Juz 5

Surat An-Nisa |4:24|

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

wal-muḥshonaatu minan-nisaaa`i illaa maa malakat aimaanukum, kitaaballohi 'alaikum, wa uḥilla lakum maa warooo`a żaalikum an tabtaghuu bi`amwaalikum muḥshiniina ghoiro musaafiḥiin, fa mastamta'tum bihii min-hunna fa aatuuhunna ujuurohunna fariidhoh, wa laa junaaḥa 'alaikum fiimaa taroodhoitum bihii mim ba'dil-fariidhoh, innalloha kaana 'aliiman ḥakiimaa

Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

And [also prohibited to you are all] married women except those your right hands possess. [This is] the decree of Allah upon you. And lawful to you are [all others] beyond these, [provided] that you seek them [in marriage] with [gifts from] your property, desiring chastity, not unlawful sexual intercourse. So for whatever you enjoy [of marriage] from them, give them their due compensation as an obligation. And there is no blame upon you for what you mutually agree to beyond the obligation. Indeed, Allah is ever Knowing and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Dan) diharamkan bagimu (wanita-wanita yang bersuami) untuk dikawini sebelum bercerai dengan suami-suami mereka itu, baik mereka merdeka atau budak dan beragama Islam (kecuali wanita-wanita yang kamu miliki)

yakni hamba-hamba sahaya yang tertawan, maka mereka boleh kamu campuri walaupun mereka punya suami di negeri perang, yakni setelah istibra' atau membersihkan rahimnya (sebagai ketetapan dari Allah)

kitaaba manshub sebagai mashdar dari kata dzaalika; artinya telah ditetapkan sebagai suatu ketetapan dari Allah (atas kamu, dan dihalalkan) ada yang membaca uhilla bentuk pasif ada pula ahalla bentuk aktif

(bagi kamu selain yang demikian itu) artinya selain dari wanita-wanita yang telah diharamkan tadi (bahwa kamu mencari) istri (dengan hartamu) baik dengan maskawin atau lainnya (untuk dikawini bukan untuk dizinahi)

(maka istri-istri) dengan arti faman (yang telah kamu nikmati) artinya campuri (di antara mereka) dengan jalan menyetubuhi mereka (maka berikanlah kepada mereka upah mereka)

maksudnya maskawin mereka yang telah kamu tetapkan itu (sebagai suatu kewajiban. Dan kamu tidaklah berdosa mengenai sesuatu yang telah saling kamu relakan) dengan mereka

(setelah ditetapkan itu) baik dengan menurunkan, menambah atau merelakannya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan ciptaan-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam mengatur kepentingan mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 24 |

Firman Allah Swt.:


وَالْمُحْصَناتُ مِنَ النِّساءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ


dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak

yang kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka bila terlebih dahulu kalian meng-istibra' -kan (membersihkan rahim) mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal

tersebut.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan, "Kami pernah memperoleh

tawanan perang dari tawanan Perang Autas, sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw., dan turunlah

firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24). Maka kami menghalalkan farji mereka." Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ahmad ibnu Mani',

dari Hasyim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Usman Al-Batti.Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Asy'as ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti.

Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah menerima hadis ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id Al-Khudri.Hal yang sama diriwayatkan

oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri dengan lafaz yang sama.Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad

mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw.

memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka.

Maka turunlah ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)Hal yang sama diriwayatkan

oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan Syu'bah menambahkan bahwa Imam Turmuzi meriwayatkannya dari hadis Hammam ibnu Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadis ini

dari Qatadah berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.”Aku merasa yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadis ini kecuali apa yang diutarakan

oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut Imam Turmuzi. Ternyata hal ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah.Imam Tabrani meriwayatkan melalui hadis Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan

Perang Khaibar, lalu Tabrani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu Sa'id.Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna ayat ini.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah budak perempuan yang dijual,

sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami. Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah membacakan firman-Nya: 'dan

(diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24)."Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim,

dari ibnu Mas'ud yang telah mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya." Asar ini munqati'.Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan

bahwa budak perempuan apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah orang yang lebih berhak terhadap farjinya.Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b,

Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah,

dari Khulaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan ada enam (lima) perkara, yaitu: Menjualnya berarti menceraikannya, memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti

menceraikannya, meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya berarti menceraikannya.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan

dengan firman -Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai suami, Allah mengharamkan mengawini mereka; kecuali budak-budak

yang dimiliki olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya. Ma'mar mengatakan bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang semisal.Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah,

dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)Apabila budak wanita mempunyai suami. lalu dijual, maka menjualnya

sama dengan menceraikannya dari suaminya.Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya.

Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik yang terdahulu maupun yang kemudian; mereka berpendapat bahwa menjual budak perempuan bukan berarti

menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual sejak semula telah dikecualikan dari pemilikannya manfaat ini, lalu ia menjual si budak yang memegang

manfaat ini.Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada hadis Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya. Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu memerdekakannya,

sedangkan nikah Barirah dengan suaminya —Mugis— tetap utuh, tidak fasakh, melainkan Rasulullah Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup terkenal.

Disimpulkan dari hadis di atas, seandainya menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang dikatakan mereka, niscaya Nabi Saw. tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata Nabi Saw. menyuruhnya memilih

antara fasakh dan tetap, hal ini berarti menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja.Barangkali dapat dikatakan bahwa makna

yang dimaksud dari firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Yakni wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki pegangannya

melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali; seorang, dua orang, tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan

dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian (kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan, pent.). Firman Allah Swt.:


كِتابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ


sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian. (An-Nisa: 24)Pengharaman ini adalah hukum Allah yang ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang

dari hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.Ubaidah, Ata, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman -Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yakni empat orang istri.Ibrahim

mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yaitu hal-hal yang diharamkan atas kalian. Firman Allah Swt.:


وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَراءَ ذلِكُمْ


Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24)Selain dari wanita-wanita mahram yang telah disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut Ata dan lain-lainnya.Ubaidah dan As-Saddi mengatakan sehubungan

dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24) Selain dari empat orang istri. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Ata tadi.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24) Yaitu budak-budak wanita yang kalian miliki. Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah bagi orang yang mengatakan halal

menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah. Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.Firman Allah Swt.:


أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ


(yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui jalan

yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)Firman Allah Swt


فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً


Maka istri-istri yang telah kalian gauli di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (An-Nisa: 24)Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ


Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain. (An-Nisa: 21)Sama dengan makna firman-Nya:


وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً


Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)Seperti firman Allah Swt.:


وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً


Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang

disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh.Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu diperbolehkan lagi dan akhirnya

dimansukh lagi; pe-nasikh-an terhadapnya terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan sekali, kemudian dimansukh dan tidak

diperbolehkan lagi sesudahnya.Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat. Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.

Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Saddi membaca ayat ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut:


"فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى فَآتَوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً"


Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka —sampai dengan batas waktu tertentu— berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan

berkenaan dengan masalah nikah mut'ah.Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak demikian. Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Mu’minun Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan:


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ


Rasulullah Saw. melarang nikah mut'ah dan (memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar.Hadis ini mempunyai banyak lafaz dan ungkapan, yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang membahas

masalah hukum).Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah berperang bersama-sama Rasulullah Saw. pada hari penaklukan atas kota Mekah. Maka beliau Saw. bersabda:


"يَأَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرم ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا"


Hai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa

yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.Juga di dalam riwayat lain bagi Imam Muslim

dalam kisah haji wada', hadis ini diungkapkan dengan berbagai lafaz, yang pembahasannya berada di dalam kitab-kitab fiqih. Firman Allah Swt.:


وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ


dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24)Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan

mengatakan, "Tidak ada dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan (bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan imbalannya."As-Saddi mengatakan, "Jika pihak lelaki menghendaki,

boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati tubuhnya sebelum masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak habis.

Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah

di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'dan tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan faridah itu'' (An-Nisa: 24)."As-Saddi mengatakan,

"Apabila masa mut'ah habis, maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita bebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya.

Untuk itu satu pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah terputus." Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya:


وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً


Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan

sebagian darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan

kepada kami Al-Miftamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari mereka ada yang mengalami kesulitan.

Maka Allah Swt. berfirman, "Tidak mengapa bagi kamu, hai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan kepadamu sebagian dari maharnya,

maka hal itu diperbolehkan bagimu." Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah

saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi istri atau berpisah (cerai).Firman Allah Swt:


إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيماً حَكِيماً


Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 24)Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.

Surat An-Nisa |4:25|

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ ۚ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

wa mal lam yastathi' mingkum thoulan ay yangkiḥal-muḥshonaatil-mu`minaati fa mimmaa malakat aimaanukum min fatayaatikumul-mu`minaat, wallohu a'lamu bi`iimaanikum, ba'dhukum mim ba'dh, fangkiḥuuhunna bi`iżni ahlihinna wa aatuuhunna ujuurohunna bil-ma'ruufi muḥshonaatin ghoiro musaafiḥaatiw wa laa muttakhiżaati akhdaan, fa iżaaa uḥshinna fa in ataina bifaaḥisyatin fa 'alaihinna nishfu maa 'alal-muḥshonaati minal-'ażaab, żaalika liman khosyiyal-'anata mingkum, wa an tashbiruu khoirul lakum, wallohu ghofuurur roḥiim

Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina, dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

And whoever among you cannot [find] the means to marry free, believing women, then [he may marry] from those whom your right hands possess of believing slave girls. And Allah is most knowing about your faith. You [believers] are of one another. So marry them with the permission of their people and give them their due compensation according to what is acceptable. [They should be] chaste, neither [of] those who commit unlawful intercourse randomly nor those who take [secret] lovers. But once they are sheltered in marriage, if they should commit adultery, then for them is half the punishment for free [unmarried] women. This [allowance] is for him among you who fears sin, but to be patient is better for you. And Allah is Forgiving and Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Dan siapa yang tidak cukup biayanya untuk mengawini wanita-wanita merdeka) bukan budak (lagi beriman) ini yang berlaku menurut kebiasaan sehingga mafhumnya tidak berlaku (maka hamba sahaya yang kamu miliki)

yang akan dikawininya (yakni dari golongan wanita-wanita kamu yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu) maka cukuplah kamu lihat lahirnya saja sedangkan batinnya serahkanlah kepada-Nya

karena Dia mengetahui seluk-beluknya. Dan berapa banyaknya hamba sahaya yang lebih tinggi mutu keimanannya daripada wanita merdeka; ini merupakan bujukan agar bersedia kawin dengan hamba sahaya

(sebagian kamu berasal dari sebagian yang lain) maksudnya kamu dan mereka itu sama-sama beragama Islam maka janganlah merasa keberatan untuk mengawini mereka (karena itu kawinilah mereka dengan seizin majikannya)

artinya tuan dan pemiliknya (dan berikanlah kepada mereka upah) maksudnya mahar atau maskawin mereka (secara baik-baik) tanpa melalaikan atau menguranginya (sedangkan mereka pun hendaknya memelihara diri)

menjadi hal (bukan melacurkan diri) atau berzina secara terang-terangan (serta tidak pula mengambil gundik) selir untuk berbuat zina secara sembunyi-sembunyi. (Maka jika mereka telah menjaga diri) artinya dikawinkan;

dalam suatu qiraat dibaca ahshanna artinya telah kawin (lalu mereka melakukan perbuatan keji) maksudnya berzina (maka atas mereka separuh dari yang berlaku atas wanita-wanita merdeka)

yakni yang masih perawan jika mereka berzina (berupa hukuman) atau hudud yaitu dengan didera 50 kali dan diasingkan setengah tahun. Dan kepada mereka ini dikiaskan hukuman bagi budak lelaki.

Dan kawinnya hamba sahaya itu tidaklah dijadikan syarat untuk wajibnya hukuman, tetapi hanyalah untuk menunjukkan pada dasarnya mereka itu tidak menerima hukum rajam.

(Demikian itu) maksudnya diperbolehkannya mengawini hamba sahaya sewaktu tak ada biaya itu (ialah bagi orang yang takut akan berzina) `anat artinya yang asli ialah masyaqqat atau kesulitan.

Dinamakan zina demikian ialah karena dialah yang menyebabkan seseorang menerima hukuman berat di dunia dan siksa pedih di akhirat (di antara kamu).

Ini berarti berbeda bagi orang yang tidak merasa khawatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan, maka tidak halal baginya mengawini hamba sahaya itu.

Demikian pula orang yang punya biaya untuk mengawini wanita-wanita merdeka. Pendapat ini juga dianut oleh Syafii. Hanya dalam firman Allah, "...di antara wanita-wanitamu yang beriman,"

menurut Syafii tidak termasuk wanita-wanita kafir sehingga tidak boleh kawin walau ia dalam keadaan tidak mampu dan takut dirinya akan jatuh dalam perbuatan maksiat.

(Dan jika kamu bersabar) artinya tidak mengawini hamba sahaya (itu lebih baik bagi kamu) agar kamu tidak mempunyai anak yang berstatus budak atau hamba sahaya.

(Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) dengan memberikan kelapangan dalam masalah itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 25 |

Allah Swt. berfirman:


وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا


Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya. (An-Nisa: 25)Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.


أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ


untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan

firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak

perempuan, jika memang dia suka kepadanya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.


فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ


maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan:

dari budak-budak wanita kalian yang beriman. (An-Nisa: 25)Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:


وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ


Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 25)Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:


فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ


karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (An-Nisa: 25)Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya

si tuan merupakan wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:


"أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ عَاهِر"


siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:


«لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»


Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.Firman Allah Swt.:


وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ


dan berilah mas kawinnya menurut yang patut. (An-Nisa: 25)Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka dengan cara yang makruf, dengan kerelaan hati kalian; dan janganlah kalian mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena mereka adalah budak-budak perempuan yang dimiliki. Firman Allah Swt.:


مُحْصَناتٍ


yang memelihara kehormatannya. (An-Nisa: 25)Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:


غَيْرَ مُسافِحاتٍ


bukan pezina. (An-Nisa: 25)Yang dimaksud dengan musafihat ialah wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat keji terhadap dirinya.Firman Allah Swt.:


وَلا مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ


dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat

mesum terhadap dirinya. Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yakni laki-laki piaraan. Hal yang sama dikatakan menurut riwayat

Abu Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi; mereka semuanya mengatakan, yang dimaksud adalah laki-laki piaraan.Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai temannya.Ad-Dahhak pernah pula mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai

piaraannya. (An-Nisa: 25) Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki yang ia setujui (yakni kumpul kebo). Allah Swt. melarang hal tersebut, yakni mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan demikian. Firman Allah Swt.:


فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ


dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25)Para ulama berbeda

pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna; sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim.Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah

tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna; pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan

dari Abdullah ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Saddi.Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati'.

Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma' kebanyakan ahlul 'ilmi."Ibnu Abu Hatim meriwayatkan

sehubungan dengan masalah ini sebuah hadis marfu'. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada

kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin. (An-Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya:


«إِحْصَانُهَا إِسْلَامُهَا وَعَفَافُهَا»


Ihsan seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka

(budak-budak wanita yang berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadis ini munkar.Menurut kami, dalam sanad hadis ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya;

hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan).Al-Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud

dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya.Pendapat ini dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah,

dari Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam Syafii.Lais ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka; dan sebaliknya

ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya

dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.Menurut pendapat lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang dimaksud ialah Islam.

Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.Pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahui— bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat Allah Swt. telah berfirman:


{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ}


Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)

Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman. Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-Lainnya.

Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu

apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafirah, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali terhadap wanita

yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak.Analisis mereka sehubungan dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti penjelasan berikut:Pertama, menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa

makna yang tersirat lebih diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat.Banyak hadis yang mengandung makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami

prioritaskan ketimbang makna yang tidak tersirat. Antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali r.a., bahwa ia pernah berkhotbah, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had

atas budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah Saw. melakukan perbuatan zina, maka beliau Saw. memerintahkan kepadaku

untuk menderanya. Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda:


«أَحْسَنْتَ اتْرُكْهَا حَتَّى تَمَاثَلَ»


'Tindakanmu baik, biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''."Menurut riwayat Abdullah ibnu Ahmad, dari selain ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:


«فَإِذَا تَعَالَتْ مِنْ نَفْسِهَا حَدَّهَا خَمْسِينَ»


Apabila dia telah bebas dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.Dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّانِيَةَ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَبِعْهَا ولو بِحَبْلٍ مَنْ شَعْرٍ»


Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina

lagi untuk kedua kalinya, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan zinanya terbukti,

hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai dengan) seutas tali bulu.Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:


إِذَا زَنتْ ثَلَاثًا فَلْيَبِعْهَا فِي الرَّابِعَةِ


Apabila si budak berbuat zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat kalinya.Malik telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu Rabi'ah Al-Makhzumi

yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy. Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak

lima puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.Kedua, menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya,

melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir.Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu

riwayat darinya.Pegangan mereka adalah makna yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan. Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih diprioritaskan oleh mereka

daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia masih belum kawin. Maka beliau Saw. menjawab:


«إِنْ زَنَتْ فَحِدُّوهَا، ثُمَّ إِنَّ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»


Jika ia berbuat zina, maka had-lah dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia; kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.Ibnu Syihab mengatakan, "Aku tidak mengetahui ada yang ketiga

atau yang keempat kalinya." Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain.Menurut riwayat Imam Muslim, Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas tali.

Mereka mengatakan bahwa di dalam hadis ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya,

yaitu separo dari hukuman wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan pengertian ayat dengan hadis ini.Dalil lain yang lebih jelas daripada hadis di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh

Sa'id ibnu Mansur dari Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«لَيْسَ عَلَى أَمَةٍ حَدٌّ حَتَّى تُحْصَنَ- أَوْ حَتَّى تُزَوَّجَ- فَإِذَا أُحْصِنَتْ بِزَوْجٍ فَعَلَيْهَا نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ»


Tiada hukuman terhadap budak wanita sebelum kawinnya, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separo hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dari

Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafaz yang sama secara marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadis ini keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas."Hal yang sama diriwayatkan

oleh Imam Baihaqi melalui hadis Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni bukan marfu').Mereka mengatakan bahwa hadis Ali dan Umar membahas masalah

a'yan, sedangkan terhadap hadis Abu Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:Pertama, bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan

antara hadisnya dengan hadis ini.Kedua, ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: Maka hendaklah ia menegakkan hukuman had terhadapnya. merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi, sebagai buktinya ialah ada pada jawaban

yang ketiga. Yaitu bahwa hadis ini bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendiri. Hadis yang berasal dari dua orang itu jelas lebih diutamakan daripada hadis yang hanya berasal

dari satu orang saja.Selain itu Imam Nasai meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadis Abbad ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَبِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»


Apabila budak wanita berbuat zina, maka deralah dia oleh kalian; kemudian jika ia berzina lagi, maka deralah pula dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah pula ia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi.

maka juallah dia, sekalipun dengan harga seutas tali.Ketiga, tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafaz had dalam hadis ini dengan maksud hukuman dera; karena ketika yang disebutkan adalah hukuman dera,

maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan lafaz had dengan maksud hukuman ta'zir.Perihalnya sama dengan sebutan had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat zina,

yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya

untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian,

seperti Imam Ahmad dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.Sesungguhnya hukuman had yang hakiki ialah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat

seperti perbuatan kaum Nabi Lut.Ibnu Majah meriwayatkan —juga lbnu Jarir— di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami

Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina selagi ia belum kawin." Sanad asar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.

Merupakan pendapat yang aneh jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari mafhum ayat ini dan belum sampai kepadanya

hadis mengenai hal tersebut. Jika dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas

dan orang-orang yang mengikutinya dalam masalah ini.Ayat ini (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai hukuman had separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka.

Jika ia berbuat zina sebelum ihsan, maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ مِنْهُما مِائَةَ جَلْدَةٍ


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)Hadis Ubadah ibnus Samit mengatakan:


«خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَرَجْمُهَا بِالْحِجَارَةِ»


Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka; orang yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin

dengan orang yang sudah kawin dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Imam Muslim, dan hadis-hadis lainnya. Pendapat ini dikenal bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini

sangat lemah, karena bilamana Allah Swt. telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin dengan hukuman dera separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia

melakukan zina sebelum kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.Nabi Saw. sendiri ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang

hukum budak wanita yang berbuat zina, sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh

Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi Saw. menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka sengaja bertanya kepada Nabi Saw. karena tidak ada penjelasan hukum seratus kali dera terhadap budak-budak wanita

yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak demikian pengertiannya, apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada perbedaan di antara keduanya

(yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya ayat ini belum diturunkan.Tetapi mengingat mereka mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang lainnya, lalu Nabi Saw. menjelaskan hal tersebut

kepada mereka. Perihalnya sama dengan pengertian sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang melakukan salawat buat Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menerangkannya kepada mereka, kemudian beliau bersabda kepada mereka:


«وَالسَّلَامُ مَا قَدْ عَلِمْتُمْ»


Dan mengenai salam adalah seperti apa yang telah kalian ketahui.Menurut lafaz yang lain, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً


Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Al-Ahzab: 56)Para sahabat bertanya, "Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah bersalawat

untukmu?" Hingga akhir hadis. Demikian pula maksud pertanyaan yang terkandung pada hadis di atas.Mengenai mafhum ayat, dikemukakan oleh Abu Saur. Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang dikemukakan oleh Daud ditinjau

dari berbagai seginya. Dikatakan demikian karena ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka yang telah kawin,

yaitu hukuman rajam; padahal hukuman rajam itu tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus dikenai hukuman rajam. Sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali."

Ternyata Abu Saur keliru dalam memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum masalah ini. Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum muslim tidak ada yang memperselisihkan

bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap budak dalam masalah zina.Demikian itu karena ayat ini menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada

lafaz al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak cukup

perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)Yang dimaksud adalah wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka. Firman Allah Swt. yang mengatakan ‘separo hukuman

dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo (dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah

seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali ibnu Abu Talib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap

keduanya dengan keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu anak bagi firasy, sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing sebanyak lima puluh kali deraan.Menurut pendapat yang lain,

makna yang dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat. Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina

ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had

yang mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua keadaan berdasarkan sunnah.Pendapat ini dikatakan oleh penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat

yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami mengambil kesimpulan

hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila bukan dari ayat"'Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak

dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini merupakan

salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separo hukuman had orang merdeka.

Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu. Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap

budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam,

seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya.Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun

yang belum kawin." Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu:


"إِذَا زَنَتْ أمةُ أحدِكم فَتَبَيَّنَ زِناهَا فَليجْلِدها الحدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْها"


Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa apabila seorang

budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti penjelasan berikut:Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama

mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separo hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab

Imam Syafii.Menurut Imam Abu Hanifah, pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka; jika ia melihat perlu dijatuhkan,

maka ia melaksanakannya; dan jika ia melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak wanita yang bersangkutan.Menurut Imam Malik, sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan

terhadap pihak laki-laki (yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki,

tidak pula terhadap pihak wanita.Memang sehubungan dengan masalah ini ada hadis Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama

satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan

ialah adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si terpidananya adalah wanita.Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan

sepantasnya sebagai hukuman ta'zir bila ia belum kawin.Dalam pembahasan di atas disebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman

pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama dengan pendapat yang kedua.Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak wanita

bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa

ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula; hanya Allah yang mengetahui pendapat yang benar. Firman Allah Swt.:


ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ


Yang demikian itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian. (An-Nisa: 25)Sesungguhnya diperbolehkan mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan

di atas, hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya kepayahan.

Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila ia terpaksa

mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing, maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul qadim Imam Syafii. Firman Allah Swt.:


وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.


dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 25)Dari ayat ini jumhur ulama menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan syarat bila lelaki

yang bersangkutan tidak mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan menimbulkan

mafsadat bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.

Imam Abu Hanifah dan semua muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum pernah kawin dengan wanita merdeka,

diperbolehkan baginya mengawini budak perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut terjerumus

ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada pengaruhnya.Dalil yang menjadi pegangan mereka (jumhur ulama) ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:


وَالْمُحْصَناتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ


(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)Yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya,

pengertiannya umum mencakup wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.

Surat An-Nisa |4:26|

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

yuriidullohu liyubayyina lakum wa yahdiyakum sunanallażiina ming qoblikum wa yatuuba 'alaikum, wallohu 'aliimun ḥakiim

Allah hendak menerangkan (syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukkan jalan-jalan (kehidupan) orang yang sebelum kamu (para nabi dan orang-orang saleh) dan Dia menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Allah wants to make clear to you [the lawful from the unlawful] and guide you to the [good] practices of those before you and to accept your repentance. And Allah is Knowing and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Allah hendak menerangkan padamu) syariat-syariat agamamu dan kepentingan-kepentingan dirimu (dan memimpin kepada sunah-sunah) atau jalan-jalan (orang-orang yang sebelum kamu)

dari para nabi dalam soal menghalalkan dan mengharamkan, sehingga kamu dapat mengikuti mereka (serta menerima tobatmu) dan membawa kamu kembali dari perbuatan maksiatmu selama ini kepada menaati-Nya.

(Dan Allah Maha Mengetahui) keadaanmu (lagi Maha Bijaksana) mengenai rencana dan peraturan-peraturan-Nya terhadapmu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 26 |

Tafsir ayat 26-28

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia akan menjelaskan kepada kalian, hai orang-orang mukmin, hal-hal yang dihalalkan bagi kalian dan hal-hal yang diharamkan bagi kalian melalui hal-hal yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya dan yang lainnya.


وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ


dan memberi kalian petunjuk kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian. (An-Nisa: 26)Yaitu jalan-jalan mereka yang terpuji agar kalian mengikuti syariat-syariat-Nya yang disukai dan diridai-Nya.


وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ


Dan Allah hendak menerima tobat kalian. (An-Nisa: 26) dari semua dosa dan semua perbuatan haram.


وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 26)Yakni dalam syariat-Nya, dalam takdir-Nya, dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya.Firman Allah Swt.:


وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيماً


sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (An-Nisa: 27)Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.


يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ


Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian. (An-Nisa: 28)Yaitu dalam syariat-syariat-Nya, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian

mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28)

Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai, mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan

kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28) Yakni terhadap perkara wanita. Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita.

Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi kita Muhammad Saw. ketika beliau menjalani isra dan bersua dengannya di saat baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas kalian?" Nabi Saw. menjawab,

"Allah memerintahkan kepadaku mengerjakan salat lima puluh kali setiap sehari semalam." Nabi Musa a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu

melakukan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu, tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah

(daripada umatku)."Maka Nabi Saw. kembali, dan diringankan sebanyak sepuluh kali, lalu Nabi Saw. kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal salat lima waktu.

Surat An-Nisa |4:27|

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا

wallohu yuriidu ay yatuuba 'alaikum, wa yuriidullażiina yattabi'uunasy-syahawaati an tamiiluu mailan 'azhiimaa

Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti keinginannya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).

Allah wants to accept your repentance, but those who follow [their] passions want you to digress [into] a great deviation.

Tafsir
Jalalain

(Dan Allah hendak menerima tobatmu) diulang-Nya di sini untuk menjadi dasar pembinaan (sementara orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya ingin) yakni orang-orang Yahudi, Nasrani atau Majusi atau yang gemar berzina

(agar kamu berpaling sejauh-jauhnya) artinya menyimpang dari kebenaran dengan berbuat apa yang diharamkan sehingga kamu akan menjadi seperti mereka pula.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 27 |

Penjelasan ada di ayat 26

Surat An-Nisa |4:28|

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

yuriidullohu ay yukhoffifa 'angkum, wa khuliqol-insaanu dho'iifaa

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.

And Allah wants to lighten for you [your difficulties]; and mankind was created weak.

Tafsir
Jalalain

(Allah hendak memberi keringanan kepadamu) artinya memudahkan hukum-hukum syariat (karena manusia dijadikan bersifat lemah) tidak tahan menghadapi wanita dan godaan seksual.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 28 |

Penjelasan ada di ayat 26

Surat An-Nisa |4:29|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

yaaa ayyuhallażiina aamanuu laa ta`kuluuu amwaalakum bainakum bil-baathili illaaa an takuuna tijaarotan 'an taroodhim mingkum, wa laa taqtuluuu anfusakum, innalloha kaana bikum roḥiimaa

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.

O you who have believed, do not consume one another's wealth unjustly but only [in lawful] business by mutual consent. And do not kill yourselves [or one another]. Indeed, Allah is to you ever Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang batil) artinya jalan yang haram menurut agama seperti riba dan gasab/merampas (kecuali dengan jalan) atau terjadi

(secara perniagaan) menurut suatu qiraat dengan baris di atas sedangkan maksudnya ialah hendaklah harta tersebut harta perniagaan yang berlaku (dengan suka sama suka di antara kamu) berdasar kerelaan hati masing-masing,

maka bolehlah kamu memakannya. (Dan janganlah kamu membunuh dirimu) artinya dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan kecelakaannya bagaimana pun juga cara dan gejalanya baik di dunia dan di akhirat.

(Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu) sehingga dilarang-Nya kamu berbuat demikian.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 29 |

Tafsir ayat 29-31

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta

cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah

lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya. Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan

kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian.

Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt.

di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli,

telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)

Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan

pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiada dosa atas orang-orang tuna netra. (Al-Fath: 17), hingga akhir ayat.Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Qatadah. Firman Allah Swt.:


إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُمْ


terkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29)Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati'. Seakan-akan dikatakan,

"Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli

dan pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat." Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya:


وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ


dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Al-An'am: 151)Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:


لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولى


mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. (Ad-Dukhan: 56)Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul),

karena hal ini merupakan bukti yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya dengan jual beli secara mu'atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu

merupakan suatu keharusan dalam jual beli.Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka.

begitu pula perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak).Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa

jual beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan

mazhab Syafii.Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29) Baik berupa jual beli atau ata yang diberikan dari seseorang kepada

orang lain. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju'fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ وَالْخِيَارُ بَعْدَ الصَّفْقَةِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَغُشَّ مُسْلِمًا»


Jual beli harus dengan suka sama suka, dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya.Hadis ini berpredikat mursal.Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا»


Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar selagi keduanya belum berpisah.Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari disebutkan seperti berikut:


«إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا»


Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya belum berpisah.Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadis ini ialah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta

murid-murid keduanya, juga kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.Termasuk ke dalam pengertian hadis ini adanya khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut apa yang dijelaskan di dalam transaksi

mengenai subyek barangnya, sekalipun sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang semisal. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik.Mereka menilai sah jual beli mu'atah secara mutlak.

Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu'atah itu sah hanya pada barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual beli.

Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan mereka.Firman Allah Swt.:


وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ


Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. (An-Nisa: 29)Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil.


إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُمْ رَحِيماً


sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29)Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan dalam semua larangannya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عمْران بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَير، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ، فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ، قَالَ: فَلَمَّا قدمتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "يَا عَمْرُو صَلَّيت بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ! " قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ، فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أهلكَ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ اللَّهِ [عز وَجَلَّ] {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair,

dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi jinabah, nanti akan binasa.

Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh bersama teman-temannya. Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami kembali kepada Rasulullah Saw., maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, 'Hai Amr,

apakah kamu salat dengan teman-temanmu, sedangkan kamu mempunyai jinabah?'. Aku (Amr) menjawab, 'Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin,

hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29)

Karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.' Maka Rasulullah Saw tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun."Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadis Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnu Abu Habib.

Ia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah, dan Umar ibnul Haris; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair Al-Masri,

dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul As. Lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Pendapat ini —Allah lebih mengetahui— lebih dekat kepada kebenaran.


قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَامِدٍ البَلْخِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ سَهْلٍ الْبَلْخِيُّ، حدثنا عُبَيد عبد اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ، حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ صَلَّى بِالنَّاسِ وَهُوَ جُنُب، فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خفْتُ أَنْ يَقْتُلَنِي الْبَرْدُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ [إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا] } قَالَ: فَسَكَتَ عَنْهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami

Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah salat menjadi imam orang-orang banyak

dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah Saw. memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As menjawab,

"Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian membunuh diri kalian' (An-Nisa: 29), hingga akhir ayat.

" Maka Rasulullah Saw. diam, membiarkan Amr ibnul As.Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«من قتل نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا بَطْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِسُمٍّ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ، يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَهُوَ مُتَرَدٍّ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا»


Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk

selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»


Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.Al- Jama'ah telah mengetengahkan hadis tersebut dalam kitabnya dari jalur Abu Qilabah.Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Hasan dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ بِهِ جُرْحٌ فَأَخَذَ سِكِّينًا نَحَرَ بها يده، فما رقأ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ «عَبْدِي بَادَرَنِي بِنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»


Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati. Allah Swt. berfirman, "Hamba-Ku mendahului {Izin)-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas diriny Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:


وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ عُدْواناً وَظُلْماً


Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya. (An-Nisa: 30)Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan aniaya dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani melanggarnya:


فَسَوْفَ نُصْلِيهِ ناراً


maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. (An-Nisa: 30)Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan waspada. Firman Allah Swt.:


إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ


Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31)Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar

yang dilarang kalian mengerjakannya. maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:


وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيماً


dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga). (An-Nisa: 31)Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan

kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah. dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah melihat hal yang semisal dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua

keluarga dan harta benda, yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa besar." Allah Swt. telah berfirman: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya,

niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.Banyak hadis yang berkaitan dengan makna ayat ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم عَنْ مُغِيرة، عَنْ أَبِي مَعْشَر، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَرْثَع الضَّبِّي، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَدْرِي مَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟ " قُلْتُ: هُوَ الْيَوْمَ الَّذِي جَمَعَ اللَّهُ فِيهِ أَبَاكُمْ. قَالَ: "لَكِنْ أدْرِي مَا يَوْمُ الجُمُعَةِ، لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فيُحسِنُ طُهُوره، ثُمَّ يَأْتِي الجُمُعة فيُنصِت حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ، إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ، مَا اجْتُنبت الْمَقْتَلَةُ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba' Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya,

"Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi Saw. bersabda: Tetapi aku mengetahui apakah hari Jumat itu.

Tidak sekali-kali seorang lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi salat Jumat dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan salatnya, melainkan hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa

(kecil)nya antara Jumat itu sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi (nya).Imam Bukhari meriwayatkan hal yang semisal dari jalur yang lain, melalui Salman.


قَالَ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى [بْنُ إِبْرَاهِيمَ] حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ المُجْمر، أَخْبَرَنِي صُهَيْبٌ مَوْلَى العُتْوارِي، أَنَّهُ سَمِعَ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَقُولَانِ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ: "وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ" -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-ثُمَّ أكَبَّ، فَأَكَبَّ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَبْكِي، لَا نَدْرِي عَلَى مَاذَا حَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَفِي وَجْهِهِ الْبِشْرُ فَكَانَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ حُمْر النَّعَم، فَقَالَ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي الصَّلَواتِ الخمسَ، ويَصُومُ رمضانَ، ويُخرِج الزَّكَاةَ، ويَجْتنبُ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، إِلَّا فُتِحتْ لَهُ أبوابُ الجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ لَهُ: ادْخُل بسَلامٍ".


Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal,

dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. di suatu hari berkhotbah kepada para sahabat. Beliau Saw.

bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami menundukkan kepala pula seraya menangis;

kami tidak mengetahui apa yang dialami oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada roman wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang mendapatkan ternak unta yang unggul.

Lalu Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya,

"Masuklah dengan selamat."Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula —juga Ibnu Hibban— di dalam kitab

sahihnya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id ibnu Abu Hilal dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

Surat An-Nisa |4:30|

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

wa may yaf'al żaalika 'udwaanaw wa zhulman fa saufa nushliihi naaroo, wa kaana żaalika 'alallohi yasiiroo

Dan barang siapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu mudah bagi Allah.

And whoever does that in aggression and injustice - then We will drive him into a Fire. And that, for Allah, is [always] easy.

Tafsir
Jalalain

(Dan siapa berbuat demikian) apa yang dilarang itu (dengan melanggar yang hak) menjadi hal (dan aniaya) menjadi taukid (maka akan Kami masukkan ia ke dalam neraka) ia akan dibakar hangus di dalamnya

(dan demikian itu bagi Allah amat mudah) atau pekerjaan gampang.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 30 |

Penjelasan ada di ayat 29

Surat An-Nisa |4:31|

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

in tajtanibuu kabaaa`iro maa tun-hauna 'an-hu nukaffir 'angkum sayyi`aatikum wa nudkhilkum mudkholang kariimaa

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).

If you avoid the major sins which you are forbidden, We will remove from you your lesser sins and admit you to a noble entrance [into Paradise].

Tafsir
Jalalain

(Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya) yakni dosa-dosa yang pernah pelakunya mendapat ancaman seperti membunuh, berzina, mencuri dan lain-lain

yang menurut Ibnu Abbas banyaknya hampir tujuh ratus macam (niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu) yang kecil-kecil dengan jalan mengerjakan ketaatan (dan Kami masukkan kamu dengan pemasukan)

dibaca mudkhalan atau madkhalan yang berarti pemasukan atau ke tempat (yang mulia) yaitu surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 31 |

Penjelasan ada di ayat 29

Surat An-Nisa |4:32|

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

wa laa tatamannau maa fadhdholallohu bihii ba'dhokum 'alaa ba'dh, lir-rijaali nashiibum mimmaktasabuu, wa lin-nisaaa`i nashiibum mimmaktasabn, was`alulloha min fadhlih, innalloha kaana bikulli syai`in 'aliimaa

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

And do not wish for that by which Allah has made some of you exceed others. For men is a share of what they have earned, and for women is a share of what they have earned. And ask Allah of his bounty. Indeed Allah is ever, of all things, Knowing.

Tafsir
Jalalain

(Dan janganlah kamu mengangan-angankan karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya) baik dari segi keduniaan maupun pada soal keagamaan agar hal itu tidak menimbulkan

saling membenci dan mendengki. (Bagi laki-laki ada bagian) atau pahala (dari apa yang mereka usahakan) disebabkan perjuangan yang mereka lakukan dan lain-lain (dan bagi wanita ada bagian pula dari apa yang mereka usahakan)

misalnya mematuhi suami dan memelihara kehormatan mereka. Ayat ini turun ketika Umu Salamah mengatakan, "Wahai! Kenapa kita tidak menjadi laki-laki saja, hingga kita dapat berjihad dan beroleh pahala seperti pahala laki-laki,"

(dan mohonlah olehmu) ada yang memakai hamzah dan ada pula yang tidak (kepada Allah karunia-Nya) yang kamu butuhkan niscaya akan dikabulkan-Nya. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu)

di antaranya siapa seharusnya yang beroleh karunia, begitu pula permohonan kamu kepada-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 32 |

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami

(kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian

lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya,

"Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya,

"Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa

Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya:


أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى


Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan. (Ali Imran: 195)Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah,

dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafaz yang sama.Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang telah menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,'

hingga akhir hadis."Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta Khasif hal yang semisal.Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan

dengan Ummu Salamah.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita yang

mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di jalan Allah Swt."Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami

Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan keadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair,

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding

dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka yang dicatatkan baginya adalah separo pahala kebaikan (yang dilakukan oleh seorang lelaki)."

Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati. (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat.Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.As-Saddi mengatakan

sehubungan dengan ayat ini, bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita

mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas kami berperang, niscaya kami akan berperang pula.

" Allah menolak hal tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi."

Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti

yang dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, tetapi hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, Ata, dan Ad-Dahhak mengatakan hal yang semisal. Pengertian ini

merupakan makna lahiriah dari ayat. Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:


"لَا حَسَد إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فسَلَّطَه عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، فَيَقُولُ رَجُلٌ: لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانٍ لعَمِلْتُ مِثْلَهُ. فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ"


Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain mengatakan, "Seandainya aku

mempunyai apa yang semisal dengan yang dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama," kedua-duanya beroleh pahala yang sama.Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di dalam hadis ini bukan termasuk hal

yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu karena hadis menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang semisal dengan apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai kebendaan yang semisal dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut. Allah Swt. berfirman:


{وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ}


Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama,

karena berdasarkan kepada hadis Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.Hal yang sama dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain,

berkenaan dengan harapan kaum wanita yang menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Allah Swt. berfirman:


لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ


(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (An-Nisa: 32)Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan dengan amal perbuatannya.

Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir.Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan hal tersebut

berkaitan dengan masalah miras (warisan). Dengan kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas.Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


وَسْئَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ


dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 32)Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir.

Dengan kata lain, berharap untuk memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian, karena sesungguhnya Aku Mahamulia lagi Pemberi.

Imam Turmuzi dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"سلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِه؛ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ وَإِنَّ أَفْضَلَ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ".


Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal yang sama

diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang yang hafiz.Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Na'im lebih dekat

kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Waki', dari Israil.Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"سَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِه، فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسأل، وَإِنَّ أحبَّ عِبَادِهِ إِلَيْهِ الَّذِي يُحب الْفَرَجَ"


Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan keluar. Kemudian Allah Swt. berfirman:


إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً


Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32)Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap orang yang berhak mendapat kemiskinan,

lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh kehinaan,

lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).

Surat An-Nisa |4:33|

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ ۚ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا

wa likullin ja'alnaa mawaaliya mimmaa tarokal-waalidaani wal-aqrobuun, wallażiina 'aqodat aimaanukum fa aatuuhum nashiibahum, innalloha kaana 'alaa kulli syai`in syahiidaa

Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.

And for all, We have made heirs to what is left by parents and relatives. And to those whom your oaths have bound [to you] - give them their share. Indeed Allah is ever, over all things, a Witness.

Tafsir
Jalalain

(Dan bagi masing-masing) laki-laki dan wanita (Kami jadikan ahli waris) atau ashabah yang memperoleh (apa yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat) bagi mereka berupa harta

(dan mengenai orang-orang yang kamu telah berjanji dan bersumpah setia dengan mereka) `aqadat ada yang pakai alif sehingga menjadi `aaqadat; sedangkan aimaan jamak daripada yamiin

berarti sumpah atau tangan sehingga kalimat itu berarti sumpah sekutu-sekutu kamu yang telah terikat dalam perjanjian denganmu di masa jahiliah buat tolong-menolong dan waris-mewarisi (maka berilah mereka)

sekarang (bagian mereka) dari harta warisan yaitu seperenam (sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu) artinya mengetahui apa pun juga, termasuk hal-ihwalmu. Dan hukum ini telah dihapus dengan firman-Nya,

"Dan orang-orang yang mempunyai pertalian darah, sebagian mereka lebih utama dari sebagian lainnya."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 33 |

Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan,

Kami jadikan pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli waris).Menurut riwayat lain yang dari Ibnu Abbas, mawali artinya para 'asabah (ahli waris laki-laki).

Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu:


مَهْلا بَنِي عَمّنا مَهْلا مَوالينا ... لَا تُظْهِرَن لَنَا ما كَانَ مدفُونا


Tunggulah, hai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu terpendam!Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya: dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat.

(An-Nisa: 33) Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat. Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, hai manusia, telah kami jadikan para 'asabah yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya.Firman Allah Swt.:


وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ


Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian

dan mereka, berikanlah kepada mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi

yang terjadi di antara kalian.Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini dimansukh sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian

dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan.Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami

Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan Kami jadikan pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini

ialah pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar

itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi Saw. di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) Maka hukum

tersebut dimansukh. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan,

dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif,

dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33), hingga akhir ayat. Dahulu kaum Muhajirin ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir

dapat mewaris seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena berkat persaudaraan yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw. di antara mereka. Ketika diturunkan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta

yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatnya, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) maka ketentuan tersebut dimansukh, kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا حَجّاج، عَنِ ابْنِ جُرَيْج -وَعُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: {وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ} فَكَانَ الرَّجُلُ قَبْلَ الْإِسْلَامِ يُعَاقِدُ الرَّجُلَ، يَقُولُ: تَرِثُنِي وَأَرِثُكَ وَكَانَ الْأَحْيَاءُ يَتَحَالَفُونَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ عَقْد أدْرَكَه الإسلامُ، فَلَا يَزِيدُه الإسلامُ إِلَّا شدَّةً، وَلَا عَقْد وَلَا حِلْفٌ فِي الإسلامِ". فَنَسَخَتْهَا هَذِهِ الْآيَةُ: {وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ}


Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang

yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam, seorang lelaki mengadakan transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia mengatakan kepadanya, "Engkau dapat

mewarisiku dan aku dapat mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di kalangan banyak kabilah, yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Setiap sumpah setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah, kemudian

dijumpai oleh masa Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya melainkan hanya memperkuatnya; tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah setia lagi di masa Islam. Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat ini,

yaitu firman-Nya: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah. (Al-Anfal: 75)Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan

dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar, Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Saddi, Ad-Dahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka)

adalah hulafa (saudara sepakta).Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi sumpah pakta apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya memperkuatnya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Said ibnu Ibrahim, dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٌ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ، عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ يُونُسَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وكلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّة، وَمَا يَسُرُّني أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم وَإِنِّي نَقَضْتُ الحِلْفَ الَّذِي كَانَ فِي دَارِ النَّدْوة"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Syarik, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda.

Telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman maula keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa

Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf (sumpah pakta) dalam Islam; dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak menggembirakan diriku

bila aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat melanggar hilf yang pernah dilakukan di Darun Nudwah.Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "شهِدتُ حِلْف المُطيَّبين، وَأَنَا غُلامٌ مَعَ عُمُومتي، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم وَأَنَا أنكثُهُ". قَالَ الزُّهْرِيُّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمْ يُصب الإسلامُ حِلْفا إِلَّا زَادَهُ شِدَّةً". قَالَ: "وَلَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ". وَقَدْ أَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ.


Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya,

dari Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku menyaksikan hilf Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama paman-pamanku, dan aku tidak suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul,

tetapi harus dengan melanggar hilf tersebut. Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf melainkan menambahkan kepadanya kekukuhan. Nabi Saw. telah bersabda pula:

Tidak ada hilf dalam Islam. Sesungguhnya Nabi Saw. pernah menyatukan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bisyr ibnul Mufaddal, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan selengkapnya.


وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنِي مُغِيرَةُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، قَالَ: فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفٍ فِي الْإِسْلَامِ".


Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw.

tentang hilf, maka Nabi Saw. bersabda: Hilf yang dilakukan di masa Jahiliah pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf lagi di dalam Islam.Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari Hasyim.


وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ جُدْعان، عَنْ جَدَّتِهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ، وَمَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً"


Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu Jad'an, dari neneknya dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam; dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.


وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: لَمَّا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ قَامَ خَطِيبًا فِي النَّاسِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، لَمْ يَزِدْه الإسْلامُ إِلَّا شِدَّةً، وَلَا حِلْفَ فِي الإسلامِ".


Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw.

memasuki Mekah pada hari kemenangan atas kota Mekah, maka beliau berdiri seraya berkhotbah kepada orang-orang banyak. Beliau bersabda: Hai manusia sekalian, hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya

kecuali kekukuhan, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim dan Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafaz yang sama.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْه الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari

Abdullah ibnu Muhammad (yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang semisal.Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Usman, dari Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta

Abu Usamah, ketiga-tiganya dari Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad ibnu Bisyr dengan lafaz yang sama.

Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: مُغِيرَةُ أَخْبَرَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah berta-nya kepada Nabi Saw. tentang hilf.

Maka beliau Saw. bersabda: Terhadap hilf yang telah terjadi di masa Jahiliah, pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam), dari ayahnya

dengan lafaz yang sama.Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain yang menceritakan bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi' bersama anak laki-laki Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang

anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca firman-Nya kepada Ummu Sa'd dengan qiraah (bacaan) berikut:


والذين عاقدت أَيْمَانُكُمْ


Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah setia kepada kalian. (An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu, tetapi seperti ini," yaitu:


وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ


Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur Rahman),

yaitu ketika Abdur Rahman menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman masuk Islam —saat Islam mulai melakukan peperangan—, maka Allah memerintahkan

agar Abu Bakar memberikan bagian warisan kepada Abdur Rahman. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Akan tetapi, pendapat ini garib. Pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal

tersebut terjadi pada permulaan Islam, mereka saling mewaris melalui hilf (sumpah setia), kemudian ketentuan ini dimansukh (dihapuskan).Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf masih membekas, sekalipun mereka diperintahkan agar menunaikan

janji-janji dan semua transaksi serta hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu.Dalam hadis Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di atas, juga sahabat lainnya menyebutkan:


لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً.


Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa di masa sekarang

ada saling mewaris karena hilf, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal.Pendapat yang benar adalah

yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya. Mengingat firman Allah Swt. menyebutkan:


{وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ}


Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33)Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak,

juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang lain. Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ»


Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing; dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling dekat.Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai

bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam dua ayat faraid; dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada asabah.Firman Allah Swt.:


وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ


Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)Yakni sebelum turunnya ayat ini.


فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ


maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang,

juga hukum hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia). Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,

telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka berilah kepada

mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya.Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah. Hal yang sama diriwayatkan

dari Mujahid serta Abu Malik dengan lafaz yang semisal.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)

Di masa lalu seorang lelaki mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:


وَأُولُوا الْأَرْحامِ بَعْضُهُمْ أَوْلى بِبَعْضٍ فِي كِتابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلى أَوْلِيائِكُمْ مَعْرُوفاً


Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara

(seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)Allah Swt. bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh

bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin

dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud ialah berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair

mengatakan bahwa sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini

diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian

dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya memberikan

bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Berupa pertolongan, bantuan,

dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya

menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewaris). Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam dan tidak dimansukh. Akan tetapi, pendapat yang dikatakan

oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi,

seperti yang diriwayatkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?

Surat An-Nisa |4:34|

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

ar-rijaalu qowwaamuuna 'alan-nisaaa`i bimaa fadhdholallohu ba'dhohum 'alaa ba'dhiw wa bimaaa anfaquu min amwaalihim, fash-shooliḥaatu qoonitaatun ḥaafizhootul lil-ghoibi bimaa ḥafizhollaah, wallaatii takhoofuuna nusyuuzahunna fa'izhuuhunna wahjuruuhunna fil-madhooji'i wadhribuuhunn, fa in atho'nakum fa laa tabghuu 'alaihinna sabiilaa, innalloha kaana 'aliyyang kabiiroo

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.

Men are in charge of women by [right of] what Allah has given one over the other and what they spend [for maintenance] from their wealth. So righteous women are devoutly obedient, guarding in [the husband's] absence what Allah would have them guard. But those [wives] from whom you fear arrogance - [first] advise them; [then if they persist], forsake them in bed; and [finally], strike them. But if they obey you [once more], seek no means against them. Indeed, Allah is ever Exalted and Grand.

Tafsir
Jalalain

(Kaum lelaki menjadi pemimpin) artinya mempunyai kekuasaan (terhadap kaum wanita) dan berkewajiban mendidik dan membimbing mereka (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas lainnya)

yaitu kekuasaan dan sebagainya (dan juga karena mereka telah menafkahkan) atas mereka (harta mereka. Maka wanita-wanita yang saleh ialah yang taat) kepada suami mereka (lagi memelihara diri di balik belakang))

artinya menjaga kehormatan mereka dan lain-lain sepeninggal suami (karena Allah telah memelihara mereka) sebagaimana dipesankan-Nya kepada pihak suami itu. (Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyus)

artinya pembangkangan mereka terhadap kamu misalnya dengan adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya (maka nasihatilah mereka itu) dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah

(dan berpisahlah dengan mereka di atas tempat tidur) maksudnya memisahkan kamu tidur ke ranjang lain jika mereka memperlihatkan pembangkangan (dan pukullah mereka)

yakni pukullah yang tidak melukai jika mereka masih belum sadar (kemudian jika mereka telah menaatimu) mengenai apa yang kamu kehendaki (maka janganlah kamu mencari gara-gara atas mereka)

maksudnya mencari-cari jalan untuk memukul mereka secara aniaya. (Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar) karena itu takutlah kamu akan hukuman-Nya jika kamu menganiaya mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 34 |

Firman Allah Swt.:


الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.


{بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ}


oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah

maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:


«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»


Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.


وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ


dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya

dan sunnah Rasul-Nya.Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


وَلِلرِّجالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ


Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin

bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah

dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Saw.

mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Balaslah!" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali kepada

suaminya tanpa ada qisas (pembalasan). Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadis ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij,

dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan oleh Ibnu Jarir.Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan:


حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَاشِمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَثُ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُوسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ علي قال: أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ بِامْرَأَةٍ لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجَهَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ الْأَنْصَارِيُّ، وَإِنَّهُ ضَرَبَهَا فَأَثَّرَ فِي وَجْهِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ليْسَ ذَلِكَ لَه". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ]} أَيْ: قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ فِي الْأَدَبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَرَدْتُ أمْرًا وأرَادَ اللَّهُ غَيْرَه"


telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami

Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah Saw.

seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya.

" Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda:

Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini,

yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

(An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had).

Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.


{حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ}


lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat. Firman Allah Swt.:


بِما حَفِظَ اللَّهُ


oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خَيرُ النساءِ امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها أطاعتكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها ومالِكَ". قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِهَا.


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah

yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu; dan apabila kamu pergi

meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34),

hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang semisal.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah

menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seorang wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya,

"Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf .Firman Allah Swt.:


وَاللَّاتِي تَخافُونَ نُشُوزَهُنَّ


Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong

terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka

terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal ini telah bersabda:


"لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد لِأَحَدٍ لأمرتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"


Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadap dirinya.Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فِرَاشِه فأبَتْ عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"


Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:


"إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش زَوْجِها، لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصبِح"


Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


{وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ}


Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)Adapun firman Allah Swt.:


وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضاجِعِ


dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama.

maka si suami memalingkan punggungnya dari dia.Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa

selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang,

hendaklah si suami berpisah dengannya dalam tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.

Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حَرَّةَ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَإِن خِفْتُمْ نُشُوزَهُنَّ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ" قَالَ حَمَّادٌ: يَعْنِي النِّكَاحَ


Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka. Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:


يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ: "أَنْ تُطعمها إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ"


"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?" Nabi Saw. menjawab: Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.Firman Allah Swt.:


وَاضْرِبُوهُنَّ


dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya:


واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ"


Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak

hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.

Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas.

Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz,

hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan

yang tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.

Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"لَا تَضْرِبوا إماءَ اللهِ". فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذئِرَت النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَقَدْ أطافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ"


Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, "'Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah Saw. memperbolehkan memukul mereka

(sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah Saw. mengadukan perihal suami mereka. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad mengadukan

perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -يَعْنِي أَبَا دَاوُدَ الطَّيَالِسِيَّ-حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ دَاوُدَ الأوْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ المُسْلي عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ ضفْتُ عُمَرَ، فَتَنَاوَلَ امْرَأَتَهُ فَضَرَبَهَا، وَقَالَ: يَا أَشْعَثُ، احْفَظْ عَنِّي ثَلَاثًا حَفظتهن عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَسألِ الرَّجُلَ فِيمَ ضَرَبَ امرَأَتَهُ، وَلَا تَنَم إِلَّا عَلَى وِتْر ... وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari Al-Asy’as ibnu Qais

yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar r.a. Lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari Rasulullah Saw. yaitu:

Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir'." Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.Hal yang sama diriwayatkan oleh

Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.Firman Allah Swt.:


فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا


Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas

yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya.Firman Allah Swt.:


إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبِيراً


Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Mahatinggi

lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya.

Surat An-Nisa |4:35|

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

wa in khiftum syiqooqo bainihimaa fab'aṡuu ḥakamam min ahlihii wa ḥakamam min ahlihaa, iy yuriidaaa ishlaaḥay yuwaffiqillaahu bainahumaa, innalloha kaana 'aliiman khobiiroo

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

And if you fear dissension between the two, send an arbitrator from his people and an arbitrator from her people. If they both desire reconciliation, Allah will cause it between them. Indeed, Allah is ever Knowing and Acquainted [with all things].

Tafsir
Jalalain

(Dan jika kamu khawatir timbulnya persengketaan di antara keduanya) maksudnya di antara suami dengan istri terjadi pertengkaran (maka utuslah) kepada mereka atas kerelaan kedua belah pihak (seorang penengah)

yakni seorang laki-laki yang adil (dari keluarga laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-masingnya mewakili pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak

atau menerima khuluk/tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui khuluk. Kedua mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh pihak yang aniaya supaya sadar dan kembali,

atau kalau dianggap perlu buat memisahkan antara suami istri itu. Firman-Nya: (jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua penengah itu (mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada mereka)

artinya suami istri sehingga ditakdirkan-Nyalah mana-mana yang sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan ataukah perceraian. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Mengenali)

yang batin seperti halnya yang lahir.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 35 |

Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا}


Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan

di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.

Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul

untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri.

Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


{إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا}


Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang

lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk.

Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak

perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali

dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri

yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan

Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri

itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah

apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah

merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya.Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya

aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya,

ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin,

dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang

dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu

berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata,

"Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah,

dari Ali dengan lafaz yang sama.Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan

yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam

mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal,

Abu Saur, dan Imam Daud. Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini

tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan

menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya

mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.

Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)

Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.Sedangkan menurut qaul jadid dari

mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan,

"Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya

tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat

bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.Mereka berselisih pendapat,

apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).

Surat An-Nisa |4:36|

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

wa'budulloha wa laa tusyrikuu bihii syai`aw wa bil-waalidaini iḥsaanaw wa biżil-qurbaa wal-yataamaa wal-masaakiini wal-jaari żil-qurbaa wal-jaaril-junubi wash-shooḥibi bil-jambi wabnis-sabiili wa maa malakat aimaanukum, innalloha laa yuḥibbu mang kaana mukhtaalan fakhuuroo

Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri,

Worship Allah and associate nothing with Him, and to parents do good, and to relatives, orphans, the needy, the near neighbor, the neighbor farther away, the companion at your side, the traveler, and those whom your right hands possess. Indeed, Allah does not like those who are self-deluding and boastful.

Tafsir
Jalalain

(Sembahlah olehmu Allah) dengan mengesakan-Nya (dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu pun juga.) (Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak) dengan berbakti dan bersikap lemah lembut

(kepada karib kerabat) atau kaum keluarga (anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang karib) artinya yang dekat kepadamu dalam bertetangga atau dalam pertalian darah (dan kepada tetangga yang jauh)

artinya yang jauh daripadamu dalam kehidupan bertetangga atau dalam pertalian darah (dan teman sejawat) teman seperjalanan atau satu profesi bahkan ada pula yang mengatakan istri (ibnu sabil)

yaitu yang kehabisan biaya dalam perjalanannya (dan apa-apa yang kamu miliki) di antara hamba sahaya.

(Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong) atau takabur (membanggakan diri) terhadap manusia dengan kekayaannya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 36 |

Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi Dia. Karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Pemberi rezeki, Yang memberi nikmat, Yang memberikan karunia kepada

makhluk-Nya dalam semua waktu dan keadaan. Dialah Yang berhak untuk disembah oleh mereka dengan mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam sabda Nabi Saw. kepada Mu'az ibnu Jabal:


"أتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ ؟ " قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "أَنْ يَعْبدُوهُ ولا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا"، ثُمَّ قَالَ: "أتَدْري مَا حَقُّ العبادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟ أَلَّا يُعَذِّبَهُم"


"Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Mu'az menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.

" Antara lain Nabi Saw. bersabda pula: Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah, apabila mereka mengerjakan hal tersebut? Yaitu Dia tidak akan mengazab mereka.Kemudian Nabi Saw. mewasiatkan agar kedua orang tua

diperlakukan dengan perlakuan yang baik, karena sesungguhnya Allah Swt. menjadikan keduanya sebagai penyebab bagi keberadaanmu dari alam 'adam sampai ke alam wujud. Sering sekali Allah Swt.

menggandengkan antara perintah beribadah kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوالِدَيْكَ


Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Luqman: 14)


وَقَضى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً


Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu (Al-Isra: 23)Kemudian berbuat baik kepada ibu bapak ini diiringi dengan perintah berbuat baik kepada kaum kerabat dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis:


«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ»


Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, tetapi kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi.Selanjutnya Allah Swt. berfirman:


وَالْيَتامى


dan (berbuat baiklah kepada) anak-anak yatim. (An-Nisa: 36)Demikian itu karena mereka telah kehilangan orang yang mengurus kemaslahatan mereka dan orang yang memberi mereka nafkah. Maka Allah memerintahkan agar mereka diperlakukan dengan baik dan dengan penuh kasih sayang.Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:


وَالْمَساكِينِ


dan (berbuat baiklah kepada) orang-orang miskin. (An-Nisa: 36)Mereka adalah orang-orang yang memerlukan uluran tangan karena tidak menemukan apa yang dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Maka Allah memerintahkan

agar mereka dibantu hingga kebutuhan hidup mereka cukup terpenuhi dan terbebaskan dari keadaan daruratnya. Pembahasan mengenai fakir miskin ini akan disebutkan secara rinci dalam tafsir surat Bara’ah (surat At-Taubah). Firman Allah Swt.:


وَالْجارِ ذِي الْقُرْبى وَالْجارِ الْجُنُبِ


dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan jari dzil qurba ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada hubungan kerabat,

sedangkan jaril junub ialah tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat.Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan. dan Qatadah.

Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni tetangga yang muslim. dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh.

(An-Nisa: 36) Yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan

(berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni istri.Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36) Yaitu teman seperjalanan.

Banyak hadis yang menganjurkan berbuat baik kepada tetangga, berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah, hanya kepada Allah kami memohon pertolongan.Hadis pertama.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ مُحَمَّدًا يُحَدِّثُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا زَالَ جِبرِيل يُوصِينِي بالْجَارِ حَتِّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِثُه".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Umar ibnu Muhammad ibnu Zaid, bahwa ia pernah mendengar Muhammad menceritakan hadis berikut

dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mewaris.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan

Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing dengan melalui Muhammad ibnu Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar dengan lafaz yang sama.Hadis kedua.


قَالَ الإمامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ داودَ بنِ شَابُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا زالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالْجَارِ حتى ظننْتُ أنَّه سَيُوَرِّثُهُ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Daud ibnu Syabur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai

tetangga sehingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mewaris.Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang semisal melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Basyir Abu Ismail. Imam Turmuzi menambahkan

Daud ibnu Syabur, keduanya (yakni Abu Ismail dan Daud ibnu Syabur) dari Mujahid dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib bila ditinjau dari sanadnya. Hadis ini diriwayatkan pula dari Mujahid, Aisyah, dan Abu Hurairah, dari Nabi Saw.Hadis ketiga.


قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيد، أَخْبَرَنَا حَيْوةُ، أَخْبَرَنَا شَرْحَبِيلُ بنُ شُرَيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بنِ الْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قَالَ: "خَيْرُ الأصْحَابِ عِندَ اللهِ خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وخَيْرُ الجِيرانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ".


Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Syurahbil ibnu Syarik, bahwa ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Jaili

menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah

orang yang paling baik kepada tetangganya.Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan bahwa hadis ini garib.Hadis keempat.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ عُمَر قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَشْبَعُ الرَّجُلُ دُونَ جَارِهِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abayah ibnu Rifa'ah, dari Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Seorang lelaki tidak boleh kenyang tanpa tetangganya.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).Hadis kelima.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيُّ، سَمِعْتُ أَبَا ظَبْية الكَلاعِيّ، سَمِعْتُ المقدادَ بْنَ الْأَسْوَدِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: ["مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟ " قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ ورسُولُه، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ: رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] لأنْ يَزني الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَة، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَن يزنيَ بامرَأَةِ جَارِهِ". قَالَ: مَا تَقُولُونَ فِي السَّرِقَة؟ قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ. قَالَ "لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِن عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يسرِقَ مِنْ جَارِهِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Ansari yang mengatakan bahwa

ia mendengar dari Abu Zabyah Al-Kala'i yang telah mendengarnya dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada sahabat-sahabatnya: "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan zina itu?"

Mereka menjawab, "Perbuatan haram yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, zina tetap diharamkan sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki berbuat zina dengan sepuluh orang wanita,

hal ini lebih ringan baginya daripada ia berbuat zina dengan istri tetangganya." Rasulullah Saw. bertanya pula, "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan mencuri itu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya,

dan ia tetap haram sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari rumah tetangganya."

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri). Tetapi hadis ini mempunyai syahid yang memperkuatnya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Ibnu Mas'ud yang mengatakan:


قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أيُّ الذَّنْب أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهُوَ خَلَقَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَن يُطْعَم مَعَكَ". قُلتُ: ثُمَّ أيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَاني حَليلةَ جَارِكَ"


Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia Yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab.

”Bila kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan makan bersamamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu berzina dengan istri tetanggamu."Hadis keenam.


قَالَ الإمامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا هِشَامُ، عَنْ حَفْصَةَ، عَنْ أبِي الْعَالية، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: خَرَجْتُ مِنْ أَهْلِي أريدُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فإذَا بِهِ قَائِمٌ وَرَجُلٌ مَعَهُ مُقْبِل عَليه، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُمَا حَاجة -قَالَ الأنْصَارِيُّ: لَقَدْ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى جَعَلْتُ أَرْثِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، فَلمَّا انْصَرفَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَقَدْ قَامَ بِكَ هَذَا الرَّجُلُ حَتَّى جَعَلْتُ أَرْثِي لَك مِنْ طُولِ الْقِيَامِ. قَالَ: "وَلَقَدْ رَأَيتَه؟ " قُلتُ: نَعَمْ. قَالَ: "أَتَدْرِي مَن هُوَ؟ " قُلْتُ: لَا. قَال: "ذَاكَ جِبْرِيِلُ، مَا زَالَ يُوصِينِي بِالجِارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُورثُه. ثُمَّ قَالَ: أَمَا إِنَّك لَو سَلَّمْتَ عَلَيْهِ، رَدَّ عَلَيْكَ السَّلَامَ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah, dari Abul Aliyah, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadis berikut: Aku keluar dari rumah

keluargaku menuju rumah Nabi Saw. Tiba-tiba aku jumpai beliau sedang berdiri menghadapi seorang lelaki yang ada bersamanya. Aku menduga bahwa keduanya sedang dalam suatu keperluan. Lelaki Ansar melanjutkan kisahnya,

bahwa Rasulullah Saw. terus berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga aku merasa kasihan kepadanya. Ketika lelaki itu pergi, aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki ini sangat lama berdiri denganmu, sehingga aku

merasa kasihan kepadamu karena lama berdiri melayaninya." Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bertanya, "Tahukah kamu siapakah dia?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi Saw, bersabda:

Dia adalah Jibril, dia terus-menerus mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa dia akan memberinya hak mewaris. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Ingatlah,

sesungguhnya kamu seandainya mengucapkan salam kepadanya, niscaya dia menjawab salammu.Hadis ketujuh. Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya.


حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْد، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ -يَعْنِي الْمدَنيّ-عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْعَوَالِي وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وجِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يُصَلِّيانِ حَيْثُ يُصَلَّى عَلَى الْجَنائِز، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ الرَّجُلُ: يَا رسولَ اللَّهِ، مَنْ هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي رَأَيْتُ مَعَكَ؟ قَالَ: "وَقَدْ رأيْتَه؟ " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "لَقَدْ رأَيْتَ خَيْرًا كَثِيرًا، هَذَا جِبْرِيلُ مَا زَالَ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى رُئِيت أَنَّه سَيُورثُه".


telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar (yakni Al-Madani), dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari pegunungan datang ketika Rasulullah Saw.

dan Malaikat Jibril sedang salat, yaitu pada saat Nabi Saw. sedang menyalatkan jenazah. Ketika Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, lelaki tersebut bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah lelaki yang kulihat ikut salat bersamamu itu?"

Rasulullah Saw. balik bertanya, "Apakah kamu melihatnya?" ia menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya engkau telah melihat kebaikan yang banyak. Orang ini adalah Jibril. Dia terus-menerus berwasiat kepadaku

mengenai tetangga, hingga aku berpendapat bahwa dia akan memberinya hak mewaris.Ditinjau dari segi ini hadis diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid secara munfarid, tetapi hadis ini mengukuhkan hadis sebelumnya.Hadis kedelapan.


قَالَ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو الرَّبِيعِ الْحَارِثِيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْن أَبِي فُدَيْك، أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحمن بنُ الْفَضل عَنْ عَطَاء الخَراساني، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الجِيرانُ ثَلاثَةٌ: جَارٌ لهُ حَقٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ أَدْنَى الجيرانِ حَقًّا، وَجَارٌ لَهُ حقَّان، وجَارٌ لَهُ ثلاثةُ حُقُوقٍ، وَهُوَ أفضلُ الجيرانِ حَقًّا، فَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَجَارٌ مُشْرِكٌ لَا رَحمَ لَهُ، لَهُ حَقُّ الجَوار. وأمَّا الَّذِي لَهُ حقانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ، لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوارِ، وأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلاثةُ حُقُوقٍ، فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُو رَحِمٍ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وحَقُّ الرحِمِ".


Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad alias Abur Rabi' Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudail, telah menceritakan kepadaku

Abdur Rahman ibnul Fadl, dari Ata Al-Khurrasani, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tetangga itu ada tiga macam, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak;

dia adalah tetangga yang memiliki hak paling rendah. Lalu tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak, dia adalah tetangga yang memiliki hak paling utama. Adapun tetangga yang mempunyai satu hak,

maka dia adalah tetangga musyrik yang tidak mempunyai hubungan kerabat baginya; dia mempunyai hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, maka dia adalah tetangga muslim; dia mempunyai hak Islam dan hak tetangga.

Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kerabat; dia mempunyai hak tetangga, hak Islam, dan hak kerabat.Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada seseorang yang meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnul Fadl kecuali hanya Ibnu Abu Fudail."Hadis kesembilan.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، عنْ طَلْحَةَ بنِ عَبْد اللهِ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّهَا سَأَلَتْ رسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: "إنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: "إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنْك بَابًا"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Imran, dari Talhah ibnu Abdullah, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.

Untuk itu ia mengatakan: "Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tetangga. maka kepada siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman) ini?" Nabi Saw. bersabda, "Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat kepadamu."Imam Bukhari

meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan sanad yang sama.Hadis kesepuluh. Imam Tabrani dan Abu Na'im meriwayatkan dari Abdur Rahman yang di dalam riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan wudu,

lalu orang-orang berebutan mengusapkan bekas air wudunya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah gerangan yang mendorong kalian berbuat demikian?" Mereka menjawab, "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Saw. bersabda:


«من سره أن يحب الله ورسوله فليصدق الحديث إذا حدث، وليؤد الأمانة إذا ائتمن»


Barang siapa yang menginginkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata benar apabila berbicara, dan hendaklah ia menunaikan amanat bila dipercaya, (dan hendaklah ia berbuat baik dengan tetangga).Hadis kesebelas.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«إن أَوَّلُ خَصْمَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ »


Sesungguhnya mula-mula dua seteru yang diajukan di hari kiamat nanti adalah dua orang yang bertetangga.Firman Allah Swt.


وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ


dan (berbuat baiklah kepada) teman-teman sejawat. (An-Nisa: 36)As-Sauri meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud, yang dimaksud ialah istri.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan

dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya yang menyatakan hal selain itu.Ibnu Abbas dan sejumlah ulama mengatakan, yang dimaksud adalah tamu. Ibnu Abbas,

Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah teman seperjalanan.Adapun Ibnu Sabil, menurut Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang dimaksud adalah tamu. Menurut Mujahid, Abu Ja'far, Al-Baqir, Al-Hasan,

Ad-Dahhak, dan Muqatil, yang dimaksud dengan Ibnu Sabil ialah orang yang sedang dalam perjalanan yang mampir kepadamu. Pendapat ini lebih jelas, sekalipun pendapat yang mengatakan "tamu" bermaksud orang yang dalam perjalanan,

lalu bertamu, pada garis besarnya kedua pendapat bermaksud sama. Pembahasan mengenai Ibnu Sabil ini akan diketengahkan secara rinci dalam tafsir surat Al-Bara’ah (surat At-Taubah). Hanya kepada Allah mohon keperca-yaan dan hanya kepada-Nya bertawakal.Firman Allah Swt.:


وَما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ


dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki. (An-Nisa: 36)Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada para hamba sahaya, karena hamba sahaya adalah orang yang lemah upayanya, dan dikuasai oleh orang lain.

Karena itu, terbukti bahwa Rasulullah Saw. mewasiatkan kepada umatnya dalam sakit yang membawa kewafatannya melalui sabdanya yang mengatakan:


«الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ»


Salat, salat, dan budak-budak yang kalian miliki!Maka beliau Saw. mengulang-ulang sabdanya hingga lisan beliau kelihatan terus berkomat-kamit mengatakannya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ، حَدَّثَنَا بَقِيّة، حَدَّثَنَا بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَان، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِب قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَك فَهُوَ لَكَ صدقةٌ، وَمَا أطعمتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، ومَا أطعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَك صَدَقَهٌ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba

yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali kamu beri makan dirimu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan anakmu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan

istrimu melainkan hal itu sedekah bagimu, dan tidak sekali-kali kamu beri makan pelayanmu melainkan hal itu sedekah bagimu.Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Baqiyyah, sanad hadis berpredikat sahih.Dari Abdullah ibnu Amr,

disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Qahriman (pegawai)nya, "Apakah engkau telah memberikan makanan pokok kepada budak-budak?" Ia menjawab, "Belum." Abdullah ibnu Amr berkata, "Berangkatlah sekarang dan berikanlah makanan pokok itu kepada mereka, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda:


«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُمْ»


'Cukuplah dosa seseorang, bila ia menahan makanan pokok terhadap hamba sahayanya.’Hadis riwayat Imam Muslim. Disebutkan dari sahabat Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:


«لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ، وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ»


Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya, dan tidak boleh dibebani dengan pekerjaan melainkan sebatas kemampuannya.Hadis riwayat Imam Muslim pula.Dari Abu Hurairah r.a. pula, dari Nabi Saw. Disebutkan bahwa. Nabi Saw. pernah bersabda:


«إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، أَوْ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ، فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ»


Apabila pelayan seseorang di antara kalian datang menyuguhkan makanan, lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan bersamanya, maka hendaklah ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap makanan, sepiring atau dua piring

makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang memasak dan yang menghidangkannya.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada pada Sahih Bukhari, sedangkan menurut lafaz Imam Muslim adalah seperti berikut:


«فَلْيُقْعِدْهُ مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ، فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا، فَلْيَضَعْ فِي يَدِهِ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ»


Hendaklah ia mempersilakan pelayannya untuk makan bersamanya; dan jika makanan tersebut untuk orang banyak lagi sedikit, maka hendaklah ia memberinya makanan di tangannya barang sesuap atau dua suap makanan. Dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:


«هُمْ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ »


Mereka (para pelayan) adalah saudara-saudara kalian lagi budak-budak kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan

dari apa yang ia makan, dan hendaklah ia memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka pekerjaan yang tidak mampu mereka lakukan; dan jika kalian terpaksa membebani mereka

(dengan pekerjaan berat),maka bantulah mereka.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Firman Allah Swt.:


إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ مُخْتالًا فَخُوراً


Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)Yakni congkak, takabur, dan sombong terhadap orang lain; dia melihat bahwa dirinya lebih baik daripada mereka.

Dia merasa dirinya besar, tetapi di sisi Allah hina dan di kalangan manusia dibenci. Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (An-Nisa: 36) yang dimaksud dengan

mukhtal ialah takabur dan sombong. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36) tidak pernah bersyukur kepada Allah Swt. setelah diberi nikmat oleh-Nya, bahkan dia berbangga diri terhadap

orang-orang dengan karunia nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepadanya, dan dia orang yang sedikit bersyukur kepada Allah atas hal tersebut.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan

kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Abu Raja Al-Harawi yang mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai orang yang jahat perangainya kecuali ada pada diri orang

yang sombong lagi membangga-banggakan dirinya, lalu ia membacakan firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki. (An-Nisa: 36), hingga akhir ayat. Tidak pernah ia jumpai orang yang menyakiti kedua orang tuanya

kecuali ada pada diri orang sombong lagi durhaka, lalu ia membacakan firman-Nya: dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam: 32)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Al-Awwam ibnu Hausyab hal yang semisal sehubungan dengan makna mukhtal (sombong) dan fakhur (membangga-banggakan diri). Untuk itu ia mengatakan:


حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الْأُسُودُ بْنُ شَيْبَان، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّير قَالَ: قَالَ مُطَرِّف: كَانَ يَبْلُغُنِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ حَدِيثٌ كُنْتُ أَشْتَهِي لِقَاءَهُ، فَلَقِيتُهُ فَقُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، بَلَغَنِي أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَكُمْ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ثَلَاثَةً ويُبْغض ثَلَاثَةً"؟ قَالَ: أَجَلْ، فَلَا إِخَالُنِي أَكْذِبُ عَلَى خَلِيلِي، ثَلَاثًا. قُلْتُ: مَنِ الثَّلَاثَةُ الَّذِينَ يُبْغِضُ اللَّهُ؟ قَالَ: الْمُخْتَالُ الْفَخُورُ، أَوَلَيْسَ تَجِدُونَهُ عِنْدَكُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ؟ ثُمَّ قَرَأَ الْآيَةَ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا}


telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah ibnusy Syiklikhir yang mengatakan bahwa Mutarrif pernah menceritakan bahwa

telah sampai kepadanya sebuah hadis dari Abu Zar yang membuatnya ingin sekali bersua dengan Abu Zar. Lalu ia menjumpai Abu Zar. Aku (Mutarrif) bertanya, "Hai Abu Zar, telah sampai kepadaku bahwa dirimu pernah menduga bahwa

Rasulullah Saw. telah bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai tiga orang dan membenci tiga orang'." Abu Zar menjawab, "Memang benar, kamu tentu percaya bahwa aku tidak akan berdusta kepada kekasihku (Nabi Saw.)," sebanyak tiga kali.

Aku bertanya, "Lalu siapakah tiga macam orang yang dibenci oleh Allah itu?" Abu Zar menjawab, "Orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. Bukankah kamu pun telah menjumpainya di dalam Kitabullah yang ada pada kalian?"

Kemudian Abu Zar r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)


وَحَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبُ عَنْ خَالِدٍ، عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَلْهُجَيم قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوْصِنِي. قَالَ: "إِيَّاكَ وإسبالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّ إِسْبَالَ الْإِزَارِ مِنَ المَخِيلة، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ المَخِيلة"


Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Abu Tamimah, dari seorang lelaki dari kalangan Banil Hujaim yang menceritakan:

Aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Jangan sekali-kali kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya memanjangkan kain merupakan sikap orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai (orang yang bersikap) sombong."

Surat An-Nisa |4:37|

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

allażiina yabkholuuna wa ya`muruunan-naasa bil-bukhli wa yaktumuuna maaa aataahumullohu min fadhlih, wa a'tadnaa lil-kaafiriina 'ażaabam muhiinaa

(yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.

Who are stingy and enjoin upon [other] people stinginess and conceal what Allah has given them of His bounty - and We have prepared for the disbelievers a humiliating punishment -

Tafsir
Jalalain

(Orang-orang yang) menjadi mubtada (kikir) mengeluarkan apa yang wajib mereka keluarkan (dan menyuruh manusia supaya kikir pula) dengannya (serta menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka)

berupa ilmu maupun harta, dan mereka ini ialah orang-orang Yahudi sedangkan yang menjadi khabar mubtadanya ialah: bagi mereka ancaman dahsyat

(dan Kami sediakan bagi orang-orang yang kafir) terhadap hal itu dan hal-hal lainnya (siksa yang menghinakan)

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 37 |

Tafsir ayat 37-39

Allah Swt. berfirman mencela orang-orang yang kikir dengan harta benda mereka, tidak mau menginfakkannya untuk keperluan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berbakti kepada kedua orang tua, berbuat kebajikan

kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh dan teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang mereka miliki. Mereka tidak mau membayar hak Allah yang ada pada harta mereka, bahkan mereka menganjurkan orang lain untuk bersikap kikir. Rasulullah Saw. telah bersabda:


"وَأَيُّ دَاءٍ أَدْوَأ مِنَ الْبُخْلِ؟ "


Penyakit manakah yang lebih parah dari penyakit kikir?Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw. bersabda pula:


«إِيَّاكُمْ وَالشُّحَ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا»


Hati-hatilah kalian terhadap sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk memutuskan hubungan silaturahmi, lalu mereka memutuskannya. Dan sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk berbuat maksiat, lalu mereka mengerjakannya.Firman Allah Swt.:


وَيَكْتُمُونَ مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ


dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)Orang yang kikir adalah orang yang ingkar kepada nikmat Allah; nikmat Allah tidak tampak pada dirinya, tidak kelihatan pada makanan, pakaian, tidak pula pada pemberian dan sumbangan. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


إِنَّ الْإِنْسانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيدٌ


Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-Adiyat: 6-7)Yakni menyaksikan keadaan dan sepak terjangnya sendiri yang ingkar itu.


وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ


dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-Adiyat: 8)Sedangkan dalam surat An-Nisa ini disebutkan:


{وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}


dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt. mengancam mereka:


وَأَعْتَدْنا لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً


Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)Al-Kufru artinya menutupi dan menyembunyikan; orang yang kikir menutupi nikmat Allah yang diberikan kepadanya,

lalu ia sembunyikan dan ia ingkari, maka dia kafir terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:


"إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَنْعَمَ نِعْمَةً عَلَى عبدٍ أحبَّ أَنْ يَظْهَرَ أثرُها عَلَيْهِ"


Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, Dia suka bila si hamba menampakkan pengaruh dari nikmat itu pada dirinya.Dalam doa Nabawi disebutkan:


"وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ، مُثِنِينَ بِهَا عَلَيْكَ قَابِلِيهَا -وَيُرْوَى: قَائِلِيهَا-وَأَتْمِمْهَا عَلَيْنَا"


Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, memuji-Mu karenanya, menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.Sebagian ulama Salaf menginterpretasikan makna ayat ini ditujukan kepada kekikiran

orang-orang Yahudi, karena mereka telah mengetahui perihal sifat Nabi Muhammad Saw. melalui kitab-kitab yang ada di tangan mereka, tetapi mereka menyembunyikannya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


{وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا}


Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Pendapat ini dikatakan

oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.Tidak diragukan memang ayat ini mengandung pengertian tersebut. Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan sifat kikir dalam masalah harta benda, sekalipun kikir dalam masalah ilmu

termasuk pula ke dalam maknanya dengan pengertian yang prioritas.Konteks ayat ini berkaitan dengan memberi nafkah kepada kaum kerabat dan orang-orang lemah (miskin). Begitu pula ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya:


{والَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ}


Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya (pamer) kepada manusia. (An-Nisa: 38)Pada ayat pertama disebutkan perihal orang-orang yang menyembunyikan hartanya lagi tercela; mereka adalah

orang-orang yang kikir. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena pamer, dengan tujuan pada pemberiannya itu ingin dipuji dan dihormati, dan dalam hal tersebut mereka sama sekali tidak

mengharapkan pahala Allah Swt. Di dalam hadis mengenai tiga macam orang yang api neraka dibesarkan untuk mereka —yaitu orang alim, orang yang berperang, dan orang yang berinfak; yang semuanya itu dilakukan mereka karena riya (pamer) dengan amal perbuatan mereka— disebutkan seperti berikut:


«يَقُولُ صَاحِبُ الْمَالِ: مَا تَرَكْتُ مِنْ شَيْءٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهِ إِلَّا أَنْفَقْتُ فِي سَبِيلِكَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: كَذَبْتَ إِنَّمَا أَرَدْتَ أَنْ يُقَالَ: جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ»


Pemilik harta berkata.”Aku tidak pernah membiarkan suatu jalan pun yang Engkau sukai bila aku berinfak untuknya, melainkan aku mengeluarkan infak di jalan-Mu itu." Maka Allah berfirman, "Kamu dusta, sesungguhnya yang kamu ingini ialah

agar dikatakan bahwa kamu orang yang dermawan, dan hal itu telah diucapkan."Yakni kamu telah mengambil (menerima) pahalamu di dunia yang merupakan tujuan dari perbuatanmu itu.Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Addi ibnu Hatim:


«إِنَّ أَبَاكَ رَامَ أَمْرًا فَبَلَغَهُ»


Sesungguhnya ayahmu menghendaki suatu perkara, dan ia telah mencapai (mendapatkan)nya.Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai Abdullah ibnu Jad'an, apakah infak dan memerdekakan budak yang dilakukannya bermanfaat bagi dia. Maka Rasulullah Saw. menjawab:


"لَا إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ"


Tidak, karena sesungguhnya dia dalam suatu hari dari masa hidupnya belum pernah mengatakan, "Ya Tuhanku, ampunilah bagiku atas kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)ku di hari pembalasan (nanti)."Karena itulah dalam ayat ini disebutkan:


وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ


dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. (An-Nisa: 38), hingga akhir ayat.Dengan kata lain, sesungguhnya yang mendorong mereka berbuat perbuatan yang buruk itu dan menyimpang dari jalan ketaatan

adalah setan. Setanlah yang membisikkan hal itu kepada mereka dan membuat mereka berangan-angan untuk melakukannya. dan setan selalu menemani mereka hingga semua perbuatan yang buruk akan mereka kerjakan dengan baik.

Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan seperti berikut: Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (An-Nisa: 38)Salah seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini telah mengatakan:


عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ ... فَكُلُّ قَرِينٍ بِالْمَقَارَنِ يَقْتَدِي


Jangan kamu tanyakan kepada seseorang siapa dia adanya, tetapi lihatlah siapa temannya, karena setiap teman mempengaruhi orang yang ditemaninya.Kemudian Allah Swt. berfirman:


وَماذا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ


Apakah kemudaratannya bagi mereka. kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? (An-Nisa: 39), hingga akhir ayat.Apakah bahayanya sekiranya mereka

beriman kepada Allah dan menempuh jalan yang terpuji, membebaskan diri dari riya (pamer) dan berikhlas serta beriman kepada Allah dengan mengharapkan janji-Nya di hari akhirat bagi orang yang beramal baik,

dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka ke jalan-jalan yang disukai dan diridai Allah Swt.?Firman Allah Swt.:


وَكانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً


Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (An-Nisa: 39)Dia Maha Mengetahui niat mereka. apakah niat yang baik atau yang buruk, dan Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak dari mereka yang mendapat taufik,

lalu Dia memberinya jalan petunjuk dan memberinya ilham untuk mengerjakanya serta menggerakkannya untuk melakukan amal saleh yang diridai-Nya. Dia Maha mengetahui tentang orang yang berhak mendapat kehinaan dan yang terusir

dari sisi-Nya Yang Mahabesar, yaitu orang yang terusir dari rahmat-Nya. Sesungguhnya orang tersebut sangat kecewa dan merugi di dunia dan akhirat. Semoga Allah melindungi kita semua dari keadaan seperti itu.

Surat An-Nisa |4:38|

وَالَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ وَمَنْ يَكُنِ الشَّيْطَانُ لَهُ قَرِينًا فَسَاءَ قَرِينًا

wallażiina yunfiquuna amwaalahum ri`aaa`an-naasi wa laa yu`minuuna billaahi wa laa bil-yaumil-aakhir, wa may yakunisy-syaithoonu lahuu qoriinan fa saaa`a qoriinaa

Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barang siapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat.

And [also] those who spend of their wealth to be seen by the people and believe not in Allah nor in the Last Day. And he to whom Satan is a companion - then evil is he as a companion.

Tafsir
Jalalain

(Dan orang-orang yang) diathafkan kepada orang-orang yang sebelumnya (menafkahkan harta mereka karena riya kepada manusia) artinya karena mereka ingin dipuji

(dan mereka tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir) misalnya orang-orang munafik dan kafir Mekah. (Barangsiapa yang menjadi sejawat setan) artinya temannya,

maka ia akan mengikuti perintahnya dan akan melakukan seperti apa yang dilakukannya (maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 38 |

Penjelasan ada di ayat 37

Surat An-Nisa |4:39|

وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا

wa maażaa 'alaihim lau aamanuu billaahi wal-yaumil-aakhiri wa anfaquu mimmaa rozaqohumulloh, wa kaanallohu bihim 'aliimaa

Dan apa (keberatan) bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya? Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

And what [harm would come] upon them if they believed in Allah and the Last Day and spent out of what Allah provided for them? And Allah is ever, about them, Knowing.

Tafsir
Jalalain

(Apa salahnya bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari yang akhir serta menafkahkan sebagian rezeki yang diberikan Allah kepada mereka) artinya apa bencana dan kerugiannya bagi mereka,

Pertanyaan ini berarti sanggahan, sedangkan 'lau' mashdariah, artinya tak ada mudaratnya di sana itu, hanya kondisi di mana mereka berada itulah yang membawa mudarat atau bencana.

(Dan Allah Maha Mengetahui keadaan mereka) sehingga akan dibalas-Nya apa yang mereka lakukan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 39 |

Penjelasan ada di ayat 37

Surat An-Nisa |4:40|

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

innalloha laa yazhlimu miṡqoola żarroh, wa in taku ḥasanatay yudhoo'if-haa wa yu`ti mil ladun-hu ajron 'azhiimaa

Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.

Indeed, Allah does not do injustice, [even] as much as an atom's weight; while if there is a good deed, He multiplies it and gives from Himself a great reward.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya Allah tidak menganiaya) seorang pun (walau sebesar zarrah) artinya sebesar semut yang paling kecil, misalnya dengan mengurangi kebaikan-kebaikannya atau menambah kejahatan-kejahatannya

(dan sekiranya ada kebaikan sebesar zarrah) dari seorang mukmin; menurut satu qiraat dengan baris di depan sehingga merupakan tammah (niscaya Allah akan melipatgandakannya) dari 10 sampai lebih dari 700 kali lipat.

Menurut satu qiraat tanpa tasydid sehingga menjadi yudhaa`ifuha (dan mendatangkan dari sisi-Nya) di samping ganjaran yang berlipat ganda itu (pahala yang besar) tak dapat diperkirakan oleh seorang pun juga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 40 |

Tafsir ayat 40-42

Allah Swt. berfiiman memberitakan bahwa Dia tidak menganiaya seorang makhluk pun di hari kiamat nanti barang sebesar biji sawi, tidak pula barang seberat zarrah, melainkan Dia pasti menunaikannya dan melipatgandakannya jika hal itu merupakan amal kebaikan. Seperti yang disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:


وَنَضَعُ الْمَوازِينَ الْقِسْطَ


Kami akan memasang timbangan yang tepat. (Al-Anbiya: 47)Allah Swt. telah berfirman pula menceritakan perihal Luqman, bahwa ia pernah mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya:


يَا بُنَيَّ إِنَّها إِنْ تَكُ مِثْقالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّماواتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ


Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya. (Luqman: 16)Dan dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman:


{يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ}


Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat

(balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 6-8)Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar,

dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan hadis syafaat yang cukup panjang. Di dalamnya antara lain disebutkan hal berikut:


«فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ»


Maka Allah Swt. berfirman, "Kembalilah kalian. Maka barang siapa yang kalian jumpai dalam kalbunya iman sebesar biji sawi, keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka.'"Dalam lafaz yang lain disebutkan:


«أَدْنَى أَدْنَى أَدْنَى مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ إِيمَانٍ، فَأَخْرِجُوهُ مِنَ النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا»


"Kadar iman yang jauh lebih kecil, jauh lebih kecil, jauh lebih kecil dari zarrah, maka keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka. Lalu keluarlah dari neraka manusia yang jumlahnya banyak."Kemudian Abu Sa'id mengatakan,

"Bacalah oleh kalian jika kalian suka firman Allah Swt. berikut," yaitu: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah. (An-Nisa: 40)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,

telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Harun ibnu Antarah, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, bahwa sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud pernah mengatakan hal berikut: Kelak di hari kiamat seorang hamba laki-laki atau seorang hamba

perempuan didatangkan, lalu ada juru penyeru menyerukan di kalangan semua makhluk, baik yang terdahulu maupun yang terkemudian, "Ini adalah Fulan bin Fulan. Barang siapa yang mempunyai hak terhadapnya, hendaklah ia datang

mengambil haknya." Maka hamba wanita merasa gembira bila ia mempunyai hak atas ayahnya atau ibunya atau saudaranya atau suaminya. Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara

mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Al-Mu’minun: 101); Lalu Allah memberikan ampunan dari haknya menurut apa yang dikehendakinya, tetapi Dia tidak memberikan ampunan barang sedikit pun yang bertalian

dengan hak-hak orang lain. Lalu hamba yang dipanggil dihadapkan di muka orang-orang (yang bersangkutan dengannya), dan Allah Swt. berfirman kepadanya, "Berikanlah kepada orang-orang itu hak-hak mereka!" Hamba yang bersangkutan

menjawab, "Ya Tuhanku, dunia telah lenyap. Dari manakah aku dapat memenuhi hak-hak mereka?" Allah Swt. berfirman, "Ambillah oleh kalian dari amal-amal salehnya!" Lalu para malaikat memberikan kepada orang-orang itu haknya masing-masing

sesuai dengan perbuatan aniaya si hamba (terhadap dirinya). Jika si hamba yang bersangkutan adalah kekasih Allah, dan masih ada tersisa sebesar zarrah dari amal salehnya, maka Allah melipatgandakannya untuk si hamba hingga si hamba

masuk surga karenanya. Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya kepada kami, yaitu: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah

akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40); Jika si hamba yang bersangkutan adalah orang yang celaka, maka malaikat yang ditugaskan berkata melapor, "Ya Tuhanku, semua kebaikannya telah habis, sedangkan orang-orang yang menuntutnya

masih banyak." Lalu Allah Swt. berfirman, "Ambillah dari amal keburukan mereka, kemudian tambahkanlah kepada amal keburukan si hamba itu." Kemudian si hamba yang bersangkutan dibelenggu dan dimasukkan ke dalam neraka.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur lain dari Zazan dengan lafaz yang semisal. Sebagian dari kandungan asar ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya dari hadis yang sahih.Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Fudail (yakni Ibnu Marzuq), dari Atiyah Al-Aufi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa

ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Arab Badui, yaitu firman-Nya: Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. (Al-An'am: 160); Seorang lelaki bertanya, "Hai Abu Abdur Rahman,

lalu apakah buat orang-orang Muhajirin?" Abdullah ibnu Umar menjawab, "Bagi mereka ada pahala yang lebih utama dari itu, yakni yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah;

dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar' (An-Nisa: 40)."Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah,telah menceritakan

kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jika ada kebajikan sebesar zarrah,

niscaya Allah akan melipatgandakannya. (An-Nisa: 40) Adapun orang musyrik, diringankan darinya azab di hari kiamat, tetapi ia tidak dapat keluar dari neraka selama-lamanya. Ia mengatakan demikian atas dasar dalil hadis sahih

yang menyebutkan bahwa Al-Abbas pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pamanmu Abu Talib dahulu selalu melindungimu dan menolongmu, apakah engkau dapat memberikan sesuatu manfaat untuknya?" Nabi Saw. menjawab:


"نَعَمْ هُوَ فِي ضَحْضَاح مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أنا لكان في الدَّرْك الأسفل مِنَ النَّارِ"


Ya, dia berada di bagian pinggir (atas) dari neraka. Seandainya tidak ada aku, niscaya dia berada di bagian paling bawah dari neraka.Tetapi barangkali hal ini hanya khusus bagi Abu Talib, bukan untuk orang-orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya:


حَدَّثَنَا عِمْرَانُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ الْمُؤْمِنَ حَسَنَةً، يُثَابُ عَلَيْهَا الرِّزْقَ فِي الدُّنْيَا ويُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِهَا فِي الدُّنْيَا، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ"


telah menceritakan kepada kami Imran, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya orang mukmin walaupun suatu kebaikan, Allah memberinya

pahala rezeki di dunia, dan memberinya balasan pahala di akhirat nanti. Adapun orang kafir, maka Allah hanya memberinya di dunia; dan apabila hari kiamat, maka dia tidak memiliki suatu kebaikan pun.Abu Hurairah, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,

Al-Hasan, Qatadah, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (An-Nisa: 40) Yakni berupa surga; kami memohon rida Allah dan surga.Imam Ahmad mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Abdus-Samad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman (yakni Ibnul Mugirah), dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman yang menceritakan, "Telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Allah Swt.

membalas satu kebaikan seorang hamba yang mukmin dengan sejuta kebaikan." Ali ibnu Zaid melanjutkan kisahnya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk berangkat melakukan haji atau umrah, lalu ia menjumpai Abu Usman. Ia bertanya,

"Sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah hadis darimu bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, 'Suatu kebaikan seorang hamba mendapat balasan sejuta kebaikan'." Aku (Abu Usman) berkata, "Kasihan kamu. Sebenarnya tidak ada

seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini darinya." Maka aku berangkat dengan tujuan untuk menemui Abu Hurairah, tetapi aku tidak menjumpainya karena ia telah

berangkat menunaikan haji. Aku pun berangkat pula menunaikan haji untuk mencari hadis ini. Ketika aku menjumpainya, aku langsung bertanya, "Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar engkau memberikannya kepada

penduduk Basrah?" Abu Hurairah balik bertanya, "Hadis apakah yang kamu maksudkan?" Aku menjawab, "Mereka menduga bahwa engkau telah mengatakan, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan'."

Abu Hurairah mengatakan, "Wahai Abu Usman, apakah yang membuatmu heran dengan masalah ini? Bukankah Allah Swt. telah berfirman: 'Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik,

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipatganda yang banyak' (Al-Baqarah: 245). Allah Swt. telah berfirman pula: 'Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)

di akhirat hanyalah sedikit' (At-Taubah: 38). Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku benar-benar telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«إِنَّ اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»


'Sesungguhnya Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi duajuta (pahala) kebaikan'."Imam Ahmad mengatakan bahwa hadis ini garib, dan Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an ini mempunyai banyak hadis yang munkar.Imam Ahmad

meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudailah dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada

sahabat Abu Hurairah, lalu bertanya kepadanya, "Telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, 'Sesungguhnya pahala suatu kebaikan itu benar-benar dilipatgandakan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah r.a.

bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu merasa heran dari hal tersebut? Sesungguhnya aku, demi Allah, pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«إِنَّ اللَّهَ لِيُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ»


'Sesungguhnya Allah benar-benar melipatgandakan pahala suatu kebaikan (hingga) menjadi duajuta pahala kebaikan'."Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Abu Khallad dan Sulaiman ibnu Khallad Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ar-Rifa'i, dari Ziyad ibnul Jassas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Sesungguhnya

tidak ada seorang pun yang lebih banyak duduk (belajar) kepada Abu Hurairah selain diriku. Abu Hurairah datang berhaji lebih awal dariku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba orang-orang dari Basrah mengklaim adany

a sebuah hadis darinya yang menyebutkan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Lalu aku berkata, "Kasihan kalian ini.

Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku sendiri, tetapi aku tidak pernah mendengar hadis ini darinya." Lalu aku bertekad menemuinya, tetapi kujumpai dia telah berangkat menunaikan haji.

Kemudian aku pun berangkat menunaikan haji untuk menemuinya sehubungan dengan hadis ini.Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Muslim,

telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Rauh, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalid Az-Zahabi, dari Ziyad Al-Jassas, dari Abu Usman yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya kepada Abu Hurairah,

"Hai Abu Hurairah, aku mendengar saudara-saudaraku di Basrah menduga engkau pernah meriwayatkan bahwa engkau pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan

sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah menjawab, "Demi Allah, bahkan aku mendengar Nabi Saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan dua juta pahala kebaikan'." Kemudian Abu Hurairah membacakan

firman-Nya: Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38)Firman Allah Swt.:


فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنا بِكَ عَلى هؤُلاءِ شَهِيداً


Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)Allah Swt. berfirman, menceritakan kengerian

yang terjadi pada hari kiamat dan perkara serta keadaannya yang sangat keras; maka bagaimanakah perkara dan keadaan hari kiamat nanti ketika didatangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat, yang dimaksud ialah para nabi. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


وَأَشْرَقَتِ الْأَرْضُ بِنُورِ رَبِّها وَوُضِعَ الْكِتابُ وَجِيءَ بِالنَّبِيِّينَ وَالشُّهَداءِ


Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi. (Az-Zumar: 69), hingga akhir ayat.


وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيداً عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ


(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri. (An-Nahl: 89), hingga akhir ayat.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سفيانُ، عَنِ الأعْمَشِ، عَنْ إبراهيمَ، عَنْ عُبَيْدَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "اقْرَأْ عَلَيَّ" قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنزلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، إِنِّي أُحِبُّ أَنَّ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي" فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ، حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} قَالَ: "حَسْبُكَ الْآنَ" فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَان.


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda kepadanya: "Bacakanlah (Al-Qur'an) untukku!" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, apakah aku membacakan Al-Qur'an untukmu. padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, sesungguhnya

aku- suka bila mendengarnya dari orang lain." Lalu aku membaca surat An-Nisa. Ketika bacaanku sampai kepada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu

(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Maka Nabi Saw. bersabda: Cukuplah sekarang! Ternyata kedua mata beliau berlinangan air mata.Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Al-A'masy dengan

sanad yang sama. Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud; hal ini membuktikan bahwa hadis ini benar-benar dari Ibnu Mas'ud. Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalur Abu Hayyan dan Abu Razin, dari Ibnu Mas"ud.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي الدُّنْيَا، حَدَّثَنَا الصَّلْتُ بنُ مَسْعُود الجَحْدَري، حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا يونُس بنُ مُحَمَّدِ بْنِ فضَالَة الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ -وَكَانَ أَبِي مِمَّنْ صَحِبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُمْ فِي بَنِي ظَفَر، فَجَلَسَ عَلَى الصَّخْرَةِ الَّتِي فِي بَنِي ظَفَرٍ الْيَوْمَ، وَمَعَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَنَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَأَمْرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَارِئًا فَقَرَأَ، فَأَتَى عَلَى هَذِهِ الْآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا} فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى اضْطَرَبَ لِحْيَاهُ وَجَنْبَاهُ، فَقَالَ: "يَا رَبُّ هَذَا شهدتُ عَلَى مَنْ أَنَا بَيْنَ ظَهْرَيْهِ، فَكَيْفَ بِمَنْ لَمْ أَرَهُ؟ "


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abud Dunia, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Mas'ud Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami

Yunus ibnu Muhammad ibnu Fudalah Al-Ansari, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ayahnya termasuk salah seorang yang menjadi sahabat Nabi Saw. ia pernah menceritakan bahwa Nabi Saw. datang mengunjungi mereka di Bani Zafar,

lalu beliau duduk di atas sebuah batu besar yang ada di tempat Bani Zafar. Saat itu Nabi Saw. ditemani oleh Ibnu Mas'ud, Mu'az ibnu Jabal dan sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabatnya. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada

seorang qari’ untuk membaca Al-Qur'an. Manakala bacaan si qari' sampai pada firman-Nya: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi

atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Maka Rasulullah Saw. menangis hingga air matanya membasahi kedua pipi dan janggutnya. Lalu beliau Saw. berkata: Ya Tuhanku, sekarang aku bersaksi atas orang-orang yang aku berada

di antara mereka, bagaimanakah dengan orang yang belum aku lihat (yakni sesudahku)?Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Mas'udi,

dari Ja'far ibnu Amr ibnu Harb, dari ayahnya, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud) sehubungan dengan ayat ini. ia menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«شَهِيدٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتُ فِيهِمْ، فَإِذَا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ»


Aku orang yang menyaksikan lagi mengetahui selagi aku berada di antara mereka; tetapi apabila Engkau mewafatkan diriku, maka hanya Engkaulah yang mengawasi mereka.Adapun mengenai apa yang diceritakan oleh Abu Abdullah

Al-Qurtubi di dalam kitab Tazkirah, ia mengatakan dalam bab "Hal yang Menyebutkan Kesaksian Nabi Saw. atas Umatnya", telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki dari kalangan Ansar,

dari Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Tiada suatu hari pun yang terlewatkan melainkan ditampilkan kepada Nabi Saw. perihal umatnya di pagi dan sore harinya. Maka Nabi Saw.

mengenal nama dan amal perbuatan mereka. Karena itulah Nabi Saw. mempersaksikan atas perbuatan mereka. Allah Swt. telah berfirman: Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami

mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41)Maka sesungguhnya hal ini adalah asar (bukan hadis), di dalam sanadnya terdapat inqita'. Di dalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak dikenal

lagi tidak disebutkan namanya. Hal ini merupakan periwayatan Sa'id ibnul Musayyab sendiri, dan dia tidak me-rafa'-kannya (sampai kepada Rasulullah Saw.)Ternyata Al-Qurtubi menerima kenyataan ini. Lalu sesudah mengetengahkan asar ini

ia mengatakan dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa semua amal perbuatan dilaporkan kepada Allah pada tiap hari Senin dan Kamis; kepada para nabi, para ayah, dan para ibu pada hari Jumat. Al-Qurtubi mengatakan,

tidak ada pertentangan mengingat barangkali hal ini khusus bagi Nabi kita saja, sehingga ditampilkan kepadanya semua amal perbuatan setiap hari, juga pada hari Jumat yang bersama-sama para nabi lainnya. Firman Allah Swt.:


يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّى بِهِمُ الْأَرْضُ وَلا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثاً


Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)

Seandainya saja bumi terbelah dan menelan mereka, nisaya mereka terhindar dari kengerian dan huru-hara di Mauqif (padang mahsyar), dan terhindar dari kehinaan, kemaluan, dan cemoohan. Makna ayat ini sama seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ


pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. (An-Naba': 40) , hingga akhir ayat.Adapun firman Allah Swt.:


{وَلا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا}


dan mereka tidak dapat meyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42) Hal ini menceritakan keadaan mereka, bahwa mereka mengakui semua yang telah mereka kerjakan, dan tidak dapat menyembunyikan dari Allah

sesuatu pun dari amal perbuatan mereka.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Mutarrif, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa seorang lelaki

datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang firman Allah Swt. yang menceritakan keadaan orang-orang musyrik di hari kiamat, bahwa mereka mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami

mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman: dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42); Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Adapun mengenai firman-Nya:

'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Sesungguhnya mereka (orang-orang musyrik) ketika melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa tidak dapat masuk surga kecuali hanya orang-orang Islam,

maka mereka berkata (kepada sesamanya), 'Marilah kita mengingkari perbuatan kita!' Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23).

Maka Allah mengunci mati mulut mereka dan berbicaralah kedua kaki dan tangan mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun' (An-Nisa: 42)."

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang lelaki, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya banyak hal

yang bertentangan di dalam Al-Qur'an menurut pendapatku. Ibnu Abbas berkata, "Coba sebutkan yang mana, apakah engkau meragukan Al-Qur'an?" Lelaki itu berkata, "Tidak, tetapi aku bingung memahaminya." Ibnu Abbas bertanya,

"Apakah yang membingungkanmu di dalam Al-Qur'an itu?" Lelaki itu berkata bahwa Allah Swt. telah berfirman dalam suatu ayat, yaitu firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami

mempersekutukan Allah." (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lainnya Allah Swt. telah berfirman: dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42) Ternyata dari pengertian tersebut mereka dapat

menyembunyikan sesuatu dari Allah? Maka Ibnu Abbas menjawab bahwa mengenai firman-Nya: Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah." (Al-An'am: 23) Sesungguhnya

tatkala mereka menyaksikan di hari kiamat bahwa Allah tidak memberikan ampunan kecuali kepada pemeluk agama Islam, dan Allah mengampuni semua dosa betapapun besarnya kecuali dosa mempersekutukan Allah. Mereka bermaksud

mengingkari hal tersebut. Untuk itu mereka mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Mereka mengharapkan dengan hal ini agar Allah memberikan ampunan bagi mereka, tetapi Allah mengunci mulut

mereka dan berbicaralah kedua tangan dan kedua kaki mereka tentang hal-hal yang mereka lakukan sebenarnya. Maka di saat itulah disebutkan di dalam firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin

supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)Juwabir meriwayatkan dari Ad-Dahhak, bahwa Nafi' ibnul Azraq pernah datang kepada Ibnu Abbas,

lalu menanyakan kepadanya mengenai makna firman-Nya: Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah)

sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42) Juga firman-Nya: Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah. (Al-An'am: 23) Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Aku merasa yakin bahwa kamu berangkat dari kalangan teman-temanmu

dengan maksud akan menemuiku untuk menanyakan ayat-ayat mutasyabih dari Al-Qur'an. Untuk itu apabila kamu kembali kepada mereka, beri tahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. menghimpun semua manusia di hari kiamat di suatu padang

(mahsyar). Lalu orang-orang yang mempersekutukan Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari seseorang kecuali dari orang yang mengesakan-Nya. Lalu mereka berkata,

'Marilah kita ingkari perbuatan kita.' Ketika ditanyai, mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,

bahwa sebelum mereka mengatakan hal tersebut Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah semua anggota tubuh mereka, dan bersaksilah semua anggota tubuh mereka terhadap diri mereka dengan menyatakan bahwa sebenarnya mereka

adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah. Maka pada saat itu mereka berharap seandainya diri mereka ditelan oleh bumi. dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. (An-Nisa: 42)Riwayat Ibnu Jarir.

Surat An-Nisa |4:41|

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ شَهِيدًا

fa kaifa iżaa ji`naa ming kulli ummatim bisyahiidiw wa ji`naa bika 'alaa haaa`ulaaa`i syahiidaa

Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka.

So how [will it be] when We bring from every nation a witness and we bring you, [O Muhammad] against these [people] as a witness?

Tafsir
Jalalain

(Maka bagaimanakah) keadaan orang-orang kafir nanti (jika Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi) yakni nabi mereka masing-masing yang menyaksikan amal perbuatan mereka

(dan Kami datangkan kamu) hai Muhammad (sebagai saksi atas mereka itu) yakni umatmu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 41 |

Penjelasan ada di ayat 40

Surat An-Nisa |4:42|

يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّىٰ بِهِمُ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا

yauma`iżiy yawaddullażiina kafaruu wa 'ashowur-rosuula lau tusawwaa bihimul-ardh, wa laa yaktumuunalloha ḥadiiṡaa

Pada hari itu, orang yang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul (Muhammad), berharap sekiranya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apa pun dari Allah.

That Day, those who disbelieved and disobeyed the Messenger will wish they could be covered by the earth. And they will not conceal from Allah a [single] statement.

Tafsir
Jalalain

(Di hari itu) yakni hari kedatangannya (orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul menginginkan agar) seandainya (mereka disamaratakan dengan tanah) tusawwaa dalam bentuk pasif

dan ada pula yang membacanya dalam bentuk aktif dengan menghilangkan salah satu dari ta-nya pada asal lalu mengidgamkannya pada sin artinya dari tustawa sedangkan maksudnya ialah

mereka ingin agar menjadi tanah karena mereka tercekam rasa takut yang hebat sebagaimana tersebut pada ayat lain, "Dan orang kafir berkata, 'Wahai kiranya nasib, kenapa daku tidak menjadi tanah saja!'

(dan mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu peristiwa pun) mengenai apa yang mereka kerjakan." Tetapi pada kali yang lain mereka masih mencoba-coba juga untuk menyembunyikan

sebagaimana tersebut dalam Alquran, "Dan mereka berkata, 'Demi Allah Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan-Mu.'"

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 42 |

Penjelasan ada di ayat 40

Surat An-Nisa |4:43|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

yaaa ayyuhallażiina aamanuu laa taqrobush-sholaata wa antum sukaaroo ḥattaa ta'lamuu maa taquuluuna wa laa junuban illaa 'aabirii sabiilin ḥattaa taghtasiluu, wa ing kuntum mardhooo au 'alaa safarin au jaaa`a aḥadum mingkum minal-ghooo`ithi au laamastumun-nisaaa`a fa lam tajiduu maaa`an fa tayammamuu sho'iidan thoyyiban famsaḥuu biwujuuhikum wa aidiikum, innalloha kaana 'afuwwan ghofuuroo

Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati sholat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekadar melewati untuk jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

O you who have believed, do not approach prayer while you are intoxicated until you know what you are saying or in a state of janabah, except those passing through [a place of prayer], until you have washed [your whole body]. And if you are ill or on a journey or one of you comes from the place of relieving himself or you have contacted women and find no water, then seek clean earth and wipe over your faces and your hands [with it]. Indeed, Allah is ever Pardoning and Forgiving.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekati sholat) artinya janganlah sholat (sedangkan kamu dalam keadaan mabuk) disebabkan minum-minuman keras.

Asbabun nuzulnya ialah orang-orang sholat berjemaah dalam keadaan mabuk (sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan) artinya sadar dan sehat kembali (dan tidak pula dalam keadaan junub)<

disebabkan bersetubuh atau keluar mani. Ia manshub disebabkan menjadi hal dan dipakai baik buat tunggal maupun buat jamak (kecuali sekadar melewati jalan) artinya selagi musafir atau dalam perjalanan

(hingga kamu mandi lebih dulu) barulah kamu boleh melakukan sholat itu. Dikecualikannya musafir boleh melakukan sholat itu ialah karena baginya ada hukum lain yang akan dibicarakan nanti.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah larangan terhadap mendekati tempat-tempat sholat atau mesjid, kecuali sekadar melewatinya saja tanpa mendiaminya.

(Dan jika kamu sakit) yakni mengidap penyakit yang bertambah parah jika kena air (atau dalam perjalanan) artinya dalam bepergian sedangkan kamu dalam keadaan junub atau berhadas besar

(atau seseorang di antaramu datang dari tempat buang air) yakni tempat yang disediakan untuk buang hajat artinya ia berhadas (atau kamu telah menyentuh perempuan) menurut satu qiraat lamastum itu tanpa alif,

dan keduanya yaitu baik pakai alif atau tidak, artinya ialah menyentuh yakni meraba dengan tangan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, juga merupakan pendapat Syafii. Dan dikaitkan dengannya meraba dengan kulit lainnya,

sedangkan dari Ibnu Abbas diberitakan bahwa maksudnya ialah jimak atau bersetubuh (kemudian kamu tidak mendapat air) untuk bersuci buat sholat yakni setelah berusaha menyelidiki dan mencari.

Dan ini tentu mengenai selain orang yang dalam keadaan sakit (maka bertayamumlah kamu) artinya ambillah setelah masuknya waktu sholat (tanah yang baik) maksudnya yang suci,

lalu pukullah dengan telapak tanganmu dua kali pukulan (maka sapulah muka dan tanganmu) berikut dua sikumu. Mengenai masaha atau menyapu,

maka kata-kata itu transitif dengan sendirinya atau dengan memakai huruf.(Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 43 |

Allah Swt. melarang orang-orang mukmin melakukan salat dalam keadaan mabuk yang membuat seseorang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Dan Allah melarang pula mendekati tempat salat (yaitu masjid-masjid) bagi orang yang

mempunyai jinabah (hadas besar), kecuali jika ia hanya sekadar melewatinya dari suatu pintu ke pintu yang lain tanpa diam di dalamnya Ketentuan hukum ini terjadi sebelum khamr diharamkan, seperti yang ditunjukkan oleh hadis yang telah kami ketengahkan dalam tafsir ayat surat Al-Baqarah, yaitu pada firman-Nya:


يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ


Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219), hingga akhir ayat.Rasulullah Saw. membacakannya (sebanyak tiga kali) kepada Umar. Maka Umar berkata, "Ya Allah, jelaskanlah kepada kami masalah khamr ini

dengan penjelasan yang memuaskan."Ketika ayat ini diturunkan, maka Nabi Saw. membacakannya kepada Umar. Lalu Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang masalah khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Setelah itu mereka tidak minum khamr dalam waktu-waktu salat, hingga turun ayat berikut:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-gan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90) sampai dengan firman-Nya:


فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ مُنْتَهُونَ


maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)Maka barulah Umar mengatakan, "Kami berhenti, kami berhenti."Menurut riwayat Israil, dari Abi lshaq, dari Umar ibnu Syurahbil, dari Umar ibnul Khattab mengenai kisah

pengharaman khamr yang di dalamnya antara lain disebutkan: Maka turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk,

sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43); Tersebutlah bahwa juru seru Rasulullah Saw. (yakni tukang azan) apabila mengiqamahkan salat menyerukan seruan berikut, yaitu: "Jangan sekali-kali orang yang sedang mabuk

mendekati salat!" Demikianlah lafaz hadis menurut riwayat Imam Abu Daud.Ibnu Abu Syaibah menuturkan sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Disebutkan bahwa telah menceritakan

kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnu Harb yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mus'ab ibnu Sa'd menceritakan

hadis berikut dari Sa'd yang mengatakan, "Telah diturunkan empat buah ayat berkenaan dengan kami (orang-orang Ansar). Pada awal mulanya ada seorang lelaki dari kalangan Ansar membuat jamuan makanan, lalu ia mengundang sejumlah

orang dari kalangan Muhajirin dan sejumlah orang dari kalangan Ansar untuk menghadirinya.Maka kami makan dan minum hingga kami semua mabuk, kemudian kami saling membangga-banggakan diri. Lalu ada seorang lelaki mengambil rahang unta

dan memukulkannya ke hidung Sa'd hingga hidung Sa'd terluka karenanya. Demikian itu terjadi sebelum ada pengharaman khamr. Lalu turunlah firman-Nya: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam

keadaan mabuk.' (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat."Hadis secara lengkapnya ada pada Imam Muslim melalui riwayat Syu'bah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ahlus Sunan —kecuali Ibnu Majah— dengan melalui berbagai jalur dari Sammak dengan

lafaz yang sama.Penyebab lain berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami

Abdur Rahman ibnu Abdullah Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Ata ibnus Saib, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib yang menceritakan, "Abdur Rahman ibnu Auf membuat suatu jamuan makanan

buat kami, lalu ia mengundang kami dan memberi kami minuman khamr. Lalu khamr mulai bereaksi di kalangan sebagian dari kami, dan waktu salat pun tiba." Kemudian mereka mengajukan si Fulan sebagai imam. Maka si Fulan membaca

surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah, hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kami menyembah apa yang kalian sembah" (dengan bacaan yang keliru sehingga mengubah artinya

secara fatal). Maka Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat. sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)Hal yang sama diriwayatkan

oleh Ibnu Abu Hatim. Imam Turmuzi telah meriwayatkan melalui Abdu ibnu Humaid, dari Abdur Rahman Ad-Dusytuki dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi selanjutnya mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.Ibnu Jarir meriwayatkannya

dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Ata ibnus Said. dari Abu Abdur Rahman, dari Ali. bahwa dia (Ali) dan Abdur Rahman serta seorang lelaki lainnya pernah minum khamr,

lalu Abdur Rahman salat menjadi imam mereka dan membaca surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya itu ngawur dan keliru. Maka turunlah firman-Nya: janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui hadis As-Sauri dengan lafaz yang sama.Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu Humaid, dari Jarir, dari Ata, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa

Ali bersama sejumlah sahabat pernah diundang ke rumah Abdur Rahman ibnu Auf, lalu mereka makan, dan Abdur Rahman menyajikan khamr kepada mereka, lalu mereka meminumnya. Hal ini terjadi sebelum ada pengharaman khamr.

Lalu datanglah waktu salat, maka mereka mengajukan Ali sebagai imam mereka, dan Ali membacakan kepada mereka surat Al-Kafirun, tetapi bacaannya tidak sebagaimana mestinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43)Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnul Minhal,

telah menceritakan kepada kami Haminad, dari Ata ibnus Saib, dari Abdur Rahman ibnu Habib (yaitu Abu Abdur Rahman As-Sulami), bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah membuat suatu jamuan makanan dan minuman. Lalu ia mengundang

sejumlah sahabat Nabi Saw. Kemudian ia salat Magrib bersama mereka, yang di dalamnya ia membacakan surat Al-Kafirun dengan bacaan seperti berikut, "Katakanlah, 'Hai orang-orang kafir, aku menyembah yang kalian sembah dan kalian

menyembah apa yang aku sembah, dan aku menyembah apa yang kalian sembah; bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami'." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian salat,

sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan kisah ayat ini, bahwa sejumlah kaum lelaki datang dalam keadaan mabuk;

hal ini terjadi sebelum khamr diharamkan. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: janganlah kalian salat, sedang kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal yang sama dikatakan pula oleh

Abu Razin dan Mujahid.Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa mereka selalu menjauhi mabuk-mabukan di saat hendak menghadapi salat lima waktu, kemudian hal ini dimansukh dengan pengharaman khamr.

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud bukanlah mabuk karena khamr, melainkan mabuk karena tidur (yakni tertidur lelap sekali). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.

Tetapi Ibnu Jarir memberikan komentarnya, "Yang benar, makna yang dimaksud ialah mabuk karena khamr." Ibnu Jarir mengatakan bahwa larangan ini tidak ditujukan kepada mabuk yang menyebabkan orang yang bersangkutan tidak dapat

memahami khitab (perintah) karena hal ini disamakan hukumnya dengan orang gila. Sesungguhnya larangan ini hanyalah ditujukan kepada mabuk yang orang yang bersangkutan masih dapat memahami taklif (kewajiban). Demikianlah

kesimpulan dari komentar Ibnu Jarir.Pendapat ini disebutkan pula bukan oleh hanya seorang dari kalangan ulama Usul Fiqh, yaitu bahwa larangan ini ditujukan kepada orang yang dapat memahami ucapan, bukan orang mabuk

yang tidak mengerti apa yang diucapkan kepadanya, karena sesungguhnya pemahaman itu merupakan syarat bagi taklif.Akan tetapi, dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah sindiran yang mengandung arti larangan

terhadap orang yang mabuk berat, mengingat mereka diperintahkan pula untuk mela-kukan salat lima waktu di sepanjang malam dan siang hari. Dengan demikian, si pemabuk berat selarrianya tidak dapat mengerjakan

salat lima waktu pada waktunya masing-masing. Hal ini sama pengertiannya dengan makna firman Allah Swt. yang mengatakan:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran: 102)Ayat ini mengandung makna perintah

yang ditujukan kepada mereka agar mereka bersiap-siap mati dalam keadaan memeluk agama Islam dan selalu menetapi ketaatan kepada Allah yang merupakan realisasi dari hal tersebut. Dan firman-Nya:


حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ


sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (An-Nisa: 43)Hal ini merupakan pendapat terbaik yang dikatakan sehubungan dengan definisi mabuk, yaitu orang yang bersangkutan tidak mengerti apa yang diucapkannya.

sebab orang yang sedang mabuk itu bacaan Al-Qur'annya pasti akan ngawur dan tidak direnungi serta tidak ada kekhusyukan dalam bacaannya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيُتِمَّ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقُولُ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian mengantuk, sedangkan ia dalam salat, hendaklah ia bersalam, lalu tidur hingga ia mengerti (menyadari) apa yang diucapkannya Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid,

tanpa Imam Muslim. Adapun Imam Muslim, dia meriwayatkannya —juga Imam Nasai— melalui hadis Ayyub dengan lafaz yang sama, tetapi pada sebagian lafaz hadis disebutkan:


«فَلَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ»


karena barangkali ia mengucapkan istigfar, tetapi justru memaki dirinya sendiri.Firman Allah Swt.:


وَلا جُنُباً إِلَّا عابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا


(Jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar. telah menceritakan

kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar,dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam

keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)Ibnu Abbas mengatakan, "Janganlah kalian memasuki masjid ketika kalian sedang dalam keadaan berjinabah, kecuali orang yang hanya sekadar lewat saja."

Dengan kata lain, hanya lewat saja dan tidak duduk di dalamnya.Ibnu Abu Hatim mengatakan pula bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Mas'ud, Anas, Abu Ubaidah, Sa'id ibnul Musayyab, Ad-Dahhak, Ata, Mujahid,

Masruq, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid ibnu Aslam, Abu Malik, Amr ibnu Dinar, Al-Hakam ibnu Atabah, Ikrimah, Al-Hasan Al-Basri, Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, Ibnu Syihab, dan Qatadah.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib mengenai firman Allah Swt.: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan

junub kecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); Sesungguhnya banyak kaum laki-laki dari kalangan Ansar pintu rumah-rumah mereka menghadap ke masjid. Apabila mereka mengalami jinabah, sedangkan mereka tidak mempunyai air,

maka terpaksalah mereka harus mencari air, dan jalan yang paling dekat menuju tempat air tiada lain harus melalui masjid. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub kecuali

sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43)Kesahihan riwayat Yazid ibnu Abu Habib rahimahullah ini terbukti melalui sebuah hadis di dalam Sahih Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«سُدُّوا كُلَّ خَوْخَةٍ فِي الْمَسْجِدِ إِلَّا خَوْخَةَ أَبِي بَكْرٍ»


Tutuplah semua celah (pintu) yang menuju ke masjid, kecuali celah milik Abu Bakar.Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. dalam usia senjanya, sebagai pemberitahuan darinya bahwa Abu Bakar r.a. kelak akan memegang tampuk khalifah sesudahnya.

Jalan menuju masjid kebanyakan hanya dipakai untuk keperluan-keperluan penting yang menyangkut kemaslahatan kaum muslim. Maka Nabi Saw. memerintahkan agar menutup semua pintu yang menuju masjid, kecuali pintu milik Abu Bakar r.a.

Adapun mengenai riwayat seseorang yang mengatakan bahwa yang tidak ditutup adalah pintu milik Ali r.a., seperti yang disebut di dalam sebagian kitab sunan; hal ini merupakan suatu kekeliruan. Yang benar adalah riwayat yang ditetapkan

di dalam kitab Sahih Bukhari tadi.Berangkat dari pengertian ayat ini, banyak kalangan imam yang menarik kesimpulan bahwa orang yang mempunyai jinabah diharamkan berdiam di dalam masjid, tetapi diperbolehkan baginya melewati masjid.

Termasuk pula ke dalam pengertian jinabah yaitu wanita yang berhaid dan yang sedang nifas; tetapi ada sebagian ulama yang mengharamkan keduanya melewati masjid karena dikhawatirkan darahnya akan mengotori masjid. Sebagian ulama

mengatakan, jika masing-masing dari keduanya terjamin kebersihannya dan tidak akan mengotori masjid, maka keduanya boleh melewati masjid; tetapi jika tidak terjamin, hukumnya tetap haram, tidak boleh lewat masjid.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:


قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ» فَقُلْتُ: إِنِّي حَائِضٌ، فَقَالَ «إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ»


Rasulullah Saw. pernah bersabda kepadaku, "Ambilkanlah kain penulup kepala dari dalam masjid." Maka Aku menjawab, "Sesungguhnya aku sedang berhaid." Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu."

Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Abu Hurairah r.a. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa wanita yang berhaid boleh lewat di dalam masjid, dan wanita yang bernifas termasuk ke dalam pengertian

wanita yang berhaid.Imam Abu Daud meriwayatkan melalui hadis Aflat ibnu Khalifah Al-Amiri,dari Jisrah (anak perempuan Dajajah), dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جنبٍ"


Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang haid, tidak pula bagi orang yang berjinabah.Abu Muslim Al-Khattabi mengatakan bahwa jamaah menilai daif hadis ini. Mereka mengatakan bahwa Aflat adalah orang yang tidak dikenal.

Akan tetapi, Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abul Khattab Al-Hajri, dari Mahduj Az-Zuhali, dari Jisrah, dari Ummu Salamah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama. Abu Zar'ah Ar-Razi mengatakan bahwa Jisrah mengatakan

dari Ummu Salamah. Yang benar adalah Jisrah. dari Siti Aisyah.Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Isa At-Turmuzi, dari Salim ibnu Abu Hafsah, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


يَا عَلِيُّ، لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُجْنب فِي هَذَا الْمَسْجِدِ غَيْرِي وَغَيْرِكَ.


Hai Ali, tidak halal bagi seseorang yang berjinabah di dalam masjid ini selain aku dan kamu.Hadis ini daif dan tidak kuat, karena sesungguhnya Salim yang disebut dalam sanadnya berpredikat matruk (tak terpakai hadisnya); dan gurunya

(yaitu Atiyyah) berpredikat daif.Hadis lain sehubungan dengan makna ayat diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah menceritakan kepada kami Abdullali ibnu Musa,

telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Abu Laila, dari Al-Minhal, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja.

(An-Nisa: 43); Seseorang tidak boleh mendekati (mengerjakan) salat (bila dalam keadaan berjinabah); kecuali jika ia sebagai seorang musafir yang mengalami jinabah, lalu ia tidak menjumpai air, maka ia boleh salat hingga menjumpai air.

Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Zur, dari Ali ibnu Abu Talib, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam salah satu

riwayatnya, juga dari Sa'id ibnu Jubair serta Ad-Dahhak.Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Waki', dari Abu Laila, dari Abbad ibnu Abdullah atau Zur ibnu Hubaisy, dari Ali, lalu ia mengetengahkannya. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula

melalui jalur Al-Aufi dan Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkannya.Ibnu Jarir meriwayatkannya pula hal yang semisal dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Al-Hasan ibnu Muslim, Al-Hakam ibnu Utbah, Zaid ibnu Aslam, dan anaknya

(yaitu Abdur Rahman).Diriwayatkan melalui jalur Ibnu Jarir, dari Abdullah ibnu Kasir yang mengatakan, "Kami pernah mendengar hal tersebut berkaitan dengan masalah safar (bepergian).'Pendapat ini didukung oleh adanya sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui hadis Abu Qilabah, dari Umar ibnu Najdan, dari Abu Zar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ تَجِدِ الْمَاءَ عشر حجج، فإذا وجدت الماء فأمسه بَشَرَتَكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»


Debu yang baik (suci) adalah sarana bersuci orang muslim, sekalipun engkau belum menjumpai air selama sepuluh haji (tahun). Dan apabila kamu menjumpai air, maka usapkanlah ke kulitmu, karena hal tersebut lebih baik bagimu.

Selanjutnya Ibnu Jarir sesudah mengetengahkan kedua pendapat di atas mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub,

kecuali sekadar berlalu saja. (An-Nisa: 43); ialah pendapat yang mengatakan bahwa terkecuali bagi orang-orang yang melewatinya saja. Demikian itu karena Allah Swt. telah menjelaskan hukum orang musafir bila tidak menemukan air,

sedangkan ia dalam keadaan junub. Yaitu yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An-Nisa: 43), hingga akhir ayat.Dengan demikian berarti masalahnya telah dimaklumi, bahwa seandainya firman Allah Swt.: dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43) dimaksudkan adalah orang yang dalam bepergian (musafir), maka tidak perlu diulang lagi

penyebutannya pada firman-Nya: Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir. (An-Nisa: 43) mengingat dalam firman sebelumnya telah disebutkan.Dengan demikian, berarti takwil ayat adalah seperti berikut: Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kalian mendekati masjid untuk salat di dalamnya ketika kalian sedang dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan; jangan pula kalian hampiri masjid ketika kalian sedang dalam keadaan junub,

hingga kalian mandi, kecuali sekadar berlalu saja.'Abirus sabil artinya orang yang melewati dan menyeberanginya. Seperti pengertian dalam kalimat "Aku menyeberangi jalan itu" dan "Si Fulan menyeberangi sungai itu", disebutkan dengan akar

kata yang sama, yaitu 'abara, 'abran, dan 'uburan. Termasuk ke dalam pengertian kata 'araba ialah dikatakan terhadap unta yang kuat dalam perjalanan jauh dengan sebutan 'abral asfar, mengingat kekuatannya dalam menjelajahi jarak

yang sangat jauh.Pendapat inilah yang didukung oleh jumhur ulama, yaitu sesuai dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan Allah Swt. melarang melakukan pekerjaan salat dalam keadaan tidak pantas. bertentangan dengan tujuan

dari salat itu sendiri; melarang pula memasuki tempat salat dalam keadaan yang tidak layak, yaitu berjinabah; yang jelas bertentangan dengan salat, juga dengan tempat salat itu sendiri yang suci.Firman Allah Swt.:


حَتَّى تَغْتَسِلُوا


hingga kalian mandi. (An-Nisa: 43)Firman ini merupakan dalil bagi mazhab ketiga Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii yang mengatakan bahwa haram bagi orang yang junub diam di dalam masjid, hingga ia mandi atau

bertayamum jika tidak ada air, atau tidak mampu menggunakan air karena sesuatu sebab.Imam Ahmad berpendapat, "Manakala orang yang mempunyai jinabah melakukan wudu, maka ia diperbolehkan tinggal di dalam masjid,"

karena berdasarkan kepada apa yang diriwayatkan sendiri dan juga Sa'id ibnu Mansur di dalam kitab sunannya dengan sanad yang sahih, yang menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melakukan hal tersebut.Sa'id ibnu Mansur mengatakan

di dalam kitab sunannya: telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz Ibnu Muhammad (yakni Ad-Darawardi), dari Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar yang menceritakan bahwa ia melihat banyak sahabat Rasulullah Saw.

duduk-duduk di dalam masjid —sedangkan mereka dalam keadaan junub— karena mereka telah melakukan wudu seperti wudu untuk salat. Sanad riwayat ini sahih dengan syarat Muslim. Firman Allah Swt.:


وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً


Dan jika kalian sakit atau sedang dalam musafir atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci).

(An-Nisa: 43)Adapun mengenai sakit yang membolehkan seseorang bertayamum adalah sakit yang mengkhawatirkan akan matinya salah satu anggota tubuh, atau sakit bertambah parah, atau sembuhnya bertambah lama jika menggunakan air.

Tetapi ada ulama yang membolehkan bertayamum hanya karena alasan sakit saja, berdasarkan keumuman makna ayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami

Abu Gassan Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan jika kalian sakit. (An-Nisa: 43) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar

yang sedang sakit, karenanya ia tidak dapat bangkit untuk melakukan wudu, dan ia tidak mempunyai seorang pembantu pun yang menyediakan air wudu untuknya. Lalu ia menanyakan masalah tersebut kepada Nabi Saw.

Maka Allah menurunkan ayat ini. Hadis ini mursal.Mengenai safar atau bepergian, tidak ada bedanya antara jarak yang jauh dan jarak yang dekat. Firman Allah Swt.:


أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ


atau seseorang di antara kalian datang dari tempat buang air. (An-Nisa: 43)Yang dimaksud dengan al-gait ialah tempat yang tenang, kemudian dipinjam untuk menunjukkan pengertian tempat buang air. Adapun mengenai firman-Nya:


أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ


atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43)Ada yang membacanya lamastum (لمستم), dan ada pula yang membacanya lamastum (لامستم). Ulama tafsir dan para imam berbeda pendapat mengenai maknanya.

Pertama mengatakan bahwa hal tersebut adalah kata kinayah (sindiran) mengenai persetubuhan, karena berdasarkan firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:


وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ


Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah separo dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237) Dalam ayat yang lain Allah Swt. telah berfirman pula:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها


Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta

menyempurnakannya. (Al-Ahzab: 49)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kep.ada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki", dari Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan

dengan firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43) bahwa yang dimaksud dengan lamastum dalam ayat ini adalah persetubuhan.Telah diriwayatkan dari Ali, Ubay ibnu Ka'b, Mujahid, Tawus, Al-Hasan, Ubaid ibnu Umair,

Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Humaid ibnu Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai", telah menceritakan kepada kami

Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa mereka membicarakan masalah al-lams, maka sebagian orang dari kalangan bekas-bekas budak mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bukan persetubuhan

(tetapi persentuhan). Sejumlah orang dari kalangan orang-orang Arab mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah persetubuhan.Sa'id ibnu Jubair melanjutkan kisahnya, "Setelah itu aku menjumpai Ibnu Abbas, dan kukatakan kepadanya

bahwa orang-orang dari kalangan Mawali dan orang-orang Arab berselisih pendapat mengenai makna al-lams. Para Mawali mengatakan bahwa hal itu bukan persetubuhan, sedangkan orang-orang Arab mengatakannya persetubuhan."

Ibnu Abbas bertanya, "Kalau kamu berasal dari golongan yang mana di antara kedua golongan itu?" Aku menjawab, "Aku berasal dari Mawali." Ibnu Abbas berkata, "Kelompok Mawali kalah, sesungguhnya lams dan mass serta muhasyarah artinya

persetubuhan. Allah sengaja mengungkapkannya dengan kata-kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya."Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah dengan makna yang semisal.

Kemudian ia meriwayatkannya pula melalui jalur lainnya dari Sa'id ibnu Jubair dengan lafaz yang semisal.Hal yang semisal disebutkannya bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa

Abu Bisyr pernah berkata, "Telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-lams, al-mass, dan al-mubasyarah artinya persetubuhan, tetapi Allah mengungkapkannya dengan kata sindiran

menurut apa yang disukai-Nya."Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bayan, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraq, dari Sufyan, dari Asim Al-Ahwal, dari Bikr ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa

al-imilamasah artinya jimak; tetapi Allah Mahamulia, Dia mengungkapkannya dengan kata sindiran menurut apa yang dikehendaki-Nya.Menurut riwayat yang dinilai sahih, telah disebutkan hal tersebut dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur

periwayatan. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari salah seorang yang dikemukakan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa Allah Swt. bermaksud menggunakan ungkapan

tersebut ditujukan kepada setiap orang yang menyentuh dengan tangannya atau dengan anggota lainnya. Diwajibkan pula atas setiap orang yang menyentuhkan salah satu anggota tubuhnya kepada anggota tubuh perempuan secara langsung

(tanpa penghalang).Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq,

dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan selain persetubuhan.Diriwayatkan dari berbagai jalur bersumber dari Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.

Diriwayatkan melalui hadis Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa ciuman termasuk al-massu, pelakunya diwajibkan berwudu.Imam Tabrani meriwayatkan berikut sanadnya,

dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa seorang lelaki diharuskan berwudu karena melakukan persentuhan dengan perempuan, memegangnya dengan tangan, juga menciumnya. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Mas'ud

mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: atau kalian telah menyentuh perempuan. (An-Nisa: 43) Yakni mengedipkan mata.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami

Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, dari Nafi", bahwa Ibnu Umar pernah melakukan wudu karena telah mencium istrinya. ia berpendapat bahwa perbuatan tersebut mengharuskan seseorang berwudu.

Menurutnya perbuatan tersebut termasuk al-limas.Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur Syu'bah, dari Mukhariq, dari Tariq, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-lams ialah melakukan kontak tubuh dengan perempuan

kecuali bersetubuh.Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Umar, Ubaidah, Abu Usman An-Nahdi, Abu Ubaidah (yakni ibnu Abdullah ibnu Mas'ud), Amir Asy-Sya'bi, Sabit ibnul Hajjaj,

Ibrahim An-Nakha'i, dan Zaid ibnu Aslam.Menurut kami diriwayatkan oleh Imam Malik dari Az-Zuhri, dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar, dari ayahnya, bahwa ia pernah mengatakan, "Ciuman seorang lelaki terhadap istrinya dan memegangnya

(meremasnya) dengan tangan termasuk ke dalam pengertian mulamasah. Karena itu, barang siapa yang mencium istrinya atau memegangnya dengan tangan, maka ia harus berwudu."Al-Hafiz Abdul Hasan Ad-Daruqutni meriwayatkan hal

yang semisal di dalam kitab sunannya melalui Umar ibnul Khattab.Akan tetapi, diriwayatkan kepada kami dari Umar ibnul Khattab melalui jalur yang lain, bahwa ia pernah mencium istrinya, kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.

Riwayat yang bersumber dari Umar berbeda-beda. Karena itu, dapat diinterpretasikan riwayat darinya yang mengatakan wudu, jika memang sahih bersumber darinya bahwa yang dimaksudkan adalah sunat, bukan wajib.

Pendapat yang mengatakan wajib wudu karena menyentuh perempuan adalah pendapat Imam Syafii dan semua sahabatnya serta Imam Malik, dan menurut riwayat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.Orang-orang yang mendukung

pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini ada yang membacanya lamastum, ada pula yang membacanya laamastum. Pengertian al-lams menurut istilah syara' ditujukan kepada makna menyentuh atau memegang dengan tangan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


وَلَوْ نَزَّلْنا عَلَيْكَ كِتاباً فِي قِرْطاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ


Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka. (Al-An'am: 7)Yakni memegangnya dan menyentuhnya dengan tangan mereka.

Rasulullah Saw. telah bersabda kepada Ma'iz tatkala ia mengaku berbuat zina, lalu Nabi Saw. menawarkan kepadanya agar mencabut kembali pengakuannya melalui sabdanya:


«لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ»


Barangkali kamu hanya menciumnya atau memegang-megangnya.Di dalam hadis sahih disebutkan:


"وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ"


Zina tangan ialah meraba (wanita lain).Siti Aisyah r.a. menceritakan hadis berikut, "Jarang sekali kami lewatkan setiap harinya melainkan Rasulullah Saw. berkeliling mengunjungi kami (para istrinya) semua,

lalu beliau mencium dan memegang (kami)."Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. melarang jual beli mulamasah (yang dipegang berarti dibeli).

Pada garis besarnya makna lafaz ini —berdasarkan kedua penafsiran di atas— tetap merujuk kepada pengertian memegang dengan tangan. Mereka mengatakan, "Menurut istilah bahasa, lafaz al-lams ditujukan kepada pengertian

memegang dengan tangan, sebagaimana ditujukan pula kepada pengertian bersetubuh." Salah seorang penyair mengatakan,


وألمستُ كَفي كفَّه أَطْلُبُ الغِنَى ...


"Telapak tanganku berjabatan tangan dengan telapak tangannya untuk meminta kecukupan."Sehubungan dengan pengertian memegang ini mereka kemukakan pula sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَأَبُو سَعِيدٍ قَالَا حَدَّثَنَا زَائِدَةُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ -وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَير، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بن أبي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذٍ قَالَ: أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَقُولُ فِي رَجُلٍ لَقِيَ امْرَأَةً لَا يَعْرِفُهَا، فَلَيْسَ يَأْتِي الرَّجُلُ مِنِ امرأته شيء إلا أَتَاهُ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ لَمْ يُجَامِعْهَا؟ قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الْآيَةَ: {وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هُودٍ: 114] قَالَ: فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَوَضَّأَ ثُمَّ صَلِّ". قَالَ مُعَاذٌ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَهُ خَاصَّةً أَمْ لِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً؟ قَالَ: "بَلْ لِلْمُؤْمِنِينَ عَامَّةً".


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mahdi dan Abu Sa'id; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair yang mengatakan bahwa Abu Sa'id mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Abdul Malik Ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah

menurutmu tentang seorang lelaki yang menjumpai seorang wanita yang tidak dikenalnya, lalu lelaki itu melakukan segala sesuatu terhadapnya sebagaimana terhadap istrinya sendiri, hanya saja ia tidak menyetubuhinya?”

Sahabat Mu'az ibnu Jabal melanjutkan kisahnya, bahwa sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah firman-Nya: Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. (Hud: 114),

hingga akhir ayat. Mu'az melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda: "Berwudulah, kemudian salatlah!" Mu'az bertanya, "Apakah khusus baginya, wahai Rasulullah; ataukah untuk kaum mukmin secara umum?" Rasulullah Saw.

bersabda, "Tidak, bahkan untuk kaum mukmin secara umum."Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Zaidah dengan lafaz yang sama, lalu ia mengatakan bahwa sanad hadis ini tidak muttasil.Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis

Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila secara mursal. Mereka mengatakan bahwa Nabi Saw. memerintahkan kepadanya untuk melakukan wudu, karena dia hanya menyentuh perempuan dan tidak menggaulinya.

Tetapi penilaian ini disanggah dengan alasan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat inqita antara Abu Laila dan Mu'az, karena sesungguhnya Abu Laila tidak pernah bersua dengan Mu'az ibnu Jabal.Kemudian makna hadis ini dapat pula

diinterpretasikan bahwa perintah Nabi Saw. yang menganjurkannya melakukan wudu dan mengerjakan salat fardu adalah sama dengan apa yang disebutkan di dalam hadis As-Siddiq (Abu Bakar) yang telah kami sebutkan jauh sebelum ini, yaitu:


«مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إِلَّا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ»


Tidak sekali-kali seseorang hamba melakukan suatu dosa. lalu ia berwudu dan melakukan salat dua rakaat, melainkan Allah memberikan ampunan baginya. hingga akhir hadis. Hadis ini disebutkan di dalam tafsir surat Ali Imran, yaitu pada pembahasan mengenai firman-Nya:


ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ


mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Ali Imran: 135)Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat tersebut ialah pendapat orang yang mengatakan bahwa

yang dimaksud oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, "Au-lamastumun nisa" ialah persetubuhan, bukan makna lams lainnya. Karena ada sebuah hadis sahih dari Rasulullah Saw. yang mengatakan bahwa beliau pernah mencium salah seorang istrinya,

lalu salat tanpa wudu lagi.Lalu Ibnu Jarir mengatakan.”Hal tersebut diceritakan kepadaku oleh Ismail ibnu Musa As-Saddi yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Al-A'masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan:


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ ثُمَّ يُقَبِّلُ، ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ


'Rasulullah Saw. pernah melakukan wudu, kemudian mencium (salah seorang istrinya), lalu langsung salat tanpa wudu lagi'."Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki',

dari Al-A'masy, dari Habib, dari Urwah, dari Siti Aisyah: Bahwa Rasulullah Saw. mencium salah seorang istrinya, kemudian keluar rumah untuk menunaikan salat tanpa wudu lagi. Aku (Urwah) berkata, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri."

Maka Siti Aisyah tertawa.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, dari sejumlah guru mereka, dari Waki" dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Abu Daud mengatakan. telah diriwayatkan

dari As-Sauri; ia pernah mengatakan, "Habib tidak pernah menceritakan hadis kepada kami kecuali dari Urwah Al-Muzani." Yahya Al-Qattan mengatakan kepada seorang perawi, "Riwayatkanlah dariku bahwa hadis ini mirip dengan bukan hadis."

Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari menilai daif hadis ini. Imam Turmuzi mengatakan, "Habib ibnu Abu Sabit belum pernah mendengar hadis dari Urwah."Disebutkan di dalam hadis riwayat Ibnu Majah bahwa

ia menerimanya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, dari Waki', dari Al-A’masy, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah. Lebih jelas lagi hal tersebut ialah hadis yang diriwayatkan

oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah. Hal ini merupakan nas yang menunjukkan bahwa dia adalah Urwah ibnuz Zubair, dan yang menjadi buktinya ialah ucapannya

yang mengatakan, "Dia tiada lain kecuali engkau sendiri," lalu Siti Aisyah tertawa.Akan tetapi, Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan,

dari Abu Rauq Al-Hamdani At-Taliqani, dari Abdur Rahman ibnu Magra, dari Al-A'masy yang mengatakan, "Telah menceritakan kepada kami teman-teman kami dari Urwah Al-Muzani, dari Siti Aisyah, lalu ia menuturkan hadis ini."


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو زَيْدٍ عُمَرُ بْنُ شَبَّةَ، عَنْ شِهَابِ بْنِ عبَّاد، حَدَّثَنَا مَنْدَل بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عَائِشَةَ -وَعَنْ أَبِي رَوْق، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيمي، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَالُ مِنِّي القبلةَ بَعْدَ الْوُضُوءِ، ثُمَّ لَا يُعِيدُ الْوُضُوءَ


Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid, dari Umar ibnu Unais, dari Hisyam ibnu Abbad, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Ali, dari Lais, dari Ata, dari Siti Aisyah. Juga dari Abu Rauq,

dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Dahulu Nabi Saw. pernah berkesempatan menciumku sesudah wudu, kemudian beliau tidak mengulangi wudunya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي رَوْقٍ الهمْدَاني، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki", telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Rauq Al-Hamdani, dari Ibrahim At-Taimi, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan: Bahwa Rasulullah Saw. pernah menciumku,

lalu langsung salat tanpa wudu lagi.Imam Abu Daud dan Imam Kasai meriwayatkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan, Imam Abu Daud menambahkan Ibnu Mahdi yang kedua-duanya dari Sufyan As-Sauri, dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Abu Daud dan Imam Nasai mengatakan bahwa Ibrahim At-Taimi belum pernah mendengar dari Siti Aisyah.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan pula:


حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ سِنَان، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ، ثُمَّ لَا يُفْطِرُ، وَلَا يُحْدِثُ وُضُوءًا


telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Sinan, dari Abdur Rahman Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah,

dari Ummu Salamah: Bahwa Rasulullah Saw. menciumnya. sedangkan beliau dalam keadaan puasa, lalu tidak berbuka dan tidak pula melakukan wudu.Ibnu Jarir mengatakan pula:


حَدَّثَنَا أَبُو كَرَيْبٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِياث، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ زَيْنَبَ السَّهْمِية عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ كَانَ يُقَبّل ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ.


telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajyaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw.: Bahwa Nabi Saw. pernah mencium

(salah seorang istrinya), kemudian langsung salat tanpa wudu lagi.Imam Ahmad ibnu Muhammad ibnu Fudail meriwayatkannya dari Hajjaj ibnu Artah, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Zainab As-Sahmiyyah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama. Firman Allah Swt.:


فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً


kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)Kebanyakan ulama fiqih menyimpulkan hukum ayat ini, bahwa seseorang yang tidak menemukan air tidak boleh bertayamum kecuali

setelah berupaya terlebih dahulu mencari air. Bilamana ia telah berupaya mencari air dan tidak menemukannya juga, barulah ia boleh melakukan tayamum. Mereka menyebutkan cara-cara mencari air di

dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab "Tayamum".Mengenai kebolehan bertayamum ini disebut di dalam kitab Sahihain melalui hadis Imran ibnu Husain:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا مُعْتَزِلًا لَمْ يُصَلِّ فِي الْقَوْمِ، فَقَالَ: "يَا فُلَانُ، مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ؟ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ؟ " قَالَ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَكِنْ أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ. قَالَ: "عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ، فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ".


bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki menyendiri, tidak ikut salat bersama kaum yang ada. Maka beliau Saw. bertanya: Hai Fulan, apakah yang mencegahmu hingga kamu tidak salat bersama kaum, bukankah kamu seorang muslim?

Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, tidak demikian, melainkan karena aku terkena jinabah, sedangkan air tidak ada." Rasulullah Saw. bersabda: Pakailah debu olehmu, karena sesungguhnya debu itu cukup bagi (bersuci)mu. Karena itulah maka di dalam firman-Nya disebutkan:


{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا}


kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43)Istilah tayamum menurut bahasa artinya bertujuan. Orang-orang Arab mengatakan, "Tayammamakallahu bihifzihi" artinya

semoga Allah berkenan memelihara dirimu, yakni bertujuan untuk melindungimu. Termasuk ke dalam pengertian ini perkataan Imru'ul Qais dalam bait-bait syairnya, yaitu:


وَلَمَّا رَأَتْ أَنَّ الْمَنِيَّةَ وِرِدُهَا ... وَأَنَّ الْحَصَى من تحت أقدامها دامي تَيَمَّمَتِ الْعَيْنَ الَّتِي عِنْدَ ضَارِجٍ ... يَفِيءُ عَلَيْهَا الفيء عرمضها طام


Ketika kekasihku melihat bahwa maut pasti datang merenggutnya, dan batu-batu kerikil yang berada di bawah telapak kakinya telah penuh dengan darah(nya), maka ia menuju ke mata air yang berada di Darij untuk mencari naungan

yang airnya penuh berlimpah.As-Sa'id menurut pendapat yang lain adalah segala sesuatu yang muncul di permukaan bumi. Dengan demikian, termasuk pula ke dalam pengertiannya debu, pasir, pepohonan, bebatuan, dan tumbuh-tumbuhan.

Demikianlah menurut pendapat Imam Malik.Menurut pendapat lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah segala sesuatu yang termasuk ke dalam jenis debu, seperti pasir, granit, dan kapur. Demikianlah menurut mazhab Imam Abu Hanifah.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan sa'id ialah debu saja. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta semua murid mereka. Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan:


فَتُصْبِحَ صَعِيداً زَلَقاً


hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin. (Al-Kahfi: 40)Yaitu debu yang licin lagi baik. Berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Huzaifah ibnul Yaman yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ: جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»


Kita diberi keutamaan di atas semua orang (umat) karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat, bumi dijadikan bagi kita semua sebagai tempat untuk sujud (salat), dan tanah dijadikan bagi kita suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air.Menurut lafaz yang lain disebutkan:


«وَجُعِلَ تُرَابُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»


Dan dijadikan debunya bagi kita suci lagi menyucikan bilamana kita tidak menemukan air Mereka mengatakan penyebutan debu dalam hadis ini sebagai sarana untuk bersuci merupakan suatu prioritas. Seandainya ada hal lain yang dapat

menggantikan fungsinya, niscaya disebutkan bersamanya. Yang dimaksud dengan istilah tayyib dalam ayat ini ialah yang halal. Menurut pendapat yang lain, yang tidak najis alias suci. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Imam Ahmad dan Ahli Sunan kecuali Ibnu Majah melalui Abu Qilabah, dari Amr ibnu Najdan, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«الصَّعِيدُ الطَّيِّبُ طَهُورُ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ حِجَجٍ، فَإِذَا وَجَدَهُ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ»


Debu yang suci merupakan sarana bersuci orang muslim jika ia tidak menemukan air, sekalipun selama sepuluh musim haji (sepuluh tahun). Tetapi apabila ia menemukan air, hendaklah ia menyentuhkan (menggunakan)fiya ke kulitnya,

karena sesungguhnya hal ini lebih baik baginya.Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan Imam Ibnu Hibban menilainya sahih.Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya telah meriwayatkannya melalui Abu Hurairah.

dan hadisnya ini dinilai sahih oleh Al-Hafiz Abul Hasan Al-Qattan.Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa tanah (debu) yang paling baik ialah yang dari lahan pertanian. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Murdawaih me-rafa'- kannya di dalam kitab tafsirnya.Firman Allah Swt.:


فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ


sapulah muka kalian dan tangan kalian. (An-Nisa: 43)Tayamum merupakan pengganti wudu dalam pengertian kegunaannya, tetapi bukan berarti merupakan pengganti wudu dalam semua anggotanya, melainkan cukup hanya dengan

mengusapkannya pada muka dan kedua tangan saja. Demikianlah menurut kesepakatan semua ulama.Akan tetapi, para imam berselisih pendapat mengenai cara bertayamum, seperti dalam penjelasan berikut:

1. Menurut mazhab Syafii dalam qaul jadid-nya, diwajibkan mengusap wajah dan kedua tangan sampai ke batas siku dengan dua kali usapan. Dikatakan demikian karena kata 'kedua tangan' pengertiannya menunjukkan sampai

batas kedua pangkal lengan, juga sampai batas kedua siku, sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat mengenai wudu. Adakalanya diucapkan dengan maksud sampai sebatas kedua telapak tangan, seperti yang terdapat di dalam ayat

mengenai hukuman mencuri, yaitu firman-Nya: maka potonglah tangan keduanya. (Al-Maidah: 38)Mereka mengatakan bahwa menginterpretasikan kata 'kedua tangan" dalam ayat ini (An-Nisa: 43) dengan pengertian seperti yang ada

pada ayat mengenai wudu adalah lebih utama karena adanya kesamaan dalam Bab "Bersuci". Salah seorang ulama menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni melalui Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ»


Tayamum itu adalah dua kali usapan, satu usapan pada muka dan yang lainnya pada kedua tangan sampai batas kedua siku.Akan tetapi, di dalam sanad ini terkandung kelemahan yang membuat hadis

kurang kuat untuk dijadikan sebagai dalil.Imam Abu Daud meriwayatkan melalui Ibnu Umar dalam sebuah hadis yang mengatakan:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرْبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ وَمَسْحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ ضَرْبَةً أُخْرَى فَمَسَحَ بِهَا ذِرَاعَيْهِ.


bahwa Rasulullah Saw. menempelkan telapak tangannya pada tembok, lalu tangannya itu beliau usapkan ke muka. Kemudian beliau tempelkan lagi tangannya (ke tembok), setelah itu ia gunakan untuk mengusap kedua hastanya.

Tetapi di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibnu Sabit Al-Adbi, sedangkan sebagian huffaz ada yang menilainya daif. Selain Imam Abu Daud ada yang meriwayatkannya dari beberapa orang yang siqah, lalu mereka memauqufkannya hanya

sampai pada perbuatan Ibnu Umar.Imam Bukhari, Abu Zar'ah, dan Ibnu Addi mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang menilainya sahih. Imam Baihaqi mengatakan bahwa menilai marfu' hadis ini tidak dapat diterima.

Imam Syafii berdalilkan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad, dari Abul Huwairis, dari Abdur Rahman ibnu Mu'awiyah, dari Al-A'raj, dari Ibnus Summah, bahwa Rasulullah Saw. melakukan tayamum, untuk itu beliau mengusap wajah dan kedua hastanya.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الرَّمْلِيُّ، حَدَّثَنَا نَعِيمُ بْنُ حَمَّاد، حَدَّثَنَا خارجةُ بْنُ مُصْعب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ موسى بن عُقْبة، عن الأعرج، عن أبي جُهيم قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ حَتَّى فَرَغَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الْحَائِطِ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ، ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الْحَائِطِ فَمَسَحَ بِهِمَا يَدَيْهِ إلى المرفقين، ثم رد علي السلام


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Kharijah ibnu Mus'ab, dari Abdullah ibnu Ata, dari Musa ibnu Uqbah,

dari Al-A'raj, dari Abu Juhaim yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. sedang buang air kecil, lalu aku mengucapkan salam penghormatan kepadanya, tetapi beliau tidak menjawab salamku,

hingga beliau selesai dari buang air kecilnya. Kemudian beliau berdiri di dekat tembok, lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan kedua tangannya ke mukanya.

Kemudian menempelkan lagi kedua tangannya ke tembok itu, lalu mengusapkan keduanya pada kedua tangannya sampai kedua sikunya. setelah itu baru beliau menjawab salamku.

2. Pendapat ini mengatakan bahwa yang diwajibkan ialah mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan dua kali usapan (sekali usapan pada masing-masingnya). Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam qaul qadim-nya.

3. Pendapat ketiga mengatakan, cukup mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan sekali usapan (pada kesemuanya).


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ ذَرّ، عَنِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَجُلًا أَتَى عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِدْ مَاءً؟ فَقَالَ عُمَرُ: لَا تُصَلِّ. فَقَالَ عَمَّارٌ: أَمَا تَذْكُرُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ أَنَا وَأَنْتَ فِي سَرِيَّةٍ فَأَجْنَبْنَا فَلَمْ نَجِدْ مَاءً، فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فِي التُّرَابِ فَصَلَّيْتُ، فَلَمَّا أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ". وَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الْأَرْضَ، ثُمَّ نَفَخَ فِيهَا وَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Zar, dari Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki datang menghadap

Khalifah Umar. Lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku terkena jinabah dan aku tidak menemukan air." Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu jangan salat." Ammar (yang hadir di majelis itu) berkata, "Tidakkah engkau ingat,

hai Amirul Mukminin, ketika aku dan engkau berada dalam suatu pasukan khusus. Lalu kita mengalami jinabah, sedangkan kita tidak menemukan air. Adapun engkau tidak melakukan salat karenanya, sedangkan aku berguling di tanah (debu),

lalu aku salat. Ketika kita datang kepada Nabi Saw., lalu kuceritakan hal tersebut kepadanya. Maka beliau Saw. bersabda: Sebenarnya cukup bagimu seperti ini. Kemudian Nabi Saw.

menempelkan telapak tangannya ke tanah, lalu meniupnya, setelah itu beliau gunakan untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangannya."


قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا أَبَانٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ عَزْرَة عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمَّارٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي التَّيَمُّمِ: "ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ"


Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Urwah, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza, dari ayahnya, dari Ammar,

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Melakukan tayamum ialah dengan sekali usap pada wajah dan kedua telapak tangan.Jalur lain.


قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ الْأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا شَقِيقٌ قَالَ: كُنْتُ قَاعِدًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي مُوسَى فَقَالَ أَبُو مُوسَى لِعَبْدِ اللَّهِ: لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ لَمْ يُصَلِّ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا. فَقَالَ أَبُو مُوسَى: أما تذكر إذ قال عمَّار لعمر: أَلَا تَذْكُرُ إِذْ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِيَّاكَ فِي إِبِلٍ، فَأَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ، فَتَمَرَّغْتُ فِي التُّرَابِ؟ فَلَمَّا رجعتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ، فَضَحِكَ وَقَالَ: "إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَقُولَ هَكَذَا"، وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ إِلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ مَسَحَ كَفَّيْهِ جَمِيعًا، وَمَسَحَ وَجْهَهُ مَسْحَةً وَاحِدَةً بِضَرْبَةٍ وَاحِدَةٍ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا جَرَمَ، مَا رَأَيْتُ عُمَرَ قَنِعَ بِذَاكَ قَالَ: فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: فَكَيْفَ بِهَذِهِ الْآيَةِ فِي سُورَةِ النساء: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيًدا طَيِّبًا} ؟ قَالَ: فَمَا دَرَى عَبْدُ اللَّهِ مَا يَقُولُ، وَقَالَ: لَوْ رَخَّصْنَا لَهُمْ فِي التَّيَمُّمِ لَأَوْشَكَ أَحَدُهُمْ إِذَا بَرَدَ الْمَاءُ عَلَى جِلْدِهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Sulaiman Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Syaqiq, bahwa ia pernah duduk bersama Abdullah dan Abu Musa.

Lalu Abu Ya'la berkata kepada Abdullah, "Seandainya ada seorang lelaki tidak menemukan air, lalu ia tidak salat. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Abdullah menjawab, "Tidakkah kamu ingat apa yang dikatakan oleh Ammar kepada

Khalifah Umar, yaitu: 'Tidakkah kamu ingat ketika Rasulullah Saw. mengirimku bersamamu dalam suatu iringan unta, lalu aku mengalami jinabah, dan kemudian aku berguling di tanah. Ketika aku kembali kepada Rasulullah Saw.,

kuceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. hanya tertawa dan bersabda: Sebenarnya kamu cukup melakukan seperti ini. Lalu beliau Saw. menempelkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian debunya ia gunakan

untuk mengusap kedua telapak tangannya, dan mukanya sekali usap dengan sekali ambilan debu tadi'." Abdullah berkata, "Tidak mengapa selagi kamu melihat Umar menerima hal tersebut." Abu Musa berkata lagi kepadanya, "Jika demikian.

bagaimanakah dengan ayat yang di dalam surat An-Nisa," yaitu firman-Nya: kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci). (An-Nisa: 43) Abdullah tidak mengetahui apa yang harus ia katakan,

lalu Abu Musa berkata, "Seandainya kita memberikan kemurahan buat mereka dalam masalah tayamum, niscaya tanpa segan-segan bila seseorang di antara mereka merasa dingin jika kena air, ia langsung melakukan tayamum."Dalam surat Al-Maidah disebutkan oleh firman-Nya:


فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ


sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah (debu) itu. (Al-Maidah: 6)Berangkat dari pengertian ayat ini Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum diharuskan memakai tanah yang suci dan mengandung debu,

hingga ada sebagian dari debu itu yang menempel pada muka dan kedua tangan. Seperti yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dengan sanad yang telah disebutkan di atas dari Ibnus Summah,

bahwa ia pernah bersua dengan Nabi Saw. yang sedang buang air kecil, lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Tetapi Nabi Saw. tidak menjawab salamnya, melainkan beliau langsung menuju ke sebuah tembok dan mengeriknya

dengan tongkat yang ada padanya. Setelah itu beliau menempelkan telapak tangannya pada tembok itu, kemudian mengusapkannya pada wajah dan kedua hastanya. Firman Allah Swt.:


مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ


Allah tidak hendak menyulitkan kalian. (Al-Maidah: 6) Yakni dalam masalah agama yang telah disyariatkan-Nya buat kalian.


وَلكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ


tetapi Dia hendak membersihkan kalian. (Al-Maidah: 6)Karena itulah maka Allah membolehkan tayamum bila kalian tidak menemukan air, yaitu menggantinya dengan debu. Tayamum merupakan suatu karunia bagi kalian, supaya kalian bersyukur.

Untuk itulah maka disebutkan bahwa di antara keistimewaan umat ini ialah disyariatkan-Nya tayamum bagi mereka, sedangkan pada umat lain hal tersebut tidak disyariatkan. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Jabir ibnu Abdullah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي، نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ»


Aku dianugerahi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang (rasul pun) sebelumku, yaitu: Aku diberi pertolongan melalui rasa gentar (yang mencekam hati musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan, bumi ini dijadikan bagiku sebagai

tempat untuk salat dan sarana untuk bersuci. Karena itu, barang siapa dari kalangan umatku menjumpai waktu salat, hendaklah ia salat.Menurut lafaz yang lain adalah seperti berikut:


«فَعِنْدَهُ طَهُورُهُ وَمَسْجِدُهُ، وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي، وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً»


karena di dekatnya ada masjid dan sarana bersuci; ganimah dihalalkan bagiku, sedangkan ganimah belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumku; aku diberi izin untuk memberi syafaat; dan dahulu seorang nabi

diutus hanya untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.Dalam hadis Huzaifah yang lalu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan:


«فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ، جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ»


Kita diberi keutamaan di atas manusia karena tiga perkara, yaitu saf-saf kita dijadikan seperti saf-saf para malaikat; bumi dijadikan bagi kita sebagai tempat salat dan tanahnya suci lagi menyucikan jika kita tidak menemukan air. Allah Swt. dalam surat ini (An-Nisa) berfirman:


فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَفُوًّا غَفُوراً


sapulah muka kalian dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (An-Nisa: 43)Dengan kata lain, termasuk pemaafan dari Allah kepada kalian dan ampunan-Nya bagi kalian ialah disyariatkan-Nya

tayamum bagi kalian, dan membolehkan kalian mengerjakan salat dengan tayamum bila kalian tidak menemukan air, sebagai kemudahan dan keringanan buat kalian.Di dalam ayat ini terkandung pula makna yang menunjukkan bahwa

demi membersihkan salat, tidak boleh mengerjakannya dengan keadaan yang tidak baik, misalnya dalam keadaan mabuk, hingga seseorang mengerti dan memahami apa yang diucapkannya. Tidak boleh pula mengerjakannya dalam keadaan

mempunyai jinabah, hingga mandi; atau berhadas, hingga berwudu; kecuali jika orang yang ber-sangkutan dalam keadaan sakit atau tidak ada air, maka Allah mem-berikan keringanan dengan membolehkan tayamum sebagai rahmat dari Allah buat hamba-hamba-Nya, kasih sayang Allah kepada mereka, dan kemurahan bagi mereka.

Surat An-Nisa |4:44|

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ

a lam taro ilallażiina uutuu nashiibam minal-kitaabi yasytaruunadh-dholaalata wa yuriiduuna an tadhillus-sabiil

Tidakkah kamu memperhatikan orang yang telah diberi bagian Kitab (Taurat)? Mereka membeli kesesatan dan mereka menghendaki agar kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).

Have you not seen those who were given a portion of the Scripture, purchasing error [in exchange for it] and wishing you would lose the way?

Tafsir
Jalalain

(Tidakkah kamu lihat orang-orang yang diberi bagian dari Alkitab) yakni orang-orang Yahudi (mereka membeli kesesatan) dengan petunjuk (dan menginginkan agar kamu sesat jalan)

atau menempuh jalan yang tidak benar agar bernasib seperti mereka pula.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 44 |

Tafsir ayat 44-46

Allah menceritakan perihal orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah terus-menerus menimpa mereka sampai hari kiamat—, bahwa mereka membeli kesesatan dengan petunjuk, yakni menukar petunjuk dengan kesesatan;

dan berpaling dari wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, serta menyembunyikan pengetahuan yang ada di tangan mereka dari para nabi terdahulu mengenai sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. dengan tujuan memperoleh imbalan harga yang sedikit berupa harta duniawi yang fana.


وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ


dan mereka bermaksud supaya kalian menyimpang dari jalan yang benar. (An-Nisa: 44)Mereka sangat mengharapkan bila kalian ingkar terhadap apa yang diturunkan kepada kalian; hai orang-orang mukmin, dan meninggalkan hidayah serta ilmu yang bermanfaat yang ada pada kalian.


{وَاللهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ}


Dan Allah lebih mengetahui (daripada kalian) tentang musuh-musuh kalian. (An-Nisa: 45)Dia lebih mengetahui perihal mereka dan memperingatkan kalian agar kalian bersikap waspada terhadap mereka.


{وَكَفَى بِاللهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللهِ نَصِيرًا}


Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagi kalian), dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagi kalian). (An-Nisa: 45)Cukuplah Allah sebagai Pelindung orang yang berlindung kepada-Nya, dan sebagai Penolong orang yang meminta tolong kepada-Nya.


مِنَ الَّذِينَ هادُوا


Yaitu orang-orang Yahudi. (An-Nisa: 46)Min dalam ayat ini menunjukkan makna keterangan jenis. Seperti pengertian min yang terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:


فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثانِ


maka jauhilah perkara yang najis yaitu berhala-berhala tersebut. (Al-Hajj: 30)Adapun firman Allah Swt.:


يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَواضِعِهِ


mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. (An-Nisa: 46)Maksudnya, mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya, dan menafsirkannya bukan dengan tafsir yang dimaksud oleh Allah Swt.; dengan sengaja mereka melakukannya sebagai kedustaan dari mereka sendiri.


{وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا}


Mereka mengatakan, "Kami mendengar." (An-Nisa: 46) Yakni kami mendengar apa yang engkau katakan, hai Muhammad, dan kami tidak akan menaatimu. Demikianlah menurut apa yang ditafsirkan oleh Mujahid dan Ibnu Zaid mengenai makna

yang dimaksud dari kalimah ini. Hal ini jelas menggambarkan kekufuran dan keingkaran mereka yang sangat keterlaluan. Sebenarnya mereka berpaling dari Kitabullah sesudah mereka memahaminya, padahal mereka mengetahui bahaya

yang menimpa diri mereka akibat perbuatannya, yaitu berupa dosa dan siksaan yang akan menimpa diri mereka. Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:


{وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ}


Dan ucapan mereka, "Dengarlah," semoga kamu tidak mendengar apa-apa. (An-Nisa: 46)Artinya, dengarkanlah apa yang kami katakan, mudah-mudahan kamu tidak mendengarnya. Demikianlah makna ayat menurut apa yang diriwayatkan

oleh Ad-Dahhak dari Ibnu Abbas. Mujahid dan Al-Hasan mengatakan bahwa makna ayat ialah: "Dengarlah, mudah-mudahan kamu tidak mau menerimanya."Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah makna yang pertama karena hal ini menunjukkan cemoohan dan ejekan mereka. Semoga laknat Allah selalu menimpa mereka.


{وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ}


Dan (mereka mengatakan pula), "Ra'ina," dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. (An-Nisa: 46)Ucapan mereka yang mengatakan, "Ra'ina" memberikan kesan bahwa seakan-akan mereka mengatakan, "Perhatikanlah kami

dengan pendengaranmu." Padahal sebenarnya mereka bermaksud mencaci Nabi Saw. melalui perkataan ini yang berakar dari kata ru'unah (cacian). Pembahasan mengenai tafsir ini telah kami kemukakan dalam tafsir firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا راعِنا وَقُولُوا انْظُرْنا


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad), "Ra'ina." Tetapi katakanlah, "Unzurna." (Al-Baqarah: 104)Karena itulah- Allah Swt. berfirman menyebutkan perihal orang-orang Yahudi yang selalu mengeluarkan ucapan-ucapan yang bertentangan dengan sikap lahiriahnya, yaitu:


{لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ}


dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. (An-Nisa: 46) Karena mereka mencaci Nabi Saw. Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}


Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman

kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)Hati mereka dijauhkan dari kebaikan dan terusir dari kebaikan, sehingga iman tidak masuk dalam kalbu mereka barang sedikit pun yang dapat memberikan manfaat buat mereka. Mengenai firman-Nya:


فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا


Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis. (An-Nisa: 46)telah disebutkan dalam pembahasan yang jauh sebelum ini. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka tidaklah beriman dengan keimanan yang bermanfaat buat diri mereka.

Surat An-Nisa |4:45|

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِأَعْدَائِكُمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

wallohu a'lamu bi`a'daaa`ikum, wa kafaa billaahi waliyyaw wa kafaa billaahi nashiiroo

Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).

And Allah is most knowing of your enemies; and sufficient is Allah as an ally, and sufficient is Allah as a helper.

Tafsir
Jalalain

(Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu) daripada kamu maka diberitakan-Nya kepada kamu keadaan mereka agar kamu tetap waspada (dan cukuplah Allah sebagai pelindung)

atau pemeliharamu terhadap mereka (dan cukuplah Allah sebagai penolongmu) terhadap tipu daya mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 45 |

Penjelasan ada di ayat 44

Surat An-Nisa |4:46|

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا

minallażiina haaduu yuḥarrifuunal-kalima 'am mawaadhi'ihii wa yaquuluuna sami'naa wa 'ashoinaa wasma' ghoiro musma'iw wa roo'inaa layyam bi`alsinatihim wa tho'nan fid-diin, walau annahum qooluu sami'naa wa atho'naa wasma' wanzhurnaa lakaana khoirol lahum wa aqwama wa laakil la'anahumullohu bikufrihim fa laa yu`minuuna illaa qoliilaa

(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Dan mereka berkata, "Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya." Dan (mereka mengatakan pula), "Dengarlah," sedang (engkau Muhammad sebenarnya) tidak mendengar apa pun. Dan (mereka mengatakan), "Ra‘ina," dengan memutarbalikkan lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan, "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami," tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, tetapi Allah melaknat mereka karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali sedikit sekali.

Among the Jews are those who distort words from their [proper] usages and say, "We hear and disobey" and "Hear but be not heard" and "Ra'ina," twisting their tongues and defaming the religion. And if they had said [instead], "We hear and obey" and "Wait for us [to understand]," it would have been better for them and more suitable. But Allah has cursed them for their disbelief, so they believe not, except for a few.

Tafsir
Jalalain

(Di antara orang-orang Yahudi) ada suatu kaum (mereka mengubah perkataan-perkataan) yakni yang diturunkan Allah dalam Taurat berupa tanda-tanda dan sifat-sifat Nabi Muhammad saw.

(dari tempat-tempatnya) semula (dan kata mereka) kepada Nabi saw. bila beliau menitahkan mereka mengerjakan sesuatu: ("Kami dengar) ucapanmu (dan kami langgar.")

perintahmu (dan dengarlah padahal tidak ada yang akan didengar) menjadi hal yang berarti doa; artinya semoga saya tidak mendengarnya. (Dan) kata mereka pula kepadanya ("Ra`ina.")

padahal mereka telah dilarang mengucapkannya karena dalam bahasa mereka kata-kata itu berarti makian (dengan memutar-mutar lidah mereka dan mencela) menjelekkan (agama) Islam.

(Sekiranya mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami turut) sebagai ganti dari 'kami langgar' (dan dengarlah) saja (dan perhatikanlah kami") yaitu unzhurnaa sebagai ganti dari raa`inaa

(tentulah itu lebih baik bagi mereka) daripada apa yang mereka ucapkan tadi (dan lebih tepat) lebih adil daripadanya. (Akan tetapi Allah mengutuk mereka) artinya menjauhkan mereka dari rahmat-Nya

(disebabkan kekafiran mereka sehingga mereka tidaklah beriman selain hanya segelintir saja) misalnya Abdullah bin Salam dan para sahabatnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 46 |

Penjelasan ada di ayat 44

Surat An-Nisa |4:47|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ آمِنُوا بِمَا نَزَّلْنَا مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَىٰ أَدْبَارِهَا أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَمَا لَعَنَّا أَصْحَابَ السَّبْتِ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

yaaa ayyuhallażiina uutul-kitaaba aaminuu bimaa nazzalnaa mushoddiqol limaa ma'akum ming qobli an nathmisa wujuuhan fa naruddahaa 'alaaa adbaarihaaa au nal'anahum kamaa la'annaaa ash-ḥaabas-sabt, wa kaana amrullohi maf'uulaa

Wahai orang-orang yang telah diberi kitab! Berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur´an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu, sebelum Kami mengubah wajah-wajah(mu), lalu Kami putar ke belakang atau Kami laknat mereka sebagaimana Kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabat (Sabtu). Dan ketetapan Allah pasti berlaku.

O you who were given the Scripture, believe in what We have sent down [to Muhammad], confirming that which is with you, before We obliterate faces and turn them toward their backs or curse them as We cursed the sabbath-breakers. And ever is the decree of Allah accomplished.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang diberi Alkitab! Berimanlah kamu kepada apa-apa yang telah Kami turunkan) berupa Alquran (yang membenarkan apa yang berada padamu) yakni Taurat

(sebelum Kami mengubah mukamu) dengan membuang mata, hidung dan alis yang terdapat padanya (lalu Kami putarkan ke belakang) sehingga menjadi rata dengan tengkuknya (atau Kami kutuk mereka)

dengan menjadikan mereka sebagai kera (sebagaimana Kami telah mengutuk) menyerapah (pendurhaka-pendurhaka di hari Sabtu) di antara mereka (dan urusan Allah) maksudnya ketetapan-Nya (pasti berlaku).

Tatkala ayat ini turun, maka masuk Islamlah Abdullah bin Salam. Maka ada yang mengatakan bahwa ini merupakan ancaman dengan suatu syarat karena setelah sebagian mereka masuk Islam, maka hukuman itu dibatalkan.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa baik perubahan wajah dan penjelmaan menjadi kera itu akan dilakukan sebelum terjadinya kiamat.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 47 |

Tafsir ayat 47-48

Allah Swt. memerintahkan kepada Ahli Kitab agar mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad Saw., berupa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an terkandung berita yang membenarkan berita-berita

yang ada pada kitab mereka menyangkut berita-berita gembira, dan mengandung ancaman bagi mereka jika mereka tidak mau beriman kepadanya. Ancaman ini disebutkan melalui firman-Nya:


{مِنْ قَبْلِ أَنْ نَطْمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدْبَارِهَا}


sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47); At-tams artinya

membalikkan, yakni memutarkannya ke arah belakang dan pandangan mereka pun menjadi ada di belakang mereka. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa makna firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47)

ialah Kami tidak akan membiarkan bagi wajah mereka adanya pendengaran, penglihatan, dan penciuman. Tetapi sekalipun demikian, Kami tetap memutarkannya ke arah belakang.Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna

ayat ini, yaitu firman-Nya: sebelum Kami mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) Yang dimaksud dengan mengubahnya ialah membutakan matanya. lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47)Allah Swt. berfirman, "Kami jadikan muka mereka

berada di tengkuknya, hingga mereka berjalan mundur, dan kami jadikan pada seseorang dari mereka dua buah mata pada tengkuknya. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Atiyyah Al-Aufi. Hal ini merupakan siksaan yang paling berat

dan pembalasan yang paling pedih. Apa yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya ini merupakan perumpamaan tentang keadaan mereka yang berpaling dari perkara yang hak dan kembali kepada perkara yang batil. Mereka menolak hujah

yang terang dan menempuh jalan kesesatan dengan langkah yang cepat seraya berjalan mundur ke arah belakang mereka.Ungkapan ini menurut sebagian ulama sama maknanya dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


إِنَّا جَعَلْنا فِي أَعْناقِهِمْ أَغْلالًا فَهِيَ إِلَى الْأَذْقانِ فَهُمْ مُقْمَحُونَ وَجَعَلْنا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا


Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding. (Yasin: 8-9), hingga akhir ayat.Dengan kata lain,

hal ini merupakan perumpamaan buruk yang dibuatkan oleh Allah tentang mereka dalam hal kesesatan dan penolakan mereka terhadap petunjuk.Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum Kami

mengubah muka (kalian). (An-Nisa: 47) Yakni sebelum Kami palingkan mereka dari jalan kebenaran. Lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Maksudnya, mengembalikan mereka ke jalan kesesatan. Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas dan Al-Hasan.As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Yaitu kami cegah mereka dari jalan kebenaran dan Kami kembalikan mereka

kepada kekufuran, Kami kutuk mereka sebagai kera-kera (orang-orang yang bersifat seperti kera).Menurut Abu Zaid, Allah mengembalikan mereka ke negeri Syam dari tanah Hijaz. Menurut suatu riwayat, Ka'b Al-Ahbar masuk Islam ketika

mendengar ayat ini.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Nuh, dari Isa ibnul Mugirah yang menceritakan, "Kami pernah membincangkan perihal Ka'b masuk Islam

di dekat Maqam Ibrahim." Isa ibnul Mugirah mengatakan bahwa Ka'b masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Pada mulanya ia berangkat menuju ke Baitul Maqdis, lalu ia lewat di Madinah, maka Khalifah Umar keluar menemuinya

dan berkata kepadanya, "Hai Ka'b, masuk Islamlah kamu." Maka Ka'b menjawab, "Bukankah kalian yang mengatakan dalam kitab kalian hal berikut (yakni firman-Nya): 'Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian

mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.' (Al-Jumu'ah: 5) dan sekarang aku membawa kitab Taurat itu. Maka Umar membiarkannya." Kemudian Ka'b meneruskan perjalanannya.

Ketika sampai di Himsa, ia mendengar seorang lelaki dari kalangan ulamanya sedang dalam keadaan sedih seraya membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan

(Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) hingga akhir ayat. Setelah itu Ka'b berkata, "Ya Tuhanku, sekarang aku masuk Islam."

Ia bersikap demikian karena takut akan terancam oleh ayat ini, lalu ia kembali dan pulang ke rumah keluarganya di Yaman, kemudian ia datang membawa mereka semua dalam keadaan masuk Islam.Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim

dengan lafaz yang lain melalui jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Waqid, dari Yunus ibnu Hulais,

dari Abu Idris (yaitu Aizullah Al-Khaulani) yang menceritakan bahwa Abu Muslim Al-Jalili dan rombongannya, antara lain terdapat Ka'b; dan Ka'b selalu mencelanya karena ia bersikap terlambat, tidak mau tunduk kepada Rasulullah Saw.

Pada suatu hari Abu Muslim mengirimkan Ka'b untuk melihat apakah Rasulullah Saw. itu benar seperti yang disebutkan olehnya (Ka'b). Ka'b mengatakan bahwa lalu ia segera memacu kendaraannya menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah,

tiba-tiba ia menjumpai seorang qari' sedang membacakan firman-Nya: Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami

mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang. (An-Nisa: 47) Maka ia segera mengambil air dan langsung mandi. Ka'b menceritakan, "Sesungguhnya aku benar-benar menutupi mukaku karena takut akan dikutuk, kemudian aku masuk Islam." Firman Allah Swt.:


أَوْ نَلْعَنَهُمْ كَما لَعَنَّا أَصْحابَ السَّبْتِ


atau Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. (An-Nisa: 47)Yakni orang-orang yang melanggar larangan menangkap ikan pada hari Sabtu dengan memakai tipu muslihat.

Mereka dikutuk oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi. Dalam surat Al-A'raf kisah mengenai mereka akan disebutkan dengan pembahasan yang terinci. Firman Allah Swt.:


وَكانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا


Dan ketetapan Allah pasti berlaku. (An-Nisa: 47)Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka Dia tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah.Kemudian Allah Swt. memberitakan bahwa:


{لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ}


Dia tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan Dia yakni Dia tidak akan memberikan ampunan kepada seorang hamba yang menghadap kepada-Nya dalam keadaan mempersekutukan Dia.


{وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ}


dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48) Yang dimaksud dengan ma dalam ayat ini ialah segala macam dosa.


{لِمَنْ يَشَاءُ}


bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48) dari kalangan hamba-hamba-Nya.Sehubungan dengan makna ayat ini banyak hadis yang berhubungan dengannya dalam keterangan-keterangannya. Maka berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah didapat, yaitu:Hadis pertama.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ بَابَنُوسَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ ثَلَاثَةٌ؛ دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ} [الْمَائِدَةِ:72] وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرْكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرْكَهَا؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ. وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا؛ الْقَصَاصُ لَا مَحَالَةَ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Jauni, dari Yazid ibnu Abu Musa, dari Siti Aisyah r.a.

yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kitab-kitab catatan amal perbuatan di sisi Allah ada tiga macam, yaitu: Kitab catatan yang tidak diindahkan oleh Allah adanya barang sedikit pun, kitab catatan yang tidak dibiarkan

oleh Allah barang sedikit pun darinya, dan kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah. Adapun kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan mempersekutukan Allah. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan

mengampuni dosa syirik, dan Diamengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu. (An-Nisa: 48), hingga akhir ayat. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga.

(Al-Maidah: 72) Adapun mengenai kitab Catatan yang tidak diindahkan oleh Allah barang sedikit pun, berkaitan dengan perbuatan aniaya seorang hamba kepada dirinya sendiri menyangkut dosa antara dia dengan Allah,

seperti tidak berpuasa sehari atau meninggalkan suatu salat; maka sesungguhnya Allah mengampuni hal tersebut dan memaafkannya jika Dia menghendaki. Adapun mengenai kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya,

maka menyangkut perbuatan aniaya sebagian para hamba terhadap sebagian yang lain, hukumannya ialah qisas sebagai suatu kepastian.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).Hadis kedua.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَالِكٍ، حَدَّثَنَا زَائِدَةُ بْنُ أبي الرقاد، عن زياد النمري، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الظُّلْمُ ثَلَاثَةٌ، فَظُلْمٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، وَظُلْمٌ يَغْفِرُهُ اللَّهُ، وَظُلْمٌ لَا يَتْرُكُهُ اللَّهُ: فَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ، وَقَالَ {إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ} [لُقْمَانَ:13] وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ لِأَنْفُسِهِمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَبِّهِمْ، وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لَا يَتْرُكُهُ فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، حَتَّى يَدِينَ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ"


Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Malik, telah menceritakan kepada kami Zaidah ibnu Abuz Zanad An-Namiri, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw.

yang telah bersabda: Perbuatan aniaya (dosa) itu ada tiga macam, yaitu perbuatan aniaya yang tidak diampuni oleh Allah, perbuatan aniaya yang diampuni oleh Allah, dan perbuatan aniaya yang tidak dibiarkan begitu saja

oleh Allah barang sedikit pun darinya. Adapun perbuatan aniaya yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah). Allah telah berfirman, "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman

yang besar" (Luqman: 13). Adapun perbuatan aniaya yang diampuni oleh Allah ialah perbuatan aniaya para hamba terhadap dirinya masing-masing menyangkut dosa antara mereka dengan Tuhan mereka. Dan adapun mengenai perbuatan aniaya

yang tidak dibiarkan oleh Allah ialah perbuatan aniaya sebagian para hamba atas sebagian yang lain, hingga Allah memperkenankan sebagian dari mereka untuk menuntut balas kepada sebagian yang lain (yang berbuat aniaya).Hadis ketiga.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أن يغفره، إلا الرجل يموت كافرا، أو الرَّجُلَ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا".


Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang menceritakan bahwa ia telah mendengar Mu'awiyah mengatakan bahwa ia pernah

mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Semua dosa mudah-mudahan diampuni oleh Allah kecuali dosa seseorang yang mati dalam keadaan kafir atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafaz yang sama.Hadis keempat.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ، حَدَّثَنَا شَهْرٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ غَنْمٍ أَنَّ أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: يَا عَبْدِي، مَا عَبَدْتَنِي وَرَجَوْتَنِي فَإِنِّي غَافِرٌ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ، يَا عَبْدِي، إِنَّكَ إِنْ لَقِيتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطِيئَةً مَا لَمْ تُشْرِكْ بِي، لَقِيتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Syahr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Tamim, bahwa Abu Zar pernah

menceritakan kepadanya dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman, "Hai hamba-Ku, selagi kamu menyembah-Ku dan berharap kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku mengampuni kamu atas semua dosa

yang telah kamu lakukan. Hai hamba-Ku, sesungguhnya jika kamu menghadap kepada-Ku dengan dosa-dosa yang sepenuh bumi, kemudian kamu bersua dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan diri-Ku dengan sesuatu pun.

niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi."Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi sanad ini.Hadis kelima.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ أَنَّ يَحْيَى بْنَ يَعْمَرَ حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا الْأَسْوَدِ الدِّيلِيَّ حَدَّثَهُ، أَنَّ أَبَا ذَرٍّ حَدَّثَهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ" قُلْتُ: وَإِنَّ زَنَى وإن سرق؟ قال: "وإن زنى وإن سرق" قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قال: "وإن زَنَى وَإِنْ سَرَقَ". ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ: "عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ"! قَالَ: فَخَرَجَ أَبُو ذَرٍّ وَهُوَ يَجُرُّ إِزَارَهُ وَهُوَ يَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ". وَكَانَ أَبُو ذَرٍّ يُحَدِّثُ بِهَذَا بَعْدُ وَيَقُولُ: وَإِنْ رَغِمَ أَنْفُ أَبِي ذَرٍّ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada Kami Husain Ibnu Buraidah; Yahya ibnu Ya'mur pernah menceritakan kepadanya bahwa

Abul Aswad Ad-Dai’li pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan kalimah "Tidak ada Tuhan selain Allah",

kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, niscaya ia masuk surga. Aku (Abu Zar) bertanya, "Sekalipun dia telah berbuat zina dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia berbuat zina dan sekalipun dia mencuri."

Abu Zar bertanya lagi, "Sekalipun dia telah berzina dan mencuri?" Nabi Saw. menjawab, "Sekalipun dia berbuat zina dan sekalipun mencuri," sebanyak tiga kali, dan pada yang keempat kalinya beliau Saw. bersabda, "Sekalipun hidung

Abu Zar keropos." Abul Aswad Ad-Daili melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar keluar seraya menyingsingkan kainnya (karena ketakutan) sambil bergumam, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Dan tersebutlah bahwa

setelah itu jika Abu Zar menceritakan hadis ini selalu mengatakan di akhirnya, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos."Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Husain dengan lafaz yang sama.Jalur lain mengenai hadis Abu Zar.


قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: "كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرَّةِ الْمَدِينَةِ عِشَاءً، وَنَحْنُ نَنْظُرُ إِلَى أُحُدٍ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ". فَقُلْتُ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، [قَالَ] مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي أُحُدًا ذَاكَ عِنْدِي ذَهَبًا أُمْسِي ثَالِثَةً وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ، إِلَّا دِينَارًا أَرْصُدُهُ -يَعْنِي لِدَيْنٍ-إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا". وَحَثَا عَنْ يَمِينِهِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّ الْأَكْثَرِينَ هُمُ الْأَقَلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ قَالَ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا". فَحَثَا عَنْ يَمِينِهِ وَمِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَعَنْ يَسَارِهِ. قَالَ: ثُمَّ مَشَيْنَا فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، كَمَا أَنْتَ حَتَّى آتِيَكَ". قَالَ: فَانْطَلَقَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي. قَالَ: فَسَمِعْتُ لَغَطًا فَقُلْتُ: لَعَلَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَ لَهُ. قَالَ فَهَمَمْتُ أَنْ أَتَّبِعَهُ، ثُمَّ ذَكَرْتُ قَوْلَهُ: "لَا تَبْرَحْ حَتَّى آتِيَكَ" فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى جَاءَ، فَذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي سَمِعْتُ، فَقَالَ: "ذَاكَ جِبْرِيلُ أَتَانِي فَقَالَ: مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِكَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دخل الجنة". قلت: وإن زنى وإن سرق؟ قَالَ: "وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika ia sedang berjalan bersama Nabi Saw.

di tanah lapang Madinah pada suatu petang hari, seraya memandang ke arah Bukit Uhud, maka Nabi Saw. bersabda, "Hai Abu Zar!" Aku (Abu Zar) menjawab, "Labaika, ya Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Aku tidak suka sekiranya Bukit Uhud

itu menjadi emas milikku, lalu berlalu masa tiga hari, sedangkan pada diriku masih tersisa dari dinar darinya —melainkan satu dinar yang kusimpan, yakni untuk membayar utangnya— kecuali aku menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah

seperti ini." Rasulullah Saw. mengatakan demikian seraya meraupkan kedua tangannya dari arah kanan, dari arah kiri, dan dari arah depannya (memperagakan pengambilan untuk sedekahnya). Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Setelah itu

kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar, sesungguhnya orang-orang yang memiliki harta yang banyak kelak adalah orang-orang yang paling sedikit memiliki pahala di hari kiamat, kecuali orang-orang yang

bersedekah seperti ini dan seperti ini.' Rasulullah Saw. mengatakan demikian seraya memperagakannya dengan meraupkan kedua tangan dari arah kanan, arah kiri, dan bagian depannya." Abu Zar melanjutkan kisahnya,

"Lalu kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah Saw. bersabda, 'Hai Abu Zar, tetaplah kamu di tempatmu sekarang hingga aku datang kepadamu'." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Nabi Saw. pergi hingga tidak kelihatan olehku.

Lalu aku mendengar suara gemuruh, dan aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Barangkali Rasulullah Saw. mengalami suatu gangguan.' Ketika aku hendak mengikutinya, aku teringat kepada pesan beliau yang mengatakan, 'Jangan kamu tinggalkan

tempatmu ini hingga aku datang kepadamu.' Maka terpaksa aku diam menunggu hingga beliau Saw. datang. Lalu aku ceritakan kepadanya suara gemuruh yang tadi aku dengar. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Dia adalah Jibril,

datang menemuiku, lalu berkata, 'Barang siapa dari kalangan umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya dia masuk surga.' Aku (Abu Zar) bertanya, 'Sekalipun dia telah berbuat zina

dan sekalipun ia telah mencuri?' Rasulullah Saw. bersabda, 'Sekalipun dia berzina dan sekalipun dia mencuri'."Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Qutaibah, dari Jarir, dari Abdul Hamid, dari Abdul Aziz ibnu Raff, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan:


خَرَجْتُ لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي وَحْدَهُ، لَيْسَ مَعَهُ إِنْسَانٌ، قَالَ: فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَكْرَهُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَهُ أَحَدٌ. قَالَ: فَجَعَلْتُ أَمْشِي فِي ظِلِّ الْقَمَرِ، فَالْتَفَتَ فَرَآنِي، فَقَالَ: "مَنْ هَذَا؟ " فَقُلْتُ: أَبُو ذَرٍّ، جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاكَ. قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَالَ". قَالَ: فَمَشَيْتُ مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ: "إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ الله خيرا فنفخ فِيهِ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَائَهُ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا". قَالَ: فَمَشَيْتُ مَعَهُ سَاعَةً فَقَالَ لِي: "اجْلِسْ هَاهُنَا"، قَالَ: فَأَجْلَسَنِي فِي قَاعٍ حَوْلَهُ حِجَارَةٌ، فَقَالَ لِي: "اجْلِسْ هَاهُنَا حَتَّى أَرْجِعَ إِلَيْكَ". قَالَ: فَانْطَلَقَ فِي الْحَرَّةِ حَتَّى لَا أَرَاهُ، فَلَبِثَ عَنِّي فَأَطَالَ اللُّبْثَ، ثُمَّ إِنِّي سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُقْبِلٌ، وَهُوَ يَقُولُ: "وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى". قَالَ: فَلَمَّا جَاءَ لَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، جعلني الله فداءك، من تكلم فِي جَانِبِ الْحَرَّةِ؟ مَا سَمِعْتُ أَحَدًا يَرْجِعُ إِلَيْكَ شَيْئًا. قَالَ: "ذَاكَ جِبْرِيلُ، عَرَضَ لِي مِنْ جَانِبِ الْحَرَّةِ فَقَالَ: بَشِّرْ أُمَّتَكَ أَنَّهُ من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الْجَنَّةَ. قُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: وَإِنْ سَرَقَ وَإِنْ زَنَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ شَرِبَ الْخَمْرَ"


bahwa di suatu malam ia pernah keluar. Tiba-tiba ia bersua dengan Rasulullah Saw. yang sedang berjalan sendirian tanpa ditemani oleh seorang pun. Abu Zar mengatakan bahwa ia menduga Rasulullah Saw. sedang dalam keadaan

tidak suka berjalan dengan seorang teman pun. Maka aku (Abu Zar) berjalan dari kejauhan di bawah terang sinar rembulan. Tetapi Nabi Saw. menoleh ke belakang dan melihatku. Maka beliau bertanya, "Siapakah kamu?" Aku menjawab,

"Abu Zar, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu." Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, kemarilah!" Lalu aku berjalan bersama beliau selama sesaat, dan beliau bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak

hartanya adalah orang-orang yang mempunyai sedikit pahala kelak di hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan (harta) oleh Allah, lalu ia menyebarkannya (menyedekahkannya) ke arah kanan, ke arah kiri, ke arah depan,

dan ke arah belakangnya, serta harta itu ia gunakan untuk kebaikan. Aku berjalan lagi bersamanya selama sesaat, lalu ia bersabda kepadaku, "Duduklah di sini." Beliau Saw. menyuruhku duduk di suatu legokan yang dikelilingi oleh bebatuan.

Kemudian beliau bersabda, "Duduklah di sini hingga aku kembali kepadamu!" Rasulullah Saw. pergi ke arah harrah (padang pasir) hingga aku tidak melihatnya lagi. Beliau cukup lama pergi meninggalkan aku. Beberapa lama kemudian

aku mendengar suara langkah-langkah beliau datang seraya mengatakan, "Sekalipun dia telah berzina dan sekalipun dia telah mencuri." Ketika beliau datang, aku tidak sabar lagi untuk mengajukan pertanyaan. Lalu aku bertanya,

"Wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai tebusanmu, siapakah orang yang berbicara denganmu di dekat harrah tadi? Karena sesungguhnya aku mendengar suara seseorang yang melakukan tanya jawab denganmu.

" Rasulullah Saw. bersabda: Dia adalah Jibril yang menampakkan dirinya kepadaku di sebelah padang itu, lalu dia berkata, "Sampaikanlah berita gembira ini kepada umatmu, bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan tidak

mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya ia masuk surga." Aku bertanya, "Wahai Jibril, sekalipun dia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Sekalipun dia telah mencuri dan berbuat zina?"

Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi, "Dan sekalipun ia telah mencuri dan berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya, sekalipun ia telah minum khamr."Hadis keenam.


قال عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْمُوَجِبَتَانِ ؟ قَالَ: "مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ".


Abdu ibnu Humaid menceritakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw.,

lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan dua perkara yang memastikan itu?" Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, pastilah ia masuk surga.

Dan barang siapa yang mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, pastilah ia masuk neraka.Abdu ibnu Humaid mengetengahkan hadis ini secara munfarid, bila ditinjau dari sanad ini, lalu ia mengetengahkan hadis ini hingga selesai. Jalur lain.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرِو بْنِ خَلَادٍ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْقُرَشِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، الرَّبَذِيُّ، أَخْبَرَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ نَفْسٍ تَمُوتُ، لَا تُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَذَّبَهَا، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهَا: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr ibnu Khallad Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Ismail Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami

Musa Ibnu Ubaidah At-Turmuzi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ubaidah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak

mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, melainkan magfirah (ampunan) dapat mengenainya; jika Allah menghendaki, mengazabnya; dan jika Dia menghendaki, niscaya mengampuninya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,

dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.Al-Hafiz Abu Ya'la meriwayatkannya di dalam kitab musnad melalui hadis Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidah), dari Jabir. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"لَا تَزَالُ الْمَغْفِرَةُ عَلَى الْعَبْدِ مَا لَمْ يَقَعِ الْحِجَابُ". قِيلَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَمَا الْحِجَابُ؟ قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ". قَالَ: "مَا مِنْ نَفْسٍ تَلْقَى اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى، إِنْ يَشَأْ أَنْ يُعَذِّبَهَا، وَإِنْ يَشَأْ أَنْ يَغْفِرَ لَهَا غَفَرَ لَهَا". ثُمَّ قَرَأَ نَبِيُّ اللَّهِ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}


Magfirah (ampunan Allah) terus-menerus mengenai seorang hamba selagi dia tidak melakukan hijab (dosa yang menghalangi ampunan). Seseorang ada yang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hijab itu, wahai Nabi Allah?"

Nabi Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah." Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seseorang menghadap kepada Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, melainkan ia akan memperoleh ampunan

dari Allah Swt. Jika Dia menghendaki untuk mengazabnya (Dia akan mengazabnya), dan jika Dia menghendaki untuk mengampuninya (Dia akan mengampuninya). Kemudian Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah

tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ( An-Nisa: 48)Hadis ketujuh.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ مَاتَ لا يشرك بالله شيئا دخل الْجَنَّةَ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang meninggal

dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya masuk surga.Ditinjau dari segi sanad ini Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid (menyendiri).Hadis kedelapan.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو قُبَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَاشِرٍ مِنْ بَنِي سريع قال: سمعت أبا رهم قاصن أَهْلِ الشَّامِ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ لَهُمْ: "إن ربكم، عز وجل، خيرني بَيْنَ سَبْعِينَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ عَفْوًا بِغَيْرِ حِسَابٍ، وَبَيْنَ الْخَبِيئَةِ عِنْدَهُ لِأُمَّتِي". فَقَالَ لَهُ بعض أصحابه: يا رسول الله، أيخبأ ذَلِكَ رَبُّكَ؟ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ خَرَجَ وَهُوَ يُكَبِّرُ، فَقَالَ: "إِنَّ رَبِّي زَادَنِي مَعَ كُلِّ أَلْفٍ سَبْعِينَ أَلْفًا وَالْخَبِيئَةُ عِنْدَهُ" قَالَ أَبُو رُهْمٍ: يَا أَبَا أَيُّوبَ، وَمَا تَظُنُّ خَبِيئَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَكَلَهُ النَّاسُ بِأَفْوَاهِهِمْ فَقَالُوا: وَمَا أَنْتَ وَخَبِيئَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟! فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ: دَعُوا الرَّجُلَ عَنْكُمْ، أُخْبِرْكُمْ عَنْ خَبِيئَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَظُنُّ، بَلْ كَالْمُسْتَيْقِنِ. إِنَّ خَبِيئَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَقُولَ: مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ مُصَدِّقًا لِسَانَهُ قَلْبُهُ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ"


Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Qabil, dari Abdullah ibnu Nasyir, dari Bani Sari’ yang mengatakan bahwa

ia pernah mendengar Abu Rahm —seorang ulama Syam— mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Ayub Al-Ansari menceritakan hadis berikut: Di suatu hari Rasulullah Saw. keluar menjumpai mereka (para sahabat). Lalu beliau bersabda,

"Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Mahaagung lagi Mahatinggi telah menyuruhku memilih antara tujuh puluh ribu orang masuk surga dengan cuma-cuma tanpa hisab dan simpanan yang ada di sisi-Nya bagi umatku."

Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhanmu menyimpan hal tersebut?" Rasulullah Saw. (tidak menjawab), lalu masuk (ke dalam rumah), kemudian ke luar lagi seraya bertakbir dan bersabda, "Sesungguhnya Tuhanku

memberikan tambahan kepadaku pada setiap seribu orang (dari mereka yang tujuh puluh ribu itu) ditemani oleh tujuh puluh ribu orang lagi, dan (menyuruhku memilih antara itu dengan) simpanan di sisi-Nya." Abu Rahm (perawi) bertanya,

"Wahai Abu Ayyub, apakah yang dimaksud dengan simpanan buat Rasulullah itu menurut dugaanmu? Agar tidak menjadi bahan pertanyaan orang-orang yang nantinya mereka mengatakan, 'Apakah urusanmu dengan simpanan Rasulullah Saw.?'.

" Akhirnya Abu Ayyub mengatakan, "Biarkanlah lelaki ini, jangan kalian hiraukan. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang simpanan Rasulullah Saw. itu menurut dugaanku —bahkan dia mengatakan demikian seakan-akan merasa yakin—.

Sesungguhnya simpanan Rasulullah Saw. itu adalah sabda beliau yang mengatakan: 'Barang siapa yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dengan lisannya yang dibenarkan oleh kalbunya, niscaya ia masuk surga'."Hadis kesembilan.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْمُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ (ح) وَأَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ الْحَرَّانِيُّ -فِيمَا كَتَبَ إِلَيَّ-قَالَ: حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ نَفْسُهُ، عَنْ وَاصِلِ بْنِ السَّائِبِ الرُّقَاشِيِّ، عَنْ أَبِي سَوْرَةَ ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فقال: إن لي ابْنَ أَخٍ لَا يَنْتَهِي عَنِ الْحَرَامِ. قَالَ: "وَمَا دِينُهُ؟ " قَالَ: يُصَلِّي وَيُوَحِّدُ اللَّهَ تَعَالَى. قَالَ "اسْتَوْهِبْ مِنْهُ دِينَهُ، فَإِنْ أَبَى فَابْتَعْهُ مِنْهُ". فَطَلَبَ الرَّجُلُ ذَاكَ مِنْهُ فَأَبَى عَلَيْهِ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: وَجَدْتُهُ شَحِيحًا فِي دِينِهِ. قَالَ: فَنَزَلَتْ: {إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}


Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Fadl Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus. Juga telah menceritakan kepada kami

Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani melalui suratnya yang ditujukan kepadaku, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus sendiri, dari Wasil ibnus Saib Ar-Raqqasyi, dari Abu Surah (keponakan Abu Ayyub Al-Ansari), dari Abu Ayyub

yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi Saw., lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang keponakan yang tidak pernah berhenti dari melakukan perbuatan yang diharamkan." Nabi Saw. bertanya, "

Apakah agama yang dipeluknya?" Ia menjawab, "Dia salat dan mengesakan Allah Swt." Rasulullah Saw. bersabda, "Agamanya kamu minta saja. Apabila ia tidak mau memberikan, maka belilah darinya." Lelaki itu berangkat dan meminta hal

tersebut kepada keponakannya, tetapi si keponakan tetap menolaknya (tidak mau memberi, tidak mau pula menjualnya). Maka lelaki itu datang menghadap Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut seraya berkata,

"Aku menjumpainya sangat teguh dengan agamanya." Abu Ayyub melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48)Hadis kesepuluh.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الضَّحَّاكِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مَسْتُورٌ أَبُو هَمَّامٍ الْهُنَائِيُّ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَكْتُ حَاجَةً وَلَا ذَا حَاجَةٍ إِلَّا قَدْ أَتَيْتُ. قَالَ: "أَلَيْسَ تَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ؟ " ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "فَإِنَّ ذَلِكَ يَأْتِي عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ"


Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnud Dahhak, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Hammam Al-Hanai, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas yang

menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, aku tidak pernah membiarkan suatu keperluan pun dan tidak pula seorang pun yang perlu ditolong melainkan aku memberinya."

Rasulullah Saw. bertanya, "Bukankah kamu telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah?" Hal ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda, "Maka sesungguhnya kesaksianmu itulah yang membuat semuanya diterima."Hadis kesebelas.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ، عَنْ ضَمْضَمِ بْنِ جَوْسٍ الْيَمَامِيِّ قَالَ: قَالَ لِي أَبُو هُرَيْرَةَ: يَا يَمَامِيُّ لَا تَقُولَنَّ لِرَجُلٍ: وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ. أَوْ لَايُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا. قُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ إِنَّ هَذِهِ كَلِمَةٌ يَقُولُهَا أَحَدُنَا لِأَخِيهِ وَصَاحِبِهِ إِذَا غَضِبَ قَالَ: لَا تَقُلْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ رَجُلَانِ كَانَ أَحَدُهُمَا مُجْتَهِدًا فِي الْعِبَادَةِ، وَكَانَ الْآخَرُ مُسْرِفًا عَلَى نَفْسِهِ، وَكَانَا مُتَآخِيَيْنِ وَكَانَ الْمُجْتَهِدُ لَا يَزَالُ يَرَى الْآخَرَ عَلَى ذَنْبٍ، فَيَقُولُ: يَا هَذَا أَقْصِرْ. فَيَقُولُ: خَلِّنِي وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ قَالَ: إِلَى أَنْ رَآهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ اسْتَعْظَمَهُ، فَقَالَ لَهُ: وَيْحَكَ! أَقْصِرْ! قَالَ: خَلِّنِي وَرَبِّي! أَبُعِثْتَ عَلَيَّ رَقِيبًا؟ فَقَالَ: والله لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ -أَوْ لَا يُدْخِلُكَ الْجَنَّةَ أَبَدًا-قَالَ: فَبَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهِمَا مَلَكًا فَقَبَضَ أَرْوَاحَهُمَا وَاجْتَمَعَا عِنْدَهُ، فَقَالَ لِلْمُذْنِبِ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي. وَقَالَ لِلْآخَرِ: أَكُنْتَ بِي عَالِمًا؟ أَكُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا؟ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ. قَالَ: فَوَالَّذِي نَفْسُ أبي القاسم بيده لتكلم بكلمة أو بقت دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Damdam ibnu Jausy Al-Yamami yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata kepadanya, "Hai Yamami,

jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap seseorang, 'Semoga Allah tidak mengampunimu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke dalam surga'." Aku (Yamami) berkata, "Hai Abu Hurairah, sesungguhnya kalimat tersebut biasa dikatakan

oleh seseorang terhadap saudaranya dan temannya jika ia dalam keadaan marah." Abu Hurairah berkata, "Jangan kamu katakan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda," yaitu:

Dahulu di kalangan umat Bani Israil terdapat dua orang lelaki; salah seorangnya rajin beribadah, sedangkan yang lainnya zalim terhadap dirinya sendiri (tukang maksiat); keduanya sudah seperti saudara. Orang yang rajin ibadah selalu

melihat saudaranya berbuat dosa dan mengatakan kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Tetapi saudaranya itu menjawab, "Biarkanlah aku dan Tuhanku, apakah kamu ditugaskan untuk terus mengawasiku?" Hingga pada suatu hari

yang rajin beribadah melihat saudaranya tukang maksiat itu melakukan suatu perbuatan dosa yang menurut penilaiannya sangat besar. Maka ia berkata kepadanya, "Hai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Dan orang yang ditegurnya menjawab,

"Biarkanlah aku, ini urusan Tuhanku, apakah engkau diutus sebagai pengawasku?" Maka yang rajin beribadah berkata, "Demi Allah, semoga Allah tidak memberikan ampunan kepadamu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke surga

untuk selama-lamanya." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya: bahwa setelah itu Allah mengutus seorang malaikat untuk mencabut nyawa kedua orang tersebut, dan keduanya berkumpul di hadapan Allah. Maka Allah Swt.

berfirman kepada orang yang berdosa, "Pergilah, dan masuklah ke dalam surga karena rahmat-Ku." Sedangkan kepada yang lainnya Allah Swt. berfirman, "Apakah kamu merasa alim, apakah kamu mampu meraih apa yang ada di tangan

kekuasaan-Ku? Bawalah dia ke dalam neraka!" Nabi Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang tersebut (yang masuk neraka) benar-benar mengucapkan suatu kalimat

yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Ikrimah ibnu Ammar, bahwa Damdam ibnu Jausy menceritakan kepadanya dengan lafaz yang sama.Hadis kedua belas.


قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْخٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَجْلَانَ الْأَصْبَهَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَكَمِ بْنِ أَبَانٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: مَنْ عَلِمَ أَنِّي ذُو قُدْرَةٍ عَلَى مَغْفِرَةِ الذُّنُوبِ غَفَرْتُ لَهُ وَلَا أُبَالِي، مَا لَمْ يُشْرِكْ بِي شَيْئًا" .


Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abusy Syekh, dari Muhammad ibnul Hasan ibnu Ajlan Al-Asfahani, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Abban,

dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Barang siapa yang mengetahui bahwa Aku mempunyai kekuasaan untuk mengampuni segala dosa,

niscaya Aku memberikan ampunan baginya tanpa peduli selagi dia tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu.Hadis ketiga belas.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ وَالْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى [الْمَوْصِلِيُّ] حَدَّثَنَا هُدْبَةُ -هُوَ ابن خالد-حدثنا سهل بْنُ أَبِي حَزْمٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ وَعَدَهُ اللَّهُ عَلَى عَمَلٍ ثَوَابًا فَهُوَ مُنْجِزُهُ لَهُ، وَمَنْ تَوَعَّدَهُ عَلَى عَمَلٍ عِقَابًا فَهُوَ فِيهِ بِالْخِيَارِ".


Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar dan Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hudbah (yaitu Ibnu Khalid), telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Abu Hazm, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda: Barang siapa yang dijanjikan suatu pahala oleh Allah atas suatu amal perbuatan, maka Dia pasti menunaikan pahala itu baginya. Dan barang siapa yang diancam oleh Allah mendapat suatu siksaan karena suatu amal perbuatan,

maka Dia sehubungan dengan hal ini bersikap memilih (antara memaafkan dan menghukum).Hadis ini diriwayatkan secara munfarid.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahr ibnu Nasr Al-Khaulani, telah menceritakan

kepada kami Khalid (yakni Ibnu Abdur Rahman Al-Khurrasani), telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Hammad, dari Salam ibnu Abu Muti', dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa kami

sahabat Nabi Saw. tidak meragukan lagi terhadap pembunuh jiwa, pemakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, dan saksi palsu (bahwa mereka pasti masuk neraka), hingga turun ayat ini,

yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 48) Maka sejak saat itu semua sahabat Nabi Saw.

menahan diri dari kesaksian.Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Al-Haisam ibnu Hammad dengan lafaz yang sama.Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abdur Rahman Al-Muqri,

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak meragukan lagi

terhadap orang yang dipastikan oleh Allah masuk neraka di dalam Al-Qur'an, hingga turun kepada kami ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu,

bagi siapa yang dikehendaki-Nya" (An-Nisa: 48). Setelah kami mendengar ayat ini, maka kami menahan diri dari kesaksian dan mengembalikan segala urusan kepada Allah Swt."Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraib, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak mau memohon ampun

buat orang-orang yang berdosa besar, hingga kami mendengar Nabi kami membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya' (An-Nisa: 48).Dan Nabi Saw. telah bersabda:


«أَخَّرْتُ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ»


'Aku tangguhkan syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar dari umatku kelak di hari kiamat'."Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi', telah menceritakan kepadaku Muhabbar, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa

ketika ayat ini diturunkan,yaitu firman-Nya: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Maka ada seorang lelaki berdiri

dan bertanya, "Bagaimanakah dengan dosa mempersekutukan Allah, wahai Nabi Allah?" Rasulullah Saw. tidak suka dengan pertanyaan tersebut, lalu beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,

dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48)Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui berbagai jalur dari Ibnu Ulnar.Ayat yang ada dalam surat Az-Zumar tadi mengandung suatu syarat, yaitu tobat. Maka barang siapa yang bertobat dari dosa apapun,

sekalipun ia melakukannya berulang-ulang, niscaya Allah menerima tobatnya. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


{قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ}


Katakanlah, "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (Az-Zumar: 53) Yakni dengan syarat tobat.

Seandainya diartikan tidak demikian, niscaya termasuk pula ke dalam pengertian ayat ini dosa mempersekutukan Allah. Pengertian ini jelas tidak benar, mengingat Allah Swt. telah memastikan tiada ampunan bagi dosa syirik dalam ayat ini

(An-Nisa: 48), dan Dia telah memastikan pula bahwa Dia mengampuni semua dosa selain dari dosa mempersekutukan Allah, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, sekalipun pelakunya belum bertobat,

hal ini memberikan pengertian bahwa ayat surat An-Nisa ini lebih besar harapannya daripada ayat surat Az-Zumar tadi, bila ditinjau dari segi ini.Firman Allah Swt.:


وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرى إِثْماً عَظِيماً


Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48)Ayat ini sama maknanya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:


إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ


sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman: 13)Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut:


عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ ...” وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثَ.


Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?” Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu.” hingga akhir hadis.


قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إسحق بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ" ثُمَّ قَرَأَ: {وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا} وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ". ثُمَّ قَرَأَ: {أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ}


Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Ma’an,

telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku akan menceritakan kepada kalian tentang dosa besar yang paling berat, yaitu

mempersekutukan Allah. Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An-Nisa: 48) ;

dan menyakiti kedua orang tua. Lalu beliau membacakan firman-Nya: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembali kalian. (Luqman: 14)

Surat An-Nisa |4:48|

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

innalloha laa yaghfiru ay yusyroka bihii wa yaghfiru maa duuna żaalika limay yasyaaa`, wa may yusyrik billaahi fa qodiftarooo iṡman 'azhiimaa

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.

Indeed, Allah does not forgive association with Him, but He forgives what is less than that for whom He wills. And he who associates others with Allah has certainly fabricated a tremendous sin.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni bila Dia dipersekutukan) artinya tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya (dan Dia akan mengampuni selain dari demikian) di antara dosa-dosa

(bagi siapa yang dikehendaki-Nya) beroleh ampunan, sehingga dimasukkan-Nya ke dalam surga tanpa disentuh oleh siksa. Sebaliknya akan disiksa-Nya lebih dulu orang-orang mukmin yang dikehendaki-Nya karena dosa-dosa mereka,

dan setelah itu barulah dimasukkan-Nya ke dalam surga. (Siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 48 |

Penjelasan ada di ayat 47

Surat An-Nisa |4:49|

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا

a lam taro ilallażiina yuzakkuuna anfusahum, balillaahu yuzakkii may yasyaaa`u wa laa yuzhlamuuna fatiilaa

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci (orang Yahudi dan Nasrani)? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Have you not seen those who claim themselves to be pure? Rather, Allah purifies whom He wills, and injustice is not done to them, [even] as much as a thread [inside a date seed].

Tafsir
Jalalain

(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang membersih-bersihkan diri mereka itu) yakni orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa mereka itu anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.

Jadi persoalannya kebaikan itu bukanlah dengan membersih-bersihkan diri (tetapi Allah membersihkan) artinya menyucikan (siapa yang dikehendaki-Nya) dengan keimanan (sedangkan mereka tidak dianiaya)

atau dikurangi amalan mereka (sedikit pun) walau sebesar kulit buah kurma sekalipun.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 49 |

Tafsir ayat 49-52

Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani

ketika mereka mengatakan, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Juga sehubungan dengan ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama)

Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)Mujahid mengatakan bahwa dahulu mereka menempatkan anak-anak di hadapan mereka dalam berdoa dan sembahyang sebagai imam mereka; mereka menduga bahwa anak-anak itu tidak mempunyai dosa.

Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Malik. Ibnu Jarir m-riwayatkan hal tersebut.Al-Aufi mengatakan dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang

menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) Bahwa demikian itu karena orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya anak-anak kita telah meninggal dunia dan mereka mempunyai hubungan kerabat dengan kita. Mereka pasti memberi syafaat

kepada kita dan membersihkan kita (dari dosa-dosa)." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49),

hingga akhir ayat.Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musaffa, telah menceritakan

kepada kami Ibnu Himyar, dari Ibnu Luhai'ah, dari Bisyr ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Yahudi menempatkan anak-anak mereka sebagai imam dalam sembahyangnya,

juga menyerahkan korban mereka kepada anak-anak tersebut. Mereka berbuat demikian dengan alasan bahwa anak-anak mereka masih belum berdosa dan tidak mempunyai kesalahan. Mereka berdusta, dan Allah menjawab mereka,

"Sesungguhnya Aku tidak akan membersihkan orang yang berdosa karena orang lain yang tidak berdosa." Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Mujahid, Abu Malik, As-Saddi, Ikrimah, dan Ad-Dahhak. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu mengatakan, "Kami tidak mempunyai dosa

sebagaimana anak-anak kami tidak mempunyai dosa." Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49) ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka itu.

Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan celaan terhadap perbuatan memuji dan menyanjung. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang menceritakan hadis berikut:


أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَحْثُوَ فِي وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ


Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kita agar menaburkan pasir ke wajah orang-orang yang tukang memuji.Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui jalur Khalid Al-Hazza, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم سَمِعَ رَجُلًا يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ، فَقَالَ: "وَيْحَكَ. قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ". ثُمَّ قَالَ: "إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا صَاحِبَهُ لَا مَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ: أَحْسَبُهُ كَذَا وَلَا يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا"


bahwa Rasulullah Saw. mendengar seorang lelaki memuji lelaki lainnya. Maka beliau Saw. bersabda: Celakalah kamu, kamu telah memotong leher temanmu. Kemudian Nabi Saw. bersabda: Jika seseorang dari kalian diharuskan memuji temannya,

hendaklah ia mengatakan, "Aku menduganya demikian," karena ia tidak dapat membersihkan seseorang terhadap Allah.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir, dari ayahnya, dari Na'im ibnu Abu Hindun

yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Barang siapa yang mengatakan, 'Aku orang mukmin," maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim,

maka dia adalah orang yang jahil (bodoh). Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz,

dari Umar, bahwa Umar pernah mengatakan, "Sesungguhnya hal yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian ialah rasa ujub (besar diri) seseorang terhadap pendapatnya sendiri. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya

orang mukmin, maka dia adalah orang kafir. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya adalah orang alim, maka dia adalah orang yang bodoh. Barang siapa yang mengatakan bahwa dirinya masuk surga, maka dia masuk neraka."


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة وَحَجَّاجٌ، أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: وَكَانَ قَلَّمَا يَكَادُ أَنْ يَدَعَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ أَنْ يُحَدِّثَ بِهِنَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِّينِ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوٌ خَضِرٌ، فَمَنْ يَأْخُذُهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكُ لَهُ فِيهِ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Hajaj, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sa'd ibnu Ibrahim,

dari Ma'bad Al-Juhani yang menceritakan bahwa Mu'awiyah jarang menceritakan hadis dari Nabi Saw. Ma'bad Al-Juhani mengatakan bahwa Mu'awiyah hampir jarang tidak mengucapkan kalimat-kalimat berikut pada hari Jumat,

yaitu sebuah hadis dari Nabi Saw. Ia mengatakan bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia memberinya pengertian dalam masalah agama. Dan sesungguhnya harta ini manis lagi hijau,

maka barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang hak, niscaya diberkati padanya; dan waspadalah kalian terhadap puji memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.

Ibnu Majah meriwayatkan sebagian darinya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama yang bunyinya seperti berikut:


"إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ"


Hati-hatilah kalian terhadap puji-memuji, karena sesungguhnya pujian itu adalah penyembelihan.Ma'bad adalah Ibnu Abdullah ibnu Uwaim Al-Basri Al-Qadri.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ibrahim Al-Mas'udi,

telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan, "Sesungguhnya seorang lelaki berangkat

dengan agamanya, kemudian ia kembali, sedangkan padanya tidak ada sesuatu pun dari agamanya itu. Dia menjumpai seseorang yang tidak mempunyai kekuasaan untuk menimpakan mudarat terhadap dirinya, tidak pula memberikan manfaat

kepadanya; lalu ia berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu, demi Allah, demikian dan demikian (yakni memujinya).' Dia berbuat demikian dengan harapan kembali memperoleh imbalan. Tetapi ternyata dia tidak memperoleh suatu keperluan pun

darinya, bahkan ia kembali dalam keadaan Allah murka terhadap dirinya."Kemudian sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. (An-Nisa: 49), hingga akhir ayat.Pembahasan ini akan diterangkan secara rinci dalam tafsir firman-Nya:


فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى


Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. (An-Najm: 32)Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:


{بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ}


Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisa: 49) Yakni segala sesuatu mengenai hal ini dikembalikan kepada Allah Swt. Dialah yang lebih mengetahui hakikat semua perkara dan rahasia-rahasianya. Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَلا يُظْلَمُونَ فَتِيلا}


dan mereka tidak dianiaya sedikit pun. (An-Nisa: 49) Dia tidak akan membiarkan bagi seseorang sesuatu pahala pun. Betapapun kecilnya pahala itu, Dia pasti menunaikan pahala itu kepadanya.Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ata,

Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang dimaksud dengan fatil ialah sesuatu yang sebesar biji sawi.Menurut suatu riwayat yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud

ialah sebesar sesuatu yang kamu pintal dengan jari jemarimu. Kedua pendapat ini saling berdekatan pengertiannya.Firman Allah Swt.:


انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ


Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? (An-Nisa: 50)Yaitu dalam pengakuan mereka yang menganggap diri mereka bersih dari dosa-dosa, dan pengakuan mereka yang mengatakan bahwa diri mereka adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Juga perkataan mereka yang disitir oleh firman-Nya:


{لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى}


Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. (Al-Baqarah: 111)Ucapan mereka yang disebutkan oleh firman-Nya:


{لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلا أَيَّامًا مَعْدُودَةً}


Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja. (Al-Baqarah: 80)Juga penyandaran nasib mereka kepada amal perbuatan nenek moyang mereka yang saleh. Padahal Allah telah menentukan bahwa

amal perbuatan nenek moyang tidak dapat menjamin anak keturunannya barang sedikit pun. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


تِلْكَ أُمَةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ


Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya, dan bagi kalian apa yang sudah kalian usahakan. (Al-Baqarah: 134), hingga akhir ayat.Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا}


Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka). (An-Nisa: 50) Artinya, cukuplah perbuatan mereka itu sebagai perbuatan dusta dan kebohongan yang nyata. Firman Allah Swt.:


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيباً مِنَ الْكِتابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ أَمَّا الْجِبْتُ


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan tagut. (An-Nisa: 51)Makna al-jibti menurut riwayat Muhammad ibnu Ishaq, dari Hissan ibnu Qaid,

dari Umar ibnul Khattab, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah sihir, sedangkan tagut ialah setan. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi,

Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan As-Saddi.Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, dan Atiyyah, bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah setan. Menurut riwayat

dari Ibnu Abbas ditambahkan di Al-Habasyiyyah.Dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa al-jibt artinya syirik, juga berarti berhala-berhala.Menurut riwayat dari Asy-Sya'bi, al-jibt artinya juru ramal (tukang tenung).

Dari Ibnu Abbas Iagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-jibt ialah Huyay ibnu Akhtab.Dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-jibt ialah Ka'b ibnul Asyraf. Allamah Abu Nasr ibnu Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari di dalam kitab sahihnya

mengatakan bahwa lafaz al-jibt ditujukan kepada pengertian berhala, tukang ramal, penyihir, dan lain sebagainya yang semisal. Di dalam sebuah hadis disebutkan:


"الطِّيَرَةُ وَالْعِيَافَةُ وَالطَّرْقُ مِنَ الْجِبْتِ"


Tiyarah, iyafah, dan tarq termasuk jibt.Selanjutnya Abu Nasr mengatakan bahwa kata al-jibt ini bukan asli dari bahasa Arab, mengingat di dalamnya terhimpun antara huruf jim dan huruf ta dalam satu kata, bukan karena sebab sebagai huruf

yang dipertemukan.Hadis yang disebutkan oleh Abu Nasr ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا، عَوْفٌ عَنْ حَيَّانَ أَبِي الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا قَطَنُ بْنُ قَبِيصَةَ، عَنْ أَبِيهِ -وَهُوَ قَبِيصَةُ بْنُ مُخَارِقٍ-أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الْعِيَافَةَ وَالطَّرْقَ وَالطِّيَرَةَ مِنَ الْجِبْتِ"


telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Auf ibnu Hayyan ibnul Ala, telah menceritakan kepada kami Qatn ibnu Qubaisah, dari ayahnya (yaitu Qubaisah ibnu Mukhariq), bahwa ia pernah

mendengar Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya 'iyafah, larq, dan tiyarah termasuk al-jibt. Auf mengatakan bahwa iyafah ialah semacam ramalan yang dilakukan dengan mengusir burung. At-Tarq yaitu semacam ramalan dengan cara

membuat garis-garis di tanah. Menurut Al-Hasan, al-jibt artinya rintihan (bisikan) setan.Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya, Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya

melalui hadis Auf Al-A’rabi.Dalam surat Al-Baqarah telah disebutkan makna lafaz tagut. Jadi, dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami

Ishaq ibnud-Daif, telah menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abuz-Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah ketika ditanya mengenai arti tawagit. Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab,

"Mereka adalah para peramal yang setan-setan turun membantu mereka."Mujahid mengatakan bahwa tagut ialah setan dalam bentuk manusia, mereka mengangkatnya sebagai pemimpin mereka

dan mengadukan segala perkara mereka kepada dia, dialah yang memutuskannya.Imam Malik mengatakan bahwa tagut ialah semua yang disembah selain Allah Swt.Firman Allah Swt.:


وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هؤُلاءِ أَهْدى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا


dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 51)Mereka lebih mengutamakan orang-orang kafir daripada kaum muslim, karena kebodohan

mereka sendiri, minimnya agama mereka, dan kekafiran mereka kepada Kitab Allah yang ada di tangan mereka.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan

kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang menceritakan bahwa Huyay ibnu Akhtab dan Ka'b ibnul Asyraf datang kepada penduduk Mekah, lalu mereka bertanya kepada keduanya, "Kalian adalah Ahli Kitab dan Ahlul Ilmi

(orang yang berilmu). Maka ceritakanlah kepada kami perihal kami dan perihal Muhammad!" Mereka balik bertanya, "Bagaimanakah dengan kalian dan bagaimanakah pula dengan Muhammad?" Mereka menjawab, "Kami selalu bersilaturahmi,

menyembelih unta, memberi minum air di samping air susu, membantu orang yang kesulitan dan memberi minum orang-orang yang haji. Sedangkan Muhammad adalah orang yang miskin lagi hina, memutuskan silaturahmi dengan kami,

diikuti oleh jamaah haji pencuri dari Bani Giffar. Manakah yang lebih baik, kami atau dia?" Keduanya menjawab, "Kalian jauh lebih baik dan lebih benar jalannya (daripada dia)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu

tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51), hingga akhir ayat.Hadis ini diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan

kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ketika Ka'b ibnul Asyraf tiba di Mekah, maka orang-orang Quraisy berkata, "Bagaimanakah menurutmu si miskin yang diasingkan oleh

kaumnya ini? Dia menduga bahwa dirinya lebih baik daripada kami, padahal kami adalah ahli jamaah haji dan ahli yang mengurus Ka'bah serta ahli siqayah." Ka'b ibnul Asyraf menjawab, "Kalian lebih baik." Maka turunlah firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus. (Al-Kausar: 3) Turun pula firman-Nya yang mengatakan: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51)

sampai dengan firman-Nya: niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. (An-Nisa: 52)Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair,

dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang yang membantu pasukan golongan bersekutu ialah dari kabilah Quraisy, Gatafan, Bani Quraisah, Huyay ibnu Akhtab, Salam ibnu Abul Haqiq, Abu Rafi", Ar-Rabi' ibnu Abul Haniq, Abu Amir,

Wahuh ibnu Amir, dan Haudah ibnu Qais. Wahuh dan Abu Amir serta Haudah berasal dari Bani Wail, sedangkan sisanya dari kalangan Bani Nadir. Ketika mereka tiba di kalangan orang-orang Quraisy, maka orang-orang Quraisy berkata,

"Mereka adalah para rahib Yahudi dan ahli ilmu tentang kitab-kitab terdahulu. Maka tanyakanlah kepada mereka, apakah agama kalian yang lebih baik, ataukah agama Muhammad?" Lalu mereka bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut,

dan para rahib Yahudi itu menjawab, "Agama kalian lebih baik daripada agama Muhammad, dan jalan kalian lebih benar daripada dia dan orang-orang yang mengikutinya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu

tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? (An-Nisa: 51) sampai dengan firman-Nya: dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (An-Nisa: 54)Hal ini merupakan laknat Allah bagi mereka, sekaligus

sebagai pemberitahuan bahwa mereka tidak akan memperoleh penolong di dunia, tidak pula di akhirat. Mereka berangkat menuju Mekah yang sebenarnya untuk meminta pertolongan dari kaum musyrik Mekah, dan sesungguhnya mereka

mengatakan demikian untuk mendapatkan simpati dari kaum musyrik agar mereka mau membantunya. Ternyata kaum musyrik mau membantu mereka dan datang bersama mereka dalam Perang Ahzab, hingga memaksa Nabi Saw.

dan para sahabatnya untuk menggali parit di sekitar Madinah sebagai pertahanannya. Akhirnya Allah menolak kejahatan mereka, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


وَرَدَّ اللَّهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنالُوا خَيْراً وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتالَ وَكانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيزاً


Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu. yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat lagi Maha-perkasa. (Al-Ahzab: 25)

Surat An-Nisa |4:50|

انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَكَفَىٰ بِهِ إِثْمًا مُبِينًا

unzhur kaifa yaftaruuna 'alallohil-każib, wa kafaa bihiii iṡmam mubiinaa

Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).

Look how they invent about Allah untruth, and sufficient is that as a manifest sin.

Tafsir
Jalalain

(Perhatikanlah) menunjukkan keheranan (betapa mereka mengada-adakan kedustaan terhadap Allah) mengenai hal itu (dan cukuplah itu menjadi dosa yang nyata) bagi mereka.

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kaab bin Asyraf dan lain-lainnya dari kalangan ulama Yahudi, yaitu ketika mereka tiba di Mekah dan menyaksikan orang-orang musyrikin yang terbunuh dalam perang Badar,

maka mereka membakar kaum musyrikin untuk membalas dendam atas kekalahan ini dan memerangi Nabi saw.:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 50 |

Penjelasan ada di ayat 49

Surat An-Nisa |4:51|

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا

a lam taro ilallażiina uutuu nashiibam minal-kitaabi yu`minuuna bil-jibti wath-thooghuuti wa yaquuluuna lillażiina kafaruu haaa`ulaaa`i ahdaa minallażiina aamanuu sabiilaa

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Kitab (Taurat)? Mereka percaya kepada Jibt dan Tagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya daripada orang-orang yang beriman.

Have you not seen those who were given a portion of the Scripture, who believe in superstition and false objects of worship and say about the disbelievers, "These are better guided than the believers as to the way"?

Tafsir
Jalalain

(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Alkitab, mereka percaya kepada jibt dan tagut) nama dua berhala Quraisy (dan mengatakan kepada orang-orang kafir)

yaitu Abu Sofyan dan sahabat-sahabatnya ketika mereka menanyakan kepada orang-orang Yahudi itu siapakah yang lebih benar jalannya, apakah mereka sebagai penguasa Kakbah,

pelayan makan-minum jemaah haji dan pembantunya orang yang berada dalam kesukaran ataukah Muhammad, yakni orang yang telah menyalahi agama nenek moyangnya, memutuskan tali silaturahmi

dan meninggalkan tanah suci (bahwa mereka itu) maksudnya kamu hai orang-orang Quraisy (lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman) artinya lebih lurus jalan yang kamu tempuh daripada mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 51 |

Penjelasan ada di ayat 49

Surat An-Nisa |4:52|

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ ۖ وَمَنْ يَلْعَنِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا

ulaaa`ikallażiina la'anahumulloh, wa may yal'anillaahu fa lan tajida lahuu nashiiroo

Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah. Dan barang siapa dilaknat Allah, niscaya engkau tidak akan mendapatkan penolong baginya.

Those are the ones whom Allah has cursed; and he whom Allah curses - never will you find for him a helper.

Tafsir
Jalalain

(Mereka itulah orang-orang yang dikutuk oleh Allah dan siapa yang dikutuk) oleh (Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolongnya) yang akan melindunginya dari azab siksa-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 52 |

Penjelasan ada di ayat 49

Surat An-Nisa |4:53|

أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا

am lahum nashiibum minal-mulki fa iżal laa yu`tuunan-naasa naqiiroo

Ataukah mereka mempunyai bagian dari kerajaan (kekuasaan), meskipun mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia,

Or have they a share of dominion? Then [if that were so], they would not give the people [even as much as] the speck on a date seed.

Tafsir
Jalalain

(Ataukah mereka ada mempunyai bagian kerajaan) maksudnya mereka tidak mempunyai sedikit pun daripadanya, dan walaupun ada (hingga bila demikian, maka tidak secuil pun yang akan mereka berikan kepada manusia)

naqiira: sesuatu yang tak ada harganya, sebesar patukan burung kecil di atas biji, dan sikap mereka itu ialah karena amat bakhil atau kikirnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 53 |

Tafsir ayat 53-55

(NULL)

Allah Swt. telah berfirman:


{أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ}


Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan? (An-Nisa: 53)Istifham atau kata tanya dalam ayat ini menunjukkan makna istifham ingkari (kata tanya yang negatif), yakni mereka tidak memperoleh bagian dari kerajaan itu. Kemudian Allah Swt. menyebutkan sifat mereka yang kikir melalui firman berikutnya, yaitu:


{فَإِذًا لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيرًا}


Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia. (An-Nisa: 53)Karena sekalipun mereka memperoleh bagian dari kerajaan itu dan kekuasaan, niscaya mereka tidak akan memberikan suatu kebajikan pun

kepada orang lain, terlebih lagi kepada Nabi Muhammad Saw. Yang dimaksud dengan naqir ialah secuil tembaga yang ada di dalam sebuah biji, menurut pendapat Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama. Ayat ini semakna dengan ayat Lain, yaitu firman-Nya:


قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذاً لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفاقِ


Katakanlah, "Seandainya kalian menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kalian tahan, karena takut membelanjakannya." (Al-Isra: 100)Dengan kata lain, karena kalian merasa takut

perbendaharaan yang ada di tangan kalian itu akan habis, padahal perbendaharaan rahmat Allah itu tidak ada habis-habisnya. Sesungguhnya sikap demikian itu hanyalah terdorong oleh sikap kikir dan sikap pelit kalian sendiri. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


وَكانَ الْإِنْسانُ قَتُوراً


Dan adalah manusia itu sangat kikir. (Al-Isra: 100) Kemudian Allah Swt. berfirman:


أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلى مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ


ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepada manusia itu? (An-Nisa: 54)Yakni dengki mereka kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah dianugerahi kenabian yang besar oleh Allah Swt.

Hal yang menghambat mereka untuk percaya kepada Nabi Muhammad Saw. ialah rasa dengki mereka terhadapnya, mengingat Nabi Saw. dari kalangan. bangsa Arab, bukan dari kalangan Bani Israil.Imam Tabrani mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Hadrami, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari As-Saddi, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan

firman-Nya: ataukah mereka dengki kepada manusia. (An-Nisa: 54), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan manusia adalah kami (bangsa Arab), bukan orang lain. Allah Swt. berfirman:


فَقَدْ آتَيْنا آلَ إِبْراهِيمَ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْناهُمْ مُلْكاً عَظِيماً


Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (An-Nisa: 54)Dengan kata lain, sesungguhnya Kami menjadikan kenabian di kalangan

keturunan Israil (Nabi Ya'qub) yang juga merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim. Kami turunkan kepada mereka kitab-kitab, dan mereka berkuasa di kalangan kaumnya dengan memakai sunnah-sunnah (yakni hikmah),

dan Kami jadikan raja-raja di antara mereka (nabi-nabi Bani Israil). Sekalipun demikian, di antara mereka ada yang beriman kepada anugerah dan nikmat ini, ada pula yang ingkar dan kafir kepadanya serta berpaling darinya,

berupaya menghalang-halangi manusia untuk beriman kepadanya. Padahal nabi mereka dari kalangan mereka dan dari bangsa mereka sendiri (yakni Bani Israil), tetapi mereka menentangnya. Maka terlebih lagi terhadap kamu, hai Muhammad,

yang bukan dari kalangan Bani Israil.Mujahid mengatakan bahwa di antara mereka ada yang beriman kepadanya (yakni Nabi Muhammad Saw.), ada pula yang ingkar (kafir) kepadanya. Maka orang-orang yang kafir dari kalangan mereka

sudah pasti lebih mendustakan kamu dan lebih jauh dari hidayah serta perkara hak yang jelas yang diturunkan kepadamu.Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt. mengancam mereka melalui firman-Nya:


{وَكَفَى بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا}


Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang menyala-nyala api-nya. (An-Nisa: 55)Cukuplah neraka Jahannam sebagai siksaan buat mereka atas kekafiran dan keingkaran mereka serta'sikap menantang mereka terhadap kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya.

Surat An-Nisa |4:54|

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۖ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا

am yaḥsuduunan-naasa 'alaa maaa aataahumullohu min fadhlih, fa qod aatainaaa aala ibroohiimal-kitaaba wal-ḥikmata wa aatainaahum mulkan 'azhiimaa

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.

Or do they envy people for what Allah has given them of His bounty? But we had already given the family of Abraham the Scripture and wisdom and conferred upon them a great kingdom.

Tafsir
Jalalain

(Atau) apakah (mereka dengki kepada manusia) maksudnya kepada Nabi saw. (atas karunia yang telah diberikan Allah kepada mereka itu) berupa kenabian dan banyaknya istri.

Artinya mereka mengangankan lenyapnya nikmat itu daripadanya dan mengatakan, "Sekiranya ia nabi, tentulah ia tidak akan menghiraukan banyak istri itu!"

(Sungguh, Kami telah memberikan kepada keluarga Ibrahim) nenek moyang mereka seperti Musa, Daud dan Sulaiman (Kitab dan hikmah) serta nubuwah (dan telah Kami berikan kepada mereka kerajaan yang besar)

Daud mempunyai 99 orang istri, sedangkan Sulaiman seribu orang wanita, campuran dari orang merdeka dan hamba sahaya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 54 |

Penjelasan ada di ayat 53

Surat An-Nisa |4:55|

فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ ۚ وَكَفَىٰ بِجَهَنَّمَ سَعِيرًا

fa min-hum man aamana bihii wa min-hum man shodda 'an-h, wa kafaa bijahannama sa'iiroo

Maka di antara mereka (yang dengki itu), ada yang beriman kepadanya dan ada pula yang menghalangi (manusia beriman) kepadanya. Cukuplah (bagi mereka) neraka Jahanam yang menyala-nyala apinya.

And some among them believed in it, and some among them were averse to it. And sufficient is Hell as a blaze.

Tafsir
Jalalain

(Maka di antara mereka ada yang beriman kepadanya) yakni kepada Nabi Muhammad saw. (dan di antara mereka ada yang berpaling daripadanya) hingga ia tak mau beriman

(dan cukuplah kiranya Jahanam itu sebagai api yang menyala-nyala) untuk membakar orang yang tidak beriman itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 55 |

Penjelasan ada di ayat 53

Surat An-Nisa |4:56|

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا

innallażiina kafaruu bi`aayaatinaa saufa nushliihim naaroo, kullamaa nadhijat juluuduhum baddalnaahum juluudan ghoirohaa liyażuuqul-'ażaab, innalloha kaana 'aziizan ḥakiimaa

Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Indeed, those who disbelieve in Our verses - We will drive them into a Fire. Every time their skins are roasted through We will replace them with other skins so they may taste the punishment. Indeed, Allah is ever Exalted in Might and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya orang-orang yang kafir akan ayat-ayat Kami akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka) mereka akan terbakar hangus (setiap matang) atau menjadi hangus (kulit mereka itu Kami ganti dengan kulit lainnya)

yakni dengan mengembalikannya kepada keadaannya sebelum matang atau hangus itu (supaya mereka merasakan azab) dan menderita kepedihannya. (Sesungguhnya Allah Maha Perkasa) dalam segala penciptaan-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 56 |

Tafsir ayat 56-57

Allah Swt. menceritakan perihal siksaan-Nya di dalam neraka Jahannam terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat-Nya dan kafir kepada rasul-rasul-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا


Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami. (An-Nisa: 56), hingga akhir ayat.Maksudnya, Kami akan masukkan mereka ke dalam neraka yang meliputi semua tubuh dan anggota mereka.Kemudian Alah Swt. menceritakan perihal kekekalan siksa dan pembalasan yang mereka terima. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ}


Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. (An-Nisa: 56), hingga akhir ayat.Menurut riwayat Al-A'masy, dari Ibnu Umar, apabila kulit mereka terbakar,

maka kulit itu diganti lagi dengan kulit yang lain berwarna putih seperti kertas (kapas). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim.Yahya ibnu Yazid Al-Hadrami mengatakan, telah sampai kepadanya sehubungan

dengan makna ayat ini suatu penafsiran yang mengatakan bahwa dijadikan bagi orang kafir seratus macam kulit, di antara dua kulit ada sejenis siksaannya sendiri. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Ju'fi, dari Zaidah, dari Hisyam, dari Al-Hasan sehubungan

dengan firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56) Dalam waktu sehari kulit mereka terbakar hangus sebanyak tujuh puluh ribu kali.Dalam sanad hadis ini sesudah Husain ditambahkan Fudail, dari Hisyam, dari Al-Hasan,

sehubungan dengan firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56) Dikatakan kepada mereka, "Kembalilah seperti semula!" Maka kulit mereka kembali seperti semula.Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan

dari Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya (yakni As-Sa'dani), telah menceritakan kepada kami Nafi' maula Yusuf As-Sulami Al-Basri, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki

membacakan ayat berikut di hadapan Khalifah Umar, yaitu firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan yang lain. (An-Nisa: 56) Maka Umar berkata, "Ulangi lagi bacaanmu untukku!" Lalu lelaki itu mengulangi

bacaan ayat tersebut. Maka Mu'az ibnu Jabal berkata, "Aku mempunyai tafsir ayat ini, kulit mereka diganti seratus kali setiap saatnya." Maka Umar berkata, "Hal yang sama pernah kudengar dari Rasulullah Saw."Ibnu Murdawaih meriwayatkannya

dari Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, dari Abdan ibnu Muhammad Al-Marwazi, dari Hisyam ibnu Ammar dengan lafaz yang sama.Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula dengan lafaz yang Lain dari jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Imran, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Farukh, telah menceritakan kepada kami Nafi' Abu Hurmuz,

telah menceritakan kepada kami Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa seorang lelaki membacakan ayat ini di hadapan Khalifah Umar, yaitu firman-Nya: Setiap kali kulit mereka hangus. (An-Nisa: 56), hingga akhir ayat.

Maka Umar berkata, "Ulangi lagi bacaanmu untukku," saat itu di tempat tersebut terdapat Ka'b. Maka Ka'b berkata, "Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai tafsir ayat ini, aku pernah membacanya sebelum masuk Islam."

Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Umar berkata, "Hai Ka'b, coba sebutkan. Jika yang kamu sebutkan itu sama dengan apa yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw., maka aku membenarkanmu (percaya kepadamu);

dan jika tidak, maka kami tidak menganggapnya." Ka'b menjawab, "Sesungguhnya aku telah membacanya sebelum masuk Islam, yaitu setiap kali kulit mereka hangus, maka Kami gantikan dengan kulit yang lain dalam satu saat

sebanyak seratus dua puluh satu kali gantian." Maka Umar berkata, "Hal yang sama pernah kudengar dari Rasulullah Saw."Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, telah disebutkan di dalam kitab yang terdahulu bahwa kulit seseorang di antara mereka

tebalnya empat puluh hasta, gigi mereka panjangnya empat puluh hasta, dan perut mereka saking besarnya seandainya ditaruh di dalamnya sebuah gunung, niscaya dapat memuatnya. Apabila api neraka membakar hangus kulit mereka, maka kulit itu diganti lagi dengan kulit yang lain. Di dalam hadis lain disebutkan hal yang lebih jelas daripada ini.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى الطَّوِيلُ، عَنْ أَبِي يَحْيَى الْقَتَّاتِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَعْظُمُ أَهْلُ النَّارِ فِي النَّارِ، حَتَّى إِنَّ بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِ أَحَدِهِمْ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةَ سَبْعِمِائَةِ عَامٍ، وَإِنَّ غِلَظَ جِلْدِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا، وَإِنَّ ضِرْسَهُ مِثْلَ أُحُدٍ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Abu Yahya At-Tawil, dari Abu Yahya Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tubuh ahli neraka

di dalam neraka menjadi besar, hingga saking besarnya jarak antara bagian bawah telinga seseorang di antara mereka sampai ke pundaknya sama dengan jarak perjalanan seratus tahun. Dan sesungguhnya tebal kulitnya adalah

tujuh puluh hasta, dan sesungguhnya besar gigi kunyahnya adalah seperti Bukit Uhud.Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid dari segi sanad ini.Menurut pendapat Lain, yang dimaksud dengan firman-Nya: Setiap kali kulit

mereka hangus. (An-Nisa: 56) Yakni baju-baju kurung mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Tetapi pendapat ini lemah, mengingat bertentangan dengan makna lahiriah ayat. Firman Allah Swt.:


وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ خالِدِينَ فِيها أَبَداً


Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya. (An-Nisa: 57)

Hal ini menceritakan perihal tempat kembali orang-orang yang berbahagia di dalam surga 'Adn yang di dalamnya mengalir sungai-sungai di semua lembahnya, dan berbagai tempatnya menurut apa yang mereka kehendaki

dan di mana pun yang mereka kehendaki, sedangkan mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya; mereka tidak akan pindah, tidak akan dipindahkan, serta tidak ingin pindah darinya. Firman Allah Swt.:


لَهُمْ فِيها أَزْواجٌ مُطَهَّرَةٌ


mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang suci. (An-Nisa: 57)Yaitu suci dari haid, nifas, dan segala penyakit, akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat yang kurang. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud ialah suci

dari semua kotoran dan penyakit. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Hasan, Ad-Dahhak, An-Nakha'i, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi.Mujahid mengatakan makna yang dimaksud ialah suci dari air seni, haid, dahak, ludah, mani, dan anak

(yakni tidak beranak).Qatadah mengatakan, makna yang dimaksud ialah suci dari penyakit, dosa-dosa, dan tiada haid serta tiada beban.Firman Alah Swt.:


وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا


dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (An-Nisa: 57)Yakni naungan yang teduh, rindang, wangi lagi indah sekali.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ -وَحَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا ابْنُ جَعْفَرٍ -قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الضَّحَّاكِ يُحَدِّثُ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ فِي الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لَا يَقْطَعُهَا، شَجَرَةُ الْخُلْدِ"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Ja'far; keduanya mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ad-Dahhak menceritakan hadis berikut dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah

pohon —bila seorang yang berkendaraan menempuh sepanjang naungannya selama seratus tahun, masih belum melewatinya— yaitu pohon khuldi.

Surat An-Nisa |4:57|

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ ۖ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلًّا ظَلِيلًا

wallażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati sanudkhiluhum jannaatin tajrii min taḥtihal-an-haaru khoolidiina fiihaaa abadaa, lahum fiihaaa azwaajum muthohharotuw wa nudkhiluhum zhillan zholiilaa

Ada pun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.

But those who believe and do righteous deeds - We will admit them to gardens beneath which rivers flow, wherein they abide forever. For them therein are purified spouses, and We will admit them to deepening shade.

Tafsir
Jalalain

(Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir anak-anak sungai; kekal mereka di sana untuk selama-lamanya.

Mereka di dalamnya mempunyai istri-istri yang suci) dari haid dan dari segala kotoran (dan Kami masukkan mereka ke tempat yang senantiasa teduh berkepanjangan)

artinya tidak diganggu oleh sinar matahari yang tiada lain dari naungan surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 57 |

Penjelasan ada di ayat 56

Surat An-Nisa |4:58|

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

innalloha ya`murukum an tu`addul-amaanaati ilaaa ahlihaa wa iżaa ḥakamtum bainan-naasi an taḥkumuu bil-'adl, innalloha ni'immaa ya'izhukum bih, innalloha kaana samii'am bashiiroo

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.

Indeed, Allah commands you to render trusts to whom they are due and when you judge between people to judge with justice. Excellent is that which Allah instructs you. Indeed, Allah is ever Hearing and Seeing.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat) artinya kewajiban-kewajiban yang dipercayakan dari seseorang (kepada yang berhak menerimanya) ayat ini turun,

ketika Ali r.a. hendak mengambil kunci Kakbah dari Usman bin Thalhah Al-Hajabi penjaganya secara paksa yakni ketika Nabi saw. datang ke Mekah pada tahun pembebasan.

Usman ketika itu tidak mau memberikannya lalu katanya, "Seandainya saya tahu bahwa ia Rasulullah tentulah saya tidak akan menghalanginya.

" Maka Rasulullah saw. pun menyuruh mengembalikan kunci itu padanya seraya bersabda, "Terimalah ini untuk selama-lamanya tiada putus-putusnya!"

Usman merasa heran atas hal itu lalu dibacakannya ayat tersebut sehingga Usman pun masuk Islamlah. Ketika akan meninggal kunci itu diserahkan kepada saudaranya Syaibah lalu tinggal pada anaknya.

Ayat ini walaupun datang dengan sebab khusus tetapi umumnya berlaku disebabkan persamaan di antaranya (dan apabila kamu mengadili di antara manusia) maka Allah menitahkanmu (agar menetapkan hukum dengan adil.

Sesungguhnya Allah amat baik sekali) pada ni`immaa diidgamkan mim kepada ma, yakni nakirah maushufah artinya ni`ma syaian atau sesuatu yang amat baik (nasihat yang diberikan-Nya kepadamu)

yakni menyampaikan amanat dan menjatuhkan putusan secara adil. (Sesungguhnya Allah Maha Mendengar) akan semua perkataan (lagi Maha Melihat) segala perbuatan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 58 |

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Di dalam hadis Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"أَدِّ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ"


Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang berkhianat kepadamu.Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab sunan. Makna hadis ini umum mencakup semua jenis

amanat yang diharuskan bagi manusia menyampaikannya.Amanat tersebut antara lain yang menyangkut hak-hak Allah Swt. atas hamba-hamba-Nya, seperti salat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal

yang dipercayakan kepada seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya. Juga termasuk pula hak-hak yang menyangkut hamba-hamba Allah sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, seperti semua titipan dan lain-lainnya

yang merupakan subjek titipan tanpa ada bukti yang menunjukkan ke arah itu. Maka Allah Swt. memerintahkan agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang tidak melakukan hal tersebut di dunia,

maka ia akan dituntut nanti di hari kiamat dan dihukum karenanya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"لَتُؤَدَّنَّ الْحُقُوقُ إِلَى أَهْلِهَا، حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ"


Sesungguhnya semua hak itu benar-benar akan disampaikan kepada pemiliknya. hingga kambing yang tidak bertanduk diperintahkan membalas terhadap kambing yang bertanduk (yang dahulu di dunia pernah menyeruduknya).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan,

"Sesungguhnya syahadat itu menghapus semua dosa kecuali amanat." Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa di hari kiamat kelak seseorang diajukan (ke hadapan peradilan Allah). Jika lelaki itu gugur di jalan Allah, dikatakan kepadanya,

"Tunaikanlah amanatmu." Maka lelaki itu menjawab, "Bagaimana aku akan menunaikannya, sedangkan dunia telah tiada?" Maka amanat menyerupakan dirinya dalam bentuk sesuatu yang terpadat di dalam dasar neraka Jahannam.

Maka lelaki itu turun ke dasar neraka, lalu memikulnya di atas pundaknya. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa setiap kali ia mengangkat amanat itu, maka amanat itu terjatuh dari pundaknya, lalu ia pun ikut terjatuh ke dasar neraka;

begitulah selama-lamanya. Zazan mengatakan bahwa lalu ia datang menemui Al-Barra ibnu Azib dan menceritakan hal tersebut kepada Al-Barra. Maka Al-Barra mengatakan, "Benarlah apa yang dikatakan oleh saudaraku."

Lalu ia membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan

dengan makna ayat ini, bahwa amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka.Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini umum pengertiannya

menyangkut bagi orang yang berbakti dan orang yang durhaka.Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka mengerjakannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah mengatakan,

"Termasuk ke dalam pengertian amanat ialah memelihara farji bagi seorang wanita."Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa wanita termasuk amanat yang menyangkut antara kamu dan orang lain.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Termasuk ke dalam pengertian amanat ini ialah nasihat sultan kepada kaum wanita,

yakni pada hari raya.Kebanyakan Mufassirin menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah. Nama Abu Talhah ialah Abdullah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar ibnu Qusai ibnu

Kitab Al-Qurasyi Al-Abdari, pengurus Ka'bah. Dia adalah saudara sepupu Syaibah ibnu Usman ibnu Abu Talhah yang berpindah kepadanya tugas pengurusan Ka'bah hingga turun-temurun ke anak cucunya sampai sekarang.

Usman yang ini masuk Islam dalam masa perjanjian gencatan senjata antara Perjanjian Hudaibiyah dan terbukanya kota Mekah. Saat itu ia masuk Islam bersama Khalid ibnul Walid dan Amr ibnul As. Pamannya bernama

Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah, ia memegang panji pasukan kaum musyrik dalam Perang Uhud, dan terbunuh dalam peperangan itu dalam keadaan kafir.Sesungguhnya kami sebutkan nasab ini tiada lain karena kebanyakan Mufassirin

kebingungan dengan nama ini dan nama itu (yakni antara Usman ibnu Abu Talhah pengurus Ka'bah dan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah yang mati kafir dalam Perang Uhud).Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Usman tersebut

ialah ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah dari tangannya pada hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian Rasulullah Saw. mengembalikan kunci itu kepadanya (setelah ayat ini diturunkan).Muhammad ibnu Ishaq mengatakan

sehubungan dengan perang kemenangan atas kota Mekah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ketika Rasulullah Saw. turun di Mekah,

semua orang tenang. Maka beliau Saw. keluar hingga sampai di Baitullah, lalu melakukan tawaf di sekelilingnya sebanyak tujuh kali dengan berkendaraan, dan beliau mengusap rukun Hajar Aswad dengan tongkat yang berada di tangannya.

Seusai tawaf, beliau memanggil Usman ibnu Talhah, lalu mengambil kunci pintu Ka'bah darinya. Kemudian pintu Ka'bah dibukakan untuk Nabi Saw., lalu Nabi Saw. masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam beliau melihat patung burung merpati

yang terbuat dari kayu, maka beliau mematahkan patung itu dengan tangannya, lalu membuangnya. Setelah itu beliau berhenti di pintu Ka'bah, sedangkan semua orang dalam keadaan tenang dan diam dengan penuh hormat kepada Nabi Saw.;

semuanya berada di masjid.Ibnu Ishaq mengatakan bahwa salah seorang Ahlul Ilmi telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw. bersabda ketika berdiri di depan pintu Ka'bah:


«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، أَلَا كُلُّ مَأْثُرَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ مَالٍ يُدْعَى فَهُوَ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ وَسِقَايَةَ الْحَاجِّ»


Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia telah menunaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, dan telah menolong hamba-Nya dan telah mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian. Ingatlah, semua dendam

atau darah atau harta yang didakwakan berada di bawah kedua telapak kakiku ini, kecuali jabatan Sadanatul Ka'bah (pengurus Ka'bah) dan Siqayalut Haj (pemberi minum jamaah haji).Ibnu Ishaq melanjutkan kisah hadis sehubungan

dengan khotbah Nabi Saw. pada hari itu, hingga ia mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah Saw. duduk di masjid. Maka menghadaplah kepadanya Ali ibnu Abu Talib seraya membawa kunci pintu Ka'bah. Lalu Ali berkata, "Wahai Rasulullah,

serahkan sajalah tugas ini kepada kami bersama jabatan siqayah, semoga Allah melimpahkan salawat kepadamu."Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Di manakah Usman ibnu Talhah?" Lalu Usman dipanggil. Setelah ia menghadap, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:


"هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمُ يَوْمُ وَفَاءٍ وَبِرٍّ"


Inilah kuncimu, hai Usman, hari ini adalah hari penyampaian amanat dan kebajikan.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij sehubungan

dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah. Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah darinya, lalu beliau masuk ke dalam Ka'bah; hal ini terjadi pada hari kemenangan atas kota Mekah.

Setelah itu beliau Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membacakan ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.

Lalu Rasulullah Saw. memangggil Usman dan menyerahkan kepadanya kunci tersebut.Ibnu Juraij mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian

menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Semoga Allah menjadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Aku tidak pernah mendengar beliau membaca ayat ini sebelumnya."

Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Az-Zunji-ibnu Khalid, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Nabi Saw. menyerahkan kunci pintu Ka'bah kepada Usman

seraya berkata, "Bantulah dia oleh kalian (dalam menjalankan tugasnya sebagai hijabatul bait)." Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah

menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, beliau memanggil Usman ibnu Talhah. Setelah Usman menghadap, beliau bersabda, "Berikanlah kunci itu

kepadaku." Lalu Usman ibnu Talhah mengambil kunci itu untuk diserahkan kepada Nabi Saw. Ketika ia mengulurkan tangannya kepada Nabi Saw., maka Al-Abbas datang menghampirinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku

menjadi tebusanmu, berikanlah jabatan sadanah ini bersama jabatan siqayah kepadaku." Maka Usman menarik kembali tangannya, dan Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Usman, serahkanlah kunci itu kepadaku." Maka Usman mengulurkan

tangannya untuk menyerahkan kunci. Tetapi Al-Abbas mengucapkan kata-katanya yang tadi, dan Usman kembali menarik tangannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Hai Usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian,

serahkanlah kunci itu." Maka Usman berkata, "Terimalah dengan amanat dari Allah." Rasulullah Saw. berdiri dan membuka pintu Ka'bah, dan di dalamnya beliau menjumpai patung Nabi Ibrahim a.s. sedang memegang piala yang biasa dipakai untuk mengundi. Maka Rasulullah Saw. bersabda:


«مَا لِلْمُشْرِكِينَ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، وَمَا شَأْنُ إِبْرَاهِيمَ وَشَأْنُ الْقِدَاحِ»


Apakah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini, semoga Allah melaknat mereka, dan apakah kaitannya antara Nabi Ibrahim dengan piala ini?Kemudian Nabi Saw. meminta sebuah panci besar yang berisikan air, lalu beliau mengambil air

itu dan memasukkan piala itu ke dalamnya berikut patung tersebut. Lalu beliau mengeluarkan maqam Ibrahim dari dalam Ka'bah, kemudian menempelkannya pada dinding Ka'bah. Pada mulanya maqam Ibrahim ditaruh di dalam Ka'bah. Setelah itu beliau bersabda:


«يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذِهِ الْقِبْلَةُ»


Hai manusia, inilah kiblat! Selanjutnya Rasulullah Saw. keluar, lalu melakukan tawaf di Ka'bah sekali atau dua kali keliling. Menurut apa yang disebutkan oleh pemilik kitab Bardul Miftah, setelah itu turunlah Malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah Saw.

membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.Demikian menurut riwayat yang terkenal, yang menyebutkan bahwa ayat ini

diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pada garis besarnya tidak memandang apakah ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, makna ayat adalah umum. Karena itulah Ibnu Abbas

dan Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini menyangkut orang yang berbakti dan orang yang durhaka. Dengan kata lain, bersifat umum merupakan perintah terhadap semua orang.Firman Allah Swt.:


وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ


dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (An-Nisa: 58)Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil.

Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara manusia. Di dalam sebuah hadis disebutkan:


"إِنِ اللَّهَ مَعَ الْحَاكِمِ مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ"


Sesungguhnya Allah selalu bersama hakim selagi ia tidak aniaya; apabila ia berbuat aniaya dalam keputusannya, maka Allah menyerahkan dia kepada dirinya sendiri (yakni menjauh darinya).Di dalam sebuah atsar disebutkan:


«عَدْلُ يَوْمٍ كَعِبَادَةِ أَرْبَعِينَ سَنَةً»


Berbuat adil selama sehari lebih baik daripada melakukan ibadah empat puluh tahun.Firman Allah Swt.:


إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ


Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. (An-Nisa: 58)Allah memerintahkan kepada kalian untuk menyampaikan amanat-amanat tersebut dan memutuskan hukum dengan adil di antara manusia

serta lain-lainnya yang termasuk perintah-perintah-Nya dan syariat-syariat-Nya yang sempurna lagi agung dan mencakup semuanya. Firman Allah Swt.:


إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً


Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)Maha mendengar semua ucapan kalian lagi Maha Melihat semua perbuatan kalian.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُقْرِئُ هَذِهِ الْآيَةَ {سَمِيعًا بَصِيرًا} يَقُولُ: بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair,

dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw. sedang membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58) Lalu beliau Saw. bersabda: Maha Melihat segala sesuatu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Al-Muqri (yakni Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Harmalah (yakni Ibnu Imran),

bahwa At-Tajibi Al-Masri pernah menceritakan bahwa dia mendengar hadis ini dari Yunus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)

Abu Hurairah meletakkan jari jempolnya pada telinganya, sedangkan jari yang berikutnya ia letakkan pada matanya, lalu ia berkata bahwa demikianlah yang pernah ia lihat dari Rasulullah Saw. ketika membaca ayat ini, lalu beliau Saw.

meletakkan kedua jarinya pada kedua anggota tersebut (telinga dan mata). Abu Zakaria mengatakan bahwa Al-Muqri memperagakannya kepada kami. Kemudian Abu Zakaria meletakkan jari jempolnya yang kanan pada mata kanannya

dan jari berikutnya pada telinga kanannya. Lalu ia mengatakan, "Al-Muqri memperagakan seperti ini kepada kami."Imam Abu Daud, Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. dan Ibnu Murdawaih

di dalam kitab tafsimya telah meriwayatkan melalui hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.Abu Yunus yang disebutkan di dalam sanad hadis ini adalah maula Abu Hurairah r.a., nama aslinya adalah Sulaim ibnu Jubair.

Surat An-Nisa |4:59|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

yaaa ayyuhallażiina aamanuuu athii'ulloha wa athii'ur-rosuula wa ulil-amri mingkum, fa in tanaaza'tum fii syai`in fa rudduuhu ilallohi war-rosuuli ing kuntum tu`minuuna billaahi wal-yaumil-aakhir, żaalika khoiruw wa aḥsanu ta`wiilaa

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur´an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

O you who have believed, obey Allah and obey the Messenger and those in authority among you. And if you disagree over anything, refer it to Allah and the Messenger, if you should believe in Allah and the Last Day. That is the best [way] and best in result. [...]

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta pemegang-pemegang urusan) artinya para penguasa (di antaramu) yakni jika mereka menyuruhmu agar menaati Allah dan Rasul-Nya.

(Dan jika kamu berbeda pendapat) atau bertikai paham (tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah) maksudnya kepada kitab-Nya (dan kepada Rasul) sunah-sunahnya;

artinya selidikilah hal itu pada keduanya (yakni jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Demikian itu) artinya mengembalikan pada keduanya (lebih baik) bagi kamu.

daripada bertikai paham dan mengandalkan pendapat manusia (dan merupakan rujukan yang sebaik-baiknya). Ayat berikut ini turun tatkala terjadi sengketa di antara seorang Yahudi dengan seorang munafik.

Orang munafik ini meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka sedangkan Yahudi meminta kepada Nabi saw. lalu kedua orang yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi saw.

yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya.

Kata Umar kepada si munafik, "Benarkah demikian" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 59 |

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij, dari Ya'la ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan

dengan firman-Nya: taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh

Rasulullah Saw. untuk memimpin suatu pasukan khusus.Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya, kecuali Imam Ibnu Majah, melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A'war. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali melalui hadis Ibnu Juraij.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً، وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَلَمَّا خَرَجُوا وَجَد عَلَيْهِمْ فِي شَيْءٍ. قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ: أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: اجْمَعُوا لِي حَطَبًا. ثُمَّ دَعَا بِنَارٍ فَأَضْرَمَهَا فِيهِ، ثُمَّ قَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَتَدْخُلُنَّهَا. [قَالَ: فَهَمَّ الْقَوْمُ أَنْ يَدْخُلُوهَا] قَالَ: فَقَالَ لَهُمْ شَابٌّ مِنْهُمْ: إِنَّمَا فَرَرْتُمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَلَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَلْقَوْا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَمَرَكُمْ أَنْ تَدْخُلُوهَا فَادْخُلُوهَا. قَالَ: فَرَجَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ لَهُمْ: "لَوْ دَخَلْتُمُوهَا مَا خَرَجْتُمْ مِنْهَا أَبَدًا؛ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Sa'd ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan suatu pasukan khusus,

dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari kalangan Ansar. Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka, "Bukankah Rasulullah Saw.

telah memerintahkan kepada kalian untuk taat kepadaku?" Mereka menjawab, "Memang benar." Lelaki Ansar itu berkata, "Kumpulkanlah kayu bakar buatku." Setelah itu si lelaki Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar.

Selanjutnya lelaki Ansar berkata, "Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu." Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, "Sesungguhnya jalan keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah. Karena itu,

kalian jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah. Jika Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah." Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal itu kepadanya.

Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka: Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا نَافِعٌ، عَنْ عَبْدِ الله بن عمر، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ".


Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan.Dari Ubadah ibnus Samit, "Kami bersumpah setia kepada Rasulullah Saw. untuk tunduk patuh dalam semua keadaan, baik dalam keadaan semangat ataupun

dalam keadaan malas, dalam keadaan sulit ataupun dalam keadaan mudah, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan kami tidak akan merebut urusan dari yang berhak menerimanya." Rasulullah Saw. bersabda:


«إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ اللَّهِ بُرْهَانٌ»


Terkecuali jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan di kalangan kalian, dan ada bukti dari Allah mengenainya.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.Di dalam hadis yang lain, dari Anas, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنَّ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»


Tunduk dan patuhlah kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyah yang kepalanya seperti zabibah (anggur kering).Hadis riwayat Imam Bukhari.Dari Abu Hurairah r.a. disebutkan:


أَوْصَانِي خَلِيلِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدَّع الْأَطْرَافِ


Kekasihku (Nabi Saw.) telah mewasiatkan kepadaku agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyah yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa).Hadis riwayat Imam Muslim.Dari Ummul Husain. disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan dalam khotbah haji wada'-nya:


«وَلَوِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبَدٌ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، اسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا»


Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.Hadis riwayat Imam Muslim. Menurut lafaz lain yang juga dari Imam Muslim disebutkan:


«عَبْدًا حَبَشِيًّا مَجْدُوعًا»


budak Habsyah yang tuna daksa (cacat anggota tubuhnya).


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ الطُّوسِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ، فَيَلِيكُمُ الْبَرُّ بِبِرِّهِ، وَيَلِيكُمُ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، وَصَلُّوا وَرَاءَهُمْ، فَإِنْ أحسنوا فلكم ولهم وإن أساءوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Muslim At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Muhammad ibnu Urwah, dari Hisyam ibnu Urwah,

dari Abu Saleh As-Simman, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Kelak sesudahku kalian akan diperintah oleh para pemimpin, maka ada pemimpin yang bertakwa yang memimpin kalian dengan ketakwaannya,

dan ada pemimpin durhaka yang memimpin kalian dengan kedurhakaannya. Maka tunduk dan patuhlah kalian kepada mereka dalam semua perkara yang sesuai dengan kebenaran, dan bantulah mereka. Jika mereka berbuat baik,

maka kebaikannya bagi kalian dan mereka. Dan jika mereka berbuat buruk, maka baik bagi kalian dan buruk bagi mereka.Dari Abu Hurairah r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: "أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَعْطَوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ"


Dahulu umat Bani Israil diperintah oleh nabi-nabi. Manakala seorang nabi meninggal dunia, maka digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan kelak akan ada para khalifah yang banyak.

Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami?" Rasulullah Saw. menjawab: Tunaikanlah baiat orang yang paling pertama, lalu yang sesudahnya; dan berikanlah kepada mereka haknya,

karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka atas kepemimpinannya.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.Dari Ibnu Abbas r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«من رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»


Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu ia mati,

melainkan ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.Dari Ibnu Umar r.a. Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»


Barang siapa yang mencabut janji setianya, maka kelak ia akan menghadap kepada Allah tanpa ada yang membelanya. Dan barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan pada pundaknya tidak ada suatu baiat pun, maka ia mati

dalam keadaan mati Jahiliah. Hadis riwayat Imam Muslim.Imam Muslim meriwayatkan pula dari Abdur Rahman ibnu Abdu Rabil Ka'bah yang menceritakan hadis berikut:


دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، وَالنَّاسُ حَوْلَهُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ، فَأَتَيْتُهُمْ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ، وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضل، وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَره إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ. فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًا عَلَيْهِ أَنْ يَدُل أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا، وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكرونها، وَتَجِيءُ فِتَنٌ يَرفُق بعضُها بَعْضًا، وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِي، ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ هَذِهِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ، وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُق الْآخَرِ". قَالَ: فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقُلْتُ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَهْوَى إِلَى أُذُنَيْهِ وَقَلْبِهِ بِيَدَيْهِ وَقَالَ: سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ وَوَعَاهُ قَلْبِي، فَقُلْتُ لَهُ: هَذَا ابْنُ عَمِّكَ مُعَاوِيَةُ يَأْمُرُنَا أَنْ نَأْكُلَ أَمْوَالَنَا بَيْنَنَا بِالْبَاطِلِ، وَنَقْتُلَ أَنْفُسَنَا، وَاللَّهُ تَعَالَى يَقُولُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} [النِّسَاءِ:29] قَالَ: فَسَكَتَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ: أَطِعْهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَاعْصِهِ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ


ia masuk ke dalam masjid, dan tiba-tiba ia menjumpai Abdullah ibnu Amr ibnul As sedang duduk di bawah naungan Ka'bah dan di sekelilingnya terdapat banyak orang yang berkumpul mendengarkannya. Lalu aku (Abdur Rahman) datang kepada

mereka dan bergabung duduk dengan mereka. Maka Abdullah ibnu Amr ibnul As menceritakan hadis berikut: Kami (para sahabat) pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, lalu kami turun istirahat di suatu tempat.

Maka di antara kami ada orang-orang yang mempersiapkan kemahnya, ada pula yang berlatih menggunakan senjatanya, dan di antara kami ada orang-orang yang sibuk mengurus unta-unta kendaraannya. Tiba-tiba juru seru Rasulullah Saw.

menyerukan, "Salat berjamaah!" Maka kami berkumpul kepada Rasulullah Saw. dan beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan diwajibkan baginya memberi petunjuk kepada umatnya tentang kebaikan

yang ia ketahui, dan memperingatkan kepada mereka tentang keburukan yang ia ketahui. Dan sesungguhnya ketenteraman umat ini dijadikan pada permulaannya (generasi pertamanya), dan kelak malapetaka akan menimpa akhir dari umat ini,

juga akan terjadi banyak perkara yang kalian ingkari. Fitnah-fitnah datang menimpa mereka secara beriringan. Suatu fitnah (cobaan) datang, lalu seorang mukmin berkata, "Inilah kebinasaanku," kemudian fitnah itu lenyap,

tetapi disusul lagi oleh fitnah yang lain. Maka orang mukmin berkata, "Fitnah ini datang lagi menyusul fitnah lainnya." Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ketika maut datang

menjemputnya ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan hendaklah ia memberikan kepada orang lain hal-hal yang ia suka bila diberikan kepada dirinya. Barang siapa yang berbaiat (berjanji setia) kepada seorang imam,

lalu si imam memberikan kepadanya apa yang dijanjikannya dan apa yang didambakan hatinya, maka hendaklah ia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Dan jika datang orang lain yang hendak menyainginya (merebutnya),

maka penggallah leher orang lain itu. Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah melanjutkan kisahnya, "Lalu aku mendekat kepadanya (Abdullah ibnu Amr ibnul As) dan kukatakan kepadanya, 'Aku meminta kepadamu, demi Allah,

apakah engkau telah mendengar hadis ini langsung dari Rasulullah Saw.?' Maka Ibnu Amr mengisyaratkan dengan kedua tangannya ditujukan ke arah kedua telinga dan hatinya seraya berkata, 'Aku telah mendengarnya dengan kedua

telingaku ini, lalu dihafal baik-baik oleh hatiku'." Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah berkata kepadanya, "Ini anak pamanmu (yaitu Mu'awiyah). Dia memerintahkan kepada kita memakan harta di antara kita dengan cara yang batil,

dan sebagian dari kita membunuh sebagian yang lain, padahal Allah Swt. telah berfirman: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang balil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian' (An-Nisa: 29)." Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka'bah melanjutkan kisahnya, bahwa

Ibnu Amr diam sesaat, tidak menjawab, kemudian berkata, "Taatilah dia bila memerintahkan taat kepada Allah, dan durhakailah dia bila memerintahkan durhaka kepada Allah."Hadis-hadis yang menerangkan masalah ini cukup banyak jumlahnya.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، عَنِ السُّدِّيِّ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ} قَالَ: بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً عَلَيْهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ، وَفِيهَا عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ، فَسَارُوا قِبَلَ الْقَوْمِ الَّذِينَ يُرِيدُونَ، فَلَمَّا بَلَغُوا قَرِيبًا مِنْهُمْ عَرَّسوا، وَأَتَاهُمْ ذُو العُيَيْنَتَين فَأَخْبَرَهُمْ، فَأَصْبَحُوا قَدْ هَرَبُوا غَيْرَ رَجُلٍ. فَأَمَرَ أَهْلَهُ فَجَمَعُوا مَتَاعَهُمْ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِي فِي ظُلْمَةِ اللَّيْلِ، حَتَّى أَتَى عَسْكَرَ خَالِدٍ، فَسَأَلَ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ، إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ وَشَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِنَّ قَوْمِي لَمَّا سَمِعُوا بِكُمْ هَرَبُوا، وَإِنِّي بَقِيتُ، فَهَلْ إِسْلَامِي نَافِعِي غَدًا، وَإِلَّا هَرَبْتُ؟ قَالَ عَمَّارٌ: بَلْ هُوَ يَنْفَعُكَ، فَأَقِمْ. فَأَقَامَ، فَلَمَّا أَصْبَحُوا أَغَارَ خَالِدٌ فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا غَيْرَ الرَّجُلِ، فَأَخَذَهُ وَأَخَذَ مَالَهُ. فَبَلَغَ عَمَّارًا الْخَبَرُ، فَأَتَى خَالِدًا فَقَالَ: خَلِّ عَنِ الرَّجُلِ، فَإِنَّهُ قَدْ أَسْلَمَ، وَإِنَّهُ فِي أَمَانٍ مِنِّي. فقال خالد: وفيم أنت تُجِيرُ؟ فَاسْتَبَّا وَارْتَفَعَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجَازَ أَمَانَ عَمَّارٍ، وَنَهَاهُ أَنْ يُجِيرَ الثَّانِيَةَ عَلَى أَمِيرٍ. فَاسْتَبَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ خَالِدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَتْرُكُ هَذَا الْعَبْدَ الْأَجْدَعَ يَسُبُّني، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا خَالِدُ، لَا تَسُبَّ عَمَّارًا، فَإِنَّهُ مَنْ يَسُبُّ عَمَّارًا يَسُبَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يُبْغِضْهُ يُبْغِضْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَلْعَنْ عَمَّارًا يَلْعَنْهُ اللَّهُ" فَغَضِبَ عَمَّارٌ فَقَامَ، فَتَبِعَهُ خَالِدٌ حَتَّى أَخَذَ بِثَوْبِهِ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَرَضِيَ عَنْهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلَهُ: {أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ}


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: taatilah Allah

dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid, di dalam pasukan itu terdapat Ammar ibnu Yasir.

Mereka berjalan menuju tempat kaum yang dituju oleh mereka; dan ketika berada di dekat tempat tersebut, mereka turun beristirahat karena hari telah malam. Kemudian mereka diketahui oleh mata-mata kaum yang dituju mereka,

lalu mata-mata itu memberitahukan kepada kaumnya akan kedatangan mereka. Maka kaumnya pergi melarikan diri meninggalkan tempat mereka kecuali seorang lelaki yang memerintahkan kepada keluarganya agar semua barang mereka dikemasi.

Kemudian ia sendiri pergi dengan berjalan kaki di kegelapan malam hari menuju ke tempat pasukan Khalid ibnul Walid. Setelah ia sampai di tempat pasukan kaum muslim, maka ia menanyakan tentang Ammar ibnu Yasar, lalu ia datang kepadanya

dan mengatakan, "Hai Abul Yaqzan, sesungguhnya sekarang aku masuk Islam dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kaumku setelah mendengar kedatangan kalian;

mereka semuanya melarikan diri, tetapi aku tetap tinggal di tempat. Maka apakah Islamku ini dapat bermanfaat bagiku besok pagi nanti? Jika tidak, maka aku pun akan ikut lari." Ammar menjawab, "Tidak, bahkan Islammu dapat bermanfaat

untuk dirimu. Sekarang pulanglah, dan tetaplah di tempat tinggalmu!" Lalu lelaki itu pulang dan menetap di tempatnya. Pada keesokan harinya Khalid ibnul Walid datang menyerang, dan ternyata ia tidak menemukan seorang pun dari musuhnya

selain lelaki tadi, lalu Khalid menawannya dan mengambil semua hartanya. Ketika sampai berita itu kepada Ammar, maka Ammar datang kepada Khalid dan mengatakan kepadanya, "Lepaskanlah lelaki ini, karena sesungguhnya dia

telah masuk Islam, dan sesungguhnya dia telah berada di bawah perlindunganku." Khalid berkata, "Atas dasar apakah kamu memberi perlindungan?" Keduanya bertengkar, dan akhirnya keduanya melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw.

Maka Rasulullah Saw. memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya mengulangi perbuatannya lagi, yakni memberikan perlindungan tanpa seizin pemimpin pasukan. Keduanya masih terus berbalas caci-maki di hadapan Rasulullah Saw.

Maka Khalid berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau biarkan saja budak yang hina ini mencaciku?" Rasulullah Saw. menjawab: Hai Khalid, janganlah engkau mencaci Ammar, karena sesungguhnya barang siapa yang mencaci Ammar,

Allah membalas mencacinya; dan barang siapa yang membenci Ammar, Allah membalas membencinya; dan barang siapa yang melaknat Ammar, maka Allah membalas melaknatnya. Ammar masih dalam keadaan emosi. Maka ia bangkit dan pergi,

lalu diikuti oleh Khalid. Kemudian Khalid menarik bajunya dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya Ammar memaafkannya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur As-Saddi secara mursal. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Al-Hakam ibnu Zahir, dari As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas. Lalu ia mengetengahkan kisah yang semisal.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri yang terdapat di dalam firman-Nya: dan ulil amri di antara kalian.(An-Nisa: 59) Bahwa yang dimaksud adalah ahli fiqih dan ahli agama.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna firman-Nya: dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) adalah para ulama.Tetapi menurut makna lahiriah ayat —hanya Allah

yang lebih mengetahui— makna lafaz ini umum mencakup semua ulil amri dari kalangan pemerintah, juga para ulama. Allah Swt. telah berfirman:


لَوْلا يَنْهاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ


Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? (Al-Maidah: 63)


فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ


maka tanyakanlah oleh kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)Di dalam sebuah hadis sahih yang telah disepakati kesahihannya dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ، وَمَنْ أطاع أميري فقد أطاعني، ومن عصى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي»


Barang siapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah; barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada amirku, berarti ia taat kepadaku; dan barang siapa yang durhaka

terhadap amirku, berarti ia durhaka kepadaku.Nas-nas tersebut di atas merupakan dalil-dalil yang memerintahkan agar taat kepada ulama dan pemerintah. Karena itulah dalam surat ini disebutkan: Taatilah Allah. (An-Nisa: 59)

Yakni ikutilah ajaran Kitab (Al-Qur'an)-Nya. dan taatilah Rasul-(Nya). (An-Nisa: 59) Maksudnya, amalkanlah sunnah-sunnahnya. Dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Yaitu dalam semua perintahnya kepada kalian menyangkut masalah

taat kepada Allah, bukan durhaka kepada Allah; karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk bila menganjurkan untuk berbuat durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih yang mengatakan:


«إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ»


Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam masalah kebajikan.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا هُمَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَبِي مرابة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Ibnu Hurayyis, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi Saw.yang telah bersabda: Tidak ada ketaatan dalam maksiat terhadap Allah.Firman Allah Swt.:


فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ


Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). (An-Nisa: 59)Menurut Mujahid dan bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang mengatakan bahwa

makna yang dimaksud ialah mengembalikan hal tersebut kepada Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah Saw.Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan di antara manusia

menyangkut masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, hendaknya perselisihan mengenainya itu dikembalikan kepada penilaian Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Seperti yang disebut oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:


وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ


Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy-Syura: 10)Maka apa yang diputuskan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang dipersaksikan kesahihannya,

maka hal itu adalah perkara yang hak. Tiadalah sesudah perkara yang hak, melainkan hanya kebatilan belaka. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}


jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa: 59) Kembalikanlah semua perselisihan dan kebodohan itu kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, lalu carilah keputusan masalah yang kalian perselisihkan itu kepada keduanya.


{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}


jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.(An-Nisa: 59)Hal ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak menyerahkan keputusan hukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di saat berselisih pendapat,

dan tidak mau merujuk kepada keduanya, maka dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Firman Allah Swt.:


ذلِكَ خَيْرٌ


Yang demikian itu lebih Utama (bagi kalian). (An-Nisa: 59)Yakni menyerahkan keputusan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta merujuk kepada keduanya dalam menyelesaikan perselisihan pendapat merupakan hal yang lebih utama.


وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا


dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)Yaitu lebih baik akibat dan penyelesaiannya, menurut pendapat As-Saddi dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Sedangkan menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah lebih baik penyelesaiannya; apa yang dikatakan Mujahid ini lebih dekat kepada kebenaran.

Surat An-Nisa |4:60|

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

a lam taro ilallażiina yaz'umuuna annahum aamanuu bimaaa unzila ilaika wa maaa unzila ming qoblika yuriiduuna ay yataḥaakamuuu ilath-thooghuuti wa qod umiruuu ay yakfuruu bih, wa yuriidusy-syaithoonu ay yudhillahum dholaalam ba'iidaa

Tidaklah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Tagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.

Have you not seen those who claim to have believed in what was revealed to you, [O Muhammad], and what was revealed before you? They wish to refer legislation to Taghut, while they were commanded to reject it; and Satan wishes to lead them far astray.

Tafsir
Jalalain

(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengakui diri mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu;

mereka hendak bertahkim kepada tagut) artinya orang yang banyak berbuat kedurhakaan, yaitu Kaab bin Asyraf (padahal mereka sudah dititahkan untuk mengingkarinya)

dan tak akan memuliakan serta tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. (Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya) yakni dari kebenaran.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 60 |

Tafsir ayat 60-63

Allah Swt. ingkar terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, juga kepada para nabi terdahulu, padahal di samping itu ia berkeinginan dalam memutuskan semua perselisihan

merujuk kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam asbabun nuzul ayat ini. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar dan seorang lelaki dari kalangan Yahudi,

yang keduanya terlibat dalam suatu persengketaan. Lalu si lelaki Yahudi mengatakan, "Antara aku dan kamu Muhammad sebagai pemutusnya." Sedangkan si Lelaki Ansar mengatakan, "Antara aku dan kamu Ka'b ibnul Asyraf sebagai hakimnya."

Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang munafik dari kalangan orang-orang yang hanya lahiriahnya saja Islam, lalu mereka bermaksud mencari keputusan perkara kepada para hakim Jahiliah.

Dan menurut pendapat yang lainnya, ayat ini diturunkan bukan karena penyebab tersebut.Pada kesimpulannya makna ayat lebih umum daripada semuanya itu, yang garis besarnya mengatakan celaan terhadap orang yang menyimpang

dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, lalu ia menyerahkan keputusan perkaranya kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, yaitu kepada kebatilan. Hal inilah yang dimaksud dengan istilah tagut dalam ayat ini.

Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Mereka hendak berhakim kepada tagut. (An-Nisa: 60), hingga akhir ayat.Adapun firman Allah Swt.:


يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً


mereka (orang-orang munafik) menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa: 61)Dengan kata lain, mereka berpaling darimu dengan sikap menjauh sejauh-jauhnya,

seperti halnya sikap orang yang sombong terhadapmu. Sebagaimana yang digambarkan oleh Allah Swt. perihal kaum musyrik, melalui firman-Nya:


وَإِذا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنا عَلَيْهِ آباءَنا


Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Al-Baqarah: 170)Sikap mereka berbeda dengan sikap kaum mukmin yang disebut oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:


إِنَّما كانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنا وَأَطَعْنا


Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." (An-Nur: 51), hingga akhir ayat.Kemudian Allah Swt. berfirman dalam rangka mencela orang-orang munafik melalui firman-Nya:


فَكَيْفَ إِذا أَصابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِما قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ


Maka bagaimanakah halnya apabila mereka ditimpa sesuatu musibah karena perbuatan tangan mereka sendiri. (An-Nisa: 62)Yakni apakah yang akan dilakukan mereka apabila takdir menggiring mereka untuk mengangkatmu menjadi hakim mereka

dalam menanggulangi musibah-musibah yang menimpa mereka disebabkan dosa-dosa mereka sendiri, lalu mereka mengadukan hal tersebut kepadamu.


ثُمَّ جاؤُكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنا إِلَّا إِحْساناً وَتَوْفِيقاً


kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 62)Yaitu mereka meminta maaf kepadamu dan bersumpah,

"Kami tidak mau pergi mengadukan hal ini kepada selainmu dan meminta keputusan hukum kepada musuh-musuhmu, karena kami menginginkan penyelesaian yang baik dan keputusan yang sempurna." Dengan kata Lain, hal itu mereka utarakan

sebagai bahasa diplomasi dan menjilat, bukan atas dasar keyakinan mereka akan kebenaran dari keputusannya. Seperti yang diceritakan oleh Allah Swt. mengenai perihal mereka melalui firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:


فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشى - إلى قوله- فَيُصْبِحُوا عَلى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نادِمِينَ


Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana." (Al-Maidah: 52) sampai dengan firman-Nya:

Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (Al-Maidah: 52)Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Ahmad ibnu Yazid Al-Hauti, telah menceritakan kepada kami

Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Umar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu Abu Barzah Al-Aslami adalah seorang tukang ramal; dialah yang memutuskan peradilan di antara orang-orang Yahudi

dalam semua perkara yang diperselisihkan di kalangan mereka. Lalu kaum musyrik pun ikut-ikutan berhakim kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman

kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? (An-Nisa: 60) sampai dengan firman-Nya: kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. (An-Nisa: 62) Kemudian Allah Swt. berfirman:


أُولئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ ما فِي قُلُوبِهِمْ


Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. (An-Nisa: 63)Mereka adalah orang-orang munafik, Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, dan kelak Allah akan memberikan balasan terhadap

mereka atas hal tersebut. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah. Karena itu, serahkanlah urusan mereka kepada Allah, hai Muhammad, sebab Dia Mengetahui lahiriah mereka dan apa yang mereka sembunyikan. Dalam firman selanjutnya disebutkan:


{فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ}


Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka. (An-Nisa: 63) Maksudnya, janganlah kamu bersikap kasar terhadap kemunafikan yang ada di dalam hati mereka.


{وَعِظْهُمْ}


dan berilah mereka pelajaran. (An-Nisa: 63) Yakni cegahlah mereka dari kemunafikan dan kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka.


{وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا}


dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (An-Nisa: 63) Nasihatilah mereka dalam semua perkara yang terjadi antara kamu dengan mereka, yaitu dengan perkataan yang membekas dalam jiwa mereka lagi membuat mereka tercegah dari niat jahatnya.

Surat An-Nisa |4:61|

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

wa iżaa qiila lahum ta'aalau ilaa maaa anzalallohu wa ilar-rosuuli ro`aital-munaafiqiina yashudduuna 'angka shuduudaa

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul," (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu.

And when it is said to them, "Come to what Allah has revealed and to the Messenger," you see the hypocrites turning away from you in aversion.

Tafsir
Jalalain

(Dan apabila dikatakan kepada mereka, marilah kamu kembali kepada apa yang diturunkan Allah) dalam Alquran berupa hukum-hukum (dan kepada rasul) agar dapat mengadili kamu

(maka kamu lihat orang-orang munafik berpaling daripadamu) kepada yang lain (sejadi-jadinya.)

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 61 |

Penjelasan ada di ayat 60

Surat An-Nisa |4:62|

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

fa kaifa iżaaa ashoobat-hum mushiibatum bimaa qoddamat aidiihim ṡumma jaaa`uuka yaḥlifuuna billaahi in arodnaaa illaaa iḥsaanaw wa taufiiqoo

Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian."

So how [will it be] when disaster strikes them because of what their hands have put forth and then they come to you swearing by Allah, "We intended nothing but good conduct and accommodation."

Tafsir
Jalalain

(Maka betapa jadinya) dan apa yang akan mereka perbuat (jika mereka ditimpa oleh musibah) atau hukuman (disebabkan perbuatan tangan mereka) berupa perbuatan-perbuatan maksiat dan kekafiran,

apakah mereka mampu berpaling dan melarikan diri daripadanya Tentu saja tidak! (Kemudian mereka datang kepadamu) diathafkan kepada yashudduuna (sambil bersumpah atas nama Allah,

"Tidaklah kami kehendaki) dengan bertahkim kepada orang lain (kecuali penyelesaian) atau perdamaian (dan kerukunan) di antara dua pihak yang bermusuhan

dengan mengadakan pendekatan-pendekatan terhadap hukum dan bukan menyamarkan perkara yang benar."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 62 |

Penjelasan ada di ayat 60

Surat An-Nisa |4:63|

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

ulaaa`ikallażiina ya'lamullohu maa fii quluubihim fa a'ridh 'an-hum wa'izh-hum wa qul lahum fiii anfusihim qoulam baliighoo

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.

Those are the ones of whom Allah knows what is in their hearts, so turn away from them but admonish them and speak to them a far-reaching word.

Tafsir
Jalalain

(Mereka itu adalah orang-orang yang diketahui Allah isi hati mereka) berupa kemunafikan dan kedustaan mereka dalam mengajukan alasan (maka berpalinglah kamu dari mereka) dengan memberi mereka maaf

(dan berilah mereka nasihat) agar takut kepada Allah (serta katakanlah kepada mereka tentang) keadaan (diri mereka perkataan yang dalam) artinya yang berbekas

dan mempengaruhi jiwa,termasuk bantahan dan hardikan agar mereka kembali dari kekafiran.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 63 |

Penjelasan ada di ayat 60

Surat An-Nisa |4:64|

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

wa maaa arsalnaa mir rosuulin illaa liyuthoo'a bi`iżnillaah, walau annahum iż zholamuuu anfusahum jaaa`uuka fastaghfarulloha wastaghfaro lahumur-rosuulu lawajadulloha tawwaabar roḥiimaa

Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.

And We did not send any messenger except to be obeyed by permission of Allah. And if, when they wronged themselves, they had come to you, [O Muhammad], and asked forgiveness of Allah and the Messenger had asked forgiveness for them, they would have found Allah Accepting of repentance and Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Dan Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali untuk ditaati) segala yang diperintahkan dan diputuskannya (dengan izin Allah) dengan perintah-Nya; jadi bukan untuk ditentang atau didurhakai.

(Dan sekiranya mereka ketika menganiaya kepada diri mereka itu) dengan bertahkim kepada tagut (segera datang kepadamu) dengan bertobat (lalu memohon ampun kepada Allah dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka)

di sini terdapat peralihan arah pembicaraan demi meninggikan kedudukannya (tentulah akan mereka temui Allah Maha Penerima tobat) terhadap mereka (lagi Maha Penyayang) kepada mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 64 |

Tafsir ayat 64-65

Firman Allah Swt.:


وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطاعَ


Dan Kami ddak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati. (An-Nisa: 64)Artinya, kaum yang diutus kepada mereka seorang rasul diwajibkan taat kepadanya.Mengenai firman-Nya:


بِإِذْنِ اللَّهِ


dengan seizin Allah. (An-Nisa: 64)Menurut pendapat Mujahid, makna yang dimaksud ialah tiada seorang pun yang taat kepadanya kecuali dengan seizin-Ku. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang taat kepada rasul

kecuali orang yang telah Aku berikan kepadanya taufik untuk itu. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ


Dan sesungguhnya Allah lelah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.(Ali Imran: 152)Yakni atas perintah dari Allah dan berdasarkan takdir dan kehendak-Nya serta pemberian kekuasaan dari Allah kepada kalian untuk mengalahkan mereka. Firman Allah Swt.:


وَلَوْ أَنْهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ


Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya. (An-Nisa: 64), hingga akhir ayat.Melalui firman-Nya ini Allah memberikan bimbingan kepada orangorang durhaka yang berdosa, bila mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan kemaksiatan,

hendaknya mereka datang menghadap Rasul Saw., lalu memohon ampun kepada Allah di hadapannya dan meminta kepadanya agar mau memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Karena sesungguhnya jikalau mereka

melakukan hal tersebut, niscaya Allah menerima tobat mereka, merahmati mereka, dan memberikan ampunan bagi mereka. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:


{لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا}


tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 64)Sejumlah ulama —antara lain Syekh Abu Mansur As-Sabbag di dalam kitabnya Asy-Syamil— mengetengahkan kisah yang terkenal dari Al-Atabi

yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Saw., datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan, "Assalamu'alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah).

Aku telah mendengar Allah berfirman: 'Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,

tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang' (An-Nisa: 64).Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu

(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku."Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:


يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ ... فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ


Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya

terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi Saw., lalu beliau Saw. bersabda,


يَا عُتْبى، الحقْ الْأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ له


"Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!"Firman Allah Swt.:


فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيما شَجَرَ بَيْنَهُمْ


Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. (An-Nisa: 65)Allah Swt. bersumpah dengan menyebut diri-Nya Yang Mahamulia lagi Mahasuci,

bahwa tidaklah beriman seseorang sebelum ia menjadikan Rasul Saw. sebagai hakimnya dalam semua urusannya. Semua yang diputuskan oleh Rasul Saw. adalah perkara yang hak dan wajib diikuti lahir dan batin. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}


kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)Dengan kata lain, apabila mereka meminta keputusan hukum darimu,

maka mereka menaatinya dengan tulus ikhlas sepenuh hati mereka, dan dalam hati mereka tidak terdapat suatu keberatan pun terhadap apa yang telah engkau putuskan; mereka tunduk kepadanya secara lahir batin serta menerimanya

dengan sepenuhnya, tanpa ada rasa yang mengganjal, tanpa ada tolakan, dan tanpa ada sedikit pun rasa menentangnya. Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:


"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ"


Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian beriman sebelum keinginannya mengikuti keputusan yang telah ditetapkan olehku.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَة قَالَ: خَاصَمَ الزُّبَيْرُ رَجُلًا فِي شُرَيج مِنَ الحَرَّة، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اسْقِ يَا زُبير ثُمَّ أرْسل الْمَاءَ إِلَى جَارِكَ" فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّن وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: "اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ احْبِسِ الْمَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى الجدْر، ثُمَّ أَرْسِلِ الْمَاءَ إِلَى جَارِكَ" وَاسْتَوْعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ حَقّه فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ، حِينَ أَحْفَظَهُ الْأَنْصَارِيُّ، وَكَانَ أَشَارَ عَلَيْهِمَا بِأَمْرٍ لَهُمَا فِيهِ سَعَةٌ. قَالَ الزُّبَيْرُ: فَمَا أَحْسَبُ هَذِهِ الْآيَةَ إِلَّا نَزَلَتْ فِي ذَلِكَ: {فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ} الْآيَةَ.


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah yang telah menceritakan bahwa

Az-Zubair pernah bersengketa dengan seorang lelaki dalam masalah pengairan di lahan Harrah (Madinah). Maka Nabi Saw. bersabda: Hai Zubair, airilah lahanmu, kemudian salurkan airnya kepada lahan tetanggamu! Kemudian lelaki

yang dari kalangan Ansar itu berkata, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan demikian karena dia adalah saudara sepupumu." Maka roman wajah Rasulullah Saw. memerah (marah), kemudian bersabda lagi: Airilah lahanmu, hai Zubair,

lalu tahanlah airnya hingga berbalik ke arah tembok, kemudian alirkanlah ke lahan tetanggamu. Dalam keputusan ini Nabi Saw. menjaga hak Az-Zubair dengan keputusan yang gamblang karena orang Ansar tersebut menahan air itu. Nabi Saw.

memberikan saran demikian ketika keduanya melaporkan hal tersebut kepadanya, dan ternyata keputusannya itu mengandung keadilan yang merata. Az-Zubair mengatakan, "Aku merasa yakin ayat ini diturunkan berkenaan dengan

peristiwa tersebut." Yang dimaksud olehnya adalah firman Allah Swt. yang mengatakan: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. (An-Nisa: 65),

hingga akhir ayat.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini, yakni di dalam kitab tafsir, bagian kitab sahihnya, dengan melalui hadis Ma'mar. Dalam kitab yang membahas masalah minuman ia riwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij,

juga melalui Ma'mar. Sedangkan di dalam kitab yang membahas masalah suluh (perdamaian) ia meriwayatkannya melalui hadis Syu'aib ibnu Abu Hamzah. Ketiga-tiganya (yakni Ma'mar, Ibnu Juraij, dan Syu'aib) bersumber dari Az-Zuhri,

dari Urwah. Lalu Imam Bukhari mengetengahkan hadis ini. Menurut lahiriahnya hadis ini berpredikat mursal, tetapi secara maknawi berpredikat muttasil.Imam Ahmad meriwayatkannya melalui sanad ini, maka ia menyebutkan dengan jelas perihal ke-mursal-annya. Untuk itu ia mengatakan:


حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: أَنَّ الزُّبَيْرَ كَانَ يُحَدِّثُ: أَنَّهُ كَانَ يُخَاصِمُ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِرَاجِ الْحَرَّةِ، كَانَا يَسْقِيَانِ بِهَا كِلَاهُمَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ: "اسْقِ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ" فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟ فَتَلَوَّنَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: "اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ احْبِسِ الْمَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى الجَدْر" فَاسْتَوْعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ حَقَّهُ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ ذَلِكَ أَشَارَ عَلَى الزُّبَيْرِ بِرَأْيٍ أَرَادَ فِيهِ سَعَةً لَهُ وَلِلْأَنْصَارِيِّ، فَلَمَّا أَحْفَظَ الْأَنْصَارِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْعَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ حَقَّهُ فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ، قَالَ عُرْوَةُ: فَقَالَ الزُّبَيْرُ: وَاللَّهِ مَا أَحْسَبُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ إِلَّا فِي ذَلِكَ: {فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}


telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair; Az-Zubair pernah menceritakan hadis berikut kepadanya, bahwa dirinya pernah bersengketa

dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang pernah ikut Perang Badar, yaitu dalam m-salah pengairan lahan di Syarajul Harrah. Ketika keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda kepada Az-Zubair:

Siramilah lahanmu, kemudian alirkanlah airnya ke tetanggamu! Tetapi orang Ansar itu marah dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah karena ia saudara sepupumu?" Maka wajah Rasulullah Saw. memerah, kemudian beliau bersabda:

Airilah lahanmu, hai Zubair, kemudian tahanlah airnya hingga berbalik ke tembok Kali ini Nabi Saw. memperhatikan kepentingan Az-Zubair, padahal pada mulanya beliau memberikan saran kepada Az-Zubair suatu pendapat yang di dalamnya

mengandung keleluasaan bagi orang Ansar. Akan tetapi, setelah orang Ansar itu hanya mementingkan kepentingan dirinya, maka Rasulullah Saw. memberikan keputusan yang di dalamnya jelas terkandung pemeliharaan terhadap hak Az-Zubair.

Az-Zuhri mengatakan, "Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa Az-Zubair mengatakan, 'Demi Allah, aku yakin ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut'," yakni firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya)

tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima

dengan sepenuhnya. (An-Nisa: 65)Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadis ini dalam sanadnya terdapat mata rantai yang terputus antara Urwah dan ayahnya (yaitu Az-Zubair), karena sesungguhnya

Urwah belum pernah menerima hadis dari ayahnya.Tetapi dapat dipastikan bahwa Urwah mendengar hadis ini dari saudara lelakinya yang bernama Abdullah ibnuz Zubair, karena sesungguhnya Abu Muhammad alias Abdur Rahman ibnu Abu Hatim meriwayatkannya seperti itu dalam kitab tafsirnya.


حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ وَيُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ حَدَّثَهُ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ: أَنَّهُ خَاصَمَ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فِي شِرَاجٍ فِي الحَرة، كَانَا يَسْقِيَانِ بِهِ كِلَاهُمَا النَّخْلَ، فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: سَرِّح الْمَاءَ يَمُر. فَأَبَى عَلَيْهِ الزُّبَيْرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ" فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتك؟ فتلوَّن وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: "اسْقِ يَا زُبَيْرُ ثُمَّ احْبِسِ الْمَاءَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى الجَدْر" وَاسْتَوْعَى رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلزُّبَيْرِ حَقّه وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ ذَلِكَ أَشَارَ عَلَى الزُّبَيْرِ بِرَأْيٍ أَرَادَ فِيهِ السَّعَةَ لَهُ وَلِلْأَنْصَارِيِّ، فَلَمَّا أَحْفَظَ الْأَنْصَارِيُّ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْعَى لِلزُّبَيْرِ حَقَّهُ فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ فَقَالَ الزُّبَيْرُ: مَا أَحْسَبُ هَذِهِ الْآيَةَ إِلَّا فِي ذَلِكَ: {فَلا وَرَبِّكَ لَا يَؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}


Ibnu Abu Hatim menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Al-Lais dan Yunus, dari Ibnu Syihab, bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan

kepadanya bahwa saudaranya yang bernama Abdullah ibnuz Zubair pernah menceritakan hadis berikut dari ayahnya (yaitu Az-Zubair ibnul Awwam). Disebutkan bahwa Az-Zubair pernah bertengkar dengan seorang lelaki Ansar yang telah ikut

dalam Perang Badar bersama Nabi Saw. Lalu Az-Zubair mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah Saw. Masalah yang dipersengketakan mereka berdua adalah mengenai parit yang ada di Al-Harrah. Keduanya mengairi kebun kurmanya

dari parit tersebut. Orang Ansar itu berkata, "Lepaskanlah air parit itu biar mengaliri kebunnya." Tetapi Az-Zubair menolak. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Zubair, airilah kebunmu terlebih dahulu, kemudian kirimkanlah air itu untuk mengairi

tetanggamu! Orang Ansar itu salah tanggap dan marah, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan demikian karena dia adalah anak bibimu bukan?" Maka roman muka Rasulullah Saw. berubah marah, lalu bersabda: Airilah kebunmu,

hai Zubair, kemudian bendunglah airnya agar kembali lagi hulunya! Dalam keputusannya kali ini Rasulullah Saw. berpihak kepada Az-Zubair. Pada mulanya beliau Saw. sebelum ada sanggahan dari orang Ansar itu, berupaya untuk memelihara

hak keduanya dan memberikan keluasan bagi orang Ansar, juga bagi Az-Zubair. Tetapi setelah orang Ansar itu membandel, tidak mau tunduk kepada putusan Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. memihak kepentingan Az-Zubair

dalam keputusan berikutnya secara terang-terangan. Maka Az-Zubair berkata bahwa dia merasa yakin ayat berikut diturunkan berkenaan dengan kasusnya, yaitu firman Allah Swt.: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya)

tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang me¬reka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam had mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

(An-Nisa: 65)Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai melalui hadis Ibnu Wahb dengan lafaz yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya, begitu pula semua jamaah, melalui hadis Al-Lais dengan lafaz yang sama. Hadis ini dikategorikan

oleh murid-murid Al-Atraf ke dalam musnad Abdullah Ibnuz Zubair. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad, yaitu dimasukkan ke dalam musnad Abdullah ibnuz Zubair.Hal yang sangat aneh dari Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi ialah

dia meriwayatkan hadis ini melalui jalur keponakanku (yaitu Ibnu Syihab), dari pamannya, dari Urwah, dari Abdullah ibnuz Zubair, dari Az-Zubair, lalu ia menyebutkan hadis ini, kemudian mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih, padahal keduanya

(Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Kukatakan demikian karena sesungguhnya aku tidak mengetahui seorang pun yang menyandarkan sanad ini kepada Az-Zuhri dengan menyebutkan Abdullah ibnuz Zubair selain

keponakanku, sedangkan dia berpredikat daif.Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali Abu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami

Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Salamah (seorang lelaki dari kalangan keluarga Abu Salamah) yang menceritakan bahwa Az-Zubair pernah bersengketa dengan seorang lelaki di hadapan

Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memutuskan untuk kemenangan Az-Zubair. Kemudian lelaki itu berkata, "Sesungguhnya dia memutuskan untuk kemenangannya karena dia adalah saudara sepupunya." Lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman. (An-Nisa: 65), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Usman, telah menceritakan

kepada kami Abu Haiwah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman. (An-Nisa: 65)

Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Az-Zubair ibnul Awwam dan Hatib ibnu Abu Balta'ah; keduanya bersengketa dalam masalah air. Maka Nabi Saw. memutuskan agar air disiramkan ke tempat yang paling tinggi terlebih dahulu,

kemudian tempat yang terbawah. Hadis ini mursal, tetapi mengandung faedah, yaitu dengan disebutkannya nama lelaki Ansar tersebut secara jelas.Penyebab lain yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, berdasarkan riwayat yang garib jiddan (aneh sekali)


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قِرَاءَةً، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعة، عَنْ أَبِي الْأُسُودِ قَالَ: اخْتَصَمَ رَجُلَانِ إِلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فقضى بَيْنَهُمَا، فَقَالَ الَّذِي قُضِيَ عَلَيْهِ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْطَلِقَا إِلَيْهِ" فَلَمَّا أَتَيَا إِلَيْهِ قَالَ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، قَضَى لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا، فَقَالَ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ. فَرَدَّنَا إِلَيْكَ. فَقَالَ: أَكَذَاكَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ فَقَالَ عُمَرُ: مَكَانَكُمَا حَتَّى أَخْرُجَ إِلَيْكُمَا فَأَقْضِيَ بَيْنَكُمَا. فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا مُشْتَمِلًا عَلَى سَيْفِهِ، فَضَرَبَ الَّذِي قَالَ رُدَّنا إِلَى عُمَرَ فَقَتَلَهُ، وَأَدْبَرَ الْآخَرُ فَارًّا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَتَلَ عُمَر وَاللَّهِ صَاحِبِي، وَلَوْلَا أَنِّي أعجزتُه لَقَتَلَنِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا كُنْتُ أَظُنُّ أَنْ يَجْتَرِئَ عُمَر عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ" فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {فَلا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ} الْآيَةَ، فَهَدَرَ دَمَ ذَلِكَ الرَّجُلِ، وَبَرِئَ عُمَرُ مِنْ قَتْلِهِ، فَكَرِهَ اللَّهُ أَنْ يُسَنَّ ذَلِكَ بَعْدُ، فَقَالَ: {وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا}


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah, telah menceritakan kepada kami Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Al-Aswad yang menceritakan bahwa

ada dua orang lelaki mengadukan persengketaan yang terjadi di antara keduanya kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. memberikan keputusan peradilan yang seimbang di antara keduanya. Kemudian pihak yang dikalahkan mengatakan,

"kembalikanlah perkara kami ini kepada Umar ibnul Khattab." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Baiklah," lalu keduanya berangkat menuju tempat Umar ibnu Khattab. Ketika keduanya sampai pada Umar, maka lelaki yang mempunyai usul

tadi mengatakan, "Hai Ibnul Khattab, Rasulullah Saw. telah memutuskan perkara kami untuk kemenangan orang ini. Maka kukatakan, 'Kembalikanlah kami kepada Umar ibnul Khattab.' Maka beliau mengizinkan kami untuk meminta keputusan

hukum darimu." Umar bertanya, "Apakah memang demikian?" Si lelaki itu berkata, "Ya." Umar berkata, "Kalau demikian, tetaplah kamu berdua di tempatmu, hingga aku keluar menemuimu untuk memutuskan perkara di antara kamu berdua."

Maka Umar keluar menemui keduanya seraya menyandang pedangnya, lalu dengan serta-merta ia memukul pihak yang mengatakan kepada Rasulullah Saw., "Kembalikanlah kami kepada Umar," dengan pedang itu hingga mati seketika itu juga.

Sedangkan lelaki yang lain pergi dan datang menghadap Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah Umar telah membunuh temanku. Seandainya saja aku tidak mempunyai kemampuan menghadapinya, niscaya dia akan

membunuhku pula." Rasulullah Saw. bersabda, "Aku tidak menduga bahwa Umar berani membunuh seorang mukmin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) belum beriman hingga menjadikan

kamu hakim mereka. (An-Nisa: 65), hingga akhir ayat. Dengan demikian, tersia-sialah darah lelaki itu dan bebaslah Umar dari tuntutan membunuh lelaki itu. Akan tetapi, Allah tidak suka bila hal ini dijadikan sebagai teladan nanti.

Maka diturunkan-Nyalah firman-Nya: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka "Bunuhlah diri kalian." (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat.Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad,

dengan lafaz yang sama. Tetapi a'sar ini garib lagi mursal, dan Ibnu Luhai'ah orangnya daif.Jalur lain. Al-Hafiz Abu Ishaq Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Ibrahim ibnu Duhaim mengatakan di dalam kitab tafsirnya: telah menceritakan kepada kami

Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Damrah, telah menceritakan kepadaku ayahku, bahwa ada dua orang lelaki melaporkan persengketaan yang terjadi di antara keduanya kepada

Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. memutuskan perkara untuk kemenangan orang (pihak) yang benar dan mengalahkan pihak yang salah. Maka orang yang dikalahkan berkata, "Aku kurang puas." Lalu lawannya berkata, "Apa lagi kemauanmu?"

ia menjawab, "Mari kita berangkat menuju Abu Bakar As-Siddiq," lalu keduanya pergi menghadap Abu Bakar. Maka berkatalah orang yang menang, "Sesungguhnya kami telah mengadukan perkara kami kepada Nabi Saw., dan Nabi Saw.

memutuskan untuk kemenanganku." Abu Bakar menjawab, "Kamu berdua harus mengikuti apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah Saw." Tetapi orang yang dikalahkan menolak dan masih kurang puas. Maka Abu Bakar r.a.

memberikan sarannya agar keduanya pergi kepada Umar ibnul Khattab. Sesampainya di tempat Umar ibnul Khattab, orang yang menang mengatakan, "Sesungguhnya kami telah mengadukan perkara kami kepada Nabi Saw.,

dan beliau memutuskan untuk kemenanganku atas dia, tetapi dia ini menolak dan kurang puas." Lalu Umar bertanya kepada pihak yang kalah, "Apakah memang benar demikian?" Dan pihak yang kalah mengatakan hal yang sama.

Maka Umar masuk ke dalam rumahnya, lalu keluar lagi seraya membawa sebilah pedang di tangannya yang dalam keadaan terhunus, lalu ia langsung memenggal kepala pihak yang menolak lagi tidak puas dengan keputusan Nabi Saw.

hingga mati seketika itu juga. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman. (An-Nisa: 65)

Surat An-Nisa |4:65|

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

fa laa wa robbika laa yu`minuuna ḥattaa yuḥakkimuuka fiimaa syajaro bainahum ṡumma laa yajiduu fiii anfusihim ḥarojam mimmaa qodhoita wa yusallimuu tasliimaa

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

But no, by your Lord, they will not [truly] believe until they make you, [O Muhammad], judge concerning that over which they dispute among themselves and then find within themselves no discomfort from what you have judged and submit in [full, willing] submission.

Tafsir
Jalalain

(Maka demi Tuhanmu) la menjadi tambahan (mereka tidaklah beriman sebelum menjadikanmu sebagai hakim tentang urusan yang menjadi pertikaian) atau sengketa

(di antara mereka kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka suatu keberatan) atau keragu-raguan (tentang apa yang kamu putuskan dan mereka menerima)

atau tunduk kepada putusanmu itu (dengan sepenuhnya) tanpa bimbang atau ragu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 65 |

Penjelasan ada di ayat 64

Surat An-Nisa |4:66|

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

walau annaa katabnaa 'alaihim aniqtuluuu anfusakum awikhrujuu min diyaarikum maa fa'aluuhu illaa qoliilum min-hum, walau annahum fa'aluu maa yuu'azhuuna bihii lakaana khoirol lahum wa asyadda taṡbiitaa

Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu," ternyata mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),

And if We had decreed upon them, "Kill yourselves" or "Leave your homes," they would not have done it, except for a few of them. But if they had done what they were instructed, it would have been better for them and a firmer position [for them in faith].

Tafsir
Jalalain

(Dan seandainya Kami wajibkan kepada mereka) an sebagai penafsiran ("Bunuhlah dirimu," atau, "Keluarlah kamu dari kampungmu,") sebagaimana telah Kami lakukan terhadap Bani Israel

(tidaklah mereka akan melakukannya) apa yang diharuskan itu (kecuali sebagian kecil) dibaca marfu` sebagai badal dan manshub sebagai mustatsna

(di antara mereka. Dan sekiranya mereka melakukan apa yang dinasihatkan kepada mereka itu) yakni menaati Rasul (tentulah hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan) lebih memantapkan keimanan mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 66 |

Tafsir ayat 66-70

Allah Swt. menceritakan perihal kebanyakan umat manusia, bahwa mereka itu seandainya diperintahkan mengerjakan hal-hal yang dilarang mereka melakukannya, niscaya mereka tidak akan melakukannya karena watak mereka yang buruk

telah diciptakan dalam keadaan mempunyai naluri untuk menentang perintah. Hal ini merupakan bagian dari pengetahuan Allah Swt. terhadap hal yang belum terjadi, atau hal yang telah terjadi, lalu bagaimana kelanjutannya di masa mendatang. Karena itulah Allah Swt. dalam ayat ini berfirman:


وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ


Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian.'" (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُهَيْرٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ السَّبِيعِيِّ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنْ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوْ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهْ إِلَّا قَلِيلٌ [مِنْهُمْ]} الْآيَةَ، قَالَ رَجُلٌ: لَوْ أُمِرْنَا لَفَعَلْنَا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانَا. فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "إِنَّ مِنْ أُمَّتِي لَرِجَالًا الْإِيمَانُ أَثْبَتُ فِي قُلُوبِهِمْ مِنَ الْجِبَالِ الرَّوَاسِي"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Al-Azar, dari Ismail, dari Abu Ishaq As-Zubai'i sehubungan dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya

kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian.'" (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat. Bahwa tatkala ayat ini diturunkan, ada seorang lelaki mengatakan, "Sekiranya kita diperintahkan untuk itu, niscaya kami benar-benar akan

melakukannya, tetapi segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari perintah itu." Ketika hal tersebut sampai kepada Nabi Saw., maka beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara umatku benar-benar terdapat banyak lelaki

yang iman di dalam hati mereka lebih teguh lagi lebih kokoh daripada gunung-gunung yang terpancangkan dengan kokohnya.Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan:


حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُنِيرٍ، حَدَّثَنَا رَوْحٌ، حدثنا هشام، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ} الْآيَةَ. قَالَ أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ فَعَلَ رَبُّنَا لَفَعَلْنَا، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "لَلإيمان أَثْبَتُ فِي قُلُوبِ أَهْلِهِ مِنَ الْجِبَالِ الرَّوَاسِي".


telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Munir, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Al-Hasan berikut sanadnya, dari Al-A'masy yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian!" (An-Nisa: 66). hingga akhir ayat. Ketika ayat ini diturunkan, ada segolongan orang dari sahabat Nabi Saw. yang mengatakan, "Sekiranya kita diperintahkan

oleh Tuhan kita untuk itu, niscaya kita benar-benar akan melakukannya." Maka sampailah perkataan itu kepada Nabi Saw., lalu beliau bersabda: Iman benar-benar lebih kokoh di dalam hati para pemiliknya daripada gunung-gunung

yang dipancangkan dengan kokohnya.As-Saddi mengatakan bahwa Sabit ibnu Qais ibnu Syammas saling berbangga diri dengan seorang lelaki Yahudi. Lelaki Yahudi itu mengatakan, "Allah telah memerintahkan kepada kami untuk bunuh diri,

lalu kami bunuh diri kami (yakni di masa Nabi Musa a.s.)." Maka Sabit berkata, "Demi Allah, sekiranya Allah memerintahkan kepada kami untuk membunuh diri kami, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Bunuhlah diri kalian! (An-Nisa: 66)

niscaya kami benar-benar akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami

Bisyr ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Sabit, dari pamannya (yaitu Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair) yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka,

"Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian," niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (An-Nisa: 66) Ketika ayat ini diturunkan, maka Rasulullah Saw. bersabda:


"لَوْ نَزَلَتْ لَكَانَ ابْنُ أُمِّ عَبْدٍ مِنْهُمْ".


Seandainya perintah itu diturunkan. niscaya Ibnu Ummi Abdin termasuk dari mereka (yang menaati-Nya).


حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ شُرَيْح بْنِ عُبَيْد قَالَ: لَمَّا تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ} الْآيَةَ، أَشَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَواحة، فَقَالَ: "لَوْ أَنَّ اللَّهَ كَتَبَ ذَلِكَ لَكَانَ هَذَا مِنْ أُولَئِكَ الْقَلِيلِ" يَعْنِي: ابْنَ رَوَاحَةَ.


Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Safwan ibnu Amr, dari Syuraih ibnu Ubaid yang menceritakan

bahwa ketika Rasulullah membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian.'" (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat. Maka beliau mengisyaratkan tangannya menunjukkan ke arah

Abdullah ibnu Rawwahah, lalu bersabda: Seandainya Allah memerintahkan hal tersebut, niscaya orang ini termasuk dari mereka yang sedikit itu.Yang dimaksud ialah Abdullah ibnu Rawwahah. Firman Allah Swt.:


وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ


Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka. (An-Nisa: 66)Sekiranya mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka dan meninggalkan apa yang dilarang mereka melakukannya.


{لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ}


tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (An-Nisa: 66) Yakni lebih baik daripada menentang perintah dan mengerjakan larangan-larangan.


{وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا}


dan lebih menguatkan (iman mereka). (An-Nisa: 66) Menurut As-Saddi, makna yang dimaksud ialah lebih percaya.


{وَإِذًا لآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا}


dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka dari sisi Kami. (An-Nisa: 67)Yaitu dari perbendaharaan Kami.


{أَجْرًا عَظِيمًا}


pahala yang besar. (An-Nisa: 67) Pahala yang besar itu adalah surga.


{وَلَهَدَيناهُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا}


dan pasti kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (An-Nisa: 68)Yakni di dunia dan akhirat.Kemudian Allah Swt. berfirman:


وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً


Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.

Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (An-Nisa: 69)Dengan kata lain, barang siapa yang mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,

maka sesungguhnya Allah Swt. akan menempatkannya di dalam rumah kehormatan-Nya (yakni surga) dan menjadikannya berteman dengan para nabi, orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka yaitu para siddiqin,

lalu orang-orang yang mati syahid, dan semua kaum mukmin, yaitu mereka yang saleh lahir dan batinnya.Kemudian Allah Swt. memuji mereka melalui firman selanjutnya:


{وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا}


Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (An-Nisa: 69)


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَوْشَب، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُرْوَة، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّر بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ" وَكَانَ فِي شَكْوَاهُ الَّتِي قُبِضَ فِيهِ، فَأَخَذَتْهُ بُحَّة شَدِيدَةٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: {مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ} فَعَلِمْتُ أَنَّهُ خُيِّر.


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Hausyab, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari ayahnya, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar

Rasulullah Saw. bersabda: Tiada seorang nabi pun yang mengalami sakit melainkan ia disuruh memilih antara dunia dan akhirat. Tersebutlah pula bahwa ketika Nabi Saw. dalam sakit yang membawa kepada kewafatannya,

beliau terserang rasa sakit yang sangat, lalu Siti Aisyah mendengarnya mengucapkan kalimat berikut: bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid,

dan orang-orang saleh. Maka Siti Aisyah mengetahui bahwa saat itu Nabi Saw. sedang disuruh memilih oleh Allah Swt. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Syu'bah, dari Sa'd ibnu Ibrahim dengan lafaz yang sama. Hadis di atas merupakan makna dari sabdanya yang menyebutkan:


"اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى" ثَلَاثًا ثُمَّ قَضَى،


Ya Allah, (aku memilih) bersama-sama Rafiqul A'la. Kalimat tersebut beliau ucapkan sebanyak tiga kali, kemudian wafatlah beliau.Semoga salawat dan salam yang paling afdal terlimpahkan kepadanya.

Surat An-Nisa |4:67|

وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا

wa iżal la`aatainaahum mil ladunnaaa ajron 'azhiimaa

Dan dengan demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,

And then We would have given them from Us a great reward.

Tafsir
Jalalain

(Dan jika demikian halnya) artinya jika mereka teguh dalam pendirian (tentulah akan Kami berikan kepada mereka dari sisi Kami pahala yang besar) yakni surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 67 |

Penjelasan ada di ayat 66

Surat An-Nisa |4:68|

وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

wa lahadainaahum shiroothom mustaqiimaa

Dan pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.

And We would have guided them to a straight path.

Tafsir
Jalalain

(Dan tentulah akan Kami bimbing mereka ke jalan yang lurus). Kata sebagian sahabat kepada Nabi saw., "Betapa caranya kami dapat melihat baginda dalam surga

padahal baginda berada pada tingkat yang tinggi ,sedangkan kami di tingkat bawah" Maka turunlah ayat:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 68 |

Penjelasan ada di ayat 66

Surat An-Nisa |4:69|

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

wa may yuthi'illaaha war-rosuula fa ulaaa`ika ma'allażiina an'amallohu 'alaihim minan-nabiyyiina wash-shiddiiqiina wasy-syuhadaaa`i wash-shooliḥiin, wa ḥasuna ulaaa`ika rofiiqoo

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad) maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

And whoever obeys Allah and the Messenger - those will be with the ones upon whom Allah has bestowed favor of the prophets, the steadfast affirmers of truth, the martyrs and the righteous. And excellent are those as companions.

Tafsir
Jalalain

(Dan siapa yang menaati Allah dan Rasul) tentang apa yang dititahkan keduanya (maka mereka itu bersama orang-orang yang diberi karunia oleh Allah, yaitu golongan nabi-nabi dan shiddiqin)

sahabat-sahabat utama dari para nabi-nabi dan rasul-rasul yang membenarkan dan amat teguh kepercayaan kepada mereka (para syuhada) orang-orang yang gugur syahid di jalan Allah

(dan orang-orang saleh) yakni selain dari yang telah disebutkan itu. (Dan mereka itulah teman-teman yang sebaik-baiknya) maksudnya teman-teman dalam surga karena dapat melihat wajah mereka,

berkunjung dan menghadiri majelis mereka walaupun tempat mereka jika dibandingkan dengan golongan-golongan lainnya lebih tinggi dan lebih mulia.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 69 |

Penjelasan ada di ayat 66

Surat An-Nisa |4:70|

ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا

żaalikal-fadhlu minalloh, wa kafaa billaahi 'aliimaa

Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.

That is the bounty from Allah, and sufficient is Allah as Knower.

Tafsir
Jalalain

(Demikian itu) artinya keadaannya bersama orang-orang yang disebutkan itu, menjadi mubtada sedangkan khabarnya ialah (karunia dari Allah) yang dianugerahkan-Nya kepada mereka,

jadi bukan hasil dari ketaatan mereka sendiri. (Dan Allah cukup mengetahui) tentang pahala-pahala di akhirat, maka percayalah kamu kepada-Nya karena tak ada lagi yang lebih berwenang dalam penyampaian berita itu daripada-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 70 |

Penjelasan ada di ayat 66

Surat An-Nisa |4:71|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا

yaaa ayyuhallażiina aamanuu khużuu ḥiżrokum fanfiruu ṡubaatin awinfiruu jamii'aa

Wahai orang-orang yang beriman! Bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran) secara berkelompok atau majulah bersama-sama (serentak).

O you who have believed, take your precaution and [either] go forth in companies or go forth all together.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, waspadalah kamu) terhadap musuh-musuhmu; artinya bersiap-siaplah dan berhati-hatilah menghadapi mereka (dan majulah kamu secara berkelompok-kelompok) atau

terpisah-pisah pasukan demi pasukan (atau majulah secara bersama-sama) dalam satu pasukan besar.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 71 |

Tafsir ayat 71-74

Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap waspada terhadap musuh-musuh mereka. Hal ini tentu saja menuntut adanya kesiagaan untuk menghadapi mereka dengan mempersiapkan semua persenjataan

dan pasukan serta memperbanyak pasukan dengan mengadakan mobilitas umum untuk berjihad di jalan Allah.Yang dimaksud dengan lafaz subatin ialah berkelompok-kelompok, sekumpulan demi sekumpulan, dan satuan pasukan

demi satuan pasukan, Subat adalah bentuk jamak dari sabatun, tetapi adakalanya dijamakkan lafaz as-sabah ini menjadi sibina. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: majulah (ke medan pertempuran)

berkelompok-kelompok. (An-Nisa: 71) Yaitu sekumpulan demi sekumpulan. Dengan kata lain, berpencar menjadi beberapa satuan pasukan. atau majulah bersama-sama. (An-Nisa: 71) Maksudnya, kalian semuanya maju menjadi satu

dalam medan pertempuran.Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, As-Saddi, Qata-dah, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani/Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Khasif Al-Jazari.Firman Allah Swt.:


وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ


Dan sesungguhnya di antara kalian ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). (An-Nisa: 72)Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah bukan hanya seorang; ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik.

Menurut Muqatil ibnu Hayyan, makna firman-Nya: benar-benar ia berlambat-lambat (ke medan pertempuran). (An-Nisa: 72) Yakni dia tidak ikut berjihad. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah dia memang bersikap

lamban dalam menanggapi anjuran berjihad. Dengan kata lain, enggan melakukan jihad dan menganjurkan orang lain untuk enggan berjihad. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, semoga Allah mengutuk perbuatannya;

dia tidak mau ikut jihad, bahkan menghalang-halangi orang lain untuk ikut berjihad. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Juraij dan Ibnu Jarir.Sikap orang munafik tersebut digambarkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:


{فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ}


Maka jika kalian ditimpa musibah. (An-Nisa: 72) Yakni ada yang gugur dan mati syahid serta musuh dapat mengalahkan kalian, karena ada hikmah Allah dalam hal tersebut yang hanya diketahui oleh Dia.


{قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا}


ia berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama-sama mereka." (An-Nisa: 72) Yakni karena aku tidak ikut bersama mereka dalam pertempuran, dia menganggap bahwa

hal tersebut merupakan nikmat Allah kepadanya. Padahal ia tidak mengetahui pahala yang terlewatkan olehnya, yaitu pahala bersabar dalam peperangan atau mati syahid jika gugur.


{وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ}


Dan sungguh jika kalian beroleh karunia dari Allah. (An-Nisa: 73) Yakni kemenangan, keberhasilan, dan ganimah.


{لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَه مَوَدَّةٌ}


tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kalian dengan dia. (An-Nisa: 73) Seakan-akan dia bukan dari kalangan yang seagama dengan kalian.


{يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا}


Wahai, kiranya saja ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula). (An-Nisa: 73) Yang dimaksudnya ia mendapat satu bagian ganimah sama dengan mereka dan berhasil meraihnya, dan memang itulah tujuan utama dan cita-citanya dalam berjihad.Kemudian Allah Swt. berfirman:


{فَلْيُقَاتِلْ}


Karena itu, hendaknya berperanglah. (An-Nisa: 74) Artinya, orang mukmin yang telah terdaftar hendaknya berperang.


{فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالآخِرَةِ}


di jalan Allah (untuk memerangi) orang-orang yang menjual akhirat mereka dengan dunia. (An-Nisa: 74) Yaitu mereka yang menjual agama mereka dengan harga yang sedikit dari perbendaharaan dunia (betapapun besarnya harta dunia

bila dibandingkan dengan pahala akhirat sangat kecil dan tak berarti, pent). Hal itu tiada lain karena kekufuran mereka dan ketiadaan iman mereka.Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا}


Barang siapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. (An-Nisa: 74) Semua orang yang berperang di jalan Allah, baik ia gugur ataupun dikalahkan,

maka baginya di sisi Allah terdapat pahala yang besar dan imbalan yang berlimpah.Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengatakan bahwa Allah menjamin bagi orang yang berjihad di jalan-Nya, jika dia diwafatkan oleh-Nya,

bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam surga, atau (jika selamat) mengembalikannya ke tempat tinggalnya sewaktu ia keluar darinya dengan memboyong pahala atau ganimah (bila beroleh kemenangan).

Surat An-Nisa |4:72|

وَإِنَّ مِنْكُمْ لَمَنْ لَيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ إِذْ لَمْ أَكُنْ مَعَهُمْ شَهِيدًا

wa inna mingkum lamal layubaththi`ann, fa in ashoobatkum mushiibatung qoola qod an'amallohu 'alayya iż lam akum ma'ahum syahiidaa

Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu, jika kamu ditimpa musibah dia berkata, "Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka."

And indeed, there is among you he who lingers behind; and if disaster strikes you, he says, "Allah has favored me in that I was not present with them."

Tafsir
Jalalain

(Dan sungguh di antara kamu ada orang yang berlambat-lambat) atau bersikap lamban menghadapi peperangan, seperti Abdullah bin Ubai si munafik dan kawan-kawannya itu.

Dia dianggap termasuk golongan munafik melihat sikap dan tindakan-tindakannya. Lam yang terdapat pada kata kerja berarti sumpah.

(Jika kamu ditimpa musibah) seperti terbunuh atau kekalahan (maka katanya, "Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat kepadaku sehingga aku tak ikut hadir bersama mereka) yang akan menyebabkanku ditimpa musibah pula.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 72 |

Penjelasan ada di ayat 71

Surat An-Nisa |4:73|

وَلَئِنْ أَصَابَكُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَيَقُولَنَّ كَأَنْ لَمْ تَكُنْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ مَوَدَّةٌ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِيمًا

wa la`in ashoobakum fadhlum minallohi layaquulanna ka`al lam takum bainakum wa bainahuu mawaddatuy yaa laitanii kuntu ma'ahum fa afuuza fauzan 'azhiimaa

Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, "Wahai, sekiranya aku bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula)."

But if bounty comes to you from Allah, he will surely say, as if there had never been between you and him any affection. "Oh, I wish I had been with them so I could have attained a great attainment."

Tafsir
Jalalain

(Dan sungguh jika) lam menunjukkan sumpah (kamu beroleh karunia dari Allah) seperti kemenangan atau harta rampasan (tentulah dia akan berkata) sambil menyesal (seolah-olah) ditakhfifkan

sedangkan isimnya dibuang dan diperkirakan berbunyi kaannahu artinya seolah-olah (belum pernah ada) pakai ya atau ta (di antaramu dengannya kasih sayang) artinya perkenalan dan persahabatan.

Dan ini kembali kepada ucapannya tadi, 'Aku telah memberi nikmat kepadaku,' yang diselangnya di antara ucapan itu dengan perkataannya sekarang ini, yaitu (Wahai) sebagai kata peringatan

(sekiranya aku berada bersama mereka tentu aku akan mendapat keberuntungan yang besar pula.") maksudnya beroleh harta rampasan yang banyak. Firman Allah swt.:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 73 |

Penjelasan ada di ayat 71