I'tikaf

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ قَالَ أَنْبَأَنَا حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعْتَكِفْ عَامًا فَلَمَّا كَانَ فِي الْعَامِ الْمُقْبِلِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ

Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Ibnu Abu Adi memberitahukan kepada kami, Humaid Ath-Thawil memberitahukan kepada kami dari Anas bin Malik, ia berkata,

"Nabi SAW biasa beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan beliau tidak i'tikaf satu tahun. Ketika tahun berikutnya, beliau beri'tikaf dua puluh hari." Shahih: Shahih Abu Daud (2126)

Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih dari hadits Anas bin Malik." Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang beri'tikaf lalu memutuskan i'tikafhya sebelum ia menyempurnakan apa yang ia niatkan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bila seseorang membatalkan i'tikafnya, maka ia wajib mengqadha. Landasan mereka adalah hadits, "Nabi Muhammad keluar dari i'tikaf kemudian beliau beri'tikaf sepuluh hari pada bulan Syawal."

Malik berpendapat seperti itu. Ulama lain berpendapat, bila tidak mempunyai nadzar atau sesuatu yang mewajibkan dirinya untuk beri'tikaf dan ia hanya melakukan i'tikaf sunah kemudian ia keluar, maka ia tidak wajib mengqadhanya (kecuali bila ingin melakukannya secara suka rela).

Asy-Syafi'i berpendapat seperti itu. Asy-Syafi'i berkata, "Setiap amal perbuatan tergantung perbuatan kamu sendiri; apabila kamu mengerjakan amal itu kemudian memutuskan amal itu, maka kamu tidak wajib mengqadhanya (kecuali haji dan umrah). " Pada bab ini ada hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.