.
" Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kumpulan hadis-hadis mursalnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 156 |
Penjelasan ada di ayat 155
Surat Al-Baqarah |2:157|
أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
ulaaa`ika 'alaihim sholawaatum mir robbihim wa roḥmah, wa ulaaa`ika humul-muhtaduun
Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Those are the ones upon whom are blessings from their Lord and mercy. And it is those who are the [rightly] guided.
(Mereka itulah yang mendapat selawat) artinya ampunan (dari Tuhan mereka serta rahmat) atau nikmat (dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk) ke arah yang benar.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 157 |
Penjelasan ada di ayat 155
Surat Al-Baqarah |2:158|
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
innash-shofaa wal-marwata min sya'aaa`irillaah, fa man ḥajjal-baita awi'tamaro fa laa junaaḥa 'alaihi ay yaththowwafa bihimaa, wa man tathowwa'a khoiron fa innalloha syaakirun 'aliim
Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.
Indeed, as-Safa and al-Marwah are among the symbols of Allah. So whoever makes Hajj to the House or performs 'umrah - there is no blame upon him for walking between them. And whoever volunteers good - then indeed, Allah is appreciative and Knowing.
(Sesungguhnya Safa dan Marwah) nama dua bukit di Mekah (adalah sebagian dari syiar-syiar Allah) tanda-tanda kebesaran agama-Nya, jamak dari 'syaa`irah.'
(Barang siapa yang melakukan ibadah haji atau umrah) artinya memakai pakaian haji atau umrah.
Asal makna keduanya adalah menyengaja dan berkunjung, (maka tiada salah baginya) artinya ia tidak berdosa (mengerjakan sai) asalkan sebanyak tujuh kali.
Ayat ini turun tatkala kaum muslimin tidak bersedia melakukannya, disebabkan orang-orang jahiliah dulu biasa tawaf di sana sambil menyapu dua berhala yang terdapat pada keduanya.
Menurut Ibnu Abbas bahwa sai itu hukumnya tidak wajib, hanya takhyir, artinya dibolehkan memilih sebagai akibat tidak berdosa.
Tetapi Syafii dan ulama lainnya berpendapat bahwa sai adalah rukun dan hukum fardunya dinyatakan oleh Nabi saw. dengan sabdanya, "Sesungguhnya Allah mewajibkan sai atas kamu."
(H.R. Baihaqi) Sabdanya pula, "Mulailah dengan apa yang dimulai Allah, yakni Shafa." (H.R. Muslim) (Dan barang siapa yang dengan kemauan sendiri berbuat) ada yang membaca 'Taththawwa`a',
yaitu dengan ditasydidkan ta pada tha, lalu diidgamkan (suatu kebaikan) maksudnya amalan yang tidak wajib seperti tawaf dan lain-lainnya.
(maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri) perbuatannya itu dengan memberinya pahala (lagi Maha Mengetahui).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 158 |
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa'd, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata
kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, "Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya." Siti Aisyah berkata, "Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu,
hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi 'Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya'. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah
karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah
melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa
bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya '(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah r.a. berkata, "Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan (mewajibkan) sa'i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang
untuk tidak melakukan sa'i di antara keduanya."Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain.Di dalam sebuah riwayat dari Az-Zuhri disebutkan, ia mengatakan bahwa ia menceritakan hadis ini
kepada Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam. Maka Abu Bakar ibnu Abdur Rahman menjawab, "Sesungguhnya pengetahuan mengenai ini belum pernah kudengar, dan sesungguhnya aku pernah mendengar
dari banyak lelaki dari kalangan ahlul 'ilmi. Mereka mengatakan, 'Sesungguhnya orang-orang —kecuali yang disebutkan oleh Siti Aisyah— mengatakan bahwa tawaf di antara kedua batu ini (Safa dan Marwah) termasuk perbuatan Jahiliah.
' Orang-orang lain dari kalangan Ansar mengatakan, 'Sesungguhnya kami hanya diperintahkan melakukan tawaf di Baitullah dan tidak diperintahkan untuk tawaf antara Safa dan Marwah.' Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ' (Al-Baqarah: 158). Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Barangkali ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka (sebagian ahlul ilmi) dan mereka
(kalangan orang-orang Ansar) yang lainnya." Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Malik, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang lafaznya semisal dengan hadis di atas.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ سُليمان قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسًا عَنِ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَ: كُنَّا نَرَى ذَلِكَ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الْإِسْلَامُ أَمْسَكْنَا عَنْهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Asim ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah, bertanya kepada Anas r.a. tentang masalah Safa dan Marwah. Maka Anas r.a.
menjawab, "Pada mulanya kami menganggap termasuk perkara Jahiliah. Ketika Islam datang, maka kami berhenti melakukan tawaf di antara keduanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah bagian
dari syiar Allah.' (Al-Baqarah: 158)Imam Qurtubi menyebutkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa setan-setan menyebar di antara Safa dan Marwah di sepanjang malam, di antara keduanya banyak
terdapat berhala-berhala. Ketika Islam datang, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang melakukan sa'i di antara keduanya, maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).Asy-Sya'bi mengatakan, "Dahulu berhala Isaf berada di atas Safa,
dan berhala Nailah berada di atas Marwah; mereka selalu mengusap keduanya. Akhirnya mereka merasa berdosa sesudah masuk Islam untuk melakukan tawaf di antara keduanya. Maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 158).
Menurut kami, Muhammad ibnu Ishaq menyebutkan di dalam kitab Sirah-nya bahwa berhala Isaf dan Nailah pada mulanya adalah dua orang manusia (laki-laki dan perempuan), lalu keduanya berzina di dalam Ka'bah, maka keduanya dikutuk
menjadi batu. Kemudian orang-orang Quraisy memancangkan keduanya di dekat Ka'bah untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi orang lain. Ketika masa berlalu cukup lama, keduanya disembah, kemudian letaknya dipindahkan
ke Safa dan Marwah, lalu keduanya dipancangkan di tempat tersebut. Setiap orang yang melakukan tawaf (sa'i) di antara Safa dan Marwah selalu mengusap keduanya. Karena itu, Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu kasidahnya
yang terkenal:
وَحَيْثُ يُنِيخُ الْأَشْعَرُونَ رِكَابَهُمْ ... بِمَفْضَى السِّيُولُ مِنْ إِسَافِ وَنَائِلِ ...
Di tempat orang-orang yang ziarah menambatkan unta-unta kendaraan mereka, mereka benar-benar bagaikan air bah turun dari Isaf dan Nailah.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jabir yang cukup panjang,
bahwa ketika Rasulullah Saw. selesai dari tawafnya di Baitullah, maka beliau kembali ke rukun, lalu mengusapnya, kemudian keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian
dari syiar Allah. (Al-Baqarah: 158)Kemudian beliau Saw. bersabda:
"أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Aku memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni dari Safa ke Marwah).Di dalam riwayat Imam Nasai disebutkan:
"ابدؤوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"
Mulailah oleh kalian dengan apa yang dimulai oleh Allah!
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا شُرَيْحٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمَّلِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، عَنْ حَبِيبة بِنْتِ أَبِي تَجْرَاةَ قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَالنَّاسُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَهُوَ وَرَاءَهُمْ، وَهُوَ يَسْعَى حَتَّى أَرَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ شِدَّةِ السَّعْيِ يَدُورُ بِهِ إِزَارُهُ، وَهُوَ يَقُولُ: "اسعَوا، فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abdullah Muammal, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Safiyyah binti Syaibah, dari Habibah binti Abu Tajrah yang menceritakan:
Aku melihat Rasulullah Saw. sa'i antara Safa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di bagian depannya dan beliau di belakang mereka seraya bersa'i, hingga aku melihat kedua lutut-nya, karena sa'inya yang kencang hingga kain
sarungnya berputar seraya mengatakan, "Bersa'ilah kalian, karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian."
ثُمَّ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ وَاصِلٍ -مَوْلَى أَبِي عُيَينة -عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ (4) عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ، أَنَّ امْرَأَةً أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا سَمِعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ يَقُولُ: "كُتِبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيُ، فَاسْعَوْا"
Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula dari Abdur Razzaq yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Wasil maula Abu Uyaynah, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Safiyyah binti Syaibah,
bahwa ada seorang wanita menceritakan kepadanya; dia pernah mendengar Nabi Saw. di antara Safa dan Marwah menyerukan: Telah difardukan atas kalian sa'i. Karena ilu, bersa'ilah kalian!Hadis ini dijadikan dalil oleh orang
yang mengatakan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah merupakan salah satu dari rukun ibadah haji, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan para pengikutnya, dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang merupakan
pendapat yang terkenal dari Imam Malik.Menurut suatu pendapat, sa'i bukan rukun haji, tetapi hukumnya wajib. Karena itu, barang siapa yang meninggalkannya —baik dengan sengaja atau lupa— ia dapat menggantinya dengan
menyembelih kurban. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dijadikan pegangan oleh segolongan ulama. Menurut pendapat yang lain, sa'i hukumnya sunat. Hal ini dikatakan oleh Imam Abu Hanifah,
As'-Sauri, Asy-Sya'bi, dan Ibnu Sirin yang bersumberkan dari riwayat Anas, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas; juga diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Al-Utabiyyah. Menurut Imam Qurtubi, alasan mereka mengatakannya sunat
berdasarkan firman-Nya: Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)Akan tetapi, pendapat yang pertama lebih kuat karena Rasulullah Saw. melakukan sa'i antara keduanya
seraya mengucapkan:
"لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"
Hendaklah kalian mengambil dariku manasik-manasik kalian.Semua yang dilakukan oleh Nabi Saw. dalam hajinya itu hukumnya wajib dan harus dikerjakan dalam ibadah haji, kecuali hal-hal yang dikecualikan berdasarkan dalil. Dalam keterangan terdahulu telah disebutkan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ»
Bersa'ilah kalian! Karena sesungguhnya Allah telah memfardukan sa'i atas kalian.Allah Swt. telah menjelaskan bahwa sa'i antara Safa dan Marwah termasuk salah satu syiar Allah, yakni salah satu syiar yang disyariatkan oleh Allah Swt.
kepada Nabi Ibrahim a.s. dalam manasik haji. Telah dijelaskan pula dalam hadis Ibnu Abbas bahwa asal mula hal tersebut diambil dari tawaf Siti Hajar, ia pulang pergi antara Safa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk putranya
ketika persediaan air dan bekal mereka habis setelah mereka ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim a.s. di tempat tersebut. Sedangkan di tempat itu tidak ada seorang manusia pun selain mereka berdua.Ketika Siti Hajar merasa khawatir
terhadap kelangsungan hidup putranya di tempat itu karena perbekalannya telah habis, maka Siti Hajar meminta pertolongan kepada Allah Swt. Ia mondar-mandir antara Safa dan Marwah seraya merendahkan diri, penuh dengan rasa takut
kepada Allah dan sangat mengharapkan pertolongan-Nya, hingga Allah membebaskannya dari kesusahannya itu, dan mengusir rasa keterasingannya, melenyapkan kesengsaraannya, serta menganugerahkan kepadanya zamzam
yang airnya merupakan makanan yang mengenyangkan dan obat penawar bagi segala penyakit.Karena itu, orang yang melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah hendaknya melakukannya dengan hati yang penuh harap kepada Allah,
rendah diri dan memohon petunjuk serta perbaikan keadaannya, dan mengharapkan ampunan-Nya. Hendaknya dia berlindung kepada Allah Swt. agar dibebaskan dari semua kekurangan dan aib yang ada pada dirinya, dan memohon
hidayah-Nya akan jalan yang lurus. Hendaknya dia memohon kepada Allah agar hatinya ditetapkan pada hidayah itu (Islam) hingga akhir hayatnya. Hendaknya ia memohon kepada Allah agar Dia mengalihkan keadaan dirinya
yang penuh dengan dosa dan kedurhakaan kepada keadaan yang sempurna, ampunan, keteguhan hati dalam menempuh jalan yang lurus, seperti apa yang dialami oleh Siti Hajar a.s.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا}
Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati. (Al-Baqarah: 158)Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i lebih dari yang telah diwajibkan, misalnya delapan kali putaran
atau sembilan kali putaran.Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah melakukan sa'i di antara Safa dan Marwah dalam haji tatawwu' (sunat) dan 'umrah tatawwu'.Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud
ialah melakukan tambahan kebaikan dalam semua jenis ibadah. Semuanya diriwayatkan oleh Ar-Razi, dan pendapat yang ketiga dikaitkan dengan Al-Hasan Al-Basri.
**********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ}
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 158)Yakni Allah memberi pahala kepada amal yang sedikit dan amal yang banyak tanpa pandang bulu, lagi Maha Mengetahui kadar pahala
yang diberikan-Nya; maka tiada seorang pun dirugikan dalam menerima pahala dari-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:
ولا يَظْلِمُ مِثْقالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضاعِفْها وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْراً عَظِيماً
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang, walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40)
Surat Al-Baqarah |2:159|
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
innallażiina yaktumuuna maaa anzalnaa minal-bayyinaati wal-hudaa mim ba'di maa bayyannaahu lin-naasi fil-kitaabi ulaaa`ika yal'anuhumullohu wa yal'anuhumul-laa'inuun
Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Quran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat, [...]
Indeed, those who conceal what We sent down of clear proofs and guidance after We made it clear for the people in the Scripture - those are cursed by Allah and cursed by those who curse,
Ayat berikut ini turun tentang orang-orang Yahudi, (Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan) kepada manusia (apa-apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk)
seperti ayat rajam dan tentang ciri-ciri Nabi Muhammad saw. (setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Alkitab) yakni Taurat (mereka itu dikutuk oleh Allah)
maksudnya disingkirkan-Nya dari rahmat-Nya (dan dikutuk pula oleh makhluk-makhluk lainnya dengan mendoakannya agar mendapat kutukan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 159 |
Tafsir 159-162
Ancaman yang keras buat orang yang menyembunyikan apa yang telah disampaikan oleh rasul-rasul berupa keterangan-keterangan yang jelas yang bertujuan benar serta petunjuk yang bermanfaat bagi had manusia, sesudah dijelaskan
oleh Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya melalui kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya.Abul Aliyah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Ahli Kitab. Mereka menyembunyikan sifat
Nabi Muhammad Saw. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa segala sesuatu melaknat perbuatan mereka itu; sebagaimana halnya orang yang alim, segala sesuatu memohonkan ampun baginya, hingga ikan-ikan yang ada di air
dan burung-burung yang ada di udara. Sikap mereka (Ahli Kitab) bertentangan dengan sikap ulama. Karena itu, mereka dilaknat oleh Allah, dan segala sesuatu ikut melaknat mereka.Telah disebutkan di dalam hadis musnad melalui berbagai
jalur yang satu sama lainnya saling memperkuat predikat hadis, dari Abu Hurairah dan lain-lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ سُئِل عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ"
Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, niscaya dia akan disumbat kelak di hari kiamat dengan tali kendali dari api neraka.Di dalam kitab sahih dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ia pernah mengatakan,
"Seandainya tidak ada suatu ayat dalam Kilabullah, niscaya aku tidak akan menceritakan apa pun kepada orang lain." Yang dimaksud ialah firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan
berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk. (Al-Baqarah: 159), hingga akhir ayat.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنَا عَمَّارُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ زَاذَانَ أَبِي عُمَر عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةٍ، فَقَالَ: "إِنَّ الْكَافِرَ يُضْرَبُ ضَرْبَةً بَيْنَ عَيْنَيْهِ، فَيَسْمَعُ كُلُّ دَابَّةٍ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ، فَتَلْعَنُهُ كُلُّ دَابَّةٍ سَمِعَتْ صَوْتَهُ، فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ} يَعْنِي: دَوَابُّ الْأَرْضِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Muhammad, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zazan Abu Umar, dari Al-Barra ibnu Azib
yang menceritakan: Bahwa kami pernah bersama Nabi Saw. menghadiri suatu jenazah, maka beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya orang kafir akan dipukul sekali pukul di antara kedua matanya; semua makhluk hidup mendengar
(jeritan)nya selain manusia dan jin, maka semua hewan yang mendengar suaranya melaknatnya. Yang demikian itu adalah firman Allah Swt., 'Mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati!'
(Al-Baqarah: 159), yakni semua hewan bumi." Ibnu Majah meriwayatkan pula hadis ini dari Muhammad ibnus Sabah, dari Amir ibnu Muhammad dengan lafaz yang sama. Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa semua hewan, jin,
dan manusia turut melaknatinya.Mujahid mengatakan bahwa apabila bumi kekeringan (paceklik), maka semua hewan mengatakan, "Ini akibat orang-orang yang durhaka dari Bani Adam, semoga Allah melaknat orang-orang durhaka
dari Bani Adam."Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. (Al-Baqarah: 159) Yakni mereka dilaknati oleh para malaikat
dan orang-orang mukmin. Telah disebutkan di dalam sebuah hadis bahwa orang yang alim itu dimintakan ampunan baginya oleh segala sesuatu sehingga ikan-ikan yang ada di laut memintakan ampunan buatnya.
Di dalam ayat ini (Al-Baqarah ayat 159) disebutkan bahwa orang yang menyembunyikan ilmu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat, seluruh manusia, dan semua makhluk yang dapat melaknati. Mereka adalah semua makhluk
yang dapat berbicara dan yang tidak dapat bicara, baik dengan lisan ataupun dengan perbuatan, jika makhluk itu termasuk yang berakal pada hari kiamat.Kemudian Allah Swt. mengecualikan dari mereka orang-orang yang bertobat
kepada-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا}
Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran). (Al-Baqarah: 160)Yaitu mereka kembali sadar dari apa yang sebelumnya mereka lakukan dan mau memperbaiki amal perbuatannya
serta menjelaskan kepada orang-orang semua apa yang sebelumnya mereka sembunyikan.
{فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}
Maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Aku-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 160)Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa orang yang menyeru kepada kekufuran atau bid'ah,
apabila ia bertobat kepada Allah, niscaya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya telah disebutkan bahwa umat-umat terdahulu yang melakukan perbuatan seperti itu, tobat mereka tidak diterima, karena sesungguhnya hal ini
merupakan kekhususan bagi syariat Nabi pembawa tobat, yaitu Nabi pembawa rahmat; semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya.Kemudian Allah Swt. menceritakan keadaan orang yang kafir dan tetap pada kekafirannya
hingga ia mati, melalui firman-Nya:
{عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ * خَالِدِينَ فِيهَا}
Mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu. (Al-Baqarah: 161-162)Maksudnya, laknat terus mengikuti mereka sampai hari kiamat, kemudian laknat membarenginya
di dalam neraka Jahannam yang tidak diringankan siksa dari mereka di dalamnya. Dengan kata lain, siksaan yang menimpa mereka tidak dikurangi, tidak pula mereka diberi tangguh; yakni tidak ada perubahan barang sesaat pun,
tidak pula ada henti-hentinya, bahkan siksaan terus-menerus berlangsung terhadap dirinya. Semoga Allah melindungi kita dari siksaan tersebut.Abul Aliyah dan Qatadah mengatakan, sesungguhnya orang kafir itu akan dihentikan
di hari kiamat, lalu Allah melaknatnya, kemudian para malaikat melaknatnya pula, setelah itu manusia seluruhnya melaknatnya.Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah boleh melaknat orang-orang kafir.
Sesungguhnya dahulu Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. serta para imam sesudahnya melak-nati orang-orang kafir dalam doa qunut mereka dan doa lainnya.Mengenai orang kafir tertentu, ada segolongan ulama yang berpendapat
tidak boleh melaknatinya, dengan alasan bahwa kita belum mengetahui khatimah apakah yang dikehendaki oleh Allah buatnya. Sebagian di antara ulama memperbolehkan demikian dengan berdalilkan firman-Nya: Sesungguhnya
orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya. (Al-Baqarah: 161)Segolongan ulama lainnya berpendapat, bahkan boleh melaknati orang kafir
yang tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Al-Faqih Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki, tetapi dalil yang dijadikan pegangannya adalah sebuah hadis yang di dalamnya mengandung ke-daif-an. Sedangkan selain Abu Bakar ibnul Arabi berdalilkan
sabda Rasulullah Saw. dalam kisah seorang lelaki pemabuk yang dihadapkan kepadanya, lalu beliau menjatuhkan hukuman hati terhadapnya. Kemudian ada seorang lelaki (lain) yang mengatakan, "Semoga Allah melaknatinya,
alangkah besar dosa yang dilakukannya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"لَا تَلْعَنْهُ فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ"
Janganlah engkau melaknatinya, karena sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya boleh dilaknati.
Surat Al-Baqarah |2:160|
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَٰئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
illallażiina taabuu wa ashlaḥuu wa bayyanuu fa ulaaa`ika atuubu 'alaihim, wa anat-tawwaabur-roḥiim
kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.
Except for those who repent and correct themselves and make evident [what they concealed]. Those - I will accept their repentance, and I am the Accepting of repentance, the Merciful.
(Kecuali orang-orang yang tobat) artinya sadar dan kembali dari kesalahannya, (mengadakan perbaikan) mengenai amal perbuatan mereka, (dan memberikan penjelasan) tentang apa yang mereka sembunyikan itu,
(maka terhadap mereka Kuterima tobatnya) (dan Aku Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang) terhadap orang-orang yang beriman.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 160 |
Penjelasan ada di ayat 159
Surat Al-Baqarah |2:161|
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
innallażiina kafaruu wa maatuu wa hum kuffaarun ulaaa`ika 'alaihim la'natullohi wal-malaaa`ikati wan-naasi ajma'iin
Sungguh, orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya,
Indeed, those who disbelieve and die while they are disbelievers - upon them will be the curse of Allah and of the angels and the people, all together,
(Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir) menjadi 'hal' (mereka itu mendapat kutukan Allah, malaikat dan manusia seluruhnya)
maksudnya wajar mendapat kutukan itu baik di dunia maupun di akhirat. Mengenai 'manusia' ada yang mengatakannya umum dan ada pula yang mengatakannya khusus dari orang-orang beriman.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 161 |
Penjelasan ada di ayat 159
Surat Al-Baqarah |2:162|
خَالِدِينَ فِيهَا ۖ لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ
khoolidiina fiihaa, laa yukhoffafu 'an-humul-'ażaabu wa laa hum yunzhoruun
mereka kekal di dalamnya (laknat), tidak akan diringankan azabnya, dan mereka tidak diberi penangguhan.
Abiding eternally therein. The punishment will not be lightened for them, nor will they be reprieved.
(Mereka kekal di dalamnya) maksudnya dalam kutukan atau dalam neraka sebagaimana diisyaratkan dalam kutukan itu. (Tidak diringankan siksa dari mereka) walaupun sekejap mata
(dan tidak pula mereka diberi tenggang waktu) untuk mengajukan tobat atau memohon ampun. Ayat berikut diturunkan ketika mereka berkata, "Gambarkanlah kepadaku tentang Tuhanmu!"
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 162 |
Penjelasan ada di ayat 159
Surat Al-Baqarah |2:163|
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
wa ilaahukum ilaahuw waaḥid, laaa ilaaha illaa huwar-roḥmaanur-roḥiim
Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
And your god is one God. There is no deity [worthy of worship] except Him, the Entirely Merciful, the Especially Merciful.
(Dan Tuhanmu) yang patut menjadi sembahanmu, (adalah Tuhan Yang Maha Esa) yang tiada bandingan-Nya, baik dalam zat maupun sifat, (tiada Tuhan melainkan Dia)
(Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).Ketika mereka menuntut buktinya, turunlah ayat,
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 163 |
Melalui ayat ini Allah Swt. menceritakan bahwa diri-Nya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, tiada yang sama dengan-Nya. Dia adalah Allah Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu,
yang tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali hanya Dia, dan bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Tafsir kedua asma ini telah dikemukakan dalam permulaaan tafsir surat Al-Fatihah. Di dalam sebuah hadis:
عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يزيد بْنِ السَّكَنِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "اسْمُ اللَّهِ الْأَعْظَمُ فِي هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ: {وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ} وَ {الم * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ}
dari Syahr ibnu Hausyab, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan, dari Rasulullah Saw., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Nama Allah Yang Mahaagung terdapat di dalam dua ayat berikut," yakni firman-Nya: Dan Tuhan kalian
adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163). Alif Lam Mim. Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi senantiasa berdiri sendiri. (Ali Imran: 1-2)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat-Nya Yang Maha Esa melalui penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya semua makhluk yang diciptakan dan diadakan-Nya, yang semuanya menunjukkan akan keesaan-Nya.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Surat Al-Baqarah |2:164|
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
inna fii kholqis-samaawaati wal-ardhi wakhtilaafil-laili wan-nahaari wal-fulkillatii tajrii fil-baḥri bimaa yanfa'un-naasa wa maaa anzalallohu minas-samaaa`i mim maaa`in fa aḥyaa bihil-ardho ba'da mautihaa wa baṡṡa fiihaa ming kulli daaabbatiw wa tashriifir-riyaaḥi was-saḥaabil-musakhkhori bainas-samaaa`i wal-ardhi la`aayaatil liqoumiy ya'qiluun
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.
Indeed, in the creation of the heavens and earth, and the alternation of the night and the day, and the [great] ships which sail through the sea with that which benefits people, and what Allah has sent down from the heavens of rain, giving life thereby to the earth after its lifelessness and dispersing therein every [kind of] moving creature, and [His] directing of the winds and the clouds controlled between the heaven and the earth are signs for a people who use reason.
(Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi) yakni keajaiban-keajaiban yang terdapat pada keduanya (serta pergantian malam dan siang) dengan datang dan pergi, bertambah serta berkurang,
(serta perahu-perahu) atau kapal-kapal (yang berlayar di lautan) tidak tenggelam atau terpaku di dasar laut (dengan membawa apa yang berguna bagi manusia)
berupa barang-barang perdagangan dan angkutan, (dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air) hujan, (lalu dihidupkan-Nya bumi dengannya) yakni dengan tumbuhnya tanam-tanaman (setelah matinya)
maksudnya setelah keringnya (dan disebarkan di bumi itu segala jenis hewan) karena mereka berkembang biak dengan rumput-rumputan yang terdapat di atasnya,
(serta pengisaran angin) memindahkannya ke utara atau ke selatan dan mengubahnya menjadi panas atau dingin (dan awan yang dikendalikan) atas perintah Allah Taala,
sehingga ia bertiup ke mana dikehendaki-Nya (antara langit dan bumi) tanpa ada hubungan dan yang mempertalikan (sungguh merupakan tanda-tanda) yang menunjukkan keesaan Allah Taala (bagi kaum yang memikirkan) serta merenungkan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 164 |
Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi yang kita lihat sekarang ketinggiannya, keindahannya, keluasannya, bintang-bintangnya yang beredar, yang tetap, serta perputaran falak (kosmik)nya;
dan bumi ini yang dengan kepadatannya, lembah-lembahnya, gunung-gunungnya, lautannya, padang saharanya, hutan belantaranya, dan keramaiannya serta segala sesuatu yang ada padanya berupa berbagai macam manfaat;
pergantian malam dan siang hari; datang, lalu pergi, kemudian digantikan dengan yang lainnya secara silih berganti tanpa ada keterlambatan barang sedikit pun, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ}
Tidaklah mungkin matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)Adakalanya yang ini panjang dan yang itu pendek, dan adakalanya
yang ini mengambil sebagian waktu dari yang itu. Demikianlah set-rusnya secara bergantian, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ}
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. (Al Hajj: 61, Luqman: 29, Fathir: 13, Al-Hadid: 6)Dengan kata lain, menambahkan yang ini dari yang itu dan menambahkan yang itu dari yang ini. ********* Firman Allah Swt.:
{وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ}
Bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia. (Al-Baqarah: 164)Yakni Allah menundukkan laut agar dapat membawa berlayar perahu-perahu dari satu pantai ke pantai yang lain untuk keperluan penghidupan
manusia dan dapat dimanfaatkan oleh para penduduk yang berada di kawasan tersebut, sebagai jalur transportasi untuk mengangkut keperluan-keperluan dari suatu pantai ke pantai yang lainnya secara timbal balik.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَمَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا}
dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya. (Al-Baqarah: 164)Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْناها وَأَخْرَجْنا مِنْها حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ- إلى قوله- وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan —sampai dengan firman-Nya,
"Maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"— (Yasin: 33-36).
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ}
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. (Al-Baqarah: 164)dengan berbagai macam bentuk, warna, kegunaan, kecil, dan besar-nya. Dia Maha Mengetahui semuanya itu dan Dia memberinya rezeki,
tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya dari hal itu, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّها وَمُسْتَوْدَعَها كُلٌّ فِي كِتابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud: 6) *********** Firman Allah Swt.:
{وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ}
dan pengisaran angin. (Al-Baqarah: 164)Yakni adakalanya datang membawa rahmat, dan adakalanya datang membawa bencana. Adakalanya angin datang membawa tanda yang menggembirakan, yaitu awan yang mengandung hujan;
adakalanya angin menggiringnya dan menghimpunkannya; dan adakalanya mencerai-beraikannya, lalu mengusirnya. Kemudian adakalanya ia datang dari arah selatan yang dikenal dengan angin syamiyah, adakalanya datang
dari arah negeri Yaman, dan adakalanya bertiup dari arah timur yang menerpa bagian muka Ka'bah, kemudian adakalanya ia bertiup dari arah barat yang menerpa dari arah bagian belakang Ka'bah. Memang ada sebagian orang
yang menulis tentang angin, hujan, dan bintang-bintang ke dalam banyak karya tulis, yang pembahasannya memerlukan keterangan yang panjang bila dikemukakan di sini.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ}
dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. (Al-Baqarah: 164)Yakni bergerak antara langit dan bumi, ditundukkan menuju tempat-tempat yang dikehendaki oleh Allah dan dipalingkan menurut apa yang dikehendaki-Nya. *********** Firman Allah Swt.:
{لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ}
sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)Yakni dalam kesemuanya itu benar-benar terdapat tanda-tanda yang jelas menunjukkan keesaan Allah Swt.
dan kebesaran kekuasaan-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ * الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ}
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali Imran: 190-191)
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الدَّشْتَكِيّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: أَتَتْ قُرَيْشٌ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ إِنَّمَا نُرِيدُ أَنْ تَدْعُوَ رَبَّكَ أَنْ يَجْعَلَ لَنَا الصَّفَا ذَهَبًا، فَنَشْتَرِيَ بِهِ الْخَيْلَ وَالسِّلَاحَ، فَنُؤْمِنَ بِكَ وَنُقَاتِلَ مَعَكَ. قَالَ: "أَوْثِقُوا لِي لئِنْ دعوتُ رَبِّي فجعلَ لَكُمُ الصَّفَا ذَهَبًا لتُؤْمنُنّ بِي" فَأَوْثَقُوا لَهُ، فَدَعَا رَبَّهُ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبَّكَ قَدْ أَعْطَاهُمُ الصَّفَا ذَهَبًا عَلَى أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِكَ عَذَّبَهُمْ عَذَابًا لَمْ يُعَذِّبْهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ. قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "رَبِّ لَا بَلْ دَعْنِي وَقَوْمِي فَلَأَدْعُهُمْ يَوْمًا بِيَوْمٍ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ: {إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ} الآية.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Sa'id Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakek,
dari Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Orang-orang Quraisy datang kepada Nabi Saw., lalu mereka berkata, "Hai Muhammad, sesungguhnya kami
menginginkan kamu mendoakan kepada Tuhanmu agar Dia menjadikan Bukit Safa ini emas buat kami. Untuk itu maka kami akan membeli kuda dan senjata dengannya, dan kami akan beriman kepadamu serta berperang bersamamu.
" Nabi Saw. menjawab, "Berjanjilah kalian kepadaku, bahwa sekiranya aku berdoa kepada Tuhanku, kemudian Dia menjadikan bagi kalian Bukit Safa emas, kalian benar-benar akan beriman kepadaku." Maka mereka mengadakan perjanjian
dengan Nabi Saw. untuk hal tersebut. Lalu Nabi Saw. berdoa kepada Tuhannya, dan datanglah Malaikat Jibril kepadanya, lalu berkata, "Sesungguhnya Tuhanmu sanggup menjadikan Bukit Safa emas buat mereka,
dengan syarat jika mereka tidak juga beriman kepadamu, maka Allah mengazab mereka dengan siksaan yang belum pernah Dia timpakan kepada seorang pun di antara makhluk-Nya.” Nabi Muhammad Saw. berkata, "Wahai Tuhanku,
tidak, lebih baik biarkanlah aku dan kaumku. Aku akan tetap menyeru mereka dari hari ke hari.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia.” (Al-Baqarah: 164), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula dari jalur lain melalui Ja'far ibnu Abul Mugirah dengan lafaz yang sama.
Ia menambahkan di akhirnya:
وَكَيْفَ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الصَّفَا وَهُمْ يَرَوْنَ مِنَ الْآيَاتِ مَا هُوَ أَعْظَمُ مِنَ الصَّفَا.
(Malaikat Jibril berkata), "Mengapa mereka meminta kepadamu Bukit Safa (agar dijadikan emas), padahal mereka melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang lebih besar daripada Bukit Safa itu?"Ibnu Abu Hatim mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata yang menceritakan bahwa diturunkan ayat berikut kepada Nabi Saw.
ketika di Madinah, yaitu firman-Nya: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163) Maka orang-orang kafir Quraisy di Mekah berkata,
"Bagaimanakah dapat memenuhi manusia semuanya hanya dengan satu Tuhan?" Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar
di laut membawa apa yang berguna bagi manusia —sampai dengan firman-Nya— sungguh (terdapat) tanda-tanda (kebesaran dan keesaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. (Al-Baqarah: 164)Dengan demikian, maka mereka mengetahui
bahwa Tuhan adalah Yang Maha Esa, dan Dia adalah Tuhan segala sesuatu serta Yang Menciptakan segala sesuatu.Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abud Duha,
bahwa ketika firman-Nya berikut diturunkan: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. (Al-Baqarah: 163), hingga akhir ayat. Maka orang-orang musyrik berkata, "Sekiranya demikian, hendaklah dia (Nabi Saw.)
mendatangkan kepada kami suatu tanda (bukti)." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang —sampai dengan firman-Nya— kaum yang memikirkan.
(Al-Baqarah: 164)Adam ibnu Iyas meriwayatkan pula dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Sa'id ibnu Masruq (orang tua Sufyan), dari Abud Duha dengan lafaz yang sama.
Surat Al-Baqarah |2:165|
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
wa minan-naasi may yattakhiżu min duunillaahi andaaday yuḥibbuunahum kaḥubbillaah, wallażiina aamanuuu asyaddu ḥubbal lillaahi walau yarollażiina zholamuuu iż yarounal-'ażaaba annal-quwwata lillaahi jamii'aw wa annalloha syadiidul-'ażaab
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).
And [yet], among the people are those who take other than Allah as equals [to Him]. They love them as they [should] love Allah. But those who believe are stronger in love for Allah. And if only they who have wronged would consider [that] when they see the punishment, [they will be certain] that all power belongs to Allah and that Allah is severe in punishment.
(Dan di antara manusia ada orang-orang yang mengambil selain dari Allah sebagai tandingan) misalnya berhala-berhala.
(Mereka mencintainya) dengan penghormatan dan ketundukan (sebagaimana mencintai Allah) maksudnya sebagaimana mereka mencintai-Nya (sedangkan orang-orang beriman lebih kuat cintanya kepada Allah)
melebihi kecintaan kepada siapa pun, karena mereka tak hendak berpaling daripada-Nya dalam keadaan bagaimana pun, sementara orang-orang kafir cintanya kepada Allah itu hanyalah dalam keadaan terdesak atau terpaksa.
(Dan sekiranya kamu lihat) hai Muhammad (orang-orang yang aniaya) yang mengambil sekutu-sekutu bagi Allah (ketika mereka melihat) atau diperlihatkan kepada mereka,
dalam bentuk aktif atau pun pasif (siksa) pastilah kamu akan menyaksikan peristiwa besar. Sedangkan 'idz' di sini berarti 'idzaa' atau 'apabila' (bahwa sesungguhnya)
maksudnya karena sesungguhnya (kekuatan itu) kekuasaan dan keunggulan (bagi Allah semuanya) menjadi 'hal', (dan bahwa Allah itu amat berat siksaan-Nya).
Menurut suatu qiraat dibaca 'yara' dengan titik dua di bawah, sedang yang menjadi fa`ilnya ialah dhamir atau kata ganti dari pendengar.
Ada pula yang mengatakan 'orang-orang yang aniaya' sedangkan 'yaraa' berarti meyakini, sementara 'anna' dan kalimat yang di belakangnya berfungsi sebagai maf`ul awwal dan maf`ul tsani.
Mengenai jawaban-jawaban 'lau' dibuang dan artinya diperkirakan sebagai berikut: Sekiranya mereka mengetahui secara pasti di atas dunia ini betapa kerasnya siksa Allah dan ketika bertemu dengan-Nya di akhirat nanti
kekuasaan terpegang di tangan-Nya semata, tentulah mereka tidak akan mengambil yang lain sebagai sekutu!
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 165 |
Tafsir ayat 165-167
Allah menyebutkan keadaan kaum musyrik dalam kehidupan di dunia dan apa yang bakal mereka peroleh di negeri akhirat, disebabkan mereka menjadikan tandingan-tandingan dan saingan-saingan serta sekutu-sekutu yang mereka sembah
bersama Allah, dan mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Padahal kenyataannya Allah adalah Tuhan yang tiada yang wajib disembah selain Dia. Tiada lawan, tiada tandingan,
dan tiada sekutu bagi-Nya.Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خلَقَك"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Rasulullah Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakan kamu." *********** Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ}
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah: 165)Demikian itu karena mereka cinta kepada Allah, makrifat kepada-Nya, mengagungkan-Nya, serta mengesakan-Nya; dan mereka sama sekali
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melainkan hanya menyembah-Nya semata dan bertawakal kepada-Nya serta kembali kepada-Nya dalam semua urusan mereka.Kemudian Allah Swt. mengancam orang-orang
yang mempersekutukan diri-Nya, yang berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا}
Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya. (Al-Baqarah: 165)Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa
makna ayat ini ialah, "Seandainya mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksaan tersebut, niscaya mereka mengetahui saat itu bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya."Dengan kata lain,
hanya Dia sematalah yang berhak menghukumi, tiada sekutu baginya; dan bahwa segala sesuatu itu berada di bawah keperkasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya. dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Al-Baqarah: 165)
Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ * وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ}
Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)Allah berfirman, "Seandainya mereka mengetahui apa yang bakal mereka alami di akhirat nanti
dan mengetahui apa yang bakal menimpa mereka, yaitu siksaan yang mengerikan lagi sangat besar karena perbuatan syirik dan keingkaran mereka, niscaya mereka akan bertobat dari kesesatannya."
Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal protes berhala-berhala sesembahan mereka terhadap diri mereka dan orang-orang yang diikuti berlepas diri dari perbuatan yang dilakukan oleh para pengikutnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا}
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya. (Al-Baqarah: 166)Yakni para malaikat yang mereka jadikan sebagai sesembahan mereka ketika di dunia berlepas diri dari perbuatan mereka, dan para malaikat mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{تَبَرَّأْنَا إِلَيْكَ مَا كَانُوا إِيَّانَا يَعْبُدُونَ}
Kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, mereka sekali-kali tidak menyembah kami. (Al-Qashash: 63)Mereka mengatakan pula seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
سُبْحانَكَ أَنْتَ وَلِيُّنا مِنْ دُونِهِمْ بَلْ كانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُمْ بِهِمْ مُؤْمِنُونَ
Malaikat-malaikat itu menjawab, "Mahasuci Engkau, Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu." (Saba': 41)Jin pun berlepas diri dari perbuatan mereka
serta memprotes penyembahan orang-orang musyrik terhadap diri mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلى يَوْمِ الْقِيامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعائِهِمْ غافِلُونَ. وَإِذا حُشِرَ النَّاسُ كانُوا لَهُمْ أَعْداءً وَكانُوا بِعِبادَتِهِمْ كافِرِينَ
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembdhan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila mereka
dihimpunkan (pada hari kiamat), niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka. (Al-Ahqaf: 5-6)
وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لِيَكُونُوا لَهُمْ عِزًّا. كَلَّا سَيَكْفُرُونَ بِعِبادَتِهِمْ وَيَكُونُونَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا
Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung mereka, sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya)
terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka. (Maryam: 81-82) Nabi Ibrahim Al-Khalil pernah berkata kepada kaumnya yang disitir oleh firman-Nya:
إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثاناً مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضاً وَمَأْواكُمُ النَّارُ وَما لَكُمْ مِنْ ناصِرِينَ
Sesungguhnya berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kalian dalam kehidupan dunia ini, kemudian di hari kiamat sebagian kalian mengingkari sebagian (yang lain)
dan sebagian kalian melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembali kalian ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagi kalian para penolong pun. (Al-'Ankabut 25)Dan Allah Swt. telah berfirman:
{وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلا أَنْتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ * قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَى بَعْدَ إِذْ جَاءَكُمْ بَلْ كُنْتُمْ مُجْرِمِينَ * وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَادًا وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الأغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata
kepada orang-orang yang menyombongkan diri, "Kalau tidaklah karena kalian, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman." Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, "Kamikah
yang telah menghalangi kalian dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa." Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang
yang menyombongkan diri, "(Tidak), sebenarnya tipu daya (kalian) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menja-dikan sekutu-sekutu bagi-Nya." Kedua belah pihak
menyatakan penyesalan talkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang belenggu-belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Saba': 31-33)
وَقالَ الشَّيْطانُ لَمَّا قُضِيَ الْأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَما كانَ لِي عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطانٍ إِلَّا أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلا تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَما أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِما أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذابٌ أَلِيمٌ
Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian janji yang benar; dan aku pun telah menjanjikan kepada kalian, tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan
bagiku terhadap kalian melainkan (sekadar) aku menyeru kalian, lalu kalian mematuhi seruanku. Oleh sebab itu, janganlah kalian mencerca aku, tetapi cercalah diri kalian sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolong kalian,
dan kalian pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatan kalian mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)
*************
Adapun firman Allah Swt.:
{وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ}
dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166)Yakni mereka melihat azab Allah dan terputuslah semua jalan untuk selamat, serta mereka tidak menjumpai suatu jalan keluar pun
yang dapat menghindarkan dan memalingkan mereka dari neraka.Ata meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan maksud firman-Nya: Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (Al-Baqarah: 166)
Yang dimaksud dengan asbab ialah hubungan intim dan kasih sayang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid di dalam riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Nujaih.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا}
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." (Al-Baqarah: 167)
Yakni seandainya kami dapat kembali lagi ke kehidupan di dunia, pastilah kami akan berlepas diri dari mereka dan tidak akan menyembah mereka dan kami tidak akan menoleh mereka barang sedikit pun, melainkan kami
akan mengesakan Allah dengan menyembah-Nya semata. Akan tetapi, sebenamya mereka berdusta dalam pengakuannya itu; dan bahkan seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia, niscaya mereka akan kembali melakukan hal-hal
yang dilarang mereka melakukannya, karena sesungguhnya mereka itu benar-benar berdusta, seperti yang diberitakan oleh Allah Swt. tentang kedustaan mereka dalam hal ini. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ}
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka. (Al-Baqarah: 167)Yakni amalan mereka lenyap dan hilang, Sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمالُهُمْ كَرَمادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عاصِفٍ
Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. (Ibrahim: 18), hingga akhir ayat.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ ماءً
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga. (An-Nur: 39), hingga akhir ayat.Karena itulah maka dalam akhir ayat disebutkan:
{وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ}
Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al-Baqarah: 167)
Surat Al-Baqarah |2:166|
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
iż tabarro`allażiinattubi'uu minallażiinattaba'uu wa ro`awul-'ażaaba wa taqoththo'at bihimul-asbaab
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus.
[And they should consider that] when those who have been followed disassociate themselves from those who followed [them], and they [all] see the punishment, and cut off from them are the ties [of relationship],
(Yakni ketika) menjadi badal bagi idz yang sebelumnya (orang-orang yang diikuti berlepas diri) maksudnya para pemimpin (dan orang-orang yang mengikuti)
maksudnya mereka menyalahkan kekeliruannya (dan) sesungguhnya (mereka melihat siksa dan ketika terputus) `athaf atau dihubungkan pada tabarra-a (dengan mereka)
maksudnya dari mereka (segala hubungan) yang terdapat di dunia selama ini berupa kekeluargaan dan kasih sayang.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 166 |
Penjelasan ada di ayat 165
Surat Al-Baqarah |2:167|
وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا ۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
wa qoolallażiinattaba'uu lau anna lanaa karrotan fa natabarro`a min-hum, kamaa tabarro`uu minnaa, każaalika yuriihimullohu a'maalahum ḥasarootin 'alaihim, wa maa hum bikhoorijiina minan-naar
Dan orang-orang yang mengikuti berkata, "Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka perbuatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka.
Those who followed will say, "If only we had another turn [at worldly life] so we could disassociate ourselves from them as they have disassociated themselves from us." Thus will Allah show them their deeds as regrets upon them. And they are never to emerge from the Fire.
(Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti, "Sekiranya kami dapat kembali) ke dunia (tentulah kami akan berlepas diri pula dari mereka) maksudnya dari pemimpin-pemimpin yang menjadi ikutan itu,
(sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.") sekarang ini. 'Lau' untuk menyatakan angan-angan, sedangkan natabarra-u menjadi jawabannya
.
(Demikianlah) artinya sebagaimana Allah memperlihatkan kepada mereka sangat keras siksaan-Nya sehingga sebagian mereka saling berlepas diri (Allah memperlihatkan amal perbuatan mereka) yang jelek (menjadi sesalan)
sebagai 'hal' (bagi mereka, dan mereka tidak akan dapat keluar dari neraka) yakni setelah memasukinya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 167 |
Penjelasan ada di ayat 165
Surat Al-Baqarah |2:168|
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
yaaa ayyuhan-naasu kuluu mimmaa fil-ardhi ḥalaalan thoyyibaw wa laa tattabi'uu khuthuwaatisy-syaithoon, innahuu lakum 'aduwwum mubiin
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.
O mankind, eat from whatever is on earth [that is] lawful and good and do not follow the footsteps of Satan. Indeed, he is to you a clear enemy.
Ayat berikut ini turun tentang orang-orang yang mengharamkan sebagian jenis unta/sawaib yang dihalalkan, (Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dari apa-apa yang terdapat di muka bumi)
halal menjadi 'hal' (lagi baik) sifat yang memperkuat, yang berarti enak atau lezat, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau jalan-jalan (setan) dan rayuannya
(sesungguhnya ia menjadi musuh yang nyata bagimu) artinya jelas dan terang permusuhannya itu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 168 |
Tafsir ayat 168-169
Setelah Allah Swt. menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia dan bahwa hanya Dialah yang menciptakan segalanya, maka Allah Swt. menjelaskan bahwa Dialah yang memberi rezeki semua makhluk-Nya. Untuk itu Allah Swt.
menyebutkan sebagai pemberi karunia kepada mereka, bahwa Dia memperbolehkan mereka makan dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi baik dan tidak membahayakan tubuh serta akal mereka,
sebagai karunia dari Allah Swt. Allah melarang mereka mengikuti langkah-langkah setan, yakni jalan-jalan dan sepak terjang yang digunakan untuk menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahirah (hewan unta bahirah),
saibah (hewan unta saibah), wasilah (hewan unta wasilah), dan lain sebagainya yang dihiaskan oleh setan terhadap mereka dalam masa Jahiliah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis Iyad ibnu Hammad yang terdapat
di dalam kitab Sahih Muslim, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّ كُلَّ مَا أمنحُه عِبَادِي فَهُوَ لَهُمْ حَلَالٌ" وَفِيهِ: "وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفاء فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وحَرَّمتْ عَلَيْهِمْ مَا أحللتُ لَهُمْ"
Allah berfirman, "Sesungguhnya semua harta yang telah Kuberikan kepada hamba-hamba-Ku adalah halal bagi mereka." Selanjutnya disebutkan, "Dan sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan cenderung
kepada agama yang hak, maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka apa-apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka."
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ شَيْبَةَ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الِاحْتِيَاطِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْجُوزَجَانِيُّ -رَفِيقُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَدْهَمَ -حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيج، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُليت هَذِهِ الْآيَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلالا طَيِّبًا} فَقَامَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، فَقَالَ. "يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الرَّجُلَ ليَقْذفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفه مَا يُتَقبَّل مِنْهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَأَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْت وَالرِّبَا فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ"
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa ibnu Syaibah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abdur
Rahman Al-Ihtiyati, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Jauzajani (teman karib Ibrahim ibnu Adam), telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:
Aku membacakan ayat ini di hadapan Nabi Saw., "Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi" (Al-Baqarah: 168). Maka berdirilah Sa'd ibnu Abu Waqqas, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sudilah kiranya
engkau doakan kepada Allah semoga Dia menjadikan diriku orang yang diperkenankan doanya." Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Hai Sa'd, makanlah yang halal, niscaya doamu diperkenankan. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ini
berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang lelaki yang memasukkan sesuap makanan haram ke dalam perutnya benar-benar tidak diperkenankan doa darinya selama empat puluh hari. Dan barang siapa
di antara hamba Allah dagingnya tumbuh dari makanan yang haram dan hasil riba, maka neraka adalah lebih layak baginya."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ}
Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. (Al-Baqarah: 168)Di dalam ayat ini terkandung makna yang menanamkan antipati terhadap setan dan sikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan adalah musuh bagi kalian. Maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Qatadah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (Al-Baqarah: 168) Setiap perbuatan durhaka kepada Allah, maka perbuatan itu langkah (jalan) setan.
Ikrimah mengatakan, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah bisikan-bisikannya.Mujahid mengatakan bahwa langkah-langkah setan ialah dosa-dosanya atau kesalahan-kesalahannya.
Menurut Abu Mijlaz, yang dimaksud dengan langkah-langkah setan ialah bernazar dalam maksiat. Asy-Sya'bi mengatakan, "Ada seorang lelaki bernazar akan menyembelih anak laki-lakinya, lalu Masruq memberikan fatwa kepadanya
agar dia menyembelih seekor domba sebagai penggantinya dan ia mengatakan bahwa hal seperti itu termasuk langkah-langkah setan."Abud Duha meriwayatkan sebuah asar dari Masruq, bahwa disuguhkan kepada Abdullah ibnu Mas'ud
bubur susu dan garam, lalu ia makan, tetapi ternyata ada seorang lelaki dari kaum yang hadir menjauhkan dirinya. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Berikanlah bagian kepada teman kalian itu." Lelaki itu menjawab,
"Aku tidak menginginkannya." Ibnu Mas'ud bertanya, "Apakah kamu sedang puasa?" Lelaki itu menjawab, "Tidak." Ibnu Mas'ud bertanya, "Lalu mengapa kamu tidak mau makan bersama?" Lelaki itu menjawab, "Aku telah mengharamkan diriku
makan bubur susu untuk selama-lamanya." Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Ini adalah termasuk langkah-langkah setan, makanlah dan bayarlah kifarat untuk sumpahmu itu!"Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Dan Ibnu Abu Hatim
mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan, "Pada suatu hari ibuku marah-marah kepada istriku,
lalu ibuku berkata bahwa istriku adalah wanita Yahudi, dan di lain kali ia mengatakan bahwa istriku adalah wanita Nasrani. Dia mengatakan pula bahwa semua budak miliknya akan dimerdekakan jika aku tidak menceraikan istriku.
Maka aku datang kepada Abdullah ibnu Umar meminta fatwa kepadanya, dan ia mengatakan, 'Ini merupakan salah satu dari langkah-langkah setan'."Hal yang sama dikatakan pula oleh Zainab binti Ummu Salamah yang saat itu merupakan
wanita paling alim dalam masalah fiqih di kota Madinah. Aku datang kepada Asim dan Ibnu Umar, keduanya mengatakan hal yang semisal.Abdu ibnu Humaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Syarik,
dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah atau nazar apa pun yang di-lakukan dalam keadaan emosi merupakan salah satu dari langkah-langkah setan, dan kifaratnya sama dengan kifarat sumpah.
************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 169)Yakni sesungguhnya setan musuh kalian hanya memerintahkan kalian
kepada perbuatan-perbuatan yang jahat dan perbuatan-perbuatan yang berdosa besar, seperti zina dan lain-lainnya; dan yang paling parah di antaranya ialah mengatakan terhadap Allah hal-hal yang tanpa didasari pengetahuan,
dan termasuk ke dalam golongan terakhir ini setiap orang kafir, juga setiap pembuat bid'ah.
Surat Al-Baqarah |2:169|
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
innamaa ya`murukum bis-suuu`i wal-faḥsyaaa`i wa an taquuluu 'alallohi maa laa ta'lamuun
Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.
He only orders you to evil and immorality and to say about Allah what you do not know.
(Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat dosa) yakni dosa (dan yang keji) yakni yang buruk menurut syariat (dan agar kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui) misalnya;
mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah dan selainnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 169 |
Penjelasan ada di ayat 168
Surat Al-Baqarah |2:170|
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
wa iżaa qiila lahumuttabi'uu maaa anzalallohu qooluu bal nattabi'u maaa alfainaa 'alaihi aabaaa`anaa, a walau kaana aabaaa`uhum laa ya'qiluuna syai`aw wa laa yahtaduun
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)." Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.
And when it is said to them, "Follow what Allah has revealed," they say, "Rather, we will follow that which we found our fathers doing." Even though their fathers understood nothing, nor were they guided?
(Dan apabila dikatakan kepada mereka) kepada orang-orang kafir, ("Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,") berupa tauhid dan menghalalkan yang baik-baik, (mereka menjawab,) "Tidak!'
(Tetapi kami hanya akan mengikuti apa yang kami jumpai) atau dapati (dari nenek moyang kami.") berupa pemujaan berhala, diharamkannya bahair/unta yang dipotong telinganya dan sawaib/unta yang tidak boleh dimanfaatkan
, dibiarkan lepas bebas hingga mati dengan sendirinya. (Apakah) mereka akan mengikuti juga (walaupun mereka itu tidak mengetahui sesuatu) mengenai urusan keagamaan (dan tidak pula beroleh petunjuk) untuk mencapai kebenaran.
Hamzah atau 'apakah' di atas untuk pengingkaran.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 170 |
Tafsir ayat 170-171
Allah Swt. berfirman, "Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir yang musyrik itu, 'Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan tinggalkanlah kesesatan dan kebodohan yang kalian lakukan itu!' Mereka menjawab
pertanyaan tersebut, 'Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami'," yakni menyembah berhala dan tandingan-tandingan Allah. Maka Allah membantah mereka melalui firman-Nya: Apakah
(mereka mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk? (Al-Baqarah: 170) Artinya, apakah mereka tetap akan mengikuti jejak nenek moyang-nya, sekalipun nenek moyang
mereka tidak mengerti apa pun dan tidak pula mendapat hidayah?Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan
orang-orang Yahudi yang diajak oleh Rasulullah Saw. untuk memeluk Islam, lalu mereka menjawab bahwa mereka hanya mau pengikuti apa yang mereka dapati nenek moyang mereka melakukannya. Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.
Allah membuat suatu perumpamaan perihal mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk. (An-Nahl: 60) ********** Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا}
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 171), hingga akhir ayat.Yakni menyeru mereka yang tenggelam di dalam kesesatan, kezaliman, dan kebodohannya sama dengan menyeru hewan gembalaan
yang tidak memahami apa yang diserukan kepada mereka. Bahkan apabila diserukan kepada mereka suatu seruan oleh penggembalanya untuk membimbingnya, maka mereka tidak memahami apa yang dikatakannya selain hanya suaranya
saja yang didengar, tanpa memahami maksudnya.Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ata, Al-Khur-rasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuatkan terhadap mereka sehubungan seruan mereka kepada berhala-berhala sesembahan mereka yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak memahami apa pun.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Tetapi pendapat pertama adalah pendapat yang lebih utama, mengingat berhala-berhala itu memang tidak mendengar apa pun, tidak memahami dan tidak melihatnya, tidak bergerak dan tidak hidup.
*********
Firman Allah Swt.:
{صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ}
Mereka tuli, bisu, dan buta. (Al-Baqarah: 171)Yakni tuli tidak dapat mendengar perkara yang baik, bisu tidak mau mengutarakannya, dan buta tidak dapat melihat jalan yang hak.
{فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ}
Maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (Al-Baqarah: 171)Yakni mereka sama sekali tidak dapat memahami apa pun dan tidak dapat mengerti. Perihal mereka sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
{وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ مَنْ يَشَأِ اللَّهُ يُضْلِلْهُ وَمَنْ يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu, dan berada dalam gelap gulita. Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah
(untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus. (Al-An'am: 39)
Surat Al-Baqarah |2:171|
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
wa maṡalullażiina kafaruu kamaṡalillażii yan'iqu bimaa laa yasma'u illaa du'aaa`aw wa nidaaa`aa, shummum bukmun 'umyun fa hum laa ya'qiluun
Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang kafir adalah seperti (penggembala) yang meneriaki (binatang) yang tidak mendengar selain panggilan dan teriakan. (Mereka) tuli, bisu, dan buta, maka mereka tidak mengerti.
The example of those who disbelieve is like that of one who shouts at what hears nothing but calls and cries cattle or sheep - deaf, dumb and blind, so they do not understand.
(Dan perumpamaan) menjadi sifat (orang-orang kafir) serta orang yang mengajak mereka kepada petunjuk (adalah seperti orang yang memanggil binatang) berteriak memanggil
(yang tidak dapat didengarnya selain berupa panggilan dan seruan saja) artinya suara yang tidak diketahui dan dimengerti maknanya.
Maksudnya dalam menerima nasihat dan tidak memikirkannya, mereka itu adalah seperti hewan yang mendengar suara penggembalanya tetapi tidak paham akan maksudnya.
(Mereka tuli, bisu, dan buta sehingga mereka tidak mengerti) akan nasihat.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 171 |
Penjelasan ada di ayat 170
Surat Al-Baqarah |2:172|
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
yaaa ayyuhallażiina aamanuu kuluu min thoyyibaati maa rozaqnaakum wasykuruu lillaahi ing kuntum iyyaahu ta'buduun
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.
O you who have believed, eat from the good things which We have provided for you and be grateful to Allah if it is [indeed] Him that you worship.
(Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara makanan yang baik-baik) maksudnya yang halal, (yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah)
atas makanan yang dihalalkan itu (jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya menyembah).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 172 |
Tafsir ayat 172-173
Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk memakan dari rezeki yang baik yang telah diberikan-Nya kepada mereka, dan hendaknya mereka bersyukur kepada Allah Swt. atas hal tersebut,
jika mereka benar-benar mengaku sebagai hamba-hamba-Nya.Makan dari rezeki yang halal merupakan penyebab bagi terkabulnya doa dan ibadah, sedangkan makan dari rezeki yang haram dapat menghambat terkabulnya doa dan ibadah.
Seperti yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الفُضَيل بْنُ مَرْزُوقٍ، عَنْ عدَيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هريرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيَّبًا، وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [الْمُؤْمِنُونَ: 51] وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يطيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يمدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وغُذي بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ".
telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Marzuq, dari Addi ibnu Sabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai manusia,
sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sama dengan apa yang diperintahkan-Nya kepada para rasul,
maka Allah berfirman, "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan" (Al-Muminun: 51). Dan Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian" (Al-Baqarah: 172). Kemudian Nabi Saw. menyebutkan perihal seorang lelaki yang lama dalam perjalanannya dengan rambut
yang awut-awutan penuh debu, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Sedangkan makanannya dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram,
dan disuapi dari yang haram, mana mungkin doanya dikabulkan dengan cara demikian?Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dan Imam Turmuzi melalui hadis Fudail ibnu Marzuq.
Setelah Allah menganugerahkan kepada mereka rezeki-Nya dan memberi mereka petunjuk agar makan dari rezeki yang halal, berikutnya Allah menyebutkan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada mereka dari hal tersebut kecuali bangkai.
Yang dimaksud dengan bangkai ialah hewan yang menemui ajalnya tanpa melalui proses penyembelihan, baik karena tercekik atau tertusuk, jatuh dari ketinggian atau tertanduk hewan lain, atau dimangsa oleh binatang buas.
Akan tetapi, jumhur ulama mengecualikan masalah ini ialah bangkai ikan, karena berdasarkan firman-Nya:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعامُهُ
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut. (Al-Maidah: 96)Hal ini akan diterangkan nanti pada tempatnya, insya Allah. Juga berdasarkan hadis ikan anbar dalam kitab Sahih, kitab Musnad, kitab Muwatta’ dan kitab-kitab Sunan, yaitu sabda Rasul Saw. mengenai laut:
«هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ»
Laut itu airnya menyucikan lagi bangkainya halal.Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah serta Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Umar secara marfu yang mengatakan:
«أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ السَّمَكُ وَالْجَرَادُ وَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ»
Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu ikan dan belalang, serta hati dan limpa.Pembahasan secara detail mengenai masalah ini nanti akan diterangkan di dalam tafsir surat Al-Maidah.Air susu bangkai
dan telur bangkai yang masih bersatu dengannya hukumnya najis —menurut Imam Syafii dan lain-lainnya— karena masih merupakan bagian dari bangkai tersebut.Imam Malik menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa air susu dan telur
tersebut suci, hanya saja menjadi najis karena faktor mujawairah. Demikian pula halnya keju yang terbuat dari air susu bangkai, masih diperselisihkan; tetapi menurut pendapat yang terkenal di kalangan mereka, hukumnya najis.
Mereka mengemukakan dalil untuk alasan mereka, bahwa para sahabat pernah memakan keju orang-orang Majusi. Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan masalah ini mengatakan, "Bahan keju tersebut sedikit,
sedangkan campurannya yang terdiri atas air susu banyak. Karena itu, najis yang sedikit dimaafkan bila bercampur dengan cairan (suci) yang banyak."
وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سَيْفِ بْنِ هَارُونَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ سَلْمَانَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ وَالْفِرَاءِ، فَقَالَ: "الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ"
Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Saif ibnu Harun, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai samin, keju, dan bulu. Maka beliau Saw.
bersabda: Halal ialah apa-apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan haram ialah apa-apa yang diharamkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak diterangkan padanya termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Diharamkan pula atas mereka daging babi, baik yang disembelih ataupun mati dengan sendirinya. Termasuk ke dalam pengertian daging babi ialah lemaknya, adakalanya karena faktor prioritas atau karena pengertian daging mencakup
lemaknya juga, atau melalui jalur kias (analogi) menurut suatu pendapat.Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala,
tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya.Imam Qurtubi menyebutkan suatu riwayat dari Ibnu Atiyyah, yang Ibnu Atiyyah
pernah menukil dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah ditanya mengenai seorang wanita yang mengadakan pesta perkawinan buat bonekanya, lalu wanita itu menyembelih seekor unta untuk pesta tersebut. Maka Al-Hasan Al-Basri
mengatakan bahwa daging unta tersebut tidak boleh dimakan karena disembelih untuk berhala.Imam Qurtubi mengetengahkan pula sebuah as'ar dari Siti Aisyah r.a., bahwa Siti Aisyah pernah ditanya mengenai hewan yang disembelih
oleh orang-orang 'ajam (selain bangsa Arab) untuk hari perayaan mereka, lalu mereka menghadiahkan sebagiannya kepada kaum muslim. Maka Siti Aisyah r.a. menjawab, "Hewan yang disembelih untuk merayakan hari tersebut tidak boleh
kalian makan, dan kalian hanya boleh makan buah-buahannya."Selanjutnya Allah Swt. memperbolehkan makan semua yang disebutkan tadi dalam keadaan darurat dan sangat diperlukan bila makanan yang lainnya tidak didapati.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ}
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak maksiat dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (Al-Baqarah: 173)Yakni bukan dalam keadaan maksiat,
bukan pula dalam keadaan melampaui batas; tidak ada dosa baginya makan apa yang telah disebutkan.
{إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173)Mujahid mengatakan, "Barang siapa yang tidak maksiat dan tidak pula melampaui batas, yakni bukan dalam keadaan sebagai pembegal jalan (rampok),
atau memberontak terhadap imam (penguasa), atau bepergian untuk tujuan maksiat terhadap Allah, diperbolehkan baginya memakannya. Tetapi barang siapa yang bepergian karena memberontak atau melampaui batas atau
berbuat maksiat kepada Allah, tidak ada rukhsah (dispensasi) baginya, sekalipun ia dalam keadaan darurat." Hal yang sama dikatakan pula menurut suatu riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.
Sa'id di dalam riwayat yang lain dan Muqatil mengatakan, yang dimaksud dengan gaira bagin ialah tidak menghalalkannya.As-Saddi mengatakan bahwa gaira bagin artinya bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.
Adam ibnu Abi Iyas mengatakan, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Usman ibnu Ata (yakni Al-Khurrasani), dari ayahnya yang mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memanggang sebagian dari bangkai itu
untuk membuatnya berselera memakannya, tidak boleh pula memasaknya serta tidak boleh memakannya kecuali hanya sedikit, tetapi ia boleh membawanya sampai ia dapat menemukan makanan yang halal. Apabila ia telah menemukan
makanan yang halal, ia harus membuangnya. Demikianlah yang dimaksud oleh firman-Nya, "Wala 'adin," yakni tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal.Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna
wala 'adin ialah tidak boleh sekenyangnya. Sedangkan As-Saddi menafsirkannya dengan makna al-'udwan, yakni melampaui batas.Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa gaira bagin yakni tidak menginginkan bangkai tersebut,
wala 'adin artinya dan tidak melampaui batas dalam memakannya.Qatadah mengatakan bahwa gaira bagin artinya tidak menginginkan bangkai tersebut, yakni 'ketika keadaan memaksanya untuk memakan bangkai, ia memakannya
tidak melampaui batas garis-garis yang dihalalkan sampai kepada batas yang diharamkan, padahal ia mempunyai jalan keluar dari itu'.Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi barang siapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya). (Al-Baqarah: 173) Yakni dipaksa untuk memakannya tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri.Apabila orang yang dalam keadaan terpaksa (darurat) menemukan suatu bangkai dan makanan
milik orang lain, sekiranya tidak ada hukum potong tangan dalam mengambilnya dan tidak pula hukuman lainnya (ta'zir), maka tidak dihalalkan baginya memakan bangkai, melainkan ia boleh memakan makanan milik orang lain itu.
Semua ulama sepakat, tanpa ada yang memperselisihkannya.Selanjutnya disebutkan, apabila dia memakannya dalam keadaan demikian, lalu apakah dia harus menggantinya atau tidak? Sebagai jawabannya ada dua pendapat,
yang keduanya merupakan dua riwayat dari Imam Malik. Selanjutnya diketengahkan sebuah hadis dari Sunan Ibnu Majah:
مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِيَاسٍ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ: سَمِعْتُ عَبَّادَ بْنَ الْعَنْزِيِّ قَالَ: أَصَابَتْنَا عَامًا مَخْمَصَةٌ، فَأَتَيْتُ الْمَدِينَةَ. فَأَتَيْتُ حَائِطًا، فَأَخَذْتُ سُنْبُلًا فَفَرَكْتُهُ وَأَكَلْتُهُ، وَجَعَلْتُ مِنْهُ فِي كِسَائِي، فَجَاءَ صَاحِبُ الْحَائِطِ فَضَرَبَنِي وَأَخَذَ ثَوْبِي، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ لِلرَّجُلِ: "مَا أَطْعَمْتَهُ إِذْ كَانَ جَائِعًا أَوْ سَاعِيًا، وَلَا عَلَّمْتَهُ إِذْ كَانَ جَاهِلَا" فَأَمَرَهُ فَرَدَّ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ، وَأَمَرَ لَهُ بِوَسْقٍ مِنْ طَعَامٍ أَوْ نِصْفِ وَسْقٍ
melalui hadis Syu'bah, dari Abu Iyas, dari Ja'far ibnu Abu Wahsyiyyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syurahbil Al-Anazi menceritakan hadis berikut, "Ketika tahun paceklik menimpa kami, aku datang ke Madinah,
lalu aku memasuki sebuah kebun dan mengambil setangkai buah kurma. Aku memakannya, dan selebihnya aku masukkan ke dalam kantong bajuku. Ternyata pemilik kebun itu datang, maka dia memukuliku dan merampas bajuku.
Lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan kuceritakan kepadanya hal tersebut Maka beliau Saw. bersabda kepada pemilik kebun: 'Kamu tidak memberinya makan ketika dia sedang kelaparan dan dalam keadaan tidak bermata pencaharian,
dan kamu tidak mengajarnya sewaktu dia tidak mengerti (bodoh).' Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar mengembalikan pakaian lelaki itu, dan Nabi Saw. memerintahkan pula agar diberikan kepada si pemilik kebun
satu wasaq atau setengah wasaq makanan (sebagai gantinya)."Sanad hadis ini sahih, kuat lagi jayyid dan mempunyai banyak syawahid lainnya yang memperkuatnya. Termasuk ke dalam bab ini hadis lain yang diriwayatkan melalui hadis
Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai buah-buahan yang bergantung pada pohonnya. Maka beliau Saw. menjawab:
"مَنْ أَصَابَ مِنْهُ مِنْ ذِي حَاجَةٍ بِفِيهِ غَيْرَ مُتَّخِذٍ خُبْنَةً فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ"
Barang siapa yang mengambil sebagian darinya cukup untuk makannya sendiri, sedangkan dia dalam keadaan miskin serta tidak mengambil bekal darinya, tidak ada dosa baginya, hingga akhir hadis.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173) Yakni tidak ada dosa baginya karena memakan
makanan itu, sebab dia dalam keadaan terpaksa. Telah sampai kepada kami suatu riwayat —hanya Allah Yang Mengetahui— bahwa makanan tersebut tidak boleh lebih dari tiga suap.Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna ayat adalah
sebagai berikut: "Allah Maha Pengampun terhadap apa yang telah dimakannya dari barang yang haram, lagi Maha Penyayang karena Dia telah menghalalkan baginya barang yang haram dalam keadaan terpaksa."
Waki' mengatakan bahwa Al-A'masy menceritakan kepada kami, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, lalu dia tidak mau makan dan minum, kemudian berakibat kepada kematiannya,
maka dia masuk neraka." Pendapat ini menunjukkan bahwa memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan terpaksa merupakan azimah (keharusan), bukan rukhsah (dispensasi).Abul Hasan At-Tabari yang dikenal dengan nama
Kayalharasi (sahabat karib Imam Gazali) di dalam kitab Al-Istigal-nya. mengatakan, "Menurut pendapat yang sahih di kalangan kami, masalah ini sama halnya dengan berbuka puasa bagi orang yang sakit dan karena penyebab lainnya
yang membolehkannya berbuka puasa."
Surat Al-Baqarah |2:173|
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
innamaa ḥarroma 'alaikumul-maitata wad-dama wa laḥmal-khinziiri wa maaa uhilla bihii lighoirillaah, fa manidhthurro ghoiro baaghiw wa laa 'aadin fa laaa iṡma 'alaiih, innalloha ghofuurur roḥiim
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
He has only forbidden to you dead animals, blood, the flesh of swine, and that which has been dedicated to other than Allah. But whoever is forced [by necessity], neither desiring [it] nor transgressing [its limit], there is no sin upon him. Indeed, Allah is Forgiving and Merciful.
(Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai) maksudnya memakannya karena konteks pembicaraan mengenai hal itu, maka demikian pula halnya yang sesudahnya
. Bangkai ialah hewan yang tidak disembelih menurut syariat. Termasuk dalam hal ini hewan-hewan hidup yang disebutkan dalam hadis, kecuali ikan dan belalang (darah)
maksudnya yang mengalir sebagaimana kita dapati pada binatang-binatang ternak, (daging babi) disebutkan daging, karena merupakan maksud utama,
sedangkan yang lain mengikutinya (dan binatang yang ketika menyembelihnya disebut nama selain Allah) artinya binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain asma Allah.
'Uhilla' dari 'ihlaal' ialah mengeraskan suara yang biasa mereka lakukan ketika menyembelih kurban buat tuhan-tuhan mereka.
(Tetapi barang siapa berada dalam keadaan terpaksa) artinya keadaan memaksanya untuk memakan salah satu yang diharamkan ini lalu ia memakannya (sedangkan ia tidak menginginkannya)
tidak keluar dari golongan kaum muslimin (dan ia tidak menjadi seorang yang melampaui batas) yaitu melakukan pelanggaran terhadap mereka dengan menyamun mereka dalam perjalanan (maka tidaklah berdosa) memakannya
. (Sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap wali-wali-Nya (lagi Maha Penyayang) kepada hamba-hamba-Nya yang taat sehingga mereka diberi-Nya kemudahan dalam hal itu.
Menurut Imam Syafii, mereka yang tidak dibolehkan memakan sedikit pun dari kemurahan yang telah Allah perkenankan itu ialah setiap orang yang melakukan maksiat dalam perjalanannya,
seperti budak yang melarikan diri dari tuannya dan orang yang memungut cukai tidak legal selama mereka belum bertobat.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 173 |
Penjelasan ada di ayat 172
Surat Al-Baqarah |2:174|
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
innallażiina yaktumuuna maaa anzalallohu minal-kitaabi wa yasytaruuna bihii ṡamanang qoliilan ulaaa`ika maa ya`kuluuna fii buthuunihim illan-naaro wa laa yukallimuhumullohu yaumal-qiyaamati wa laa yuzakkiihim, wa lahum 'ażaabun aliim
Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu kitab, dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.
Indeed, they who conceal what Allah has sent down of the Book and exchange it for a small price - those consume not into their bellies except the Fire. And Allah will not speak to them on the Day of Resurrection, nor will He purify them. And they will have a painful punishment.
(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah berupa Alkitab) yakni yang memuat ciri-ciri Nabi Muhammad saw.
dan yang dituju oleh ayat ini ialah orang-orang Yahudi (dan menjualnya dengan harga sedikit) atau murah berupa harta dunia yang mereka dapatkan sebagai penggantinya dari kalangan rakyat bawahan sehingga mereka
tidak mengungkapkannya sebab takut kehilangan hal tersebut. (Mereka itu tidak menelan ke dalam perutnya, kecuali api neraka) karena ke sanalah tempat kembali mereka,
(Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat) disebabkan murka kepada mereka (dan tidak pula akan menyucikan mereka) dari kotoran dosa-dosa (dan bagi mereka siksa yang pedih) atau menyakitkan yaitu api neraka.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 174 |
Tafsir ayat 174-176
Firman Allah Swt.:
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab. (Al-Baqarah: 174)Yakni orang-orang Yahudi yang menyembunyikan sifat-sifat (ciri-ciri) Nabi Muhammad Saw. dalam kitab-kitab
yang ada di tangan mereka, yang isinya antara lain mempersaksikan kerasulan dan kenabiannya. Lalu mereka dengan sengaja menyembunyikan hal tersebut agar kepemimpinan mereka tidak lenyap, dan agar tidak lenyap pula
hadiah-hadiah dan upeti-upeti yang biasa diberikan oleh orang-orang Arab kepada mereka sebagai ungkapan rasa hormat orang-orang Arab kepada kakek moyang mereka. Maka mereka —semoga laknat Allah tetap menimpa
mereka— merasa khawatir jika hal tersebut ditampakkan kepada orang-orang, sehingga orang-orang akan mengikutinya dan meninggalkan mereka.Karena itulah mereka menyembunyikan berita tersebut demi mempertahankan
apa yang biasa mereka hasilkan dari cara mereka itu, yaitu harta duniawi yang sedikit; mereka rela menjual akidah mereka dengan hal tersebut. Dengan demikian, berarti mereka menukar hidayah perkara yang hak, membenarkan Rasul
dan iman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Allah; dengan harta duniawi yang sedikit itu akhirnya kelak mereka akan kecewa dan merugi dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.Kerugian mereka di dunia ialah karena sesungguhnya
Allah menampakkan kepada hamba-hamba-Nya kebenaran Rasul-Nya melalui apa yang ditegakkannya dan Allah membekalinya dengan ayat-ayat yang jelas dan bukti-bukti yang mematahkan hujah mereka. Pada akhirnya
orang-orang yang mereka khawatirkan akan mengikutinya kini benar-benar mengikutinya, dan jadilah orang-orang tersebut pembantu Rasul-Nya dalam memerangi mereka. Akhirnya mereka kembali dengan mendapat kemurkaan
di atas kemurkaan. Allah mencela perbuatan mereka (Ahli Kitab) bukan hanya pada satu tempat dari Al-Qur'an-Nya, yang antara lain ialah ayat yang mulia ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan
apa yang telah diturunkan Allah —yaitu Al-Kitab— dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api. (Al-Baqarah: 174) Yakni menukarnya dengan
harta duniawi. Maka sesungguhnya apa yang mereka makan dari hasilnya itu hanyalah api belaka, sebagai balasan dari penyembunyian mereka terhadap perkara yang hak. Api itu kelak di hari kiamat berkobar-kobar di dalam perut mereka.
Sama halnya dengan gambaran yang disebutkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الَّذِي يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ»
Sesungguhnya orang yang makan atau minum dengan memakai wadah dari emas dan perak tiada lain hanyalah menegukkan (menelankan) ke dalam perutnya api neraka Jahannam. ************ Firman Allah Swt.:
{وَلا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-Baqarah: 174)Dikatakan demikian karena Allah Swt. murka terhadap mereka,
mengingat mereka menyembunyikan perkara hak yang mereka ketahui. Untuk itu mereka berhak mendapat murka Allah, dan Allah tidak mau melihat mereka.Wala yuzakkihim, Allah tidak mau menyebut dan memuji nama mereka,
bahkan Allah mengazab mereka dengan siksa yang amat pedih.Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ [وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ] شَيْخٌ زَانٍ، وَمَلِكٌ كَذَّابٌ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ"
Ada tiga macam orang, Allah tidak akan berbicara kepada mereka dan tidak akan melihat mereka, serta tidak akan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang amat pedih, yaitu: Orang tua yang berbuat zina, raja (penguasa) yang pendusta, dan orang miskin yang takabur. *************** Kemudian Allah Swt berfirman menceritakan perihal mereka:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}
Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Al-Baqarah: 175)Yaitu mereka menukar petunjuk dengan kesesatan. Yang dimaksud dengan petunjuk ialah menyiarkan berita yang terdapat di dalam kitab-kitab
mereka menyangkut sifat-sifat Rasulullah Saw. perihal kerasulannya dan berita gembira kedatangannya, perintah mengikutinya dan percaya kepadanya; hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab nabi-nabi terdahulu.
Yang dimaksud dengan kesesatan ialah mendustakan Nabi Saw., mengingkarinya, dan menyembunyikan sifat-sifatnya yang ada dalam kitab-kitab mereka.
{وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ}
dan siksa dengan ampunan. (Al-Baqarah: 175)Maksudnya, mereka menukar magfirah Allah dengan siksa-Nya, yakni penyebab-penyebab magfirah mereka tukar dengan penyebab-penyebab siksa. ********* Firman Allah Swt.:
{فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ}
Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah: 175)Allah menceritakan bahwa mereka berada di dalam siksa yang keras lagi besar dan mengerikan, hingga membuat orang yang melihat mereka merasa takjub
dengan keberanian mereka dalam menanggung siksa tersebut, padahal kerasnya siksaan yang mereka alami tak terperikan dan semuanya berlindung kepada Allah dari siksa seperti itu.Menurut pendapat yang lain sehubungan
dengan makna firman-Nya: Maka alangkah sabarnya mereka menentang api neraka. (Al-Baqarah: 175) Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah alangkah beraninya mereka kekal dalam mengerjakan kemaksiatan,
padahal kemaksiatan itu menjerumuskan mereka ke dalam neraka.
*********
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran. (Al-Baqarah: 176)Yakni sesungguhnya mereka berhak mendapat siksa yang keras ini, tiada lain karena Allah Swt.
telah menurunkan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw. —juga kepada nabi-nabi sebelumnya— kitab-kitab-Nya yang membuktikan perkara hak dan menyalahkan perkara yang batil. Sedangkan mereka menjadikan ayat-ayat Allah
sebagai olok-olokannya. Kitab mereka (Ahli Kitab) memerintahkan kepada mereka untuk menyampaikan ilmu dan menyebarkannya, tetapi mereka menentangnya dan mendustakannya. Hal yang sama dialami pula oleh penutup para rasul,
yaitu Nabi Muhammad Saw. Beliau menyeru mereka (Ahli Kitab) kepada Allah Swt., memerintahkan perkara yang makruf, serta melarang mereka melakukan perbuatan yang mungkar; tetapi mereka mendustakannya, menentangnya,
mengingkari, dan menyembunyikan ciri-cirinya. Perbuatan mereka sama dengan memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, mereka berhak mendapat azab dan balasan yang setimpal.
Karena itulah Allah Swt. berfirman:
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ نزلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ}
Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran). (Al-Baqarah: 176)
Surat Al-Baqarah |2:175|
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ
ulaaa`ikallażiinasytarowudh-dholaalata bil-hudaa wal-'ażaaba bil-maghfiroh, fa maaa ashbarohum 'alan-naar
Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan azab dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!
Those are the ones who have exchanged guidance for error and forgiveness for punishment. How patient they are in pursuit of the Fire!
(Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk) yang mereka ambil sebagai penggantinya di atas dunia (dan siksa dengan keampunan) yang disediakan bagi mereka di akhirat,
s
yakni seandainya mereka tidak menyembunyikannya. (Maka alangkah sabarnya mereka menghadapi api neraka) artinya alangkah sabarnya mereka menanggung api neraka
dan ini mengundang keheranan kaum muslimin terhadap perbuatan-perbuatan mereka yang menjerumuskan ke dalam neraka tanpa mempedulikannya. Kalau tidak demikian, kesabaran terhadap apakah yang mereka miliki itu
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 175 |
Penjelasan ada di ayat 174
Surat Al-Baqarah |2:176|
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ
żaalika bi`annalloha nazzalal-kitaaba bil-ḥaqq, wa innallażiinakhtalafuu fil-kitaabi lafii syiqooqim ba'iid
Yang demikian itu karena Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur´an) dengan (membawa) kebenaran dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (kebenaran) Kitab itu, mereka dalam perpecahan yang jauh.
That is [deserved by them] because Allah has sent down the Book in truth. And indeed, those who differ over the Book are in extreme dissension.
(Demikian itu), yakni apa-apa yang telah disebutkan seperti menelan api dan seterusnya (disebabkan oleh karena) (Allah telah menurunkan Alkitab dengan sebenarnya) berkaitan dengan menurunkan,
maka mereka berselisih padanya, mereka beriman pada sebagian dan kafir pada sebagian dengan jalan menyembunyikannya.
(Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang Alkitab) yakni orang-orang Yahudi dan ada pula yang mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik
, yaitu tentang Alquran, sebagian mengatakannya sebagai syair, yang lain sihir dan sebagiannya lagi sebagai tenung (berada dalam penyimpangan yang jauh) dari kebenaran.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 176 |
Penjelasan ada di ayat 174
Surat Al-Baqarah |2:177|
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
laisal-birro an tuwalluu wujuuhakum qibalal-masyriqi wal-maghribi wa laakinnal-birro man aamana billaahi wal-yaumil-aakhiri wal-malaaa`ikati wal-kitaabi wan-nabiyyiin, wa aatal-maala 'alaa ḥubbihii żawil-qurbaa wal-yataamaa wal-masaakiina wabnas-sabiili was-saaa`iliina wa fir-riqoob, wa aqoomash-sholaata wa aataz-zakaah, wal-muufuuna bi'ahdihim iżaa 'aahaduu, wash-shoobiriina fil-ba`saaa`i wadh-dhorrooo`i wa ḥiinal-ba`s, ulaaa`ikallażiina shodaquu, wa ulaaa`ika humul-muttaquun
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Righteousness is not that you turn your faces toward the east or the west, but [true] righteousness is [in] one who believes in Allah, the Last Day, the angels, the Book, and the prophets and gives wealth, in spite of love for it, to relatives, orphans, the needy, the traveler, those who ask [for help], and for freeing slaves; [and who] establishes prayer and gives zakah; [those who] fulfill their promise when they promise; and [those who] are patient in poverty and hardship and during battle. Those are the ones who have been true, and it is those who are the righteous.
(Kebaktian itu bukanlah dengan menghadapkan wajahmu) dalam sholat (ke arah timur dan barat) ayat ini turun untuk menolak anggapan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menyangka demikian,
(tetapi orang yang berbakti itu) ada yang membaca 'al-barr' dengan ba baris di atas, artinya orang yang berbakti (ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab)
maksudnya kitab-kitab suci (dan nabi-nabi) serta memberikan harta atas) artinya harta yang (dicintainya) (kepada kaum kerabat) atau famili (anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang dalam perjalanan) atau musafir,
(orang-orang yang meminta-minta) atau pengemis, (dan pada) memerdekakan (budak) yakni yang telah dijanjikan akan dibebaskan dengan membayar sejumlah tebusan,
begitu juga para tawanan, (serta mendirikan sholat dan membayar zakat) yang wajib dan sebelum mencapai nisabnya secara tathawwu` atau sukarela,
(orang-orang yang menepati janji bila mereka berjanji) baik kepada Allah atau kepada manusia, (orang-orang yang sabar) baris di atas sebagai pujian (dalam kesempitan).
yakni kemiskinan yang sangat (penderitaan) misalnya karena sakit (dan sewaktu perang) yakni ketika berkecamuknya perang di jalan Allah. (Mereka itulah) yakni yang disebut di atas (orang-orang yang benar)
dalam keimanan dan mengakui kebaktian (dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa) kepada Allah.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 177 |
Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا عَلَيْهِ ثُمَّ سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ، وَإِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a.,
telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman, "Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw. membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi,
maka Rasul Saw. menjawab: Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka buatlah hatimu benci kepadanya.
Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqati (terputus mata rantai sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.
قَالَ الْمَسْعُودِيُّ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ: {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا سَأَلْتَنِي عَنْهُ، فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت [أنت] أن تَرْضَى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا ثَوَابَهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ عِقَابَهَا"
Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya
ayat berikut: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar r.a.
menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi,
lelaki itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira
dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut akan siksaannya.Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati' pula.
Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah,
maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa
tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan-Nya.
Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya.
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.
Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya:
{لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ}
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini,
bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka
untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani
menghadap ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya,
yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati."
Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan. Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini,
karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu
iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua
kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan,
serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari permulaan
hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad Saw.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ}
dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama
Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu', yaitu:
"أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.
وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ} أَنْ تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ".
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan
makna firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan Sufyan,
dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih sahih.Allah Swt. telah berfirman:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah,
kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9)
لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)
وَيُؤْثِرُونَ عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9)Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah
yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya,
tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan,
mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:
«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»
Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan
kebajikan dan pemberianmu.Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim
ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian.
Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan:
أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُتْم بَعْدَ حُلُم".
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.Wal masakin, mereka adalah orang-orang
yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis
dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَيْسَ الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.
Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan
apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal
yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang pergi. Termasuk ke dalam pengertian
ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat
dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا -قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".
bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya
(yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)
Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya. Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat),
bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah,
dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau membacakan ayat berikut
kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)
وَرَوَاهُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا، عن شريك، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا {لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَفِي الرِّقَابِ}
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan
—sampai dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai daif.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya,
sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat', tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan
jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya:
هَلْ لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى
Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19)Firman Allah Swt. yang mengatakan:
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ
Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair
dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat),
kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.
******
Firman Allah Swt.:
{وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا}
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. (Al-Baqarah: 177)Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:
{الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ}
(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Ar-Ra'd: 20)Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:
"آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ".
Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:
:"إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"
Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan apabila bersengketa, berbuat curang. ********* Firman Allah Swt.:
{وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ}
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (Al-Baqarah: 177)Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan
sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran
untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.
******
Firman Allah Swt.:
{أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا}
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 177)Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan;
maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal ketaatan.
Surat Al-Baqarah |2:178|
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
yaaa ayyuhallażiina aamanuu kutiba 'alaikumul-qishooshu fil-qotlaa, al-ḥurru bil-ḥurri wal-'abdu bil-'abdi wal-unṡaa bil-unṡaa, fa man 'ufiya lahuu min akhiihi syai`un fattibaa'um bil-ma'ruufi wa adaaa`un ilaihi bi`iḥsaan, żaalika takhfiifum mir robbikum wa roḥmah, fa mani'tadaa ba'da żaalika fa lahuu 'ażaabun aliim
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.
O you who have believed, prescribed for you is legal retribution for those murdered - the free for the free, the slave for the slave, and the female for the female. But whoever overlooks from his brother anything, then there should be a suitable follow-up and payment to him with good conduct. This is an alleviation from your Lord and a mercy. But whoever transgresses after that will have a painful punishment.
(Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu kisas) pembalasan yang setimpal (berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh) baik tentang sifat maupun perbuatan (orang merdeka) dibunuh (oleh orang merdeka)
maka tidak boleh oleh hamba (hamba oleh hamba dan wanita oleh wanita). Sunah menyatakan bahwa laki-laki boleh dibunuh oleh wanita dan dalam agama dipandang seimbang atau sebanding,
tetapi tidak boleh seorang Islam walaupun ia seorang hamba dibunuh oleh seorang kafir walaupun ia seorang merdeka. (Barang siapa yang mendapat kemaafan) maksudnya
di antara pembunuh-pembunuh itu (berkenaan dengan) darah (saudaranya) yang dibunuh (berupa sesuatu) misalnya dengan ditiadakannya kisas yang menyebabkan gugurnya sebagian hukuman oleh sebagian ahli waris.
Dengan disebutkannya 'saudaranya', membangkitkan rasa santun yang mendorong seseorang untuk memaafkan dan menjadi pernyataan bahwa pembunuhan itu
tidaklah mengakibatkan putusnya persaudaraan dalam agama dan keimanan. 'Man' yang merupakan syarthiyah atau isim maushul menjadi mubtada, sedangkan khabarnya ialah, (maka hendaklah mengikuti)
artinya orang yang memaafkan itu terhadap pembunuh hendaklah mengikuti (dengan cara yang baik) misalnya memintanya supaya membayar diat atau denda dengan baik-baik dan tidak kasar.
Pengaturan 'mengikuti' terhadap 'memaafkan' menunjukkan bahwa yang wajib ialah salah satu di antara keduanya dan ini merupakan salah satu di antara kedua pendapat Syafii,
sedangkan menurut pendapatnya yang kedua yang wajib itu ialah kisas, sedangkan diat menjadi penggantinya.
Sekiranya seseorang memaafkan dan tidak menyebutkan diat, maka bebaslah dari segala kewajiban (dan) hendaklah si pembunuh (membayar) diat (kepadanya) yaitu kepada yang memaafkan tadi,
yakni ahli waris (dengan cara yang baik pula) artinya tanpa melalaikan dan mengurangi pembayarannya. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkan mengganti hukum kisas dan kemaafan dengan diat,
hal ini adalah (suatu keringanan) atau kemudahan (dari Tuhanmu) terhadapmu (suatu rahmat) kepadamu berupa kelapangan dan tidak dipastikan-Nya salah satu di antara keduanya
, seperti diwajibkan-Nya kisas atas orang-orang Yahudi dan diat atas orang-orang Kristen. (Dan barang siapa yang melanggar batas) misalnya dianiayanya si pembunuh dengan membunuhnya pula (sesudah itu) maksudnya
setelah memaafkan, (maka baginya siksa yang pedih) atau menyakitkan, yaitu di akhirat dengan api neraka, atau di dunia dengan dibunuh pula.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 178 |
Tafsir ayat 178-179
Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas
dan jangan pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas." Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir.
Di masa Jahiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum balasan,
melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas
(dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar
dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى}
Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat
Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah,
telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178)
Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman Jahiliah
yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat
menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan).
Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita
dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang
di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 178) Demikian itu
membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja;
kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus
pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud,
Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam.Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati
karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan:
"مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ خَصَيْنَاهُ"
Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya
seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota tubuh,
tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan
sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna hadis ini.Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati
karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178.
Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama lainnya).Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.
Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh
oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu
sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati
kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir mengatakan
bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair
yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.
************
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ}
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf
dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya,
yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan: hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 178)
Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak. Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas,
bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid,
Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya.
Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari pihak
si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela.Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak
untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.
*************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ}
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. (Al-Baqarah: 178)Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan
dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan
sengaja. Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya
melalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian.
(Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat
hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat. Hal yang sama diriwayatkan
pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat,
maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras. Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi,
dan Muqatil ibnu Hayyan. Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan,
maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah
kedua tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya.
(Riwayat Imam Ahmad)Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لا أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"
Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya).Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun. ************ Firman Allah Swt.:
{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ}
Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar,
yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan
niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an
dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas
sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.
************
Firman Allah Swt.:
{يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar
dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.
Surat Al-Baqarah |2:179|
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
wa lakum fil-qishooshi ḥayaatuy yaaa ulil-albaabi la'allakum tattaquun
Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.
And there is for you in legal retribution [saving of] life, O you [people] of understanding, that you may become righteous.
(Dan bagimu dalam kisas itu terdapat kehidupan) artinya terjaminnya kelangsungan hidup manusia (hai orang-orang yang berakal) karena jika seseorang yang akan membunuh itu mengetahui bahwa ia akan dibunuh pula,
maka ia akan merasa takut lalu mengurungkan rencananya sehingga berarti ia telah memelihara nyawanya dan nyawa orang yang akan dibunuhnya tadi.
Disyariatkan oleh Allah Taala (supaya kamu bertakwa) artinya menjaga dirimu dari membunuh, agar terhindar dari kisas.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 179 |
Penjelasan ada di ayat 178
Surat Al-Baqarah |2:180|
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
kutiba 'alaikum iżaa ḥadhoro aḥadakumul-mautu in taroka khoironil-washiyyatu lil-waalidaini wal-aqrobiina bil-ma'ruuf, ḥaqqon 'alal-muttaqiin
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
Prescribed for you when death approaches [any] one of you if he leaves wealth [is that he should make] a bequest for the parents and near relatives according to what is acceptable - a duty upon the righteous.
(Diwajibkan atas kamu, apabila salah seorang di antara kamu didatangi maut) maksudnya tanda-tandanya (jika ia meninggalkan kebaikan) yakni harta yang banyak,
(berwasiat) baris di depan sebagai naibul fa`il dari kutiba, dan tempat berkaitnya 'idzaa' jika merupakan zharfiyah dan menunjukkan hukumnya jika ia syartiyah dan sebagai jawaban pula dari 'in',
artinya hendaklah ia berwasiat (untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik-baik) artinya dengan adil dan tidak lebih dari sepertiga harta dan jangan mengutamakan orang kaya (merupakan kewajiban)
mashdar yang memperkuat isi kalimat yang sebelumnya (bagi orang-orang yang bertakwa) kepada Allah. Ayat ini telah dihapus dan diganti dengan ayat tentang waris dan dengan hadis, "Tidak ada wasiat untuk ahli waris." (H.R. Tirmizi)
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 180 |
Tafsir ayat 180-182
Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris
(pembagian waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya. Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah
yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi. Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwasiat. Karena itu,
telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara lain mengatakan:
"إِنِ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"
Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah,
dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus dengan lafaz yang sama.
Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim).Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 180) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan ayat mira's
(pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya. (Al-Baqarah: 180)Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:
لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7)Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam,
Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri, bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah ayatul miras
(ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam pewarisan).Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya,
meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah
disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:
{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ}
Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih
yang dianggap. Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 180 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap hukumnya
bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris. Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh
Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris hanyalah menghapus
sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka dihapuslah hukum
yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama
(Al-Baqarah ayat 180). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.
Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang dikatakan
oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan dilarang
karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang mewaris.
Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.
Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya;
juga karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا مَرَّتْ عَلَيّ لَيْلَةً مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan,
"Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari Rasulullah Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjurkan berbuat baik kepada kaum
kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.
قَالَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ مُبَارَكِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، ثِنْتَانِ لَمْ يَكُنْ لَكَ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا: جَعَلْتُ لَكَ نَصِيبًا فِي مَالِكَ حِينَ أَخَذْتُ بِكَظْمِكَ؛ لِأُطَهِّرَكَ بِهِ وَأُزَكِّيَكَ، وَصَلَاةُ عِبَادِي عَلَيْكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِكَ".
Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu
melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu (mati)."
**************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ تَرَكَ خَيْرًا}
jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Atiyyah Al-Aufi,
Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya.Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak
ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan,
dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a. bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau
empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180)
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah
seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab: "Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat' (Al-Baqarah: 180) Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu.”Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku
sebuah asar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 180) Maka Ibnu Abbas berkata, "Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar,
berarti dia tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)."Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah
delapan puluh dinar."Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih. Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah,
dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut. (Al-Baqarah: 180) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan,
"Sebaik-baik wasiat, yang merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf
ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
أَنَّ سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ".
Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw.
menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu
jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang lain."Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas
pernah mengatakan:
لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"
Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak."
رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، عَنْ ذَيَّالِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ، سَمِعْتُ حَنْظَلَةَ بْنَ حِذْيَمِ بْنِ حَنِيفَةَ: أَنَّ جِدَّهُ حَنِيفَةَ أَوْصَى لِيَتِيمٍ فِي حِجْرِهِ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى بَنِيهِ، فَارْتَفَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ حَنِيفَةُ: إِنِّي أَوْصَيْتُ لِيَتِيمٍ لِي بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، كُنَّا نُسَمِّيهَا الْمُطَيَّبَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "لَا لَا لَا. الصَّدَقَةُ: خَمْسٌ، وَإِلَّا فعَشْر، وَإِلَّا فَخَمْسَ عَشْرَةَ، وَإِلَّا فَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَثَلَاثُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ، فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَأَرْبَعُونَ". وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ
Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat
seratus ekor unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya
aku mewasiatkan buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah." Maka Nabi Saw. menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja;
dan jika tidak, maka lima belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja.
Akan tetapi, jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis ini dikemukakannya hingga selesai.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ}
Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah: 181)Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya
hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya
adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya."
{إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 181)Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima wasiat. ************** Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا}
(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi mengatakan bahwa
al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan
untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan,
atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya,
maka dalam keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh
si mayat dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini
sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan (dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda
dengan cara pertama tadi.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد، قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah,
dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.
Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja.
Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak sampai kepada Urwah.
قَالَ ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"
Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan
kepada kami Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar.Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.
Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur Razzaq:
حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan
suatu amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya
seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.
Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)
Surat Al-Baqarah |2:181|
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
fa mam baddalahuu ba'da maa sami'ahuu fa innamaaa iṡmuhuu 'alallażiina yubaddiluunah, innalloha samii'un 'aliim
Barang siapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Then whoever alters the bequest after he has heard it - the sin is only upon those who have altered it. Indeed, Allah is Hearing and Knowing.
(Barang siapa yang mengubahnya) mengubah wasiat, baik ia sebagai saksi atau yang menyampaikannya (setelah ia mendengarnya) atau mengetahuinya,
(maka sesungguhnya dosanya) maksudnya dosa dari pemalsuan wasiat itu (atas orang-orang yang mengubahnya.) Di sini terdapat penempatan zahir pada tempat mudhmar.
(Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) perbuatannya dan akan membalasnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 181 |
Penjelasan ada di ayat 180
Surat Al-Baqarah |2:182|
فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
fa man khoofa mim muushin janafan au iṡman fa ashlaḥa bainahum fa laaa iṡma 'alaiih, innalloha ghofuurur roḥiim
Tetapi barang siapa khawatir bahwa pemberi wasiat (berlaku) berat sebelah atau berbuat salah, lalu dia mendamaikan antara mereka, maka dia tidak berdosa. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
But if one fears from the bequeather [some] error or sin and corrects that which is between them, there is no sin upon him. Indeed, Allah is Forgiving and Merciful.
(Tetapi barang siapa merasa khawatir terhadap orang yang berwasiat) ada yang membaca muushin dan ada pula yang membaca muwashshin (berlaku berat sebelah) menyimpang dari keadilan (atau berbuat dosa) misalnya
dengan sengaja melebihi sepertiga atau mengistimewakan orang kaya, (lalu didamaikannya di antara mereka) yakni antara yang menyampaikan dan yang diberi wasiat dengan menyuruh menepati keadilan,
(sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 182 |
Penjelasan ada di ayat 180
Surat Al-Baqarah |2:183|
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
yaaa ayyuhallażiina aamanuu kutiba 'alaikumush-shiyaamu kamaa kutiba 'alallażiina ming qoblikum la'allakum tattaquun
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
O you who have believed, decreed upon you is fasting as it was decreed upon those before you that you may become righteous -
(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu) di antara umat manusia (agar kamu bertakwa) maksudnya menjaga diri dari maksiat,
karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 183 |
Tafsit ayat 183-184
Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt.
Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.Allah menyebutkan, sebagaimana puasa
diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam
menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat.Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183)Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh
dan mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam
beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya,
seperti yang akan dijelaskan kemudian.Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari.
Riwayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya. dengan puasa bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah: 183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan
atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ.."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang ulama Madinah),
dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat
seperlunya menyangkut pembahasan ini.Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum,
dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di besok malamnya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair,
Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183)
Yakni atas kaum Ahli Kitab. Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal.Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)Artinya, orang yang sakit dan orang
yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang
ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka,
maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama
baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a.
yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw.
salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya,
bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut.
Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku
suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya
berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali
hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah
Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan,
yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw. telah menyelesaikan sebagian dari salatnya.
Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat.
Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali ada suatu
tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Saw.
Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian
perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.
Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan
seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an
—sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas
orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan
yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar
yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan
harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa." Disebutkan pula bahwa Umar telah
menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian
—sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya.
melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}
Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya barang siapa
yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya'. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa'
yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang
hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa
memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa,
mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan.
(Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)
Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185)Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar,
dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Si war,
dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.
(Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami
Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah
mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari
yang ditinggalkannya'."Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah
seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua?
Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua;
maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat
Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf
berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari,
karena Imam Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya
sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun."Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari
ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas r.a. tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin
dan memberi mereka makan.Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari
murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna.Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya.
Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah,
tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah
dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain.
Surat Al-Baqarah |2:184|
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
ayyaamam ma'duudaat, fa mang kaana mingkum mariidhon au 'alaa safarin fa 'iddatum min ayyaamin ukhor, wa 'alallażiina yuthiiquunahuu fidyatun tho'aamu miskiin, fa man tathowwa'a khoiron fa huwa khoirul lah, wa an tashuumuu khoirul lakum ing kuntum ta'lamuun
(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
[Fasting for] a limited number of days. So whoever among you is ill or on a journey [during them] - then an equal number of days [are to be made up]. And upon those who are able [to fast, but with hardship] - a ransom [as substitute] of feeding a poor person [each day]. And whoever volunteers excess - it is better for him. But to fast is best for you, if you only knew.
(Beberapa hari) manshub atau baris di atas sebagai maf`ul dari fi`il amar yang bunyinya diperkirakan 'shiyam' atau 'shaum' (berbilang) artinya yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan bilangan yang telah diketahui,
yakni selama bulan Ramadan sebagaimana yang akan datang nanti. Dikatakannya 'yang sedikit' untuk memudahkan bagi mualaf. (Maka barang siapa di antara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari berpuasa itu
(sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk mengerjakan puasa dalam kedua situasi tersebut, lalu ia berbuka, (maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia berbuka,
lalu berpuasalah sebagai gantinya (pada hari-hari yang lain.) (Dan bagi orang-orang yang) (tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh
(maka hendaklah membayar fidyah) yaitu (memberi makan seorang miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin setiap hari, yaitu satu gantang/mud dari makanan pokok penduduk negeri.
Menurut satu qiraat, dengan mengidhafatkan 'fidyah' dengan tujuan untuk penjelasan. Ada pula yang mengatakan tidak, bahkan tidak ditentukan takarannya. Di masa permulaan Islam,
mereka diberi kesempatan memilih, apakah akan berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus (mansukh) dengan ditetapkannya berpuasa dengan firman-Nya.
"Maka barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa." Kata Ibnu Abbas, "Kecuali wanita hamil dan yang sedang menyusui,
jika berbukanya itu disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka membayar fidyah itu tetap menjadi hak mereka tanpa nasakh." (Dan barang siapa yang secara sukarela melakukan kebaikan)
dengan menambah batas minimal yang disebutkan dalam fidyah tadi (maka itu) maksudnya berbuat tathawwu` atau kebaikan (lebih baik baginya. Dan berpuasa) menjadi mubtada', sedangkan khabarnya ialah,
(lebih baik bagi kamu) daripada berbuka dan membayar fidyah (jika kamu mengetahui) bahwa berpuasa lebih baik bagimu, maka lakukanlah.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 184 |
Penjelasan ada di ayat 183
Surat Al-Baqarah |2:185|
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
syahru romadhoonallażiii unzila fiihil-qur`aanu hudal lin-naasi wa bayyinaatim minal-hudaa wal-furqoon, fa man syahida mingkumusy-syahro falyashum-h, wa mang kaana mariidhon au 'alaa safarin fa 'iddatum min ayyaamin ukhor, yuriidullohu bikumul-yusro wa laa yuriidu bikumul-'usro wa litukmilul-'iddata wa litukabbirulloha 'alaa maa hadaakum wa la'allakum tasykuruun
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur´an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
The month of Ramadhan [is that] in which was revealed the Qur'an, a guidance for the people and clear proofs of guidance and criterion. So whoever sights [the new moon of] the month, let him fast it; and whoever is ill or on a journey - then an equal number of other days. Allah intends for you ease and does not intend for you hardship and [wants] for you to complete the period and to glorify Allah for that [to] which He has guided you; and perhaps you will be grateful.
Hari-hari tersebut adalah (bulan Ramadan yang padanya diturunkan Alquran) yakni dari Lohmahfuz ke langit dunia di malam lailatulkadar (sebagai petunjuk) menjadi 'hal',
artinya yang menunjukkan dari kesesatan (bagi manusia dan penjelasan-penjelasan) artinya keterangan-keterangan yang nyata (mengenai petunjuk itu) yang menuntun pada hukum-hukum yang hak,
(dan) sebagai (pemisah) yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil. (Maka barang siapa yang menyaksikan) artinya hadir (di antara kamu di bulan itu,
hendaklah ia berpuasa dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari yang lain) sebagaimana telah diterangkan terdahulu.
Diulang-ulang agar jangan timbul dugaan adanya nasakh dengan diumumkannya 'menyaksikan bulan' (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesempitan) sehingga oleh karenanya kamu diperbolehkan-Nya berbuka,
di waktu sakit dan ketika dalam perjalanan. Karena yang demikian itu merupakan `illat atau motif pula bagi perintah berpuasa, maka diathafkan padanya.
(Dan hendaklah kamu cukupkan) ada yang membaca 'tukmiluu' dan ada pula 'tukammiluu' (bilangan) maksudnya bilangan puasa Ramadan (hendaklah kamu besarkan Allah)
sewaktu menunaikannya (atas petunjuk yang diberikan-Nya kepadamu) maksudnya petunjuk tentang pokok-pokok agamamu (dan supaya kamu bersyukur) kepada Allah Taala atas semua itu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 185 |
Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan
sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa),
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan,
sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan:
أَنَّ الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،
Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia;
hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1)
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3)Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185);
Firman-Nya: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1)
Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam
bulan Rabi'. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus,
kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan
kepada Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar)
ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Saw.
melainkan Allah Swt. mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)
*********
Adapun firman Allah Swt.:
{هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah: 185)Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai petunjuk
buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya,
membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta ha-lal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan,
"Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan."Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan
Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang imam ahli dalam Bab
"Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak oleh
Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar,
untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah hadis yang mengatakan:
"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.Dan hadis-hadis lainnya yang semisal. ********* Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal
masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa
bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan
kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa
sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan,
teta-pi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat kalian.Beberapa masalah yang berkaitan
dengan ayat iniPertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian),
maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya,
karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw.
berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
(Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan.
Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi Saw.
tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw. mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan
pula dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ
Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun
di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka
karena berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah
hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
«مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»
Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»
Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah
yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".
Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu
kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka,
dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:
مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ عَرَفَةَ
Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah?
Ada dua pendapat mengenai masalah ini.Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an.Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin
memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat—
karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari
yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian
Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw.:
Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah.
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة، قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah
yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya
kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih
masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya:
"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"
Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua
dan jangan sampai kamu berdua berselisih pendapat.Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh dengan toleransi.Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ العُسْر"
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri,
dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda,
"Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini,
dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan."
**********
Firman Allah Swt:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah: 185)Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka
bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan
bilangan bulan Ramadan kalian.
**************
Firman Allah Swt.:
{وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185)Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)Dan firman Allah Swt.:
سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-40)Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah
bahwa disunatkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Saw. melainkan melalui takbirnya."
Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam
firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri
tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.
********
Firman Allah Swt.:
{وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}
Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa
yang diharamkan-Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.
Surat Al-Baqarah |2:186|
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
wa iżaa sa`alaka 'ibaadii 'annii fa innii qoriib, ujiibu da'watad-daa'i iżaa da'aani falyastajiibuu lii walyu`minuu bii la'allahum yarsyuduun
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran.
And when My servants ask you, [O Muhammad], concerning Me - indeed I am near. I respond to the invocation of the supplicant when he calls upon Me. So let them respond to Me [by obedience] and believe in Me that they may be [rightly] guided.
(Segolongan orang-orang bertanya kepada Nabi saw., "Apakah Tuhan kami dekat, maka kami akan berbisik kepada-Nya, atau apakah Dia jauh, maka kami akan berseru kepada-Nya
." Maka turunlah ayat ini. ("Dan apabila hamba-hamba-Ku menanyakan kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku Maha Dekat) kepada mereka dengan ilmu-Ku,
beritahukanlah hal ini kepada mereka (Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, jika ia berdoa kepada-Ku) sehingga ia dapat memperoleh apa yang dimohonkan.
(Maka hendaklah mereka itu memenuhi pula perintah-Ku) dengan taat dan patuh (serta hendaklah mereka beriman) senantiasa iman (kepada-Ku supaya mereka berada dalam kebenaran.") atau petunjuk Allah.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 186 |
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah
(yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh,
maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka
untuk berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka.Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula
oleh Ibnu Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang sama.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan
yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika firman-Nya
ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk melakukan doa
bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku.
(Al-Baqarah: 186)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالْلَّهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan,
"Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan
suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli,
bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta
kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي، وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami
Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman,
"Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:
إِنَّنِي مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى
Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46)Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun
yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan
dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ -هُوَ النَّهْدِيُّ -يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ مَيْمُونٍ
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw.
pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa.
Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat)
dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab
Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafaz yang sama.Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "
telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah
yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera
dikabulkan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata,
"Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa)."
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul,
dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada mereka, yaitu Nabi Saw. pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada Allah Swt.
memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini.
وَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ -مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل، يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي".
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan,
"Aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku."Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari rahimahullah.
قَالَ مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال: "يقول: قد دعوتُ، وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ الدُّعَاءَ"
Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani,
dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan,
"Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa
dan menghentikan doanya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ: قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ لِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan
selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'."
Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit
telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan,
sebelum disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?"
Siti Aisyah menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan'."Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan hal yang serupa
dengan apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah r.a.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya,
sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بن إبراهيم بن أبيَّ بن نافع ابن مَعْدِ يكَرِبَ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ نَافِعٍ، حدثني أبي نَافِعِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ سألتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْآيَةِ: {أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} قَالَ: "يَا رَبِّ، مَسْأَلَةُ عَائِشَةَ". فَهَبَطَ جِبْرِيلُ فَقَالَ: اللَّهُ يُقْرِؤُكَ السَّلَامَ، هَذَا عَبْدِي الصَالِحٍ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ، وقلبُه نَقِيٌّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، فَأَقُولُ: لَبَّيْكَ. فَأَقْضِي حَاجَتَهُ.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku
Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku.
(Al-Baqarah: 186) Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh,
dengan niat yang benar dan hatinya bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku penuhi permintaannya.Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِالدُّعَاءِ، وتوكَّلْتَ بِالْإِجَابَةِ، لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌ صَمَد لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ وَعْدَكَ حَقٌّ، وَلِقَاءَكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ"
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. pernah membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ya Allah,
Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji
dan nikmat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan,
serta tiada seorang pun yang setara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa diragukan lagi,
dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari kuburnya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى الْأَرْزِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى القُطَعي قَالَا حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا صَالِحٍ المُرِّي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، وَاحِدَةٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ لِي، وَوَاحِدَةٌ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ؛ فَأَمَّا التِي لِي فَتَعْبُدُنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، وَأَمَّا التِي لَكَ فَمَا عملتَ مِنْ شَيْءٍ وَفَّيْتُكَه وَأَمَّا التِي بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَمِنْكَ الدُّعَاءُ وَعَلِيَّ الْإِجَابَةُ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan
kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku
ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu.
Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan).Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa
dengan sekuat tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab Musnad-nya:
حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْمَلِيكِيُّ، عَنْ عَمْرو -هُوَ ابْنُ شُعَيْبِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ". فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِذْ أَفْطَرَ دَعَا أَهْلَهُ، وَوَلَدَهَ وَدَعَا
telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar
Nabi Saw. bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka puasa.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya;
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوةً مَا تُرَدّ". قَالَ عَبْد اللَّهِ بْنُ أَبِي مُليَكة: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وسعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي .
telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr
selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku.Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai,
dan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
" ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: بعزتي لأنصرنك ولو بعد حين"
Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya
semua pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya.”
Surat Al-Baqarah |2:187|
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
uḥilla lakum lailatash-shiyaamir-rofaṡu ilaa nisaaa`ikum, hunna libaasul lakum wa antum libaasul lahunn, 'alimallohu annakum kuntum takhtaanuuna anfusakum fa taaba 'alaikum wa 'afaa 'angkum, fal-aana baasyiruuhunna wabtaghuu maa kataballohu lakum, wa kuluu wasyrobuu ḥattaa yatabayyana lakumul-khoithul-abyadhu minal-khoithil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmush-shiyaama ilal-laiil, wa laa tubaasyiruuhunna wa antum 'aakifuuna fil-masaajid, tilka ḥuduudullohi fa laa taqrobuuhaa, każaalika yubayyinullohu aayaatihii lin-naasi la'allahum yattaquun
Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.
It has been made permissible for you the night preceding fasting to go to your wives [for sexual relations]. They are clothing for you and you are clothing for them. Allah knows that you used to deceive yourselves, so He accepted your repentance and forgave you. So now, have relations with them and seek that which Allah has decreed for you. And eat and drink until the white thread of dawn becomes distinct to you from the black thread [of night]. Then complete the fast until the sunset. And do not have relations with them as long as you are staying for worship in the mosques. These are the limits [set by] Allah, so do not approach them. Thus does Allah make clear His ordinances to the people that they may become righteous.
(Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berkencan dengan istri-istrimu) maksudnya mencampuri mereka. Ayat ini turun menasakhkan hukum yang berlaku di masa permulaan Islam,
berupa pengharaman mencampuri istri, begitu pula diharamkan makan minum setelah waktu Isyak. (Mereka itu pakaian bagi kamu dan kamu pakaian bagi mereka) kiasan bahwa mereka berdua saling bergantung dan saling membutuhkan.
(Allah mengetahui bahwa kamu akan berkhianat pada) atau mengkhianati (dirimu) dengan melakukan jimak atau hubungan suami istri pada malam hari puasa.
Hal itu pernah terjadi atas diri Umar dan sahabat lainnya, lalu ia segera memberitahukannya kepada Nabi saw., (maka Allah pun menerima tobatmu) yakni sebelum kamu bertobat (dan dimaafkan-Nya kamu.
Maka sekarang) karena telah dihalalkan bagimu (campurilah mereka itu) (dan usahakanlah) atau carilah (apa-apa yang telah ditetapkan Allah bagimu) artinya apa yang telah diperbolehkan-Nya
seperti bercampur atau mendapatkan anak (dan makan minumlah) sepanjang malam itu (hingga nyata) atau jelas (bagimu benang putih dari benang hitam berupa fajar sidik) sebagai penjelasan bagi benang putih,
sedangkan penjelasan bagi benang hitam dibuang, yaitu berupa malam hari. Fajar itu tak ubahnya seperti warna putih bercampur warna hitam yang memanjang dengan dua buah garis berwarna putih dan hitam.
(Kemudian sempurnakanlah puasa itu) dari waktu fajar (sampai malam) maksudnya masuknya malam dengan terbenamnya matahari (dan janganlah kamu campuri mereka) maksudnya istri-istri kamu itu (sedang kamu beriktikaf),
atau bermukim dengan niat iktikaf (di dalam mesjid-mesjid) seorang yang beriktikaf dilarang keluar mesjid untuk mencampuri istrinya lalu kembali lagi.
(Itulah) yakni hukum-hukum yang telah disebutkan tadi (larangan-larangan Allah) yang telah digariskan-Nya bagi hamba-hamba-Nya agar mereka tidak melanggarnya (maka janganlah kami mendekatinya).
Kalimat itu lebih mengesankan dari kalimat "janganlah kamu melanggarnya" yang diucapkan pada ayat lain. (Demikianlah sebagaimana telah dinyatakan-Nya bagi kamu apa yang telah disebutkan itu
(Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi manusia supaya mereka bertakwa) maksudnya menjauhi larangan-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 187 |
Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka,
ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya.
Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat yang besar.Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan,
Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
*******
Firman Allah Swt.:
{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}
Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah
'mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka'.Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.
Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan,
agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair mengatakan:
إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا ... تَدَاعَتْ فَكَانَتْ عَلَيْهِ لِبَاسَا
Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu'az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya.
Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama.
Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu mempunyai makanan?"
Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau,
ternyata engkau tertidur." Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian,
—sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini
diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya
sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu
yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal
tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian.
Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya.
Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa
Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu
atas apa yang telah aku perbuat." Nabi Saw. bertanya, "Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur,
sedangkan aku berkeinginan untuk puasa." Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan:
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan,
apabila mereka telah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah salat Isya. Sedangkan
Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang
kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian.
(Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian.
(Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman,
dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya.
Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia." Maka berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari
puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar
Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan,
minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke rumahnya dari rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur,
dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah
Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian.
Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan
Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat
dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.
*********
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah,
Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.Abdur Razzaq mengatakan pula,
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum),
artinya 'apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian'.Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata
kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan
yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal-la)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.
************
Firman Allah Swt.:
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh
menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah 'benang putih' yang berbeda
dengan 'benang hitam', kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:
{مِنَ الْفَجْرِ}
Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا ابن أبي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّان مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّف، حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} وَلَمْ يُنزلْ {مِنَ الْفَجْرِ} وَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ، رَبَطَ أحدُهم فِي رِجْلَيْهِ الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتَهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ الْفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي: اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut
ini diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila
hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Yaitu fajar.
(Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan,
yakni firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam,
sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri).
Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah Saw., lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud
dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi. Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar'
ialah bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari
dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ، أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ اللَّيْلِ"
Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam.
Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku."
Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya kamu
ini benar-benar memiliki tengkuk yang lebar.Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah 'apabila bantalnya lebar,
maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)'.Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرّف، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ، أَهُمَا الْخَيْطَانِ؟ قَالَ: "إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا إِنْ أَبْصَرْتَ الْخَيْطَيْنِ". ثُمَّ قَالَ: "لَا بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih
dari benang hitam, apakah keduanya memang benang?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang itu." Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, "Tidak,
bahkan yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari."Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah,
dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul Saw. terdapat anjuran bersahur. Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"
Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر"
Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى هُوَ ابْنُ الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّحور أكْلُهُ بَرَكَةٌ؛ فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَجْرَع جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bersalawat untuk orang-orang yang makan sahur.Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkannya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan orang-orang yang makan.
Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian kami bangkit mengerjakan salat." Anas bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ عَديّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "لا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الْإِفْطَارَ وأخَّروا السُّحُورَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya).Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw.
menamakan makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:
مِنْ رِوَايَةِ حَمَّادِ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: تسحَّرْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ
melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.
Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah adakalanya mereka dirujuki
dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula. Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur,
sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar
ulama Salaf bahwa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit.
Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari sebagian besar golongan tabi'in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha'i, Abud Duha, dan Abu Wa'il serta lain-lainnya dari kalangan
murid-murid Ibnu Mas'ud, Ata, Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya'sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung oleh Al-A'masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah mencatat
sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara menyendiri.Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya)
matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam.Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya:
dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"لَا يَمْنَعُكُمْ أذانُ بِلَالٍ عَنْ سَحُوركم، فَإِنَّهُ يُنَادِي بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"
Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum,
karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh) terbit.Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْق، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال: "لَيْسَ الفجرُ الْمُسْتَطِيلُ فِي الْأُفُقِ وَلَكِنَّهُ الْمُعْتَرِضُ الْأَحْمَرُ" .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu bukanlah sinar
yang memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang. Sedangkan menurut lafaz Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi disebutkan:
"كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمْ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ"
Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang bagi kalian.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ شَيْخٍ مِنْ بَنِي قُشَيْرٍ: سَمِعْتُ سَمُرة بْنَ جُنْدَب يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ وَهَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ، أَوْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair;
ia pernah mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu'bah dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ سَحُوركم أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ، وَلَكِنَّ الْفَجْرَ الْمُسْتَطِيرَ فِي الْأُفُقِ"
Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur.
قَالَ: وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَية، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوادة القُشَيري، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بلال ولا هذا البياض، تعمدوا الصبح حين يَسْتَطِيرَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih ini —seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang— sebelum ia melebar.Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya,
dari Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang semisal.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حمَيد، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيمان التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يمنعَنّ أَحَدَكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ عَنْ سُحُورِهِ -أَوْ قَالَ نِدَاءُ بِلَالٍ -فَإِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ -أَوْ [قَالَ] يُنَادِي -لِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ وليَرْجع قائمكم، وليس الفجر أن يقول هكذا أوهكذا، حَتَّى يَقُولَ هَكَذَا".
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan yang dilakukan oleh Bilal —atau beliau Saw. bersabda, oleh seruan Bilal— karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari
(yakni hari masih malam) —atau beliau bersabda, untuk membangunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang salat (sunat malam hari) dari kalian—. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini,
melainkan fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian."Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui At-Taimi dengan lafaz yang sama.
وَحَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ الزِّبْرِقَانِ النَّخَعِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي ذئْب، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَالذِي كَأَنَّهُ ذَنْبُ السِّرْحَانِ لَا يُحَرِّم شَيْئًا، وَأَمَّا الْمُسْتَطِيرُ الذِي يَأْخُذُ الْأُفُقَ، فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ"
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha'i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi'b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban
yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar
dan memenuhi ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan mengharamkan makanan.Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata; ia pernah
mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya
ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya).Ata mengatakan, "Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang (seperti tiang),
fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan salat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah
minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji."Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari
dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah r.a. yang keduanya menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
Rasulullah Saw. pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima' (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.Di dalam hadis Ummu Salamah r.a. yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:
ثُمَّ لَا يُفْطِرُ وَلَا يَقْضِي
dan beliau Saw. tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan hadis berikut:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، تُدْركني الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا تُدْرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ". فَقَالَ: لَسْتَ مِثْلَنَا -يَا رَسُولَ اللَّهِ -قَدْ غفرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ: "وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أكونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَعْلَمُكُمْ بِمَا أَتَّقِي"
Bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku berada di waktu salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?" Rasulullah Saw. menjawab, "Aku pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh),
sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa." Lelaki itu berkata, "Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu
dan yang kemudian." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ -صَلَاةِ الصُّبْحِ -وَأَحَدُكُمْ جُنُبٌ فَلَا يَصُمْ يَوْمَئِذٍ"
telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Apabila diserukan untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub,
maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui. Hadis ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah,
dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak me-rafa'-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi Saw.). Karena itu,
ada sebagian ulama yang menilai daif' hadis ini karena faktor tersebut (tidak marfu'). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadis ini.Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim,
Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya,
berdasarkan kepada hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.
Di antara mereka ada orang yang membedakan antara puasa fardu dan puasa sunat. Kalau puasanya adalah puasa fardu, maka dia harus melanjutkan puasanya, tetapi harus mengqadainya. Kalau puasanya sunat,
maka jinabah tidak membahayakannya. Pendapat ini diriwayatkan oleh As-Sauri, dari Mansur, dari Ibrahim An-Nakha'i, juga merupakan suatu riwayat dari Al-Hasan Al-Basri.Di antara mereka ada yang menduga bahwa hadis Abu Hurairah
di-nasakh oleh hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah, tetapi pendapat ini tidak mempunyai alasan mana yang lebih dahulu di antara keduanya.Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun
jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.Di antara mereka ada yang menginterpretasikan hadis Abu Hurairah dengan pengertian bertentangan
dengan kesempurnaan puasa. Karena itu, tidak ada pahala puasa bagi pelakunya, berdasarkan hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah yang menunjukkan pengertian boleh. Pendapat terakhir inilah yang lebih mendekati kebenaran
dan lebih mencakup keseluruhannya.
*************
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain,
dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"
Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا قُرّة بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلِيَّ أعجلُهم فِطْرًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku ialah orang yang paling segera berbuka."Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu jalur,
bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.
وَقَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ، سَمِعْتُ إِيَادَ بْنَ لَقِيطٍ قَالَ: سَمِعْتُ لَيْلَى امْرَأَةَ بَشِير بْنِ الخَصَاصِيَّة، قَالَتْ: أَرَدْتُ أَنْ أصومَ يَوْمَيْنِ مُوَاصَلَةً، فَمَنَعَنِي بَشِيرٌ وَقَالَ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْهُ. وَقَالَ: "يَفْعَلُ ذَلِكَ النَّصَارَى، ولكنْ صُوموا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ، وَأَتِمُّوا الصيامَ إِلَى اللَّيْلِ، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ فَأَفْطِرُوا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul Khasasiyah)
yang menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua hari berturut-turut, tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang hal seperti itu dan bersabda: Yang melakukan demikian
hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, "Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Baqarah: 187). Apabila malam tiba (magrib), maka berbukalah kalian.
Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan sesuatu pun di antara keduanya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ. قَالَ: "فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي وَيَسْقِينِي". قَالَ: فَلَمْ يَنْتَهُوا عَنِ الْوِصَالِ، فَوَاصَلَ بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَيْنِ وَلَيْلَتَيْنِ، ثُمَّ رَأَوُا الْهِلَالَ، فَقَالَ: "لَوْ تَأَخَّرَ الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ" كالمُنكِّل بِهِمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Janganlah kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi Saw. menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku menginap seraya diberi makan dan minum
oleh Tuhanku." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau menghentikan wisalnya (karena mengikut Nabi Saw.). Nabi Saw. meneruskan wisal-nya bersama mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal
(bulan Syawwal), maka Nabi Saw. bersabda, "Seandainya hilal datang terlambat, niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang menghukum mereka.Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab Sahihain
melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Demikian pula keduanya mengetengahkan hadis tentang larangan wisal ini melalui hadis Anas dan Ibnu Umar.Dari Siti Aisyah r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melarang mereka
melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka berkata, "Sesungguhnya engkau pun ber-wisal? Maka beliau Saw. menjawab:
"إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي"
Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan
salah satu keistimewaan Nabi Saw. Beliau Saw. kuat melakukan hal tersebut dan mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada Nabi Saw.
hanyalah berupa makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti Nabi Saw. bukanlah orang yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, melainkan perihalnya sama dengan apa yang diungkapkan
oleh seorang penyair, yaitu:
لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلُهَا ... عَنِ الشَّرَابِ وَتُلْهِيهَا عَنِ الزَّادِ
Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya.Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga waktu sahur, diperbolehkan baginya
melakukan hal itu seperti apa yang disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إِلَى السَّحَرِ". قَالُوا: فَإِنَّكَ تواصِل يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبَيْتُ لِي مُطْعِم يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِي".
Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang memberi minum."Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini
di dalam kitab sahih masing-masing.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريْب، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ العَبْسي عَنْ أَبِي بَكْرِ ابن حَفْصٍ، عَنْ أُمِّ وَلَدِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتعة: أَنَّهَا مَرَّتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَدَعَاهَا إِلَى الطَّعَامِ. فَقَالَتْ: إِنِّي صَائِمَةٌ. قَالَ: وَكَيْفَ تَصُومِينَ؟ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "أين أنت من وِصَالِ آلِ مُحَمَّدٍ، مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu Abu Balta'ah
yang menceritakan: Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw. ketika beliau sedang makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan, tetapi ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi Saw. bersabda, "Bagaimanakah cara puasamu?"
Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda, "Puasamu itu bukan termasuk wisal yang dilakukan oleh keluarga Muhammad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur yang lain'.'
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوَاصِلُ مِنَ السَّحَر إِلَى السَّحَر
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abdul A'la, dari Muhammad ibnu Ali, dari Ali r.a.:Bahwa Nabi Saw. acapkali melakukan wisal dari sahur ke sahur yang lain.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnuz Zubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa mereka sering melakukan wisal dalam hari-hari yang dapat dihitung. Ibnu Jarir menginterpretasikan bahwa mereka melakukan
perbuatan ini hanya untuk melatih diri mereka, bukan sebagai ibadah. Tetapi dapat diinterpretasikan pula bahwa mereka memahami larangan tersebut sebagai bimbingan yang mengandung rasa belas kasihan. Seperti yang disebutkan
di dalam hadis Siti Aisyah r.a., yaitu karena belas kasihan kepada mereka. Tersebutlah bahwa Ibnuz Zubair dan anak laki-lakinya (yaitu Amir) serta orang-orang yang mengikuti jejaknya melakukan wisal ini dengan kuat, karena mereka
memang mempunyai ketahanan tubuh yang mampu melakukan hal tersebut.Diriwayatkan dari mereka bahwa ketika mereka ber-wisal, makanan yang mula-mula mereka makan sebagai bukanya ialah minyak samin dan jazam agar perut mereka
tidak perih karena makanan selanjutnya. Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair bahwa ia sering melakukan wisal selama tujuh hari berturut-turut, tetapi pada hari yang ketujuh di pagi harinya ia kelihatan sebagai orang yang paling kuat
dan paling tegar di antara mereka (yang berpuasa).Abul Aliyah mengatakan, sesungguhnya Allah hanya mewajibkan puasa di siang hari saja. Tetapi bila malam hari tiba, maka orang yang ingin makan, boleh makan;
dan bagi orang meneruskannya, boleh tidak makan.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf
di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di malam hari sebelum dia selesai dari i'tikaf.Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan
i'tikaf di dalam masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika menghendakinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian) selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Qatadah,
dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka, bahwa pada mulanya mereka melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi istri mereka selagi mereka masih dalam i'tikaf) hingga ayat ini diturunkan.Ibnu Abu Hatim mengatakan,
telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad ibnu Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah seseorang mendekati istrinya,
sedang dia dalam keadaan i'tikaf."Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama. Yaitu orang yang beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih
dalam i'tikaf di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali sekadar waktu seperlunya sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang air besar
atau makan; dan tidak diperbolehkan mencium istri, tidak boleh pula memeluknya, dan tidak boleh menyibukkan diri dengan urusan lain kecuali i'tikafnya. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi boleh baginya menanyakan perihal
si sakit bila ia mengambil jalan yang melewati si sakit.I'tikaf mempunyai hukum-hukum sendiri di dalam babnya, antara lain hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, dan ada yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya kami telah
menyebutkan sebagian yang diperlukan darinya di akhir pembahasan puasa. Karena itulah para penulis kitab fiqih mengikutkan Bab "I'tikaf' dengan Bab "Puasa" demi mengikuti Al-Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al-Qur'an
diperhatikan penyebutan masalah i'tikaf sesudah penyebutan masalah puasa.Penyebutan i'tikaf yang dilakukan oleh Allah Swt. sesudah masalah puasa mengandung petunjuk dan perhatian yang menganjurkan i'tikaf dalam berpuasa
atau di akhir bulan Ramadan. Seperti yang telah disebutkan di dalam sunnah Rasul Saw. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, hingga Allah mewafatkannya.
Kemudian istri-istrinya melakukan i'tikaf pula sesudah beliau tiada. Demikianlah menurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah Ummul Muminin r.a.Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa
Safiyyah binti Huyayyin mengunjungi Nabi Saw. yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah berbicara sesaat dengan Nabi Saw., kemudian ia bangkit untuk pulang ke rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Nabi Saw.
bangkit untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya.Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di tengah jalan, Nabi Saw.
bersua dengan dua orang lelaki dari kalangan Ansar. Ketika keduanya melihat Nabi Saw., maka keduanya berjalan dengan cepat.Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu kepada Nabi Saw., mengingat Nabi Saw.
sedang bersama istrinya (Siti Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi Saw. bersabda, "Perlahan-lahanlah kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin," yakni istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanallah
(Mahasuci Allah), wahai Rasulullah." Maka Rasulullah Saw. bersabda;
"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا" أَوْ قَالَ: "شَرًّا"
Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu kecurigaan di dalam hati kamu berdua —atau beliau Saw. bersabda— suatu keburukan.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Saw. bermaksud mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang, padahal kedua orang tersebut
adalah orang yang bertakwa-kepada Allah dan jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka yang buruk terhadap diri Nabi Saw.Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah bersetubuh dan semua pendahuluan
yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman, pelukan, dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a.,
Surat Al-Baqarah |2:188|
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
wa laa ta`kuluuu amwaalakum bainakum bil-baathili wa tudluu bihaaa ilal-ḥukkaami lita`kuluu fariiqom min amwaalin-naasi bil-iṡmi wa antum ta'lamuun
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.
And do not consume one another's wealth unjustly or send it [in bribery] to the rulers in order that [they might aid] you [to] consume a portion of the wealth of the people in sin, while you know [it is unlawful].
(Dan janganlah kamu memakan harta sesama kamu), artinya janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain (dengan jalan yang batil), maksudnya jalan yang haram menurut syariat,
misalnya dengan mencuri, mengintimidasi dan lain-lain (Dan) janganlah (kamu bawa) atau ajukan (ia) artinya urusan harta ini ke pengadilan dengan menyertakan uang suap (kepada hakim-hakim, agar kamu dapat memakan)
dengan jalan tuntutan di pengadilan itu (sebagian) atau sejumlah (harta manusia) yang bercampur (dengan dosa, padahal kamu mengetahui) bahwa kamu berbuat kekeliruan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 188 |
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat.
Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada di pihak yang salah (berdosa)
dan memakan harta haram.Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa mereka pernah mengatakan,
"Janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim."Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا إِنَّمَا أَنَا بَشَر، وَإِنَّمَا يَأْتِينِي الْخِصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ، فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ نَارٍ، فَلْيَحْملْهَا، أَوْ ليذَرْها"
Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan sesungguhnya sering datang kepadaku orang-orang yang mengadukan perkaranya. Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan alasannya daripada lawannya,
karena itu aku memutuskan perkara untuknya. Barang siapa yang telah kuputuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pada hakikatnya hal itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; karena itu, hendaklah seseorang
menyanggahnya atau meninggalkannya.Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah hakikat sesuatu —dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram—
melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak bersesuaian
dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya. Karena itu,
dalam ayat ini disebutkan:
{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 188)Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan kalian palsukan melalui ucapan kalian.Qatadah mengatakan, "Ketahuilah,
hai anak Adam, bahwa keputusan kadi itu tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula membenarkan perkara yang batil. Sesungguhnya dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat melalui kesaksian para saksi.
Kadi adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan terkadang benar. Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara untuk kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih tetap ada hingga Allah
menghimpunkan di antara kedua belah pihak di hari kiamat, lalu Allah memutuskan perkara buat kemenangan orang yang hak atas orang yang batil itu dengan keputusan yang lebih baik daripada apa yang telah diputuskan
buat kemenangan si batil atas pihak yang hak sewaktu di dunia."
Surat Al-Baqarah |2:189|
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
yas`aluunaka 'anil-ahillah, qul hiya mawaaqiitu lin-naasi wal-ḥajj, wa laisal-birru bi`an ta`tul-buyuuta min zhuhuurihaa wa laakinnal-birro manittaqoo, wa`tul-buyuuta min abwaabihaa wattaqulloha la'allakum tufliḥuun
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji." Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
They ask you, [O Muhammad], about the new moons. Say, "They are measurements of time for the people and for Hajj." And it is not righteousness to enter houses from the back, but righteousness is [in] one who fears Allah. And enter houses from their doors. And fear Allah that you may succeed.
(Mereka menanyakan kepadamu) hai Muhammad, (tentang bulan sabit). 'Ahillah' jamak dari 'hilal'. Pada permulaannya tampak kecil tipis kemudian terus bertambah hingga penuh dengan cahaya.
Lalu kembali sebagaimana semula, maka keadaannya tidak seperti matahari yang tetap (katakanlah) kepada mereka, ("Ia adalah tanda-tanda waktu); mawaaqiit jamak dari miiqaat (bagi manusia) ,
untuk mengetahui waktu bercocok tanam, berdagang, idah wanita, berpuasa, dan berbuka mereka (dan bagi haji) diathafkan atau dihubungkan kepada manusia, artinya untuk diketahui waktunya.
Karena seandainya bulan tetap dalam keadaan yang sama, tentulah hal itu tidak dapat diketahui (Dan bukanlah kebaktian, jika kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya) yakni di waktu ihram,
dengan membuat lubang di belakang rumah untuk tempat keluar masuk kamu dengan meninggalkan pintu. Hal itu biasa mereka lakukan dulu dan mereka anggap sebagai kebaktian,
(tetapi kebaktian itu), maksudnya orang yang berbakti (ialah orang yang bertakwa) kepada Allah dengan tidak melanggar perintah-perintah-Nya,
(dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya) baik sewaktu ihram maupun pada waktu-waktu lainnya, (dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beroleh keberuntungan").
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 189 |
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang bulan sabit. Maka turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah,
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Yakni dengan melaluinya mereka mengetahui waktu masuknya ibadah mereka, bilangan idah istri-istri, dan waktu haji mereka.Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi',
dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadis kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslim dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri,
dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوّاد، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنَّ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا".
Abdur Razzaq meriwayatkan, dari Abdul Aziz ibnu Abu Rawwad, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia,
maka berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya. Maka apabila awan menutupi kalian, sempurnakanlah bilangan menjadi tiga puluh hari.Hadis riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis
Ibnu Abu Rawwad dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan bahwa Ibnu Abu Rawwad adalah orang yang siqah, ahli ibadah, seorang mujtahid lagi bernasab terhormat. Maka hadis ini sahih sanadnya,
tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ؛ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: "جعل اللَّهُ الأهلَّة، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فصُوموا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أغْمي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ"
Muhammad ibnu Jabir meriwayatkan dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah menciptakan bulan sabit. Maka apabila kalian melihat bulan sabit, berpuasalah;
dan apabila kalian melihatnya lagi, berbukalah. Tetapi jika awan menutupi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan kalian menjadi tiga puluh hari.Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Abu Hurairah,
juga dari ucapan Ali ibnu Abu Talib r.a.
**********
Firman Allah Swt:
{وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا}
Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)Imam Bukhari mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa pada mulanya di zaman Jahiliah apabila mereka telah melakukan ihram, mereka memasuki rumahnya dari arah belakangnya.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Abi Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar pada mulanya bila mereka tiba dari perjalanannya, maka seseorang dari mereka
tidak memasuki rumahnya dari arah pintunya, lalu turunlah ayat ini.Al-A'masy menceritakan dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa dahulu orang-orang Quraisy dikenal dengan nama Humus, mereka selalu masuk dari pintu-pintunya dalam ihram
mereka; sedangkan orang-orang Ansar dan semua orang Arab dalam ihram mereka tidak memasukinya dari pintu. Ketika Rasulullah Saw. sedang berada di sebuah kebun, selanjutnya beliau keluar dari pintunya, tetapi keluar pula bersamanya
Qutbah ibnu Amir dari kalangan Ansar. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qutbah ibnu Amir adalah seorang pedagang, sesungguhnya dia telah keluar bersamamu dari pintu itu." Maka Rasul Saw. bertanya kepada Qutbah,
"Apakah yang mendorongmu melakukan demikian?" Qutbah menjawab, "Aku melihat engkau melakukannya, maka aku ikut melakukan seperti apa yang telah engkau lakukan." Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku adalah seorang Ahmas."
Qutbah menjawab, "Sesungguhnya agamaku juga adalah agamamu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.
Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189)Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula, juga Al-Aufi, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Az-Zuhri, Qatadah,
Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Al-Hasan Al-Basri mengatakan, dahulu beberapa kaum dari kalangan ahli Jahiliah apabila seseorang dari mereka hendak melakukan suatu perjalanan, lalu ia keluar dari rumahnya
memulai perjalanan yang ditujunya. Kemudian sesudah ia keluar, timbul keinginan tetap tinggal dan mengurungkan niat bepergiannya; maka dia tidak memasuki rumahnya dari pintunya, melainkan menaiki tembok bagian belakang.
Lalu Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189), hingga akhir ayat.Muhammad ibnu Ka'b mengatakan, "Seorang lelaki apabila hendak melakukan i'tikaf, ia tidak memasuki rumahnya
dari arah pintunya, maka Allah menurunkan ayat ini."Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa penduduk Yasrib apabila kembali dari hari raya mereka, mereka memasuki rumahnya masing-masing dari arah belakangnya,
dan mereka berpendapat bahwa hal tersebut lebih mendekati kepada kebajikan. Maka Allah Swt. berfirman: Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya. (Al-Baqarah: 189) Akhirnya mereka tidak lagi berpendapat
bahwa hal tersebut lebih dekat kepada kebajikan.
*******
Firman Allah Swt.:
{وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ}
Dan bertakwalah kalian kepada Allah, agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189)Yakni kerjakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kalian dan tinggalkanlah oleh kalian apa yang telah diharamkan Allah bagi kalian.
agar kalian beruntung. (Al-Baqarah: 189) Yaitu kelak di hari kemudian. Bila kalian dihadirkan di hadapan Allah, maka kelak Dia akan memberi kalian pahala dan balasannya dengan lengkap dan sempurna.
Surat Al-Baqarah |2:190|
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
wa qootiluu fii sabiilillaahillażiina yuqootiluunakum wa laa ta'taduu, innalloha laa yuḥibbul-mu'tadiin
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Fight in the way of Allah those who fight you but do not transgress. Indeed. Allah does not like transgressors.
Tatkala Nabi saw. dihalangi kaum Quraisy untuk mengunjungi Baitullah pada perjanjian Hudaibiah dan berdamai dengan orang-orang kafir itu untuk kembali di tahun depan,
di mana ia diberi kesempatan untuk memasuki Mekah selama tiga hari, kemudian tatkala ia telah bersiap-siap untuk umrah kada, sedangkan kaum muslimin merasa khawatir kalau-kalau Quraisy tidak menepati janjinya,
lalu memerangi mereka, padahal kaum muslimin tak mau melayani mereka jika di saat ihram, di tanah haram dan di bulan haram; maka turunlah ayat, (Dan perangilah di jalan Allah),
maksudnya untuk menjunjung tinggi agama-Nya (orang-orang yang memerangi kamu) di antara orang-orang kafir (tetapi janganlah kamu melampaui batas) misalnya dengan memulai peperangan terhadap mereka
(karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas), artinya yang melanggar apa-apa yang telah digariskan bagi mereka. Dan ini dinasakh dengan ayat Bara-ah atau dengan firman-Nya:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 190 |
Tafsir ayat 190-193
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190) Ayat ini merupakan ayat perang pertama
yang diturunkan di Madinah. Setelah ayat ini diturunkan, maka Rasulullah Saw. memerangi orang-orang yang memerangi dirinya dan membiarkan orang-orang yang tidak memeranginya, hingga turunlah surat Bara’ah (surat At-Taubah).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan hal yang sama, hingga dia mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat firman-Nya: orang-orang yang memerangi kalian. (Al-Baqarah: 190)
Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan para pemeluknya. Dengan kata lain, sebagaimana mereka memerangi kalian,
maka perangilah mereka oleh kalian. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَقاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَما يُقاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya. (At-Taubah: 36)Karena itulah maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman: Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka,
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah). (Al-Baqarah: 191) Dengan kata lain, agar semangat kalian berkobar untuk memerangi orang-orang musyrik itu, sebagaimana semangat mereka menggebu-gebu
untuk memerangi kalian; dan agar kalian terdorong untuk mengusir mereka dari negeri yang mereka telah mengusir kalian darinya sebagai pembalasan yang setimpal.
**********
Firman Allah Swt.:
{وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ}
(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190)Yakni perangilah mereka di jalan Allah, tetapi janganlah kalian bersikap melampaui batas dalam hal ini.
Termasuk ke dalam pengertian bertindak melampaui batas ialah melakukan hal-hal yang dilarang (dalam perang). Menurut Al-Hasan Al-Basri antara lain ialah mencincang musuh, curang, membunuh wanita-wanita, anak-anak serta orang-orang
lanjut usia yang tidak ikut berperang serta tidak mempunyai kemampuan berperang, para rahib dan pendeta-pendeta yang ada di dalam gereja-gerejanya, membakar pohon, dan membunuh hewan bukan karena maslahat.
Hal ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Umar ibnu Abdul Aziz, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis:
عَنْ بُرَيدة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: "اغْزُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلّوا، وَلَا تَغْدروا، وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا، وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
dari Buraidah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Pergilah di jalan Allah dan perangilah orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah kalian, tetapi janganlah kalian curang, jangan khianat, jangan mencincang,
dan jangan membunuh anak-anak serta jangan membunuh orang-orang yang ada di dalam gereja-gerejanya. (Riwayat Imam Ahmad)Disebutkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw. bila memberangkatkan pasukannya,
terlebih dahulu berpesan kepada mereka:
"اخْرُجُوا بِسْمِ اللَّهِ، قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ كَفَرَ بِالْلَّهِ، لَا تَغْدِرُوا وَلَا تَغُلُّوا، وَلَا تُمَثلوا، وَلَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ".
Berangkatlah kalian dengan menyebut asma Allah, perangilah di jalan Allah orang-orang yang kafir kepada Allah, janganlah kalian melampaui batas, janganlah kalian curang, jangan mencincang (menyiksa), jangan membunuh anak-anak,
dan jangan pula orang-orang yang berada dalam gereja-gerejanya.Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan pula hadis yang semisal secara marfu' dari sahabat Anas ibnu Malik r.a.Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: وجُدت امْرَأَةٌ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً، فَأَنْكَرَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قتلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ
dari sahabat Ibnu Umar yang menceritakan: Pernah dijumpai seorang wanita yang terbunuh dalam suatu peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka sejak itu beliau membenci membunuh wanita-wanita dan anak-anak.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُصعب بْنُ سَلام، حَدَّثَنَا الْأَجْلَحُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ، عَنْ رِبْعي ابن حِرَاش، قَالَ: سَمِعْتُ حُذَيفة يَقُولُ: ضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْثَالًا وَاحِدًا، وَثَلَاثَةً، وَخَمْسَةً، وَسَبْعَةً، وَتِسْعَةً، وأحدَ عشَرَ، فَضَرَبَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا مَثَلًا وَتَرَكَ سائرَها، قَالَ: "إِنَّ قَوْمًا كَانُوا أهلَ ضَعْف وَمَسْكَنَةٍ، قَاتَلَهُمْ أهلُ تَجَبُّرٍ وَعَدَاءٍ، فَأَظْهَرَ اللَّهُ أَهْلَ الضَّعْفِ عَلَيْهِمْ، فَعَمَدُوا إِلَى عَدُوهم فَاسْتَعْمَلُوهُمْ وَسَلَّطُوهُمْ فَأَسْخَطُوا اللَّهَ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Al-Ajlah, dari Qais ibnu Abu Muslim, dari Rub'i ibnu Hirasy yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Huzaifah bercerita,
"Rasulullah Saw. pernah membuat banyak perumpamaan kepada kami, satu, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas (perumpamaan). Maka Rasulullah Saw. membuat suatu perumpamaan dari semuanya itu kepada kami dan meninggalkan
perumpamaan yang lainnya. Beliau Saw. bersabda: 'Sesungguhnya ada suatu kaum yang lemah lagi miskin, mereka diperangi oleh orang-orang yang kuat lagi memendam permusuhan, tetapi Allah memenangkan orang-orang yang lemah
atas mereka, lalu orang-orang yang lemah itu menghukum mereka dengan cara mempekerjakan dan menguasai mereka, maka Allah murka terhadap orang-orang yang berbuat demikian hingga hari kiamat'."Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya
berpredikat hasan. Makna hadis, bahwa ketika kaum yang lemah itu dapat mengalahkan kaum yang kuat, maka kaum yang lemah berbuat kelewat batas terhadap mereka dan mempekerjakan mereka secara paksa dengan pekerjaan-pekerjaan
yang tidak layak bagi mereka. Maka Allah menjadi murka terhadap mereka yang menang itu disebabkan sikap mereka yang melebihi batas.Hadis dan asar yang membahas hal ini cukup banyak. Mengingat jihad itu mengandung risiko
melayangnya banyak jiwa, terbunuhnya banyak kaum laki-laki, maka Allah mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh mereka —yaitu kafir kepada Allah, mempersekutukan-Nya, dan menghalang-halangi jalan Allah—
adalah perbuatan yang lebih parah dan lebih fatal, lebih besar akibatnya daripada pembunuhan.
**********
Karena itulah maka dalam ayat selanjutnya disebutkan:
{وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ}
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan. (Al-Baqarah 191)Menurut Abu Malik, makna ayat ini ialah bahwa apa yang sedang kalian hadapi itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.
Abul Aliyah, Mujahid, Qatadah, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.
(Al-Baqarah: 191)Artinya, musyrik itu bahayanya lebih besar daripada pembunuhan.
***************
Firman-Nya:
{وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ}
dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 191)Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَإِنَّهَا سَاعَتِي هَذِهِ، حَرَام بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعْضَد شَجَرُهُ، وَلَا يُخْتَلى خَلاه. فَإِنْ أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ"
Sesungguhnya kota ini telah disucikan Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka dia tetap suci karena disucikan Allah sampai hari kiamat dan tidak pernah dihalalkan kecuali sesaat untukku di waktu siang hari, dia tetap suci
karena disucikan Allah sampai hari kiamat; pepohonannya tidak boleh ditebang, rerumputannya tidak boleh dicabut. Jika ada seseorang membolehkan karena alasan Rasulullah Saw. pernah melakukan perang padanya,
maka katakanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya Allah hanya mengizinkan bagi Rasul-Nya dan Dia tidak mengizinkan bagi kalian.Yang dimaksud ialah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. terhadap penduduknya ketika hari
kemenangan atas kota Mekah, karena sesungguhnya beliau Saw. membukanya dengan paksa, dan sebagian dari kaum lelaki di antara mereka ada yang terbunuh di Khandamah.
Tetapi menurut pendapat yang lain, Nabi Saw. membuka kota Mekah secara damai, karena berdasarkan kepada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
مَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ
Barang siapa yang menutup pintunya, maka dia aman; dan barang siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, maka dia aman; dan barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman. **************** Firman Allah Swt.:
{حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ}
kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 191)Dengan kata lain, janganlah kalian memerangi mereka
di Masjidil Haram (Mekah) kecuali bila mereka memulai memerangi kalian padanya, maka saat itu kalian boleh memerangi mereka untuk membela diri. Sebagaimana. yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengucapkan baiat (janji setia)
kepada Nabi Saw. pada hari Hudaibiyyah di bawah sebuah pohon. Mereka berjanji setia untuk membela Nabi Saw., yaitu di saat semua suku Quraisy dan para pendukungnya dari kalangan suku Saqif dan orang-orang Habsyah pada tahun itu
bersekutu untuk memerangi Nabi Saw. Kemudian Allah Swt. mencegah pcperangan di antara mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kalian dan (menahan) tangan kalian dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kalian atas mereka. (Al-Fath: 24)Allah Swt. berfirman pula:
{وَلَوْلا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}
Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, bahwa kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa pengetahuan kalian
(tentulah Allah tidak akan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang
yang kafir di antara mereka dengan azob yang pedih. (Al-Fath: 25)
**************
Adapun firman Allah Swt.:
{فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 192)Dengan kata lain, apabila mereka tidak melakukan peperangan di tanah haram (suci),
mereka menyerah mau masuk Islam dan bertobat, sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka, sekalipun mereka telah memerangi kaum muslim di Tanah Suci Allah. Karena sesungguhnya tiada suatu dosa besar pun dianggap
berat oleh Allah bila Dia mengampuni orang yang bertobat darinya dan kembali ke jalan-Nya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir dengan tujuan seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
{حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ}
sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193)Yang dimaksud dengan fitnah ialah syirik (mempersekutukan Allah). Demikianlah menurut apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Zaid ibnu Aslam. Allah Swt. berfirman:
{وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ}
dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. (Al-Baqarah: 193)Yakni hanya agama Allah-lah menang lagi tinggi berada di atas agama lainnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam hadis Sahihain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: سُئِل النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقاتل شُجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَميَّة، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ: "مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فهو فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
melalui Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang berperang karena keberaniannya, seorang lelaki yang berperang karena fanatiknya, dan seorang lelaki yang berperang karena riya
(pamer), manakah di antaranya yang termasuk ke dalam perang di jalan Allah? Nabi Saw. menjawab, "Barang siapa yang berperang demi meninggikan kalimah Allah, maka dia adalah orang yang berperang di jalan Allah."
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula hadis berikut:
"أمرْتُ أنْ أقاتلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ"
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah; apabila mereka mau mengucapkannya, berarti mereka memelihara darah dan harta bendanya dariku, kecuali karena alasan yang hak,
sedangkan perhitungan mereka (yang ada di dalam hati mereka) diserahkan kepada Allah.
***********
Firman Allah Swt.:
{فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ}
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 193)Yakni jika mereka tidak melakukan lagi kebiasaan syiriknya dan tidak lagi memerangi
orang-orang mukmin, maka cegahlah diri kalian dari mereka, karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka sesudah itu adalah orang yang zalim, dan tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Demikianlah menurut takwil yang dikemukakan oleh Mujahid, yakni tidak ada perang lagi kecuali terhadap orang yang memulainya. Atau makna yang dimaksud ialah, apabila mereka berhenti memusuhi kalian, berarti kalian telah bebas
dari gangguan perbuatan aniaya mereka, yaitu kemusyrikan mereka, maka tidak ada permusuhan lagi terhadap mereka sesudah itu. Yang dimaksud dengan istilah 'udwan dalam ayat ini ialah membalas dan memerangi, seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ}
Oleh karena itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)
{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا}
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40)
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}
Dan jika kalian memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kalian. (An-Nahl: 126)Karena itulah maka Ikrimah dan Qatadah mengatakan bahwa orang yang zalim ialah orang
yang menolak, tidak mau mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah'.Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi. (Al-Baqarah: 193), hingga akhir ayat.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan
dua orang lelaki pada zaman fitnah Ibnuz Zubair (kemelut yang terjadi di masa Abdullah ibnuz Zubair), lalu kedua lelaki itu berkata, "Sesungguhnya orang-orang telah melibatkan dirinya dalam kemelut ini, sedangkan engkau
—hai Ibnu Umar— sebagai sahabat Nabi Saw. mengapa tidak ikut berangkat berperang?" Ibnu Umar menjawab, "Diriku tercegah oleh hukum Allah yang melarang darah saudaraku." Keduanya mengatakan lagi, "Bukankah Allah Swt.
telah berfirman: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193)?" Ibnu Umar menjawab, "Kami telah berperang sehingga tiada ada fitnah lagi, dan agama hanyalah untuk Allah. Sedangkan kalian menghendaki agar
perang kalian lakukan sehingga fitnah timbul lagi dan agar agama untuk selain Allah."Usman ibnu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Fulan dan Haiwah ibnu Syuraih, dari Bakr ibnu Umar Al-Magafiri, bahwa
Bukair ibnu Abdullah pernah menceritakan kepadanya dari Nafi', bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Ibnu Umar dan mengatakan, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah yang mendorongmu melakukan ibadah haji satu tahun
dan bermukim satu tahun, sedangkan engkau meninggalkan jihad di jalan Allah Swt., padahal engkau mengetahui anjuran Allah mengenai berjihad itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hai anak saudaraku, Islam dibangun di atas lima pilar,
yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan haji ke Baitullah." Mereka mengatakan, "Bukankah engkau telah mendengar apa yang telah dikatakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya,
hai Abu Abdur Rahman, (yaitu): 'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,
maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah' (Al-Hujurat: 9). Juga firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi' (Al-Baqarah: 193).
" Ibnu Umar berkata, "Kami telah melakukannya di zaman Rasulullah Saw. yang pada saat itu Islam masih minoritas, dan seorang lelaki muslim diuji dalam agamanya, adakalanya dibunuh oleh mereka atau disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas,
maka tidak ada fitnah lagi." Lelaki itu berkata, "Bagaimanakah menurutmu tentang Ali dan Us'man?" Ibnu Umar menjawab, "Adapun mengenai Usman, maka Allah telah memaafkannya, dan kalian ternyata tidak suka memaafkannya.
Sedangkan Ali, dia adalah anak paman Rasulullah Saw. dan juga sebagai menantunya," lalu Ibnu Umar mengisyaratkan dengan tangannya dan berkata, "Itulah rumah Ali seperti yang kalian lihat sendiri (yakni tinggal di rumah Rasulullah Saw.)."
Surat Al-Baqarah |2:191|
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّىٰ يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ ۖ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ ۗ كَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
waqtuluuhum ḥaiṡu ṡaqiftumuuhum wa akhrijuuhum min ḥaiṡu akhrojuukum wal-fitnatu asyaddu minal-qotl, wa laa tuqootiluuhum 'indal-masjidil-ḥaroomi ḥattaa yuqootiluukum fiih, fa ing qootaluukum faqtuluuhum, każaalika jazaaa`ul-kaafiriin
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.
And kill them wherever you overtake them and expel them from wherever they have expelled you, and fitnah is worse than killing. And do not fight them at al-Masjid al- Haram until they fight you there. But if they fight you, then kill them. Such is the recompense of the disbelievers.
(Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menjumpai mereka, serta usirlah mereka di mana mereka mengusir kamu) artinya Mekah, dan ini telah dilakukan nabi terhadap mereka pada tahun pembebasan (sedangkan fitnah itu),
artinya kesyirikan mereka (lebih berat), maksudnya lebih berbahaya (dari pembunuhan) terhadap mereka, yakni di tanah suci atau sewaktu ihram yang mereka hormati itu.
(Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam), maksudnya di tanah suci, (sebelum mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu) di sana, (maka bunuhlah mereka).
Menurut satu qiraat tanpa alif pada kata kerja yang tiga, 'wala taqtuluuhum, hatta yaqtuluukum fiih, dan fa-in qataluukum'. (Demikianlah), maksudnya pembunuhan dan pengusiran (menjadi balasan bagi orang-orang kafir).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 191 |
Penjelasan ada di ayat 190