Juz 6

Surat An-Nisa |4:148|

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

laa yuḥibbullohul-jahro bis-suuu`i minal-qouli illaa man zhulim, wa kaanallohu samii'an 'aliimaa

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Allah does not like the public mention of evil except by one who has been wronged. And ever is Allah Hearing and Knowing.

Tafsir
Jalalain

(Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang) dari siapa pun juga, artinya Dia pastilah akan memberinya hukuman (kecuali dari orang yang dianiaya)

sehingga apabila dia mengucapkannya secara terus terang misalnya tentang keaniayaan yang dideritanya sehingga ia mendoakan si pelakunya, maka tidaklah dia akan menerima hukuman dari Allah.

(Dan Allah Maha Mendengar) apa-apa yang diucapkan (lagi Maha Mengetahui) apa-apa yang diperbuat.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 148 |

Tafsir ayat 148-149

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah tidak menyukai bila seseorang mendoakan kecelakaan terhadap orang lain, kecuali jika ia dianiaya olehnya.

Maka saat itu Allah memberikan rukhsah kepadanya untuk mendoakan kecelakaan terhadap orang yang berbuat aniaya terhadapnya. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya:


{إِلا مَنْ ظُلِمَ}


kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)Akan tetapi, jika si teraniaya bersikap sabar dan tidak mendoakan kecelakaan terhadap orang yang berbuat aniaya kepadanya, maka hal ini lebih baik baginya.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُرق لَهَا شَيْءٌ، فَجَعَلَتْ تَدْعُو عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا تُسَبّخي عنه"


Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Ata, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa pernah ada

yang mencuri barang miliknya, lalu ia mendoakan kecelakaan terhadap pelakunya. Maka Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu mendoakan kecelakaan terhadapnya.Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Janganlah seseorang mendoakan kecelakaan

terhadap orang yang berbuat aniaya, tetapi hendaklah ia mengucapkan dalam doanya seperti ini: 'Ya Allah, tolonglah daku terhadapnya dan kembalikanlah hak milikku darinya"."Menurut riwayat yang lain yang bersumber darinya

(Al-Hasan Al-Basri), Allah memberikan kemurahan (rukhsah) kepada seseorang yang mendoakan kecelakaan bagi orang yang telah berbuat aniaya kepadanya, tanpa membalasnya.Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari mengatakan sehubungan

dengan makna ayat ini, "Makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang lelaki yang mencacimu, lalu kamu balas mencacinya. Tetapi jika seseorang berbuat kedustaan terhadapmu, janganlah kamu balas ia dengan berbuat kedustaan terhadapnya. Karena Allah Swt. telah berfirman:


{وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ سَبِيلٍ}


'Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka' (Asy-Syura: 41)."


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا القَعْنَبِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "المُسْتَبَّانِ مَا قَالَا فَعَلَى الْبَادِئِ مِنْهُمَا، مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ"


Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qa'nabi, telah menceritakan kepada kami Abdid Aziz ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Dua orang yang saling mencaci menanggung apa yang diucapkan oleh keduanya, tetapi dosanya ditanggung oleh orang yang memulai di antara keduanya, selagi pihak yang teraniaya tidak melampaui batas.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:


{لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ}


Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)Makna yang dimaksud ialah misalnya seorang lelaki bertamu kepada seseorang, lalu pemilik rumah tidak menjamunya

dengan baik. Setelah keluar, si lelaki mengatakan, "Dia menyambutku dengan buruk dan tidak menjamuku dengan baik." Mujahid mengatakan bahwa sikap yang demikian itu termasuk ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang,

kecuali oleh orang yang dianiaya sehingga dia menjamu tamunya dengan baik.Ibnu Ishaq mengatakan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:


{لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ}


Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)Mujahid mengatakan, bahwa makna yang dimaksud ialah seorang laki-laki turun istirahat (bertamu) kepada seseorang,

lalu pemilik rumah tidak menjamunya dengan baik. Setelah keluar, si laki-laki mengatakan, "Dia menjamuku dengan buruk dan tidak menjamu dengan baik." Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang tamu

yang memindahkan rahl (barang-barang bawaan)nya. Sesungguhnya hal tersebut sama dengan mengatakan ucapan buruk terhadap temannya. Hal yang sama diriwayatkan oleh bukan hanya seorang ulama dari Mujahid dengan makna

yang semisal.Jamaah meriwayatkan selain Imam Nasai dan Imam Turmuzi melalui jalur Al-Lais ibnu Sa'd, sedangkan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Luhai'ah; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib,

dari Abul Khair Marsad ibnu Abdullah, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa kami (para sahabat) pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sering mengutus kami,

lalu kami menginap di kalangan suatu kaum, tetapi mereka tidak menjamu kami. Bagaimanakah menurut pendapatmu dengan masalah ini?"Rasulullah Saw. menjawab:


إِذَا نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فأمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ، فَاقْبَلُوا مِنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ


Apabila kalian turun istirahat pada suatu kaum dan mereka menyuguhkan kepada kalian jamuan yang selayaknya bagi tamu, maka terimalah jamuan mereka itu. Dan jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah dari mereka hak tamu yang selayaknya dilakukan oleh mereka.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة، سَمِعْتُ أَبَا الْجُودِيِّ يُحَدِّثُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُهَاجِرِ، عَنِ الْمِقْدَامِ أَبِي كَرِيمَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَيُّمَا مسلمٍ ضَافَ قَوْمًا، فَأَصْبَحَ الضَّيْفُ مَحْرُومًا، فَإِنَّ حَقًا عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ نَصْرَه حَتَّى يَأْخُذَ بقِرى لَيْلَتِهِ مِنْ زَرْعِهِ وَمَالِهِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Abul Judi menceritakan sebuah hadis dari Sa'id ibnul Muhajir,

dari Al-Miqdam ibnu Abu Karimah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Manakala seorang muslim kedatangan suatu kaum sebagai tamunya, dan pada pagi harinya tamunya itu dalam keadaan mahrum (tidak diberi jamuan apa pun),

maka sudah seharusnya bagi setiap muslim membela dirinya sehingga ia dapat mengambil jamuan malamnya dari kebun dan harta milik orang muslim tersebut.Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini.


قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ، عَنِ الشَّعْبي عَنِ الْمِقْدَامِ أَبِي كَرِيمَةَ، سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَيْلَةُ الضَّيْفِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ، فَإِنْ أَصْبَحَ بفِنَائه مَحْرُومًا كَانَ دَيْنًا لَهُ عَلَيْهِ، إِنْ شَاءَ اقْتَضَاهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ".


Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Syu'bah, dari Mansur, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Miqdam ibnu Abu Karimah yang mendengar bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamuan malam bagi tamu

adalah wajib atas setiap orang muslim; dan jika si tamu dalam keadaan lapar di halaman rumahnya pada pagi harinya, maka hal itu merupakan utang bagi pemilik rumah. Jika si tamu menginginkan jamuan, ia boleh menagihnya,

boleh pula meninggalkannya.Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Gundar, dari Syu'bah, juga dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bukai', dari Waki' dan Abu Na'im, dari Sufyan As-Sauri; ketiga-tiganya

dari Mansur dengan lafaz yang sama.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadis Abu Uwwanah, dari Mansur dengan lafaz yang sama.Dari pengertian hadis-hadis di atas dan yang semisal dengannya,

Imam Ahmad dan lain-lainnya berpendapat bahwa menjamu tamu itu hukumnya wajib. Termasuk ke dalam bab ini sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar:


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَجْلان، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنْ لِي جَارًا يُؤْذِينِي، فَقَالَ لَهُ: "أَخْرِجْ مَتَاعَكَ فَضَعْهُ عَلَى الطَّرِيقِ". فَأَخَذَ الرَّجُلُ مَتَاعَهُ فَطَرَحَهُ عَلَى الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ كُلُّ مَنْ مَرَّ بِهِ قَالَ: مَالَكَ؟ قَالَ: جَارِي يُؤْذِينِي. فَيَقُولُ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، اللَّهُمَّ أَخْزِهِ! قَالَ: فَقَالَ الرَّجُلُ: ارْجِعْ إِلَى مَنْزِلِكَ، وَقَالَ لَا أُوذِيكَ أَبَدًا".


telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw.,

lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang selalu menyakiti diriku." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Keluarkanlah semua barang milikmu dan letakkanlah di tengah jalan. Kemudian lelaki itu mengambil

semua barang miliknya, lalu ia lemparkan ke jalan. Maka setiap orang yang lewat bertanya, "Mengapa kamu ini?" Ia menjawab, "Tetanggaku selalu menyakitiku." Orang tersebut mengucapkan, "Ya Allah, laknatilah dia. Ya Allah, hinakanlah dia."

Akhirnya tetangganya itu berkata, "Kembalilah ke rumahmu. Demi Allah, aku tidak akan menyakitimu lagi untuk selamanya."Imam Abu Daud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, dari Abu Taubah Ar-Rabi', dari Nafi',

dari Sulaiman ibnu Hayyan (yaitu Abul Ahmar), dari Muhammad ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama.Kemudian Al-Bazzar mengatakan, ”Kami belum pernah mengetahui dia meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah kecuali dalam sanad ini.

"Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Juhaifah dan Wahb ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. Dan Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, dari Nabi Saw.Firman Allah Swt.:


{إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا}


Jika kalian melahirkan suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa. (An-Nisa: 149)Jika kalian, hai manusia, menampakkan kebaikan

atau menyembunyikannya atau memaafkan orang yang berbuat kesalahan terhadap diri kalian, sesungguhnya hal tersebut termasuk amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dan Dia akan memberi kalian pahala yang berlimpah.

Karena sesungguhnya termasuk sifat Allah Swt. ialah memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, padahal Dia berkuasa menghukum mereka. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا}


maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa. (An-Nisa: 149) Di dalam sebuah asar disebutkan bahwa para malaikat penyangga Arasy selalu bertasbih menyucikan Allah Swt. Sebagian dari mereka mengatakan dalam tasbihnya,

"Mahasuci Engkau, sifat Penyantun-Mu melebihi sifat Ilmu-Mu." Sebagian yang lain mengatakan, "Mahasuci Engkau, sifat Pemaaf-Mu melebihi Kekuasaan-Mu." Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:


"مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ، وَلَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ الله"


Harta benda tidaklah berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba karena maafnya melainkan keagungan; dan barang siapa yang rendah diri karena Allah, niscaya Allah mengangkat tinggi kedudukannya.

Surat An-Nisa |4:149|

إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا

in tubduu khoiron au tukhfuuhu au ta'fuu 'an suuu`in fa innalloha kaana 'afuwwang qodiiroo

Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya, atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa.

If [instead] you show [some] good or conceal it or pardon an offense - indeed, Allah is ever Pardoning and Competent.

Tafsir
Jalalain

(Jika kamu melahirkan) atau memperlihatkan (suatu kebaikan) di antara perbuatan-perbuatan baik (atau menyembunyikannya) artinya melakukannya

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 149 |

Penjelasan ada di ayat 148

Surat An-Nisa |4:150|

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا

innallażiina yakfuruuna billaahi wa rusulihii wa yuriiduuna ay yufarriquu bainallohi wa rusulihii wa yaquuluuna nu`minu biba'dhiw wa nakfuru biba'dhiw wa yuriiduuna ay yattakhiżuu baina żaalika sabiilaa

Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain)," serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir),

Indeed, those who disbelieve in Allah and His messengers and wish to discriminate between Allah and His messengers and say, "We believe in some and disbelieve in others," and wish to adopt a way in between -

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud akan membeda-bedakan di antara Allah dengan rasul-rasul-Nya)

yakni dengan beriman kepada-Nya serta kafir terhadap mereka (serta mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian) di antara rasul-rasul itu (dan kami kafir terhadap yang lain")

dari mereka (serta bermaksud hendak mengambil di antara demikian) maksudnya di antara kufur dan iman (jalan) yang akan mereka tempuh.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 150 |

Tafsir ayat 150-152

Allah Swt. mengecam tindakan orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena mereka dalam imannya membeda-bedakan antara iman kepada Allah

dan iman kepada rasul-rasul-Nya. Mereka beriman kepada sebagian para nabi dan mengingkari sebagian yang lainnya, hanya berdasarkan selera dan tradisi serta apa yang mereka jumpai dari nenek moyang mereka semata,

sama sekali tidak berdasarkan kepada dalil yang melandasi keyaklnan mereka. Sebenarnya tidak ada jalan bagi mereka untuk itu, yang mendorong mereka berbuat hal tersebut hanyalah semata-mata karena dorongan hawa nafsu dan fanatisme.

Orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— beriman kepada semua nabi, kecuali Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Orang-orang Nasrani beriman kepada semua nabi, tetapi mereka ingkar kepada pemungkas para nabi

dan yang paling mulia di antara mereka, yaitu Nabi Muhammad Saw.Orang-orang Samiri (suatu sekte dari Yahudi) tidak beriman kepada seorang nabi pun sesudah Yusya', pengganti (khalifah) Nabi Musa ibnu Imran.Orang-orang Majusi

—menurut suatu pendapat— pada mulanya beriman kepada seorang nabi mereka yang dikenal dengan nama Zaradesy (Zoroaster), kemudian mereka kafir kepada syariatnya, maka nabi mereka diangkat oleh Allah dari kalangan mereka.

Makna yang 'dimaksud ialah 'barang siapa yang kafir kepada seseorang dari kalangan para nabi, berarti ia kafir kepada semua nabi' Karena sesungguhnya diwajibkan bagi kita beriman kepada setiap nabi yang diutus oleh Allah

kepada penduduk bumi ini. Barang siapa yang mengingkari kenabiannya karena dengki atau fanatisme atau kecenderungan belaka, berarti jelas imannya kepada nabi yang ia percayai bukanlah berdasarkan iman yang diakui oleh syariat,

melainkan hanya semata-mata karena maksud tertentu, hawa nafsu, dan fanatisme. Karena itulah disebutkan oleh Allah dalam ayat ini melalui firman-Nya:


{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ}


Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. (An-Nisa: 150)Allah menyebut mereka dengan nama orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.


{وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ}


dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya. (An-Nisa: 150)Yakni dalam hal iman.


{وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا}


dengan mengatakan, "Kami beriman kepada sebagian (dari rasul-rasul itu), dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain),"serta bermaksud (dengan perkataan itu), mengambil jalan (lain) di antara yang demikian

(iman dan kafir). (An-Nisa: 150)Artinya, mereka hendak membuat jalan tersendiri antara iman dan kafir.Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal mereka melalui firman-Nya:


{أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا}


merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (An-Nisa: 151)Kekufuran mereka terbukti dan tiada alasan untuk dikatakan beriman bagi seseorang yang berkeyakinan demikian, sebab iman seperti itu bukanlah iman

yang diakui oleh syariat. Karena seandainya mereka benar-benar beriman kepada seorang rasul karena diutus oleh Allah, pastilah mereka beriman pula kepada rasul lainnya, terlebih lagi imannya kepada rasul yang lebih jelas dalilnya

dan lebih kuat buktinya daripada rasul yang diimaninya. Atau setidaknya ia mempertimbangkan dengan pertimbangan yang sesungguhnya mengenai kenabiannya. Mengenai firman-Nya:


{وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا}


Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (An-Nisa: 151)Sebagaimana mereka menghina rasul yang mereka ingkari, adakalanya karena mereka tidak mau memandang sebelah mata pun

kepada apa yang disampaikannya dari Allah dan berpaling darinya, serta kesukaan mereka dalam menghimpun perhiasan duniawi yang fana, padahal mereka tidak harus mengumpulkannya. Adakalanya karena mereka kafir kepadanya

sesudah mengetahui kenabiannya, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan para rahib Yahudi di masa Rasulullah Saw. Mereka dengki terhadap Rasul Saw. karena beliau mendapat kenabian yang besar, lalu mereka menentangnya,

mendustakan, memusuhi, dan memeranginya. Maka Allah menimpakan kepada mereka kehinaan di dunia yang terus berlanjut dengan kehinaan di akhirat. Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:


{وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ}


Lalu ditimpakan kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. (Al-Baqarah: 61)Yakni di dunia dan akhirat. Firman Allah Swt.:


{وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ}


Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka. (An-Nisa: 152)Umat Nabi Muhammad Saw. sesungguhnya beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan beriman kepada semua nabi yang diutus oleh-Nya. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ....


Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 285), hingga akhir ayat.

Selanjutnya Allah memberitahukan bahwa Dia telah menyediakan bagi mereka pahala yang berlimpah, pembalasan yang agung, dan pemberian yang indah. Untuk itu Allah Swt. berfirman-


{أُولَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ}


kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. (An-Nisa: 152)sebagai balasan atas iman mereka kepada Allah dan semua rasul-Nya.


{وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}


Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 152)Atas dosa-dosa mereka, yaitu jika sebagian mereka mempunyai dosa.

Surat An-Nisa |4:151|

أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

ulaaa`ika humul-kaafiruuna ḥaqqoo, wa a'tadnaa lil-kaafiriina 'ażaabam muhiinaa

merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.

Those are the disbelievers, truly. And We have prepared for the disbelievers a humiliating punishment.

Tafsir
Jalalain

(Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya) haqqan adalah mashdar yang memperkuat isi kalimat sebelumnya (dan telah Kami sediakan bagi orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan) artinya azab neraka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 151 |

Penjelasan ada di ayat 150

Surat An-Nisa |4:152|

وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ أُولَٰئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

wallażiina aamanuu billaahi wa rusulihii wa lam yufarriquu baina aḥadim min-hum ulaaa`ika saufa yu`tiihim ujuurohum, wa kaanallohu ghofuuror roḥiimaa

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

But they who believe in Allah and His messengers and do not discriminate between any of them - to those He is going to give their rewards. And ever is Allah Forgiving and Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya) artinya semua mereka (dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka kelak Allah akan memberikan kepada mereka)

dengan memakai nun atau ya (pahala mereka) artinya pahala amal perbuatan mereka (dan Allah Maha Pengampun) bagi kekasih-kekasih-Nya (lagi Maha Penyayang) kepada ahli taat-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 152 |

Penjelasan ada di ayat 150

Surat An-Nisa |4:153|

يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ ۚ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَىٰ أَكْبَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ۚ ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ فَعَفَوْنَا عَنْ ذَٰلِكَ ۚ وَآتَيْنَا مُوسَىٰ سُلْطَانًا مُبِينًا

yas`aluka ahlul-kitaabi an tunazzila 'alaihim kitaabam minas-samaaa`i fa qod sa`aluu muusaaa akbaro min żaalika fa qooluuu arinalloha jahrotan fa akhożat-humush-shoo'iqotu bizhulmihim, ṡummattakhożul-'ijla mim ba'di maa jaaa`at-humul-bayyinaatu fa 'afaunaa 'an żaalik, wa aatainaa muusaa sulthoonam mubiinaa

(Orang-orang) Ahli Kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar engkau menurunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami secara nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. Kemudian mereka menyembah anak sapi, setelah mereka melihat bukti-bukti yang nyata, namun demikian Kami maafkan mereka, dan telah Kami berikan kepada Musa kekuasaan yang nyata.

The People of the Scripture ask you to bring down to them a book from the heaven. But they had asked of Moses [even] greater than that and said, "Show us Allah outright," so the thunderbolt struck them for their wrongdoing. Then they took the calf [for worship] after clear evidences had come to them, and We pardoned that. And We gave Moses a clear authority.

Tafsir
Jalalain

(Ahli Kitab meminta kepadamu) hai Muhammad; maksudnya orang-orang Yahudi (agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit)

maksudnya sekaligus seperti pernah diturunkan-Nya kepada Musa guna mempersulit permintaan itu. Dan sekiranya menurut kamu itu berat

(maka sesungguhnya mereka telah pernah meminta) maksudnya nenek moyang mereka (kepada Musa yang lebih besar dari itu, kata mereka, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan jelas.")

atau nyata. (Maka mereka disambar oleh petir) artinya maut sebagai hukuman bagi mereka (disebabkan keaniayaan mereka) yakni meminta barang yang sulit.

(Kemudian mereka mengambil anak sapi) sebagai tuhan (setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata) artinya mukjizat-mukjizat atas kekuasaan Allah

(maka Kami maafkan mereka dari hal yang demikian) dan tidak Kami basmi mereka secara tuntas (dan telah Kami berikan kepada Musa kekuasaan yang nyata)

artinya keunggulan yang menakjubkan bagi mereka hingga sewaktu mereka disuruh membunuh diri mereka guna bertobat mereka pun menurutinya dengan patuh.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 153 |

Tafsir ayat 153-154

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, As-Saddi, dan Qatadah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi pernah meminta kepada Rasulullah Saw. agar beliau menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit,

sebagaimana kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa dalam keadaan tertulis.Ibnu Juraij mengatakan bahwa mereka meminta agar diturunkan lembaran-lembaran dari Allah yang tertulis, ditujukan kepada si Fulan dan si Fulan,

untuk membuktikan kebenaran apa yang didatangkan oleh Nabi Saw. kepada mereka. Hal ini mereka ajukan hanyalah semata-mata sebagai penghinaan, keingkaran, kekufuran, dan kemurtadan mereka kepadanya.

Perihalnya sama dengan apa yang pernah diminta oleh orang-orang kaflr Quraisy sebelum mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


{وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأرْضِ يَنْبُوعًا}


Dan mereka berkata, "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami" (Al-Isra: 90), hingga akhir ayat berikutnya.Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. menyebutkan melalui firman-Nya:


{فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ}


Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. (An-Nisa: 153)Karena kezaliman mereka

dan perbuatan mereka yang kelewat batas, juga karena keangkuhan dan keingkaran mereka. Apa yang disebut di dalam surat An-Nisa ini dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:


{وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ. ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}


Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang." Karena itu, kalian disambar halilintar, sedangkan kalian menyaksikannya. Sesudah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 55-56)Adapun firman Allah Swt.:


{ثُمَّ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ}


dan mereka menyembah anak sapi sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata. (An-Nisa: 153)Yaitu sesudah mereka melihat mukjizat-mukjizat yang jelas dan bukti-bukti yang akurat melalui tangan Nabi Musa a.s. di negeri Mesir

kebinasaan musuh-musuh mereka (yaitu Firaun), dan ditenggelamkannya semua bala tentaranya ke dalam laut. Tetapi tidak lama kemudian setelah berjalan bersama Nabi Musa dan mereka bersua dengan suatu kaum yang sedang menyembah

berhala-berhalanya, maka dengan serta merta mereka berkata kepada Nabi Musa a.s. Ucapan mereka itu disitir oleh firman-Nya:


اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ


Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). (Al-A'raf: 138), hingga dua ayat berikutnya.Kemudian Allah Swt. menceritakan kisah mereka mengambil anak sapi sebagai sesembahan

mereka secara panjang lebar dalam surat Al-A'raf, juga dalam surat Thaha; hal itu terjadi setelah Nabi Musa a.s. berangkat (ke Bukit Tursina) untuk bermunajat kepada Allah Swt. Kemudian ketika ia kembali, terjadilah apa yang telah terjadi,

dan Allah menjadikan tobat orang yang melakukan penyembahan itu dan yang membuatnya, hendaknya orang yang tidak ikut menyembah membunuh orang yang menyembahnya (anak sapi itu).

Sehingga akhirnya sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain, setelah itu Allah SWT. menghidupkan mereka kembali. Lalu Allah Swt. berfirman:


{فَعَفَوْنَا عَنْ ذَلِكَ وَآتَيْنَا مُوسَى سُلْطَانًا مُبِينًا}


lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian itu. Dan telah Kami berikan kepada Musa keterangan yang nyata. (An-Nisa: 153)Kemudian Allah Swt. berfirman pula:


{وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ}


Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka Bukit Tursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. (An-Nisa: 154)Demikian itu terjadi ketika mereka menolak untuk tetap berpegang kepada hukum-hukum Taurat,

dan tampak dari mereka sikap membangkang terhadap apa yang didatangkan oleh Nabi Musa a.s. kepada mereka. Maka Allah Swt. mengangkat di atas kepala mereka sebuah bukit untuk memaksa mereka. Kemudian mereka diperintahkan

agar tetap berpegang teguh kepada kitab Taurat, akhirnya mereka menyanggupinya dan bersujud seraya memandang ke atas kepala mereka karena khawatir bila bukit tersebut jatuh menimpa diri mereka. Hal ini disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:


وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ


Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka, seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian." (Al-A'raf: 171), hingga akhir ayat.Firman Allah Swt.:


{وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا}


Dan Kami perintahkan kepada mereka, "Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud." (An-Nisa: 154)Akan tetapi, mereka melanggar dalam semua apa yang diperintahkan kepada mereka, baik secara ucapan maupun perbuatannya.

Karena sesungguhnya mereka diperintahkan agar memasuki pintu Baitul Maqdis seraya bersujud dan mengucapkan doa hittah yang artinya "Ya Allah, hapuslah dari diri kami dosa-dosa kami" karena kami tidak mau berjihad dan membangkang,

tidak melakukannya, yang menyebabkan kami tersesat di padang sahara selama empat puluh tahun. Ternyata mereka memasukinya seraya merangkak dengan pantat mereka, dan ucapannya mereka ganti menjadi hintah fi sya'rah.


{وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ}


dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka, "Janganlah kalian melanggar peraturan mengenai hari Sabtu." (An-Nisa: 154)Maksudnya Kami perintahkan mereka untuk memelihara kesucian hari Sabtu dan berpegang teguh menjauhi hal-hal yang diharamkan oleh Allah atas mereka, selagi hal tersebut disyariatkan bagi mereka.


{وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا}


dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh. (An-Nisa: 154)Yaitu perjanjian yang berat. tetapi mereka melanggarnya dan berbuat durhaka serta menggunakan tipu muslihat (hailah)

untuk melakukan hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Seperti yang disebutkan kisahnya dalam surat Al-A'raf secara panjang lebar, yaitu pada firman-Nya:


وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ


Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terlelak di dekat laut. (Al-A'raf: 163), hingga beberapa ayat berikutnya.Dalam surat Al-Isra nanti akan disebutkan sebuah hadis yang diceritakan oleh Safwan ibnu Assal, yaitu pada tafsir firman-Nya:


{وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى تِسْعَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ}


Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata. (Al-Isra: 101)Di dalam hadis tersebut antara lain disebutkan, "Dan khusus bagi kalian, orang-orang Yahudi, janganlah kalian melanggar peraturan mengenai hari Sabtu."

Surat An-Nisa |4:154|

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

wa rofa'naa fauqohumuth-thuuro bimiiṡaaqihim wa qulnaa lahumudkhulul-baaba sujjadaw wa qulnaa lahum laa ta'duu fis-sabti wa akhożnaa min-hum miiṡaaqon gholiizhoo

Dan Kami angkat Gunung (Sinai) di atas mereka untuk (menguatkan) perjanjian mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka, "Masukilah pintu gerbang (Baitulmaqdis) itu sambil bersujud," dan Kami perintahkan (pula), kepada mereka, "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabat." Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh.

And We raised over them the mount for [refusal of] their covenant; and We said to them, "Enter the gate bowing humbly", and We said to them, "Do not transgress on the sabbath", and We took from them a solemn covenant.

Tafsir
Jalalain

(Dan Kami angkat ke atas kepada mereka Thur) nama sebuah bukit (disebabkan perjanjian dengan mereka) maksudnya hendak mengadakan perjanjian agar mereka takut dan bersedia menerimanya

(dan kata Kami kepada mereka) sementara bukit itu dinaungkan kepada mereka ("Masukilah pintu gerbang itu) maksudnya pintu gerbang kampung atau negeri (sambil bersujud")

yang menunjukkan ketundukkan (dan Kami wahyukan kepada mereka, "Janganlah kamu melanggar perintah) menurut suatu qiraat dibaca ta`adduu dengan diidgamkan

ta aslinya pada dal yang menjadi ta`taduu; artinya melanggar perintah (pada hari Sabtu") dengan menangkap ikan padanya (dan Kami telah menerima perjanjian erat dari mereka) mengenai hal itu tetapi mereka melanggarnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 154 |

Penjelasan ada di ayat 153

Surat An-Nisa |4:155|

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ ۚ بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا

fa bimaa naqdhihim miiṡaaqohum wa kufrihim bi`aayaatillaahi wa qotlihimul-ambiyaaa`a bighoiri ḥaqqiw wa qoulihim quluubunaa ghulf, bal thoba'allohu 'alaihaa bikufrihim fa laa yu`minuuna illaa qoliilaa

Maka, (Kami hukum mereka) karena mereka melanggar perjanjian itu dan karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan Allah, serta karena mereka telah membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan karena mereka mengatakan, "Hati kami tertutup." Sebenarnya, Allah telah mengunci hati mereka karena kekafirannya, karena itu hanya sebagian kecil dari mereka yang beriman,

And [We cursed them] for their breaking of the covenant and their disbelief in the signs of Allah and their killing of the prophets without right and their saying, "Our hearts are wrapped". Rather, Allah has sealed them because of their disbelief, so they believe not, except for a few.

Tafsir
Jalalain

(Maka disebabkan mereka melanggar) ma merupakan tambahan; ba sababiyah berkaitan dengan yang dibuang, yang maksudnya: Kami kutuk mereka disebabkan mereka melanggar

(perjanjian mereka dan karena kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan pembunuhan yang mereka lakukan kepada nabi-nabi tanpa alasan yang benar dan kata mereka) kepada Nabi saw.

("Hati kami tertutup") tak dapat mendengar apa yang kamu katakan (bahkan Allah telah mengunci hati mereka itu disebabkan kekafiran mereka) hingga tak dapat mendengarkan nasihat dan pelajaran

(oleh karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil) dari mereka seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 155 |

Tafsir ayat 155-159

Di antara dosa-dosa yang mereka lakukan hingga menyebabkan mereka pasti dilaknat, diusir dari rahmat-Nya, dan dijauhkan dari jalan petunjuk, yaitu mereka telah melanggar janji-janji dan ikatan-ikatan yang telah diambil dari mereka;

juga karena kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah, yakni hujah-hujah dan bukti-bukti kekuasaan-Nya serta mukjizat-mukjizat yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri dari tangan para nabi mereka. Firman Allah Swt.:


{وَقَتْلَهُمُ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ}


dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang benar. (An-Nisa: 155)Karena kejahatan mereka yang luar biasa dan kekurangajaran mereka kepada nabi-nabi Allah, hingga mereka berani membunuh sejumlah nabi dari kalangan mereka. Firman Allah Swt.:


{قُلُوبُنَا غُلْفٌ}


Hati kami tertutup. (An-Nisa: 155)Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, As-Saddi, Qatadah, dan lain-lainnya mengatakan, "Yang dimaksud dengan gulfun ialah githaun (penutup), yakni hati "kami dalam keadaan tertutup." Pengertiannya sama dengan ucapan orang-orang musyrik yang disitir oleh firman-Nya:


وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ


Mereka berkata, "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya." (Fushshilat: 5), hingga akhir ayat.Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah mereka mengaku bahwa hati mereka merupakan

wadah ilmu yang telah penuh dengan ilmu pengetahuan. Demikianlah menurut riwayat Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas. Hal yang semisal diterangkan di dalam tafsir ayat surat Al-Baqarah. Firman Allah Swt.:


{بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ}


Bahkan sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. (An-Nisa: 155)Berdasarkan pengertian pertama, seakan-akan mereka beralasan kepada Nabi Saw. bahwa hati mereka tidak dapat memahami apa yang dikatakannya

karena hati mereka telah terkunci mati dan tertutup. Maka Allah membantah mereka, bahwa hati mereka bahkan telah terkunci mati karena kekufuran mereka sendiri.Berdasarkan pengertian kedua adalah kebalikan dari pendapat

yang pertama tadi dari segala seginya. Pembahasan mengenai hal yang semisal telah dikemukakan di dalam tafsir surat Al-Baqarah.Firman Allah Swt.:


{فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا}


karena itu mereka tidak beriman kecuali sebagian kecil dari mereka. (An-Nisa: 155)Dengan kata lain, hati mereka terbiasa dengan kekufuran, kezaliman, serta keimanan yang minim sekali.


{وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا}


Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar. (An-Nisa: 156)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah mereka menuduhnya

berbuat zina. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, Juwaibir, Muhammad ibnu Ishaq, dan lain-lainnya. Pengertian ini jelas terbaca dari makna ayat, bahwa mereka memang menuduh Maryam dan putranya dengan tuduhan-tuduhan yang besar;

mereka menuduh Maryam telah berbuat zina karena mengandung. Sebagian dari mereka menambahkan bahwa padahal Maryam tetap berhaid. Semoga laknat Allah yang terus-menerus sampai hari kiamat menimpa mereka. Firman Allah Swt.:


{إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ}


Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra maryam, utusan Allah. (An-Nisa: 157)Maksudnya, orang yang dirinya mengakui berkedudukan demikian telah kami bunuh. Ucapan tersebut dikatakan mereka sebagai cemoohan

dan ejekan. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain yang mengisahkan perkataan orang-orang musyrik, yaitu melalui firman-Nya:


{يَا أَيُّهَا الَّذِي نزلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ}


Hai orang yang diturunkan Al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila. (Al-Hijr: 6)Tersebutlah bahwa di antara kisah mengenai orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah, murka, kemarahan, dan siksa-Nya

selalu menimpa mereka— yaitu: Ketika Allah mengutus Isa anak Maryam a.s. dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan petunjuk, mereka dengki kepadanya karena ia telah dianugerahi Allah kenabian dan berbagai macam mukjizat

yang cemerlang. Di antara mukjizatnya ialah dapat menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena penyakit supak, dan menghidupkan kembali orang yang telah mati dengan seizin Allah. Mukjizat lainnya ialah dia membuat patung

dari tanah liat berbentuk seekor burung, lalu ia meniupnya, maka jadilah patung itu burung sungguhan dengan seizin Allah Swt., lalu dapat terbang dengan disaksikan oleh mata kepala orang-orang yang melihatnya. Banyak pula mukjizat lainnya

sebagai kehormatan baginya dari Allah; hal tersebut dilakukan oleh Allah melalui kedua tangan Isa a.s.Akan tetapi, sekalipun demikian mereka mendustakannya, menentangnya, serta berupaya untuk mengganggunya dengan segala kemampuan

yang mereka miliki. Hingga hal tersebut membuat Nabi Allah Isa a.s. tidak dapat tinggal satu negeri bersama mereka, melainkan banyak mengembara, dan ibunya pun ikut mengembara bersamanya.Mereka masih belum puas dengan hal tersebut.

Akhirnya mereka datang kepada Raja Dimasyq (Damascus) di masa itu. Raja Dimasyq adalah seorang musyrik penyembah bintang, para pemeluk agamanya dikenal dengan sebutan pemeluk agama Yunani. Akhirnya mereka (orang-orang)

Yahudi itu sampai kepada raja tersebut, lalu melaporkan laporan palsu kepadanya bahwa di Baitul Maqdis terdapat seorang lelaki yang menghasut khalayak ramai, menyesatkan mereka, dan menganjurkan mereka agar memberontak kepada raja.

Mendengar laporan tersebut si raja murka, lalu ia mengirimkan instruksi kepada gubernurnya yang ada di Baitul Maqdis, memerintahkannya agar menangkap lelaki yang dimaksud, lalu menyalibnya dan kepalanya diikat dengan duri agar tidak

mengganggu orang-orang lagi.Ketika surat raja itu sampai kepada si gubernur, ia segera melaksanakan perintah itu, lalu ia berangkat bersama segolongan orang-orang Yahudi menuju ke sebuah rumah yang di dalamnya terdapat Nabi Isa a.s.

bersama sejumlah sahabatnya; jumlah mereka kurang lebih ada dua belas atau tiga belas orang. Menurut pendapat yang lain adalah tujuh belas orang.Hal tersebut terjadi pada hari Jumat, sesudah waktu Asar, yaitu petang hari Sabtu.

Mereka mengepung rumah tersebut. Ketika Nabi Isa merasakan bahwa mereka pasti dapat memasuki rumah itu atau ia terpaksa keluar rumah dan akhirnya bersua dengan mereka, maka ia berkata kepada sahabat-sahabatnya,

"Siapakah di antara kalian yang mau diserupakan seperti diriku? Kelak dia akan menjadi temanku di surga."Maka majulah seorang pemuda yang rela berperan sebagai Nabi Isa. Tetapi Nabi Isa memandang pemuda itu masih terlalu hijau

untuk melakukannya. Maka ia mengulangi permintaannya sebanyak dua kali atau tiga kali.Tetapi setiap kali ia mengulangi perkataannya, tiada seorang pun yang berani maju kecuali pemuda itu. Akhirnya Nabi Isa berkata,

"Kalau memang demikian, jadilah kamu seperti diriku." Maka Allah menjadikannya mirip seperti Nabi Isa a.s. hingga seakan-akan dia memang Nabi Isa sendiri.Lalu terbukalah salah satu bagian dari atap rumah itu,

dan Nabi Isa tertimpa rasa kantuk yang sangat hingga tertidur, lalu ia diangkat ke langit dalam keadaan demikian. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ


(Ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menidurkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku." (Ali Imran: 55), hingga akhir ayat.Setelah Nabi Isa diangkat ke langit, para sahabatnya keluar. Ketika mereka

(pasukan yang hendak menangkap Nabi Isa) melihat pemuda itu, mereka menyangkanya sebagai Nabi Isa, sedangkan hari telah malam,' lalu mereka menangkapnya dan langsung menyalibnya serta mengalungkan duri-duri pada kepalanya.

Orang-orang Yahudi menonjolkan dirinya bahwa merekalah yang telah berupaya menyalib Nabi Isa dan mereka merasa bangga dcngan hal tersebut, lalu beberapa golongan dari kalangan orang-orang Nasrani —karena kebodohan

dan akalnya yang kurang— mempercayai saja hal tersebut. Kecuali mereka yang ada bersama Nabi Isa; mereka tidak mempercayainya karena menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Nabi Isa a.s. diangkat ke langit.

Selain dari mereka yang bersama Nabi Isa, semuanya mempunyai dugaan yang sama dengan orang-orang Yahudi, bahwa orang yang disalib itu adalah Al-Masih putra Maryam. Sehingga mereka menyebutkan suatu mitos yang mengatakan

bahwa Siti Maryam duduk di bawah orang yang disalib itu dan menangisinya. Menurut kisah mereka, Al-Masih dapat berbicara dengannya.Hal tersebut merupakan ujian Allah kepada hamba-hamba-Nya karena suatu hikmah yang hanya

Dia sendirilah yang mengetahuinya. Allah telah menjelaskannya dan menerangkannya dengan gamblang di dalam Al-Qur'an yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia, didukung dengan berbagai macam mukjizat dan keterangan-keterangan

serta bukti-bukti yang jelas. Untuk itu Allah Swt. berfirman bahwa Dia Mahabenar dalam Firman-Nya, Dia Tuhan semesta alam yang mengetahui semua rahasia dan apa yang terkandung di dalam hati, Dia Maha Mengetahui semua rahasia

di langit dan di bumi, Dia Maha Mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan terjadi serta apa yang tidak terjadi berikut dengan akibatnya bilamana hal itu terjadi:


{وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ}


padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. (An-Nisa: 157)Dengan kata lain, mereka hanya melihat yang diserupakan dengan Isa, lalu mereka menduganya sebagai Isa a.s. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلا اتِّبَاعَ الظَّنِّ


Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu,

kecuali mengikuti persangkaan belaka. (An-Nisa: 157) Maksudnya, orang Yahudi yang menduga bahwa dia telah membunuhnya dan orang Nasrani yang percaya dengan hal itu dari kalangan mereka yang bodoh,

semua berada dalam keraguan akan kejadian itu; mereka bingung dan panik serta sesat. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا}


mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (An-Nisa: 157) Dengan kata lain, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa, melainkan mereka ragu dan menduga-duga saja.


{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}


tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa. (An-Nisa: 158)Yaitu Zat-Nya Mahaperkasa dengan keperkasaan yang tak terjangkau oleh siapa pun, dan orang yang dilindungi-Nya tiada yang dapat menyentuhnya.


{حَكِيمًا}


lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 158)Allah Mahabijaksana dalam semua takdir-Nya dan semua perkara yang diputuskan-Nya. Semuanya adalah makhluk-Nya, dan hanya Dialah yang memiliki hikmah yang tak terbatas, hujah yang mematahkan,

kekuasaan Yang Mahabesar, serta semua perencanaan.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr,

dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Allah hendak mengangkat Isa ke langit, maka Isa keluar untuk menemui para sahabatnya dari kalangan Hawariyyin yang jumlahnya ada dua belas orang.

Yang dimaksud ialah Isa keluar dari mata air yang ada dalam rumah tersebut, sedangkan kepalanya masih meneteskan air, lalu ia berkata, "Sesungguhnya di antara kalian ada orang yang kafir kepadaku sebanyak dua belas kali sesudah ia beriman

kepadaku." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Isa berkata pula, "Siapakah di antara kalian yang mau dijadikan sebagai orang yang serupa denganku, lalu ia akan dibunuh sebagai gantiku, maka kelak dia akan bersamaku dalam satu

tingkatan (di surga nanti)?" Maka berdirilah seorang pemuda yang paling muda usianya di antara yang ada, lalu Isa berkata kepadanya, "Duduklah kamu." Kemudian ia mengulangi lagi kata-katanya kepada mereka. Pemuda itu berdiri lagi

mengajukan dirinya, maka Isa berkata, "Duduklah kamu." Lalu ia mengulangi lagi kata-katanya itu, maka pemuda itu juga yang berdiri seraya berkata, "Aku bersedia." Akhirnya Isa berkata, "Kalau memang demikian, kamulah orangnya.'' Maka Allah

menjadikannya serupa dengan Nabi Isa, sedangkan Nabi Isa sendiri diangkat ke langit dari salah satu bagian atap rumah tersebut. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang Yahudi yang memburunya datang

dan langsung menangkap orang yang serupa dengan Isa itu, lalu mereka membunuh dan menyalibnya. Maka sebagian dari mereka kafir kepada Isa sebanyak dua belas kali sesudah ia beriman kepadanya, dan mereka berpecah-belah menjadi

tiga golongan. Suatu golongan dari mereka mengatakan, "Dahulu Allah berada di antara kita, kemudian naik ke langit.”Mereka yang berkeyakinan demikian adalah sekte Ya'qubiyah. Segolongan lainnya mengatakan, "Dahulu anak Allah a

da bersama kami selama yang dikehendaki-Nya, kemudian Allah mengangkatnya kepada-Nya." Mereka yang berkeyakinan demikian dari sekte Nasturiyah. Segolongan lain mengatakan, "Dahulu hamba dan utusan Allah

ada bersama kami selama masa yang dikehendaki oleh Allah, kemudian Allah mengangkat dia kepada-Nya." Mereka yang berkeyakinan demikian adalah orang-orang muslim. Kemudian dua golongan yang kafir itu memerangi golongan yang muslim

dan membunuhnya, maka Islam dalam keadaan terpendam hingga Allah mengutus Nabi Muhammad Saw.Sanad asar ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas. Imam Nasai meriwayatkannya melalui Abu Kuraib, dari Abu Mu'awiyah dengan lafaz

yang semisal. Hal yang sama disebutkan oleh ulama Salaf lainnya yang bukan hanya oleh seorang saja, bahwa Nabi Isa berkata kepada para sahabatnya,


أَيُّكُمْ يُلْقَى عَلَيْهِ شَبَهِي فيقتلَ مَكَانِي، وَهُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ؟


"Siapakah di antara kalian yang mau dijadikan orang yang serupa dengan diriku. lalu ia akan dibunuh sebagai ganti diriku? Maka kelak dia akan menjadi temanku di dalam surga."Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid,

telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, dari Harun ibnu Antarah, dari Wahb ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa Isa datang ke sebuah rumah bersama tujuh belas orang dari kalangan kaum Hawariyyin, lalu mereka mengepungnya.

Ketika mereka masuk ke dalam rumah itu, Allah membuat rupa mereka sama dengan Isa a.s. Lalu mereka yang hendak menangkap Isa berkata, "Kalian benar-benar telah menyihir kami. Kalian harus menyerahkan Isa yang sebenarnya kepada

kami atau kami terpaksa membunuh kalian semua." Maka Isa berkata kepada para sahabatnya, "Siapakah di antara kalian yang mau menukar dirinya dengan surga pada hari ini?" Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka menjawab, "Aku!"

Lalu ia keluar kepada mereka dan berkata, "Akulah Isa." Sedangkan Allah telah menjadikan rupanya mirip seperti Nabi Isa. Lalu mereka langsung menangkap dan membunuh serta menyalibnya. Karena itulah maka terjadi kesyubhatan (keraguan)

di kalangan mereka, dan mereka menduga bahwa mereka telah membunuh Isa. Orang-orang Nasrani mempunyai dugaan yang semisal, bahwa yang disalib itu adalah Isa. Pada hari itu juga Allah mengangkat Isa. Akan tetapi, konteks kisah ini

aneh sekali (garib jiddan).Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan dari Wahb hal yang semisal dengan pendapat di atas, yaitu kisah yang diceritakan kepadaku oleh Al-Musanna. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq,

telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdul Karim, telah menceritakan kepadaku Abdus Samad ibnu Ma'qal; ia pernah mendengar Wahb menceritakan hal berikut. Isa ibnu Maryam ketika diberi tahu oleh Allah akan diangkat dari dunia ini.

maka gelisahlah hatinya karena akan menghadapi kematian dan berita itu terasa berat baginya. Maka ia mengundang semua Hawariyyin dan membuat makanan untuk mereka. Dia berkata, "Datanglah kepadaku malam ini, karena sesungguhnya

aku mempunyai suatu keperluan kepada kalian." Setelah mereka berkumpul pada malam harinya, maka Nabi Isa menjamu makan malam dan melayani mereka sendirian. Sesudah selesai dari jamuan itu, Nabi Isa mencucikan tangan mereka

dan membersihkannya serta mengusap tangan mereka dengan kain bajunya. Hal tersebut terasa amat berat bagi mereka dan mereka tidak menyukai pelayanan itu. Nabi Isa berkata, "Ingatlah, barang siapa yang malam ini menolak apa yang telah

aku lakukan kepada kalian, dia bukan termasuk golonganku dan aku pun bukan termasuk golongannya." Akhirnya mereka menerimanya. Seusai melaksanakan semuanya, Nabi Isa berkata, "Adapun mengenai apa yang telah aku buat untuk kalian

malam ini, yaitu pelayananku dalam menjamu kalian dan mencucikan tangan kalian dengan kedua tanganku ini, hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai suri teladan bagi kalian dariku. Karena sesungguhnya kalian telah melihat bahwa diriku

adalah orang yang paling baik di antara kalian, janganlah sebagian dari kalian merasa besar diri atas sebagian yang lain, dan hendaklah sebagian dari kalian mengabdikan dirinya untuk kepentingan sebagian yang lain, sebagaimana aku

mengabdikan diriku untuk kalian. Adapun keperluanku malam ini ialah meminta tolong kepada kalian agar kalian mendoakan kepada Allah buat diriku dengan doa yang sungguh-sungguh memohon kepada Allah agar Dia menangguhkan ajalku.

" Ketika mereka membenahi dirinya untuk berdoa dan hendak melakukannya secara maksimal, tiba-tiba mereka ditimpa oleh rasa kantuk yang sangat hingga mereka tidak mampu berdoa. Lalu Nabi Isa a.s. membangunkan mereka seraya berkata,

"Mahasuci Allah, mengapa kalian tidak dapat bertahan untukku malam ini saja untuk membantuku dalam berdoa?" Mereka menjawab, "Demi Allah, kami tidak mengetahui apa yang telah menimpa diri kami. Sesungguhnya kami banyak begadang

dan malam ini kami tidak mampu lagi begadang. Tidak sekali-kali kami hendak berdoa, melainkan kami selalu dihalang-halangi oleh rasa kantuk itu yang menghambat kami untuk melakukan doa." Nabi Isa berkata, "Penggembala pergi dan ternak

kambing pun bercerai-berai," lalu ia mengucapkan kalimat-kalimat yang semisal sebagai ungkapan belasungkawa terhadap dirinya. Kemudian Isa a.s. berkata, "Sesungguhnya kelak ada seseorang di antara kalian yang benar-benar kafir kepadaku

sebelum ayam jago berkokok tiga kali, dan sesungguhnya akan ada seseorang di antara kalian yang rela menjual diriku dengan beberapa dirham, dan sesungguhnya dia benar-benar memakan hasil jualannya itu.

" Lalu mereka keluar dan berpencar, saat itu orang-orang Yahudi sedang mencari-carinya. Lalu mereka menangkap Syam'un (salah seorang Hawariyyin) dan mereka mengatakan, "Orang ini termasuk sahabatnya."

Tetapi Syam'un mengingkari tuduhan itu dan mengatakan, "Aku bukanlah sahabatnya." Akhirnya mereka melepaskannya. Kemudian mereka menangkap yang lainnya, orang yang kedua itu pun mengingkarinya.

Kemudian Nabi Isa mendengar kokok ayam jago, maka ia menangis dan bersedih hati. Pada pagi harinya salah seorang Hawariyyin datang kepada orang-orang Yahudi, lalu berkata, "Imbalan apakah yang akan kalian berikan kepadaku

jika aku tunjukkan kalian kepada Al-Masih?" Mereka memberinya uang sebanyak tiga puluh dirham, lalu ia menerimanya dan menunjukkan mereka ke tempat Al-Masih berada. Sebelum itu telah diserupakan kepada mereka Nabi Isa yang palsu.

Maka mereka menangkapnya dan mengikatnya dengan tali, lalu mereka giring seraya mengatakan kepadanya, "Katanya kamu dapat menghidupkan orang yang telah mati, dapat mengusir setan, dan menyembuhkan orang gila.

Sekarang apakah kamu dapat menyelamatkan dirimu dari tambang ini?" Mereka meludahinya dan melemparinya dengan tangkai-tangkai berduri, hingga sampai di tempat kayu yang mereka maksudkan untuk menyalibnya.

Allah telah mengangkat Nabi Isa yang asli dan mereka menyalib orang yang diserupakan dengannya. Tujuh hari setelah peristiwa itu ibu Nabi Isa dan seorang wanita yang telah diobati oleh Isa a.s. hingga wanita itu sembuh dari penyakit

gilanya menangisi orang yang disalib itu. Lalu Isa a.s. datang kepada mereka berdua dan berkata, "Apakah yang membuat kamu berdua menangis?" Keduanya menjawab, "Kami menangisimu." Isa berkata, "Sesungguhnya Allah

telah mengangkat diriku kepada-Nya, dan tiada yang aku peroleh kecuali kebaikan belaka, dan sesungguhnya orang yang disalib ini adalah orang yang diserupakan denganku di mata mereka. Maka perintahkanlah kepada kaum Hawariyyin

agar mereka menjumpaiku di tempat anu dan anu." Kemudian di tempat yang dimaksud Nabi Isa dijumpai oleh sebelas orang, dan ia merasa kehilangan seseorang dari mereka, yaitu orang yang telah 'menjualnya' dan menunjukkan kepada

orang-orang Yahudi tempat ia berada. Kemudian Isa menanyakan kepada sahabat-sahabatnya tentang orang tersebut. Maka seseorang dari mereka menjawab bahwa dia telah menyesali perbuatannya, lalu ia bunuh diri dengan cara gantung diri.

Isa berkata, "Seandainya ia bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya." Kemudian Isa menanyakan kepada mereka tentang seorang pelayan yang ikut bersama mereka. Mereka menjawab bahwa pelayan tersebut bernama Yahya.

Maka Isa berkata, "Dia ikut bersama kalian, dan sekarang berangkatlah kalian, sesungguhnya setiap orang itu kelak akan berbicara dengan bahasa kaumnya, maka berilah mereka peringatan dan serulah mereka."

Konteks riwayat ini berpredikat garib jiddan (aneh sekali).Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ibnu Ishaq yang menceritakan bahwa nama raja Bani Israil

yang mengirimkan sejumlah pasukan untuk membunuh Isa a.s. adalah Daud, seseorang dari kalangan Bani Israil pula. Setelah mereka sepakat untuk membunuh Isa a.s., menurut berita yang sampai kepadaku, tiada seorang hamba pun

dari kalangan hamba-hamba Allah yang takut kepada mati seperti takut yang dialaminya, dan tiada orang yang lebih gelisah darinya dalam menghadapi hal itu, tiada seorang pun yang berdoa agar dijauhkan dari mati seperti doa

yang dilakukannya. Sehingga menurut apa yang mereka duga, Isa a.s. berkata dalam doanya, "Ya Allah, jika Engkau menghindarkan kematian ini dari seseorang makhluk-Mu, maka hindarkanlah ia dariku." Disebutkan bahwa sesungguhnya

kulit Nabi Isa (setelah mendengar berita itu) benar-benar mengucurkan darah. Lalu Isa dan semua sahabatnya memasuki tempat persembunyian yang telah mereka sepakati, dan di tempat itulah akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan;

jumlah mereka seluruhnya ada tiga belas orang, termasuk Nabi Isa a.s. sendiri. Setelah Nabi Isa merasa yakin bahwa semua sahabatnya telah masuk ke dalam tempat tersebut bersamanya, lalu Nabi Isa mengumpulkan semua sahabatnya

yang terdiri atas kalangan Hawariyyin. Mereka ada dua belas orang, yaitu Firtaus, Ya'qobus, Weila dan Nakhas saudara Ya'qobus, Andreas, Philips, Ibnu Yalma, Mateus, Tomas, Ya'qub ibnu Halqiya, Nadawasis, Qatabiya, Yudas Rakriya Yuta.

Ibnu Humaid mengatakan bahwa Salamah mengatakan dari Ishaq, "Menurut kisah yang sampai kepadaku, ada seorang lelaki bernama Sarjis hingga jumlah mereka tiga belas orang selain Isa. Orang-orang Nasrani mengingkarinya karena Sarjislah

yang diserupakan dengan Isa di mata orang-orang Yahudi."Ibnu Ishaq mengatakan, "Aku tidak mengetahui apakah Sarjis termasuk mereka yang dua belas orang itu, ataukah dia termasuk salah seorang dari mereka yang tiga belas.

Karena itulah mereka meragukannya di saat mereka mengiyakan kepada orang-orang Yahudi tentang tersalibnya Isa. Mereka (orang-orang Nasrani) tidak mempercayai berita mengenai hal tersebut yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.

" Jika jumlah mereka seluruhnya ada tiga belas orang ketika memasuki rumah persembunyian itu, berarti semuanya ada empat belas orang bersama Isa a.s. Jika jumlah mereka (Hawariyyin) ada dua belas orang ketika memasuki rumah

persembunyian itu, berarti seluruhnya ada tiga belas orang (bersama Isa as.).Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki yang dahulunya beragama Nasrani, kemudian masuk Islam; bahwa Isa ketika mendapat wahyu

dari Allah Swt. yang mengatakan, "Sesungguhnya Aku akan mengangkatmu kepada-Ku." Maka Isa berkata, "Hai golongan Hawariyyin, siapakah di antara kalian yang rela menjadi temanku di surga? Syaratnya adalah dia mau menjadi orang

yang diserupakan dengan diriku di mata kaum, lalu mereka membunuhnya sebagai ganti dariku." Maka Sarjis menjawab, "Aku bersedia, wahai Ruhullah." Isa a.s. berkata, "Duduklah kamu di tempatku!" Maka Sarjis duduk di tempatnya,

sedangkan ia sendiri diangkat ke langit. Lalu mereka memasuki rumah itu dan langsung menangkapnya serta menyalibnya. Sarjislah orang yang disalib dan diserupakan dengan Isa di mata mereka. Jumlah mereka di saat memasuki rumah itu

bersama Isa telah dimaklumi, karena mereka mengintipnya dan menghitung jumlahnya. Ketika mereka memasuki rumah itu untuk menangkap Isa, maka menurut penglihatan mereka, "mereka melihat adanya Isa dan para sahabatnya,

tetapi mereka kehilangan seorang lelaki dari jumlah keseluruhannya. Hal itulah yang membuat mereka berselisih pendapat mengenainya. Sejak semula mereka tidak mengenal Isa, yaitu di saat mereka memberikan hadiah tiga puluh dirham

kepada Yudas sebagai imbalan untuk menunjukkan dan mengenalkan Isa kepada mereka. Yudas berkata kepada mereka, "Jika kalian memasukinya, aku akan menciumnya, maka Isa adalah orang yang aku cium itu nantinya."

Ketika mereka memasuki rumah tersebut, Isa telah diangkat ke langit; dan mereka melihat Sarjis yang diserupakan menjadi Isa a.s., sedang Yudas sendiri tidak meragukan bahwa Sarjis adalah Isa. Karena itu, ia langsung menciumnya,

dan mereka menangkapnya, lalu menyalibnya. Setelah peristiwa itu Yudas menyesali perbuatannya, lalu ia menggantung dirinya dengan tali tambang hingga mati. Dia adalah orang yang terkutuk di kalangan orang-orang Nasrani,

padahal sebelumnya dia termasuk salah seorang sahabat Isa. Sebagian orang Nasrani menduga bahwa orang yang diserupakan dengan Isa itu adalah Yudas sendiri, lalu disalib oleh orang-orang Yahudi. Di saat disalib itu ia mengatakan,

"Sesungguhnya aku bukan orang yang kalian cari, akulah orang yang menunjuki kalian kepadanya."Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, bahwa mereka menyalib seorang lelaki yang diserupakan dengan Isa, sedangkan Isa sendiri telah

diangkat oleh Allah Swt. ke langit dalam keadaan hidup.Tetapi Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang diserupakan dengan Isa adalah semua sahabatnya yang ada bersamanya.Firman Allah Swt.:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (An-Nisa: 159)Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama ahli takwil berselisih pendapat mengenai makna ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa firman-Nya yang mengatakan:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ} يَعْنِي بِعِيسَى {قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Yakni sebelum kematian Isa. Dengan alasan bahwa semuanya percaya kepadanya apabila ia diturunkan untuk membunuh Dajjal.

Maka semua agama menjadi satu, agama Islam yang hanif, yaitu agama Nabi Ibrahim a.s.Pendapat orang-orang yang mengatakan demikian disebutkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Basysyar,

telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Abu Husain, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kiiab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Yakni sebelum Isa ibnu Maryam a.s. meninggal dunia. Al-Aufi telah meriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas. Abu Malik mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:


{إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Hal tersebut terjadi setelah Nabi Isa diturunkan; dan sebelum Nabi Isa a.s. meninggal dunia, maka tiada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali beriman kepadanya. Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Yaitu orang-orang Yahudi secara khusus. Menurut Al-Hasan Al-Basri, makna yang dimaksud ialah An-Najasyi

dan sahabat-sahabatnya; keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Abu Raja, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Yakni sebelum isa meninggal dunia. Demi Allah, sesungguhnya dia sekarang masih hidup di sisi Allah; tetapi bila dia diturunkan,

mereka (Ahli Kitab) semuanya beriman kepadanya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Usman Allahiqi, telah menceritakan kepada kami Juwairiyah ibnu Basyir

yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki berkata kepada Al-Hasan, "Wahai Abu Sa'id, apakah yang dimaksud dengan firman berikut," yaitu:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Al-Hasan menjawab, "Makna yang dimaksud ialah sebelum kematian Isa. Sesungguhnya Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya,

dan kelak Dia akan menurunkannya sebelum hari kiamat untuk menempati suatu kedudukan di mana semua orang yang bertakwa dan semua orang yang durhaka beriman kepadanya." Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Pendapat inilah yang benar, seperti yang akan kami jelaskan nanti sesudah mengemukakan dalil yang akurat, insya Allah.

Hanya kepada-Nyalah kita percaya dan berserah diri.Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ahli takwil yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya. (An-Nisa: 159)Maksudnya, beriman kepada Isa sebelum kematian Ahli Kitab yang bersangkutan, yakni bilamana dia telah menyaksikan perkara yang benar dan yang batil.

Karena sesungguhnya setiap orang yang menghadapi kematiannya, sebelum itu rohnya masih belum keluar sehingga dijelaskan kepadanya antara perkara yang hak dan perkara yang batil dalam agamanya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa tidak sekali-kali orang Yahudi meninggal dunia melainkan terlebih dahulu ia beriman kepada Isa.

Telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan Firman-Nya:


{إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Semua Ahli Kitab pasti beriman kepada Isa sebelum ia mati, yakni sebelum Ahli Kitab yang bersangkutan meninggal dunia. Ibnu Abbas mengatakan,

"Seandainya seorang Ahli Kitab dipenggal kepalanya, maka rohnya masih belum keluar sebelum ia beriman kepada Isa."Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Namilah Yahya ibnu Wadih,

telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Waqid, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikri-mah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang Yahudi mati kecuali sebelum itu ia bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah,

sekalipun senjata telah mengenainya.Telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Ibrahim dan Habib ibnu Syahid, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Basyir, dari Khasif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:

وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Menurut qiraah Ubay, {قَبْلَ مَوْتِهِمْ}makna ayat ialah sebelum kematian mereka. Tidak ada seorang Yahudi pun mati,

melainkan ia pasti beriman terlebih dahulu kepada Isa. Lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Bagaimanakah menurutmu jika dia terjatuh dari atas rumahnya?" Ibnu Abbas menjawab, "Dia pasti mengucapkannya di udara (yakni saat ia jatuh)."

Lalu ada yang bertanya lagi, "Bagaimanakah menurutmu, jika seseorang dari mereka keburu ditebas batang lehernya?" Ibnu Abbas menjawab bahwa lisannya pasti berkomat-kamit mengucapkan hal itu.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Tidak ada seorang Yahudi pun yang mati kecuali sebelum itu ia beriman kepada Isa a.s. Bila kepalanya dipenggal pun

dia pasti mengucapkannya. Bila ia terjatuh dari ketinggian, dia pasti mengucapkannya ketika dia masih di udara dalam keadaan terjatuh.Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Abu Haam Al-Ganawi,

dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Semua sanad asar ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas. Sahih pula dari Mujahid, Ikrimah, dan Muhammad ibnu Sirin. Pendapat yang sama dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Juwaibir,

As-Saddi mengatakan bahwa hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas serta dinukil dari qiraah Ubay ibnu Ka'b dengan bacaan قَبْلَ مَوْتِهِمْ (bukan قَبْلَ مَوْتِهِ) yang artinya sebelum mereka mati.Abdur Razzaq meriwayatkan dari Israil, dari Furat Al-Qazzaz, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya:


{إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


kecuali akan beriman kepadanya sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Tidak ada seorang pun dari kalangan mereka (Ahli Kitab) mati, melainkan pasti beriman kepada Isa sebelum kematiannya. Tetapi penafsiran ini dapat diinterpretasikan bahwa

yang dimaksud oleh Al-Hasan adalah seperti makna yang pertama tadi. Dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud adalah seperti yang dikehendaki oleh mereka (yakni pada pendapat yang kedua).Ibnu Jarir mengatakan bahwa

ulama lainnya mengatakan, makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang Ahli Kitab pun melainkan akan beriman kepada Nabi Muhammad Saw. sebelum Ahli Kitab yang bersangkutan mati.Pendapat orang yang mengatakan demikian disebut

oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajaj ibnul Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Humaid yang mengatakan bahwa Ikrimah pernah mengatakan,

"Tidaklah mati seorang Nasrani —tidak pula seorang Yahudi— melainkan ia beriman kepada Nabi Muhammad Saw. sebelum dia mati." Demikianlah makna yang dimaksud oleh Firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Nabi Muhammad) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling sahih di antara semua pendapat di atas adalah

pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab sesudah Isa a.s. diturunkan kecuali ia beriman kepadanya sebelum Isa a.s. meninggal dunia.Tidak kita ragukan lagi bahwa

apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan pendapat yang benar, karena maksud dan tujuan dari konteks ayat-ayat ini ialah menetapkan kebatilan apa yang didakwakan oleh orang-orang Yahudi tentang terbunuhnya Isa

dan penyalibannya, serta sanggahan terhadap orang-orang yang percaya akan hal tersebut dari kalangan orang-orang Nasrani yang lemah akalnya.Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa perkara yang sebenarnya tidaklah seperti dugaan

mereka, melainkan orang yang diserupakan di mata mereka dengan Isa, lalu mereka membunuhnya, sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu dengan jelas. Sesungguhnya Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya dan kini ia masih dalam

keadaan hidup, dan kelak di hari sebelum kiamat terjadi dia akan diturunkan ke bumi, seperti yang disebut oleh banyak hadis mutawalir yang akan kami jelaskan dalam waktu yang dekat, insya Allah. Kemudian Al-Masih setelah diturunkan ke bumi,

membunuh Dajjal yang sesat; semua salib ia pecahkan, semua babi dibunuhnya, dan semua bentuk jizyah ia hilangkan. Yakni dia tidak mau menerimanya dari seorang pun dari kalangan pemeluk agama lain, bahkan tidak ada pilihan lain kecuali

masuk Islam atau pedang. Maka ayat ini menceritakan bahwa kelak semua Ahli Kitab akan beriman kepadanya saat itu; dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ketinggalan untuk percaya kepadanya. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya:


{وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ}


Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. (An-Nisa: 159)Yakni sebelum Isa meninggal dunia, yang menurut dugaan orang-orang Yahudi dan para pendukungnya dari kalangan orang-orang Nasrani dikabarkan bahwa dia telah dibunuh dan disalib.


{وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا}


Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka. (An-Nisa: 159)Terhadap amal perbuatan mereka yang disaksikannya sebelum ia diangkat ke langit dan sesudah ia diturunkan ke bumi.Mengenai orang yang menafsirkan ayat ini

dengan pengertian berikut, bahwa setiap Ahli Kitab tidak mati kecuali terlebih dahulu beriman kepada Isa atau Muhammad Saw.; memang demikianlah kenyataannya. Dikatakan demikian karena setiap orang itu di saat menjelang ajalnya

ditampakkan dengan jelas kepadanya hal-hal yang tidak ia ketahui sebelumnya, lalu ia beriman kepadanya. Akan tetapi, iman tersebut bukanlah iman yang bermanfaat bagi dirinya karena dia telah menyaksikan malaikat maut. Seperti yang dinyatakan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ


Dan tidaklah tobat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, "Sesungguhnya saya bertobat sekarang." (An-Nisa: 18), hingga akhir ayat.Dalam ayat yang lainnya disebutkan melalui firman-Nya:


فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ


Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, "Kami beriman hanya kepada Allah saja." (Al-Mu-min: 84), hingga ayat berikutnya.Pengertian ini menunjukkan lemahnya apa yang dijadikan oleh Ibnu Jarir sebagai hujah untuk membantah

pendapat ini. Karena dia mengatakan seandainya makna yang dimaksud dari ayat ini seperti keterangan di atas, niscaya setiap orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw. atau kepada Isa Al-Masih dari kalangan mereka yang kafir kepada

keduanya dinilai sebagai pemeluk agamanya masing-masing. Dalam keadaan demikian, berarti harta peninggalannya tidak boleh diwarisi oleh kaum kerabatnya dari kalangan pemeluk agamanya semula. Karena Nabi Saw. telah memberitakan bahwa

dia telah beriman sebelum maut meregang nyawanya.Pendapat seperti itu kurang mengena, karena keimanan orang yang dimaksud bukan dalam keadaan yang dapat memberikan manfaat kepadanya dan hal tersebut tidak menjadikannya

sebagai seorang muslim. Anda telah membaca pendapat Ibnu Abbas di atas yang mengatakan bahwa seandainya dia terjatuh dari tempat yang tinggi atau dipancung lehernya dengan pedang atau diterkam binatang buas, maka sesungguhnya

dia pasti akan beriman kepada Isa. Akan tetapi, iman dalam keadaan demikian tidak bermanfaat dan tidak dapat mengalihkan pelakunya dari kekafirannya, karena alasan yang telah kami sebutkan di atas.Tetapi bagi orang yang merenungkan

hal ini dengan baik dan memikirkannya dengan mendalam, niscaya akan jelas baginya, memang demikianlah kenyataannya, tetapi tidak mengharuskan bahwa makna ayat adalah seperti itu. Melainkan makna yang dimaksud dengan ayat ini

adalah seperti yang telah kami sebutkan, yaitu menetapkan keberadaan Nabi Isa dan dia masih hidup di langit, kelak sebelum hari kiamat dia akan diturunkan untuk mendustakan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang berbeda

pendapat mengenainya. Pendapat mereka saling bertentangan dan jauh dari kebenaran; orang-orang Yahudi keterlaluan dalam pendapatnya, sedangkan orang-orang Nasrani berlebih-lebihan. Orang-orang Yahudi melakukan tuduhan-tuduhan

yang sangat berat terhadap Nabi Isa dan ibunya. Sedangkan orang-orang Nasrani terlalu berlebihan dalam menyanjungnya sehingga mendakwakan kepadanya hal-hal yang tidak pantas disandangnya; mereka mengangkatnya dari kedudukan

kenabian menjadi tuhan. Mahatinggi Allah Swt. dari apa yang telah dikatakan oleh kedua golongan tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, dan Mahasuci Allah dari hal tersebut, tidak ada Tuhan selain Dia.

Surat An-Nisa |4:156|

وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَىٰ مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا

wa bikufrihim wa qoulihim 'alaa maryama buhtaanan 'azhiimaa

dan (Kami hukum juga) karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan mereka yang sangat keji terhadap Maryam,

And [We cursed them] for their disbelief and their saying against Mary a great slander,

Tafsir
Jalalain

(Dan karena kekafiran mereka) buat kedua kalinya yakni terhadap Isa, dan ba diulang-ulang menyebutkannya untuk memisah di antaranya dengan tempat mengathafkannya

(dan tuduhan mereka terhadap Maryam berupa kedustaan besar) di mana mereka menuduhnya berbuat zina.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 156 |

Penjelasan ada di ayat 155

Surat An-Nisa |4:157|

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

wa qoulihim innaa qotalnal-masiiḥa 'iisabna maryama rosuulalloh, wa maa qotaluuhu wa maa sholabuuhu wa laakin syubbiha lahum, wa innallażiinakhtalafuu fiihi lafii syakkim min-h, maa lahum bihii min 'ilmin illattibaa'azh-zhonni wa maa qotaluuhu yaqiinaa

dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah." Padahal, mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya,

And [for] their saying, "Indeed, we have killed the Messiah, Jesus, the son of Mary, the messenger of Allah." And they did not kill him, nor did they crucify him; but [another] was made to resemble him to them. And indeed, those who differ over it are in doubt about it. They have no knowledge of it except the following of assumption. And they did not kill him, for certain.

Tafsir
Jalalain

(Serta karena ucapan mereka) dengan membanggakan diri ("Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih Isa putra Maryam utusan Allah")

yakni menurut dugaan dan pengakuan mereka. Artinya disebabkan semua itu Kami siksa mereka. Dan Allah berfirman menolak pengakuan mereka telah membunuhnya itu

(padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi diserupakan bagi mereka dengan Isa) maksudnya yang mereka bunuh dan mereka salib itu ialah sahabat mereka sendiri

yang diserupakan Allah dengan Isa hingga mereka kira Nabi Isa sendiri. (Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham padanya) maksudnya pada Isa

(sesungguhnya dalam keragu-raguan terhadapnya) maksudnya terhadap pembunuhan itu. Agar terlihat orang yang dibunuh itu, sebagian mereka berkata,

"Mukanya seperti muka Isa, tetapi tubuhnya lain, jadi sebenarnya bukan dia!" Dan kata sebagian pula, "Memang dia itu Isa!" (mereka tidak mempunyai terhadapnya) maksudnya pembunuhan itu

(keyakinan kecuali mengikuti persangkaan belaka) disebut sebagai istitsna munqathi'; artinya mereka hanya mengikuti dugaan-dugaan hasil khayal atau lamunan belaka (mereka tidak yakin telah membunuh Isa)

menjadi hal yang menyangkal pembunuhan Isa itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 157 |

Penjelasan ada di ayat 155

Surat An-Nisa |4:158|

بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

bal rofa'ahullohu ilaiih, wa kaanallohu 'aziizan ḥakiimaa

Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Rather, Allah raised him to Himself. And ever is Allah Exalted in Might and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Tetapi Allah telah mengangkatnya kepada-Nya dan Allah Maha Tangguh) dalam kerajaan-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam perbuatan-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 158 |

Penjelasan ada di ayat 155

Surat An-Nisa |4:159|

وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

wa im min ahlil-kitaabi illaa layu`minanna bihii qobla mautih, wa yaumal-qiyaamati yakuunu 'alaihim syahiidaa

Tidak ada seorang pun di antara Ahli Kitab yang tidak beriman kepadanya (Isa) menjelang kematiannya. Dan pada hari Kiamat dia (Isa) akan menjadi saksi mereka.

And there is none from the People of the Scripture but that he will surely believe in Jesus before his death. And on the Day of Resurrection he will be against them a witness.

Tafsir
Jalalain

(Dan tidak ada di antara Ahli Kitab) seorang pun juga (kecuali akan beriman kepadanya) yakin kepada Isa (sebelum meninggalnya) artinya sebelum ahli Kitab itu meninggal di waktu ia melihat malaikat maut,

tetapi keimanannya itu sudah tidak berguna lagi. Atau sebelum wafatnya Isa, yakni ketika dia turun dekat datangnya hari kiamat sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis

(Dan pada hari kiamat itu, ia) yakni Isa (akan menjadi saksi terhadap mereka) mengenai apa yang mereka lakukan sewaktu ia diutus kepada mereka dahulu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 159 |

Penjelasan ada di ayat 155

Surat An-Nisa |4:160|

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا

fa bizhulmim minallażiina haaduu ḥarromnaa 'alaihim thoyyibaatin uḥillat lahum wa bishoddihim 'an sabiilillaahi kaṡiiroo

Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan, dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah,

For wrongdoing on the part of the Jews, We made unlawful for them [certain] good foods which had been lawful to them, and for their averting from the way of Allah many [people],

Tafsir
Jalalain

(Maka karena keaniayaan) artinya disebabkan keaniayaan (dari orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dihalalkan bagi mereka dulu)

yakni yang tersebut dalam firman-Nya, "Kami haramkan setiap yang berkuku..." sampai akhir ayat (juga karena mereka menghalangi) manusia (dari jalan Allah) maksudnya agama-Nya (banyak).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 160 |

Tafsir ayat 160-162

Allah Swt. memberitahukan bahwa disebabkan perbuatan aniaya orang-orang Yahudi karena mereka telah melakukan berbagai macam dosa besar, maka Allah mengharamkan kepada mereka makanan yang dihalalkan bagi mereka sebelumnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr yang mengatakan bah­wa Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan:


"طَيِّبَاتٍ كَانَتْ أُحِلَّتْ لَهُمْ"


beberapa jenis makanan yang dahulunya dihalalkan bagi mereka.Pengharaman ini adakalanya bersifat qadri atas kemauan mereka sen­diri. Dengan kata lain, pada mulanya Allah memberikan keleluasaan kepada mereka, tetapi ternyata mereka

melakukan penakwilan dalam kitab mereka; mereka mengubah dan mengganti banyak hal yang di­halalkan bagi mereka. Kemudian mereka mengharamkannya atas diri­nya sendiri yang akibatnya mempersulit dan mempersempit diri mereka sendiri.

Adakalanya pengharaman ini bersifat syar'i. Dengan kata lain, Allah Swt. mengharamkan kepada mereka di dalam kitab Taurat ba­nyak hal yang dahulunya dihalalkan kepada mereka sebelum itu. Se­perti yang disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:


{كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنزلَ التَّوْرَاةُ}


Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebe­lum Taurat diturunkan. (Ali Imran: 93)Dalam pembahasan yang lalu mengenai tafsir ayat ini disebutkan bahwa makna

yang dimaksud ialah semua jenis makanan adalah halal se­belum Taurat diturunkan, kecuali apa yang diharamkan oleh Nabi Ya*qub untuk dirinya sendiri dari daging unta dan air susunya.Kemudian Allah Swt. mengharamkan banyak jenis makanan di dalam kitab Taurat, seperti yang disebutkan di dalam surat Al-An'am melalui firman-Nya:


{وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ}


Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala bina­tang yang berkuku dari sapi dan domba. Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang mele­kat di punggung keduanya atau yang di perut besar

dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Ka­mi adalah Mahabenar. (Al-An'am: 146)Dengan kata lain, Kami haramkan atas mereka hal tersebut

karena mereka memang berhak menerimanya disebabkan kezaliman, kedur­hakaan mereka, dan mereka selalu menentang rasul mereka serta ba­nyak bertanya kepadanya. Karena itulah dalam surat An-Nisa ini dise­butkan oleh firman-Nya:


{فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا}


Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haram­kan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang da­hulunya) dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. (An-Nisa: 160)

Yakni mereka menghalang-halangi manusia dan diri mereka sendiri dari mengikuti perkara yang hak. Sikap tersebut merupakan watak mereka sejak zaman dahulu hingga sekarang tanpa ada perubahan.

Karena itulah mereka adalah musuh para rasul; mereka banyak mem­bunuh nabi-nabi, juga mendustakan Nabi Isa a.s. dan Nabi Muham­mad Saw.Firman Allah Swt.:


{وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ}


dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya. (An-Nisa: 161)Allah Swt. telah melarang mereka melakukan riba, tetapi mereka menjalankannya dan menjadikannya sebagai pekerjaan mereka,

lalu mereka melakukan berbagai macam kilah dan pengelabuan untuk me­nutupinya, dan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil.Firman Allah Swt:


{وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا}


Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (An-Nisa: 161)Selanjutnya Allah Swt. berfirman:


{لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ}


Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka. (An-Nisa: 162)Maksudnya, orang-orang yang kuat agamanya; mereka mempunyai kedudukan yang kuat dalam bidang ilmu yang bermanfaat Pembahas­an mengenai tafsirnya telah kami ketengahkan dalam tafsir surat Ali Imran.Firman Allah Swt:


{وَالْمُؤْمِنُونَ}


dan orang-orang mukmin. (An-Nisa: 162)di-athaf-kan kepada lafaz ar-rasikhuna, sedangkan khabar-nya adalah firman Allah Swt Selanjutnya, yaitu:


{يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلِكَ}


mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur’an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu. (An-Nisa: 162)Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Salam,

Sa'labah ibnu Sa'ih, Asad ibnu Sa'ih, dan Asad ibnu Ubaid; semuanya masuk Islam dan beriman kepada apa yang di­utuskan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Swt:


{وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ}


dan orang-orang yang mendirikan salat. (An-Nisa: 162)Demikianlah bacaannya menurut semua mushaf para imam. Hal yang sama disebutkan di dalam mushaf Ubay ibnu Ka'b. Tetapi Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini menurut

mushaf Ibnu Mas'ud disebut­kan dengan bacaan wal mugimunas salata, bukannya "وَالْمُقِيمُونَ الصَّلَاةَ". Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang sahih adalah menurut qiraah mayoritas, sebagai bantahan terhadap orang

yang menduga bahwa hal tersebut termasuk kekeliruan dalam menulis Al-Kitab (Al-Qur'an).Kemudian ibnu Jarir menyebutkan perbedaan pendapat di kalang­an ulama mengenainya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa la­faz ini

di-nasab-kan karena mengandung makna madah (pujian); sa­ma halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, ya­itu firman-Nya;


{وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا}


dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan pe­perangan. (Al-Baqarah: 177)Ibnu Jarir mengatakan hal seperti ini berlaku di dalam pembicaraan orang-orang Arab. Salah seorang penyair mengatakan:


لَا يَبْعَدَن قَوْمِي الَّذِينَ همُو ... سُمّ الْعُدَاةِ وَآفَةُ الجُزرِ ... النَّازِلِينَ بِكُلِّ مُعْتَرَكٍ... والطَّيّبُونَ مَعَاقِدَ الأزْرِ ...


Kaum wanita itu pasti tidak akan jauh dari kaumku,karena me­reka adalah singa peperangan,pembantai musuh, pantang mun­dur dalam semua medan peperangan,tetapi mereka orang-orang yang baik

lagi mengikat erat-erat kain sarungnya (yakni memelihara kehormatannya).Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa lafaz al-muqimina ini di-jar-kan karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:


{بِمَا أُنزلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزلَ مِنْ قَبْلِكَ}


kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Qur'an) dan apa yang diturunkan sebelummu. (An-Nisa: 162)Yaitu mereka juga mendirikan salat. Dengan kata lain, seakan-akan dikatakan bahwa mereka mengakui kewajiban salat dan kefarduannya

atas diri mereka. Atau makna yang dimaksud dengan orang-orang yang mendirikan salat ini adalah para malaikat, seperti yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Dengan kata lain, mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu

dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu serta beriman kepada para malaikat. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan. Firman Allah Swt.:


{وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ}


dan orang-orang yang menunaikan zakat. (An-Nisa: 162)Yang dimaksud dengan zakat pada ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai zakat harta benda, dapat diinterpretasikan zakat badan (fit­rah), dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian kedua-duanya.


{وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}


dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa: 162)Artinya, mereka percaya bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan mereka beriman dengan adanya hari berbangkit sesudah mati, dan hari pembalasan semua amal perbuatan, amal yang baik, dan amal yang buruk.


{أُولَئِكَ}


Orang-orang itulah. (An-Nisa: 162) Lafaz ayat ini merupakan khabar dari jumlah yang sebelumnya.


{سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا}


yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. (An-Nisa: 162)Yakni surga.

Surat An-Nisa |4:161|

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

wa akhżihimur-ribaa wa qod nuhuu 'an-hu wa aklihim amwaalan-naasi bil-baathil, wa a'tadnaa lil-kaafiriina min-hum 'ażaaban aliimaa

dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.

And [for] their taking of usury while they had been forbidden from it, and their consuming of the people's wealth unjustly. And we have prepared for the disbelievers among them a painful punishment.

Tafsir
Jalalain

(Dan karena memakan riba padahal telah dilarang daripadanya) dalam Taurat (dan memakan harta orang dengan jalan batil) dengan memberi suap dalam pengadilan (dan telah Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 161 |

Penjelasan ada di ayat 160

Surat An-Nisa |4:162|

لَٰكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ ۚ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَٰئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا

laakinir-roosikhuuna fil-'ilmi min-hum wal-mu`minuuna yu`minuuna bimaaa unzila ilaika wa maaa unzila ming qoblika wal-muqiimiinash-sholaata wal-mu`tuunaz-zakaata wal-mu`minuuna billaahi wal-yaumil-aakhir, ulaaa`ika sanu`tiihim ajron 'azhiimaa

Tetapi orang-orang yang ilmunya mendalam di antara mereka, dan orang-orang yang beriman, mereka beriman kepada (Al-Qur´an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad), dan kepada (kitab-kitab) yang diturunkan sebelummu, begitu pula mereka yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kepada mereka akan Kami berikan pahala yang besar.

But those firm in knowledge among them and the believers believe in what has been revealed to you, [O Muhammad], and what was revealed before you. And the establishers of prayer [especially] and the givers of zakah and the believers in Allah and the Last Day - those We will give a great reward.

Tafsir
Jalalain

(Tetapi orang-orang yang mendalam) artinya kukuh dan mantap (ilmunya di antara mereka) seperti Abdullah bin Salam (dan orang-orang mukmin) dari golongan Muhajirin dan Ansar

(mereka beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu) di antara kitab-kitab (sedangkan orang-orang yang mendirikan sholat) manshub karena pujian,

dan ada pula yang membacanya dengan marfu` (dan membayar zakat serta orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mereka itulah yang akan Kami beri) fi'ilnya dibaca dengan nun atau dengan ya (pahala yang besar) yakni surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 162 |

Penjelasan ada di ayat 160

Surat An-Nisa |4:163|

إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ ۚ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا

innaaa auḥainaaa ilaika kamaaa auḥainaaa ilaa nuuḥiw wan-nabiyyiina mim ba'dih, wa auḥainaaa ilaaa ibroohiima wa ismaa'iila wa is-ḥaaqo wa ya'quuba wal-asbaathi wa 'iisaa wa ayyuuba wa yuunusa wa haaruuna wa sulaimaan, wa aatainaa daawuuda zabuuroo

Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, lsmail, Isak, Yaqub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabur kepada Daud.

Indeed, We have revealed to you, [O Muhammad], as We revealed to Noah and the prophets after him. And we revealed to Abraham, Ishmael, Isaac, Jacob, the Descendants, Jesus, Job, Jonah, Aaron, and Solomon, and to David We gave the book [of Psalms].

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya Kami telah menurunkan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah menurunkannya kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya dan) seperti

(telah Kami turunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak) yakni kedua putranya (serta Yakub) bin Ishak (dan anak-anaknya) yakni anak-anak Yakub

(serta Isa, Ayub, Yunus, Harun, Sulaiman dan Kami datangkan kepada) bapaknya, yakni bapak dari Sulaiman (Daud Zabur) dibaca dengan fathah hingga artinya ialah nama kitab yang diturunkan,

dan ada pula yang membaca dengan marfu` yaitu mashdar yang berarti mazbuura artinya yang tertulis.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 163 |

Tafsir ayat 163-165

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Mu­hammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Sakan dan Addi ibnu Zaid bertanya, "Hai Mu­hammad, kami tidak mengetahui bahwa Allah

menurunkan suatu ki­tab kepada manusia sesudah Musa." Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan ucapan kedua orang Yahudi itu, yaitu firman-Nya:


{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ}


Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu seba­gaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya. (An-Nisa: 163)Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris,

telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepa­da kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa Allah menurunkan firman-Nya:


{يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنزلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ}


Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. (An-Nisa: 153)sampai dengan firman-Nya:


{وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا}


dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina). (An-Nisa: 156)Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi melanjutkan kisahnya, bahwa keti­ka Nabi Saw. membacakan ayat-ayat tersebut kepada mereka (orang-orang Yahudi)

dan memberitahukan kepada mereka perihal sepak ter­jang mereka yang jahat itu, maka mereka mengingkari semua kitab yang diturunkan oleh Allah, lalu mengatakan, "Allah sama sekali tidak pernah menurunkan sesuatu pun kepada manusia,

baik Musa, atau Isa, ataupun nabi lainnya." Maka Nabi Saw. berdiri, kemudian bersabda, "Juga tidak kepada seorang pun?" Maka Allah menurunkan firman-Nya:


{وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ}


Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata, "Allah tidak menurun­kan sesuatu pun kepada manusia." (Al-An'am: 91)Akan tetapi, apa yang diceritakan oleh

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya ayat da­lam surat Al-An'am ini adalah Makkiyyah, sedangkan ayat yang ada di dalam surat An-Nisa adalah Madaniyyah,

merupakan bantahan ter­hadap mereka ketika mereka meminta kepada Nabi Saw. agar menu­runkan sebuah kitab dari langit. Maka Allah Swt. berfirman:


{فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ}


Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. (An-Nisa: 153)Selanjutnya Allah menyebutkan perbuatan-perbuatan mereka yang memalukan dan penuh dengan keaiban, serta apa yang telah mereka lakukan

di masa silam dan masa sekarang, yaitu berupa kedustaan dan kebohongan. Lalu Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia telah me­nurunkan wahyu kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muham­mad Saw., sebagaimana Dia telah menurunkan wahyu kepada nabi-nabi terdahulu. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا}


Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu seba­gaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya. (An-Nisa: 163) sampai dengan firman-Nya: Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. (An-Nisa: 163)

Zabur adalah nama kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Na­bi Daud a.s. Kami akan menguraikan riwayat masing-masing nabi ter­sebut pada kisah-kisah mereka dalam surat Al-Anbiya, insya Allah; hanya kepada Allah kami percaya dan berserah diri. Firman Allah Swt.:


{وَرُسُلا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ}


Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Ka­mi kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. (An-Nisa: 164)Yakni sebelum ayat ini, dalam surat-surat Makkiyah

dan lain-lainnya. Berikut ini adalah nama para nabi yang disebut oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur'an, yaitu: 1. Adam 2. Idris 3. Nuh 4. Hud 5. Saleh 6. Ibrahim 7. Lut 8. Ismail 9. Ishaq 10. Ya'qub 11. Yusuf 12. Ayyub 13. Syu'aib 14.

Musa 15. Harun 16. Yunus 17. Daud 18. Sulaiman 19. Ilyas 20. Ilyasa' 21. Zakaria 22. Yahya 23. Isa 24. ZulKifli me­nurut kebanyakan ulama tafsir 25. Penghulu mereka semuanya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Swt.:


{وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ}


dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka ke­padamu. (An-Nisa: 164)Sejumlah nabi lainnya yang cukup banyak tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an.Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah para nabi dan para rasul.

Hal yang terkenal sehubungan dengan masalah ini adalah hadis Abu Zar yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Murdawaih mengatakan:


حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ، وَالْحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ هِشَامِ بْنِ يَحْيَى الْغَسَّانِيُّحَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الْأَنْبِيَاءُ؟ قَالَ: "مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الرُّسُلُ مِنْهُمْ؟ قَالَ: "ثَلَاثُمِائَةٍ وَثَلَاثَةَ عَشَرَ جَمّ غَفِير". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ كَانَ أَوَّلَهُمْ؟ قَالَ: "آدَمُ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَبِيٌّ مُرْسَلٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ، خَلَقَهُ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ، ثُمَّ سَوَّاه قِبَلا". ثُمَّ قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرْبَعَةٌ سُرْيَانِيُّونَ: آدَمُ، وَشِيثٌ، وَنُوحٌ، وخَنُوخ -وَهُوَ إِدْرِيسُ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ خَطَّ بِقَلَمٍ-وَأَرْبَعَةٌ مِنَ الْعَرَبِ: هُودٌ، وَصَالِحٌ، وَشُعَيْبٌ، وَنَبِيُّكَ يَا أَبَا ذَرٍّ، وَأَوَّلُ نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُوسَى، وَآخِرُهُمْ عِيسَى. وَأَوَّلُ النَّبِيِّينَ آدَمُ، وَآخِرُهُمْ نَبِيُّكَ".


telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceri­takan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad ibnul Hasan dan Al-Husain ibnu Abdullah ibnu Yazid; keduanya mengatakan, telah men­ceritakan kepada kami

Ibrahim ibnu Hisyam ibnu Yahya Al-Gassani, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Zar yang menceritakan hadis berikut' Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah para nabi itu?" Rasulullah Saw.

menjawab, "Seratus dua puluh empat ribu orang nabi." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jum­lah yang menjadi rasul dari kalangan mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tiga ratus tiga belas orang rasul, jumlah yang cukup banyak."

Aku bertanya, "Siapakah rasul yang paling perta­ma itu?" Nabi Saw. menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dia nabi yang jadi rasul?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, Allah menciptakannya secara langsung dengan tangan

kekuasaan-Nya, kemudian meniupkan ke dalam tubuh Adam sebagian dari roh (ciptaan)-Nya setelah bentuknya sem­purna." Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Hai Abu Zar, empat orang (dari mereka) adalah orang-orang Siryani,

yaitu Adam, Syis, Nuh, dan Khunu', yakni Idris yang me­rupakan orang yang mula-mula menulis dengan qalam (pena). Dan empat orang rasul dari Arab, yaitu Hud, Saleh, Syu'aib, dan Nabimu, hai Abu Zar. Mula-mula nabi dari kalangan Bani Israil

adalah Musa, dan yang terakhir adalah Isa. Mula-mula nabi adalah Adam, dan yang terakhir dari mereka adalah Nabi­mu.Hadis ini secara lengkap diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti di dalam kitabnya yang berjudul

Al-Anwa' wal Taqasim, ia menilainya berpredikat sahih. Tetapi Abul Faraj ibnul Jauzi berbe­da dengannya, ia menyebutkan hadis ini di dalam kitabnya yang ber­judul Al-Maudu'at (Hadis-hadis Buatan), dan ia mencurigainya sebagai buatan

Ibrahim ibnu Hisyam. Ibrahim ibnu Hisyam ini tidak di­ragukan lagi menjadi pembahasan bagi para Imam ahli Jurh Wat Ta’-dil karena hadisnya ini.Akan tetapi, hadis ini telah diriwayatkan melalui jalur lain dari sahabat lainnya. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا مُعَان بْنُ رِفَاعَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامة قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، كَمِ الْأَنْبِيَاءُ؟ قَالَ: "مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا، مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُمِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا".


telah men­ceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf, telah menceritakan ke­pada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan hadis berikut:

Aku bertanya, "Wahai Nabi Allah, berapakah jumlah para nabi itu?" Nabi Saw. menjawab, "Seratus dua puluh empat ribu orang, dari jumlah itu ada tiga ratus lima belas orang (rasul). Jumlah yang cukup banyak."

Ma'an ibnu Rifa'ah As-Salami orangnya daif, Ali ibnu Yazid orangnya daif pula; begitu pula Al-Qasim Abu Abdur Rahman, orangnya pun daif,


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى الْمُوصِلِيُّ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْجَوْهَرِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ الرَّبَذي، عَنْ يَزِيدَ الرَّقَاشي، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بَعَثَ اللَّهُ ثَمَانِيَةَ آلَافِ نَبِيٍّ، أَرْبَعَةُ آلَافٍ إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ، وَأَرْبَعَةُ آلَافٍ إِلَى سَائِرِ النَّاسِ".


Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq Abu Abdullah Al-Jauhari Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi,

dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah mengutus delapan ribu nabi; empat ribu orang kepada kaum Bani Israil. dan empat ribu orang lainnya kepada seluruh umat manusia.

Hadis ini dinilai daif pula, di dalamnya terdapat Ar-Rabzi yang berpredikat daif, sedangkan gurunya bernama Ar-Raqqasyi jauh lebih daif.


قَالَ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ العَبْدِي، حَدَّثَنَا محمد بن خالد الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ يَزِيدَ الرَّقَاشي، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَانَ فِيمَنْ خَلَا مِنْ إِخْوَانِي مِنَ الْأَنْبِيَاءِ ثَمَانِيَةُ آلَافِ نَبِيٍّ، ثُمَّ كَانَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ، ثُمَّ كُنْتُ أَنَا"


Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sabit Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ma'bad ibnu Khalid Al-Ansari, dari Yazid Ar-Raqqasyi,

dari Anas yang mengatakan bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda: Saudara-saudaraku dari kalangan para nabi di masa lalu jum­lahnya ada delapan ribu orang nabi, kemudian Isa ibnu Maryam, dan barulah aku sendiri. Kami meriwayatkannya melalui sahabat Anas dari jalur lain,


فَأَخْبَرَنِي الْحَافِظُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الذَّهَبِيُّ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْفَضْلِ بْنُ عَسَاكِرَ، أَنْبَأَنَا الْإِمَامُ أَبُو بَكْرٍ الْقَاسِمُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الصَّفَارُ، أَخْبَرَتْنَا عَمَّةُ أَبِي، عَائِشَةُ بِنْتُ أَحْمَدَ بْنِ مَنْصُورِ بْنِ الصَّفَارِ، أَخْبَرَنَا الشَّرِيفُ أَبُو السَّنَابِكِ هِبَةُ اللَّهِ بْنُ أَبِي الصَّهْبَاءِ مُحَمَّدُ بْنُ حَيْدَرٍ القُرَشِي، حَدَّثَنَا الْإِمَامُ الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الإسْفَراييني قَالَ: أَخْبَرَنَا الْإِمَامُ أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْإِسْمَاعِيلِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ طَارِقٍ، حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المُنْكَدِر، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْم، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "بُعِثْتُ عَلَى إِثْرِ مِنْ ثَلَاثَةِ آلَافِ نَبِيٍّ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ".


telah menceritakan kepada kami Al-Hafiz Abu Abdullah Az-Zahabi, telah menceritakan kepada kami Abul Fadl ibnu Asakir, telah menceritakan kepada kami Imam Abu Bakar ibnul Qasim ibnu Abu Sa'id As-Saffar, telah menceritakan kepada kami

bibi ayahku (yaitu Siti Aisyah binti Ahmad ibnu Mansur ibnus Saffar), telah menceritakan kepada kami Asy-Syarif Abus Sanabik Hibatullah ibnu Abus Sahba Muham­mad ibnu Haidar Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami

Imam Al-Ustaz Abu Ishaq Al-Isfirayini yang mengatakan, telah mencerita­kan kepada kami Imam Abu Bakar Ahmad ibnu Ibrahim Al-Ismaili, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami

Ahmad ibnu Tariq, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Safwan ibnu Sulaim, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.

telah bersabda: Aku diutus sesudah delapan ribu orang nabi, di antara mereka empat ribu orang nabi dari kalangan Bani Israil.Bila ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat garib; tetapi sanadnya ti­dak mengandung kelemahan, semua perawinya

dikenal kecuali Ahmad ibnu Tariq; orang ini tidak kami kenal, apakah berpredikat adil atau daif, hanya Allah yang lebih mengetahui.Hadis Abu Zar Al-Giffari mengenai jumlah para nabi cukup panjang.


قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْآجُرِّيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الفِرْيابي إِمْلَاءً فِي شَهْرِ رَجَبٍ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ وَمِائَتَيْنِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ هِشَامِ بْنِ يَحْيَى الغسَّاني، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانَيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ وَحْدَهُ، فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَنِي بِالصَّلَاةِ. قَالَ: "الصَّلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ فَاسْتَكْثِرْ أَوِ اسْتَقِلَّ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "إِيمَانٌ بِاللَّهِ، وَجِهَادٌ فِي سَبِيلِهِ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَسْلَمُ؟ قَالَ: "مِنْ سَلِمُ الناسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "مَنْ هَجَر السَّيِّئَاتِ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّلَاةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "طُولُ الْقُنُوتِ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "فَرْضٌ مُجَزِّئٌ وَعِنْدَ اللَّهِ أَضْعَافٌ كَثِيرَةٌ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "مَنْ عُقِر جَواده وأهرِيق دَمُه". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "أَغْلَاهَا ثَمَنًا وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: "جَهْد مِنْ مُقِلٍّ، وَسِرٌّ إِلَى فَقِيرٍ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَيُّ آيَةٍ مَا أُنْزِلَ عَلَيْكَ أَعْظَمُ [مِنْهَا] ؟ قَالَ: "آيَةُ الْكُرْسِيِّ". ثُمَّ قَالَ: "يَا أبا ذر، وما السموات السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلَّا كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضٍ فَلاة، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلَاةِ عَلَى الْحَلْقَةِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الْأَنْبِيَاءُ؟ قَالَ: "مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمِ الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: "ثَلَاثُمِائَةٍ، وَثَلَاثَةَ عَشَرَ جمٌّ غَفيرٌ كَثِيرٌ طَيِّبٌ". قُلْتُ: فَمَنْ كَانَ أَوَّلَهُمْ؟ قَالَ: "آدَمُ". قُلْتُ: أَنَبِيٌّ مُرْسَلٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ، خَلَقَهُ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ، وسَوَّاه قَبِيلا ثُمَّ قَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرْبَعَةٌ سُرْيَانِيُّونَ: آدَمُ، وَشِيثٌ، وخَنُوخ -وَهُوَ إِدْرِيسُ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ خَطَّ بِقَلَمٍ-وَنُوحٌ. وأربعة من العرب: هود، وشعيب، وَصَالِحٌ، وَنَبِيُّكَ يَا أَبَا ذَرٍّ. وَأَوَّلُ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مُوسَى، وَآخِرُهُمْ عِيسَى. وَأَوَّلُ الرُّسُلِ آدَمُ، وَآخِرُهُمْ مُحَمَّدٌ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ كِتَابًا أَنْزَلَهُ اللَّهُ؟ قَالَ: "مِائَةُ كِتَابٍ وَأَرْبَعَةُ كُتُبٍ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى شِيثٍ خَمْسِينَ، صَحِيفَةً، وَعَلَى خَنُوخ ثَلَاثِينَ صَحِيفَةً، وَعَلَى إِبْرَاهِيمَ عَشْرَ صَحَائِفَ، وَأَنْزَلَ عَلَى مُوسَى مِنْ قَبْلِ التَّوْرَاةِ عَشْرَ صَحَائِفَ وَالْإِنْجِيلَ وَالزَّبُورَ وَالْفَرْقَانَ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: "كَانَتْ كُلُّهَا: يَا أَيُّهَا الْمَلِكُ الْمُسَلَّطُ الْمُبْتَلَى الْمَغْرُورُ، إِنِّي لَمْ أَبْعَثْكَ لِتَجْمَعَ الدُّنْيَا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَكِنِّي بَعَثْتُكَ لِتَرُدَّ عَنِّي دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنِّي لَا أَرُدَّهَا وَلَوْ كَانَتْ مِنْ كَافِرٍ. وَكَانَ فِيهَا مِثَالٌ: وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُونَ لَهُ سَاعَاتٌ: سَاعَةٌ يُنَاجِي فِيهَا رَبَّهُ، وَسَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيهَا نَفْسَهُ، وَسَاعَةٌ يُفَكِّرُ فِي صُنْعِ اللَّهِ، وَسَاعَةٌ يَخْلُو فِيهَا لِحَاجَتِهِ مِنَ الْمَطْعَمِ وَالْمَشْرَبِ. وَعَلَى الْعَاقِلِ أَلَّا يَكُونَ ضَاغِنًا إِلَّا لِثَلَاثٍ: تَزَوُّدٍ لِمَعَادٍ، أَوْ مَرَمَّة لِمَعَاشٍ، أَوْ لَذَّةٍ فِي غَيْرِ مُحَرَّمٍ. وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ يَكُونَ بَصِيرًا بِزَمَانِهِ، مُقْبِلًا عَلَى شَأْنِهِ، حَافِظًا لِلِسَانِهِ، ومَنْ حَسِب كَلَامَهُ مِنْ عَمَلِهِ قَلَّ كَلَامُهُ إِلَّا فِيمَا يَعْنِيهِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا كَانَتْ صُحُفُ مُوسَى؟ قَالَ: "كَانَتْ عِبَرًا كُلُّهَا: عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْمَوْتِ ثُمَّ هُوَ يَفْرَحُ، عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بالقَدَر ثُمَّ هُوَ يَنْصب، وَعَجِبْتُ لِمَنْ يَرَى الدُّنْيَا وتَقَلُّبَهَا بِأَهْلِهَا ثُمَّ يَطْمَئِنُّ إِلَيْهَا، وَعَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْحِسَابِ غَدًا ثُمَّ هُوَ لَا يَعْمَلُ" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَهَلْ فِي أَيْدِينَا شَيْءٌ مِمَّا فِي أَيْدِي إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى، وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، اقْرَأْ يَا أَبَا ذَرٍّ: {قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى. إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ الأولَى. صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى} [الْأَعْلَى: 14-19] . قَالَ: قَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَوْصِنِي. قَالَ: "أُوصِيكَ بِتَقْوَى اللَّهِ، فَإِنَّهُ رَأْسُ أَمْرِكَ". قَالَ: قَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، زدْني. قَالَ: "عَلَيْكَ بِتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ، وذِكْر اللَّهِ، فَإِنَّهُ ذكرٌ لَكَ فِي السَّمَاءِ، ونورٌ لَكَ فِي الْأَرْضِ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، زِدْنِي. قَالَ: "إِيَّاكَ وَكَثْرَةَ الضَّحِكِ. فَإِنَّهُ يُمِيتُ الْقَلْبَ، ويُذْهِبُ بِنُورِ الْوَجْهِ". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "عَلَيْكَ بِالْجِهَادِ، فَإِنَّهُ رَهْبَانِيَّةُ أُمَّتِي". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "عَلَيْكَ بِالصَّمْتِ إِلَّا مِنْ خَيْرٍ، فَإِنَّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشَّيْطَانِ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أَمْرِ دِينِكَ". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "انْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ تَحْتَكَ، وَلَا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكَ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ لَكَ أَلَّا تَزْدَرِيَ نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكَ". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "أَحْبِبِ الْمَسَاكِينَ وَجَالِسْهُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدرُ أَنْ لَا تَزْدَرِي نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكَ". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "صِلْ قَرَابَتَكَ وَإِنْ قطَعوك". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "لَا تَخَفْ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ". قُلْتُ: زِدْنِي. قَالَ: "يَرُدَّك عَنِ النَّاسِ مَا تَعْرِفُ عَنْ نَفْسِكَ، وَلَا تَجِدُ عَلَيْهِمْ فِيمَا تُحِبُّ، وَكَفَى بِكَ عَيْبًا أَنَّ تَعْرِفَ مِنَ النَّاسِ مَا تَجْهَلُ مِنْ نَفْسِكَ. أَوْ تَجِدَ عَلَيْهِمْ فِيمَا تُحِبُّ". ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ صَدْرِي، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، لَا عَقْل كَالتَّدْبِيرِ، وَلَا وَرَع كَالْكَفِّ، وَلَا حَسَبَ كَحُسْنِ الْخُلُقِ"


Muhammad ibnul Husain Al-Ajiri mengatakan, telah men­ceritakan kepada kami Abu Bakar Ja'far ibnu Muhammad ibnul Giryani secara imla dalam bulan Rajab tahun 297 Hijriah, telah men­ceritakan kepada kami

Ibrahim ibnu Hisyam ibnu Yahya Al-Gassani, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari kakekku, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Zar yang menceritakan hadis berikut: Aku masuk ke dalam masjid, dan kujumpai Rasulullah Saw.

se­dang duduk sendirian, maka aku duduk menemaninya dan bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Engkau telah memerin­tahkan aku untuk menunaikan salat" (yakni sunnah). Maka Rasulullah Saw. bersabda: Salat adalah

sebaik-baik pekerjaan, maka perbanyaklah atau persedikitlah. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?" Maka Nabi Saw. menjawab: Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah,

siapakah orang mukmin yang pa­ling utama?" Nabi Saw. menjawab: Di antara mereka yang paling baik akhlaknya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang muslim yang pa­ling selamat?" Nabi Saw. menjawab: Orang (muslim)

yang menyelamatkan orang-orang dari ganggu­an lisan dan tangannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, hijrah apakah yang paling utama?" Nabi Saw. menjawab: Orang yang hijrah (meninggalkan) semua kejahatan. Aku bertanya,

"Wahai Rasulullah, salat apakah yang paling afdal? Rasulullah Saw. menjawab: yang paling panjang qunutnya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, puasa apakah yang paling utama?' Rasulullah Saw. menjawab: Melakukan puasa fardu dengan

cukup (baik) dan di sisi Allah ada pahala yang berlipat ganda dengan lipat ganda yang ba­nyak. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, jihad apakah yang paling utama?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Orang yang kudanya disembelih

dan darah dirinya dialirkan (yakni gugur). Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, hamba sahaya manakah yang pa­ling afdal?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Hamba sahaya yang paling mahal harganya dan paling bernilai di kalangan

tuannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling uta­ma?" Rasulullah Saw. menjawab: Yang dikeluarkan dengan susah payah oleh orang yang minim, dan sedekah secara sembunyi-sembunyi kepada orang fakir (mis­kin).

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ayat apakah yang paling agung di antara yang diturunkan kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab: "Ayat Kursi," kemudian beliau Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, ti­adalah langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi,

melainkan seperti gelang yang dilemparkan di tengah padang sahara. Ke­utamaan Arasy atas Kursi sama dengan keutamaan padang sa­hara atas gelang itu." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para nabi itu?1 Rasulullah Saw.

menjawab melalui sabdanya: Seratus dua puluh empat ribu orang nabi. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para rasul dari kalangan mereka?" Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Tiga ratus tiga belas orang rasul,

jumlah yang cukup banyak lagi baik. Aku bertanya, "Siapakah yang paling pertama di antara mereka?" Na­bi Saw. menjawab; "Adam." Aku bertanya, "Apakah dia seorang nabi yang jadi rasul?" Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Ya, Allah

menciptakannya (lengan tangan kekuasaan-Nya sendiri dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam tubuhnya, dan me­nyempurnakannya sebelum itu. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Hai Abu Zar, empat orang adalah bangsa Siryani,

yaitu Adam, Syis, Khanukh —yakni Idris, dia orang yang mula-mula menulis dengan qalam (pena)— dan Nuh. Empat orang dari bangsa Arab, yaitu Hud, Syu'aib, Saleh, dan Nabimu, hai Abu Zar. Mu­la-mula nabi Bani Israil adalah Musa

dan yang paling terakhir adalah Isa. Mula-mula rasul adalah Adam, dan yang paling akhir adalah Muhammad. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah kitab yang ditu­runkan oleh Allah Swt?" Rasulullah Saw. menjawab:

Seratus empat buah kitab. Allah menurunkan kepada Syis seba­nyak lima puluh sahifah. kepada Khunukh (Idris) tiga puluh sahifah, kepada Ibrahim sepuluh sahifah, dan kepada Musa sebelum Taurat sepuluh sahifah. Dan Allah menurunkan kitab

Taurat, ki­tab Injil, kitab Zabur, dan Al-Furqan (Al-Qur’an). Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah yang terkandung di dalam sahifah Nabi Ibrahim'.'" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Semuanya mengandung kalimat berikut,

"Hai raja yang ber­kuasa, yang mendapat cobaan lagi teperdaya. Sesungguhnya Aku tidak menjadikanmu untuk menghimpun dunia sebagian darinya dengan sebagian yang lain, tetapi aku menjadikanmu agar menghindarkan diri dari doa orang

yang teraniaya, karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, sekalipun dari orang kafir." Di dalamnya banyak terkandung tamsil-tamsil (yang antara lain mengatakan), "Diharuskan bagi orang yang berakal membagi waktunya ke dalam

beberapa saat. Sesaat ia gunakan untuk bermunajat kepada Tuhannya, sesaat ia gunakan untuk menghisab dirinya sendiri, sesaat ia gunakan untuk memikirkan ciptaan Allah, dan sesaat lagi ia gunakan untuk kepentingan dirinya untuk mencari

makan dan minumnya. Diharuskan bagi orang yang berakal tidak bepergian kecuali karena tiga perkara, yaitu mencari bekal untuk hari kemudian, mencari penghidupan, atau kesenangan yang tidak diharamkan, dan harus mengetahui zamannya

guna menghadapi urusannya serta memelihara lisan­nya. Barang siapa yang memperhitungkan percakapannya de­ngan amalnya, niscaya ia akan sedikit bicara, kecuali mengenai hal yang berurusan dengannya. Abu Zar melanjutkan kisahnya,

Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulul­lah, apakah yang terkandung di dalam sahifah Nabi Musa'?" Rasulul­lah Saw. menjawab melalui sabdanya: Semuanya merupakan nasihat-nasihat (pelajaran-pelajaran), ya­itu: "Aku merasa heran terhadap

orang yang percaya dengan kematian, lalu ia merasa gembira. Aku merasa heran terhadap orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah. Aku merasa heran dengan orang yang melihat dunia dan silih ber­gantinya terhadap para

penghuninya, lalu ia merasa tenang de­ngan dunia itu. Dan aku merasa heran dengan orang yang per­caya kepada hisab di hari kemudian, lalu ia tidak beramal. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah di dalam kitab (Al-Qur'an)

yang ada di tangan kita terdapat sesuatu yang telah tertera di dalam kitab-kitab Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya benar, hai Abu Zar, bacalah firman Allah Swt.:

'Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (de­ngan beriman), dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia salat. Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang­kan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.

Sesung­guhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa' (Al-A'la: 14-19)." Aku berkata.”Wahai Rasulullah, berwasiadah kepadaku." Maka Ra­sulullah Saw. bersabda: Aku berwasiat kepadamu

agar takwa kepada Allah, karena se­sungguhnya takwa kepada Allah adalah induk semua perkaramu. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu kepadaku." Rasulullah Saw. bersabda: Bacalah Al-Qur'an dan berzikir kepada Allah,

karena sesung­guhnya hal itu merupakan sebutan bagimu di langit dan nur bagimu di bumi. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu kepadaku." Rasulullah Saw. bersabda: Hindarilah olehmu banyak tertawa, karena sesungguhnya

hal itu dapat mematikan hati dan melenyapkan nur wajahmu. Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu kepadaku." Maka Rasulullah Saw, bersabda: Berjihadlah kamu, karena sesungguhnya jihad itu merupakan ruhbaniyah umatku.

Aku berkata, "tambahkanlah kepadaku." Maka Nabi Saw. bersabda: Diamlah kamu kecuali karena kebaikan, karena sesungguhnya (banyak) diam itu dapat mengusir setan dan membantumu untuk mengerjakan urusan agamamu. Aku berkata,

'Tambahkanlah kepadaku." Rasulullah Saw. bersabda: Pandanglah orang yang sebawahmu dan janganlah kamu me­mandang orang yang seatasmu, karena sesungguhnya hal ini le­bih mendorong dirimu untuk tidak meremehkan nikmat Allah

ke­padamu. Aku berkata, "Tambahkanlah kepadaku." Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Cintailah orang-orang miskin dan duduklah (bergaullah) ber­sama mereka, karena sesungguhnya hal ini mendorongmu untuk tidak meremehkan

nikmat Allah kepadamu. Aku berkata, "Tambahkanlah kepadaku." Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Bersilaturahmilah kepada tetanggamu, sekalipun mereka memu­tuskannya darimu. Aku berkata, "Tambahkanlah kepadaku."

Rasulullah menjawab me­lalui sabdanya: Katakanlah perkara yang hak, sekalipun pahit. Aku berkata, "Tambahkanlah kepadaku." Rasulullah Saw, menjawab melalui sabdanya: Janganlah kamu takut terhadap celaan orang yang

mencela ka­rena membela (agama) Allah. Aku berkata, "Tambahkanlah kepadaku." Maka Rasulullah Saw. men­jawab melalui sabdanya, "Dapat mencegah dirimu terhadap orang lain apa yang kamu ketahui mengenai dirimu, sedangkan kamu

tidak me­nemukan pada mereka apa yang kamu sukai. Cukuplah keaiban bagi­mu bila kamu mengetahui dari orang lain apa yang tidak kamu keta­hui mengenai dirimu atau kamu menemukan pada mereka apa yang kamu sukai.

" Kemudian Rasulullah Saw. mengusap tangannya ke dadaku se­raya bersabda: Hai Abu Zar, tidak ada akal seperti berpikir, tidak ada wara' se­perti menahan diri, dan tidak ada kehormatan seperti akhlak yang baik.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abul Mugirah, dari Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Abu Zar pernah bertanya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. menye­butkan perkara salat, puasa, sedekah,

keutamaan ayat Kursi, dan kali­mati la haula wala quwwata illa billahi (tidak ada upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), syuhada yang paling utama, hamba sahaya yang paling utama, kenabian Nabi Adam,

dan bahwa dia diajak bicara langsung oleh Allah, serta bilangan para nabi dan para rasul, seperti yang disebutkan di atas.


قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: وَجَدْتُ فِي كِتَابِ أَبِي بِخَطِّهِ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْمُتَعَالِي بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأمَوي، حَدَّثَنَا مُجَالِد عَنْ أَبِي الوَدَّاك قَالَ: قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: هَلْ تَقُولُ الْخَوَارِجُ بِالدَّجَّالِ؟ قَالَ: قُلْتُ: لَا. فَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي خاتمُ ألفِ نَبِيٍّ أَوْ أكثرَ، وَمَا بُعِثَ نبيٌّ يُتَّبعُ إِلَّا وَقَدْ حَذَّرَ أُمَّتَهُ مِنْهُ، وَإِنِّي قَدْ بُيِّنَ لِي مَا لَمْ يُبَيَّن [لِأَحَدٍ] وَإِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ، وَعَيْنُهُ الْيُمْنَى عَوْرَاءُ جَاحِظَةٌ لَا تَخْفَى، كَأَنَّهَا نُخَامَةٌ فِي حَائِطٍ مُجَصَّص، وَعَيْنُهِ الْيُسْرَى كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ، مَعَهُ مِنْ كُلِّ لِسَانٍ، وَمَعَهُ صُورَةُ الْجَنَّةِ خَضْرَاءُ يَجْرِي فِيهَا الْمَاءُ، وَصُورَةُ النَّارِ سَوْدَاءُ تَدْخُن"


Abdullah ibnul Imam Ahmad mengatakan bahwa ia menjumpai dalam kitab ayahnya yang ditulis oleh tangan ayahnya sendiri, telah menceritakan kepadaku Abdul Muta'ali ibnu Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami

Yahya ibnu Sa'id Al-Umawi, telah men­ceritakan kepada kami Mujalid, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa Abu Sa'id pernah bertanya, "Apakah menurut pendapatmu Khawarij adalah Dajjal?" Abul Wadak menjawab, "Bukan."

Lalu Abu Sa'id berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya aku adalah penutup seribu nabi atau lebih, dan ti­dak sekali-kali seorang nabi yang diutus kecuali dia pasti mem­peringatkan umatnya terhadap Dajjal.

Dan sesungguhnya telah dijelaskan kepadaku hal-hal yang belum pernah diterangkan. Se­sungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan Tuhan kalian tidaklah buta. Mata Dajjal yang sebelah kanan buta lagi menonjol tampak

jelas seakan-akan seperti dahak yang ada pada tembok yang diplester, sedangkan mata kirinya seakan-akan se­perti bintang yang berkilauan, pada tiap-tiap anggota tubuhnya terdapat lisan, dan ia selalu membawa gambaran surga

yang hi­jau di dalamnya mengalir air. dan gambaran neraka yang hitam lagi berasap.Kami meriwayatkannya pada bagian yang di dalamnya terdapat riwa­yat Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Yahya ibnu Mu'in, disebutkan bahwa telah menceritakan

kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, telah men­ceritakan kepada kami Mujalid, dari Abul Wadak, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"إِنِّي أَخْتِمُ ألفَ ألفَ نبيٍّ أَوْ أكثرَ، مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَى قَوْمِهِ إِلَّا حذَّرهم الدجالَ...."


Sesungguhnya aku mengakhiri sejuta nabi atau lebih. Tidak seka­li-kali Allah mengutus seseorang nabi kepada kaumnya, melain­kan memperingatkan kepada mereda terhadap Dajjal.Lalu ia menuturkan hadis ini hingga selesai, demikianlah

menurut la­faz yang diketengahkannya, yaitu dengan tambahan lafaz alfun (hing­ga maknanya menjadi satu juta, bukan seribu). Tetapi adakalanya lafaz tersebut merupakan sisipan, hanya Allah yang lebih mengetahui.

Tetapi konteks riwayat Imam Ahmad lebih kuat dan lebih berhak untuk dinilai sahih, Semua perawi yang disebutkan dalam sanad hadis ini tidak ada masalah.Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur Jabir ibnu Abdullah r.a.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا مُجَالد، عَنِ الشَّعبي، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي لخاتمُ أَلْفِ نبيٍّ أَوْ أَكْثَرَ، وَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْهُمْ نبيٌّ إِلَّا وَقَدْ أَنْذَرَ قَوْمَهُ الدَّجالَ، وَإِنِّي قَدْ بُيِّن لِي مَا لَمْ يُبَيَّن لِأَحَدٍ مِنْهُمْ وَإِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بأعورَ"


Untuk itu Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah men­ceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang mengatakan bahwa

Rasulullah Saw. telah ber­sabda: Sesungguhnya aku benar-benar merupakan penutup seribu nabi atau lebih, dan sesungguhnya tidak ada seorang pun dari mereka melainkan telah memperingatkan umatnya akan Dajjal Dan se­sungguhnya

telah dijelaskan kepadaku apa-apa yang belum per­nah dijelaskan kepada seseorang pun dari mereka (para nabi). Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan se­sungguhnya Tuhan kalian itu tidaklah buta.Firman Allah Swt,:


{وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا}


Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (An-Nisa: 164)Hal ini merupakan suatu penghormatan kepada Nabi Musa a.s. Kare­na itu, Nabi Musa dikenal dengan julukan 'Kalimullah'. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan,

telah menceritakan ke­pada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Sulaiman Al-Maliki, telah menceritakan kepada kami Masih ibnu Hatim, telah menceritakan ke­pada kami Abdul Jabbar ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ada seorang lelaki

datang kepada Abu Bakar ibnu Ayyasy, lalu ia menga­takan bahwa dirinya mendengar seorang lelaki membaca firman-Nya dengan bacaan seperti berikut:


"وَكَلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِيمًا"


"Dan Musa berbicara kepada Allah dengan langsung."Maka Abu Bakar ibnu Ayyasy berkata, "Tidak sekali-kali mem­baca ayat ini dengan bacaan itu, melainkan hanyalah orang kafir." Abu Bakar mengatakan bahwa ia belajar

qiraah dari Al-A'masy, dan Al-A'masy belajar qiraah dari Yahya ibnu Wasab, Yahya ibnu Wasab belajar qiraah dari Abu Abdur-Rahman As-Sulami. dan Abu Abdur­Rahman As-Sulami belajar qiraah dari Ali ibnu Abu Talib, dan Ali ibnu Abu Talib belajar qiraah dari Rasulullah Saw. Mengenai ayat ini yang bunyinya mengatakan:


{وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا}


Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (An-Nisa: 164)Abu Bakar ibnu Ayyasy marah terhadap orang yang membaca ayat tersebut tiada lain karena orang tersebut membacanya dengan bacaan yang mengubah maknanya.

Ternyata lelaki tersebut dari kalangan mu'tazilah yang mengingkari bahwa Allah berbicara kepada Musa a.s. atau berbicara kepada seseorang dari makhluk-Nya. Seperti yang kami riwayatkan dari salah seorang mu'tazilah, bahwa ia membaca­kan firman berikut kepada salah seorang syekh dengan bacaan beri­kut:


"وَكَلَّمَ اللَّهَ مُوسَى تَكْلِيمًا"


Dan Allah diajak bicara oleh Musa dengan langsung.Maka syekh itu berkata kepadanya, "Hai Ibnul Lakhna, apakah yang akan engkau lakukan terhadap firman Allah Swt. yang mengatakan:


{وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ}


'Dan tatkala datang Musa untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya' (Al-A'raf: 143)?"Dengan kata lain, makna ayat tersebut tidak mengandung takwil dan perubahan makna.


قَالَ ابْنُ مَرْدُوَية: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ بَهْرَام، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْزُوقٍ، حَدَّثَنَا هَانِئُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَما كَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى كَانَ يُبْصِرُ دبيبَ النَّمْلِ عَلَى الصَّفَا فِي اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ".


Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Husain ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Marzuq,

telah menceritakan kepada kami Hani' ibnu Yahya, dari Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, dari Qatadah, dari Yahya ibnu Wassab, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tatkala Musa diajak berbicara oleh Allah,

ia dapat melihat ge­rakan semut di atas Bukit Safa di malam yang gelap gulita.Hadis ini berpredikat garib dan sanadnya tidak sahih. Apabila hadis ini benar mauquf, berarti predikatnya jayyid (baik).Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya

dan Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui hadis Humaid ibnu Qais Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"كان عَلَى مُوسَى يَوْمَ كَلَّمَهُ ربُّه جُبَّةُ صُوفٍ، وَكِسَاءُ صُوفٍ، وَسَرَاوِيلُ صُوفٍ، وَنَعْلَانِ مِنْ جِلْدِ حِمَارٍ غَيْرِ ذَكِيٍّ"


Nabi Musa pada hari ia diajak bicara oleh Tuhannya memakai jubah dari bulu, baju dari bulu, dan celana dari bulu serta sepa­sang terompah dari kulit keledai yang tidak disembelih.Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula hadis berikut

dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berbicara dengan Musa sebanyak seratus empat puluh ribu kalimat selama tiga hari, semuanya berisi wasiat.

Ketika Musa mendengar pembicaraan manusia, maka ia menjadi ma­rah karena pengaruh dari apa yang telah ia dengar dari kalam Tuhan Yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Sanad asar ini pun lemah karena Juwaibir berpredikat daif,

dan Ad-Dahhak tidak menjumpai masa hidup Ibnu Abbas r.a.Mengenai asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta lain-lainnya melalui jalur Al-Fadl ibnu Isa Ar-Raqqasyi, dari Muhammad ibnul Munkadir,

dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ketika Allah berbicara kepada Musa pada hari Tur, bukan dengan kalam yang pernah Dia gunakan ketika me­nyerunya, maka Musa bertanya kepada-Nya, "Wahai Tuhanku,

apa­kah ini adalah kalam-Mu yang pernah Engkau gunakan kepadaku?" Allah Swt. menjawab, "Bukan, hai Musa. Sesungguhnya Aku ber­bicara denganmu baru hanya dengan kekuatan sepuluh ribu lisan dan Aku mempunyai kekuatan semua lisan,

bahkan Aku lebih kuat dari­pada hal tersebut." Ketika Musa kembali kepada kaum Bani Israil, mereka bertanya, "Hai Musa, gambarkanlah kepada kami kalam Tuhan Yang Maha Pe­murah." Musa menjawab, "Aku tidak mampu melakukannya."

Mereka berkata, "Serupakanlah saja kepada kami." Musa menja­wab, 'Tidakkah kalian pernah mendengar suara guntur? Sesungguh­nya hal itu berdekatan dengannya, tetapi bukan seperti suara guntur." Sanad riwayat ini daif,

karena A-Fadl Ar-Raqqasyi adalah orang yang lemah sekali dalam periwayatan hadis.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris.

dari Juz ibnu Jabir Al-Khas’ami, dari Ka'b yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah ketika berbicara kepada Musa memakai semua lisan (berbagai macam bahasa) kecuali kalam-Nya sendiri. Maka Musa berkata, "Wahai Tuhanku,

apakah ini kalam-Mu?" Allah menjawab, "Bukan, sekiranya Aku berbicara dengan kalam-Ku, nis­caya kamu tidak akan kuat mendengarnya " Musa berkata, "Wahai Tuhanku, apakah di antara makhluk-Mu terdapat sesuatu yang memiliki suara mirip

dengan-Mu?" Allah men­jawab, "Tidak ada, dan yang lebih serupa dengan kalam-Ku ialah apa yang biasa kamu dengar dari suara guntur yang sangat keras."Tetapi riwayat ini mauquf hanya sampai pada Ka'b Al-Ahbar.

Dia menukilnya dari kitab-kitab terdahulu yang menyangkut berita-berita Bani Israil, tetapi di dalamnya terkandung perubahan dan tam­bahan. Firman Allah Swt.:


{رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ}


(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (An-Nisa: 165)Yakni menyampaikan berita gembira kepada orang yang taat kepada Allah dan mengikuti jalan yang diridai-Nya dengan mengerjakan ke­baikan,

dan memberikan peringatan kepada orang yang menentang perintah-Nya dan mendustakan rasul-rasul-Nya dengan siksaan dan azab.Firman Allah Swt.:


{لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}


agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutus-Nya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 165)Dengan kata lain, Allah Swt. menurunkan kitab-kitab-Nya dan meng­utus rasul-rasul-Nya

dengan membawa berita gembira dan peringatan, dan menerangkan apa yang disukai dan diridai-Nya serta menjelaskan apa yang dibenci dan ditolak-Nya, agar tidak ada alasan lagi bagi orang yang akan mengemukakan alasannya. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu melalui firman-Nya:


{وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولا فَنَتَّبِعَ آيَاتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزَى}


Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebe­lum Al-Qur'an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami,

lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?" (Thaha: 134)Demikian pula makna yang ada dalam firman lainnya, yaitu:


وَلَوْلا أَنْ تُصِيبَهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ


Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan. (Al-Qashash: 47)Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Mas­'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"لا أحَدَ أغَيْرَ من الله، من أجل ذلك حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَر مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلَا أحدَ أحبَّ إِلَيْهِ المدحُ مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ مَدَحَ نَفْسَهُ، وَلَا أحدَ أحَبَّ إِلَيْهِ العُذر مِنَ اللَّهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ بَعَثَ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ" وَفِي لَفْظٍ: "مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ رُسُلَهُ، وَأَنْزَلَ كُتُبَهُ"


Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah, ka­rena itulah Dia mengharamkan hal-hal yang keji baik yang lahir maupun yang batin (tidak kelihatan). Dan tidak ada seorang pun yang lebih suka dipuji daripada Allah Swt.

Karena itu, maka Dia memuji diri-Nya sendiri. Tidak ada seorang pun yang lebih suka alasan selain dari Allah. Karena itu, Dia mengutus para nabi untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan. Menurut lafaz yang lain disebutkan: Karena itulah maka Dia mengutus rasul-rasul-Nya dan menurun­kan kitab-kitab-Nya.

Surat An-Nisa |4:164|

وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۚ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا

wa rusulang qod qoshoshnaahum 'alaika ming qoblu wa rusulal lam naqshush-hum 'alaiik, wa kallamallohu muusaa takliimaa

Dan ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.

And [We sent] messengers about whom We have related [their stories] to you before and messengers about whom We have not related to you. And Allah spoke to Moses with [direct] speech.

Tafsir
Jalalain

(Dan) telah Kami utus (rasul-rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dulu, dan rasul-rasul yang belum Kami kisahkan). Diriwayatkan bahwa Allah swt.

mengirim delapan ribu orang nabi, empat ribu dari kalangan Bani Israel dan empat ribu lagi dari kalangan manusia lainnya ini dikatakan oleh Syekh dalam surah Ghafir. (Dan Allah telah berbicara dengan Musa sebenar berbicara) artinya secara langsung.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 164 |

Penjelasan ada di ayat 163

Surat An-Nisa |4:165|

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

rusulam mubasysyiriina wa munżiriina li`allaa yakuuna lin-naasi 'alallohi ḥujjatum ba'dar-rusul, wa kaanallohu 'aziizan ḥakiimaa

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

[We sent] messengers as bringers of good tidings and warners so that mankind will have no argument against Allah after the messengers. And ever is Allah Exalted in Might and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Yaitu rasul-rasul) menjadi badal bagi rasul-rasul yang sebelumnya (selalu pembawa berita gembira) dengan diberinya pahala kepada orang yang beriman

(dan penyampaian peringatan) dengan adanya siksa kepada orang yang ingkar. Mereka Kami utus itu ialah (agar tidak ada lagi bagi manusia terhadap Allah alasan)

yang dapat dikemukakan (setelah) pengiriman (rasul-rasul itu) kepada mereka, misalnya dengan mengatakan, "Wahai Tuhan kami! Kenapa tidak Tuhan kirim kepada kami seorang rasul agar kami dapat mengikuti ayat-ayat-Mu

dan menjadi orang-orang beriman!" Maka Tuhan pun telah lebih dulu mengirimkan mereka untuk mematahkan alasan mereka tadi (Dan Allah Maha Tangguh) dalam kerajaan-Nya (lagi Maha Bijaksana)

dalam perbuatan-Nya. Ayat berikut diturunkan tatkala orang-orang Yahudi ditanyai orang mengenai kenabian Muhammad saw. lalu mereka ingkari:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 165 |

Penjelasan ada di ayat 163

Surat An-Nisa |4:166|

لَٰكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ ۖ أَنْزَلَهُ بِعِلْمِهِ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ يَشْهَدُونَ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

laakinillaahu yasy-hadu bimaaa anzala ilaika anzalahuu bi'ilmih, wal-malaaa`ikatu yasy-haduun, wa kafaa billaahi syahiidaa

Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur´an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.

But Allah bears witness to that which He has revealed to you. He has sent it down with His knowledge, and the angels bear witness [as well]. And sufficient is Allah as Witness.

Tafsir
Jalalain

(Tetapi Allah menyaksikan) artinya tentang kenabianmu (dengan apa yang diturunkan-Nya kepadamu) berupa Alquran yang menjadi mukjizat itu (diturunkan-Nya)

sebagai hasil (dari ilmu-Nya) atau memuat ilmu-Nya (dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi) pula atas kenabianmu itu. (Dan cukuplah Allah sebagai saksi)-nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 166 |

Tafsir ayat 166-170

Mengingat firman Allah Swt. yang mengatakan:


{إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ}


Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu. (An-Nisa: 163)Sampai dengan konteks ini hadis menetapkan kenabian Nabi Muham­mad Saw. dan membantah orang-orang yang ingkar kepada kenabian­nya dari kalangan kaum musyrik dan Ahli Kitab. Maka dalam ayat ini Allah Swt. berfirman:


{لَكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنزلَ إِلَيْكَ}


Tetapi Allah mengakui Al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepada­mu. (An-Nisa: 166)Yakni sekalipun orang-orang yang kafir kepada Al-Qur'an menging­karinya, mereka dari kalangan orang-orang yang mendustakanmu

dan menentangmu. Maka Allah tetap mengakui bahwa engkau adalah utusan-Nya yang diturunkan kepadanya Al-Kilab, yakni Al-Our'an yang agung.


{لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ}


Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan, baik aari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. (Fushshilat: 42)Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{أَنزلَهُ بِعِلْمِهِ}


Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. (An-Nisa: 166)Dengan pengetahuan-Nya yang hendak memperlihatkan kepada ham­ba-hamba-Nya akan Al-Qur'an yang di dalamnya terkandung kete­rangan-keterangan, hidayah,

pemisah antara yang hak dan yang batil, hal-hal yang disukai dan diridai Allah, dan hal-hal yang dibenci dan ditolak-Nya. Di dalam Al-Qur'an terkandung ilmu tentang hal-hal yang gaib menyangkut masalah yang terjadi di masa silam

dan masa mendatang. Di dalamnya disebutkan juga sifat-sifat Allah Swt. Yang Mahasuci yang tidak diketahui oleh nabi yang diutus, tidak pula oleh malaikat terdekat, kecuali bila diberi tahu oleh Allah Swt. sendiri. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ}


dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melain­kan apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 255)Dan dalam ayat yang lainnya, yaitu firman-Nya:


{وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا}


sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. (Thaha: 110)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Suhail Al-Ja'fari dan Abdullah ibnul Mubarak;

keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Ata ibnus Saib yang mengatakan bahwa Abu Abdur Rahman As-Sulami membacakan Al-Qur'an kepadanya.

Tersebutlah bahwa apabila seseorang di antara kami membacakan Al-Qur'an ke­padanya, ia (Ata ibnus Saib) selalu mengatakan, "Sesungguhnya ka­mu telah mengambil ilmu Allah,

maka pada hari ini tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kamu kecuali dengan amal perbuat­an." Kemudian ia membacakan firman-Nya:


{أَنزلَهُ بِعِلْمِهِ وَالْمَلائِكَةُ يَشْهَدُونَ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}


Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya; dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa: 166)Adapun firman Allah Swt.:


{وَالْمَلائِكَةُ يَشْهَدُونَ}


dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). (An-Nisa: 166)Yaitu atas kebenaran apa yang disampaikan olehmu dan apa yang di­wahyukan kepadamu serta kitab yang diturunkan kepadamu disertai dengan pengakuan Allah atas hal tersebut.


{وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا}


Cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa: 166)


قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي مُحَمَّدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ أَوْ سَعِيدِ بْنِ جُبَير، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جماعةٌ مِنَ الْيَهُودِ، فَقَالَ لَهُمْ: "إِنِّي لَأَعْلَمُ -وَاللَّهِ-إِنَّكُمْ لَتَعْلَمُونِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ". فَقَالُوا: مَا نَعْلَمُ ذَلِكَ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَكِنِ اللَّهُ يَشْهَدُ بِمَا أَنزلَ إِلَيْكَ أَنزلَهُ بِعِلْمِهِ}


Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Mu­hammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari ibnu Abbas yang menceritakan bahwa segolongan orang-orang Yahudi masuk menemui Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw.

bersabda kepada mereka: Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui, demi Allah, sesung­guhnya kalian ini benar-benar mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah. Maka mereka menjawab, "Kami tidak mengetahui hal tersebut."

Ke­mudian Allah menurunkan firman-Nya: Tetapi Allah mengakui Al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepada­mu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. (An-Nisa: 166), hingga akhir ayat.Adapun firman Allah Swt.:


{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا ضَلالا بَعِيدًا}


Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah benar-benar telah sesat sejauh-jauh­nya. (An-Nisa: 167)Mereka kafir dan tidak mau mengikuti perkara yang hak, bahkan me­reka berupaya

menghalang-halangi manusia untuk mengikuti dan me­nuruti jejak perkara yang hak. Mereka benar-benar telah keluar dari jalan yang benar, sesat darinya, dan jauh dari perkara yang hak, jauh yang amat mencolok.

Selanjutnya Allah Swt. memberitahukan perihal keputusan-Nya terhadap orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat-Nya, Kitab, dan Rasul-Nya, yaitu mereka yang menganiaya diri sendiri karena hal ter­sebut;

juga karena menghalang-halangi manusia dari jalan-Nya, me­ngerjakan perbuatan-perbuatan yang berdosa, dan melanggar hal-hal yang diharamkan-Nya. Dia tidak akan memberikan ampunan kepada mereka.


{وَلا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا}


dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka. (An-Nisa: 168)Yakni jalan kebaikan.


{إِلا طَرِيقَ جَهَنَّمَ}


kecuali jalan ke neraka Jahannam. (An-Nisa: 169) Istisna dalam ayat ini bersifat munqati'.


{خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا }


mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (An-Nisa: 169), hingga akhir ayat. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:


{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ}


Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepada kalian dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan ka­lian, maka berimanlah kalian, itulah yang lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 170)Telah datang Nabi Muhammad Saw.

kepada kalian dengan membawa hidayah, agama yang hak, dan keterangan yang memuaskan dari Allah Swt Karena itu, berimanlah kalian kepada apa yang didatang­kannya kepada kalian dan ikutilah dia, niscaya hal itu baik bagi kali­an. Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}


Dan jika kalian kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedi­kit pun kepada Allah), karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah. (An-Nisa: 170)Dengan kata lain,

Dia tidak memerlukan kalian dan iman kalian, dan Dia tidak terkena mudarat karena kekafiran kalian. Perihalnya sama dengan makna ayat lain, yaitu firman-Nya:


{وَقَالَ مُوسَى إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ}


Dan Musa berkata, "Jika kalian dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Ibrahim: 8)Dalam firman selanjutnya disebutkan:


{وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا}


Dan adalah Allah Maha Mengetahui. (An-Nisa: 170)terhadap orang yang berhak memperoleh hidayah dari kalian, maka Dia memberinya hidayah, dan terhadap orang yang berhak mendapat kesesatan, lalu Dia menyesatkannya.


{حَكِيمًا}


lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 170) Yaitu dalam semua ucapan, perbuatan, syariat dan takdir-Nya.

Surat An-Nisa |4:167|

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا ضَلَالًا بَعِيدًا

innallażiina kafaruu wa shodduu 'an sabiilillaahi qod dholluu dholaalam ba'iidaa

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah, benar-benar telah sesat sejauh-jauhnya.

Indeed, those who disbelieve and avert [people] from the way of Allah have certainly gone far astray.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya orang-orang yang kafir) kepada Allah (dan menghalang-halangi) manusia (dari jalan Allah) artinya dari agama Islam dengan menyembunyikan ciri-ciri Nabi Muhammad saw.;

maksudnya ialah orang-orang Yahudi (maka sesungguhnya mereka telah sesat sejauh-jauhnya) dari kebenaran.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 167 |

Penjelasan ada di ayat 166

Surat An-Nisa |4:168|

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا

innallażiina kafaruu wa zholamuu lam yakunillaahu liyaghfiro lahum wa laa liyahdiyahum thoriiqoo

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus),

Indeed, those who disbelieve and commit wrong [or injustice] - never will Allah forgive them, nor will He guide them to a path.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya orang-orang yang kafir) kepada Allah (dan berlaku aniaya) kepada nabi-Nya dengan menyembunyikan ciri-cirinya itu

(maka Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka dan tidak pula akan menunjukkan kepada mereka suatu jalan) di antara jalan-jalan yang banyak ini.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 168 |

Penjelasan ada di ayat 166

Surat An-Nisa |4:169|

إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

illaa thoriiqo jahannama khoolidiina fiihaaa abadaa, wa kaana żaalika 'alallohi yasiiroo

kecuali jalan ke Neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan hal itu (sangat) mudah bagi Allah.

Except the path of Hell; they will abide therein forever. And that, for Allah, is [always] easy.

Tafsir
Jalalain

(Kecuali jalan neraka Jahanam) maksudnya jalan menuju ke sana (kekal mereka) artinya ditakdirkan kekal (di dalamnya) jika mereka telah memasukinya (buat selama-lamanya. Dan yang demikian itu bagi Allah mudah) artinya gampang dan tidak sulit adanya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 169 |

Penjelasan ada di ayat 166

Surat An-Nisa |4:170|

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الرَّسُولُ بِالْحَقِّ مِنْ رَبِّكُمْ فَآمِنُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

yaaa ayyuhan-naasu qod jaaa`akumur-rosuulu bil-ḥaqqi mir robbikum fa aaminuu khoirol lakum, wa in takfuruu fa inna lillaahi maa fis-samaawaati wal-ardh, wa kaanallohu 'aliiman ḥakiimaa

Wahai manusia! Sungguh, telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepada-Nya), itu lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya milik Allah-lah apa yang di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

O Mankind, the Messenger has come to you with the truth from your Lord, so believe; it is better for you. But if you disbelieve - then indeed, to Allah belongs whatever is in the heavens and earth. And ever is Allah Knowing and Wise.

Tafsir
Jalalain

(Hai manusia) maksudnya warga Mekah (sesungguhnya telah datang kepadamu rasul) yakni Muhammad saw. (membawa kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu) kepadanya

(dan usahakanlah yang terbaik bagi kamu) dari apa yang melingkungimu (Dan jika kamu kafir) kepadanya (maka bagi-Nya apa yang di langit dan yang di bumi)

baik sebagai milik maupun sebagai makhluk dan hamba hingga tidaklah merugikan kepada-Nya kekafiranmu itu (Dan Allah Maha Mengetahui) terhadap makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) mengenai perbuatan-Nya terhadap mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 170 |

Penjelasan ada di ayat 166

Surat An-Nisa |4:171|

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا

yaaa ahlal-kitaabi laa taghluu fii diinikum wa laa taquuluu 'alallohi illal-ḥaqq, innamal-masiiḥu 'iisabnu maryama rosuulullohi wa kalimatuh, alqoohaaa ilaa maryama wa ruuḥum min-hu fa aaminuu billaahi wa rusulih, wa laa taquuluu ṡalaaṡah, intahuu khoirol lakum, innamallohu ilaahuw waaḥid, sub-ḥaanahuuu ay yakuuna lahuu walad, lahuu maa fis-samaawaati wa maa fil-ardh, wa kafaa billaahi wakiilaa

Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Maka, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, "(Tuhan itu) tiga," berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.

O People of the Scripture, do not commit excess in your religion or say about Allah except the truth. The Messiah, Jesus, the son of Mary, was but a messenger of Allah and His word which He directed to Mary and a soul [created at a command] from Him. So believe in Allah and His messengers. And do not say, "Three"; desist - it is better for you. Indeed, Allah is but one God. Exalted is He above having a son. To Him belongs whatever is in the heavens and whatever is on the earth. And sufficient is Allah as Disposer of affairs.

Tafsir
Jalalain

(Hai Ahli kitab) maksudnya kitab Injil (janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu katakan terhadap Allah kecuali) ucapan (yang benar) yaitu menyucikan-Nya dari kemusyrikan dan mempunyai anak.

(Sesungguhnya Almasih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang diucapkan-Nya) atau disampaikan-Nya (kepada Maryam dan roh) artinya yang mempunyai roh (daripada-Nya) diidhafatkan kepada Allah swt.

demi untuk memuliakan-Nya dan bukanlah sebagai dugaan kamu bahwa dia adalah anak Allah atau Tuhan bersama-Nya atau salah satu dari oknum yang tiga.

Karena sesuatu yang mempunyai roh itu tersusun sedangkan Tuhan Maha Suci dari tersusun dan dari dinisbatkannya tersusun itu kepada-Nya

(Maka berimanlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu katakan) bahwa Tuhan itu (tiga) yakni Allah, Isa dan ibunya (hentikanlah) demikian itu .

(dan perbuatlah yang lebih baik bagi kamu) yakni bertauhid (Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa Maha Suci Dia) artinya bersih dan terhindar (dari mempunyai anak. Bagi-Nya apa yang terdapat di langit dan yang di bumi)

baik sebagai makhluk maupun sebagai milik dan hamba sedangkan pemiliknya itu bertentangan dengan mempunyai anak (Dan cukuplah Allah sebagai wakil) atau saksi atas demikian itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 171 |

Penjelasan ada di ayat 166

Allah Swt. melarang Ahli Kitab bersikap melampaui batas dan me­nyanjung secara berlebihan. Hal ini banyak dilakukan oleh orang-orang Nasrani, karena sesungguhnya mereka melampaui batas sehu­bungan dengan Isa.

Mereka mengangkatnya di atas kedudukan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, lalu memindahkannya dari tingkat kenabian sampai menjadikannya sebagai tuhan selain Allah yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Dia.

Bahkan pengikut dan golongannya —yaitu dari kalangan orang-orang yang mengakui bahwa dirinya berada dalam agamanya (Isa)— bersikap berlebihan pula, lalu mereka mengakui dirinya terpelihara dari kesalahan.

Akhirnya para pengikut mereka mengikuti semua yang dikatakannya, baik hak atau batil, baik sesat atau benar, baik jujur ataupun dusta. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:


اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ


Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mere­ka sebagai tuhan selain Allah. (Ai-Taubah: 31), hingga akhir ayat.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم قَالَ: زَعَمَ الزُّهْرِي، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبة بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال: "لَا تُطْرُوني كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan bahwa Az-Zuhri menduga dari Ubaidillah ibnu Ab­dullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Janganlah kalian menyanjung-nyanjung diriku sebagaimana orang-orang Nasrani menyanjung-nyanjung Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakan­lah, "Hamba dan utusan Allah."

Kemudian ia meriwayatkannya pula —juga Ali ibnul Madini-— dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri. yang lafaznya seperti berikut:


«إنما أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»


Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah oleh kalian, "Hamba Allah dan Rasul-Nya."Ali ibnul Madini mengatakan bahwa predikat hadis ini sahih lagi musnad. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Al-Humaidi. dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut:


"فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا: عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ"


Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, "Hamba Allah dan Rasul-Nya."


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حمَّاد بْنِ سَلَمَة، عَنْ ثَابِتٍ البُناني، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: مُحَمَّدٌ يَا سَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِقَوْلِكُمْ، وَلَا يَسْتَهْويَنَّكُمُ الشيطانُ، أَنَا محمدُ بنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu Malik, bahwa seorang lelaki pernah mengatakan, "Ya Muhammad,

ya tuan kami, anak tuan kami yang paling baik dari kami, dan anak orang yang paling baik dari kami." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai manusia, peliharalah ucapan kalian, dan jangan sekali-kali setan menjerumuskan kalian.

Aku adalah Muhammad ibnu Ab­dullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak suka bila kalian mengangkatku di atas kedudukanku yang telah diberi­kan oleh Allah Swt. kepadaku.Hadis ini bila ditinjau dari segi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (sendirian). Firman Allah Swt.:


{وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ}


dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (An-Nisa: 171)Maksudnya, janganlah kalian membuat kedustaan terhadap-Nya dan menjadikan bagi-Nya istri dan anak. Mahasuci Allah lagi Mahatinggi dari hal itu

dengan ketinggian yang setinggi-tingginya, Mahasuci lagi Maha Esa Zat Allah dalam sifat Keagungan dan Kebesaran-Nya. Tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada Rabb selain Dia.Dalam ayat Selanjutnya disebutkan:


{إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}


Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan­Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)Sesungguhnya Isa itu hanyalah seorang

hamba Allah dan makhluk yang diciptakan-Nya. Allah berfirman kepadanya, "Jadilah kamu," maka jadilah dia. Dia (Isa) hanyalah utusan-Nya dan kalimat-Nya yang Allah sampaikan kepada Maryam. Dengan kata lain, Allah menciptakan Isa

melalui kalimat perintah yang disampaikan oleh Malaikat Jibril a.s. dari Allah Swt. kepada Maryam. Lalu Malaikat Jibril me­niupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Maryam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa dengan seizin Allah.

Embusan itu ditiupkan oleh Malaikat Jibril ke dalam baju kurung Maryam, lalu tiupan itu turun hingga masuk ke dalam farjinya, sama kedudukannya dengan pembuahan yang dilakukan oleh seorang lelaki kepada istrinya:

semuanya adalah makhluk Allah Swt. Karena itu, di­katakan bahwa Isa adalah kalimat Allah dan roh dari ciptaan-Nya, mengingat kejadiannya tanpa melalui proses seorang ayah. Sesung­guhnya ia timbul dari kalimah yang diucapkan oleh Allah

melalui Jib­ril kepada Maryam, yaitu kalimat kun (Jadilah), maka jadilah Isa, dan roh yang dikirimkan oleh Allah kepada Maryam melalui Jibril. Allah Swt berfirman:


{مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعَامَ}


Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesung­guhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya se­orang yang sangat benar, keduanya biasa memakan makanan. (Al-Maidah: 75)Allah Swt. telah berfirman:


{إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ}


Sesungguhnya misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudi­an Allah berfirman kepadanya, "Jadilah!" (seorang manusia). Maka jadilah dia. (Ali Imran: 59)


{وَالَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ}


Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormat­annya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 91)


وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا


dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormat­annya. (At-Tahrim: 12), hingga akhir ayat.Firman Allah Swt. menceritakan perihal Isa Al-Masih, yaitu:


إِنْ هُوَ إِلا عَبْدٌ أَنْعَمْنَا عَلَيْهِ


Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepa­danya nikmat (kenabian). (Az-Zukhruf: 59), hingga akhir ayat.Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:


{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}


dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa:171)Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:


{كُنْ}


Jadilah/ Maka terjadilah ia. (Yasin: 82)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ah­mad ibnu Sinan Al-Wasiri yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Syaz ibnu Yahya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:


{وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ}


dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171)Bahwa bukanlah kalimat yang menjadikan Isa, tetapi dengan kalimat itu akhirnya jadilah Isa. Pendapat ini lebih baik daripada apa yang di­katakan oleh Ibnu Jarir sehubungan dengan firman-Nya:


{أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ}


Yang disampaikan-Nya kepada Maryam. (An-Nisa: 171)Makna yang dimaksud ialah Allah mengajarkan kalimat itu kepada Maryam. sama seperti apa yang dikatakannya sehubungan dengan makna firman-Nya:


{إِذْ قَالَتِ الْمَلائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ}


(Ingatlah) ketika malaikat berkata, "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari-Nya. (Ali Imran: 45)Makna yang dimaksud ialah mengajarkan

kepadamu suatu kalimat dari-Nya. Ibnu Jarir menjadikan makna ayat ini sama dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:


{وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ}


Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur'an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu. (Al-Qashash: 86)Bahkan pendapat yang sahih (benar) ialah yang mengatakan bahwa

kalimat tersebut didatangkan oleh Malaikat Jibril kepada Maryam, lalu Malaikat Jibril meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuh Mar­yam dengan seizin Allah. Maka jadilah Isa a.s.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي عُمَيْر بْنُ هَانِئٍ، حَدَّثَنِي جُنَادةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وروحٌ مِنْهُ، والجنةَ حُقٌّ، والنارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ". قَالَ الْوَلِيدُ: فَحَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ عُمير بْنِ هَانِئٍ، عَنْ جُنَادة زَادَ: "مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ".


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Umair ibnu Hani', telah mence­ritakan kepada kami Junadah ibnu Abu Umayyah,

dari Ubadah ibnus Samit, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa adalah hamba

dan Rasul-Nya serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta roh dari-Nya, dan bahwa surga itu benar, neraka itu benar, nis­caya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berdasarkan amal yang telah dikerjakannya.

Al-Walid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, dari Umair ibnu Hani', dari Junadah yang di dalamnya disebutkan tambahan, yaitu: (Allah memasukkannya) ke dalam salah satu dari pintu-pintu surga

yang delapan buah, dia boleh memasukinya dari pintu ma­na pun yang disukainya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Daud ibnu Rasyid, dari Al-Walid, dari Ibnu Jabir dengan lafaz yang sama. Dari jalur yang lain dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama.Firman Allah yang ada dalam ayat, dan hadis yang semakna, yaitu:


{وَرُوحٌ مِنْهُ}


dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa: 171) semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ}


Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. (Al-Jatsiyah: 13)Yakni dari kalangan makhluk-Nya dan dari sisi-Nya. Lafaz min di sini bukan untuk makna tab'id (sebagian)

seperti yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani —semoga laknat Allah yang berturut-turut menimpa mereka— melainkan makna yang dimaksud ialah ibtida-ul goyah, seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:


{وَرُوحٌ مِنْهُ}


dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (An-Nisa; 171)Yang dimaksud dengan ruhun dalam ayat ini ialah rasulun minhu, yakni urusan dari-Nya. Sedangkan selain Mujahid mengatakan ma-habbatan minhu, yakni kasih sayang dari-Nya.

Tetapi pendapat yang kuat ialah yang pertama, yaitu yang mengatakan bahwa Nabi Isa di-ciptakan dari roh ciptaan-Nya. Kemudian lafaz roh di-mudaf-kan (di­gandengkan) dengan-Nya dengan maksud

mengandung pengertian tasyrif (kehormatan), sebagaimana lafaz naqah (unta) di-mudaf-kan kepada Allah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:


{هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ}


Unta betina Allah ini. (Al-A'raf: 73) Dan lafaz baitun (rumah) yang terdapat di dalam firman-Nya:


{وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ}


Bersihkanlah rumah-Ku, untuk orang-orang yang tawaf. (Al-Hajj: 26)Juga seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengata­kan:


"فَأَدْخُلُ عَلَى رَبِّي فِي دَارِهِ"


Maka aku masuk menemui Tuhanku di dalam rumah-Nya.Nabi Saw. me-mudaf-kan lafaz darun (rumah) kepada Allah dengan maksud sebagai kehormatan terhadap rumah tersebut. Masing-masing dari apa yang telah disebutkan termasuk ke dalam bab yang sama. Firman Allah Swt,:


{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ}


Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. (An-Nisa: 171)Maksudnya, percayalah bahwa Allah adalah Satu, lagi Maha Esa, ti­ada beranak, dan tiada beristri; dan ketahuilah serta yakinilah bahwa Isa itu adalah hamba dan Rasul-Nya. Dalam firman Selanjutnya disebutkan:


{وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ}


dan janganlah kalian mengatakan, "(Tuhan itu) tiga." (An-Nisa: 171)Yakni janganlah kalian menjadikan Isa dan ibunya digandengkan de­ngan Allah sebagai dua orang yang mcnyekutui-Nya. Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:


{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ}


Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwa­sanya Allah salah seorang dari yang tiga," padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (Al-Maidah: 73}Dalam ayat lainnya —masih dalam surat yang sama— Allah Swt. berfirman pula:


وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي


Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman.”Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku.' (Al-Maidah: 116) hingga akhir ayat."Dalam Surat Al-Maidah pada ayat lainnya Allah Swt. berfirman:


{لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ}


Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Se­sungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam." (Al-Maidah: 17 dan 72), hingga akhir ayat.Orang-orang Nasrani —la'natullahi 'alaihim— karena kebodohan mereka,

maka mereka tidak ada pegangan; kekufuran mereka tidak terbatas, bahkan ucapan dan kesesatannya sudah parah. Ada yang beranggapan bahwa Isa putra maryam adalah Tuhan, ada yang menganggapnya sebagai sekutu,

dan ada yang menganggapnya sebagai anak. Mereka terdiri atas berbagai macam sekte yang cukup banyak jumlahnya; masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dan penda­pat mereka tidak ada yang sesuai, semuanya bertentangan.

Salah seorang ahli ilmu kalam (Tauhid) mengatakan suatu penda­pat yang tepat, bahwa seandainya ada sepuluh orang Nasrani berkum­pul, niscaya pendapat mereka berpecah-belah menjadi sebelas penda­pat.Salah seorang ulama Nasrani

yang terkenal di kalangan mereka (yaitu Sa'id ibnu Patrik yang tinggal di Iskandaria pada sekitar tahun empat ratus Hijriah) menyebutkan bahwa mereka mengadakan suatu pertemuan besar yang di dalamnya mereka melakukan suatu

misa besar.Padahal sesungguhnya hal tersebut tiada lain hanyalah suatu pengkhianatan yang hina lagi rendah. Hal ini terjadi pada masa Kon­stantinopel, pembangun kota yang terkenal itu. Lalu mereka berselisih pendapat dalam pertemuan

tersebut dengan perselisihan yang tidak terkendali dan tidak terhitung banyaknya pendapat yang ada. Jumlah mereka lebih dari dua ribu uskup. Mereka menjadi golongan yang banyak lagi berpecah belah. Setiap lima puluh orang dari mereka

mempunyai pendapat sendiri, dan setiap dua puluh orang dari mereka mempunyai pendapat sendiri, setiap seratus orang dari mereka ada yang mempunyai pendapatnya sendiri, dan setiap tujuh puluh orang mem­punyai pendapatnya sendiri,

ada pula yang lebih dan kurang dari jumlah tersebut mempunyai pendapat yang berbeda.Ketika Raja Konstantinopel melihat kalangan mereka demikian, ada sejumlah orang yang banyaknya kurang lebih tiga ratus delapan belas orang uskup

sepakat dengan suatu pendapat Maka raja meng­ambil golongan itu, lalu mendukung dan memperkuatnya.Raja Konstantinopel dikenal sebagai seorang filosof berwatak ke­ras dan tidak mau menerima pendapat orang lain.

Lalu raja menghim­pun persatuan mereka dan membangun banyak gereja buat mereka serta membuat kitab-kitab dan undang-undang untuk mereka. Lalu mereka membuat suatu amanat yang mereka ajarkan kepada anak-anak agar mereka

meyakininya sejak dini, mengadakan pembaptisan besar-besaran atas dasar itu. Para perigikut mereka dikenal dengan nama sekte Mulkaniyah.Kemudian mereka mengadakan suatu pertemuan lain yang kedua, maka terjadilah

di kalangan mereka sekte Ya'qubiyah. Pada pertemu­an yang ketiga terbentuklah sekte Nusturiyan.Ketiga golongan tersebut pada dasarnya mengukuhkan ajaran tri­nitas yang antara lain ialah Al-Masih. Tetapi mereka berbeda pendapat

mengenai kaifiyatnya sehubungan dengan masalah lahut dan nasut-nya, masing-masing mempunyai dugaan sendiri. Apakah dia manunggal atau tidak, bersatukah atau menitis. Pada kesimpulannya pendapat mereka terpecah menjadi

tiga pendapat, masing-masing go­longan mengalirkan golongan yang lain, sedangkan kita mengalirkan semuanya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:


{انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ}


berhentilah kalian (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 171)Maksudnya, akan lebih baik bagi kalian.


{إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ}


Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Allah da­ri mempunyai anak. (An-Nisa: 171)Yakni Mahasuci lagi Mahatinggi Allah dari hal tersebut dengan ke­tinggian yang setinggi-tingginya.


{لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلا}


Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cu­kuplah Allah untuk menjadi Pemelihara. (An-Nisa: 171)Artinya, semuanya adalah makhluk dan milik Allah, dan semua yang ada di antara keduanya adalah hamba-hamba-Nya,

mereka berada da­lam pengaturan dan kekuasaan-Nya. Dialah Yang memelihara segala sesuatu, mana mungkin bila dikatakan bahwa Dia mempunyai istri dan anak dari kalangan mereka. Dalam ayat yang lain disebutkan me­lalui firman-Nya:


{بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ}


Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak. (Al-An'am: 101), hingga akhir ayat.Allah Swt. telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu:


وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا. لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا


Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak" Sesungguhnya kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. (Maryam: 88-89)sampai dengan firman-Nya:


فَرْدًا


dengan sendiri-sendiri. (Maryam: 95)

Surat An-Nisa |4:172|

لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا

lay yastangkifal-masiiḥu ay yakuuna 'abdal lillaahi wa lal-malaaa`ikatul-muqorrobuun, wa may yastangkif 'an 'ibaadatihii wa yastakbir fa sayaḥsyuruhum ilaihi jamii'aa

Al-Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah). Dan barang siapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.

Never would the Messiah disdain to be a servant of Allah, nor would the angels near [to Him]. And whoever disdains His worship and is arrogant - He will gather them to Himself all together.

Tafsir
Jalalain

(Almasih tidak merasa malu) maksudnya Almasih yang kamu katakan sebagai Tuhan itu tidak merasa enggan dan takabur (menjadi hamba bagi Allah dan tidak pula enggan malaikat-malaikat yang terdekat)

kepada Allah mereka juga tidak malu untuk menjadi hamba-Nya. Ini suatu kalimat selang yang terbaik yang dikemukakan untuk menolak anggapan sementara orang bahwa mereka adalah Tuhan atau putri-putri Allah ,

sebagaimana kalimat yang sebelumnya digunakan untuk menolak anggapan kaum Nasrani bahwa Isa adalah putra-Nya.

(Siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri maka kelak Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya) yakni di akhirat.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 172 |

Tafsir ayat 172-173

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:


لَنْ يَسْتَنْكِفَ


tidak sekali-kali enggan. (An-Nisa: 172)Makna yang dimaksud ialah tidak menyombongkan diri, sedangkan menurut Qatadah artinya tidak enggan atau tidak segan-segan.


{الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}


Al-Masih menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). (An-Nisa: 172)Sebagian ulama mengatakan bahwa malaikat lebih utama dari manu­sia berdasarkan ayat ini, karena Allah Swt. telah berfirman:


{وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}


Dan tidak pula enggan malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). (An-Nisa: 172)Padahal mereka tidak mempunyai dalil dari ayat ini, karena sesungguhnya lafaz ul-mala-ikah di-'ataf-kan kepada al-masih tiada lain ka­rena pengertian

istinkaf adalah enggan atau menolak, sedangkan para malaikat lebih mampu daripada Al-Masih untuk melakukan hal ter­sebut. Untuk itu disebutkan:


{وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ}


dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah) (An-Nisa: 172)Padahal tidak mesti bila keadaan mereka lebih kuat dan lebih mampu daripada Al-Masih untuk melakukan hal tersebut, lalu dikatakan bahwa mereka

lebih utama daripada dia.Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya para malaikat dise­butkan dalam ayat ini tiada lain karena mereka dijadikan sebagai tu­han-tuhan selain Allah,

sebagaimana Al-Masih dijadikan tuhan. Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa mereka semuanya adalah hamba-hamba-Nya dan makhluk-Nya, seperti yang disebutkan di dalam fir­man-Nya:


وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ


Dan mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah telah meng­ambil (mempunyai) anak," Mahasuci Allah. Sebenarnya (malai­kat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (Al-Anbiya: 26)hingga beberapa ayat selanjutnya. Karena itu. dalam firman selanjut­nya dari ayat ini disebutkan:


{وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا}


Barang siapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyom­bongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua ke­pada-Nya. (An-Nisa: 172)Yaitu kelak Allah Swt. akan mengumpulkan semuanya di hari kiamat,

dan Dia akan memutuskan di antara mereka dengan hukum-Nya yang adil lagi tidak aniaya dan tidak ada penyimpangan (berat sebelah). Dalam ayat berikutnya disebutkan:


{فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ}


Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, ma­ka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173)Artinya, Allah akan memberi mereka pahala yang sesuai

dengan amal salehnya, dan memberikan tambahan kepada mereka atas hal tersebut dari karunia, kebaikan, anugerah, rahmat, dan keluasan-Nya.


وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُوَيه مِنْ طَرِيقِ بَقِيَّة، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْكِنْدِيِّ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ} قال: أُجُورُهُمْ: أَدْخَلَهُمُ الْجَنَّةَ". {وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ} قَالَ: "الشَّفَاعَةُ فِيمَنْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ مِمَّنْ صَنَعَ إِلَيْهِمُ الْمَعْرُوفَ فِي دُنْيَاهُمْ".


Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Baqiyyah, dari Ismail ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Al-A'masy, dari Sufyan, dari Abdullah secara marfu', bahwa Rasulullah Saw membaca firman-Nya: maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka

dan menam­bah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173) Yakni pahala mereka sepenuhnya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda menafsirkannya: Allah memasukkan mereka ke dalam surga. Adapun untuk firman Allah Swt.

berikut ini: dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 173) Nabi Saw. bersabda menafsirkan pengertian tambahan itu, yaitu: (Diizinkan oleh Allah memberi) syafaat terhadap orang yang telah dipastikan baginya

masuk neraka, dari kalangan orang-orang yang pernah berbuat kebaikan kepada mereka ketika di dunianya.Akan tetapi, sanad hadis ini tidak kuat; dan apabila memang benar di­riwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud secara mauquf, maka predikat­nya jayyid (baik).


{وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا}


Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri. (An-Nisa: 173)Yakni tidak mau taat kepada Allah dan tidak mau menyembah-Nya serta menyombongkan dirinya dari hal itu. Maka dalam firman selan­jutnya disebutkan balasan mereka, yaitu:


{فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا}


maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka pelindung dan penolong selain dari Allah. (An-Nisa: 173)Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:


{إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ}


Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. (Al-Mu-min: 60)Yakni dalam keadaan hina dina dan tertunduk, sebagaimana mereka congkak dan sombong ketika di dunianya.

Surat An-Nisa |4:173|

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ اسْتَنْكَفُوا وَاسْتَكْبَرُوا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

fa ammallażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati fa yuwaffiihim ujuurohum wa yaziiduhum min fadhlih, wa ammallażiinastangkafuu wastakbaruu fa yu'ażżibuhum 'ażaaban aliimaw wa laa yajiduuna lahum min duunillaahi waliyyaw wa laa nashiiroo

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.

And as for those who believed and did righteous deeds, He will give them in full their rewards and grant them extra from His bounty. But as for those who disdained and were arrogant, He will punish them with a painful punishment, and they will not find for themselves besides Allah any protector or helper.

Tafsir
Jalalain

(Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka Allah akan menyempurnakan ganjaran mereka) artinya pahala dari amal perbuatan mereka itu (dan menambah untuk mereka dari karunia-Nya)

yakni yang belum pernah dilihat oleh mata, tidak didengar telinga dan tidak pula terdetik dalam hati manusia. (Adapun orang-orang yang malu dan menyombongkan diri) dari mengabdikan diri kepada-Nya,

(maka akan disiksa-Nya mereka dengan siksaan yang pedih) atau menyakitkan yaitu siksa neraka (dan mereka tidak akan memperoleh bagian bagi diri mereka selain daripada Allah, pelindung)

yang akan melindungi diri mereka (dan tidak pula pembela) yang akan menolong mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 173 |

Penjelasan ada di ayat 172

Surat An-Nisa |4:174|

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

yaaa ayyuhan-naasu qod jaaa`akum bur-haanum mir robbikum wa anzalnaaa ilaikum nuurom mubiinaa

Wahai manusia! Sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur´an).

O mankind, there has come to you a conclusive proof from your Lord, and We have sent down to you a clear light.

Tafsir
Jalalain

(Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu keterangan) bukti kebenaran (dari Tuhanmu) yaitu Nabi saw. (dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang) benderang yakni Alquran.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 174 |

Tafsir ayat 174-175

Allah Swt. berfirman, ditujukan kepada semua umat manusia dan se­bagai pemberitahuan kepada mereka, bahwa sesungguhnya telah datang kepada mereka bukti kebenaran yang besar dari Allah Swt.,

yaitu dalil yang pasti yang membantah semua alasan, dan hujah yang mele­nyapkan semua kerumitan. Karena itulah disebutkan pada permulaan ayat melalui firman-Nya:


{وَأَنزلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا}


dan telah Kami turunkan kepada kalian cahaya yang terang ben­derang. (An-Nisa: 174)Yaitu cahaya yang terang dan jelas menunjukkan perkara yang hak. Menurut Ibnu Juraij dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah Al-Qur'an.


{فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ}


Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya (An-Nisa: 175)Yakni memadukan antara ibadah dan bertawakal kepada Allah dalam semua urusan mereka.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa makna yang di­maksud ialah "orang-orang yang beriman dan berpegang teguh ke­pada Al-Qur'an". Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.


{فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ}


niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya. (An-Nisa: 175)Allah belas kasihan kepada mereka, maka Dia memasukkan mereka ke dalam surga

dan menambahkan kepada mereka pahala yang berlipat ganda; derajat mereka ditinggikan berkat karunia Allah kepada mereka dan kebaikan-Nya.


{وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا}


Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya. (An-Nisa: 175)Yaitu jalan yang jelas, tujuan yang lurus, tidak ada bengkoknya dan tidak ada penyimpangan.Demikianlah gambaran tentang orang-orang mukmin

di dunia dan akhirat. Di dunia mereka berada pada tuntunan yang lurus dan ja­lan keselamatan dalam semua akidah dan amaliyahnya, sedangkan di akhirat berada pada jalan Allah yang lurus

yang menghantarkan mereka ke taman-taman surga-Nya.Di dalam hadis Al-Haris Al-A'war, dari Ali ibnu Abu Talib r.a., dari Nabi Saw. disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


" الْقُرْآنُ صراطُ اللهِ المستقيمُ وحبلُ اللَّهِ الْمَتِينُ "


Al-Qur'an adalah jalan Allah yang lurus dan tali Allah yang kuat.Hadis ini secara lengkap telah disebutkan pada permulaan kitab tafsir ini, hanya milik Allah-lah segala puji dan karunia.

Surat An-Nisa |4:175|

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

fa ammallażiina aamanuu billaahi wa'tashomuu bihii fa sayudkhiluhum fii roḥmatim min-hu wa fadhliw wa yahdiihim ilaihi shiroothom mustaqiimaa

Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan karunia dari-Nya (surga), dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya.

So those who believe in Allah and hold fast to Him - He will admit them to mercy from Himself and bounty and guide them to Himself on a straight path.

Tafsir
Jalalain

(Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan limpahan karunia-Nya,

dan membimbing mereka ke jalan yang lurus menuju kepada-Nya) yakni agama Islam. [...]

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 175 |

Penjelasan ada di ayat 174

Surat An-Nisa |4:176|

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

yastaftuunak, qulillaahu yuftiikum fil-kalaalah, inimru`un halaka laisa lahuu waladuw wa lahuuu ukhtun fa lahaa nishfu maa tarok, wa huwa yariṡuhaaa il lam yakul lahaa walad, fa ing kaanataṡnataini fa lahumaṡ-ṡuluṡaani mimmaa tarok, wa ing kaanuuu ikhwatar rijaalaw wa nisaaa`an fa liż-żakari miṡlu ḥazhzhil-unṡayaiin, yubayyinullohu lakum an tadhilluu, wallohu bikulli syai`in 'aliim

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

They request from you a [legal] ruling. Say, "Allah gives you a ruling concerning one having neither descendants nor ascendants [as heirs]." If a man dies, leaving no child but [only] a sister, she will have half of what he left. And he inherits from her if she [dies and] has no child. But if there are two sisters [or more], they will have two-thirds of what he left. If there are both brothers and sisters, the male will have the share of two females. Allah makes clear to you [His law], lest you go astray. And Allah is Knowing of all things.

Tafsir
Jalalain

(Mereka meminta fatwa kepadamu) mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan anak

(Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah; jika seseorang) umru-un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya (celaka)

maksudnya meninggal dunia (dan dia tidak mempunyai anak) dan tidak pula bapak yakni yang dimaksud dengan kalalah tadi (tetapi mempunyai seorang saudara perempuan)

baik sekandung maupun sebapak (maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan dia) maksudnya saudaranya yang laki-laki (mewarisi saudaranya yang perempuan)

pada seluruh harta peninggalannya (yakni jika ia tidak mempunyai anak). Sekiranya ia mempunyai seorang anak laki-laki, maka tidak satu pun diperolehnya, tetapi jika anaknya itu perempuan,

maka saudaranya itu masih memperoleh kelebihan dari bagian anaknya. Dan sekiranya saudara laki-laki atau saudara perempuan itu seibu, maka bagiannya ialah seperenam sebagaimana telah diterangkan di awal surah.

(Jika mereka itu) maksudnya saudara perempuan (dua orang) atau lebih, karena ayat ini turun mengenai Jabir; ia meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa orang saudara perempuan

(maka bagi keduanya dua pertiga dari harta peninggalan) saudara laki-laki mereka. (Dan jika mereka) yakni ahli waris itu terdiri dari (saudara laki-laki dan perempuan,

maka bagian seorang laki-laki) di antara mereka (sebanyak bagian dua orang perempuan." Allah menerangkan kepadamu syariat-syariat agama-Nya (agar kamu) tidak (sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu)

di antaranya tentang pembagian harta warisan. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Barra bahwa ia merupakan ayat yang terakhir diturunkan, maksudnya mengenai faraid

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | An-Nisa | 4 : 176 |

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ قَالَ: آخِرُ سُورَةٍ نَزَلَتْ: "بَرَاءَةٌ"، وَآخِرُ آيَةٍ نَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ}


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Su­laiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra (Ibnu Azib r.a.) berkata,

"Surat yang paling akhir diturunkan adalah surat Al-Bara’ah (At-Taubah), dan ayat yang paling akhir diturunkan ada­lah firman-Nya: 'Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)' (An-Nisa: 176). hingga akhir ayat."


وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: دَخَلَ عَلَيّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَا مَرِيضٌ لَا أَعْقِل، قَالَ: فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَبَّ عَلَيّ -أَوْ قَالَ صُبُّوا عَلَيْهِ -فَعَقَلْتُ فَقُلت: إِنَّهُ لَا يَرِثُنِي إِلَّا كَلَالَةٌ، فَكَيْفَ الْمِيرَاثُ؟ قَالَ: فَنَزَلَتْ آيَةُ الْفَرَائِضِ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Mu­hammad ibnul Munkadir yang menceritakan bahwa ia pernah mende­ngar Jabir ibnu Abdullah mengatakan:

"Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumahku ketika aku sedang sakit dan dalam keadaan tidak sadar." Jabir melanjutkan kisah­nya, "Lalu Rasulullah Saw. berwudu, kemudian mengucurkan bekasnya kepadaku; atau perawi mengatakan bahwa

mereka (yang hadir) menyiramkan (bekas air wudu)nya kepada Jabir. Karena itu aku sadar, lalu aku bertanya, 'Sesungguhnya tidak ada yang mewarisiku kecuali kalalah. Bagaimanakah cara pem­bagiannya?'."

Lalu Allah menurunkan ayat faraid.Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain melalui Syu'bah. Jama'ah meriwayatkannya melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah,

dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir dengan lafaz yang sama. Sedangkan dalam lafaz yang lainnya disebutkan bahwa lalu turunlah ayat miras, yaitu firman-Nya:


{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah." (An-Nisa: 176), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Zubair (yakni Jabir) mengatakan bahwa ayat ber­ikut diturunkan berkenaan dengan diriku, yaitu firman-Nya:


{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}


Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang katalah." (An-Nisa: 176)Seakan-akan makna ayat —hanya Allah Yang lebih mengetahui— bahwa mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah.


{يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ}


Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang kala­lah." (An-Nisa: 176)Yakni perihal mewaris secara kalalah. Lafaz yang disebutkan ini me­nunjukkan adanya lafaz yang tidak disebutkan.Dalam pembahasan yang lalu telah diterangkan

makna lafaz ka­lalah dan akar katanya, bahwa kalalah itu diambil dari pengertian un­taian bunga yang dikalungkan di atas kepala sekelilingnya. Karena itulah mayoritas ulama menafsirkannya dengan pengertian orang yang meninggal dunia

dalam keadaan tidak mempunyai anak, tidak pula orang tua. Menurut salinan yang lain, tidak mempunyai anak, tidak pula cucu.Sebagian ulama mengatakan bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Seperti yang ditunjukkan oleh pengertian ayat ini, yaitu firman-Nya:


{إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ} {لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ}


jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, (An-Nisa: 176)Sesungguhnya hukum masalah kalalah ini sulit dipecahkan oleh Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a.. seperti yang disebutkan di da­lam kitab Ash-Shahihain darinya, bahwa ia telah mengatakan:


ثَلَاثٌ وَدِدْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان عَهِدَ إِلَيْنَا فِيهِنَّ عَهْدًا نَنْتَهِي إِلَيْهِ: الْجَدُّ، وَالْكَلَالَةُ، وَأَبْوَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.


Ada tiga perkara yang sejak semula aku sangat menginginkan bi­la Rasulullah Saw. memberikan keterangan kepada kami tentang­nya dengan keterangan yang sangat memuaskan kami, yaitu ma­salah kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai masalah riba.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادة، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الجَعْد، عَنْ مَعْدان بْنِ أَبِي طَلْحَةَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا سألتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ أَكْثَرَ مِمَّا سَأَلْتُهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، حَتَّى طَعَنَ بأُصْبُعِه فِي صَدْرِي وَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa

ia belum pernah menanyakan ke­pada Rasulullah Saw. suatu masalah pun yang lebih banyak dari per­tanyaannya tentang masalah kalalah, sehingga Rasulullah Saw. menotok dada Umar dengan jari telunjuknya seraya bersabda:

Cukuplah bagimu ayat saif (ayat yang diturunkan di musim pa­nas) yang terdapat di akhir surat An-Nisa.Demikianlah riwayat Imam Ahmad secara singkat. Imam Muslim mengetengahkannya dengan lafaz yang panjang dan lebih banyak daripada riwayat Imam Ahmad.Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


قَالَ [الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيم، حَدَّثَنَا مالك -يعني ابن مِغْل-سَمِعْتُ الْفَضْلَ بْنَ عَمْرٍو، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عُمَرَ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ ". فَقَالَ: لَأَنْ أَكُونَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا أحبَّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يكونَ لِي حُمْر النَّعم.


Disebutkan bahwa te­lah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik (yakni Ibnu Magul) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fadl ibnu Amr, dari Ibrahim, dari Umar yang menga­takan,

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka beliau Saw. menjawab: "Cukuplah bagimu ayat saif.” Umar mengatakan, "Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kalalah lebih aku sukai daripada

aku mempunyai ternak unta yang merah." Sanad hadis ini jayyid, hanya di dalamnya terdapat inqita' (mata rantai sanad yang terputus) antara Ibrahim dan Umar, karena sesungguhnya Ibrahim tidak menjumpai masa Umar r.a.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ البَراءِ بْنِ عازبٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " يَكْفِيكَ آيَةُ الصَّيْفِ ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa se­orang lelaki datang kepada Nabi Saw.

dan menanyakan kepadanya tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. menjawab: Cukuplah bagimu ayat saif.Sanad hadis ini jayyid, diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui Abu Bakar ibnu Ayyasy dengan lafaz yang sama.

Seakan-akan yang dimaksud dengan ayat saif ialah ayat yang diturun­kan pada musim panas.Mengingat Nabi Saw. memberikan petunjuk kepadanya untuk memahami ayat tersebut, hal ini berarti di dalam ayat terkandung kecukupan

yang nisbi untuk tidak menanyakannya kepada Nabi Saw. tentang maknanya. Karena itulah maka Khalifah Umar r.a. mengata­kan, "Sesungguhnya jika aku menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah ini, lebih aku sukai daripada aku mempunyai ternak unta yang merah."


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيعٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرة، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب قَالَ: سَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ، فَقَالَ: " أَلَيْسَ قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ ذَلِكَ؟ " فَنَزَلَتْ: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِي الكَلالَةِ]} الْآيَةَ.


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki'. telah menceritakan kepada kami Jarir. telah menceritakan ke­pada kami Asy-Syaibani, dari Amr ibnu Murrah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Umar r.a.

pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang masalah kalalah. Maka Nabi Saw. men­jawab: Bukankah Allah telah menjelaskan hal tersebut? Lalu turunlah firman-Nya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). (An-Nisa: 176),

hingga akhir ayat.Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mengatakan di dalam khotbahnya: Ingatlah, sesungguhnya ayat yang diturunkan pada permulaan surat An-Nisa berkenaan

dengan masalah faraid, Allah menurun­kannya untuk menjelaskan warisan anak dan orang tua. Ayat yang kedua diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan suami, istri, dan saudara-saudara lelaki seibu.

Ayat yang meng­akhiri surat An-Nisa diturunkan oleh Allah untuk menjelaskan warisan saudara-saudara laki-laki dan perempuan yang seibu seayah (sekandung). Dan ayat yang mengakhiri surat Al-Anfal diturunkan berkenaan dengan masalah

orang-orang yang mem­punyai hubungan darah satu sama lain yang lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitabullah sesuai dengan ketentuan asabah dari hubungan darah.Asar diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Surat Al-Maidah |5:1|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ

yaaa ayyuhallażiina aamanuuu aufuu bil-'uquud, uḥillat lakum bahiimatul-an'aami illaa maa yutlaa 'alaikum ghoiro muḥillish-shoidi wa antum ḥurum, innalloha yaḥkumu maa yuriid

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

O you who have believed, fulfill [all] contracts. Lawful for you are the animals of grazing livestock except for that which is recited to you [in this Qur'an] - hunting not being permitted while you are in the state of ihram. Indeed, Allah ordains what He intends.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia.

(Dihalalkan bagi kamu binatang ternak) artinya halal memakan unta, sapi dan kambing setelah hewan itu disembelih (kecuali apa yang dibacakan padamu) tentang pengharamannya

dalam ayat, "Hurrimat `alaikumul maitatu..." Istitsna` atau pengecualian di sini munqathi` atau terputus tetapi dapat pula muttashil, misalnya yang diharamkan karena mati dan sebagainya,

(tanpa menghalalkan berburu ketika kamu mengerjakan haji) atau berihram; ghaira dijadikan manshub karena menjadi hal bagi dhamir yang terdapat pada lakum.

(Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki-Nya) baik menghalalkan maupun mengharamkannya tanpa seorang pun yang dapat menghalangi-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 1 |

Tafsir ayat 1-2

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mu­barak, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, telah menceritakan ke­padaku Ma'an dan Auf atau salah seorang

dari keduanya, bahwa se­orang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu lelaki itu ber­kata, "Berwasiatlah kepadaku." Maka Ibnu Mas'ud mengatakan, "Jika kamu mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan:

'Hai orang-orang yang beriman.' Maka dengarkanlah baik-baik oleh telingamu, karena sesungguhnya hal itu adakalanya kebaikan yang dianjurkan atau keburukan yang di­larang."Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim Dahim, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Az-Zuhri yang mengata­kan, "Apabila Allah Swt. berfirman:

'Hai orang-orang yang beriman.' Maka kerjakanlah oleh kalian, dan Nabi Saw. termasuk di antara sa­lah seorang dari mereka."Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah men­ceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid,

telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah yang mengatakan bahwa semua ayat di dalam Al-Qur'an yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. Maka ungkapan ini di dalam kitab Taurat berbunyi

seperti berikut, "Hai orang-orang miskin."Mengenai apa yang diriwayatkan melalui Zaid ibnu Ismail As-Sa'ig Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hisyam), dari Isa ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Ikri­mah,

dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di dalam Al-Qur'an tiada suatu ayat pun yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. melainkan Ali adalah penghulunya, orang yang paling terhormat, dan pemimpinnya;

karena para sahabat Nabi pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali ibnu Abu Talib. Sesungguhnya dia tidak pernah ditegur dalam suatu ayat pun dari Al-Qur'an. Maka asar ini berpredi­kat garib, lafaznya tidak dapat diterima,

dan di dalam sanadnya ada hal yang masih perlu dipertimbangkan.Sehubungan dengan asar ini Imam Bukhari mengatakan bahwa Isa ibnu Rasyid yang ada dalam sanadnya adalah orang yang tidak di­kenal dan hadisnya ditolak.

Menurut kami, dapat dikatakan pula bahwa Ali ibnu Bazimah se­kalipun orangnya dinilai siqah, tetapi dia adalah orang syi'ah yang ekstrem, dan hadisnya dalam masalah yang semisal dengan hal ini di­curigai, karena itu tidak dapat diterima.

Lafaz asar (yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas) yang mengata­kan, "Tidak ada seorang sahabat pun melainkan pernah ditegur oleh Al-Qur'an, kecuali Ali." Sesungguhnya lafaz ini mengisyaratkan ke­pada pengertian suatu ayat

yang memerintahkan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya banyak ula­ma yang bukan hanya seorang saja menyebutkan bahwa tidak ada se­orang sahabat pun yang tidak mengamalkannya kecuali Ali. Ayat yang dimaksud ialah firman-Nya:


{أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ}


Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian mem­berikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kalian tiada memperbuatnya, dan Allah telah memberi tobat ke­pada kalian. (Al-Mujadilah: 13), hingga akhir ayat.

Penilaian makna ayat ini sebagai teguran masih perlu dipertimbang­kan, mengingat ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perintah dalam ayat ini menunjukkan makna sunat, bukan wajib. Lagi pula hal tersebut telah di-mansukh sebelum

mereka melakukannya, dan hal ini tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat berbeda.Ucapan asar yang mengatakan, "Bahwasanya Ali belum pernah ditegur oleh suatu ayat pun dari Al-Qur'an," masih perlu dipertim­bangkan pula.

Karena sesungguhnya ayat yang ada di dalam surat Al-Anfal yang mengandung makna teguran terhadap sikap menerima te­busan (tawanan Perang Badar) mencakup semua orang yang setuju dengan penerimaan tebusan.

Dalam masalah ini tidak ada seorang sa­habat pun yang luput dari teguran ayat tersebut kecuali Umar ibnul Khattab r.a. Maka dari keterangan di atas dapat disimpulkan lemah­nya asar tersebut.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan

kepadaku Al-Musanna. telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah men­jeritkan kepada kami Al-Lais. telah menceritakan kepadaku Yunus yang mengatakan, "Muhammad ibnu Muslim pernah menceritakan bahwa dia pernah

membaca surat Rasulullah Saw. yang ditujukan ke­pada Amr ibnu Hazm (amil Najran). Surat tersebut disampaikan oleh Abu Bakar ibnu Hazm. Di dalamnya termaktub bahwa surat ini ada­lah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya:

'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu' (Al-Maidah: 1). hingga beberapa ayat berikutnya sampai kepada firman-Nya: 'sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya' (Al-Maidah: 4)"Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm,

dari ayahnya yang mengatakan, "Inilah manuskrip surat Ra­sulullah Saw. yang ada pada kami. Surat ini ditujukan kepada Amr ibnu Hazm ketika ia diangkat menjadi amil ke negeri Yaman dengan tugas mengajari agama dan sunnah kepada

penduduknya serta memu­ngut zakat mereka. Nabi Saw. menulis sebuah surat kepadanya yang berisikan perintah dan janji. Di dalam surat ini tertulis bahwa dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,

ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, 'Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Al-Maidah: 1). Yaitu perjanjian dari Muhammad Rasulullah Saw. kepada Amr ibnu Hazm, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman

sebagai amil. Na­bi Saw. memerintahkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang selalu berbuat kebaikan." Firman Allah Swt:


{أَوْفُوا بِالْعُقُودِ}


penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1)Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan

mengenai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uhud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya. Ali ibnu Abu Talhah

meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya

serta hal-hal yang difardukan oleh-­Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al-Qur'an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebutKemudian Allah Swt. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:


{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {سُوءُ الدَّارِ}


Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan de­ngan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan su­paya dihubungkan. (Ar-Ra’d: 25) sampai dengan firman-Nya: tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diha­ramkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah

atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan

dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara, yaitu janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa

hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah.Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya:

penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik.

Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang menga­takan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"البَيِّعان بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفرَّقا"


Dua orang yang bertransaksi jual beli masih dalam khiyar selagi keduanya belum berpisah.Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:


"إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا"


Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah.Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai trans­aksi jual beli diadakan.

Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendu­kung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, ber­arti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi. Firman Allah Swt.:


{أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ}


Dihalalkan bagi kalian binatang ternak. (Al-Maidah: 1)Yang dimaksud dengan binatang ternak ialah unta, sapi, dan kambing. Demikianlah menurut Abul Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa demikian pula menurut pengertian orang-orang Arab.Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang menyimpulkan dalil dari ayat ini akan bolehnya janin ternak bila dijumpai

dalam keadaan mati dalam perut induknya yang disem­belih. Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah hadis di dalam kitab-kitab sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Mujalid, dari Abul Wa­dak Jubair ibnu Naufal. dari Abu Sa'id yang mengatakan:


قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَنْحَرُ النَّاقَةَ، وَنَذْبَحُ الْبَقَرَةَ أَوِ الشَّاةَ فِي بَطْنِهَا الْجَنِينُ، أَنُلْقِيهِ أَمْ نَأْكُلُهُ؟ فَقَالَ: "كُلُوهُ إِنْ شِئْتُمْ؛ فَإِنَّ ذَكَاتَهُ ذَكَاةُ أُمِّهِ".


Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bila kami menyembelih unta, sapi. atau kambing yang di dalam perutnya terdapat janin, apa­kah kami harus membuangnya atau kami boleh memakannya?" Rasulullah Saw.

menjawab, "Makanlah, jika kalian suka; karena sesungguhnya sembelihan janin itu mengikut kepada sembelihan induknya."Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَتَّاب بْنُ بَشِيرٍ، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ الْقَدَّاحُ الْمَكِّيُّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ"


Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya ibnu Faris, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ba-syir, telah menceritakan kepada kami

Ubaidillah ibnu Abu Ziyad Al-Qaddah Al-Makki, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sembelihan janin mengikut kepada sembelihan induknya.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud. Firman Allah Swt.:


{إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}


kecuali yang akan dibacakan kepada kalian. (Al-Maidah: 1)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang di­maksud dengan hal yang akan dibacakan ialah bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan menurut Qatadah,

yang dimaksud adalah bangkai dan hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah pa­danya. Menurut lahiriahnya —hanya Allah yang lebih mengetahui— hal yang dimaksud ialah apa yang disebutkan oleh firman-Nya:


{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}


Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging ba­bi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, (Al-Maidah: 3)

Karena sesungguhnya sekalipun hal yang disebutkan termasuk bina­tang ternak, tetapi menjadi haram karena adanya faktor-faktor terse­but. Dalam ayat berikutnya disebutkan:


{إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}


kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)Binatang yang diharamkan antara lain hewan yang disembelih untuk berhala. Sesungguhnya

hewan yang demikian diharamkan sama sekali dan tidak dapat ditanggulangi serta tidak ada jalan keluar untuk menghalalkannya. Karena itulah pada permulaan surat ini disebutkan:


{أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}


Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan di­bacakan kepada kalian. (Al-Maidah: 1)Yaitu kecuali apa yang akan dibacakan kepada kalian pengharaman­nya dalam keadaan tertentu. Firman Allah Swt.:


{غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ}


(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji. (Al-Maidah: 1)Menurut sebagian ulama, lafaz gaira dibaca nasab karena menjadi hal. Makna yang dimaksud dengan an'am ialah binatang ternak

yang pada umumnya jinak, seperti unta, sapi, dan kambing. Juga binatang yang pada umumnya liar, seperti kijang, banteng, dan kuda zebra. Maka hal-hal tersebut di atas dikecualikan dari binatang ternak yang jinak, dan dikecualikan

dari jenis yang liar ialah haram memburunya di saat sedang melakukan ihram.Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah Kami menghalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang dikecuali­kan darinya bagi orang yang

mengharamkan berburu secara tetap, pa­dahal binatang tersebut hukumnya haram, karena ada firman Allah Swt yang mengatakan:


{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ}


Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya de­ngan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl: 115)Artinya, Kami halalkan memakan bangkai

bagi orang yang dalam ke­adaan terpaksa memakannya, tetapi dengan syarat ia tidak dalam ke­adaan memberontak, juga tidak melampaui batas. Demikian pula ke­tentuan tersebut berlaku dalam ayat ini (surat Al-Maidah). Yakni sebagaimana

Kami halalkan binatang ternak dalam semua keadaan, ma­ka mereka diharamkan berburu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah telah memutuskan demikian, Dia Mahabijaksana dalam se­mua yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Karena itulah dalam firman Selanjutnya disebutkan:


{إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ}


Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang di-kehendaki-Nya. (Al-Maidah: 1)Selanjutnya Allah Swt. berfirman:


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ}


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-sy'iar Allah. (Al-Maidah: 2)Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah,

serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:


{وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ}


dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2)Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu —misalnya

memulai peperangan—dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ}


Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan ha­ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be­sar." (Al-Baqarah: 217)Allah Swt. telah berfirman:


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا


Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan. (At-Taubah: 36). hingga akhir ayat.Di dalum kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam haji wada':


"إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم، ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدة، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَر الَّذِي بَيْنَ جُمادى وَشَعْبَانَ".


Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah menciptakan langit dan bumi; satu tahun adalah dua bilas bulan; empat bulan di antaranya adalah bulan haram (su­ci) tiga (di antaranya) berturut-turut, yaitu Zul Qa'dah,

Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang di­katakan

oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehu­bungan dengan makna firman-Nya: dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2); Janganlah kalian menghalalkan perang

padanya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan ha­ram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ}


Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya

pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.Imam Abu Ja'far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bah­wa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bu­lan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya.

Abu Ja'far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembunuhan,

jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau ke­amanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.Firman Allah Swt:


{وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ}


jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-bi­natang qolaid. (Al-Maidah: 2)Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda (berkurban) untuk Baitul­lah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna mengagungkan

syiar-syiar Allah; jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian,

maka orang-orang tidak berani mengganggu­nya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang semisal; karena sesungguhnya barang siapa yang menyeru­kan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala

yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala me­reka barang sedikit pun.Untuk itulah ketika Rasulullah Saw. melakukan haji, terlebih da­hulu beliau menginap di Zul Hulaifah, yaitu di lembah Aqiq.

Keesok­an harinya beliau menggilir semua istrinya yang saat itu ada sembilan orang. Kemudian beliau mandi dan memakai wewangian, lalu salat dua rakaat Sesudah itu beliau memberi tanda kepada ternak hadyunya dan mengalunginya

dengan kalungan tanda, lalu ber-ihlal (berih­ram) untuk haji dan umrah. Saat itu ternak hadyu Nabi Saw. terdiri atas ternak unta yang cukup banyak jumlahnya, mencapai enam puluh ekor, terdiri atas berbagai jenis dan warna yang semuanya baik. Sela­ras dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya:


{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}


Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32)Menurut sebagian ulama Salaf, yang dimaksud dengan mengagung-kannya ialah memilihnya

dari yang baik-baik dan yang gemuk-ge­muk. Sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kami untuk memberikan tanda pa­da mata dan telinga (ternak hadyunya). Demikianlah menurut

riwayat ahlus sunan.Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna fir­man-Nya: dan jangan (pula) binaiang-binaiang qalaid. (Al-Maidah: 2); Dengan kata lain, janganlah kalian mengganggunya. Disebutkan bah­wa dahulu

ahli Jahiliah bila keluar dari tanah airnya di luar bulan-bu­lan haram, mereka mengalungi dirinya dengan bulu domba dan bulu unta, dan orang-orang musyrik Tanah Suci mengalungi dirinya dengan serat-serat pepohonan Tanah Suci. Karena itu,

mereka aman (ti­dak ada yang berani mengganggunya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami

Sa'id ibnu Sulaiman. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa telah di-mansukh dari surat Al-Maidah sebanyak dua ayat, yaitu ayat mengenai qalaid dan firman-Nya:


{فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ}


Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka puluskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. (Al-Maidah: 42)Telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah men­ceritakan

kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Ibnu Auf yang mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Basri), 'Apakah ada se­suatu yang di-mansukh dari Al-Maidah?'

Al-Hasan menjawab, 'Tidak ada'."Ata mengatakan bahwa dahulu mereka mengalungi (dirinya) de­ngan akar tumbuh-tumbuhan Tanah Suci, karenanya mereka aman. Maka Allah melarang menebang (memotong) pepohonannya.Hal yang sama dikatakan oleh Mutarrif ibnu Abdullah.Firman Allah Swt.:


{وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا}


dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)Artinya, janganlah kalian menghalalkan perang terhadap orang-orang yang mengunjungi Baitullah

yang suci dan barang siapa yang mema­sukinya aman. Jangan pula mengganggu orang yang mengunjunginya dengan tujuan mencari karunia Allah dan berharap mendapat rida­-Nya. Jangan sekali-kali kalian mcnghalang-halanginya. jangan

mencegahnya, jangan pula mengacaukannya.Mujahid, Ata, Abul Aliyah, Mutarrif ibnu Abdullah. dan Abdul­lah ibnu Ubaid ibnu Umair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah

mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sedang mereka mencari karunia Allah. (Al-Maidah: 2); Makna yang dimaksud ialah berdagang. Penafsiran ini sama dengan apa yang telah disebutkan sehubungan dengan firman-Nya:


{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ}


Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)Mengenai firman-Nya: dan keridaan (dari Tuhan kalian). (Al-Maidah: 2); Menurut Ibnu Abbas, mereka mencari rida Allah melalui ibadah

haji­nya.Ikrimah, As-Saddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Hatm ibnu Hindun Al-Bakri; dia pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah (merampok­nya), kemudian pada tahun berikutnya

dia berumrah ke Baitullah. Maka sebagian sahabat bermaksud menghadangnya di tengah jalan yang menuju ke Baitullah. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah

sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)Ibnu Jarir meriwayatkan adanya kesepakatan bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai jaminan keamanan, sekalipun dia bertujuan mengunjungi Baitullah

yang suci atau Baitul Maadis. Hukum yang berkaitan dengan mereka (orang-orang musyrik) di-mansukh. Orang yang bertujuan ke Baitullah dengan maksud untuk melakukan ke-mulhid-an, kemusyrikan, dan kekufuran jelas harus dilarang. Allah Swt. telah berfirman:


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا}


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)Karena itulah Rasulullah Saw. pada tahun sembilan Hijriah ketika

mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai amir jamaah haji menu­gaskan Ali, sebagai ganti dari Rasulullah Saw., untuk menyerukan di kalangan manusia agar Baitullah dibersihkan; dan sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik

melakukan haji, dan tidak boleh ada orang yang tawaf sambil telanjang bulat.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.

(Al-Maidah: 2); Yaitu orang yang menuju ke Baitullah yang suci. Dahulu orang-orang muslim dan orang-orang musyrik sama-sama melakukan haji, dan Allah Swt. melarang orang-orang mukmin mencegah seseorang dari kalangan mukmin atau orang kafir untuk sampai kepadanya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan lagi Firman-Nya, yaitu:


{إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا}


Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)


{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ}


Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjidAllah. (At-Taubah: 17)


{إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}


Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (At-Tau­bah: 18)Maka sejak itu orang-orang musyrik diusir dari Masjidil Haram.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan

kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2); Ayat ini telah di-mansukh.

Dahulu seseorang di zaman Jahiliah apabi­la keluar dari rumahnya dengan maksud melakukan haji, mereka me­makai kalung (qiladah, jamaknya qalaid) yang terbuat dari bagian po­hon Tanah Suci, maka tiada seorang pun yang berani

mengganggu­nya. Apabila ia pulang, ia memakai kalung dari (pintalan) bulu dom­ba, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Pada masa itu orang musyrik tidak dihalang-halangi datang ke Baitullah. Sedangkan orang-orang muslim

telah diperintahkan tidak boleh melaku­kan peperangan pada bulan-bulan haram, tidak boleh pula melakukan­nya di dekat Baitullah (Tanah Suci dalam waktu kapan pun). Kemu­dian hal ini di-mansukh oleh firman-Nya: maka bunuhlah

orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah 5)Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid (Al-Maidah: 2); Artinya, jika mereka

(orang-orang musyrik) mengalungi dirinya de­ngan kalung yang terbuat dari sesuatu dari Tanah Suci, mereka harus diberi jaminan keamanan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab masih tetap mencela orang yang berani melanggar ketentuan tersebut Salah seorang penyair mereka mengatakan:


ألَمْ تَقْتُلا الحرْجَين إِذْ أَعْوَرَا لَكُمْ ... يمرَّان الأيدي اللَّحاء المُضَفَّرا


Mengapa kamu membunuh dua orang yang menuju ke Tanah Suci, padahal kamu tidak boleh mengganggunya;keduanya lewat memakai kalung dari serat kayu pohon Tanah Suci yang dipintal.Firman Allah Swt:


{وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا}


dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh­lah berburu. (Al-Maidah: 2)Jika kalian telah selesai dari ihram dan sudah ber-tahallul, maka Kami perbolehkan kalian mengerjakan hal-hal yang tadinya kalian di­larang sewaktu ihram,

seperti berburu. Hal ini merupakan perintah se­sudah larangan. Menurut pendapat yang sahih lagi terbukti jeli dan mendalam, hukum mengenai hal ini dikembalikan kepada hukum se­mula sebelum ada larangan. Jika sebelum ada larangan

hukumnya wajib, maka dikembalikan menjadi wajib. Jika sebelum ada larangan hukumnya sunat, maka dikembalikan menjadi sunat lagi; atau asalnya mubah, maka dikembalikan menjadi mubah. Menurut orang yang ber­pendapat bahwa

hukum hal ini wajib, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan banyak ayat lainnya. Mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh), akhirnya diban­tah oleh ayat lain. Sedangkan pendapat

yang sesuai dengan dalil-dalil lainnya adalah pendapat yang kami sebutkan tadi, seperti yang dipilih oleh sebagian ulama Usul Fiqh. Firman Allah Swt.:


{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا}


Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). (Al-Maidah: 2)Sebagian ulama qiraah membacanya as-saddukum,

dengan harakat fat-hah pada alif-nya. Maknanya sudah jelas karena berasal dari an (masdariyah), yakni: Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram

yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka.Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan

apa yang di­perintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam per­kara yang hak terhadap siapa pun.Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang pembahasannya akan diuraikan kemudian, yaitu firman-Nya:


{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}


Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil­lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, (Al-Maidah: 8)Maksudnya, jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum

mendorong kalian untuk meninggalkan norma-norma keadilan. Sesung­guhnya keadilan itu wajib atas setiap orang terhadap siapa pun dalam segala keadaan. Salah seorang ulama Salaf mengatakan, "Selama ka­mu memperlakukan orang

yang durhaka kepada Allah terhadap diri­mu dengan perlakuan yang kamu landasi dengan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak."Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Affan, telah men­ceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. dan para sahabat­nya

berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi mereka sampai ke Baitullah. Peristiwa tersebut terasa amat berat bagi mereka. Kemudian lewatlah kepada mereka sejumlah orang dari kalangan kaum musyrik

—penduduk kawasan timur— dengan maksud akan melakukan umrah. Sahabat-sahabat Nabi Saw. berkata, "Kita halang-halangi mereka sebagaimana teman-teman mereka menghalang-halangi kita." Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.

Asy-syana-an artinya kebencian; menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya berakar dari kata syana-iuhu asynau-hu syana-anan, semua­nya di-harakat-i, wazan-nya sama dengan lafaz jamazan, darajah, raqalan yang berasal dari jamz, daraj, dan raql.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara orang-orang Arab ada yang menghapuskan harakat alif-nya hingga disebutkan menjadi sya-nan. Akan tetapi, menurut saya tidak ada seorang pun yang saya ke­tahui memakai bacaan ini. Termasuk ke dalam bacaan ini perkataan seorang penyair mereka yang mengatakan:


ومَا العيشُ إِلَّا مَا تُحبُّ وتَشْتَهي ... وَإنْ لامَ فِيهِ ذُو الشنَّان وفَنَّدَا


Tiadalah kehidupan ini melainkan apa yang kamu sukai dan kamu senangi, sekalipun dalam menjalaninya dicela dan dikecam oleh orang yang tidak suka.Firman Allah Swt.:


{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}


Dan Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2)Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling

menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwa­an. Allah Swt. melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa

dan hal-hal yang diha­ramkan.Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka Rasulullah Saw.

menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan ani­aya, itulah cara menolongnya.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.

Ke­duanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"


"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun diani­aya." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku to­long bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolong­nya jika dia berbuat aniaya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu meno­longnya."


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul

dengan manusia dan bersabar da­lam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya dari­pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan ti­dak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.Imam Ahmad meriwayatkannya pula

di dalam kitab Musnad Abdul­lah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah mence­ritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi Saw. yang mengatakan:


"الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"


Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.

Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; ke­duanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ".


Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar,

dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain) kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya)

dengan pelaku kebaikan itu.Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:


"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا"


Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mere­ka barang sedikit pun. Dan barang siapa

yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.


قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ من الإسلام"


Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah mencerita­kan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim,

dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam'.'

Surat Al-Maidah |5:2|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

yaaa ayyuhallażiina aamanuu laa tuḥilluu sya'aaa`irollaahi wa lasy-syahrol-ḥarooma wa lal-hadya wa lal-qolaaa`ida wa laaa aaammiinal-baital-ḥarooma yabtaghuuna fadhlam mir robbihim wa ridhwaanaa, wa iżaa ḥalaltum fashthooduu, wa laa yajrimannakum syana`aanu qoumin an shodduukum 'anil-masjidil-ḥaroomi an ta'taduu, wa ta'aawanuu 'alal-birri wat-taqwaa wa laa ta'aawanuu 'alal-iṡmi wal-'udwaani wattaqulloh, innalloha syadiidul-'iqoob

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi´ar-syi´ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam, mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.

O you who have believed, do not violate the rites of Allah or [the sanctity of] the sacred month or [neglect the marking of] the sacrificial animals and garlanding [them] or [violate the safety of] those coming to the Sacred House seeking bounty from their Lord and [His] approval. But when you come out of ihram, then [you may] hunt. And do not let the hatred of a people for having obstructed you from al-Masjid al-Haram lead you to transgress. And cooperate in righteousness and piety, but do not cooperate in sin and aggression. And fear Allah; indeed, Allah is severe in penalty.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah) jamak sya`iiratun; artinya upacara-upacara agama-Nya. Melanggar yaitu dengan berburu di waktu ihram (dan jangan pula melanggar bulan haram)

dengan melakukan peperangan padanya (dan jangan mengganggu binatang-binatang hadya) yakni hewan yang dihadiahkan buat tanah suci (serta binatang-binatang berkalung) jamak dari qilaadatun;

artinya binatang yang diberi kalung dengan kayu-kayuan yang terdapat di tanah suci sebagai tanda agar ia aman, maka janganlah ada yang mengganggu baik hewan-hewan itu sendiri maupun para pemiliknya

(jangan pula) kamu halalkan atau kamu ganggu (orang-orang yang berkunjung) atau menuju (Baitulharam) dengan memerangi mereka (sedangkan mereka mencari karunia) artinya rezeki (dari Tuhan mereka) dengan berniaga

(dan keridaan) daripada-Nya di samping berkunjung ke Baitullah tidak seperti pengertian mereka yang salah itu. Ayat ini dimansukh oleh ayat Bara`ah.

(Dan apabila kamu telah selesai) dari ihram (maka perintahlah berburu) perintah di sini berarti ibahah atau memperbolehkan (dan sekali-kali janganlah kamu terdorong oleh kebencian)

dibaca syana-aanu atau syan-aanu berarti kebencian atau kemarahan (kepada suatu kaum disebabkan mereka telah menghalangi kamu dari Masjidilharam untuk berbuat aniaya) kepada mereka dengan pembunuhan dan sebagainya.

(Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang,

(dan janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan pelanggaran) artinya melampaui batas-batas ajaran Allah.

(Dan bertakwalah kamu kepada Allah) takutlah kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya (sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya) bagi orang yang menentang-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 2 |

Penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Maidah |5:3|

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

ḥurrimat 'alaikumul-maitatu wad-damu wa laḥmul-khinziiri wa maaa uhilla lighoirillaahi bihii wal-munkhoniqotu wal-mauquużatu wal-mutaroddiyatu wan-nathiiḥatu wa maaa akalas-sabu'u illaa maa żakkaitum, wa maa żubiḥa 'alan-nushubi wa an tastaqsimuu bil-azlaam, żaalikum fisq, al-yauma ya`isallażiina kafaruu min diinikum fa laa takhsyauhum wakhsyauun, al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu 'alaikum ni'matii wa rodhiitu lakumul-islaama diinaa, fa manidhthurro fii makhmashotin ghoiro mutajaanifil li`iṡmin fa innalloha ghofuurur roḥiim

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah) (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Prohibited to you are dead animals, blood, the flesh of swine, and that which has been dedicated to other than Allah, and [those animals] killed by strangling or by a violent blow or by a head-long fall or by the goring of horns, and those from which a wild animal has eaten, except what you [are able to] slaughter [before its death], and those which are sacrificed on stone altars, and [prohibited is] that you seek decision through divining arrows. That is grave disobedience. This day those who disbelieve have despaired of [defeating] your religion; so fear them not, but fear Me. This day I have perfected for you your religion and completed My favor upon you and have approved for you Islam as religion. But whoever is forced by severe hunger with no inclination to sin - then indeed, Allah is Forgiving and Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Diharamkan bagimu bangkai) yakni memakannya (darah) yang mengalir seperti pada binatang ternak (daging babi, hewan yang disembelih karena selain Allah) misalnya disembelih atas nama lain-Nya

(yang tercekik) yang mati karena tercekik (yang dipukul) yang dibunuh dengan jalan memukulnya (yang jatuh) dari atas ke bawah lalu mati (yang ditanduk) yang mati karena tandukan lainnya

(yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih ) maksudnya yang kamu dapati masih bernyawa dari macam-macam yang disebutkan itu lalu kamu sembelih (dan yang disembelih atas) nama (berhala)

jamak dari nishab; artinya patung (dan mengundi nasib) artinya menentukan bagian dan keputusan (dengan anak panah) azlaam jamak dari zalam atau zulam; artinya anak panah yang belum diberi bulu dan ujungnya tidak bermata.

Anak panah itu ada tujuh buah disimpan oleh pengurus Kakbah dan padanya terdapat tanda-tanda. Maka tanda-tanda itulah yang mereka ambil sebagai pedoman, jika disuruh mereka lakukan dan jika dilarang mereka hentikan.

(Demikian itu adalah kefasikan) artinya menyimpang dari ketaatan. Ayat ini turun pada hari Arafah masa haji wadak, yaitu haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.

(Pada hari ini orang-orang kafir telah putus-asa terhadap agamamu) untuk mengembalikan kamu menjadi murtad setelah mereka melihat kamu telah kuat (maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah pada-Ku.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu) yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya

(dan telah Kucukupkan padamu nikmat karunia-Ku) yakni dengan menyempurnakannya dan ada pula yang mengatakan dengan memasuki kota Mekah dalam keadaan aman (dan telah Kuridai) artinya telah Kupilih

(Islam itu sebagai agama kalian. Maka siapa terpaksa karena kelaparan) untuk memakan sesuatu yang haram lalu dimakannya (tanpa cenderung) atau sengaja (berbuat dosa) atau maksiat

(maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadapnya atas perbuatan memakannya itu (lagi Maha Pengasih) kepadanya dalam memperbolehkannya.

Berbeda halnya dengan orang yang cenderung atau sengaja berbuat dosa, misalnya penyamun atau pemberontak, maka tidak halal baginya memakan itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 3 |

Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kali¬mat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bang¬kai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendiri¬nya tanpa melalui proses

penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya;

hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.

Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah

di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. per¬nah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab:


"هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ


Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), me¬nurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya. Firman Allah Swt.:


{وَالدَّمُ}


dan darah. (Al-Maidah: 3)Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe¬ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:


{أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا}


atau darah yang mengalir. (Al-An'am: 145)Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah¬wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian."

Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah da¬rah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa'id,

dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.


قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ".


Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra¬sulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan

bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi

melalui hadis Abdur Rah¬man ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'. Menurut kami,

ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai

pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum

untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis),

kemudian me¬reka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepa¬da kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan

makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apa¬kah hal yang melarangnya?" Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Diharamkan bagi kalian (memakan)

bangkai dan darah. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa

Sada melanjutkan kisah¬nya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.'

Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami ti¬dak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku

dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan se¬seorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu

terdapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu ke¬padaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah,

aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak per¬nah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman ter¬sebut."Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad,

dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, te¬lah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semisal.

Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah me¬reguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu: "Maka aku (Sada) men¬dengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini da¬ri kalangan orang hartawan kalian.

Mengapa kalian tidak menyuguh¬kan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah

telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A'sya (se¬orang penyair) dalam qasidah (syair)nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu:


وإياكَ وَالْمَيْتَاتِ لَا تقربنَّها ... وَلَا تَأْخُذَنَّ عَظْمًا حَدِيدًا فَتَفْصِدَا ...


Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu, jangan sekali-kali kamu mendekatinya,dan jangan sekali-kali kamu mengambil tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah (ternak yang hidup).Dengan kata lain,

janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demi¬kian itu karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengam¬bil sesuatu yang tajam dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak dari jenis lainnya.

Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu, lalu meminumnya. Ka¬rena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini. Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula:


وَذَا النّصُب المنصوبَ لَا تَأتينّه ... وَلَا تَعْبُدِ الْأَصْنَامَ وَاللَّهَ فَاعْبُدَا ...


Dan tugu yang dipancangkan itu jangan sekali-kali kamu da¬tangi, dan janganlah kamu sembah berhala, tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.Firman Allah Swt,:


{وَلَحْمُ الْخِنزيرِ}


dan daging babi. (Al-Maidah: 3)Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak di¬perlukan pemahaman yang 'sok pintar'

dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:


{فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا}


—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al-An'am: 145)Dalam konteks firman-Nya:


{إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ}


kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al-An'am: 145)Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud

agar mencakup semua bagian tubuhnya. Pada¬hal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (ba¬hasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali ke¬pada mudaf, bukan mudafilaih.

Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per¬nah bersabda:


"مَنْ لَعِبَ بالنردَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَدَمِهِ"


Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman

dan larangan bila mema¬kan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per¬nah bersabda:


"إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ". فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، ويَسْتَصبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ".


Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menu¬rutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai

dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis

Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau (Nabi Saw.) melarang kami memakan bangkai dan darah." Firman Allah Swt.:


{وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}


(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah: 3)Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar

disebut asma-Nya Yang Mahaagung.Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak me¬nyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau

makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut ke¬sepakatan semua.Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan di¬terangkan nanti

dalam tafsir surat Al-An'am.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami',

dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah

di¬halalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharam¬kan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka,

karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam a.s., ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya

dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib.Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib'i, dari Abdullah yang mengatakan

bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah (kakek Abdullah) meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang le¬laki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair,

ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor un¬tanya jika telah sampai di mata air (siapa yang paling cepat

di antara keduanya, dialah yang menang). Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-ma¬sing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai

keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Saw., lalu ia berseru kepada orang-orang,

"Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!" Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan ke¬sahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.


حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدة، عَنْ عَوْفٍ، عَنِ أَبِي رَيْحانة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُعاقرة الْأَعْرَابِ.


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengata¬kan: Rasulullah Saw. melarang (memakan daging)

dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.


وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ خِرِّيتٍ قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمة يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ.


Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan

bahwa ia pernah mende¬ngar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan ha¬sil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding.Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa

kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanad¬nya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula. Firman Allah Swt.:


{وَالْمُنْخَنِقَةُ}


dan hewan yang tercekik.(Al-Maidah: 3)Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya.

Makna lafaz {الْمَوْقُوذَةُ} mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli de¬ngan kayu hingga sekarat,

lalu mati.Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli he¬wannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan bu¬ruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabda:


"إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فخَزَق فَكُلْه، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْضِه فَإِنَّمَا هُوَ وَقِيذ فَلَا تَأْكُلْهُ"


Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menu¬suknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, ma¬ka janganlah kamu memakannya.

Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu

dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati

karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat me¬ngenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan de¬ngan masalah ini, yaitu:Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah

melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul.

Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai

(tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu), karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut.Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khu¬sus seperti penjelasan berikut.

Sebuah pasal:Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang melepaskan anjing pemburunya untuk menge¬jar hewan buruan, lalu hewan buruan tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya.

Apakah hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya, seperti penjelasan berikut:Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}


Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas.Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii.

dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii.Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm

dan Al-Mukhtasar. Kare¬na sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya ma¬sing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari

keterangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya (Imam Syafii). Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya;

tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan sa¬lah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya.Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad,

tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya.Abu Ja'far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali,

mengingat tidak ditemukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang ber¬sumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri.Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal.

Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya.

Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih se¬suai dengan kaidah-kaidah Usul

serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat.Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan se¬buah hadis yang diceritakan oleh Rafi' ibnu Khadij, yaitu:


قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، إنا لاقو العدو غدا وليس معنا مُدًى، أَفَنَذْبَحُ بالقَصَب؟ قَالَ: "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ"


"Aku ber¬tanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab (welat bambu)'?" Rasulullah Saw. menjawab:

Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian.Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab

yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu mi¬numan nabiz yang terbuat dari madu. Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:


"كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ"


Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw.

tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul kalim.

Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Ka¬rena itu, hewan buruan tersebut tidak halal.

Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bu¬kan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih,

dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah di¬kecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan me¬lalui sabdanya:


"لَيْسَ السِّنُّ وَالظُّفُرُ، وسأحدثكم عن ذلك: أما السن فعظم، وأما الظُّفُرُ فَمُدي الْحَبَشَةِ"


Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan ke¬pada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu.

Jika ti¬dak demikian, berarti tidak muttasil (berkaitan). Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, se¬hingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan.

Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakan:


"مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ"


Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan as¬ma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.Dalam hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu de¬ngan alat tersebut." Dengan demikian,

berarti dari hadis ini dapat di¬simpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang di¬pakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih; darah¬nya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi,

bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis.Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya (kayunya), tidak boleh dimakan;

jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah an¬jing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diin¬terpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah,

yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempu-nyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, sekalipun penyebabnya berbeda.

Perihalnya sama dengan wajib meng¬artikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama;

hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal (pokok) mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyelu¬ruh. Sudah merupakan suatu

keharusan bagi mereka menanggapi ma¬salah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibu¬nuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan

yang terbunuh oleh bagian samping anak panah (yakni terpukul olehnya). Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan ma¬ti karena beratnya alat

dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak ber¬tentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula. Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang me¬ngatakan:


{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}


Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan

kehalalannya, tidak terlepas adaka¬lanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya.Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya,

karena alasan-alasan berikut:Pertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya

hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memi¬sahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengata¬kan bahwa sesungguhnya

hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat memboleh¬kan hal yang diperselisihkan (kehalalannya) melanggar

kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dila¬rang menurut kebanyakan ulama.Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan:


{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}


Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)Tidak mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan di¬khususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dike¬cualikan dari keumuman makna

lafaznya hewan yang tidak boleh di¬makan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak di¬kenal.Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu

sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya; maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai.Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengata¬kan:


{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ}


Diharamkan bagi kalian bangkai. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayatbersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang memasukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.:


يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ


Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat.Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar,

dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut.Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus

oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat (yang baik-baik). Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengerti¬an yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim.

Yaitu bilamana he¬wan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim. Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buru¬an yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati

karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal.Jika ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum ber¬buru memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai,

hukumnya halal; dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya de¬ngan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya.

Sedangkan de¬raan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu,

mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui ha¬ramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpu¬kul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian,

dan hewan yang mati ka¬rena tertanduk. Mengenai masalah berburu memakai anak panah (tombak), ada¬kalanya si pelempar (pemburu) melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya,

bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci.Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya.

Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabda:


"إِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ"


Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, kare¬na sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menang¬kap buruan untuk dirinya sendiri (bukan untuk tuan yang mele-paskannya).Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab

Sahihain. Hukum yang di¬sebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. De¬mikian riwayat

yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal

dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya.Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan

sekalipun anjing pem¬burunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja.

Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya

dari kalangan teman-teman¬nya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburu:


"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"


Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menye¬butkan nama Allah, maka makanlah (hasil buruannya), sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan (pulalah) apa yang kamu tarik dengan tanganmu.

Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia me¬nyebutkan hadis yang semisal.


قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكَلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى-هُوَ اللَّاحُونِيُّ-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ -وَهُوَ مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ.


Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah men¬ceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa (yaitu Al-Lahuni), te¬lah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Dinar (yakni At-Tahii). dari Abu Iyas (yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah), dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya

terhadap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan mema¬kan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia mema¬kan sisanya. Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah di¬riwayatkan oleh Qatadah

dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf.Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan lain-lainnya.

Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pem¬buru memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena la¬par dan faktor lainnya,

maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa (halal); demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Kare¬na dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing terse¬but menangkap hewan buruannya hanya untuk

dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap he¬wan buruannya; dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri.

Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama; dan tidak haram, menurut ulama lainnya.

Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya.

Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikata¬kan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana

pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan.

Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu.Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh anjing pemburu

sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan

di antara keduanya.Yang dimaksud dengan {الْمُتَرَدِّيَةُ}mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak halal.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah

hewan yang jatuh dari atas bukit.Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur.As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang ja¬tuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam,

lalu mati.{النَّطِيحَةُ} Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya.

Natihah ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni مَنْطُوحَةٍ(hewan yang ditanduk). Bentuk lafaz ini kebanyakan di ka¬langan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya

'ainun kahllun (mata yang bercelak), kaffun khadibun (tangan yang memakai pacar). Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya

pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah (jalan yang panjang).Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya

pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk me¬nunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dime¬ngerti dari permulaan pembicaraan. Firman Allah Swt.:


{وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}


dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya,

sekalipun telah mengalir darahnya; dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan.Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa,

baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. meng¬haramkan hal itu bagi kaum mukmin.Firman Allah Swt.:


{إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ}


kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, f Al-Maidah: 3)Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pe¬ngembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi

dengan menyembelihnya, se¬dangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang sta¬bil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya:


{وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}


hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya.

(Al-Maidah: 3); Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyem¬belihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka ma-kanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih.

Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan

kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik

(saat kalian menyembelihnya), maka makanlah hewan itu.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita¬kan kepada kami Hasyim dan Abbad; keduanya mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keada¬an masih sempat

menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakang¬nya, maka makanlah hewan tersebut."Hal yang sama diriwayatkan dari Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Ubaid ibnu Umair, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan ha¬nya seorang,

bahwa hewan yang disembelih itu manakala masih dapat melakukan gerakan yang menunjukkan ia masih hidup sesudah di¬sembelih, maka hewan itu halal hukumnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama fiqih; dan hal yang sama dikatakan

oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya ten¬tang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab,

"Menurut pendapatku, kam¬bing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai masalah dubuk

yang menerkam domba dan mematahkan pung¬gungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?" Imam Malik menjawab, "Jika yang digigitnya sampai ke tengkuknya. tidak boleh dimakan. Tetapi jika yang digigitnya itu

adalah bagian lain dari anggota tubuhnya, tidak mengapa (disembelih,lalu dimakan)." Ketika ditanyakan lagi kepadanya, "Dubuk itu menerkamnya dan mematahkan punggungnya?" Imam Malik menjawab, "Tidak aneh bagiku, kambing itu pasti tidak

dapat hidup lagi karenanya." Ketika ditanyakan lagi mengenai masalah serigala yang menerkam kambing dan merobek perut tanpa mengeluarkan isinya, maka Imam Malik menjawab, "Bila serigala telah merobek perutnya,

maka menurut pendapatku kambing itu tidak boleh dimakan lagi."Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, tetapi makna lahiriah ayat bersifat umum, tidak seperti apa yang dikecualikan oleh Imam Malik dalam gambaran-gambaran

yang dialami oleh hewan-hewan tersebut sampai pada tahapan tidak dapat hidup lagi sesudahnya. Maka untuk menetapkannya diperlukan adanya dalil yang mentakhsis ayat.Di dalam kitab Sahihain dari Rafi' ibnu Khadij disebutkan bahwa

ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempu¬nyai pisau penyembelih, bolehkah kami menyembelih memakai welat?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya:


"مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ، لَيْسَ السنُّ والظَّفُر، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ، أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى الحبشة"


Alat apa saja yang dapai mengalirkan darah dan disebutkan as¬ma Allah padanya, maka makanlah sembelihannya, selagi bukan berupa gigi dan kuku. Aku akan menceritakan kepada kalian ten¬tang hal tersebut. Adapun gigi berasal dari tulang,

dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni secara marfu' ada hal yang perlu dipertimbangkan di dalamnya. Telah diriwayat¬kan dari Umar secara mauquf, hal ini lebih sahih. Disebutkan,


"أَلَا إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ تَزْهَقَ".


"Ingat¬lah, menyembelih itu pada tenggorokan dan lubbah (urat leher), dan janganlah kalian tergesa-gesa agar rohnya cepat dicabut."Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui riwayat Hammad ibnu Salamah,

dari Abul Asyra Ad-Darimi, dari ayahnya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,"Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu lub¬bah dan tenggorokan?" Rasulullah Saw. menjawab:


"لَوْ طُعِنَتْ فِي فَخْذِهَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ.


Seandainya kamu tusuk pada pahanya, niscaya sudah cukup bagimu.Hadis ini sahih, tetapi pengertiannya ditujukan terhadap hewan yang tidak dapat disembelih pada tenggorokan dan lubbah (urat lehernya). Firman Allah Swt.:


{وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}


dan yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)Mujahid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa berhala terbuat dari batu di zaman dahulu banyak didapat di sekitar Ka'bah.Ibnu Juraij mengatakan bahwa jumlah berhala yang ada di sekeliling Ka'bah

kurang lebih tiga ratus enam puluh buah. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab menyembelih hewan kurbannya di dekat berhala-berhala itu, lalu mereka melumuri bagian depan berhala-ber¬hala itu —yang menghadap ke arah Ka'bah—

dengan darah sembe¬lihan mereka; dan mereka mengiris tipis dagingnya, lalu mereka letakkan pada berhala-berhala itu. Demikian pula hal yang diriwayatkan oleh lainnya yang bukan hanya seorang. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin

melakukan perbuatan itu; juga mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan yang dilakukan di dekat berhala-berhala itu, sekalipun ketika menyembelihnya dibacakan asma Allah. Mengingat adanya bekas kemusyrikan yang diharamkan

oleh Allah dan Rasul-Nya, sudah selayaknya masalah ini disamakan dengan masalah di atas, karena sebelumnya telah dikatakan haram memakan sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.

Firman Allah Swt.:


{وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ}


Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3)Diharamkan bagi kalian, hai orang-orang mukmin, mengundi nasib dengan anak panah. Bentuk tunggal dari azlam ialah zulam, tetapi adakalanya dibaca zalam.

Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata 'lakukanlah', pada yang kedua bertuliskan 'jangan kamu lakukan', sedangkan pada yang ketiganya

tidak terdapat tulisan apa pun. Menurut sebagian orang, pada yang pertama bertuliskan 'Tuhanku memerintahkan kepadaku', pada yang kedua ber¬tuliskan 'Tuhanku melarangku', dan pada yang ketiganya kosong, ti¬dak ada tulisan.

Jika telah dikocok, lalu keluarlah panah yang bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang ke¬luar adalah anak panah yang kosong,

maka ia mengulanginya lagi.Istilah istiqsam diambil dari makna meminta bagian dari anak-anak panah tersebut yang dipakai untuk mengundi. Demikianlah me¬nurut keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata,

dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam adalah anak panah (yang belum diberi bulu kestabilan dan besi runcing pada ujungnya). Dahulu mereka menggunakan

alat ini untuk mengundi nasib dalam semua perkara. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, dan Muqatil ibnu Hayyan.Ibnu Abbas mengatakan, azlam adalah anak panah yang dahulu mereka gunakan

untuk mengundi nasib dalam semua urusan.Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan bahwa ber¬hala orang Quraisy yang paling besar diberi nama Hubal. Berhala ini dipancangkan di atas sebuah sumur yang terdapat di dalam Ka'bah,

di dalamnya diletakkan semua hadiah dan harta Ka'bah. Di dekat berha¬la tersebut terdapat tujuh buah anak panah yang pada masing-masing¬nya tertera apa yang biasa mereka gunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang sulit

bagi mereka. Maka anak panah mana saja yang keluar, hal itu dijadikan pegangan oleh mereka dan tidak dapat diganggu gugat lagi.Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa ketika Nabi Saw. memasuki Ka'bah,

beliau menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalamnya, pada tangan kedua nabi itu terdapat azlam. Maka Nabi Saw. bersabda:


"قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا أَبَدًا."


Semoga Allah melaknat mereka (ahli Jahiliah), sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya sama sekali tidak pernah menggunakannya.Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Suraqah ibnu Malik ibnu Ju'syum ketika berangkat

mengejar Nabi Saw. dan Abu Bakar yang sedang menuju Madinah melakukan hijrahnya, terlebih dahulu meng¬undi nasib dengan azlam, apakah dia dapat menimpakan mudarat ke-pada mereka atau tidak. Ternyata yang keluar adalah

yang tidak disu¬kainya, yaitu yang mengatakan, "Kamu tidak dapat menimpakan mu¬darat terhadap mereka." Suraqah mengatakan, "Lalu aku tidak meng¬hiraukan apa yang dihasilkan oleh azlam itu, dan langsung aku me¬ngejar mereka.

" Kemudian ia melakukannya lagi untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya. Tetapi setiap ia melakukan undian, ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu "kamu tidak dapat membahayakan mereka."

Memang demikianlah kejadiannya. Saat itu Suraqah masih belum masuk Islam, ia baru masuk Islam sesudah peristiwa tersebut.


وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ رَقَبةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ رَجاء بْنِ حَيْوَة، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يَلِج الدَّرَجَاتِ مَنْ تَكَهَّن أَوِ اسْتَقْسَمَ أَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ طَائِرًا".


Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Ibrahim ibnu Yazid, dari Ruqabah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Raja ibnu Haiwah, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah ber¬sabda: Tidak akan masuk surga orang yang

melakukan tenung atau mengundi nasib atau kembali dari bepergian karena tatayyur.Mujahid mengatakan sehubungan dengan Firman-Nya: Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam ialah anak panah

orang-orang Arab, dan dadu orang-orang Persia serta orang-orang Romawi yang biasa mereka pakai untuk ber¬judi. Pendapat yang disebutkan oleh Mujahid ini sehubungan dengan pengertian azlam —yaitu alat yang dipakai untuk berjudi—

masih perlu dipertimbangkan. Kecuali jika ia mengatakan bahwa dahulu orang-orang Arab adakalanya memakai azlam untuk beristikharah dan adakalanya untuk berjudi, karena sesungguhnya Allah Swt. menggan¬dengkan antara azlam dan qumar (judi), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ


Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de¬ngan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian

mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak me¬nimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. (Al-Maidah: 90-91) sampai dengan firman-Nya:


فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ


maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya dengan makna yang sa¬ma, yaitu:


{وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ}


Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (Al-Maidah: 3)Yaitu melakukan perbuatan tersebut akan mengakibatkan kefasikan, kesesatan, kebodohan,

dan kemusyrikan. Allah Swt. telah memerin¬tahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka me¬rasa ragu dalam urusan mereka, hendaknya mereka melakukan isti¬kharah kepada-Nya, yaitu dengan menyembah-Nya,

kemudian memo¬hon petunjuk dari-Nya tentang perkara yang hendak mereka lakukan.Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ahlus Sunan meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abul Mawali, dari Muhammad ibnul Munkadir,

dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada kami beristikharah da¬lam semua urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur'an kepa¬da kami. Untuk itu beliau Saw. bersabda:


"إِذَا هَمَّ أحدُكُم بالأمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أسْتَخِيركَ بعلمكَ، وأسْتَقْدِرُك بقدرتكَ، وأسألُكَ مِنْ فَضْلك الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِر وَلَا أقْدِر، وتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَم، وَأَنْتَ عَلام الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنَّ كنتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ -وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ-خَيْرًا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وعاقِبة أَمْرِي، فاقدُرْهُ لِي ويَسِّره لِي وَبَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ إِنْ كنتَ تَعْلَمْهُ شَرًّا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاصْرِفْهُ عنِّي، واقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّني بِهِ".


Apabila seseorang di antara kalian berniat akan melakukan su¬atu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat bukan salat fardu. Ke¬mudian hendaklah ia mengucapkan (dalam doanya), "Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah kepada-Mu

dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu, memohon karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkau Kuasa, se¬dangkan aku tidak kuasa; dan Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui.

Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (dise¬butkan nama urusannya) baik bagiku dalam agamaku, duniaku, kehidupanku, dan akibat perkaraku. Atau beliau Saw. mengata¬kan,

'Dalam urusan dunia dan akhiratku,' maka takdirkanlah urusan ini untukku dan mudahkanlah bagiku dalam melakukan-nya, kemudian berilah berkah bagiku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku

dalam aga¬maku, duniaku, penghidupanku, dan akibat perkaraku, maka pa-lingkanlah aku darinya dan palingkanlah urusan ini dariku, dan takdirkanlah yang baik bagiku menurut seadanya, kemudian ridailah aku dengannya."

Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad. Imam Turmuzi mengata¬kan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengetahuinya ke¬cuali melalui hadis Ibnu Abul Mawali. Firman Allah Swt.:


{الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ}


Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (menga¬lahkan) agama kalian. (Al-Maidah: 3)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka putus asa dan tidak punya harapan lagi untuk mengembalikan agama mereka.

Hal yang sama diriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Berdasarkan makna ini disebutkan sebuah hadis dalam kitab sahih yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ المُصَلُّون فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ بالتَّحْرِيش بَيْنَهُمْ"


Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah kembali di Jazirah Arabia, tetapi masih bisa mengadu domba di antara me¬reka.Makna ayat dapat ditafsirkan dengan makna lain, yaitu bahwa mereka telah putus asa untuk dapat menyerupai

kaum muslim, mengingat kaum muslim mempunyai ciri khas yang berbeda dengan mereka, an¬tara lain ialah sifat-sifat yang jauh bertentangan dengan kemusyrikan dan para penganutnya. Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya

yang mukmin untuk tetap bersabar dan teguh dalam per¬bedaan dengan orang-orang kafir, dan janganlah orang-orang mukmin merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Swt. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ}


sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. (Al-Maidah: 3)Artinya, janganlah kalian takut dalam bersikap berbeda dengan me¬reka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong kalian atas mereka,

dan Aku akan mendukung kalian serta me¬menangkan kalian atas mereka. Aku akan melegakan hati kalian ter¬hadap mereka dan menjadikan kalian berada di atas mereka di dunia dan akhirat.Firman Allah Swt.:


{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا}


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. dan telah Ku¬ridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah; 3)Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini,

kare¬na Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka; semoga salawat dan salam terlimpahkan ke¬padanya. Karena itulah Allah

menjadikan beliau Saw. sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya untuk manusia dan jin. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyarjatkannya.

Semua yang ia beritakan adalah benar belaka, tiada dusta dan tiada kebohongan padanya. Seperti yang disebut dalam firman Allah Swt., yaitu:


{وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}


Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an), sebagai kali¬mat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)Yakni benar dalam beritanya, serta adil dalam perintah dan larangan¬nya. Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, berarti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:


{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا}


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku¬ridai Islam jadi agama bagi kalian, (Al-Maidah: 3)Artinya, terimalah oleh kalian dengan rela Islam sebagai agama kalian,

karena sesungguhnya Islam adalah agama yang disukai dan diridai Allah, dan Dia telah mengutus rasul yang paling utama dan terhor¬mat sebagai pembawanya, dan menurunkan Kitab-Nya yang paling mulia dengan melaluinya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Yakni agama Islam. Allah Swt. memberitahukan kepada Nabi-Nya

dan orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan Islam untuk mereka, karena itu Islam tidak memerlukan tambahan lagi se-lamanya. Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya untuk selamanya.

Dia telah rida kepadanya, maka Dia tidak akan membencinya selama-lamanya.Asbat meriwayatkan dari As-Saddi, bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah, sesudah itu tidak lagi diturunkan wahyu mengenai halal dan haram,

dan Rasulullah Saw. kembali ke Madinah, lalu be¬liau wafat.Asma binti Umais menceritakan, "Aku ikut haji bersama Rasu¬lullah Saw. dalam haji tersebut (haji wada'). Ketika kami sedang ber¬jalan, tiba-tiba Malaikat Jibril datang kepadanya

membawa wahyu. Maka Rasulullah Saw. membungkuk di atas unta kendaraannya, dan unta kendaraannya hampir tidak kuat menopang diri Rasulullah Saw. karena beratnya wahyu yang sedang turun. Lalu unta kendaraannya duduk mendekam,

dan aku datang mendekati Nabi Saw., kemudian aku selimuti tubuhnya dengan jubah burdahku."Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. wafat sesudah hari Arafah selang delapan puluh satu hari kemudian . Hadis ini dan hadis sebelumnya diriwayat¬kan oleh Ibnu Jarir.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:


حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْل، عَنْ هَارُونَ بْنِ عَنْتَرَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} وَذَلِكَ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ، بَكَى عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا يُبْكِيكَ؟ " قَالَ: أَبْكَانِي أَنَّا كُنَّا فِي زِيَادَةٍ مِنْ دِينِنَا، فَأَمَا إذْ أُكْمِلَ فَإِنَّهُ لَمْ يَكْمُلْ شَيْءٌ إِلَّا نَقُصَ. فَقَالَ: "صَدَقْتَ".


telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian

agama kalian. (Al-Maidah: 3) Hal ini terjadi pada hari haji Akbar. Maka Umar menangis, lalu Nabi Saw. bertanya kepadanya: "Mengapa engkau menangis?" Umar menjawab, "Aku menangis karena sejak dahulu kita masih terus ditambahi dalam

agama kita, adapun sekarang ia telah sempurna; dan sesungguhnya tidak sekali-kali sesuatu itu sempurna, melainkan kelak akan berkurang." Nabi Saw. menjawab, "Kamu benar."Makna hadis ini diperkuat oleh hadis yang mengatakan:


"إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ غَرِيبًا، فَطُوبَى للغُرَبَاء".


Sesungguhnya Islam bermula dari keterasingan, dan kelak akan kembali menjadi terasing, maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْن، حَدَّثَنَا أَبُو العُمَيْس، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْيَهُودِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ [رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ آيَةً فِي كِتَابِكُمْ، لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا. قَالَ: وَأَيُّ آيَةٍ؟ قَالَ قَوْلُهُ: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي} فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ إني لَأَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالسَّاعَةَ الَّتِي نَزَلَتْ فِيهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَزَلَتْ عَشية عَرَفَة فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ib¬nu Aun, telah menceritakan kepada kami Abul Umais, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang menceritakan bahwa ada se¬orang lelaki Yahudi datang kepada

Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu berkata, "Hai Amirul Mu’minin, sesungguhnya kamu biasa membaca suatu ayat dalam Kitab kamu, seandainya hal itu diturunkan kepada kami golongan orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu

sebagai hari raya." Khalifah Umar bertanya, "Ayat apakah itu?" Orang Yahudi tersebut membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. (Al-Maidah: 3)

Maka Khalifah Umar berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui hari ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan saat penurunannya kepada Rasulullah Saw. yaitu pada sore hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat."

Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnus Sabbali, dari Ja'far ibnu Aun dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Qais ibnu Muslim dengan lafaz yang sama.

Menurut lafaz Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini melalui jalur Sufyan AS-Sauri, dari Qais, dari Tariq, orang-orang Yahudi berkata kepada Umar, "Sesungguhnya kalian biasa membaca suatu ayat, sean¬dainya ayat itu diturunkan kepada kami,

niscaya kami akan menjadi¬kan (hari turunnya) sebagai hari raya." Maka Umar ibnul Khattab r.a. menjawab, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui saat ayat itu diturunkan, kapan diturunkannya, dan di mana Rasulullah Saw.

berada saat menerima penurunan ayat itu. Ayat tersebut diturunkan pada hari Arafah, sedangkan aku —demi Allah— berada di Arafah pula." Sufyan mengatakan bahwa dia merasa ragu apakah hal itu terjadi pada hari Jumat ataukah bukan,

yaitu turunnya ayat berikut: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.Sufyan merasa ragu jika disebutkan di dalam riwayat, maka hal itu merupakan sikap hati-hatinya bila ditinjau

dari segi keraguan, apakah gurunya telah mengabarkan hal itu atau tidak. Jika ia merasa ragu perihal kejadian wuquf pada haji wada' adalah hari Jumat, hal ini me¬nurut kami bukan keluar dari Sufyan, mengingat hal ini merupakan suatu perkara

yang telah dimaklumi dan telah dipastikan, tiada se¬orang pun dari kalangan Ahli Magazi dan sejarah —tidak pula Ahli Fiqih— yang memperselisihkannya. Karena banyak hadis mutawatir yang menerangkan bahwa kejadian itu hari Jumat,

tiada yang meragu¬kan kesahihannya. Hal tersebut diriwayatkan dari Umar melalui ber¬bagai jalur.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan

kepada kami Raja ibnu Abu Salamah, telah menceritakan ke¬pada kami Ubadah ibnu Nissi, telah menceritakan kepada kami Amir kami (yaitu Ishaq) yang menurut Abu Ja'far ibnu Jarir dia adalah Ishaq ibnu Harsyah, dari Qubaisah

(yakni Ibnu Abu Zi-b) yang mengatakan bahwa Ka'b pernah mengatakan, "Seandainya selain umat ini yang diturunkan kepada mereka ayat tersebut, niscaya mereka akan mempertimbangkan hari ayat tersebut diturunkan kepada mereka,

\ lalu mereka menjadikannya sebagai hari raya, hari mereka ber¬kumpul padanya." Lalu Umar bertanya, "Ayat apakah yang kamu maksudkan, hai Ka'b?'" Maka Ka'b menjawab, yaitu firman Allah Swt.: Pada hari ini telah Kusempurnakan

untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Maka Umar r.a menjawab, "Sesungguhnya aku mengetahui hari ayat ini diturunkan dan tempat penurunannya. Ayat ini diturunkan pada hari Jumat di hari Arafah. Kedua-duanya Alhamdulillah

merupakan hari raya bagi kami (umat Islam)."Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ku¬raib, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ammar

(yaitu maula Bani Hasyim), bahwa Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku¬ridai Islam itu jadi agama bagi kalian.

(Al-Maidah: 3); Lalu ada seorang Yahudi berkata, "Seandainya ayat ini diturunkan ke¬pada kami, niscaya kami akan menjadikan hari penurunannya sebagai hari raya." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya ayat ini di-turunkan pada

dua hari raya sekaligus, yaitu hari raya dan hari Jum¬at."Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Kamil, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ha¬run, telah menceritakan kepada kami

Yahya ibnul Hamani, telah men¬ceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sulaiman, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Ibnul Hanafiyah, dari Ali yang mengatakan bahwa ayat berikut diturunkan kepada Rasulullah Saw.

ketika beliau sedang wuquf di Arafah pada sore harinya, yaitu firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3)Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Is¬mail ibnu Amr As-Sukuni,

telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais As-Sukuni, bahwa ia per-nah mendengar Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan membaca ayat berikut

di atas mimbarnya, yaitu firman Allah Swt.: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.Lalu Mu'awiyah berkata bahwa ayat ini diturunkan pada hari Arafah yang jatuh pada hari Jumat.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Muhammad Bani Ishaq. dari Amr ibnu Musa ibnu Dahiyyah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang mengatakan bahwa firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,

dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku¬ridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3) diturunkan di Arafah ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan wuquf di mauqif.Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,

Ibnu Murda¬waih, dan Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Khalid ib¬nu Abu Imran, dari Hanasy ibnu Abdullah As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi kalian dilahirkan pada hari Se¬nin, dan beliau Saw.

keluar meninggalkan Mekah (menuju Madinah) pada hari Senin, dan beliau Saw. memasuki kota Madinah pada hari Senin, dan Perang Badar dimulai pada hari Senin, serta surat Al-Maidah diturunkan pada hari Senin, yakni firman-Nya:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3) Zikir (Al-Qur’an) diangkat pada hari Senin (yakni nanti di hari ki¬amat). Maka asar ini berpredikat garib dan sanadnya daif. Tetapi hal ini diriwayatkan pula oleh

Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan ke¬pada kami Ibnu Luhai'ah. dari Khalid ibnu Abu Imran, dari Hanasy As-San'ani, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw.

dilahirkan pada hari Senin, diangkat menjadi Nabi pada hari Senin, ke¬luar meninggalkan Mekah berhijrah ke Madinah pada hari Senin, dan tiba di Madinah pada hari Senin, wafat pada hari Senin, dan Hajar Aswad diletakkan pada hari Senin. Demikianlah lafaz riwayat Imam Ahmad, tetapi tidak disebutkan padanya penurunan surat Al-Maidah pada hari Senin. Barangkali Ibnu Abbas bermaksud bahwa ayat ini diturunkan pada dua hari raya sekaligus, seperti pada asar di atas,

tetapi perawi keliru dalam mengemukakannya.Ibnu Jarir mengatakan, suatu pendapat mengatakan bahwa me¬ngenai harinya tidak diketahui oleh orang-orang. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas mengenai

firman-Nya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian. (Al-Maidah: 3); Ibnu Abbas mengatakan bahwa hari itu hari yang tidak diketahui oleh orang-orang. Ibnu Jarir mengatakan pula, adakalanya dikatakan bahwa surat ini

diturunkan kepada Rasulullah Saw. sewaktu beliau dalam perjalanannya ke haji wada'. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi' ibnu Anas.Menurut kami, Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur

Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. pada hari Gadir Kham, yaitu ketika Nabi Saw. bersabda kepada Ali r.a.:


"مَنْ كنتُ مَوْلَاهُ فَعَليٌّ مَوْلَاهُ"


Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya pula.Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Abu Hurairah, antara lain disebutkan bahwa hari itu adalah hari kedelapan belas dari bulan Zul Hijjah.

Dengan kata lain, di saat Nabi Saw. kembali dari haji wada'nya. Tetapi baik riwayat ini ataupun riwayat di atas tiada yang sahih. Bahkan yang benar dan tidak diragukan lagi ialah riwayat yang mengatakan bahwa surat Al-Maidah diturunkan

pada hari Ara¬fah yang saat itu jatuhnya bertepatan dengan hari Jumat Yaitu seperti yang tertera pada riwayat Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab, Ali ibnu Abu Talib, raja Islam pertama (yaitu Mu'awiyah ibnu Abu Suf¬yan),

juru tafsir Al-Qur'an (yaitu Abdullah ibnu Abbas), dan Samurah ibnu Jundub, radiyallahu anhum.Asar ini di-mursal-kan oleh Asy-Sya'bi, Qatadah ibnu Di'amah, dan Syahr ibnu Hausyab serta lain-lainnya

yang bukan hanya seorang dari kalangan para imam dan para ulama. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari.Firman Allah Swt.:


{فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}


Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 3)Artinya, barang siapa yang terpaksa memakan sebagian dari hal-hal yang diharamkan

oleh Allah —seperti yang telah disebutkan di atas— karena keadaan darurat yang memaksanya melakukan hal itu, maka dia boleh memakannya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penya-yang kepadanya, karena Allah Swt.

mengetahui kebutuhan hamba¬Nya yang terpaksa dan keperluannya akan hal tersebut. Maka dari itu Allah memaafkan dan mengampuninya.Di dalam kitab musnad dan kitab sahih Ibnu Hibban disebutkan sebuah hadis dari Ibnu Umar secara marfu', bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخْصته كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيته"


Sesungguhnya Allah suka bila rukhsah-rukhsah (kemurahan-kemurahan-Nya) dikerjakan, sebagaimana Dia benci bila perbuat¬an durhaka kepada-Nya dikerjakan.Demikianlah menurut lafaz Imam Ibnu Hibban. Sedangkan menurut lafaz Imam Ahmad disebutkan seperti berikut:


مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَة اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلَ جِبَالِ عَرَفَةَ"


Barang siapa yang tidak mau menerima rukhsah (kemurahan) Allah, maka atas dirinya dosa yang besarnya semisal dengan Bu¬kit Arafah.Karena itu, maka ulama fiqih mengatakan bahwa adakalanya mema¬kan bangkai itu hukumnya wajib,

yaitu bila orang yang bersangkutan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwanya, sedangkan di tempat ia berada tidak ditemukan selainnya (yakni selain bangkai itu). Ada-kalanya memakan bangkai itu hukumnya sunat, adakalanya

hukum¬nya mubah (boleh), semua ditentukan oleh keadaan.Tetapi ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah kadar yang dimakannya, apakah hanya sekadar untuk menutupi kebutuhan saja, atau sampai sekenyangnya,

atau sampai kenyang, dan boleh membekali diri dengannya? Banyak pendapat di kalangan mereka mengenai masalah ini, semuanya disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.Mereka berselisih pendapat pula dalam masalah bilamana

orang yang bersangkutan menjumpai bangkai hewan dan makanan milik orang lain atau hewan buruan, sedangkan dia dalam keadaan ihram. Masalahnya ialah apakah dia boleh memakan bangkai itu atau hewan buruan yang mengharuskan

dia bayar denda, atau makanan milik orang lain yang konsekuensinya dia harus menggantinya. Ada dua pendapat mengenai masalah ini, kedua-duanya dikatakan oleh Imam Syafii rahimahullah.Bukan termasuk syarat, boleh memakan bangkai

bila orang yang bersangkutan telah menjalani masa tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun, seperti yang diduga oleh kebanyakan kalangan awam dan lain-lainnya. Bahkan manakala orang yang bersangkutan dalam keadaan terpaksa harus memakannya, maka diperbolehkan baginya melakukannya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضٍ تُصِيبُنَا بِهَا الْمَخْمَصَةُ، فَمَتَى تَحِلُّ لَنَا بِهَا الْمَيْتَةُ؟ فَقَالَ: "إِذَا لَمْ تَصْطَبِحوا، وَلَمْ تَغْتَبِقُوا، وَلَمْ تَجتفئوا بقْلا فَشَأْنُكُمْ بِهَا ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Atiyyah, dari Abu Waqid Al-Laisi, bahwa mereka pernah bertanya,

"Wahai Rasulullah, sesungguh¬nya kami berada di suatu tempat dan kami mengalami kelaparan di tempat itu. Bilakah diperbolehkan bagi kami memakan bangkai di tempat itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Bilamana kalian tidak mendapatkan

untuk makan pagi dan tidak pula untuk makan sore hari serta tidak dapat memperoleh sayur-sayuran padanya, maka bangkai itu terserah kamu.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad bila ditinjau dari segi ini,

tetapi sanadnya sahih dengan syarat Syaikhain. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abdul A'la ibnu Wasil, dari Muhammad ibnul Qasim Al-Asadi, dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama. Tetapi sebagian mereka meriwayatkannya

dari Al-Auza'i, dari Hassan ibnu Atiyyah, dari Muslim ibnu Yazid, dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama. Di antara mereka ada yang meriwa¬yatkannya dari Al-Auza'i, dari Hassan, dari Marsad atau Abu Marsad,

dari Abu Waqid dengan lafaz yang sama.Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad ibnus Sirri, dari Isa ibnu Yunus, dari Hassan, dari seorang lelaki yang telah disebutkan namanya oleh dia, lalu ia menuturkan hadis ini. Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Hannad, dari Ibnul Mubarak, dari Al-Auza'i, dari Has¬san secara mursal.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، عَنْ عَوْن قَالَ: وَجَدْتُ عِنْدَ الْحَسَنِ كِتَابَ سَمُرة، فَقَرَأْتُهُ عَلَيْهِ، فَكَانَ فِيهِ: "ويُجزى من الأضرار غَبُوق أَوْ صُبُوحٌ "


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ibnu Aun yang menceritakan bahwa ia pernah menemukan catatan Samurah pada Al-Hasan,

lalu ia membacanya, dan yang terdapat pa¬danya antara lain ialah, "Cukup bagi yang terpaksa memakan sekadar makan malam atau makan paginya."


حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الخَصيب بْنِ زَيْدٍ التَّمِيمِيِّ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: [إِلَى] مَتَى يَحِلُّ [لِي] الْحَرَامُ؟ قَالَ: فَقَالَ: "إِلَى مَتَى يَرْوى أَهْلُكَ مِنَ اللَّبَنِ، أَوْ تَجِيءُ مِيرَتُهم ".


Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Khasib ibnu Zaid At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan,

"Sampai kapan yang haram dihalalkan?" Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Sampai dengan keluargamu merasa kenyang karena minum air susu atau sampai datang makanan mereka.


حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ جَدِّهِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ جَدَّتِهِ ؛ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَعْرَابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِيهِ فِي الَّذِي حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي أَحَلَّ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَحِلُّ لَكَ الطَّيِّبَاتُ، وتَحْرُم عَلَيْكَ الْخَبَائِثُ إِلَّا أَنْ تَفْتَقِر إِلَى طَعَامٍ لَا يَحِلُّ لَكَ، فَتَأْكُلَ مِنْهُ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ الرَّجُلُ: وَمَا فَقْرِي الَّذِي يُحِلُّ لِي؟ وَمَا غِنَايَ الَّذِي يُغْنِينِي عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا كُنْتَ تَرْجُو نِتَاجًا، فَتَبْلُغُ بلُحُوم مَاشِيَتِكَ إِلَى نِتَاجِكَ، أَوْ كُنْتَ تَرْجُو غِنًى، تَطْلُبُهُ، فَتَبْلُغُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَأَطْعِمْ أَهْلَكَ مَا بَدَا لَكَ حَتَّى تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ". فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: مَا غِنَايَ الَّذِي أَدَعُهُ إِذَا وَجَدَتُهُ؟ فَقَالَ [النَّبِيُّ] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا أَرُوِيَتْ أَهْلُكَ غَبُوقا مِنَ اللَّيْلِ، فَاجْتَنِبْ مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْكَ مِنْ طَعَامٍ، وَأَمَّا مَالُكَ فَإِنَّهُ مَيْسُورٌ كُلُّهُ، لَيْسَ فِيهِ حَرَامٌ".


Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Ishaq, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abdullah ibnu Urwah, dari kakeknya (yaitu Urwah ibnuz Zubair), dari neneknya, bahwa seorang lelaki

Badui pernah datang ke¬pada Nabi Saw. untuk meminta fatwa kepadanya mengenai barang-barang yang diharamkan oleh Allah dan barang-barang yang dihalal¬kan Allah untuknya. Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya:

Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan diharamkan bagimu yang buruk-buruk, kecuali jika kamu terpaksa memerlukan makanan untuk dirimu; maka kamu boleh memakan sebagian darinya hingga kamu merasa berkecukupan.

Maka lelaki Badui itu bertanya, "Sampai batas manakah keperluanku yang menghalalkan aku memakannya, dan sampai batas manakah kecukupanku yang membuat aku tidak memerlukannya lagi?" Nabi Saw. bersabda: Apabila kamu mencari

makanan untuk mencukupimu, lalu kamu menemukan sesuatu dari (bangkai) itu, maka berilah makan ke¬luargamu menurut apa yang kamu kehendaki hingga kamu me¬rasa cukup darinya. Lalu lelaki Arab Badui itu bertanya lagi,

"Sampai batas manakah ke¬cukupan yang mengharuskan aku meninggalkannya jika aku menjumpainya (lagi)?" Maka Nabi Saw. bersabda: Jika kamu telah dapat mengenyangkan keluargamu dengan minuman susu di malam hari,

maka jauhilah dari makananmu, makanan yung diharamkan oleh Allah bagimu. Karena sesungguh¬nya makananmu yang halal itu semuanya mudah didapat dan tidak ada yang haram padanya.Makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan,

"Ma lam tastabihu" ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan pagi. Makna ma lam tag-tabiqu ialah selagi kamu tidak menjumpai untuk makan malam. Yang dimaksud dengan au tahtaji-u baqalah fasya-nukum biha ialah atau kamu

tidak menemukan sayur-sayuran untuk mengganti makananmu, maka makanlah bangkai itu.Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz lahtafi-u diriwayatkan mem¬punyai empat bacaan, yaitu lahfau. tahiafiyu, tahtaffii, dan tahlaju. Tetapi dapat pula memakai hamzah hingga menjadi tahlafiu. Demi¬kianlah menurutnya dalam kitab tafsirnya.


حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا عُقْبَة بْنُ وَهْب بْنِ عُقْبَةَ الْعَامِرِيُّ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنِ الْفَجِيعِ الْعَامِرِيِّ؛ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم فقال: مَا يَحِلُّ لَنَا مِنَ الْمِيتَةِ؟ قَالَ: "مَا طَعَامُكُمْ؟ " قُلْنَا: نَغْتَبِقُ وَنَصْطَبِحُ. قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ: فَسَّرَه لِي عُقْبَةُ: قَدَحُ غُدوة، وَقَدَحُ عَشيَّة قَالَ: "ذَاكَ وَأَبِي الجُوعُ". وَأُحِلَّ لَهُمُ الْمَيْتَةُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ.


Hadis lain. Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan ke¬pada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Uqbah Al-Amiri, bahwa ia pernah mendengar ayahnya

menceritakan hadis dari An-Naji' Al-Amiri bahwa An-Naji’ Al-Amiri pernah datang ke¬pada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Bilakah bangkai dihalalkan bagi kami?" Nabi Saw. balik bertanya, "Apa sajakah makanan kalian?" Kami menjawab,

"Segelas susu di pagi hari dan segelas susu di ma¬lam hari." Abu Na'im mengatakan bahwa Uqbah mengartikan kepa¬daku makna nastabih dan nagtabiq yaitu segelas susu di pagi hari dan segelas susu di petang hari. Nabi Saw. bersabda,

"Yang demikian itu, demi ayahku, dinamakan kelaparan." Nabi Saw. menghalalkan bang¬kai untuk mereka dalam keadaan demikian.Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Seakan-akan mereka di pagi hari dan petang harinya

memakan se¬suatu yang tidak mencukupi mereka, lalu Nabi Saw. menghalalkan bangkai untuk mereka untuk memenuhi kecukupan mereka.Hadis ini dijadikan sebagai dalil oleh orang yang berpendapat bo¬leh memakan sebagian dari bangkai sampai kenyang, dan tidak terikat dengan batasan hanya untuk menyelamatkan nyawa saja.


حَدِيثٌ آخَرُ: قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، حَدَّثَنَا سِمَاكٌ، عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَة، أَنْ رَجُلًا نَزَلَ الحَرَّةَ، وَمَعَهُ أَهْلُهُ وَوَلَدُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ نَاقَةً لِي ضَلَّت، فَإِنْ وَجَدْتَهَا فَأَمْسِكْهَا، فَوَجَدَهَا وَلَمْ يَجِدْ صَاحِبَهَا، فَمَرِضَتْ فَقَالَتِ امْرَأَتُهُ: انْحَرْهَا، فَأَبَى، فَنَفَقَتْ، فَقَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ: اسْلُخْهَا حَتَّى نُقدد شَحْمَها وَلَحْمَهَا فَنَأْكُلَهُ. فَقَالَ: حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: "هَلْ عِنْدَكَ غِنًى يُغْنِيك؟ " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَكُلُوهَا". قَالَ: فَجَاءَ صَاحِبُهَا فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَقَالَ: هَلَّا كُنْتَ نَحَرْتَهَا؟ قَالَ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْكَ.


Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Daud. Disebutkan bah¬wa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceri¬takan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Jabir, dari Samurah.

bahwa seorang lelaki turun istirahat di Harrah (pinggir Madinah) disertai istri dan anak laki-lakinya. Ada le¬laki lain yang berkata kepadanya, "Sesungguhnya untaku hilang (le¬pas). Jika kamu menemukannya, tolonglah tangkap ia."

Lalu ia menemukannya, tetapi tidak menjumpai pemiliknya (karena telah pergi). Kemudian lelaki itu sakit, maka istrinya berkata kepadanya, "Sem¬belihlah unta temuan ini." Ia menolak dan sakitnya bertambah parah. Lalu istrinya berkata lagi

kepadanya.”Sayatlah salah satu bagiannya, lalu kamu dendeng lemak dan dagingnya, kemudian kita makan ber¬sama." Ia menjawab, "Tidak, sebelum aku tanyakan lebih dahulu ke¬pada Rasulullah Saw." Lelaki ku datang kepada Rasulullah Saw.

dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah kamu memiliki makanan yang mencukupimu?" Ia menjawab, 'Tidak." Nabi Saw. bersabda, "Maka makanlah daging sayatan itu." Tidak lama kemudian datanglah

pemilik unta itu, dan ia mengabarinya. Ternyata pemilik unta itu berkata, "Mengapa tidak kamu sembelih saja untaku itu?" Ia menjawab, "Aku malu kepadamu."Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid. Hadis ini dijadikan dalil

oleh orang yang membolehkan memakan (bangkai) sampai kenyang serta mengambil bekal darinya selama masa yang diperlukan, menurut dugaannya yang kuat.Firman Allah Swt.:


{غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ}


tanpa sengaja berbuat dosa. (Al-Maidah: 3)Yakni tidak sengaja berbuat maksiat kepada Allah, maka sesungguh¬nya Allah telah membolehkan hal tersebut. Dalam ayat ini tidak dise¬butkan hal lainnya yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:


{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}


Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak durhaka dan tidak (pula) melampaui batas, ma¬ka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengam¬pun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 173)

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa orang yang bepergian untuk maksiat tidak diperbolehkan melakukan sesuatu pun dari rukhsah-rukhsah yang diberikan kepada seorang musafir, ka¬rena rukhsah tidak dapat dilakukan dengan adanya maksiat.

Surat Al-Maidah |5:4|

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

yas`aluunaka maażaaa uḥilla lahum, qul uḥilla lakumuth-thoyyibaatu wa maa 'allamtum minal-jawaariḥi mukallibiina tu'allimuunahunna mimmaa 'allamakumullohu fa kuluu mimmaaa amsakna 'alaikum ważkurusmallohi 'alaihi wattaqulloh, innalloha sarii'ul-ḥisaab

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya."

They ask you, [O Muhammad], what has been made lawful for them. Say, "Lawful for you are [all] good foods and [game caught by] what you have trained of hunting animals which you train as Allah has taught you. So eat of what they catch for you, and mention the name of Allah upon it, and fear Allah." Indeed, Allah is swift in account.

Tafsir
Jalalain

(Mereka menanyakan kepadamu) hai Muhammad (Apakah yang dihalalkan bagi mereka) di antara makanan. (Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik) yang enak-enak atau yang halal

(dan) hasil buruan (dari binatang-binatang buas yang telah kamu ajar) seperti anjing, serigala dan burung (dengan melatihnya berburu) hal dari kallabtal kalba pakai tasydid pada lam; artinya biasa kamu lepas berburu

(kamu ajar mereka itu) hal dari dhamir mukallibiina; artinya kamu latih mereka itu (menurut apa yang diajarkan Allah kepadamu) tentang cara berburu (maka makanlah apa-apa yang ditangkapnya untukmu)

mereka membunuh buruan tanpa memakannya. Berbeda halnya dengan yang tidak terlatih, maka tangkapannya itu tidak halal. Sebagai ciri-cirinya bila dilepas ia berangkat dan bila dicegah ia berhenti

serta ditahannya buruan itu dan tidak dimakannya. Sekurang-kurangnya untuk mengetahui hal itu dibutuhkan pengamatan sebanyak tiga kali. Jika buruan itu dimakannya, berarti tidak ditangkapnya untuk tuannya,

maka tidak halal dimakan sebagaimana tercantum dalam kedua hadis sahih Bukhari dan Muslim. Dalam hadis itu juga disebutkan bahwa hasil panahan jika dilepas dengan menyebut nama Allah,

maka sama dengan hasil buruan dari binatang pemburu yang telah dilatih. (Dan sebutlah nama Allah atasnya) ketika melepasnya (serta bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.")

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 4 |

Setelah Allah menyebutkan hal-hal yang diharamkan-Nya pada ayat sebelumnya, yaitu berupa segala sesuatu yang buruk lagi membahaya­kan tubuh atau agama, atau kedua-duanya (tubuh dan agama) orang yang bersangkutan,

dan Allah mcngccualikan apa-apa yang dikccuali-kan-Nya bila keadaan darurat. Seperti yang disebut di dalam firman-Nya:


{وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ}


padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpak­sa kalian memakannya. (Al-An'am: 119)maka sesudah itu Allah Swt. berfirman:


{يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ}


Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)Perihalnya sama dengan apa yang disebut di dalam surat Al-A'raf dalam kaitan menyebutkan

sifat Nabi Muhammad Saw., bahwa Allah menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami

Yahya ibnu Abdullah ibnu Abu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ala ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Addi ibnu Hatim dan Zaid ibnu Muhalhal yang kedua­nya berasal dari

Tai bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu me­reka berdua berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengharamkan bangkai, apakah yang dihalalkan bagi kami darinya?" Maka turunlah firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu.

”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)Menurut Sa'id, makna yang dimaksud ialah sembelihan yang halal lagi baik untuk mereka. Menurut Muqatil, yang dimaksud dengan

tayyibat ialah segala sesuatu yang dihalalkan untuk mereka memper­olehnya, berupa berbagai macam rezeki.Az-Zuhri pernah ditanya mengenai meminum air seni untuk ber­obat, maka ia menjawab, "Air seni bukan termasuk tayyibat."

Demi­kianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya me­ngenai menjual burung pemangsa, ia menjawab bahwa burung itu bu­kan termasuk burung yang halal. Firman Allah Swt.:


{وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ}


dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kali­an ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Yaitu dihalalkan bagi kalian hewan-hewan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,

rezeki-rezeki yang baik, dihalal­kan pula bagi kalian hewan yang kalian tangkap melalui binatang pemburu, seperti anjing pemburu, macan tutul pemburu, burung falcon (elang), dan lain-lainnya yang serupa. Sebagaimana yang dikatakan

oleh mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam. Di antara mereka yang mengatakan demikian ialah Ali ib­nu Abu Talhah yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan de­ngan makna firman-Nya:

Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kali­an ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Hewan-hewan tersebut adalah anjing-anjing pemburu yang telah di­latih, dan burung elang serta burung pemangsa

lainnya yang telah di­latih untuk berburu. Kesimpulannya ialah jawarih artinya hewan-he­wan pemangsa, seperti anjing, macan tutul, burung elang, dan lain sebagainya yang serupa.Demikianlah riwayat Ibnu Abu Hatim,

kemudian ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Khaisamah, Tawus, Mujahid, Mak-hul, dan Yahya ibnu Kasir hal yang semisal.Telah diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa ia pernah mengatakan, "Burung elang dan burung garuda termasuk jawarih

(hewan pemang­sa) dari jenis burung." Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ali ibnul Husain.Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia memakruhkan berbu­ru dengan memakai segala jenis burung pemangsa, lalu ia membacakan firman-Nya:

dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kali­an ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Ju­bair hal yang semisal. Ibnu Jarir menukilnya

dari Ad-Dahhak dan As-Saddi. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, te­lah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Nafi', dari Ibnu Umar

yang mengatakan bahwa hewan yang diburu oleh burung pemangsa dan lain-lainnya termasuk ke dalam jenis burung pemburu, maka apa yang kamu jumpai adalah untukmu dan apa yang tidak sempat kamu temui janganlah kamu memakannya.

Menurut kami, apa yang diriwayatkan dari jumhur ulama yaitu bahwa berburu dengan burung pemangsa sama dengan memakai an­jing pemburu, karena burung pemburu menangkap mangsanya dengan cakarnya,

sama halnya dengan anjing sehingga tidak ada bedanya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam yang empat dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir yang menguatkannya dengan hadis yang diriwayatkan:


عَنْ هَنَّادٍ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ مَجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم عَنْ صَيْدِ الْبَازِي، فَقَالَ: "مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَكُلْ".


dari Hannad, telah menceritakan ke­pada kami Isa ibnu Yunus, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan hadis berikut: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang tangkapan burung elang, maka beliau Saw.

menjawab, "Apa yang ditangkap untukmu, makanlah."Imam Ahmad mengecualikan berburu dengan memakai anjing hitam, karena menurut Imam Ahmad anjing hitam termasuk hewan yang wa­jib dibunuh dan tidak boleh dipelihara.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui sahabat Abu Bakar, bahwa Rasulul­lah Saw. pernah bersabda:


"يَقْطَع الصلاةَ الحمارُ والمرأةُ والكلبُ الأسودُ" فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ ؟ فَقَالَ: "الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ"


"Keledai, wanita, dan anjing hitam dapat memutuskan salat." Lalu aku (Abu Bakar) bertanya, "Apakah bedanya antara anjing merah dan anjing hitam?" Rasulullah Saw. menjawab, "Anjing hitam adalah setan."Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah meme­rintahkan membunuh anjing, kemudian beliau Saw. bersabda:


"مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ، اقْتُلُوا مِنْهَا كُلَّ أَسْوَدٍ بَهِيم".


Apakah gerangan yang menimpa mereka dan anjing-anjing itu, bunuhlah oleh kalian setiap anjing yang hitam pekat dari anjing-anjing itu.Hewan-hewan yang biasa dipakai berburu itu dinamakan jawarih, berasal dari kata al-jurh yang artinya

al-kasbu (penghasilan), seperti yang dikatakan oleh orang-orang Arab Fulanun jaraha ahlahu khairan," yang artinya: si Fulan menghasilkan kebaikan bagi keluarganya. Mereka mengatakan, "Fulanun la jariha lah,'"' yang artinya:si Fulan tidak mempunyai penghasilan (mata pencaharian). Allah Swt. telah berfirman:


{وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ}


Dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari. (Al-An'am: 60)Yakni mengetahui apa yang kalian hasilkan berupa kebaikan dan ke­burukan.Mengenai penyebab turunnya ayat ini disebutkan oleh sebuah ha­dis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim:


حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ حَمْزَةَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَاب، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنِي أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ سَلْمَى أَمِّ رَافِعٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر بِقَتْلِ الْكِلَابِ، فَقُتِلَتْ، فَجَاءَ النَّاسُ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَحِلُّ لَنَا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ الَّتِي أَمَرْتَ بِقَتْلِهَا؟ قَالَ: فَسَكَتَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ} الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ وسَمَّى، فَأَمْسَكَ عَلَيْهِ، فَلْيَأْكُلْ مَا لَمْ يَأْكُلْ ".


telah mencerita­kan kepada kami Hajjaj ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Aban ibnu Saleh, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim,

dari Salma Ummu Rafi’, dari Abu Rafi' maula Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan un­tuk membunuh anjing-anjing (hitam), maka anjing-anjing itu dibunuh. Lalu orang-orang datang kepadanya dan bertanya,

"Wahai Rasulullah, mana sajakah yang dihalalkan dari jenis ini yang engkau perintahkan agar dibunuh?" Rasulullah Saw. diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi me­reka?" Katakanlah,

"Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu" (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. bersabda: Apabila seseorang lelaki

melepaskan anjing (pemburu)nya. lalu ia mengucapkan tasmiyah (bismillah) dan anjing itu menangkap buruan untuknya, maka hendaklah ia memakannya selagi anjing itu tidak memakannya.Masih dalam bab yang sama:


رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي كُرَيْب، عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحُبَابِ بِإِسْنَادِهِ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَسْتَأْذِنَ عَلَيْهِ، فَأَذِنَ لَهُ فَقَالَ: قَدْ أَذِنَّا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَجَلْ، وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْتُلَ كُلَّ كَلْبٍ بِالْمَدِينَةِ، فَقَتَلْتُ، حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى امْرَأَةٍ عِنْدَهَا كَلْبٌ يَنْبَحُ عَلَيْهَا، فَتَرَكْتُهُ رَحْمَةً لَهَا، ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَمَرَنِي، فَرَجَعَتْ إِلَى الْكَلْبِ فَقَتَلْتُهُ، فَجَاءُوا فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَحِلُّ لنا من هذه الأمة التي أمرت بقتلها؟ قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ}


Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul Habbab berikut sanadnya, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw,, lalu meminta izin untuk masuk. Ia diizinkan masuk

(tetapi tidak mau juga masuki, maka Nabi Saw. bersabda, "Saya telah memberimu izin ma­suk, wahai utusan Allah." Malaikat Jibril menjawab, "Tetapi kami (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang ada anjingnnya.

" Abu Rafi" mengatakan, "Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada­ku membunuh semua anjing yang ada di Madinah, hingga aku sampai pada seorang wanita yang memiliki seekor anjing. Saat itu anjingnya sedang menggonggong,

maka wanita itu meninggalkan anjingnya ka­rena tidak tega melihatnya dibunuh. Kemudian aku (Abu Rafi') datang kepada Rasulullah Saw. dan kuceritakan hal itu kepadanya, tetapi beliau Saw. tetap memerintah­kan kepadaku

untuk membunuhnya. Maka aku kembali lagi kepada wanita itu dan membunuh anjingnya." Kemudian mereka datang dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah yang dihalalkan bagi kami dari jenis hewan ini yang engkau perintahkan

agar semuanya dibunuh?" Rasulullah Saw. diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (binatang buruan yang ditangkap)

oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu." (Al-Maidah: 4)Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh dengan lafaz yang sama;

dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih, tetapi ke­duanya tidak mengetengahkannya.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita­kan kepada kami

Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah, bahwa Rasu­lullah Saw. mengutus Abu Rafi' untuk membunuh semua anjing hing­ga sampai di Awali (daerah Madinah yang tinggi). Maka datanglah Asim ibnu Addi, Sa'd ibnu Ktiais'amah

dan Uwaim ibnu Sa'idah, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dihalalkan bagi kami, wahai Rasulul­lah?" Maka turunlah ayat ini.Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sammak, dari Ik­rimah, dan hal yang sama dikatakan oleh

Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dalam penyebab turunnya ayat ini, yaitu berkenaan dengan pembunuhan terhadap anjing.Firman Allah Swt.:


{مُكَلِّبِينَ}


dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)Lafaz ayat ini dapat dikatakan sebagai hal dari damir yang terkan­dung di dalam firman-Nya:


{عَلَّمْتُمْ}


yang telah kalian ajari. (Al-Maidah: 4)Dengan demikian, berarti ia menjadi hal dari fa'il. Dapat pula diarti­kan sebagai hal dari maf'ul yaitu lafaz al-jawarih. yakni binatang pemangsa yang telah kalian ajari saat kalian menggunakannya

untuk menerkam hewan buruan kalian. Pengertian ini menunjukkan bahwa hewan pemburu tersebut membunuh mangsanya dengan taring dan cakar kukunya. Dalam keadaan demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa hewan pemburu

bila membunuh binatang buruannya dengan menabraknya atau menindihinya dengan berat tubuhnya, hukumnya tidak halal, seperti yang dikatakan oleh salah satu pendapat dari Imam Syafii dan segolongan ulama. Karena itulah dalam ayat Selanjutnya disebutkan:


{تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ}


kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah ke­pada kalian. (Al-Maidah: 4)Dengan kata lain, apabila dilepaskan oleh tuannya, ia langsung mem­buru mangsanya; dan apabila diperintahkan untuk mengintipnya sebelum

menerkamnya, maka ia menuruti tuannya; apabila menangkap hewan buruannya, ia menahan dirinya untuk tuannya hingga tuannya datang kepadanya, dan ia tidak berani menangkapnya, lalu ia makan sendiri. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah Swt selanjutnya:


{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ}


Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)Bilamana binatang pemburu telah diajari dan menangkap mangsanya untuk tuannya,

sedangkan si tuan telah membaca asma Allah ketika melepasnya, maka hewan buruan itu halal, sekalipun telah dibunuh­nya, menurut kesepakatan ulama.Di dalam sunnah terdapat keterangan yang menunjukkan

pengertian yang sama dengan makna ayat ini, seperti yang disebut di dalam kitab Sahihain dari Addi ibnu Hatim yang telah menceritakan:


قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرْسِلُ الْكِلَابَ المعلَّمة وَأَذْكُرُ اسْمَ اللَّهِ. فَقَالَ: "إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ المعلَّم وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ، فَكُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلْنَ؟ قَالَ: "وَإِنْ قَتَلْنَ مَا لَمْ يُشْرِكْهَا كَلْبٌ لَيْسَ مِنْهَا، فَإِنَّكَ إِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى كَلْبِكَ وَلَمْ تُسَمِّ عَلَى غَيْرِهِ". قُلْتُ لَهُ: فَإِنِّي أَرْمِي بالمِعْرَاض الصَّيْدَ فَأُصِيبُ؟ فَقَالَ: "إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فَخَزق فَكُلْهُ، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْض فَإِنَّهُ وَقِيذٌ، فَلَا تَأْكُلْهُ"


Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melepaskan anjing pemburu yang telah dilatih dan aku menyebutkan asma Allah." Rasulullah Saw. menjawab, "Apabila kamu melepaskan anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah,

maka makanlah selagi anjingmu itu menangkap hewan buruan untukmu.”Aku ber­tanya, "Sekalipun hewan buruan itu telah dibunuhnya?" Rasu­lullah Saw. bersabda, "Sekalipun telah dibunuhnya selagi tidak ditemani oleh anjing lain

yang bukan dari anjing-anjingmu, karena sesungguhnya kamu hanya membaca tasmiyah untuk an­jingmu, bukan membacanya untuk anjing lain." Aku bertanya ke­padanya, "Sesungguhnya aku melempar hewan buruan dengan tombak

dan mengenainya." Rasulullah Saw. menjawab, "Jika kamu melemparnya dengan tombak dan tombak itu menembus tubuhnya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenainya ialah bagian sampingnya (tengahnya), sesungguhnya

hewan buruan itu mati karena terpukul, jangan kamu makan."Menurut lafaz lain yang juga dari keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan seperti berikut:


"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا فَاذْبَحْهُ، وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قُتِلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ، فَإِنَّ أخْذ الْكَلْبِ ذَكَاتُهُ"


Jika kamu melepaskan anjing pemburumu, bacalah asma Allah; dan jika ia menangkap hewan buruannya untukmu, lalu kamu jumpai masih hidup, sembelihlah hewan buruan itu. Jika kamu menjumpainya telah mati dan anjingmu

tidak memakannya, ma­kanlah, karena sesungguhnya terkaman anjingmu itu merupakan sembelihannya.Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Mus­lim disebutkan seperti berikut:


"فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ."


Dan jika anjingmu itu memakannya, maka janganlah kamu ma­kan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya sendiri.Inilah yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama, dan hal inilah yang dikatakan

oleh mazhab Syafii menurut qaul yang sahih. Yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hewan buruan itu haram secara mutlak. Dalam hal ini mereka tidak memberikan keterangan yang rinci,

sama dengan makna yang ada da­lam hadis.Tetapi diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf bahwa mereka mengatakan tidak haram sama sekali.Asar-asar yang menyangkut masalah iniIbnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Hannad dan Waki’, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Salman Al-Farisi pernah mengatakan, "Makanlah, sekalipun anjing pemburu itu memakan dua pertiga hewan buruannya,"

bilamana memang anjing itu memakan sebagian darinya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah dan Umar ibnu Amir dari Qatadah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Muhammad ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab,

dari Salman.Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid ibnu Musa, dari Yazid, dari Humaid, dari Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Al-Qasim, bahwa Salman pernah mengatakan, "Apabila anjing pemburu mema­kannya, kamu boleh memakannya,

sekalipun ia memakan dua pertiga­nya"Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya,

dari Humaid ibnu Malik ibnu Khaisam Ad-Du-ali, bahwa ia pernah ber­tanya kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas tentang hewan buruan yang dimakan sebagiannya oleh anjing pemburu. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas men­jawab, "Makanlah olehmu,

sekalipun tiada yang tersisa darinya ke­cuali hanya sepotong daging."Syu'bah meriwayatkannya dari Abdu Rabbih ibnu Sa'id, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Sa'd ibnu Abu Waqqas yang mengatakan, "Makanlah

(hewan buruan itu), sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya."Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah mence­ritakan kepada kami Daud,

dari Amir ibnu Abu Hurairah yang me­ngatakan, "Apabila kamu melepas anjing pemburumu, lalu anjing pemburumu memakan sebagian dari hewan tangkapannya, maka ka­mu tetap boleh memakannya, sekalipun anjing pemburu telah memakan

dua pertiganya dan yang tersisa adalah sepertiganya."Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, bahwa ia pernah mendengar Abdullah;

dan telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidil­lah ibnu Umar, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengata­kan, "Apabila kamu melepas anjing terlatihmu dan kamu sebutkan nama Allah

(ketika melepaskannya), maka makanlah olehmu selagi anjing itu menangkap buruannya untukmu, baik ia memakannya atau­pun tidak memakannya,"Hal yang sama diriwayatkan oleh Ubaidillah ibnu Umar dan ibnu Abu Zi-b serta lain-lainnya

yang bukan hanya seorang, dari Nafi’.Asar-asar di atas terbukti bersumber dari Salman, Sa'd ibnu Abu Waqqas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Hal yang sama diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Tetapi menurut asar yang dari Ata

dan Al-Hasan Al-Basri, masalah ini masih diperselisihkan. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Az-Zuhri, Rabi'ah, dan Imam Malik. Imam Syafii menurut qaul qadim-nya. mengatakan masalah ini,

tetapi dalam qaul jadid-nya.hanya mengisyaratkannya saja.Telah diriwayatkan melalui jalur Salman Al-Farisi secara marfu'. Untuk itu Ibnu Jarir mengatakan:


حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكُلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى اللَّاحُونِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّة، عَنْ سعيد بن المسيَّب، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ، وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ "


telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa Al-Lahuni, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Dinar (yaitu At-Taji), dari Abu Iyas Mu'awiyah ibnu Qurrah,

dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi. dari Rasulul­lah Saw. yang telah bersabda: Apabila seseorang lelaki melepaskan anjingnya terhadap hewan buruan, lalu dapat ditangkapnya dan dimakan sebagiannya. maka hendaklah dia

memakan yang sisanya.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam sanad hadis ini masih perlu ada yang dipertimbangkan. Sa'id tidak dikenal pernah mendengar dari Salman Al-Farisi, tetapi orang-orang yang siqah meriwayatkannya

dari kalam yang tidak marfu'.Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini memang benar, tetapi diri­wayatkan makna yang sama secara marfu' melalui jalur-jalur lainnya.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهال الضَّرِيرُ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْع، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ أَعْرَابِيًّا -يُقَالُ لَهُ: أَبُو ثَعْلَبَةَ-قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي كِلَابًا مُكَلَّبة، فَأَفْتِنِي فِي صَيْدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ كَانَ لَكَ كِلَابٌ مُكَلَّبَةٌ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ". فَقَالَ: ذَكِيًّا وَغَيْرَ ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ". قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفْتِنِي فِي قَوْسِي. فَقَالَ: "كُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ قَوْسُكَ" قَالَ: ذَكِيًّا وَغَيْرَ ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "وَإِنْ تَغَيَّبَ عَنْكَ مَا لَمْ يَصِلْ، أَوْ تَجِدْ فِيهِ أَثَرَ غَيْرِ سَهْمِكَ". قَالَ: أَفْتِنِي فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ إِذَا اضُّطُرِرْنَا إِلَيْهَا. قَالَ: "اغْسِلْهَا وَكُلْ فِيهَا".


Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Minhal Ad-Darir (yang tuna netra), telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Mu’allim, dari Amr ibnu Syu'aib,

dari ayahnya, dari kakek­nya, bahwa seorang Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai anjing yang terlatih untuk berburu, maka berilah aku fatwa mengenai hasil

buruannya." Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Jika kamu mempunyai anjing yang terlatih, maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu. Abu Sa'labah bertanya lagi, "Baik sempat disembelih, tidak sempat disembelih,

dan sekalipun anjing itu memakan sebagiannya." Nabi Saw. menjawab: Ya, sekalipun anjing itu memakan sebagiannya. Abu Sa'labah bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, berilah aku fatwa mengenai berburu dengan panahku." Rasulullah Saw.

menjawab: Makanlah apa yang dihasilkan oleh anak panahmu. Abu Sa'labah berkata, "Baik dalam keadaan sempat disembelih atau­pun tidak sempat disembelih?" Nabi Saw. bersabda: Dan sekalipun hilang dari pencarianmu selagi masih belum

membusuk atau kamu menemukan padanya bekas anak panah se­lain anak panahmu. Abu Sa'labah bertanya, "Berilah daku fatwa mengenai wadah milik orang-orang Majusi jika kami terpaksa memakainya." Nabi Saw. ber­sabda:

Cucilah terlebih dahulu, lalu makanlah padanya.Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud.Imam Nasai mengetengahkannya —demikian pula Imam Abu Daud— melalui jalur Yunus ibnu Saif, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Sa'labah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"


Apabila kamu melepaskan anjingmu dan kamu sebutkan nama Allah, maka makanlah, sekalipun anjingmu telah memakan se­bagiannya, dan makan pulalah apa yang berhasil kamu tarik dengan tanganmu.

Sanad kedua hadis ini jayyid (baik). As-Sauri meriwayatkan dari Sammak ibnu Harb, dari Addi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"مَا كَانَ مِنْ كَلْبٍ ضَارٍّ أَمْسَكَ عَلَيْكَ، فَكُلْ". قُلْتُ: وَإِنْ أَكَلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ".


Apa yang ditangkap oleh anjing terlatihmu untuk kamu, makan- Abu Salabah bertanya, "Sekalipun anjing itu memakannya?" Nabi Saw menjawab.”Ya."Abdul Malik ibnu Habib meriwayatkan, telah menceritakan ke­pada kami Asad ibnu Musa,

dari Ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi, dari Addi hal yang semisal. Semua asar yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dimaafkan memakan hasil buruan anjing pem­buru, sekalipun anjing telah memakan sebagiannya.

Asar-asar ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat tidak haram hasil buruan yang dimakan oleh anjing pemburunya atau hewan pemburu lainnya, seperti dalam keterangan di atas dari orang-orang yang kami ketengahkan

pendapatnya.Tetapi ulama lainnya bersikap pertengahan. Untuk itu mereka mengatakan, "Jika anjing pemburu memakan hewan tangkapannya se­habis menangkapnya, maka hal ini diharamkan,"

karena berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim yang disebutkan di atas, juga karena Illat (pe­nyebab) yang diisyaratkan oleh Nabi Saw. melalui sabdanya:


"فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ"


Dan jika anjingmu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu me­nangkapnya untuk dirinya sendiri.Jika anjing tersebut menangkapnya, kemudian menunggu-nunggu tuannya

dan tidak kunjung datang, hingga ia lama menunggu dan lapar, lalu ia makan sebagian tangkapannya karena lapar. Maka dalam keadaan seperti ini tidak mempengaruhi kehalalannya, dan bukan ter­masuk yang diharamkan.

Mereka mendasari pendapatnya dengan ha­dis Abu Sa'labah Al-Khusyani. Pemisahan atau rincian ini dinilai cu­kup baik, menggabungkan makna di antara kedua hadis yang sahih tadi. Sehingga Al-Ustaz Abul Ma'ali Al-Juwaini

dalam kitab Nihayah-nya mengatakan, "Seandainya saja masalah ini dirincikan secara mendetail seperti ini." Memang Allah telah mengabulkan apa yang dicita-citakannya. Pendapat yang rinci ini ternyata dikatakan oleh se­jumlah sahabat.

Ulama lainnya sehubungan dengan masalah ini mempunyai pen­dapat yang keempat, yaitu memisahkan antara anjing pemburu yang memakan, hukumnya haram berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim; dan antara burung pemangsa dan lain-lainnya

yang sejenis yang makan, hukumnya tidak haram, karena burung tidak dapat diajari dan tidak akan mengerti kecuali hanya memakan hewan buruannya.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ku­raib, telah menceritakan

kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibani, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan sehubungan de­ngan masalah burung pemburu yang dilepaskan untuk memburu

buruannya; ternyata ia membunuhnya, maka hasil buruannya boleh dima­kan. Sesungguhnya anjing itu jika kamu pukul, maka ia tidak mau memakannya, tetapi mengajari burung pemburu untuk kembali kepa­da pemiliknya (tuannya)

bukan dengan cara memukulnya. Karena itu, bila burung pemburu memakan sebagian dari tangkapannya dan telah mencabuti bulu hewan buruannya, maka hewan buruannya masih bo­leh dimakan. Demikianlah

menurut pendapat Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman.Mereka mengatakan demikian berdalilkan sebuah hadis yang di­riwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, yaitu:


حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، حَدَّثَنَا مُجالد، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَصِيدُ بِالْكِلَابِ وَالْبُزَاةِ، فَمَا يَحِلُّ لَنَا مِنْهَا؟ قَالَ: "يَحِلُّ لَكُمْ مَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ، فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ" ثُمَّ قَالَ: "مَا أَرْسَلْتَ مِنْ كَلْبٍ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلَ؟ قَالَ: "وَإِنْ قَتَلَ، مَا لَمْ يَأْكُلْ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ خَالَطَتْ كِلَابُنَا كِلَابًا غَيْرَهَا؟ قَالَ: فَلَا تَأْكُلْ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ كَلْبَكَ هُوَ الَّذِي أَمْسَكَ". قَالَ: قُلْتُ: إِنَّا قَوْمٌ نَرْمِي، فَمَا يَحِلُّ لَنَا؟ قَالَ: "مَا ذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وخزَقَتْ فَكُلْ ".


telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulul­lah Saw.,

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anjing dan elang pemburu, apa­kah yang dihalalkan untuk kami darinya?" Rasulullah Saw. menja­wab: Dihalalkan bagi kalian buruan

yang ditangkap oleh binatang pe­mangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berbu­ru: kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian,

dan sebutlah nama Allah atas binatang pemangsa itu (waktu melepasnya). Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Dan anjing pemburu yang kamu lepaskan dengan menyebut nama Allah atas anjing itu (ketika melepasnya),

maka makanlah olehmu hewan tangkapannya yang ditangkap untukmu. Aku (Addi ibnu Hatim) bertanya, "Sekalipun hewan tangkapannya itu telah membunuhnya." Rasulullah Saw. bersabda: Sekalipun telah membunuhnya

selagi ia tidak memakannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika anjing-anjing kami dicampur dengan anjing-anjing lainnya (dalam perburuan itu)?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Jangan kamu makan

(hasil tangkapannya) sebelum kamu menge­tahui bahwa anjingmulah yang menangkapnya. Aku bertanya, "Sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anak panah, maka apakah yang dihalalkan bagi kami?"

Rasulullah Saw. menjawab: Selagi kamu membacakan nama Allah atasnya dan panahmu me­nembusnya, maka makanlah.Segi penyimpulan dalil yang dilakukan oleh mereka ialah bahwa da­lam berburu disyaratkan memakai anjing pemburu;

hendaknya anjing tidak memakan hasil tangkapannya, hal ini tidak disyaratkan dalam berburu memakai burung elang. Hal ini menunjukkan adanya per­bedaan di antara keduanya dalam masalah hukum. Firman Allah Swt.:


{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ}


Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)Membaca bismillah dilakukan sewaktu melepasnya, seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Addi ibnu Hatim melalui sabdanya, yaitu:


"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ، فَكُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ"


Apabila kamu lepas anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah, maka makanlan apa yang ditangkapnya untukmu.Di dalam hadis Abu Sa'labah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain disebutkan pula:


"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ، فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وَإِذَا رَمَيْتَ بِسَهْمِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ"


Apabila kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma Allah; dan apabila kamu melepas anak panahmu, sebutlah asma Allah.Karena itulah sebagian dari para imam —seperti Imam Ahmad— me­nurut pendapat yang masyhur darinya mensyaratkan

bacaan tasmiyah (bismillah) waktu melepas anjing pemburu dan anak panahnya, berda­sarkan ayat dan hadis ini. Pendapat yang sama dikatakan oleh jumhur ulama menurut qaul yang masyhur dari mereka, yaitu makna yang di­maksud

dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu melepasnya. Demikianlah menurut As-Saddi dan lain-lainnya.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu

(waktu melepas­nya). (Al-Maidah; 4); Bahwa apabila kamu melepas hewan pemangsamu, ucapkanlah bis­millah. Tetapi jika kamu lupa membacanya, maka tidak ada dosa atas dirimu (tidak apa-apa).Sebagian ulama mengatakan

bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu hendak makan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain,


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّم رَبِيبه عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ: "سَمّ اللَّهَ، وكُل بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"


bahwa Rasulullah Saw. mengajari anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sebutlah asma Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah (makanan) yang dekat denganmu. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan:


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا -حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ-بلُحْمانٍ لَا نَدْرِي أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ فَقَالَ: "سَمّوا اللَّهَ أَنْتُمْ وكلوا."


dari Siti Aisyah r.a bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada suatu kaum yang baru masuk Islam datang kepada kami dengan membawa dua jenis daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebut nama Allah

(ketika menyembelihnya) atau tidak." Rasulullah Saw. bersab­da: Sebutlah nama Allah oleh kalian sendiri, lalu makanlah.Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ بُدَيل، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيد بْنِ عُمَير، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِي سِتَّةِ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ أَوَّلَهُ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ".


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang sahabat­nya,

lalu datanglah seorang Arab Badui yang langsung ikut makan se­banyak dua suap. Maka Nabi Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia membaca nama Allah, nis­caya makanan ini cukup buat kalian. Maka apabila seseorang

di antara kalian memakan makanan, hendaklah ia menyebut nama Allah. Jika ia lupa menyebut nama Allah pada permulaannya, hendaklah ia membaca, "Bismillahi awwalahu wa akhirahu" (Dengan menyebut asma Allah pada permulaan dan akhirnya).

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun dengan lafaz yang sama.Hadis ini munqati' (terputus) antara Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Siti Aisyah,

karena sesungguhnya dia belum pernah men­dengar dari Siti Aisyah hadis ini. Sebagai buktinya ialah sebuah riwa­yat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ، أَخْبَرْنَا هِشَامٌ -يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الدَّسْتَوائي-عَنْ بُدَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ؛ أَنَّ امْرَأَةً مِنْهُمْ -يُقَالُ لَهَا: أُمُّ كُلْثُومٍ-حَدَّثَتْهُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ طَعَامًا فِي سِتَّةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ جَائِعٌ فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَوْ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ اسْمَ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ "


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan ke­pada kami Hisyam (yakni Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwai'), dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, bahwa ada seorang wanita

dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Ummu Kalsum telah menceritakan kepadanya dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang sahabatnya. Lalu datanglah seorang Arab Badui yang sedang lapar,

maka orang Badui itu langsung ikut makan sebanyak dua suap. Nabi Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia menyebut nama Allah, nis­caya (makanan ini) cukup bagi kalian. Karena itu, apabila sese­orang di antara kalian makan,

hendaklah terlebih dahulu menye­ru: nama Allah. Dan jika ia lupa menyebut-Nya pada permulaan makan, hendaklah ia mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan akhirnya."Hadis diriwayatkan pula oleh

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Hisyam Ad-Dustuwai' dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bah­wa hadis ini hasan sahih.Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ صُبْحٍ حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخُزَاعِيُّ، وَصَحِبْتُهُ إِلَى وَاسِطٍ، فَكَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ طَعَامِهِ وَفِي آخِرِ لُقْمَةٍ يَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّكَ تُسَمِّي فِي أَوَّلِ مَا تَأْكُلُ، أَرَأَيْتَ قَوْلَكَ فِي آخِرِ مَا تَأْكُلُ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ؟ فَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ ذَلِكَ إِنَّ جَدِّي أُمِّيَّةَ بْنَ مُخَشَّى -وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-سَمِعْتُهُ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا كَانَ يَأْكُلُ، وَالنَّبِيُّ يَنْظُرُ، فَلَمْ يُسَمِّ، حَتَّى كَانَ فِي آخِرِ طَعَامِهِ لُقْمَةٌ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَاللَّهِ مَا زَالَ الشَّيْطَانُ يَأْكُلُ مَعَهُ حَتَّى سَمّى، فَلَمْ يَبْقَ شَيْءٌ فِي بَطْنِهِ حَتَّى قَاءَهُ ".


Dikatakan bahwa te­lah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Subh, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i

yang berguru kepada Wasit. Dia selalu meng­ucapkan bismillah pada permulaan makan, dan pada akhir suapannya dia mengucapkan bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan menye­but nama Allah pada permulaan makan dan kesudahannya).

Maka aku (Jabir ibnu Subh) bertanya kepadanya.”Sesungguhnya kamu mem­baca bismillah pada permulaan makanmu, tetapi mengapa engkau se­sudah makan mengucapkan kalimat bismillahi awwalahu wa akhira­hu?"

Al-Musanna ibnu Abdur Rahman menjawab, "Aku akan men­ceritakan kepadamu bahwa kakekku (yaitu Umayyah ibnu Makhsyi, salah seorang sahabat Nabi Saw.) pernah kudengar menceritakan ha­dis berikut, bahwa ada seorang lelaki

sedang makan, ketika itu Nabi Saw. melihatnya, dan lelaki itu tidak membaca bismillah; hingga pada akhir suapannya dia baru mengucapkan, "Dengan nama Allah pada permulaan makan dan kesudahannya. Maka Nabi Saw. bersabda: 'Demi Allah,

setan masih terus makan bersamanya hingga ia membaca tasmiyah (bismillah). maka tidak ada suatu makanan pun yang ada dalam perut setan melainkan setan memuntahkan­nya (karena bacaan bismillah itu)'."Hal yang sama diriwayatkan

oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasa’i melalui hadis Jabir ibnu Subh Ar-Rasi Abu Bisyr Al-Basri. Ibnu Mu'in menilainya siqah, begitu pula Imam Nasai. Tetapi Abul Fat Al-Azdi mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujah. Hadis lain.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ خَيْثَمَة، عَنْ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: وَاسْمُهُ سَلَمَةُ بْنُ الْهَيْثَمِ بْنِ صُهَيْبٍ -مِنْ أَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ-عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عَلَى طَعَامٍ، لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فَيَضَعُ يَدَهُ، وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ، كَأَنَّمَا تُدفع، فَذَهَبَتْ تَضَعُ يَدَهَا فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهَا، وَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ كَأَنَّمَا يُدفع، فَذَهَبَ يَضَعُ يَدَهُ فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] بِيَدِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِذَا لَمْ يُذْكِرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا، فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا، وَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَابِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ، فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهِمَا يَعْنِي الشَّيْطَانَ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah, dari Abu Huzaifah yang menurut Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Imam Ahmad disebutkan bahwa

Abu Hu­zaifah ini nama aslinya adalah Salamah ibnul Haisam ibnu Suhaib, salah seorang murid sahabat Ibnu Mas'ud. Ia menceritakan hadis ini dari Huzaifah yang menceritakan, "Kami apabila menghadiri suatu jamuan bersama Nabi Saw.,

kami tidak berani menyentuh makanan terlebih dahulu sebelum Rasulullah Saw. memulainya. Ketika kami sedang menghadiri suatu jamuan, tiba-tiba datanglah seorang budak wanita, seakan-akan ada yang mendorongnya,

lalu budak wanita itu langsung meletakkan tangannya pada jamuan makanan yang ada. Maka Rasulullah Saw. menahan tangan budak wanita itu. Lalu datang pula seorang Arab Badui, seakan-akan ada yang mendorongnya dan langsung hendak

mengambil makanan. Maka Rasulullah Saw. meme­gang tangan orang Badui itu, lalu bersabda: Sesungguhnya setan menghalalkan makanan jika tidak disebut­kan nama Allah atasnya, dan sesungguhnya setan datang dengan budak wanita ini

untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Dan setan datang pula dengan orang Arab Badui ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya,

sesungguhnya tangan setan itu kupegang dengan tanganku ber­sama tangan keduanya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.Hadis lain. Imam Muslim dan Ahlus Sunan selain Imam Turmuzi meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij:


عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيت لَكُمْ وَلَا عَشَاء، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، فَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ".


dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya, lalu ia menyebut nama Allah ketika memasukinya, juga ketika hendak makan, ma­ka setan berkata.

”Tiada tempat menginap dan tiada makan ma­lam bagi kalian (ditujukan kepada sesamanya)." Tetapi jika sese­orang memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya),

"Kalian telah menjumpai tempat menginap." Dan apabila ia tidak menye­but nama Allah ketika hendak makan, maka setan berkata, "Ka­lian telah menjumpai tempat menginap dan makan malam."Demikianlah menurut lafaz Imam Abu Daud. Hadis lain.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشِيّ بْنِ حَرْب بْنِ وَحْشِي بْنِ حَرْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا نَأْكُلُ وَمَا نَشْبَعُ؟ قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ "


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, tlari ayahnya, dari ka­keknya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw.,

"Sesung­guhnya kami makan, tetapi kami tidak pernah merasa kenyang." Nabi Saw. bersabda: Barangkali kalian makan terpisah-pisah (sendiri-sendiri), seka­rang berjamaahlah dalam menyantap makanan kalian dan sebut­lah nama Allah,

niscaya kalian diberkati dalam makanan kalian.Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui ja­lur Al-Walid ibnu Muslim.

Surat Al-Maidah |5:5|

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

al-yauma uḥilla lakumuth-thoyyibaat, wa tho'aamullażiina uutul-kitaaba ḥillul lakum wa tho'aamukum ḥillul lahum wal-muḥshonaatu minal-mu`minaati wal-muḥshonaatu minallażiina uutul-kitaaba ming qoblikum iżaaa aataitumuuhunna ujuurohunna muḥshiniina ghoiro musaafiḥiina wa laa muttakhiżiii akhdaan, wa may yakfur bil-iimaani fa qod ḥabitho 'amaluhuu wa huwa fil-aakhiroti minal-khoosiriin

Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.

This day [all] good foods have been made lawful, and the food of those who were given the Scripture is lawful for you and your food is lawful for them. And [lawful in marriage are] chaste women from among the believers and chaste women from among those who were given the Scripture before you, when you have given them their due compensation, desiring chastity, not unlawful sexual intercourse or taking [secret] lovers. And whoever denies the faith - his work has become worthless, and he, in the Hereafter, will be among the losers.

Tafsir
Jalalain

(Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik) artinya yang enak-enak (Dan makanan-makanan orang-orang yang diberi kitab) maksudnya sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani (halal bagi kamu dan makananmu)

yang kamu sajikan kepada mereka (halal pula bagi mereka. Dan wanita-wanita yang merdeka di antara wanita-wanita mukmin serta wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu)

halal pula kamu kawini (apabila kamu telah membayar maskawin mereka) atau mahar (dengan maksud mengawini mereka) sehingga terpelihara kehormatan (bukan dengan maksud berzina) dengan mereka secara terang-terangan

(dan bukan pula untuk mengambil mereka sebagai gundik) atau melakukan perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi. (Dan siapa yang kafir terhadap iman) artinya murtad (maka sungguh telah hapuslah amalnya)

amal saleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala (dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi) yakni jika ia meninggal dalam keadaan demikian itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 5 |

Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:


{الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ}


pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. (Al-Maidah: 5)Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Ki­tab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui fir­man-Nya:


{وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ}


Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan

mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa se­sungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim,

karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Swt.

Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri

seraya ber­kata, "Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi Saw. yang memandangnya se­raya tersenyum.Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan sejenisnya

yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebe­lum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil

dari hadis ini sebagai ban­tahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang me­nurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka.

Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya: Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak

dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya

berkaitan dengan masalah 'ain (barang), ka­rena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.

Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirim­kan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya.

Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali.

Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia.

Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka

membuang darinya hal-hal yang menu­rut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak?Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti

yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu'man ibnul Munzir, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah Swt. me­nurunkan firman-Nya:


{وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ}


Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak di­sebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al-An'am: 121)Kemudian Allah Swt. me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ}


Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab

dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bo­lehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atas­nya,

mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual. Karena itulah dila­rang memakan sembelihan selain mereka

(Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musy­rik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sem­belihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak

bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah serta orang-orang yang

mengakui dirinya memegang aga­ma Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah sa­tu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab,

seperti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan

kepada ka­mi Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Janganlah kalian mema­kan sembelihan Bani Taglab,

karena sesungguhnya mereka meme­gang agama Nasrani hanya kepada masalah meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan

dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan mem­bolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Tag­lab.Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka

karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pen­dapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi,

salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai su­atu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad

yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada ke­umuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang mengatakan:


"سُنوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ"


Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahli Kitab.Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya. mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:


أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجوس هَجَر


Bahwa Rasulullah Saw. memungut jizyah dari orang-orang Ma­jusi tanah Hajar.Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ}


Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lain­nya tidak halal. Firman Allah Swt.:


{وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ}


dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka. (Al-Maidah: 5)Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang

dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.

Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sem­belihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembe­lihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab

'Timbal Balik dan Sa­ling Memberi". Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi Saw. dipakai­kan kepadanya

sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa da­hulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw. membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi. Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:


"لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ"


Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang disunatkan, bukan perintah wajib. Firman Allah Swt.:


{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ}


Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehor­matannya di antara wanita-wanita yang beriman. (Al-Maidah: 5)Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang ber­iman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:


{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم}


dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesung­guhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang di­maksud oleh

Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Muja­hid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya

yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi,

sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Se­hingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa "dapat kurma buruk dan takaran yang rusak".


Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari per­buatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:


{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}


sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bu­kan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki se­bagai piaraannya. (An-Nisa: 25)Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna

yang dimaksud dengan firman-Nya: dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara

kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari ka­langan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:


قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ


Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan ti­dak (pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan,

"Aku tidak mengetahui suatu kemusyrik­an yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhan­nya adalah Isa. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:


{وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ}


'Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman' (Al-Baqarah: 221)."Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Hatim ibnu Su­laiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa

diturunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya:

dam wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab. Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat

yang menikahi wanita-wani­ta Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena ber­dasarkan firman-Nya: dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)

Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) sekalipun bila dikatakan bahwa

wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya; bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di da­lam firman-Nya:


{لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ}


Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agama­nya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)


{وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا} الآية


Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) ma­suk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka te­lah mendapat petunjuk. (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah Swt.:


{إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ}


bila kalian telah membayar maskawin mereka. (Al-Maidah: 5)Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawin­nya dengan senang hati.Jabir ibnu Abdullah,

Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan

mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pi­hak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.Firman Allah Swt.:


{مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ}


dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5)Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zi­na pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan

pula pada pihak la­ki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan 'tidak dengan maksud berzina’ dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah

kapok melakukan maksiat dan tidak pernah meno­lak terhadap wanita yang datang kepadanya.Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah.

Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya.

Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya. Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad ni­kah kepada seorang wanita

yang memelihara kehormatannya, sebe­lum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:


"لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ."


Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan

kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Ha­san yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku berniat

tidak akan membiarkan seseorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya." Maka Ubay ibnu Ka'b r.a. berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat." Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:


{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzi­na atau laki-laki yang musyrik,

dan yang demikian itu diharam­kan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:


{وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}


Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hu­kum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari ki­amat termasuk orang-orang merugi (Al-Maidah: 5)

Surat Al-Maidah |5:6|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

yaaa ayyuhallażiina aamanuuu iżaa qumtum ilash-sholaati faghsiluu wujuuhakum wa aidiyakum ilal-maroofiqi wamsaḥuu biru`uusikum wa arjulakum ilal-ka'baiin, wa ing kuntum junuban faththohharuu, wa ing kuntum mardhooo au 'alaa safarin au jaaa`a aḥadum mingkum minal-ghooo`ithi au laamastumun-nisaaa`a fa lam tajiduu maaa`an fa tayammamuu sho'iidan thoyyiban famsaḥuu biwujuuhikum wa aidiikum min-h, maa yuriidullohu liyaj'ala 'alaikum min ḥarojiw wa laakiy yuriidu liyuthohhirokum wa liyutimma ni'matahuu 'alaikum la'allakum tasykuruun

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci), usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.

O you who have believed, when you rise to [perform] prayer, wash your faces and your forearms to the elbows and wipe over your heads and wash your feet to the ankles. And if you are in a state of janabah, then purify yourselves. But if you are ill or on a journey or one of you comes from the place of relieving himself or you have contacted women and do not find water, then seek clean earth and wipe over your faces and hands with it. Allah does not intend to make difficulty for you, but He intends to purify you and complete His favor upon you that you may be grateful.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, jika kamu berdiri) maksudnya hendak berdiri (mengerjakan sholat) dan kamu sedang berhadas (maka basuhlah muka dan tanganmu sampai ke siku)

artinya termasuk siku itu sebagaimana diterangkan dalam sunah (dan sapulah kepalamu) ba berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya tanpa mengalirkan air.

Dan ini merupakan isim jenis, sehingga dianggap cukup bila telah tercapai sapuan walaupun secara minimal, yaitu dengan disapunya sebagian rambut.

Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii (dan kakimu) dibaca manshub karena diathafkan kepada aidiyakum; jadi basuhlah tetapi ada pula yang membaca dengan baris di bawah/kasrah dengan diathafkan kepada yang terdekat

(sampai dengan kedua mata kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadis. Dua mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah betis dengan tumit.

Dan pemisahan di antara tangan dan kaki yang dibasuh dengan rambut yang disapu menunjukkan diharuskannya/wajib berurutan dalam membersihkan anggota wudu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafii.

Dari sunah diperoleh keterangan tentang wajibnya berniat seperti halnya ibadah-ibadah lainnya. (Dan jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah) maksudnya mandilah (dan apabila sakit) yang akan bertambah parah

dengan menyentuh air (atau dalam perjalanan) musafir (atau kamu kembali dari tempat buang air) artinya berhadas (atau menyentuh wanita) hal ini telah dibicarakan dulu pada surah An-Nisa

(lalu kamu tidak memperoleh air) yakni setelah mencarinya (maka bertayamumlah) dengan mencari (tanah yang baik) tanah yang bersih (sapulah muka dan tanganmu) beserta kedua siku (dengan tanah itu) dengan dua kali pukulan.

Ba menunjukkan lengket sementara sunah menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah hendaklah sapuan itu meliputi kedua anggota secara keseluruhan (Allah tidaklah hendak menyulitkan kamu) dengan kewajiban-kewajiban berwudu,

mandi atau tayamum itu (tetapi Dia hendak menyucikan kamu) dari hadas dan dosa (dan hendak menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu) yakni dengan Islam dengan menerangkan syariat-syariat agama (semoga kamu bersyukur) atas nikmat-Nya itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 6 |

Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:


{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ}


Apabila kalian hendak mengerjakan salat. (Al-Maidah: 6)Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedang¬kan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hen¬dak mengerjakan salat. Kedua makna tersebut

berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu. Ayat ini memerintahkan berwudu di saat hendak mengerjakan salat; tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib,

sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat.Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَلْقَمَة بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدة عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، وَصَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَفْعَلُهُ؟ قَالَ: "إِنِّي عَمْدًا فَعَلْتُهُ يَا عُمَرُ.


Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan ke¬pada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayah¬nya yang menceritakan

bahwa dahulu Nabi Saw. selalu wudu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang khuff-nya serta mela¬kukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu.

Maka Umar berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguh¬nya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah engkau la¬kukan sebelumnya." Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya aku melakukannya dengan sengaja, hai Umar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedang¬kan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti

dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادِ بْنِ مُوسَى، أَخْبَرْنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الطُّفَيْلِ الْبَكَّائِيُّ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ المُبَشِّر قَالَ: رَأَيْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يُصَلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ، فَإِذَا بَالَ أَوْ أَحْدَثَ، تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِفَضْلِ طَهُوره الْخُفَّيْنِ. فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، شَيْءٌ تَصْنَعُهُ بِرَأْيِكَ؟ قَالَ: بَلْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ، فَأَنَا أَصْنَعُهُ، كَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] يَصْنَعُ.


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham¬mad ibnu Abbad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnut Tufail Al-Buka-i, telah menceritakan kepada ka¬mi Al-Fadl ibnul Mubasysyir yang mengatakan

bahwa ia pernah me¬lihat Jabir ibnu Abdullah melakukan beberapa kali salat (fardu) dengan sekali wudu. Apabila ia buang air kecil atau berhadas, maka barulah ia wudu lagi dan mengusap sepasang khuff-nya. dengan lebihan air wudunya.

Maka aku (Al-Fadl ibnul Mubasysyir) bertanya, "Wahai Abu Ab¬dullah, apakah sesuatu yang engkau lakukan ini berdasarkan pendapatmu sendiri?" Jabir ibnu Abdullah menjawab, 'Tidak, bahkan aku pernah meli¬hat Nabi Saw. melakukannya,

dan sekarang aku melakukan seperti apa yang kulihat Rasulullah Saw. melakukannya."Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Buka-i.


قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ حَبَّان الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قُلْتُ لَهُ: أَرَأَيْتَ وُضُوءَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ، عَمَّن هُوَ؟ قَالَ: حَدَّثَتْهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ؛ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرِ بْنِ الْغَسِيلِ حَدَّثَهَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أُمِرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا كَانَ أَوْ غَيْرَ طَاهِرٍ، فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ وَوُضِع عَنْهُ الْوُضُوءَ، إِلَّا مِنْ حَدَثٍ. فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَرَى أَنَّ بِهِ قُوَّةً عَلَى ذَلِكَ، كَانَ يَفْعَلُهُ حَتَّى مَاتَ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.

Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, "Bagaimanakah menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sum¬bernya?"

Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan berwudu untuk setiap salat,

baik dalam keada¬an suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat olehnya, maka beliau Saw. memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan salat dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas. Tetapi Abdullah

merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap salat, dia selalu melakukannya hingga meninggal dunia.Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi,

Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa'd meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa

Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadis yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.Walau bagaimanapun juga sanad hadis ini sahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah

menceritakan hadis ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hib¬ban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan.Tetapi Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid

meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafaz yang sama.Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik

untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkan¬dung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu mela¬kukan wudu untuk setiap salat.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah men¬dengar dari Mas'ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah

mengatakan bahwa sahabat Ali r.a. se¬lalu melakukan wudunya untuk setiap salat, lalu ia membaca firman-Nya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger¬jakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.

Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang me¬ngatakan bahwa ia pernah melihat

sahabat Ali salat Lohor, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah. Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali r.a. membasuh wajah dan kedua tangannya,

kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas."Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah mence¬ritakan kepada kami Hasyim,

dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Kha¬lifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu mela¬kukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, "Inilah ca¬ra wudu orang yang tidak berhadas."

Jalur-jalur periwayatan asar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali r.a., sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami

Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan suatu wudu agak singkat, lalu ia mengata¬kan, "Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas." Sanad asar ini sahih.

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, da¬ri Abu Hilal, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan

bahwa melakukan wudu tanpa hadas merupakan perbuatan yang melampaui batas. Maka asar ini berpredikat garib dari Sa'id ibnul Musayyab. Kemudian asar ini dapat diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ditujukan terhadap orang

yang meyakininya sebagai hal yang wajib, barulah ia dikatakan sebagai orang yang melampaui batas. Mengenai pentasyrian sunat wudu untuk setiap kali salat, maka banyak sunnah yang menunjukkan hal tersebut.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ الْأَنْصَارِيِّ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ، قَالَ: قُلْتُ فَأَنْتُمْ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّي الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ نُحْدِثْ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ab¬dur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, da¬ri Amr ibnu Amir Al-Ansari; ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi Saw.

sering melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya, "Bagai¬mana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?" Anas ibnu Malik r.a. menjawab, "Kami (para sahabat) melakukan

semua salat hanya dengan sekali wudu selagi kami tidak berha¬das."Imam Bukhari meriwayatkannya —begitu pula Ahlus Sunan— melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafaz yang sama.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، عَنْ هُرَيم، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زِيَادٍ -هُوَ الْإِفْرِيقِيُّ-عَنْ أَبِي غُطَيف، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْر كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ ".


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Man¬sur, dari Harim, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa

Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang melakukan wudu dalam keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Isa ibnu Yunus, dari Al-Afriqi, dari Abu Auf,

dari Ibnu Umar, lalu ia menuturkan ha¬dis ini yang di dalamnya terdapat suatu kisah.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Al-Afriqi dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa sanad hadis berpredikat daif.Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyata¬kan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila

hendak mengerjakan sa¬lat saja; adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak. Demikian itu ka¬rena Rasulullah Saw. apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.Telah menceritakan kepada kami

Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa dahulu

Rasulullah Saw. apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau Saw. tidak mau berbicara dengan kami; dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau Saw. tidak mau men¬jawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah,

yaitu firman-Nya yang me¬ngatakan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger¬jakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Muslim, da¬ri Abu Kuraib dengan lafaz

yang semisal dan sanad yang sama, tetapi hadis ini garib jiddan (aneh sekali). Jabir yang disebutkan di dalam sanadnya adalah Ibnu Zaid Al-Ju'fi, dinilai daif oleh mereka.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم خَرَجَ مِنَ الْخَلَاءِ، فَقُدِّم إِلَيْهِ طَعَامٌ، فَقَالُوا: أَلَا نَأْتِيكَ بوَضُوء فَقَالَ: "إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلَاةِ.


Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceri¬takan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw.

baru saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka (para sahabat) menawarkan, "Maukah kami datangkan untukmu air untuk wudu?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya aku

diperintahkan untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan salat.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dari Ahmad ibnu Mani', juga oleh Imam Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi me¬ngatakan bahwa hadis ini hasan.


وَرَوَى مُسْلِمٌ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى الْخَلَاءَ، ثُمَّ إِنَّهُ رَجَعَ فَأُتِيَ بِطَعَامٍ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ: "لِمَ؟ أَأُصْلِي فَأَتَوَضَّأُ؟ ".


Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Ketika kami berada di rumah Nabi Saw., Nabi Saw.

memasuki kakus dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau hendak wudu lebih dahulu?' Rasulullah Saw. menja¬wab melalui sabdanya: Aku bukan akan melakukan salat yang karenanya aku harus wudu.Allah Swt.:


{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ}


maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6)Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); sebagai dalil bagi mereka

yang menyatakan wajib berniat dalam wu¬du. Karena penjabaran makna firman-Nya: Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); Yakni demi hendak mengerjakan salat.

Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab,"Apabila kamu melihat amir, berdirilah” yak¬ni untuk menghormatinya.Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengata¬kan:


"الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى".


Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang diniat¬kannya.Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut asma Allah Swt. se¬bagai permulaan wudunya,

karena berdasarkan sebuah hadis yang di¬riwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid dari sejumlah sahabat, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ".


Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum mema¬sukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi kesunatannya

bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengata¬kan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِه، فَلَا يُدخل يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ أَنْ يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّ أحدَكم لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ"


Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum mem¬basuhnya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui di manakah

tangannya berada semalam.Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuh¬nya rambut —dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala)— sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut,

menurut ukuran panjangnya.' Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut,

apakah termasuk kepala atau muka —dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas— ada dua pendapat.Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka.

Diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:


"اكْشِفْهَا، فَإِنَّ اللِّحْيَةَ مِنَ الْوَجْهِ"


Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wa¬jah.Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidak¬kah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan de¬ngan anak laki-laki remaja

yang tumbuh janggutnya, mereka menga¬takannya, 'Telah tampak roman mukanya."Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyelai rambut jang¬gutnya jika tebal.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ عَامِرِ بْنِ شَقِيقِ بْنِ جَمْرَة، عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ -فَذَكَرَ الْحَدِيثَ-قَالَ: وَخَلَّلَ اللِّحْيَةَ ثَلَاثًا حِينَ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ الَّذِي رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan ke¬pada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata

Khalifah Usman menyela-nyelai rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh muka¬nya. Kemudian ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui ha¬dis Abdur Razzaq, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.


قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَة الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ، حَدَّثَنَا أَبُو المَلِيح، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ زَوْرَانَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ، يُخَلِّلُ بِهِ لِحْيَتَهُ، وَقَالَ: "هَكَذَا أَمَرَنِي بِهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.


Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi' ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw.

apabila hendak mela¬kukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangan¬nya, kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nye¬lai janggutnya dengan air itu. Dan bersabda: Beginilah cara yang diperintahkan

oleh Tuhanku.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehubungan dengan masalah

menyela-nyelai janggut sebuah hadis dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi Saw. Kemu¬dian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya

dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha'i dan segolongan dari kalangan tabi'in.Di dalam berbagai kitab sahih disebutkan dari Nabi Saw. melalui berbagai jalur —juga dalam kitab-kitab lainnya— bahwa Nabi Saw.

apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan ber-intinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan

oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadis yang di¬riwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah,

dari Rifa'ah ibnu Rafi' Az-Zurqi, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang yang melakukan salatnya tidak baik:


"تَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ"


Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada¬mu!Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah; atau yang diwajibkan ha¬nya istinsyaq, bukan berkumur,

seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ"


Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.Menurut riwayat yang lain disebutkan:


"إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي مَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ"


Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah.Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung de¬ngan sedotan yang kuat.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَتَمَضْمَضَ بِهَا وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً فَجَعَلَ بِهَا هَكَذَا، يَعْنِي أَضَافَهَا إِلَى يَدِهِ الْأُخْرَى، فَغَسَلَ بِهِمَا وَجْهَهُ. ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ، فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُمْنَى، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ فَغَسَلَ بِهَا يَدَهُ الْيُسْرَى، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً مِنْ مَاءٍ، ثُمَّ رَشَّ عَلَى رِجْلِهِ الْيُمْنَى حَتَّى غَسْلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ غَرْفَةً أُخْرَى فَغَسَلَ بِهَا رِجْلَهُ الْيُسْرَى، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْنِي يَتَوَضَّأُ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu,

lalu membasuh wajahnya, kemudian men¬ciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan ber-istinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan

untuk membasuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan un¬tuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya,

lalu mengambil seciduk air, kemudian ia tuang¬kan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya hingga mencucinya ber¬sih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan,

"Beginilah cara wudu yang pernah kulihat Rasulullah Saw. melakukannya."Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza'i dengan lafaz yang sama.Firman Allah Swt.:


{وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ}


dan kedua tangan kalian sampai siku. (Al-Maidah: 6)Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada da¬lam firman-Nya:


{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا}


dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. (An-Nisa: 2)


وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَأَبُو بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ، مِنْ طَرِيقِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ جَابِرِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ.


Al-Hafiz Ad-Daruqutni dan Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkan me¬lalui jalur Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Muham¬mad ibnu Aqil, dari kakeknya, dari Jabir ibnu Abdullah yang mence¬ritakan: Rasulullah Saw.

apabila melakukan wudu, memutarkan (merata¬kan) air ke sekitar kedua sikunya.Akan tetapi, Al-Qasim yang disebut dalam sanad hadis ini hadisnya tidak dapat dipakai, dan kakeknya berpredikat daif.

Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya de¬ngan memulainya dari lengan hingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bu¬khari dan Imam Muslim:


مِنْ حَدِيثِ نُعَيم المُجْمِر، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْن يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلين مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّته فَلْيَفْعَلْ".


melalui hadis Na'im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersab¬da: Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya

karena bekas air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kali¬an mampu memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukan¬nya.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:


عَنْ قُتَيْبَة، عَنْ خَلَف بْنِ خَلِيفَةَ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "تَبْلُغُ الحِلْية مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوءُ"


dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja'i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang dikasihinya (yakni Nabi Saw.) bersabda: Perhiasan orang mukmin kelak sampai sebatas yang dicapai oleh air wudunya.Firman Allah Swt.:


{وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ}


dan sapulah kepala kalian. (Al-Maidah: 6)Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab'id; tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan,

karena ada dua pen¬dapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya merujuk kepada sunnah.Di dalam kitab Sahihain disebutkan:


مِنْ طَرِيقِ مَالِكٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ -وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: هَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ، فَدَعَا بِوُضُوءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غسل يديه مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا حَتَّى رَجَعَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ.


melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa seorang lelaki ber¬tanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, yaitu kakek Amr ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi Saw,, "Apakah engkau dapat memperagakan

kepadaku cara wudu Rasulullah Saw.?" Abdullah ibnu Zaid menjawab, "Ya." Lalu ia meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia membasuh kedua ta¬ngannya sebanyak dua kali dan berkumur serta

beristinsyaq se¬banyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjut¬nya ia mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya,

yaitu dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke arah depan, kemu-dian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas teng¬kuknya,

kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula, sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.Di dalam hadis Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. disebutkan hal yang semisal.

Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu'awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. dengan keterangan yang semisal.Di dalam hadis-hadis di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib

menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadis-hadis ini merupakan

keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur'an.Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun. Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii),

sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dina¬makan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempu¬nyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap

sebagian dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi.Tetapi kedua belah pihak berhujan dengan hadis Al-Mugirah ib¬nu Syu'bah yang menceritakan,


تَخَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ: "هَلْ مَعَكَ مَاءٌ؟ " فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ، ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ... وَذَكَرَ بَاقِيَ الْحَدِيثِ،


"Nabi Saw. memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya. Setelah beliau Saw. selesai dari menunaikan hajarnya, beliau bersabda, 'Apakah kamu membawa air?' Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu,

lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhir¬nya kedua tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya

disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan sepasang khuff-nya."Kelanjutan hadis ini disebutkan dengan panjang lebar

di dalam kitab Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi Saw. terbatas hanya mengusap pada ubun-ubun¬nya, karena beliau menyempurnakan

pengusapannya pada bagian ke¬pala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan penger¬tian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadis lain. Disebutkan bahwa beliau Saw.

mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang khuff-nya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya

dengan mengusap pada bagian luar kain serban.Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii.

Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.


فَقَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: عَنْ مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ حُمْران بْنِ أَبَانٍ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ثَلَاثًا فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا، ثُمَّ الْيُسْرَى ثَلَاثًا مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ قَالَ: "مَنْ تَوَضَّأ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحدِّث فِيْهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ ما تقدم من ذنبه ".


Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ata ibnu Yazid Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudunya. Ia memulainya dengan menuangkan air pada

kedua telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, mem¬basuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali,

dan membasuh tangan kiri dengan basuhan yang semisal. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali pula, sama dengan ba¬suhan yang pertama.

Kemudian ia mengatakan bahwa ta telah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini, lalu ia salat dua rakaat tanpa

mengalami hadas pada keduanya, niscaya di¬ampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui jalur Az-Zuhri dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan melalui riwayat Ab¬dullah ibnu Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Usman, tentang gam¬baran wudu yang disebut di dalamnya bahwa ia mengusap kepalanya hanya sekali.

Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali r.a. dengan lafaz yang semisal.Sedangkan orang-orang yang menyunatkan mengulangi usapan atas kepala berpegang kepada pengertian umum hadis yang diriwayatkan

oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Usman r.a., bahwa Rasulullah Saw. melakukan (basuhan dan usapan) wudunya masing-masing sebanyak tiga kali.


وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَد، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ وَرْدَان، حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنِي حُمْرَانُ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ تَوَضَّأَ. - فَذَكَرَ نَحْوَهُ، وَلَمْ يَذْكُرِ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ،- قَالَ فِيهِ: ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ توضأ هَكَذَا وَقَالَ: "مَنْ تَوَضَّأَ دُونَ هَذَا كَفَاهُ.


Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham¬mad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ad-Dahhak ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Wardan, telah menceritakan kepadaku

Abu Salamah ibnu Abdur Rah¬man, telah menceritakan kepadaku Hamran yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudu. Kemudian ia menyebut hadis yang semisal (dengan hadis di atas),

tanpa menyebut berkumur dan istinsyaq. Hamran menyebutkan di dalamnya bahwa kemudian Usman mengusap kepalanya sebanyak tiga kali dan mem¬basuh kedua kakinya sebanyak tiga kali pula. Setelah itu ia berkata,

"Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti ini, lalu beliau Saw. bersabda: 'Barang siapa yang berwudu seperti ini, sudah cukuplah bagi¬nya'."Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud. Kemudian Abu Daud

mengatakan bahwa hadis-hadis Usman di dalam kitab-kitab sahih menunjukkan bahwa dia mengusap kepalanya hanya sekali.Firman Allah Swt.:


{وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ}


dan (basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki. (Al-Maidah: 6)Lafaz arjulakum dibaca nasab karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya:


{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ}


maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian. (Al-Maidah: 6)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah men¬ceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid,

dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas membaca firman-Nya: dan (basuh) kaki kalian. (Al-Maidah: 6); Ia mengatakan bahwa makna ayat ini dikembalikan kepada memba¬suh. Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Urwah,

Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, Ibrahim, Ad-Dahhak, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, dan Ibrahim At-Taiini hal yang semisal.Qiraah ini jelas, maknanya menunjukkan wajib membasuh, se¬perti apa yang dikatakan oleh ulama Salaf.

Berangkat dari pengertian ini ada sebagian orang yang berpendapat wajib tertib dalam wudu, se¬perti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, ia berpendapat berbeda karena ia tidak mensyaratkan

adanya tertib ini. Karena itu, seandainya seseorang membasuh kedua kakinya terlebih dahulu, lalu mengusap kepala; dan membasuh kedua tangan, kemudian membasuh wajah, menurutnya sudah cukup; karena ayat ini memerintahkan agar

anggota-anggota tersebut diba¬suh, dan huruf wawu bukan menunjukkan makna tertib.Jumhur ulama dalam membantah pendapat ini mengemukakan suatu pembahasan menurut caranya masing-masing. Di antara mereka ada yang mengatakan

bahwa ayat ini menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian wajah saat hendak mengerjakan salat, karena pe¬rintahnya memakai huruf fa yang menunjukkan makna ta'qib penger¬tiannya identik dengan tertib (yakni berurutan).

Tidak ada seorang pun yang mengatakan wajib membasuh muka pada permulaannya, ke¬mudian tidak wajib tertib pada basuhan berikutnya. Bahkan hanya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan wajib tertib seperti yang disebutkan

oleh ayat, dan pendapat lainnya mengatakan tidak wajib ter¬tib secara mutlak. Padahal makna ayat menunjukkan wajib memulai basuhan pada bagian muka; diwajibkan tertib pada berikutnya menu¬rut kesepakatan ulama,

mengingat tidak ada bedanya.Di antara mereka ada yang berpendapat, "Kami tidak menerima bahwa huruf wawu tidak menunjukkan kepada pengertian tertib, bah¬kan huruf wawu memang menunjukkan pengertian tertib,

seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama nahwu dan ahli bahasa (saraf) serta sebagian kalangan ulama fiqih. Kemudian kata mereka, 'Seandainya kita hipotesiskan huruf wawu di sini tidak menunjukkan makna tertib secara lugawi (bahasa),

maka ia masih menunjukkan makna tertib menurut pengertian syara' dalam hal yang seharusnya berurutan'."Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang menceritakan bahwa setelah Nabi Saw. melakukan tawaf di Baitullah, beliau keluar dari pintu Safa seraya membacakan firman-Nya:


{إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ}


Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar-syiar Allah. (Al-Baqarah: 158)Kemudian Nabi Saw. bersabda:


"أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"


Aku memulai dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh Allah.Lafaz hadis menurut apa yang ada pada Imam Muslim. Sedangkan menurut lafaz Imam Nasai disebutkan seperti berikut:


"ابْدَءُوا بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ"


Mulailah oleh kalian dengan apa yang (sebutannya) dimulai oleh Allah.Ini merupakan kata perintah, dan sanad hadisnya sahih, maka hal ini menunjukkan wajib memulai dengan apa yang dimulai oleh Allah. Dengan kata lain,

hal ini menunjukkan pengertian tertib menurut syara'.Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa setelah Allah menyebutkan dalam ayat ini suatu gambaran yang menunjukkan penger¬tian tertib pada mulanya, lalu hal-hal yang sama

diputuskan, kemudi¬an disisipkan hal-hal yang diusap di antara dua hal yang dibasuh; hal ini jelas menunjukkan kepada pengertian tertib.Di antara mereka ada ulama yang mengatakan, tidak diragukan lagi bahwa Imam Abu Daud telah meriwayatkan, juga yang lain-lain¬nya,


مِنْ طَرِيقِ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا وُضُوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ"


melalui jalur Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan wudu dengan basuhan dan sapuan sekali pada masing-masing anggotanya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Inilah wudu

yang Allah tidak mau menerima salat kecuali de¬ngannya.Mereka mengatakan, masalahnya tidak terlepas adakalanya beliau Saw. melakukan wudu secara berurutan yang berarti wajib tertib, atau beliau lakukan wudu tanpa tertib,

berarti tidak wajib tertib; hal ini je¬las tidak akan ada orang yang mengatakannya. Dengan demikian, ber¬arti apa yang telah kami sebutkan —yakni tertib— merupakan suatu hal yang wajib dalam wudu.Mengenai qiraah lain yang membacanya

wa-arjulikum dengan di¬baca jar, yang menjadikannya sebagai dalil adalah golongan Syi'ah untuk memperkuat pendapat mereka yang mengatakan wajib meng¬usap kedua kaki. Karena lafaz ini menurut mereka di-'ataf-kan kepada mas-hurra-si

(menyapu kepala). Memang diriwayatkan dari sego¬longan ulama Salaf hal yang memberikan pengertian adanya wajib mengusap kaki ini.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami

ibnu Ulayyah, telah men¬ceritakan kepada kami Humaid yang mengatakan bahwa Musa ibnu Anas berkata kepada Anas, sedangkan kami saat itu berada di dekat¬nya, "Hai Abu Hamzah, sesungguhnya Hajaj pernah berkhotbah kepada kami

di Ahwaz, saat itu kami ada bersamanya, lalu ia menyebutkan masalah bersuci (wudu). Maka ia mengatakan, 'Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian dan usaplah kepala serta (basuhlah) kaki ka¬lian. Karena sesungguhnya tidak ada

sesuatu pun dari anggota tubuh anak Adam yang lebih dekat kepada kotoran selain dari kedua telapak kakinya Karenanya basuhlah bagian telapaknya dan bagian luarnya serta mata kakinya'." Maka Anas berkata, "Mahabenar Allah

dengan segala firman-Nya dan dustalah Al-Hajaj. Allah Swt. telah berfirman, 'Dan usaplah kepala kalian dan kaki kalian' (dengan bacaan jar pada lafaz arjulikum)." Tersebutlah bahwa Anas apabila mengusap kedua telapak kakinya,

ia membasahinya (dengan air). Sanad asar ini sahih sampai kepada Anas.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Mu-ammal, telah menceritakan kepada kami Hammad,

telah menceritakan kepada kami Asim Al-Ah¬wal, dari Anas yang mengatakan bahwa Al-Qur'an menurunkan pe¬rintah untuk mengusap (kaki), sedangkan sunnah memerintahkan untuk membasuh(nya). Sanad asar ini pun sahih.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Qais Al-Khurrasani, dari Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wudu itu terdiri

atas dua basuh¬an dan dua usapan (sapuan). Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami

Abu Ma'mar Al-Minqari, te¬lah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan ke¬pada kami Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mihran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian

sampai dengan kedua mata kaki. (Al-Maidah: 6); Makna yang dimaksud ialah mengusap kedua kaki (bukan memba-suhnya).Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Alqamah, Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali,

Al-Hasan me¬nurut salah satu riwayat, Jabir ibnu Zaid dan Mujahid menurut salah satu riwayat, hal yang semisal dengan asar di atas.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, te¬lah menceritakan kepada kami

Ibnu Ulayyah, telah menceritakan ke¬pada kami Ayyub yang mengatakan bahwa ia melihat Ikrimah meng¬usap kedua kakinya. Ia sering mengatakan apa yang dilakukannya itu.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib,

telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril turun seraya membawa perintah untuk mengusap (kedua kaki). Kemudian Asy-Sya'bi mengatakan,

"Tidakkah engkau perhatikan bahwa taya¬mum itu dilakukan dengan mengusap anggota yang tadinya (dalam wudu) dibasuh, dan menghapuskan apa yang tadinya disapu (di-usap)?"Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Ziyad,

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ismail yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Amir bahwa orang-orang ada yang mengatakan, "Sesungguhnya Malaikat Jibril turun membawa perintah

membasuh (kaki)." Maka Amir menjawab, "Jibril turun dengan membawa perintah mengusap (kaki)." Asar ini garib jiddan (aneh sekali).Makna yang dimaksud dari usapan ini dapat diinterpretasikan ke dalam pengertian membasuh ringan,

karena berdasarkan sunnah yang telah terbukti kesahihannya yang di dalamnya mewajibkan membasuh kedua kaki.Sesungguhnya bacaan jar ini adakalanya karena faktor berdam¬pingan dan untuk keserasian bacaan,

seperti yang terdapat di dalam pepatah orang Arab yang mengatakan, "Juhru dabbin kharibin" (liang biawak yang rusak). Dan sama dengan firman-Nya:


{عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْرٌ وَإِسْتَبْرَقٌ}


Mereka memakai pakaian sutra halus yang hijau dan sutra tebal. (Al-Insan: 21)Hal seperti ini berlaku di dalam bahasa Arab, lagi sudah terkenal.Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa bacaan ini diinter¬pretasikan mengandung makna

mengusap kedua telapak kaki bila me¬makai khuff, menurut Abu Abdullah Asy-Syafii rahimahullah.Ada pula yang menginterpretasikannya kepada pengertian mem¬basuh ringan, bukan hanya sekadar mengusap, seperti yang disebutkan

di dalam sunnah.Akan tetapi, bagaimanapun juga hal yang diwajibkan ialah mem¬basuh kedua kaki, sebagai suatu fardu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi karena berdasarkan makna ayat ini dan hadis-hadis yang akan ka¬mi kemukakan.

Termasuk dalil yang paling baik yang menunjukkan bahwa mengusap diartikan membasuh ringan adalah apa yang telah diriwa¬yatkan oleh Al-Hafiz Al-Baihaqi. Disebutkan bahwa telah mencerita¬kan kepada kami Abu Ali Ar-Rauzabadi,

telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhammad ibnu Ahmad ibnu Hamawaih Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad Al-Qalanisi, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah,

telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Maisarah, bahwa ia pernah mendengar An-Nizal ibnu Sabrah mence¬ritakan sebuah hadis dari Ali ibnu Abu Talib. Disebutkan bahwa Ali ibnu Abu Talib melakukan salat Lohor,

kemudian duduk melayani keperluan orang-orang banyak di halaman Masjid Kufah, hingga ma¬suk waktu salat Asar. Kemudian diberikan kepadanya satu kendi air, maka ia mengambil sebagian darinya sekali ambil dengan kedua telapak tangannya,

lalu ia gunakan untuk mengusap wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kakinya. Kemudian ia bangkit berdiri dan memi¬num air yang masih tersisa seraya berdiri.

Khalifah Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang menilai makruh minum sambil berdiri, tetapi sesungguh¬nya Rasulullah Saw. pernah melakukan seperti apa yang aku lakukan (yakni minum sambil berdiri)." Ali r.a.

berkata, "Inilah wudu orang yang tidak berhadas." Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab sahih, dari Adam yang sebagiannya semakna dengan hadis ini.Orang-orang yang menganggap wajib mengusap kedua kaki seperti mengusap

sepasang khuff dari kalangan ulama Syi'ah, sesung¬guhnya pendapat ini sesat lagi menyesatkan. Demikian pula pendapat orang yang membolehkan mengusap keduanya; dan membolehkan membasuh keduanya, pendapatnya ini pun keliru.

Orang yang menukil dari Abu Ja'far Ibnu Jarir, bahwa Ibnu Jarir telah mewajibkan membasuh kedua kaki berdasarkan hadis-hadis, dan mewajibkan mengusap keduanya berdasarkan makna ayat. Maka se¬sungguhnya pengertian ini tidak

mencerminkan mazhabnya dalam masalah yang dimaksud. Sesungguhnya apa yang dikatakannya di da¬lam kitab tafsirnya hanyalah menunjukkan bahwa dia bermaksud me¬wajibkan menggosok kedua kaki, bukan anggota wudu lainnya,

karena keduanya menempel di tanah dan tanah liat serta hal-hal yang ko¬tor lainnya. Karena itu, keduanya wajib digosok untuk menghilangkan apa yang menempel pada keduanya. Akan tetapi, Ibnu Jarir mengungkapkan pengertian

menggosok ini dengan kata-kata mengusap, se¬hingga bagi orang yang tidak merenungkan kata-katanya menyangka bahwa Ibnu Jarir bermaksud menghimpun keduanya sebagai hal yang wajib, yakni membasuh dan menggosoknya.

Maka sebagian orang meriwayatkan darinya atas dasar pemahaman yang dangkal itu, kare¬nanya masalah ini dinilai sulit oleh kebanyakan ulama fiqih, se¬dangkan Ibnu Jarir sendiri dimaafkan. Mengingat tidak ada gunanya menghimpun

antara mengusap dan membasuh, baik mencuci ataupun menggosok lebih dahulu, karena pengertian menggosok termasuk ke dalam pengertian membasuh. Sesungguhnya yang dimaksud oleh Ibnu Jarir hanyalah seperti ulasan yang telah kami

kemukakan tadi (yakni berupaya menggabungkan antara membasuh dan mengusap).Kemudian kami renungkan kembali kata-katanya, ternyata dapat kesimpulan baru bahwa dia bermaksud menggabungkan di antara kedua bacaan

pada firman-Nya ini antara bacaan wa-arjulikum dibaca jar yang menunjukkan makna mengusap, yakni menggosok; dan ba¬caan wa-arjulakum dibaca nasab yang menunjukkan pengertian mem¬basuh. Karena itulah ia mewajibkan keduanya

karena berpegang ke¬pada penggabungan di antara kedua qiraah tersebut.Hadis-hadis yang menyebutkan membasuh kedua kaki dan bahwa membasuh kedua kaki merupakan suatu keharusanDalam hadis Amirul Mu’minin Usman, Ali,

Ibnu Abbas, Mu'awiyah, Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, dan Al-Miqdad ibnu Ma'di Kariba disebutkan bahwa Rasulullah Saw. membasuh kedua kaki dalam wudunya, adakalanya dua kali atau tiga kali, menurut riwayat masing-masing yang berbeda-beda.


وَفِي حَدِيثُ عَمْرِو بْنِ شُعَيْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: "هَذَا وُضُوء لَا يَقْبَلُ اللَّهُ الصَّلَاةَ إِلَّا بِهِ ".


Di dalam hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan wudu dan di dalamnya beliau membasuh kedua kakinya, kemudian bersabda: Ini adalah wudu yang Allah tidak mau menerima salat kecuali dengannya.


وَفِي الصَّحِيحَيْنِ، مِنْ رِوَايَةِ أَبِي عَوَانة، عَنْ أَبِي بِشْر، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَك، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: تَخَلَّف عَنَّا رسول الله صلى الله عليه وسلم في سَفْرَةٍ سَافَرْنَاهَا، فأدرَكَنا وَقَدْ أرْهَقَتْنَا الصلاةُ، صلاةُ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: "أسبِغوا الْوُضُوءَ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ".


Di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan bersama kami berhen¬ti, lalu beliau menyusul kami dan masuklah

waktu salat Asar, yang saat itu kami dalam keadaan lelah. Maka kami lakukan wudu dan kami mengusap pada kedua kaki kami. Lalu Rasulullah Saw. berseru dengan sekuat suaranya: Sempurnakanlah wudu,

celakalah bagi tumit yang tidak dibasuh karena akan dibakar oleh neraka.Hal yang sama disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hu¬rairah.


فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ".


Di dalam Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sempurnakanlah wudu, celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar oleh neraka.


وَرَوَى اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ حَيْوة بْنِ شُرَيْح، عَنْ عُقْبة بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ جُزْءٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "وَيْلٌ للأعْقَاب وبُطون الْأَقْدَامِ مِنَ النَّارِ".


Al-Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Haiwah ibnu Syuraih, dari Uqbah ibnu Muslim, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Hirz, bahwa ia per¬nah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

Celakalah bagi tumit-tumit dan telapak-telapak kaki yang dibakar neraka (karena tidak dibasuh). Imam Baihaqi dan Imam Hakim meriwayatkannya Sanad hadis ini sahih.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ: أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ أَبِي كَرْبٍ -أَوْ شُعَيْبَ بْنَ أَبِي كَرْبٍ -قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ -وَهُوَ عَلَى جَمَلٍ -يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "وَيْلٌ لِلْعَرَاقِيبِ مِنَ النَّارِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu¬hammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abi Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Abu Karb atau Syu'aib ibnu Abu Karb yang mengatakan

bahwa ia pernah mende¬ngar Jabir ibnu Abdullah ketika berada di atas bukit mengatakan bah¬wa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dibakar neraka (karena tidak di¬basuh dalam wudu).


وَحَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، أَخْبَرْنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي كَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رِجْل رَجُل مِنَّا مثْل الدِّرْهَمِ لَمْ يَغْسِلْهُ، فَقَالَ: "وَيْلٌ للعَقِبِ مِنَ النَّارِ".


Telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah mencerita¬kan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Abu Karb, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah melihat ke arah kaki seorang lelaki

yang padanya terdapat bagian se¬besar uang dirham belum terbasuh. Maka beliau Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Abu Bakar ibnu Abu Syaibah,

dari Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Sa'id dengan sanad dan lafaz yang semisal.Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj serta lain-lainnya yang bukan ha¬nya seorang,

dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Sa'id ibnu Abu Kuraib, dari Jabir, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا حَفْصٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى قَوْمًا يَتَوَضَّئُونَ، لَمْ يُصِبْ أعْقابهم الماءُ، فَقَالَ: "وَيْلٌ للعَراقِيبِ مِنَ النَّارِ".


telah menceritakan kepada ka¬mi Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdus Sammad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw.

pernah melihat suatu kaum sedang melakukan wudu tanpa menuangkan air pada tumit mereka. Maka beliau Saw. bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا خَلَف بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ عُتْبة، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ مُعَيْقيب قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ayub ibnu Uqbah, dari Yahya ibnu Kasir, dari Abu Salamah, dari Mu'aiqib yang mencerita¬kan bahwa Rasulullah Saw.

telah bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ مُطَرَّح بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زَحْر، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ، وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Mit-rah ibnu Yazid, dari Ubaidillah ibnu Zahr, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa

Rasulullah Saw. telah bersabda: Celakalah bagi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.Abu Umamah mengatakan, "Sejak saat itu di dalam masjid tiada se¬orang pun yang terhormat dan tiada pula seorang pun yang kecil, melainkan

kulihat dia membolak-balikkan kedua tumitnya seraya me¬mandang kepada keduanya (untuk memeriksa apakah ada bagian yang belum terbasuh oleh air wudunya)."


حَدَّثَنَا أَبُو كَرَيْبٍ، حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ لَيْثٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَابِطٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ -أَوْ عَنْ أَخِي أَبِي أُمَامَةَ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ قَوْمًا يَتَوَضَّئُونَ وَفِي عَقِب أَحَدِهِمْ -أَوْ: كَعْبِ أَحَدِهِمْ-مِثْلُ مَوْضِعِ الدِّرْهَمِ -أَوْ: مَوْضِعِ الظُّفُرِ-لَمْ يَمَسَّهُ الْمَاءُ، فَقَالَ: "وَيْلٌ للأعقاب من النَّارِ".


Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Zaidah, dari Lais, telah menceritakan kepa¬daku Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Abu Umamah atau dari saudara lelaki Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw.

memandang ke arah su¬atu kaum yang sedang mengerjakan salat, sedangkan pada tumit sese-rang atau mata kaki seseorang dari mereka terdapat bagian sebesar ,iang dirham atau sebesar kuku yang masih belum tersentuh air.

Maka Rasulullah Saw. bersabda: Celakalah basi tumit-tumit yang dimasukkan ke dalam neraka.Abu Umamah melanjutkan kisahnya, bahwa sesudah itu lelaki terse¬but bila melihat sesuatu bagian dari tumitnya yang masih belum ter¬kena air,

maka ia mengulangi lagi wudunya.Segi pengambilan dalil dari hadis-hadis ini jelas. Karena itu, se¬andainya yang diwajibkan adalah mengusap kedua kaki atau sudah cukup hanya dengan mengusap keduanya, maka niscaya Rasulullah Saw.

tidak mengancam orang yang meninggalkan basuhan. Karena mengusap itu tidak dapat menyeluruh ke semua bagian kaki, melain¬kan hanya seperti apa yang dilakukan terhadap mengusap khuff. De¬mikianlah analisis yang digunakan oleh Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bantahannya terhadap aliran Syi'ah.


وَقَدْ رَوَى مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ؛ أَنَّ رَجُلًا تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ".


Imam Muslim meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui ja¬lur Abuz Zubair, dari Jabir, dari Umar ibnul Khattab, bahwa seorang lelaki melakukan wudu, dan meninggalkan bagian sebesar kuku tanpa terbasuh pada telapak kakinya. Nabi Saw. melihatnya, maka Nabi Saw. bersabda: Kembalilah dan lakukanlah wudumu dengan baik.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ: أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرْنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الصَّاغَانِيُّ حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ: أَنَّهُ سَمِعَ قَتَادَةَ بْنَ دِعَامَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ؛ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَوَضَّأَ، وَتَرَكَ عَلَى قَدَمِهِ مِثْلَ مَوْضِعِ الظُّفُرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ".


Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan ke¬pada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Muhammad ibnu Ya'qub, telah menceritakan kepada ka¬mi Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani,

telah menceritakan kepada ka-mi Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, bahwa ia pernah mendengar Qatadah ibnu Di'amah mengatakan, telah menceritakan

kepada kami Anas ibnu Malik, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. dalam keadaan telah berwudu, tetapi ada sebagian dari tumitnya sebesar kuku yang belum terbasuh. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Kembalilah

dan lakukanlah wudumu dengan baik.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari Harun ibnu Ma'ruf dan Ibnu Majah, dari Harmalah dan Yahya, keduanya dari Ibnu Wahb dengan lafaz yang sama; sanad hadis ini jayyid dan semua

perawinya berpredikat siqah. Tetapi Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini tidak dikenal, mereka tidak mengenalnya kecuali Ibnu Wahb. Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad,

telah menceritakan kepada kami Yunus dan Humaid, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah Saw. dan sete¬rusnya sama dengan hadis Qatadah.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibra¬him ibnu Abul Abbas,

telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, te¬lah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'-dan, dari salah seorang istri Nabi Saw. yang menceritakan bahwa Na¬bi Saw. melihat seorang lelaki sedang salat,

sedangkan pada bagian luar telapak kakinya terdapat bagian yang kering sebesar uang dirham karena tidak terkena air, maka Rasulullah Saw. memerintahkan kepa¬danya agar mengulangi wudunya.Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui

hadis Baqiyyah,dan dalam hadis riwayatnya ditambahkan bahwa yang diperintahkan oleh Nabi Saw. agar diulangi lagi oleh lelaki itu adalah wudu dan salatnya. Sanad hadis ini jayyid dan kuat lagi sahih.

Di dalam hadis Hamran dari Usman mengenai gambaran wudu Nabi Saw. disebutkan bahwa Nabi Saw. menyela-nyelai di antara jari jemarinyaAhlus Sunan meriwayatkan:


مِنْ حَدِيثِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ لَقِيط بْنِ صَبرةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوءِ: فَقَالَ: "أَسْبِغِ الْوُضُوءَ، وخَلِّل بَيْنَ الْأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا".


melalui hadis Ismail ibnu Kasir, dari Asim ibnu Laqit ibnu Sabrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, jelas-kanlah cara wudu kepadaku."

Nabi Saw. bersabda: Lakukanlah wudu secara merata dan sela-selailah di antara jari jemari dan lakukanlah istinsyaq dengan kuat, kecuali jika kamu sedang puasa.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِي حَدَّثَنَا عِكْرِمة بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الدِّمَشْقِيُّ قَالَ قَالَ أَبُو أُمَامَةَ: حَدَّثَنَا عَمْرو بْنُ عَبَسَةَ قَالَ: قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوءِ. قَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَقْرَبُ وُضُوءُهُ، ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ وَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ فَمِهِ وَخَيَاشِيمِهِ مَعَ الْمَاءِ حِينَ يَنْتَثِرُ، ثُمَّ يَغْسِلُ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَنَامِلِهِ، ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعْرِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا قَدَمَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ، ثُمَّ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ". قَالَ أَبُو أُمَامَةَ: يَا عَمْرُو، انْظُرْ مَا تَقُولُ، سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَيُعْطَى هَذَا الرَّجُلُ كُلَّهُ فِي مَقَامِهِ؟ فَقَالَ عَمْرُو بْنُ عَبْسة يَا أَبَا أُمَامَةَ، لَقَدْ كَبُرَتْ سنِّي، وَرَقَّ عَظْمِي، وَاقْتَرَبَ أَجَلِي، وَمَا بِي حَاجَةٌ أَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [وَ] لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، لَقَدْ سَمِعْتُهُ [مِنْهُ] سَبْعَ مَرَّاتٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullaw ibnu Yazid, Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepa¬da kami Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Syad-dad ibnu Abdullah Ad-Dimasyqi

yang mengatakan bahwa Abu Uma¬mah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Absah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang wudu (yang baik), maka Rasulullah Saw. bersabda:

Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian mendekati (akan me¬lakukan) wudunya, lalu ia berkumur dan ber-istinsyaq dan ber-istinsar (menyedot air untuk membersihkan hidung, kemudian mengeluarkannya), melainkan gugurlah semua kesalahan

(dosa-dosa)nya dari mulut dan lubang hidungnya bersamaan dengan air ketika ber-istinsar. Setelah itu ia membasuh wajahnya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya, melainkan berguguranlah semua dosa wajahnya

dari ujung janggutnya bersama¬an dengan air. Kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya, melainkan berguguranlah dosa-dosa kedua ta¬ngannya dari ujung-ujung jemarinya. Kemudian menyapu kepalanya,

melainkan berguguranlah dosa-dosa kepalanya dari se¬mua ujung rambut bersamaan dengan air. Kemudian membasuh kedua telapak kakinya berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya,

melainkan bergugur¬anlah dosa-dosa kedua telapak kakinya dari ujung jari jemarinya bersamaan dengan air. Setelah itu ia berdiri dan membaca hamdalah serta pujian kepada Allah dengan pujian yang layak bagi¬Nya,

lalu melakukan salat dua rakaat, melainkan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibu¬nya. Abu Umamah berkata, "Hai Amr, perhatikanlah apa yang kamu kata¬kan tadi, apakah kamu mendengar semuanya

dari Rasulullah Saw. Apakah beliau memberi hadis ini seluruhnya kepada lelaki yang se¬perti kamu?" Maka Amr ibnu Absah menjawab, "Hai Abu Umamah, sesung¬guhnya aku telah berusia lanjut dan semua tulangku sudah rapuh,

usiaku telah di ambang senja. Aku tidak perlu berdusta atas nama Allah dan atas nama Rasulullah. Seandainya aku tidak mendengar ha¬dis ini dari Rasulullah Saw. kecuali hanya satu kali atau dua kali atau tiga kali

(niscaya aku tidak akan- menceritakannya). Sesungguhnya aku mendengarnya dari beliau sebanyak tujuh kali atau lebih dari itu."Sanad hadis ini sahih. Hadis ini terdapat pula di dalam kitab Sa¬hih Muslim melalui jalur lain, yang di dalamnya disebutkan seperti berikut:


"ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ".


Kemudian ia membasuh kedua telapak kakinya seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya.Kalimat ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuhnya.Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Ishaq As-Subai’i:


عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: اغْسِلُوا الْقَدَمَيْنِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ كَمَا أُمِرْتُمْ.


dari Al-Haris, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan: Basuhlah kedua telapak kaki kalian berikut kedua mata kakinya seperti apa yang diperintahkan kepada kalian.Dari asar ini tampak jelas bahwa makna yang dimaksud di dalam hadis Abdu Khair dari Ali yang menyebutkan:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَش عَلَى قَدَمَيْهِ الْمَاءَ


Bahwa Rasulullah Saw. mencipratkan air pada kedua telapak ka¬kinya.Saat itu beliau Saw. memakai terompah, lalu beliau menggosok kedua telapak kakinya. Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud adalah basuhan ringan

karena kedua telapak kakinya memakai terom¬pah (yakni masih suci). Tetapi tiada yang mencegah bila yang dimak-sud ialah membasuh, sedangkan telapak kaki memakai terompah. Ha¬nya saja di dalam hadis ini terkandung bantahan

terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan dan terlalu apik dari kalangan orang-orang yang waswas.Hadis yang sama dikemukakan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat¬nya, dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang menceritakan hadis berikut:


أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ، وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ


Rasulullah Saw. masuk ke dalam kakus suatu kaum, lalu mem¬buang air seni seraya berdiri. Setelah itu beliau meminta air, la¬lu berwudu dan mengusap sepasang terompahnya.Hadis ini sahih. Ibnu Jarir membantah hadis ini,

bahwa orang-orang yang siqah dan para huffaz meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Abu Wail, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Nabi Saw. buang air kecil sambil berdiri, kemudian berwudu dan mengusap pada sepasang khuff-nya.

Yakni dengan lafaz khuff, bukan na'l (terompah).Menurut kami, dapat pula digabungkan pengertian keduanya, mi¬salnya Nabi Saw. saat itu memakai khuff dan terompahnya.Berikut ini hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal.


حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَة، حَدَّثَنِي يَعْلَى، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَوْسِ بْنِ أَبِي أَوْسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Ya'la, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu dan beliau menyapu kedua terompahnya, kemudian bangkit untuk salat.


وَقَدْ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ مُسَدَّد وَعَبَّادِ بْنِ مُوسَى كِلَاهُمَا، عَنْ هُشَيْم، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطاء، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَوْسِ بْنِ أَبِي أَوْسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطة قَوْمٌ فَبَالَ، وَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى نَعْلَيْهِ وَقَدَمَيْهِ.


Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad dan Abbad ibnu Musa, keduanya dari Hasyim, dari Ya'la ibnu Ata, dari ayahnya, dari Aus ibnu Abu Aus yang menceritakan: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. mendatangi kakus suatu kaum,

lalu beliau buang air kecil, setelah itu beliau berwudu dan menyapu sepasang terompahnya dan kedua telapak kakinya.Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Syu'bah dan jalur Hasyim. Kemudian ia mengatakan bahwa makna hadis ini

dapat diinterpretasi¬kan dengan pengertian bahwa beliau dalam keadaan tidak berhadas pun melakukan wudunya dengan cara yang sama, karena mustahil bila fardu Allah dan sunnah Rasul-Nya bertentangan atau berlawanan.

Menurut hadis yang sahih dari Nabi Saw., ada perintah yang me¬ngandung pengertian umum menganjurkan membasuh kedua telapak kaki dengan air dalam wudu. Hal ini diriwayatkan melalui penukilan yang cukup banyak lagi memastikan

keakuratan periwayatannya sam¬pai kepada beliau serta penyampaiannya.Mengingat Al-Qur'an memerintahkan untuk membasuh kedua kaki seperti dalam pengertian qi'raah nasab dan seperti yang diwajib¬kan pula dalam interpretasi qiraah jar.

Hal ini membuat ulama Salaf mempunyai dugaan bahwa ayat ini me-mansukh rukhsah mengusap sepasang khuff. Hal ini memang disebutkan di dalam suatu riwayat dari Ali ibnu Abu Talib, tetapi sanadnya tidak sahih.

Mengingat hal yang terbukti darinya menyatakan hal yang berbeda, tidak seperti apa yang mereka duga. Karena sesungguhnya telah terbukti bahwa Nabi Saw. mengusap sepasang khuff-nya sesudah ayat ini diturunkan.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُلاثة، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ بْنِ مَالِكٍ الجَزَري، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ البَجَلي قَالَ: أَنَا أَسْلَمْتُ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ، وَأَنَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ بَعْدَمَا أَسْلَمْتُ.


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ha¬syim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Ab¬dullah ibnu Ilasah, dari Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dari Mu¬jahid, dari Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali yang

menceritakan: Aku masuk Islam setelah turunnya surat Al-Maidah, dan aku me¬lihat Rasulullah Saw. mengusap (kedua khuff-nya) sesudah aku masuk Islam.Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.


وَفِي الصَّحِيحَيْنِ، مِنْ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هَمَّام قَالَ: بَالَ جَرِيرٌ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، فَقِيلَ: تَفْعَلُ هَذَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ. قَالَ الْأَعْمَشُ: قَالَ إِبْرَاهِيمُ: فَكَانَ يُعْجِبُهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ؛ لِأَنَّ إِسْلَامَ جَرِيرٍ كَانَ بَعْدَ نُزُولِ الْمَائِدَةِ


Di dalam ki¬tab Sahihain disebutkan melalui hadis Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, yang menceritakan bahwa Jarir buang air kecil, sete¬lah itu ia berwudu dan mengusap sepasang khuff-nya. Ketika dita¬nyakan,

"Mengapa engkau lakukan itu?" Ia menjawab, "Ya, aku per¬nah melihat Rasulullah Saw. buang air kecil, lalu berwudu dan meng¬usap sepasang khuff-nya." Al-A'masy mengatakan bahwa Ibrahim mengatakan bahwa hadis ini dikagumi

di kalangan mereka (ulama), mengingat Islamnya Jarir sesudah surat Al-Maidah diturunkan. Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.Terbukti melalui riwayat yang mutawatir dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. mensyariatkan

mengusap sepasang khuff, baik me¬lalui sabdanya ataupun perbuatannya, seperti yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan keterangan yang lebih rinci menyangkut masalah batasan

waktu mengusap, tidak diperlukan mengusap atau hal-hal lain yang menyangkut rinciannya; semua itu diterangkan di dalam bagiannya masing-masing.Orang-orang Rafidah berpendapat berbeda dalam masalah ini tanpa sandaran dan dalil,

bahkan hanya dengan kebodohan dan kesesatan, padahal telah terbukti di dalam kitab Sahih Muslim melalui ri¬wayat Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. Seperti halnya ter¬bukti di dalam kitab Sahihain, dari Ali ibnu Abu Talib r.a.,

dari Nabi Saw. adanya larangan mengenai nikah mut'ah, tetapi mereka membo¬lehkannya. Demikian pula ayat yang mulia ini menunjukkan wajib membasuh kedua kaki yang diperkuat dengan hadis yang mutawatir melalui perbuatan Rasulullah Saw.

yang sesuai dengan apa yang di¬tunjukkan oleh ayat yang mulia ini. Akan tetapi, mereka (orang-orang Rafidah) bertentangan dengan semuanya itu, padahal mereka dalam waktu yang sama tidak mempunyai dalil yang sahih yang menguatkan

pendapatnya.Demikian pula halnya mereka berbeda dengan para imam dan ulama Salaf dalam memahami pengertian dua mata kaki pada telapak kaki. Menurut mereka, dua mata kaki tersebut terdapat pada pung¬gung telapak kaki.

Dengan kata lain, setiap telapak kaki mempunyai satu mata kaki. Padahal menurut jumhur ulama, yang dimaksud de¬ngan dua mata kaki ialah dua buah tulang yang menonjol, terletak pa¬da pergelangan betis dan telapak kaki.

Ar-Rabi' mengatakan,"Asy-Syafii mengatakan bahwa menurut pengetahuannya, tiada seorang pun yang berpendapat berbeda bahwa dua mata kaki yang disebut oleh Allah di dalam Al-Qur’an dalam ma¬salah wudu adalah dua buah tulang

menonjol yang menghubungkan persendian betis dan telapak kaki." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Asy-Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh para imam, bah¬wa setiap telapak kaki mempunyai dua mata kaki, seperti yang dikenal

di kalangan semua orang dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sunnah.Di dalam kitab Sahihain melalui jalur Hamran, dari Usman r.a., disebutkan bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh telapak kaki kanannya berikut dua mata kakinya,

kemudian membasuh telapak ka¬ki kirinya seperti telapak kaki kanannya.Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq dan majzum mengenai hal ini, dan Imam Abu Daud serta Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sa¬hihnya:


مِنْ رِوَايَةِ أَبِي الْقَاسِمِ الْحُسَيْنِيِّ بْنِ الْحَارِثِ الْجَدَلِيِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ: "أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ -ثَلَاثًا-وَاللَّهِ لتقيمُن صُفُوفَكُمْ أَوْ ليخالفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ". قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِق كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ، وَرُكْبَتِهِ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ، ومَنْكبِه بِمَنْكِبِهِ.


melalui riwayat Abul Qasim Al-Husaini ibnul Haris Al-Jadali, dari An-Nu'man ibnu Basyir yang menceritakan, "Rasulullah Saw. mengarahkan wajahnya ke arah kami, lalu bersabda: 'Luruskanlah saf kalian —sebanyak tiga kali—. Demi Allah,

kalian benar-benar meluruskan saf kalian atau kelak Allah benar-be¬nar akan memecah belah di antara hati kalian'." An-Nu'man ibnu Basyir mengatakan, "Lalu aku melihat setiap orang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki teman

yang ada di sampingnya, lutut dengan lutut temannya, dan pundak dengan pundak temannya."Lafaz hadis menurut apa yang ada pada Ibnu Khuzaimah.Suatu hal yang tidak mungkin bila seseorang menempelkan mata kaki dengan mata kaki

temannya, melainkan jika yang dimaksud de¬ngan mata kaki adalah tulang yang menonjol pada bagian bawah be¬tis, sehingga menjadi lurus sejajar dengan mata kaki temannya.Hal ini menunjukkan kebenaran dari apa yang telah kami kata¬kan,

yaitu bahwa dua mata kaki adalah dua buah tulang yang menon¬jol pada pergelangan betis dan telapak kaki, seperti halnya yang dika¬takan oleh Ahlus Sunnah (bukan Rafidah, pent.).Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan

kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Yahya Al-Haris At-Taimi (yakni Al-Khabir). Dia mengatakan bahwa dia melihat orang-orang yang gugur dari kalangan pasukan Zaid,

maka ia menjumpai mata ka¬ki berada pada bagian punggung telapak kaki. Hal ini merupakan hu¬kuman yang ditimpakan kepada orang-orang Syi'ah sesudah mereka terbunuh, sebagai pembalasan buat mereka karena mereka menentang hal yang hak dan selalu menolak perkara yang hak.Firman Allah Swt.:


{وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ}


dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian

dengan ta¬nah itu. (Al-Maidah: 6)Apa yang disebutkan dalam ayat ini semuanya telah dikemukakan da¬lam tafsir surat An-Nisa. Oleh karena itu, untuk lebih hematnya tidak kami ulangi lagi dalam tafsir surat ini. Kami telah kemukakan penyebab

turunnya ayat tayamum dalam surat An-Nisa. Tetapi Imam Bu¬khari dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadis khusus mengenai ayat yang mulia ini.


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: سَقَطَتْ قِلَادَةٌ لِي بِالْبَيْدَاءِ، وَنَحْنُ دَاخِلُونَ الْمَدِينَةَ، فَأَنَاخَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَزَلَ، فثَنَى رَأْسَهُ فِي حِجْري رَاقِدًا، أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ فلَكَزَني لَكْزَةً شَدِيدَةً، وَقَالَ: حَبَسْت النَّاسَ فِي قِلَادَةٍ، فَبى الموتُ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَدْ أَوْجَعَنِي، ثُمَّ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَيْقَظَ وَحَضَرَتِ الصُّبْحُ، فَالْتَمَسَ الْمَاءَ فَلَمْ يوجَد، فَنَزَلَتْ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ} هَذِهِ الْآيَةُ، فَقَالَ أسَيْد بْنُ الحُضَير لَقَدْ بَارَكَ اللَّهُ لِلنَّاسِ فِيكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ، ما أنتم إلا بركة لهم.


Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris bahwa Abdur Rahman ibnul Qasim pernah menceritakan kepadanya,

dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan, "Kalungku terjatuh di padang pa¬sir, saat itu kami telah berada di lingkungan kota Madinah. Maka Ra¬sulullah Saw. memberhentikan unta kendaraannya dan turun. Lalu beliau merebahkan

kepalanya di pangkuanku dan tidur. Kemudian da¬tanglah Abu Bakar dan memukulku dengan pukulan yang keras sera¬ya berkata, 'Kamulah yang menyebabkan orang-orang tertahan karena kalung itu.’ Maka aku berharap untuk mati saat itu

karena pukulannya terasa sangat menyakitkan, tetapi aku ingat kepada Rasulullah Saw. yang sedang tidur di pangkuanku. Tidak lama kemudian Nabi Saw. bangun, dan waktu subuh masuk. Lalu beliau mencari air,

tetapi tidak didapat Maka turunlah firman-Nya: 'Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger¬jakan salat, maka basuhlah muka kalian' (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat." Maka Usaid ibnul Hudair berkata, "Sesungguhnya

Allah telah mem¬berkati manusia melalui kalian, hai keluarga Abu Bakar. Kalian tiada lain merupakan berkah bagi mereka." Firman Allah Swt.


{مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ}


Allah tidak hendak menyulitkan kalian. (Al-Maidah: 6)Karena itu, Dia memberikan kemudahan kepada kalian dan tidak me¬nyulitkan kalian, bahkan Dia membolehkan bertayamum bagi orang yang sakit dan di saat air tidak ada,

sebagai keluasan dan sebagai rah¬mat untuk kalian dari-Nya. Dia menjadikan debu sebagai sarana bersuci untuk menggantikan air bagi orang yang tayamum disyariatkan untuknya,

kecuali bila dipandang dari beberapa segi, seperti yang di¬jelaskan di dalam kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Firman Allah Swt.:


{وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}


tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur. (Al-Maidah: 6)Yakni supaya kalian mensyukuri nikmat-nikmat-Nya atas kalian dalam hal-hal yang telah disyariatkan-Nya bagi kalian;

semuanya me¬ngandung keluasan, belas kasihan, rahmat, kemudahan, dan toleransi buat kalian. Sunnah telah menganjurkan berdoa sesudah wudu se-bagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah menjadikan pelakunya termasuk

orang-orang yang bersih, dan sebagai realisasi dari peng¬amalan ayat yang mulia ini.Imam Ahmad dan Imam Muslim serta Ahlus Sunan telah meri¬wayatkan dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan,


كَانَتْ عَلَيْنَا رِعَايَةُ الْإِبِلِ، فَجَاءَتْ نَوْبَتي فَرَوَّحتها بعَشِيّ، فَأَدْرَكْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا يُحَدِّثُ النَّاسَ، فَأَدْرَكْتُ مِنْ قَوْلِهِ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوءه، ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مُقْبلا عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ". قَالَ: قُلْتُ: مَا أَجُودُ هَذِهِ! فَإِذَا قَائِلٌ بَيْنَ يَدَيَّ يَقُولُ: الَّتِي قَبْلَهَا أَجْوَدُ مِنْهَا. فَنَظَرْتُ فَإِذَا عُمَرُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: إِنِّي قَدْ رَأَيْتُكَ جِئْتَ آنِفًا قَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغَ -أَوْ: فَيُسْبِغُ-الْوُضُوءَ، يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، إِلَّا فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ، يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ".


"Dahulu kami mendapat tugas untuk menggembalakan ternak unta, maka datanglah giliranku. Pada sore harinya ketika aku hendak mengandangkan ter¬nak unta, aku berjumpa dengan Rasulullah Saw. yang sedang berdiri dan berbicara kepada

orang-orang. Sabdanya yang sempat kudengar ialah: "Tidak sekali-kali seorang muslim melakukan wudunya dengan baik, kemudian salat dua rakaat dengan menghadapkan sepenuh hati dan dirinya (kepada Allah) dalam dua rakaat itu,

melainkan surga merupakan suatu keharusan baginya.' Lalu aku berkata, 'Alangkah baiknya hadis ini.' Tiba-tiba ada seorang yang ada di hadapanku berkata, 'Hadis sebelumnya jauh lebih baik daripada yang ini.' Ketika kulihat dia,

ternyata dia adalah Umar r.a. Maka Umar r.a. mengatakan bahwa dia telah melihat kedatanganku tadi, lalu dia menceritakan hadis yang dimaksud, yaitu: 'Tidak sekali-kali seseorang di antara kalian melakukan wudu, lalu ia melakukannya

dengan penuh kesungguhan atau dengan sempurna, kemudian mengucapkan doa berikut: Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya;

melainkan dibukakan baginya semua pintu surga yang delapan, dia boleh memasukinya dari pintu ma¬na pun yang disukainya'." Demikianlah menurut lafaz Imam Muslim.


قَالَ مَالِكٌ: عَنْ سُهَيل بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا توَضّأ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ -أَوِ: الْمُؤْمِنُ-فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ: مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ-فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ بِطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ: مَعَ آخِرِ قطْر الْمَاءِ-فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ -أَوْ: مَعَ آخِرِ قطْر الْمَاءِ-حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوبِ".


Malik meriwayatkan dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Apabila seorang hamba muslim atau mukmin melakukan wudu, lalu ia membasuh wajahnya, maka keluarlah

dari wajahnya se¬mua dosa yang diakibatkan dari pandangan kedua matanya ber¬samaan dengan air, atau bersamaan dengan tetesan terakhir da¬ri airnya. Dan apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dari kedua tangannya

semua dosa yang telah dilakukan oleh kedua tangannya bersamaan dengan air atau bersamaan dengan tetesan terakhir airnya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah semua dosa yang dijalani oleh kedua kakinya bersamaan

dengan air atau bersamaan dengan tetesan terakhir airnya, hingga ia selesai dari wudunya dalam keadaan bersih dari semua dosa.Imam Muslim meriwayatkannya dari Abut Tahir, dari Ibnu Wahb, dari Malik dengan lafaz yang sama.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ، عَنْ كَعْبِ بْنِ مُرَّة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يَتَوَضَّأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ -أَوْ: ذِرَاعَيْهِ-إِلَّا خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْهُمَا، فَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مَنْ وَجْهِهِ، فَإِذَا مَسَحَ رَأْسَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رَأَسِهِ، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Mansur, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ka'b ibnu Murrah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki melakukan wudu, lalu ia memba¬suh kedua tangan atau kedua lengannya, melainkan keluarlah se¬mua dosa dari kedua tangannya. Dan apabila ia membasuh wa¬jahnya,

maka keluarlah semua dosanya dari wajahnya. Dan apabila ia menyapu (mengusap) kepalanya, maka keluarlah semua dosanya dari kepalanya. Dan apabila ia membasuh kedua kaki¬nya, maka keluarlah semua dosanya dari kedua kakinya. Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Ibnu Jarir.


وَقَدْ رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ، أَوْ كَعْبِ بْنِ مُرَّةَ السُّلَمِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "وَإِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ فَغَسَلَ يَدَيْهِ، خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ، وَإِذَا غَسَلَ وَجْهَهُ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ وَجْهِهِ، وَإِذَا غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ ذِرَاعَيْهِ، وَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ رِجْلَيْهِ". قَالَ شُعْبَةُ: وَلَمْ يَذْكُرْ مَسْحَ الرَّأْسِ.


Imam Ahmad meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ja'far, da¬ri Syu'bah, dari Mansur, dari Salim, dari Murrah ibnu Ka'b atau Ka'b ibnu Murrah As-Sulami, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang hamba berwudu,

lalu membasuh kedua tangan¬nya, maka keluarlah semua dosanya dari celah-celah tangannya. Dan apabila ia membasuh wajahnya, maka keluarlah semua do¬sanya dari wajahnya. Dan apabila ia membasuh kedua lengan¬nya,

maka berguguranlah semua dosanya dari kedua lengannya. Dan apabila ia membasuh kedua kakinya, maka berguguranlah semua dosanya dari kedua kakinya. Syu'bah mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak disebutkan meng¬usap kepala. Sanad hadis ini berpredikat sahih.


وَرَوَى ابْنُ جَرِيرٍ مِنْ طَرِيقِ شَمِر بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، خَرَجَتْ ذُنُوبُهُ مِنْ سَمْعِهِ وَبَصَرِهِ وَيَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ".


Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Syamr ibnu Atiyyah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang berwudu dan melakukan wudunya dengan baik,

kemudian berdiri untuk mengerjakan salat, maka keluarlah semua dosanya dari telinganya, kedua tangannya, dan kedua ka¬kinya.


وَرَوَى مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، مِنْ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ سَلَّامٍ، عَنْ جَدِّهِ مَمْطُورٍ، عَنِ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الطَّهور شَطْر الْإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآنِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرهان، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّة لَكَ أَوْ عَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمعتِقهَا، أَوْ مُوبِقُهَا".


Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui ha¬dis Yahya ibnu Abu Kasir, dari Zaid ibnu Salam, dari kakeknya (ya¬itu Mamtur), dari Abu Malik Al-Asy'ari. bahwa Rasulullah Saw. te¬lah bersabda:

Bersuci adalah sebagian dari iman, bacaan hamdalah memenuhi timbangan amal (kebaikan), bacaan Subhanallah dan Allahu Ak¬bar memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi, puasa ada¬lah tameng,

sabar adalah cahaya, zakat adalah bukti, dan Al-Qur'an itu adalah hujah bagimu atau hujah yang berbalik terha¬dap dirimu. Semua orang mengarah kepada menjual dirinya, ma¬ka memerdekakannya atau membinasakannya.


وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ، مِنْ رِوَايَةِ سِمَاك بْنِ حَرْب، عَنْ مُصْعب بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُول، وَلَا صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ".


Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui riwayat Sammak ibnu Harb, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Allah tidak mau menerima sedekah (zakat) dari hasil korupsi, dan tidak (pula) mau menerima salat tanpa bersuci (wudu).


وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، سَمِعْتُ أَبَا المَلِيح الهُذَلي يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ صَلَاةً مِنْ غَيْرِ طُهُورٍ، وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُول".


Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah; ia pernah mendengar Abul Malih Al-Huzali menceritakan hadis dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bersama Ra¬sulullah Saw. di suatu rumah,

lalu mendengar Rasulullah Saw. ber¬sabda: Sesungguhnya Allah tidak mau menerima salat tanpa bersuci. dan tidak (pula) mau menerima sedekah (zakat) dari hasil korupsi.Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Imam Nasai, dan Ibnu Majah melalui hadis Syu'bah.

Surat Al-Maidah |5:7|

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

ważkuruu ni'matallohi 'alaikum wa miiṡaaqohullażii waaṡaqokum bihiii iż qultum sami'naa wa atho'naa wattaqulloh, innalloha 'aliimum biżaatish-shuduur

Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan kepadamu ketika kamu mengatakan, "Kami mendengar dan kami menaati." Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.

And remember the favor of Allah upon you and His covenant with which He bound you when you said, "We hear and we obey"; and fear Allah. Indeed, Allah is Knowing of that within the breasts.

Tafsir
Jalalain

(Dan ingatlah olehmu karunia Allah kepadamu) maksudnya agama Islam (dan perjanjian-Nya yang telah diikat erat-Nya denganmu) artinya yang telah diperbuat-Nya denganmu (ketika kamu mengatakan) kepada Nabi saw.

sewaktu baiat kepadanya (Kami dengar dan kami taati) mengenai apa juga yang engkau suruh atau pun larang, baik yang kami sukai maupun yang kami benci (dan bertakwalah kamu kepada Allah)

jangan sampai melanggar perjanjian itu (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati) yakni apa yang terdapat di dalamnya apa lagi yang terdapat di luarnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 7 |

Tafsir ayat 7-11

Allah Swt. berfirman mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka da­lam syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk mereka, yaitu berupa agama Islam yang agung ini;

dan Dia mengutus kepada mereka rasul yang mulia, serta apa yang telah diambil-Nya dari mereka berupa per­janjian dan kesediaan untuk berbaiat kepada rasul, bersedia meng­ikutinya, menolong dan mendukungnya,

menegakkan agamanya dan menerimanya, serta menyampaikannya (kepada orang lain) dari dia. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا}


Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengata­kan, "Kami dengar dan kami taati." (Al-Maidah: 7)Baiat inilah yang dimaksud ketika mereka mengucapkannya kepada

Rasulullah Saw. saat mereka masuk Islam. Saat itu mereka mengata­kan, "Kami berjanji setia kepada Rasulullah Saw. untuk mendengar dan menaatinya dalam keadaan kami sedang bersemangat dan dalam keadaan kami

sedang tidak bersemangat Kami mengesampingkan ke­pentingan pribadi kami dan tidak akan menentang perintah yang dike­luarkan oleh ahlinya," Dan Allah Swt. telah berfirman:


{وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}


Dan mengapa kalian tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul menyeru kalian supaya beriman kepada Tuhan kalian. Dan se­sungguhnya Dia telah mengambil perjanjian kalian jika kalian adalah orang-orang yang beriman. (Al-Hadid: 8}

Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan peringatan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengambil janji dari mereka bahwa mereka bersedia akan mengikuti Nabi Muhammad Saw. dan taat kepada syariatnya.

Demikianlah menurut apa yang diri­wayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.Menurut pendapat yang lain, hal ini merupakan peringatan terha­dap anak Adam karena Allah

telah mengambil janji dari mereka ketika mereka dikeluarkan oleh Allah dari tulang sulbinya dan mengam­bil kesaksian dari diri mereka melalui firman-Nya:


{أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا}


"Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172)Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan Muqatil ibnu Hayyan, tetapi pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan As-Saddi, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.Firman Allah Swt.:


{وَاتَّقُوا اللَّهَ}


Dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Maidah: 7)Hal ini mengukuhkan dan memacu untuk tetap berpegang kepada tak­wa dalam semua keadaan. Selanjutnya Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati mereka berupa rahasia dan bisikan-bisikan hati. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ}


sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi (hati kalian). (Al-Maidah: 8)Firman Allah Swt:


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ}


Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. (Al-Maidah: 8)Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.


{شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ}


menjadi saksi dengan adil. (Al-Maidah: 8)Maksudnya menegakkan keadilan, bukan kezaliman.


وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ: نَحَلَنِي أَبِي نَحْلا فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهد رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَجَاءَهُ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ: "أُكَلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَ مِثْلَهُ؟ " قَالَ: لَا. قَالَ: "اتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ". وَقَالَ: "إِنِّي لَا أَشْهَدُ عَلَى جَوْر". قَالَ: فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.


Telah disebut­kan di dalam kitab Sahihain dari An-Nu'man ibnu Basyir yang men­ceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pem­berian yang berharga. Ibunya bernama Amrah binti Rawwahah ber­kata,

"Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah Saw." Ayahnya datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Ra­sulullah Saw. bertanya: "Apakah semua anakmu

diberi hadiah yang semisal?" Ayahku menjawab, "Tidak." Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Bertakwa­lah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak­mu." Dan Rasulullah Saw. bersabda pula, "Sesungguhnya aku

tidak mau bersaksi atas kezaliman." An-Nu'man ibnu Basyir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian tersebut darinya. Firman Allah Swt.:


{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا}


Dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. (Al-Maidah: 8)Artinya, jangan sekali-kali kalian biarkan perasaan benci terhadap se­suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil

kepada me­reka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman ataupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman selan­jutnya:


{اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}


Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8)Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu mening­galkannya. Fi'il yang ada dalam ayat ini menunjukkan keberadaan masdar yang dijadikan rujukan

oleh damir-nya; perihalnya sama de­ngan hal-hal yang semisal lainnya dalam Al-Qur'an dan lain-lainnya. Sama halnya dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya:


{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}


Dan jika dikatakan kepada kalian.”Kembali (saja)lah" maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28}Adapun firman Allah Swt.: Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Maidah: 8)

Ungkapan ini termasuk ke dalam pemakaian af'alut tafdil di tempat yang tidak terdapat pembandingnya sama sekali. Perihalnya sama de­ngan apa yang terdapat di dalam firman Allah Swt yang lain, yaitu:


{أَصْحَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيلا}


Penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. (Al-Furqan: 24)Yakni seperti pengertian yang terkandung dalam perkataan seorang wanita

dari kalangan sahabat Nabi Saw. kepada Umar r.a., "Kamu le­bih kasar dan lebih keras, jauh (bedanya) dengan Rasulullah Saw." Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}


Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Me­ngetahui apa yang kalian kerjakan. (Al-Maidah: 8)Maksudnya, Dia kelak akan membalas kalian atas apa yang telah Dia ketahui dari amal perbuatan yang kalian kerjakan.

Jika amal itu baik, maka balasannya baik; dan jika amal itu buruk, maka balasannya akan buruk pula. Untuk itu selaras dengan pengertian ini disebutkan dalam firman selanjutnya:


{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ}


Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Maidah: 9)Yakni ampunan bagi dosa-dosa mereka dan pahala yang besar,

yaitu surga yang merupakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sur­ga tidak dapat diperoleh karena amal perbuatan mereka, melainkan hanya semata-mata sebagai ralimat dan kemurahan dari-Nya; sekali­pun penyebab sampainya rahmat

tersebut kepada mereka adalah kare­na amal perbuatan mereka, sebab Allah Swt. sendirilah yang menjadi­kan penyebab-penyebab untuk memperoleh rahmat, kemurahan, am­punan, dan rida-Nya. Segala sesuatunya dari Allah dan milik Allah, segala puji dan anugerah adalah milik Allah. Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}


Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Ka­mi, mereka itu adalah penghuni neraka. (Al-Maidah: 10)Hal ini merupakan sikap adil dari Allah Swt. dan hikmah serta kepu-tusan-Nya yang tiada kezaliman padanya, bahkan Dia Pemberi keputusan Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana serta Mahakuasa. Firman Allah Swt.:


{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ}


Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk ber­buat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian. (Al-Maidah: 11)


قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرْنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، ذَكَرَهُ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ جَابِرٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ مَنْزِلًا وتَفَرّق النَّاسُ فِي العضَاه يَسْتَظِلُّونَ تَحْتَهَا، وَعَلَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِلَاحَهُ بِشَجَرَةٍ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَهُ فسلَّه، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ قَالَ: "اللَّهُ"! قَالَ الْأَعْرَابِيُّ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهُ"! قَالَ: فَشَام الْأَعْرَابِيُّ السَّيْفَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ فَأَخْبَرَهُمْ خَبَرَ الْأَعْرَابِيِّ، وَهُوَ جَالِسٌ إِلَى جَنْبِهِ وَلَمْ يُعَاقِبْهُ -وَقَالَ مَعْمَرٌ: وَكَانَ قَتَادَةُ يَذْكُرُ نَحْوَ هَذَا، وَذَكَرَ أَنَّ قَوْمًا مِنَ الْعَرَبِ أَرَادُوا أَنْ يَفْتِكُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلُوا هَذَا الْأَعْرَابِيَّ، وَتَأَوَّلَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ} الْآيَةَ.


Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakannya dari Abu Salamah, dari Jabir, bahwa Nabi Saw. turun istirahat di suatu tempat peristirahatan, dan orang-orang (para sahabat)

memencar untuk bernaung di bawah pepo­honan 'udah, lalu Nabi Saw. menggantungkan senjata (pedang)nya di sebuah pohon. Lalu datanglah seorang Arab Badui ke tempat pedang Rasulullah Saw., kemudian ia mengambil pedang itu

dan menghunusnya. Sesu­dah itu ia datang kepada Nabi Saw., mengancamnya seraya berkata, "Siapakah yang akan melindungi dirimu dariku?" Nabi Saw. menja­wab, "Allah Swt." Orang Arab Badui itu mengucapkan kata-kata berikut,

"Siapakah yang melindungimu dariku?" (diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali). Sedangkan Nabi Saw. menjawabnya dengan kalimat, "Allah." Maka tangan orang Arab Badui itu lumpuh dan pedang terjatuh dari tangannya. Kemudian Nabi Saw.

memanggil para sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang orang Arab Badui yang duduk di sebelahnya, tetapi Nabi Saw. tidak menghukumnya. Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah menceritakan hal yang se­misal,

dan ia menyebutkan bahwa ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab Badui yang bermaksud membunuh Rasulullah Saw,, lalu mereka mengutus orang Arab Badui itu (salah seorang dari mereka yang pemberani). Ia menakwilkan

dengan pengertian tersebut akan firman-Nya: ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat). (Al-Maidah: 11),

hingga akhir ayat.Kisah orang Arab Badui yang bernama Gauras ibnul Haris ini dise­butkan di dalam kitab sahih.Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan fir­man Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman,

ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (un­tuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kali­an. (Al-Maidah: 11);

Demikian itu karena ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Yahudi membuat suatu jamuan makan untuk Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dengan maksud hendak membunuh mereka semua. Maka Allah menurunkan wahyu

kepada Nabi-Nya yang memberitahukan perihal rencana kaum Yahudi itu. Maka Nabi Saw. tidak datang ke jamuan makan itu dan hanya memerintahkan kepada para sahabat un­tuk mendatanginya. Maka mereka datang ke jamuan makan tersebut.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.Abu Malik mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan de­ngan Ka'b ibnul Asyraf (pemimpin Yahudi) dan teman-temannya ke­tika mereka bermaksud melakukan pengkhianatan terhadap

Nabi Mu­hammad Saw. dan para sahabatnya; hal ini mereka rencanakan di ru­mah Ka'b ibnul Asyraf. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Ha­tim.Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, Mujahid, dan Ikrimah serta lain-lainnya yang bukan hanya

seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Nadir ketika mereka bermaksud menimpakan batu penggilingan gandum ke tubuh Rasulul­lah Saw. manakala Rasulullah Saw. datang kepada mereka meminta

bantuan berkenaan dengan diat orang-orang Amiriyin. Mereka menyerahkan tugas ini kepada Amr ibnu Jahsy ibnu Ka'b untuk melaku­kannya, dan mereka memerintahkan kepadanya apabila Nabi Saw. te­lah duduk di bawah tembok dan mereka

berkumpul menemuinya, hendaknya Amr menjatuhkan batu penggilingan gandum itu dari atas tembok tersebut. Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi Saw. makar jahat me­reka itu. Akhirnya Nabi Saw.

kembali lagi ke Madinah, diikuti oleh para sahabatnya. Berkenaan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:


{وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}


dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu berta­wakal. (Al-Maidah: 11)Yaitu barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menutupi semua yang menjadi kesusahannya dan memeliharanya dari kejahatan

manusia serta melindunginya. Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan agar para sahabat be­rangkat memerangi mereka. Akhirnya pasukan kaum muslim me­ngepung mereka dan mengalahkan mereka serta mengusirnya.

Surat Al-Maidah |5:8|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

yaaa ayyuhallażiina aamanuu kuunuu qowwaamiina lillaahi syuhadaaa`a bil-qisthi wa laa yajrimannakum syana`aanu qoumin 'alaaa allaa ta'diluu, i'diluu, huwa aqrobu lit-taqwaa wattaqulloh, innalloha khobiirum bimaa ta'maluun

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.

O you who have believed, be persistently standing firm for Allah, witnesses in justice, and do not let the hatred of a people prevent you from being just. Be just; that is nearer to righteousness. And fear Allah; indeed, Allah is Acquainted with what you do.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu selalu berdiri karena Allah) menegakkan kebenaran-kebenaran-Nya (menjadi saksi dengan adil) (dan janganlah kamu terdorong oleh kebencian kepada sesuatu kaum)

yakni kepada orang-orang kafir (untuk berlaku tidak adil) hingga kamu menganiaya mereka karena permusuhan mereka itu. (Berlaku adillah kamu) baik terhadap lawan maupun terhadap kawan (karena hal itu)

artinya keadilan itu (lebih dekat kepada ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) sehingga kamu akan menerima pembalasan daripadanya

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 8 |

Penjelasan ada di ayat 7

Surat Al-Maidah |5:9|

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ۙ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

wa'adallohullażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati lahum maghfirotuw wa ajrun 'azhiim

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh (bahwa) mereka akan mendapat ampunan dan pahala yang besar.

Allah has promised those who believe and do righteous deeds [that] for them there is forgiveness and great reward.

Tafsir
Jalalain

(Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh) suatu janji yang baik (bahwa untuk mereka keampunan dan pahala yang besar) yakni surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 9 |

Penjelasan ada di ayat 7

Surat Al-Maidah |5:10|

وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

wallażiina kafaruu wa każżabuu bi`aayaatinaaa ulaaa`ika ash-ḥaabul-jaḥiim

Ada pun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.

But those who disbelieve and deny Our signs - those are the companions of Hellfire.

Tafsir
Jalalain

(Sebaliknya orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami mereka itu adalah penduduk neraka.)

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 10 |

Penjelasan ada di ayat 7

Surat Al-Maidah |5:11|

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَنْ يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

yaaa ayyuhallażiina aamanużkuruu ni'matallohi 'alaikum iż hamma qoumun ay yabsuthuuu ilaikum aidiyahum fa kaffa aidiyahum 'angkum, wattaqulloh, wa 'alallohi falyatawakkalil-mu`minuun

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu ketika suatu kaum bermaksud hendak menyerangmu dengan tangannya, lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah dan hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal.

O you who have believed, remember the favor of Allah upon you when a people determined to extend their hands [in aggression] against you, but He withheld their hands from you; and fear Allah. And upon Allah let the believers rely.

Tafsir
Jalalain

(Hai orang-orang yang beriman, ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika suatu kaum bermaksud) yakni orang-orang Quraisy (hendak memanjangkan tangan mereka kepadamu) buat mencelakakanmu

(maka ditahan-Nya tangan mereka daripadamu) dan dilindungi-Nya kamu dari maksud jahat mereka itu (dan bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kepada Allah orang-orang mukmin itu bertawakal.)

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 11 |

Penjelasan ada di ayat 7

Surat Al-Maidah |5:12|

وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا ۖ وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ ۖ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۚ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ

wa laqod akhożallohu miiṡaaqo baniii isrooo`iil, wa ba'aṡnaa min-humuṡnai 'asyaro naqiibaa, wa qoolallohu innii ma'akum, la`in aqomtumush-sholaata wa aataitumuz-zakaata wa aamantum birusulii wa 'azzartumuuhum wa aqrodhtumulloha qordhon ḥasanal la`ukaffironna 'angkum sayyi`aatikum wa la`udkhilannakum jannaatin tajrii min taḥtihal-an-haar, fa mang kafaro ba'da żaalika mingkum fa qod dholla sawaaa`as-sabiil

Dan sungguh, Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israil dan Kami telah mengangkat dua belas orang pemimpin di antara mereka. Dan Allah berfirman, "Aku bersamamu." Sungguh, jika kamu melaksanakan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, pasti akan Aku hapus kesalahan-kesalahanmu, dan pasti akan Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tetapi barang siapa kafir di antaramu setelah itu, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus."

And Allah had already taken a covenant from the Children of Israel, and We delegated from among them twelve leaders. And Allah said, "I am with you. If you establish prayer and give zakah and believe in My messengers and support them and loan Allah a goodly loan, I will surely remove from you your misdeeds and admit you to gardens beneath which rivers flow. But whoever of you disbelieves after that has certainly strayed from the soundness of the way."

Tafsir
Jalalain

(Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari Bani Israel) mengenai apa yang akan disebutkan di belakang nanti (dan telah Kami angkat) terdapat peralihan dari dhamir gaib,

kepada orang pertama (di antara mereka 12 orang pemimpin) dari setiap suku seorang pemimpin yang akan menjamin dipenuhinya perjanjian itu oleh semua warga, dan kepada mereka

(Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu) siap dengan pertolongan dan bantuan. (Demi jika) lam menunjukkan sumpah

(kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, beriman kepada rasul-rasul-Ku dan memberikan bantuan kepada mereka serta kamu berikan kepada Allah suatu pinjaman yang baik) dengan mengeluarkan nafkah di jalan-Nya

(maka akan Kututupi kesalahan-kesalahan kamu dan akan Kumasukkan kamu ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Maka siapa yang kafir sesudah itu)

maksudnya sesudah perjanjian (di antara kamu, sesungguhnya ia telah sesat dari jalan yang lurus.") dari jalan yang benar. Sawaa` pada asalnya ialah yang pertengahan.

Maka mereka langgar perjanjian itu hingga Allah pun berfirman:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 12 |

Tafsir ayat 12-14

Setelah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk menunaikan janji Allah yang telah diambil-Nya atas diri mereka melalui lisan hamba dan Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw.) dan setelah Allah memerintahkan

kepada mereka untuk mene­gakkan perkara yang hak serta menjadi saksi dengan adil, setelah Allah mengingatkan kepada mereka akan nikmat-nikmat-Nya atas mereka —baik yang lahir maupun yang batin— yaitu Allah telah memberikan

petunjuk perkara yang hak kepada mereka dan juga hi­dayah, maka dalam ayat ini Allah Swt. menerangkan kepada mereka perihal pengambilan janji-Nya atas orang-orang sebelum mereka dari kalangan Ahli Kitab, yaitu orang-orang Yahudi

dan orang-orang Nas­rani. Disebutkan bahwa setelah orang-orang Ahli Kitab itu melanggar janji Allah, maka hal tersebut membuat mereka dikutuk oleh Allah Swt., dijauhkan dari rahmat-Nya, dan hati mereka dikunci mati agar tidak dapat sampai

kepada jalan hidayah dan agama yang hak; jalan menujunya adalah melalui ilmu yang bermanfaat dan amal yang sa­leh. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا}


Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin. (Al-Maidah: 12)Yang dimaksud dengan naqib ialah pemimpin atas kabilahnya ma­sing-masing untuk mengajak

mereka berbaiat (berjanji setia) untuk tunduk dan taat kepada Allah, rasul, dan kitab-Nya.Ibnu Abbas menceritakan dari Ibnu Ishaq dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang (dari kalangan bekas Ahli Kitab yang telah ma­suk Islam),

bahwa hal ini terjadi ketika Nabi Musa a.s. berangkat me­merangi orang-orang yang gagah perkasa. Maka Nabi Musa a.s. me­merintahkan kepada kaum Bani Israil agar masing-masing kabilah mengangkat seorang naqib (pemimpin).

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, "Tersebutlah bahwa yang menjadi pemimpin kabilah Rubial adalah Syamun ibnu Rakun, kabi­lah Syam'un dipimpin oleh Syafat ibnu Hirri, kabilah Yahuza dipim­pin oleh Kalib ibnu Yufana,

kabilah Atyan dipimpin oleh Mikhail ibnu Yusuf, kabilah Yusuf (yakni keturunan Ifrayim) dipimpin oleh Yusya' ibnu Nun, kabilah Bunyamin dipimpin oleh Faltam ibnu Dafun, kabilah Zabulun dipimpin oleh Jaddi ibnu Syura,

kabilah Mansya ibnu Yusuf dipimpin oleh Jaddi ibnu Musa, kabilah Dan dipimpin oleh Khamla-il ibnu Haml, kabilah Asyar dipimpin oleh Satur ibnu Mulkil, kabilah Nafsali dipimpin oleh Bahr ibnu Waqsi,

dan kabilah Yusakhir dipimpin oleh Layil ibnu Makyad."Tetapi aku (penulis) melihat di dalam bagian yang keempat dari kitab Taurat terdapat bilangan para naqib Bani Israil dan nama-nama­nya berbeda dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

Di dalamnya disebutkan bahwa pemimpin Bani Rubial adalah Al-Yasur ibnu Sadun, pemimpin Bani Syam'un adalah Syamuel ibnu Sur Syaki, pernimpin Bani Yahuza adalah Al-Hasyun ibnu Amyazab, pemimpin Bani Yusakhir adalah Syal ibnu Sa'un,

pemimpin Bani Zabulun adalah Al-Yab ibnu Halub, pemimpin Bani Ifrayim adalah Mansya ibnu Amanhur, pemimpin Bani Mansya adalah Hamlayail ibnu Yarsun, pemimpin Bani Bunyamin adalah Abyadan ibnu Jad'un, pemimpin Bani Dan adalah

Ju'aizar ibnu Amyasyza, pemimpin Bani Asyar adalah Nahalil ibnu Ajran, pemimpin Bani Kan adalah As-Saif ibnu Da'awayil, dan pemimpin Bani Naftali adalah Ajza' ibnu Amyanan.Demikian pula halnya ketika Rasulullah Saw.

membaiat orang-orang Ansar di malam Al-Aqabah. Jumlah mereka adalah dua belas orang pemimpin: Tiga orang dari kabilah Aus; mereka adalah Usaid ibnul Hudair, Sa'd ibnu Khaisamah, dan Rifa'ah ibnu Abdul Munzir,

yang menurut suatu pendapat diganti oleh Abul Haisam ibnut Taihan r.a. Sembilan orang dari kalangan kabilah Khazraj; mereka adalah Abu Umamah As'ad ibnu Zurarah, Sa'd ibnur Rabi’, Abdullah ibnu Rawwahah, Rafi' ibnu Malik ibnul Ajian,

Al-Barra ibnu Ma'rur, Ubadah ibnus Samit, Sa'd ibnu Ubadah, Abdullah ibnu Amr ibnu Haram, dan Al-Munzir ibnu Umar ibnu Hunaisy radiyallahu anhum.Jumlah mereka disebutkan oleh Ka'b ibnu Malik dalam syair yang dibuatnya,

sebagaimana Ibnu Ishaq pun menyebutkan mereka di dalam syairnya. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka adalah juru penerang atas kabilahnya masing-masing pada malam itu yang menyampaikan perintah Nabi Saw.

kepada mereka mengenai hal ter­sebut. Merekalah yang menangani perjanjian dan baiat kaumnya ke­pada Nabi Saw. untuk bersedia tunduk dan taat kepadanya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ مُجالد، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَهُوَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، هَلْ سَأَلْتُمْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمْ يَمْلِكُ هَذِهِ الْأُمَّةَ مِنْ خَلِيفَةٍ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: مَا سَأَلَنِي عَنْهَا أَحَدٌ مُنْذُ قدمتُ الْعِرَاقَ قَبْلَكَ، ثُمَّ قَالَ: نَعَمْ وَلَقَدْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اثْنَا عَشَرَ كَعِدَّةِ نُقَبَاءَ بَنِي إِسْرَائِيلَ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ha­san ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang menceritakan, "Ketika kami sedang duduk mendengarkan bacaan

Al-Qur'an yang dilaku­kan oleh Abdullah ibnu Mas'ud, tiba-tiba ada seorang lelaki mengaju­kan pertanyaan kepadanya, 'Wahai Abu Abdur Rahman, apakah kali­an pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. berapa khalifahkah

yang dirniliki oleh umat ini?' Abdullah berkata, 'Belum pernah ada orang yang menanyakan kepadaku masalah itu sejak aku tiba di Irak, selain kamu.' Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Ya, sesungguhnya kami pernah menanyakannya

kepada Rasulullah Saw., maka beliau Saw. menjawab: Ada dua belas naqib sama dengan para naqib kaum Bani Israil'."Hadis ini garib bila ditinjau dari segi konteksnya. Asal hadis ini dise­butkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Jabir ibnu Samurah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


"لَا يَزَالُ أَمْرُ النَّاسِ مَاضِيًا مَا وَلِيَهُمُ اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا"


Urusan manusia masih tetap lancar selagi mereka diperintah oleh dua belas orang lelaki.Kemudian Nabi Saw. mengucapkan suatu kalimat yang tidak dapat kudengar dengan baik, lalu aku menanyakan (kepada orang lain) ten­tang apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka ia menjawab bahwa Nabi Saw. bersabda:


"كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ"


Mereka semuanya dari kabilah Quraisy.Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Muslim. Makna hadis ini mengandung berita gembira yang menyatakan bahwa kelak akan ada dua belas orang khalifah saleh yang menegakkan perkara hak

dan bersikap adil di kalangan mereka.Hal ini tidak memastikan berurutannya mereka, yakni masa-masa pemerintahan mereka. Bahkan terdapat empat orang dari mereka yang berurutan masa pemerintahannya,

seperti empat orang Khalifah Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radiyallahu anhum. Di antara mereka ialah Umar ibnu Abdul Aziz, tanpa diragukan lagi menurut para imam, dan sebagian khalifah dari kalangan Banil Abbas.

Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum mereka semuanya meme­rintah, sebagai suatu kepastian.Menurut lahiriahnya salah seorang dari mereka adalah Imam Mahdi yang diberitakan melalui banyak hadis yang menyebutkan berita gembira

kedatangannya. Disebutkan bahwa nama imam ini sama dengan nama Nabi Saw. dan nama ayah Nabi Saw., lalu ia memenuhi bumi ini dengan keadilan dan kearifan, seperti halnya bumi dipenuhi oleh kezaliman dan keangkara-murkaan sebelumnya.

Akan tetapi, Imam Mahdi ini bukanlah imam yang ditunggu-tunggu kedatangannya —menurut dugaan orang-orang Rafidah, dia akan muncul dari bungker-bungker kota Samara— karena sesungguh­nya hal tersebut tidak ada kenyataannya

dan tidak ada sama sekali. Bahkan hal tersebut hanyalah merupakan igauan akal-akal yang ren­dah dan ilusi dari akal yang lemah.Bukanlah yang dimaksud dengan dua belas orang itu adalah para imam yang jumlahnya dua belas orang

menurut keyakinan orang-orang Rafidah (sekte dari Syi'ah). Mereka mengatakan demikian ka­rena kebodohan dan kekurang-akalan mereka.Di dalam kitab Taurat disebutkan berita gembira mengenai ke­datangan Ismail a.s.

Allah akan melahirkan dari tulang sulbinya dua belas orang pembesar (pemimpin). Mereka adalah para khalifah yang jumlahnya dua belas orang yang disebutkan di dalam hadis Ibnu Mas'ud dan Jabir ibnu Samurah.

Sebagian orang Yahudi yang telah masuk Islam yang kurang akalnya dan terpengaruh oleh sebagian golongan Syi'ah menduga bahwa mereka adalah para imam yang dua belas orang itu (yang di kalangan Syi'ah lazim disebut "Isna "Asy-ariyah"),

sehingga akibat­nya banyak dari kalangan mereka yang masuk Syi'ah karena kebo­dohan dan kedunguan mereka, juga karena minimnya ilmu mereka serta ilmu orang-orang yang mengajari mereka akan hal tersebut tentang sunnah-sunnah yang telah terbukti bersumber dari Nabi Saw.Firman Allah Swt.:


{وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ}


dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kalian." (Al-Maidah: 12)Yakni pemeliharaan-Ku, perlindungan-Ku, dan pertolongan-Ku selalu menyertai kalian.


{لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي}


sesungguhnya jika kalian mendirikan salat dan menunaikan za­kat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku. (Al-Maidah: 12)Yaitu kalian percaya kepada mereka dalam semua wahyu yang di­sampaikan oleh mereka kepada kalian.


{وَعَزَّرْتُمُوهُمْ}


dan kalian bantu mereka. (Al-Maidah: 12)Maksudnya, kalian tolong dan kalian dukung mereka dalam membela perkara yang hak.


{وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا}


dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. (Al-Maidah: 12)Makna yang dimaksud ialah menginfakkan harta di jalan Allah dan jalan yang diridai-Nya.


{لأكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ}


sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. (Al-Maidah: 12)Yaitu dosa-dosa kalian Kuhapuskan dan Kututupi, Aku tidak akan menghukum kalian karenanya.


{وَلأدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}


Dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Al-Maidah: 12)Artinya, Aku akan menolak dari kalian larangan dan menuntun kalian untuk mencapai apa yang kalian maksudkan. Firman Allah Swt.:


{فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ}


Maka barang siapa yang kafir di antara kalian sesudah itu, se­sungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 12)Yakni barang siapa yang melanggar perjanjian ini sesudah dijadikan dan dikukuhkan, lalu ia menyimpang

dan mengingkarinya, memperla­kukannya seperti perlakuan orang yang tidak mengetahuinya, berarti dia telah keliru dari jalan yang jelas, menyimpang dari hidayah me­nuju ke arah kesesatan.

Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal siksaan yang akan menimpa mereka yang melanggar perjanjian dengan-Nya dan meru­sak janji itu. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ}


(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuki mereka. (Al-Maidah: 13)Dengan kata lain, disebabkan mereka merusak janjinya yang telah di­ambil oleh Allah atas diri mereka, maka Allah mengutuki mereka. Yakni Allah menjauhkan mereka dari perkara yang hak dan mengusir mereka dari jalan hidayah.


{وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً}


dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. (Al-Maidah: 13)Karenanya mereka tidak dapat menyerap nasihat, sebab hati mereka keras dan membeku.


{يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ}


Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempat­nya. (Al-Maidah: 13)Maksudnya, pemahaman mereka telah rusak, sepak terjang mereka sangat buruk terhadap ayat-ayat Allah. Mereka menakwilkan KitabNya dengan penakwilan

yang tidak sesuai dengan penurunannya, menginterpretasikannya dengan pengertian yang berlainan dengan makna yang dimaksud, juga mengatakan terhadap Kitab Allah hal-hal yang tidak dikatakan oleh Allah Swt.


{وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ}


dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya. (Al-Maidah: 13)Yakni mereka tidak mau mengamalkannya karena benci terhadapnya. Menurut Al-Hasan, mereka meninggalkan ikatan agamanya

dan ke­wajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah atas diri mereka, pa­dahal amal perbuatan tidak akan diterima-Nya kecuali dengan me­ngerjakan kewajiban-kewajiban itu.Sedangkan selain Al-Hasan (Al-Basri) mengatakan bahwa mereka

meninggalkan amal saleh sehingga berada dalam keadaan yang amat buruk. Maka hati mereka sakit, fitrah mereka tidak lurus, dan amal perbuatan mereka tidak diterima.


{وَلا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ}


dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka. (Al-Maidah: 13)Yakni tipu muslihat dan makar mereka terhadap dirimu dan para sa­habatmu.Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah persekutuan mereka untuk menghancurkan Rasulullah Saw.


{فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ}


maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. (Al-Maidah: 13)Hal ini merupakan suatu kemenangan dan keberuntungan dalam ben­tuk yang lain, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, "Im­bangilah perbuatan orang yang durhaka

kepada Allah terhadap dirimu dengan taat kepada Allah dalam hal tersebut." Dengan demikian, me­reka menjadi segan dan malu, mau berdampingan dengan kebenaran, dan mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada mereka. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:


{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ}


sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Maidah: 13)Yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap dirimu. Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya berikut ini: maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. (Al-Maidah: 13); telah di-mansukh oleh firman Allah Swt. yang mengatakan:


قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِر


Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.Adapun firman Allah Swt.:


{وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ}


Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani," ada yang telah Kami ambil per­janjian mereka. (Al-Maidah: 14)Yakni di antara orang-orang yang mengakui dirinya Nasrani mengikuti

Isa ibnu Maryam a.s., padahal kenyataannya mereka tidak demi­kian; telah kami ambil janji atas diri mereka untuk mengikuti Rasulullah Saw. dan menolongnya, mendukungnya, dan mengikuti jejaknya, mau beriman kepada semua nabi

yang telah diutus oleh Allah ke bumi ini. Tetapi mereka melakukan hal yang sama seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Dengan kata lain, mereka melanggar dan mengingkari perjanjian tersebut. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:


{فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ}


tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang me­reka telah diberi peringatan dengannya, maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. (Al-Maidah: 14)Maksudnya, Kami timpakan

atas mereka kebencian dan permusuhan di antara mereka, sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain, dan yang demikian itu masih terus berkelanjutan hingga hari kiamat. Demikian pula golongan Nasrani dengan berbagai

sekte-sektenya masih senantiasa saling membenci dan saling memusuhi, mengalirkan sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain, dan mengutuk se­bagian dari mereka terhadap sebagian yang lain. Setiap sekte dari mereka

mengharamkan sekte lainnya dan melarang mereka memasuki tempat peribadatannya. Sekte Malikiyah mengafirkan sekte Ya'qubiyah, demikian pula yang lainnya. Hal yang sama dilakukan oleh sekte Nusturiyah dan Al-Aryusiyah, masing-masing

golongan mengafirkan golongan lain di dunia ini hingga hari para saksi bangkit nanti (yakni hari kiamat).Kemudian Allah Swt. berfirman:


{وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ}


Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan. (Al-Maidah: 14)Di dalam ayat ini terkandung ancaman dan kecaman yang tegas ditu­jukan kepada orang-orang Nasrani yang telah melakukan kedustaan

terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan perbuatan mereka yang berani menisbatkan kepada Allah hal-hal yang Allah Mahatinggi lagi Maha­suci dari hal-hal itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Yaitu mereka menjadikan bagi Allah istri dan anak,

Mahatinggi Allah lagi Mahasuci Tuhan Yang Maha Esa yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak diperanakkan, dan tidak beranak, serta tiada seorang pun yang menyerupai-Nya.

Surat Al-Maidah |5:13|

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ ۙ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ ۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

fa bimaa naqdhihim miiṡaaqohum la'annaahum wa ja'alnaa quluubahum qoosiyah, yuḥarrifuunal-kalima 'am mawaadhi'ihii wa nasuu ḥazhzhom mimmaa żukkiruu bih, wa laa tazaalu taththoli'u 'alaa khooo`inatim min-hum illaa qoliilam min-hum fa'fu 'an-hum washfaḥ, innalloha yuḥibbul-muḥsiniin

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

So for their breaking of the covenant We cursed them and made their hearts hard. They distort words from their [proper] usages and have forgotten a portion of that of which they were reminded. And you will still observe deceit among them, except a few of them. But pardon them and overlook [their misdeeds]. Indeed, Allah loves the doers of good.

Tafsir
Jalalain

(Maka disebabkan mereka melanggar) maa merupakan tambahan (janji itu, Kami kutuk mereka) artinya Kami jauhkan dari rahmat Kami (dan Kami jadikan hati mereka keras) tak hendak lunak untuk menerima keimanan.

(Mereka ubah perkataan-perkataan)yang terdapat dalam Taurat berupa sifat-sifat dan ciri-ciri Muhammad (dari tempat-tempatnya) semula yang ditaruh oleh Allah

(dan mereka lupakan) tinggalkan (sebagian dari peringatan-peringatan yang telah disampaikan kepada mereka) dalam Taurat mengenai ketaatan kepada Muhammad.

(Dan selalulah kamu) perkataan ditujukan kepada Nabi saw. (melihat) secara jelas (pengkhianatan dari mereka) dengan mengingkari janji dan lain-lain (kecuali sedikit di antara mereka) yang masuk Islam.

(Maka maafkanlah mereka itu dan biarkanlah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik) ini dimansukh oleh ayat perang.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 13 |

Penjelasan ada di ayat 12

Surat Al-Maidah |5:14|

وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَىٰ أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللَّهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

wa minallażiina qooluuu innaa nashoorooo akhożnaa miiṡaaqohum fa nasuu hazhzhom mimmaa żukkiruu bihii fa aghroinaa bainahumul-'adaawata wal-baghdhooo`a ilaa yaumil-qiyaamah, wa saufa yunabbi`uhumullohu bimaa kaanuu yashna'uun

Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Kami ini orang Nasrani," Kami telah mengambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka, maka Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka hingga hari Kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

And from those who say, "We are Christians" We took their covenant; but they forgot a portion of that of which they were reminded. So We caused among them animosity and hatred until the Day of Resurrection. And Allah is going to inform them about what they used to do.

Tafsir
Jalalain

(Dan di antara orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,") berkaitan dengan firman-Nya (ada yang telah Kami ambil pula janji mereka) sebagaimana halnya ,

orang-orang Yahudi dari kalangan Bani Israel (maka mereka lupakan sebagian dari peringatan yang telah disampaikan kepada mereka) yakni dalam Injil berupa keimanan dan lain-lain.

hingga mereka ingkari perjanjian itu (maka Kami bangkitkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat) dengan pertikaian dan perbedaan keinginan mereka,

hingga setiap golongan mengafirkan yang lain (dan Allah akan memberitakan kepada mereka kelak) yakni di akhirat (apa-apa yang mereka perbuat) lalu mendapat pembalasan daripada-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 14 |

Penjelasan ada di ayat 12

Surat Al-Maidah |5:15|

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ ۚ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ

yaaa ahlal-kitaabi qod jaaa`akum rosuulunaa yubayyinu lakum kaṡiirom mimmaa kuntum tukhfuuna minal-kitaabi wa ya'fuu 'ang kaṡiir, qod jaaa`akum minallohi nuuruw wa kitaabum mubiin

Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menjelaskan,

O People of the Scripture, there has come to you Our Messenger making clear to you much of what you used to conceal of the Scripture and overlooking much. There has come to you from Allah a light and a clear Book.

Tafsir
Jalalain

(Hai Ahli kitab! Sesungguhnya telah datang kepada kamu utusan kami) Muhammad (mengungkapkan kepadamu banyak hal dari apa yang kamu sembunyikan dari Alkitab) yakni kitab Taurat dan Injil

seperti ayat tentang rajam dan sifat-sifat Nabi saw. (dan banyak pula yang dibiarkannya) di antara demikian sehingga tidak diungkapkannya jika tidak ada kepentingannya selain dari membukakan rahasia kamu belaka.

(Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah) itulah dia Nabi saw. (dan kitab) yakni Alquran (yang jelas) nyata.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 15 |

Tafsir ayat 15-16

Allah Swt. memberitakan perihal diri-Nya Yang Mahamulia, bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad Saw.) dengan membawa hidayah dan agama yang hak kepada seluruh penduduk bu­mi, baik yang Arab maupun yang 'Ajam,

dan baik yang ummi mau­pun yang pandai baca tulis. Dia mengutusnya dengan membawa buk­ti-bukti yang nyata dan pemisah antara perkara yang hak dan perkara yang batil. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ}


Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak (pula yang) dibiarkannya. (Al-Maidah: 15)Yakni Rasul itu akan menjelaskan hal-hal

yang mereka ganti, yang mereka ubah, dan yang mereka takwilkan; mereka dustakan terhadap Allah dalam takwil itu, membiarkan banyak hal yang mereka ubah, tetapi tidak ada faedahnya bila dijelaskan.Imam Hakim meriwayatkan

di dalam kitab Mustadrak-nyu me­lalui hadis Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingkar terhadap hukum rajam, sesungguhnya ia telah ingkar kepada Al-Qur'an

tanpa terasa olehnya. Firman Allah Swt.: Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari isi Al-Kitab yang kalian sembunyikan. (Al-Maidah: 15) Hukum rajam termasuk salah satu

yang mereka sembunyikan. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad asar ini sahih, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkan­nya.Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal Al-Qur’an yang diturunkan-Nya kepada Nabi-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ}


Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, (Al-Maidah: 15-16) Yaitu jalan-jalan keselamatan dan kesejahteraan serta jalan-jalan yang lurus.


{وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}


dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al-Maidah: 16)Maksudnya, menyelamatkan mereka

dari kebinasaan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang paling terang, sehingga mereka terhindar dari hal-hal yang dilarang dan dapat meraih urusan-urusan yang disu­kai mereka, melenyapkan dari mereka kesesalan, dan menunjuki me­reka kepada keadaan yang paling baik buat mereka.

Surat Al-Maidah |5:16|

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

yahdii bihillaahu manittaba'a ridhwaanahuu subulas-salaami wa yukhrijuhum minazh-zhulumaati ilan-nuuri bi`iżnihii wa yahdiihim ilaa shiroothim mustaqiim

dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya dan menunjukkan ke jalan yang lurus.

By which Allah guides those who pursue His pleasure to the ways of peace and brings them out from darknesses into the light, by His permission, and guides them to a straight path.

Tafsir
Jalalain

(Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya) maksudnya dengan Alquran dan dengan jalan beriman (ke jalan-jalan keselamatan) jalan yang menyelamatkan mereka

(dan mengeluarkan mereka dari kegelapan) yakni kekafiran (kepada cahaya) yakni keimanan (dengan izin-Nya) dengan iradat-Nya (serta membimbing mereka ke jalan yang lurus) yakni agama Islam.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 16 |

Penjelasan ada di ayat 15

Surat Al-Maidah |5:17|

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ۗ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

laqod kafarollażiina qooluuu innalloha huwal-masiiḥubnu maryam, qul fa may yamliku minallohi syai`an in arooda ay yuhlikal-masiiḥabna maryama wa ummahuu wa man fil-ardhi jamii'aa, wa lillaahi mulkus-samaawaati wal-ardhi wa maa bainahumaa, yakhluqu maa yasyaaa`, wallohu 'alaa kulli syai`ing qodiir

Sungguh, telah kafir orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam." Katakanlah (Muhammad), "Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra Maryam beserta ibunya dan seluruh (manusia) yang berada di bumi?" Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang Dia Kehendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

They have certainly disbelieved who say that Allah is Christ, the son of Mary. Say, "Then who could prevent Allah at all if He had intended to destroy Christ, the son of Mary, or his mother or everyone on the earth?" And to Allah belongs the dominion of the heavens and the earth and whatever is between them. He creates what He wills, and Allah is over all things competent.

Tafsir
Jalalain

(Sungguh, telah kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah itu ialah Almasih putra Maryam.") yang mereka memandangnya sebagai Tuhan. Mereka ini ialah kaum Yakobin suatu sekte dari agama Nasrani.

(Katakanlah, "Siapakah yang dapat menolak) menghalangi (akan) siksa (Allah walau sedikit pun, jika Dia hendak membinasakan Almasih putra Maryam itu beserta ibunya dan orang-orang yang ada di bumi keseluruhannya)

Maksudnya tak seorang pun yang mampu menolak kehendak-Nya. Dan sekiranya Almasih itu benar-benar Tuhan tentulah ia akan mampu melakukannya.

(Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang terdapat di antara keduanya. Diciptakan-Nya apa yang disukai-Nya, dan Allah atas segala sesuatu) yang dikehendaki-Nya (Maha Kuasa").

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 17 |

Tafsir ayat 17-18

Allah Swt. menceritakan perihal kekufuran orang-orang Nasrani karena mereka mendakwakan terhadap diri Al-Masih ibnu Maryam —yang sebenarnya adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah dan salah satu dari makhluk yang diciptakan-Nya

— sebagai tuhan. Maha­tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang setinggi-tingginya.Kemudian Allah Swt. memberitahukan perihal kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, bahwa semuanya itu berada di bawah kekuasaan dan pengaruh-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا}


Katakanlah, "Maka siapakah (gerangan) yang dapat mengha­lang-halangi kehendak Allah jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang yang berada di bumi kesemuanya?" (Al-Maidah: 17)

Dengan kata lain, seandainya Allah menghendaki hal tersebut, siapa­kah yang dapat mencegah-Nya dari perbuatan itu, atau siapakah yang mampu memalingkan Allah dari hal tersebut? Dalam firman selanjut­nya disebutkan:


{وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ}


Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang terdapat di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. (Al-Maidah: 17)Semua yang ada ini adalah milik Allah dan makhluk-Nya. Dia Maha­kuasa atas apa yang

dikehendaki-Nya, tiada yang mempertanyakan apa yang dilakukan-Nya berkat kekuasaan, pengaruh, keadilan, dan kebesaran-Nya. Makna ayat ini mengandung bantahan terhadap orang­-orang Nasrani, semoga laknat Allah

yang berturut-turut sampai hari kiamat menimpa mereka. Selanjutnya Allah Swt. berfirman, memban­tah kedustaan dan kebohongan yang dibuat oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam pengakuannya, yaitu:


{وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ}


Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Majdah: 18)Maksudnya, kami adalah keturunan para nabi-Nya, sedangkan mereka adalah anak-anak-Nya. Dia memperhatikan mereka,

karena itu Dia mencintai kami. Telah dinukil pula dari kitab mereka bahwa Allah Swt. berfirman kepada hamba-Nya Israil (Nabi Ya'qub), "Kamu ada­lah anak pertama-Ku (yakni kesayangan-Ku)." Lalu mereka menakwilkan kalimat ini

dengan pengertian yang tidak sebenarnya dan me­reka mengubahnya. Mereka dibantah oleh bukan hanya seorang dari kalangan orang-orang pandai mereka yang telah masuk Islam, bahwa kalimat ini diucapkan di kalangan mereka

untuk menunjukkan makna menghormat dan memuliakan (bukan seperti yang tertulis). Sama hal­nya dengan apa yang telah dinukil dari kitab orang-orang Nasrani, bahwa Isa berkata kepada mereka.”Sesungguhnya aku akan pergi menemui

Ayahku dan Ayah kalian." Makna yang dimaksud ialah per­gi untuk menemui Tuhanku dan Tuhan kalian.Tetapi kita maklumi semua bahwa orang-orang Yahudi itu tidak­lah mendakwakan buat diri mereka status anak seperti yang didakwa­kan

oleh orang-orang Nasrani kepada Isa a.s. Sesungguhnya yang me­reka maksudkan dengan kata-kata tersebut hanyalah kehormatan dan kedudukan mereka di sisi-Nya. Karena itu, mereka mengatakan, "Ka­mi adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya."Firman Allah Swt. membantah mereka:


{قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ}


Katakanlah, "Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena do­sa-dosa kalian?" (Al-Maidah: 18)Dengan kata lain, seandainya kalian seperti apa yang kalian dakwakan itu, yakni kalian adalah anak-anak-Nya dan kekasih-kekasih-Nya,

mengapa Dia menyiapkan neraka Jahannam buat kalian atas kekufur­an kalian dan kedustaan serta kebohongan kalian?Salah seorang guru tasawwuf pernah mengajukan pertanyaan ke­pada seorang ulama fiqih,

"Di manakah kamu jumpai di dalam Al-Qur'an bahwa seorang kekasih tidak akan menyiksa orang yang dika­sihinya?" Ulama fiqih diam, tidak dapat menjawab. Akhirnya guru ta­sawwuf itu membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Katakanlah,

"Maka mengapa Allah menyiksa kalian karena do­sa-dosa kalian?" (Al-Maidah: 18)Apa yang dikatakan oleh guru tasawwuf ini cukup baik. Apa yang di­katakannya itu mempunyai syahid yang menguatkannya, yaitu di da­lam kitab Musnad Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ حُمَيْد، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَصَبِيٍّ فِي الطَّرِيقِ، فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ يُوْطَأ، فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ: ابْنَيِ ابْنِي! وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ، فَقَالَ الْقَوْمُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُلْقِيَ ابْنَهَا فِي النَّارِ. قَالَ: فَخفَّضَهُم النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "لَا وَاللَّهِ مَا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ"


Disebutkan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang men­ceritakan bahwa pada suatu hari Nabi Saw. lewat bersama sejumlah sahabatnya, sedangkan saat itu ada anak kecil berada di tengah jalan.

Ketika ibu si anak melihat kaum datang (yakni Nabi Saw. dan para sahabatnya), maka si ibu merasa khawatir anaknya akan terinjak oleh kaum. Maka ia lari dan berkata, "Anakku, anakku," lalu ia mengam­bil anaknya. Maka kaum bertanya,

"Wahai Rasulullah, ibu ini tidak akan mencampakkan anaknya ke dalam neraka." Maka Nabi Saw. menahan mereka, lalu bersabda: Tidak, demi Allah, Dia tidak akan mencampakkan kekasih-Nya ke dalam neraka. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.


{بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ}


Kalian bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), te­tapi kalian adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. (Al-Maidah: 18)Dengan kata lain, kalian sama saja dengan anak Adam lainnya; dan Dialah Yang memberikan kcputusan atas semua hamba-Nya.


{يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ}


Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Maidah: 18)Yakni Dia Maha Mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya, tiada aki­bat bagi keputusan-Nya, dan Dia Mahacepat perhitungan-Nya.


{وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا}


Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya. (Al-Maidah: 18)Semuanya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan dan pengaruh-Nya.


{وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ}


Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). (Al-Maidah: 18)Artinya, mereka semuanya akan kembali kepada-Nya dan Dia akan memberikan keputusan hukum terhadap hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya,

dan Dia Mahaadil yang selamanya tidak zalim.Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah kedatangan Nu'-man ibnu Asa. Bahr ibnu Amr, dan Syas ibnu Addi. Lalu mereka ber­bicara kepadanya dan Rasulullah Saw. berbicara kepada mereka, me­nyeru mereka kepada Allah dan memperingatkan mereka akan pembalasan-Nya.

Mereka mengatakan, "Kamu sama sekali tidak dapat membuat kami takut, hai Muhammad, karena kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya," sama halnya dengan perkataan orang-orang Nasrani. Allah menurunkan ayat berikut

berkenaan de­ngan ucapan mereka itu, yakni firman-Nya: Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan, "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Maidah: 18), hingga akhir ayat.

Demikianlah menurut riwayat Imam Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir. Keduanya telah meriwayatkan pula melalui jalur Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman Allah Swt.: Orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mengatakan,

"Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." (Al-Maidah: 18); Mengenai perkataan mereka, "Kami adalah anak-anak Allah," sesung­guhnya mereka mengatakan, "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada Israil

(yakni Nabi Ya'qub), 'Engkau adalah anak pertama-Ku (kekasihku)'." Maka Allah memasukkan orang-orang Yahudi ke da­lam neraka, dan mereka tinggal di dalam neraka selama empat puluh hari untuk dibersihkan dan dihapuskan semua dosanya.

Kemudian ada suara yang menyerukan, "Keluarkanlah dari neraka semua orang yang disunat dari kalangan anak-anak Israil!" Lalu mereka dikeluarkan dari neraka. Yang demikian itulah perkataan mereka, "Kami tidak akan di­masukkan ke dalam neraka kecuali hanya beberapa hari yang berbilang."

Surat Al-Maidah |5:18|

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ ۚ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ ۖ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ ۚ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

wa qoolatil-yahuudu wan-nashooroo naḥnu abnaaa`ullohi wa aḥibbaaa`uh, qul fa lima yu'ażżibukum biżunuubikum, bal antum basyarum mim man kholaq, yaghfiru limay yasyaaa`u wa yu'ażżibu may yasyaaa`, wa lillaahi mulkus-samaawaati wal-ardhi wa maa bainahumaa wa ilaihil-mashiir

Orang Yahudi dan Nasrani berkata, "Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Katakanlah, "Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu? Tidak, kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang Dia ciptakan. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Dan milik Allah seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada-Nya semua akan kembali."

But the Jews and the Christians say, "We are the children of Allah and His beloved." Say, "Then why does He punish you for your sins?" Rather, you are human beings from among those He has created. He forgives whom He wills, and He punishes whom He wills. And to Allah belongs the dominion of the heavens and the earth and whatever is between them, and to Him is the [final] destination.

Tafsir
Jalalain

(Kata orang-orang Yahudi dan Nasrani) artinya kata masing-masing golongan itu ("Kami ini anak-anak Allah) maksudnya seperti anak-anak-Nya dalam keakraban dan kedudukan,

sebaliknya Dia tak ubahnya dengan bapak kami dalam kecintaan dan kasih sayang (dan kekasih-kekasih-Nya." Katakanlah) kepada mereka hai Muhammad ("Kalau begitu kenapa Allah menyiksamu karena dosa-dosamu")

Maksudnya ucapanmu itu bohong, karena biasanya bapak tak mau menyiksa anaknya begitu pula seorang kekasih terhadap orang yang disayanginya (bahkan kamu hanyalah manusia biasa termasuk) golongan makhluk

(yang diciptakan-Nya) di antara manusia, sama-sama menerima pahala dan memikul dosa bersama mereka (diampuni-Nya siapa yang dikehendaki-Nya) bagi-Nyalah ampunan (dan disiksa-Nya siapa yang dikehendaki-Nya)

untuk disiksa tanpa suatu pun yang akan menghalangi-Nya. (Dan milik Allahlah kerajaan langit dan bumi dan segala apa yang terdapat di antara keduanya dan kepada-Nya tempat kembali).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 18 |

Penjelasan ada di ayat 17

Surat Al-Maidah |5:19|

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَىٰ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ ۖ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

yaaa ahlal-kitaabi qod jaaa`akum rosuulunaa yubayyinu lakum 'alaa fatrotim minar-rusuli an taquuluu maa jaaa`anaa mim basyiiriw wa laa nażiir, fa qod jaaa`akum basyiiruw wa nażiir, wallohu 'alaa kulli syai`ing qodiir

Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak mengatakan, "Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan." Sungguh, telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

O People of the Scripture, there has come to you Our Messenger to make clear to you [the religion] after a period [of suspension] of messengers, lest you say, "There came not to us any bringer of good tidings or a warner." But there has come to you a bringer of good tidings and a warner. And Allah is over all things competent.

Tafsir
Jalalain

(Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami) yakni Muhammad (menjelaskan kepada kamu) syariat-syariat agama (ketika terputusnya pengiriman rasul-rasul),

karena antara dia dengan Isa tak seorang pun rasul yang diutus Allah sedangkan jarak masanya ialah 569 tahun (agar) tidak (kamu katakan) jika kamu disiksa nanti ("Tidak ada datang kepada kami)

min sebagai tambahan (pembawa berita gembira dan tidak pula pembawa peringatan karena sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira maupun pembawa peringatan itu")

sehingga tak ada kemaafan bagimu lagi! (Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) di antaranya menyiksamu jika kamu tidak taat dan patuh kepada-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 19 |

Penjelasan ada di ayat 17

Allah Swt. berfirman—ditujukan kepada kaum Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani— bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad Saw. kepada mereka sebagai nabi terakhir, tiada nabi lagi dan tiada pula rasul sesudahnya; dia adalah penutup bagi semua nabi dan rasul. Karena itulah Allah Swt. berfirman:


{عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ}


ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul. (Al-Maidah: 19)Yakni sesudah berlalunya masa yang panjang antara pengangkatan Nabi Muhammad sebagai rasul dan zaman Nabi Isa ibnu Maryam.Para ulama berselisih pendapat mengenai masa fatrah ini.

Menurut Abu Usman An-Nahdi dan Qatadah dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, masa fatrah tersebut adalah 600 tahun.Menurut riwayat Imam Bukhari, dari Salman Al-Farisi dan Qatadah, fatrah itu selama 560 tahun.

Ma'mar telah mengatakan dari sebagian teman-temannya bahwa fatrah itu adalah 540 tahun.Menurut Ad-Dahhak, lama fatrah adalah 430 tahun lebih beberapa tahun.Ibnu Asakir telah menyebutkan di dalam bibliografi Isa a.s., dari Asy-Sya'bi.

bahwa Asy-Sya'bi telah mengatakan, "Dari masa pengangkatan Nabi Isa ke langit sampai hijrah Nabi Saw. ke Madinah lamanya 933 tahun."'Tetapi pendapat yang terkenal adalah pendapat yang pertama tadi, yaitu 600 tahun. Di antara mereka

ada yang mengatakan 620 tahun, tetapi pada hakikatnya di antara kedua pendapat ini tidak ada perbedaan; karena pendapat pertama dimaksudkan berdasarkan hitungan tahun Syamsiyyah, sedangkan pendapat kedua berdasarkan

perhitungan tahun Qamariyyah. Padahal terdapat perbedaan antara setiap seratus tahun Syamsiyyah dengan seratus tahun Oamariyyah, yaitu tiga tahun. Karena itulah disebutkan di dalam kisah "'As-habul Kahfi" oleh firman-Nya:


{وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا}


Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). (Al-Kahfi: 25)Yakni berdasarkan perhitungan tahun Qamariyyah, untuk melengkapi hitungan tiga ratus tahun Syamsiyyah yang telah dikenal di kalangan

orang-orang Ahli Kitab. Fatrah yang panjang terjadi antara masa Nabi Isa ibnu Maryam —yang merupakan nabi terakhir dari kalangan kaum Bani Israil— dan Nabi Muhammad —penutup para nabi dari semua anak Adam secara mutlak—,

seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari me­lalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ؛ لِأَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَيْنِي وَبَيْنَهُ


Aku adalah orang yang paling dekat kepada Ibnu Maryam, karena antara dia dan aku tidak ada seorang nabi pun.Hadis ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang menduga bahwa telah diutus seorang nabi sesudah Isa yang dikenal

dengan nama Khalid ibnu Sinan, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Quda'i dan lain-lainnya.Maksud Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. setelah lama terputusnya pengiriman rasul-rasul adalah agar mereka merasakan bahwa nikmat

pengutusannya lebih sempurna dan kedatangannya sangat diperlukan. Dalam masa fatrah tersebut seluruhnya diwarnai zaman yang kelabu, semua agama berubah dari asalnya, dan banyak dilakukan penyembahan terhadap berhala,

api serta salib. Kerusakan ini melanda semua negeri, kezaliman dan kebodohan telah memasyarakat di kalangan banyak hamba Allah, sedikit sekali dari mereka yang tetap berpegang kepada sisa-sisa agama para nabi terdahulu;

mereka terdiri atas kalangan para rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani serta pendeta-pende­ta Sabi-ah.Sehubungan dengan hal ini, Imam Ahmad mengatakan:


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ مُطَّرَّف، عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَار المُجَاشِعِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ: "وَإِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أعلِّمكم مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمني فِي يَوْمِي هَذَا: كُلُّ مَالٍ نَحَلْته عِبَادِي حَلَالٌ، وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاء كلَّهم، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فأضَلَّتْهُم عَنْ دِينِهِمْ، وحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وأمرَتْهم أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ، عجَمَهم وعَرَبَهُم، إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَقَالَ: إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لِأَبْتَلِيَكَ وَأَبْتَلِيَ بِكَ، وَأَنْزَلْتُ عَلَيْكَ كِتَابًا لَا يَغْسِلُهُ الْمَاءُ، تَقْرَؤُهُ نَائِمًا ويَقْظان، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أُحَرِّقَ قُرَيْشًا، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، إِذَنْ يَثْلَغُوا رَأْسِي فَيَدَعُوهُ خُبْزة، فَقَالَ: اسْتَخْرِجْهُمْ كَمَا اسْتَخْرَجُوكَ، وَاغْزُهُمْ نُغْزِك، وَأَنْفِقْ عَلَيْهِمْ فَسَنُنفق عَلَيْكَ، وَابْعَثْ جُنْدًا نَبْعَثُ خَمْسَةَ أَمْثَالِهِ وَقَاتِلْ بِمَنْ أَطَاعَكَ مَنْ عَصَاكَ، وَأَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ: ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتصدِّق مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ بِكُلِّ ذِي قُرْبَى وَمُسْلِمٍ، وَرَجُلٌ عَفِيف فَقِيرٌ مُتَصَدِّقٌ، وَأَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ: الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ لَهُ، الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبْعًا أَوْ تُبعاء -شَكَّ يَحْيَى-لَا يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ، وَرَجُلٌ لَا يُصْبِح وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ"، وَذَكَرَ الْبَخِيلَ أَوِ الْكَذِبَ، "والشِّنْظير: الْفَاحِشُ".


bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Mutarrif, dari Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i r.a., bahwa pada suatu hari Nabi Saw.

berkhotbah, antara lain berbunyi sebagai berikut: Dan sesungguhnya Tuhanku telah memerintahkan aku untuk memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dari apa yang telah diajarkan-Nya kepadaku hari ini, yaitu,

"Semua harta benda yang Aku. berikan kepada hamba-hamba-Ku halal, dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada agama yang hak) semuanya. Tetapi sesungguhnya setan datang

kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan kepada mereka. Setan pun memerintahkan mereka untuk mempersekutukan Aku, padahal Aku sekali-kali tidak menurunkan hujah

untuk itu." Kemudian Allah Swt. memandang kepada penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka, baik yangArab maupun yang 'Ajam, kecuali sisa-sisa dari Bani Israil. Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengutusmu hanyalah

untuk mengujimu dan menjadikanmu sebagai ujian (buat mereka). Dan Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak luntur karena air, kamu membacanya baik dalam keadaan tidur ataupun terjaga." Kemudian sesungguhnya Allah

memerintahkan kepadaku membakar (memerangi) orang-orang Quraisy, maka aku menjawab, "Wahai Tuhanku, kalau demikian niscaya mereka akan mengelupas kepalaku dan akan membuatnya seperti adonan roti." Allah berfirman,

"Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu. Perangilah mereka, niscaya Aku akan membantumu. Berinfaklah untuk menghadapi mereka, niscaya Aku akan menggantikannya kepadamu. Kirimkanlah pasukan, niscaya Aku akan membantu

dengan lima kali lipatnya; dan berperanglah bersama orang-orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang durhaka kepadamu." Ahli surga itu ada tiga macam, yaitu penguasa yang adil, bijaksana lagi dermawan;

lelaki yang kasih sayang lagi lembut hatinya kepada setiap kerabat yang muslim; dan seorang lelaki yang memelihara dirinya dari meminta-minta, miskin lagi banyak tanggungannya (anak-anaknya). Ahli neraka itu ada lima macam,

yaitu orang lemah yang tiada agamanya, orang-orang yang berada di antara kalian sebagai pengikut atau selalu mengikut —ragu dari pihak Yahya— mereka tidak menginginkan punya keluarga dan tidak pula harta, pengkhianat yang tidak pernah

melewatkan suatu kesempatan pun —betapapun kecilnya pasti dikhianatinya—, dan seorang lelaki yang setiap pagi dan petangnya tiada lain selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu. Selain itu disebutkan pula,

"Orang yang kikir atau pendusta, dan orang yang buruk akhlaknya lagi tukang mencaci."Kemudian Imam Ahmad pun meriwayatkannya, demikian pula Imam Muslim serta Imam Nasai melalui berbagai jalur, dari Qatadah,

dari Mutarrif ibnu Abdullah ibnusy Syikhkhir.Di dalam riwayat Syu'bah, dari Qatadah, terdapat penjelasan bahwa Qatadah mendengar hadis ini dari Mutarrif.Imam Ahmad telah menyebutkan di dalam kitab Musnad-nya bahwa Qatadah

tidak mendengarnya dari Mutarrif, melainkan dari empat orang, dari Mutarrif.Kemudian Qatadah meriwayatkannya pula dari Rauh, dari Auf, dari Hakim Al-Asram, dari Al-Hasan yang telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya

Mutarrif, dari Iyad ibnu Hammad, lalu ia menyebutkan hadis ini.Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Gundar, dari Auf Al-A'rabi dengan lafaz yang sama.Maksud mengetengahkan hadis ini ialah menyitir kalimat yang mengatakan:


"وَإِنَّ اللَّهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ فَمَقَتَهُمْ، عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ إِلَّا بَقَايَا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ".


Sesungguhnya Allah memperhatikan penduduk bumi, maka Allah murka kepada mereka semuanya, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, kecuali sisa-sisa dari Bani Israil.Menurut lafaz Imam Muslim adalah "مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ".”sisa-sisa Ahli Kitab".

Dahulu agama masih kabur bagi seluruh penduduk bumi, hingga Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. Maka Allah memberi petunjuk kepada semua makhluk dan mengeluarkan mereka melalui Nabi Muhammad Saw.

dari kegelapan menuju ke cahaya yang terang benderang, dan membiarkan mereka berada pada hujah yang jelas dan syariat yang bercahaya Karena itulah Allah Swt. berfirman:


{أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلا نَذِيرٍ}


agar kalian tidak mengatakan, "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.”(Al-Maidah: 19)Yakni agar kalian tidak beralasan dan tidak mengatakan,

"Hai orang-orang yang mengubah agamanya dan menggantinya, tidak pernah datang kepada kita seorang rasul pun yang membawa berita gembira dengan kebaikan dan memperingatkan kita dari perbuatan jahat."

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, yaitu Nabi Muhammad Saw,


{وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}


Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al-Maidah: 19)Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ini ialah "sesungguhnya Aku berkuasa untuk menghukum orang-orang yang durhaka terhadap-Ku dan berkuasa Untuk memberi pahala orang orang yang taat kepadaKu.

Surat Al-Maidah |5:20|

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ

wa iż qoola muusaa liqoumihii yaa qoumiżkuruu ni'matallohi 'alaikum iż ja'ala fiikum ambiyaaa`a wa ja'alakum muluukaw wa aataakum maa lam yu`ti aḥadam minal-'aalamiin

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang-orang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain."

And [mention, O Muhammad], when Moses said to his people, "O my people, remember the favor of Allah upon you when He appointed among you prophets and made you possessors and gave you that which He had not given anyone among the worlds.

Tafsir
Jalalain

(Dan) ingatlah (ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku! Ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika diangkat-Nya padamu) maksudnya dari golonganmu (para nabi dan dijadikan-Nya kamu sebagai raja-raja)

yang mempunyai anak buah dan pelayan (serta diberi-Nya kamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat manusia) seperti hidangan dari langit, manna dan salwa, terbelahnya lautan dan lain-lain.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 20 |

Tafsir ayat 20-26

Allah menceritakan tentang hamba dan Rasul-Nya yang juga merupakan orang yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya, yaitu Nabi Musa ibnu Imran a.s. Kisahnya menyangkut peringatan yang ia sampaikan kepada kaumnya

akan nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di tangan mereka, yaitu Allah menghimpunkan bagi mereka kebaikan dunia dan akhirat sekiranya mereka tetap berada pada jalannya yang lurus. Allah Swt. berfirman:


{وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ}


Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian." (Al-Maidah: 20)Yakni setiap nabi meninggal dunia, maka bangkitlah di antara kalian nabi lainnya,

sejak zaman kakek moyang kalian Nabi Ibrahim sampai masa-masa sesudahnya. Demikianlah keadaan mereka, masih tetap ada nabi-nabi dari kalangan mereka yang menyeru kepada agama Allah dan memperingatkan mereka

akan pembalasan-Nya, sehingga diakhiri oleh Nabi Isa ibnu Maryam a.s.Kemudian Allah memberikan wahyu kepada penutup seluruh para nabi dan rasul, yaitu Nabi Muhammad ibnu Abdullah yang nasabnya.

sampai kepada Nabi Ismail a.s. ibnu Nabi Ibrahim a.s. Dia lebih mulia dan lebih terhormat daripada para nabi sebelumnyaFirman Allah Swt.:


{وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا}


dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka (Al-Maidah: 20)Istilah muluk menurut apa yang diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari As-Sauri, dari Mansur, dari Al-Hakam atau lainnya, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa makna

"Dan Dia menjadikan kalian muluk" ialah mempunyai pelayan, istri, dan rumah.Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis As-Sauri pula, dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "muluk" ialah istri dan pelayan.


{وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}


Dan Dia telah memberikan kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud ialah umat-umat lain yang ada se­masa mereka.

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.Maimun ibnu Mahran telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki

dari kalangan kaum Bani Israil apabila telah mempunyai istri, pelayan, dan rumah tempat tinggal, maka ia dinamakan malik (raja).Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la. telah menceritakan kepada kami

Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Abu Hani; ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Hambali mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr ibnul As ketika ditanya oleh seorang lelaki, "Bukankah kita termasuk

orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin?" Lalu Abdullah ibnu Amr ibnul As balik bertanya, "Bukankah kamu mempunyai istri yang menjadi teman hidupmu?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr bertanya lagi,

"Bukankah kamu punya rumah tempat tinggal?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Abdullah ibnu Amr berkata, "Kalau demikian, kamu termasuk orang kaya." Lelaki itu berkata, "Aku mempunyai pelayan." Abdullah ibnu Amr menjawab, "Kalau demikian,

kamu termasuk orang kaya."Al-Hasan Al-Bashri telah mengatakan bahwa raja itu tiada lain hanyalah seseorang yang mempunyai kendaraan, pelayan, dan rumah.Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hal

yang semisal, dari Al-Hakam, Mujahid, Mansur, dan Sufyan As-Sauri.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Maimun ibnu Mahran; Ibnu Syaizab telah mengatakan bahwa dahulu seorang lelaki dari kalangan Bani Israil apabila memiliki rumah

dan pelayan serta untuk bersua dengannya harus melalui penjaga, maka dia adalah seorang rajaQatadah mengatakan, orang-orang Bani Israil adalah orang-orang yang mula-mula menggunakan pelayan.As-Saddi telah mengatakan sehubungan

dengan makna firman-Nya: dan Dia menjadikan kalian orang-orang yang merdeka. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud ialah "bila seseorang dari kalian telah memiliki dirinya, memiliki harta benda, dan mempunyai istri". Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: ذَكَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَة، عَنْ دَرَاج، عَنْ أَبِي الهَيْثَم، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "كَانَ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ خَادِمٌ وَدَابَّةٌ وَامْرَأَةٌ، كُتِب مَلِكًا".


Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan dari Ibnu Luhai'ah, dari Daraj, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka

mempunyai pelayan, kendaraan, dan istri, maka ia dicatat sebagai seorang raja.Dari segi teksnya hadis ini berpredikat garib.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَة أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، [قَالَ] سَمِعْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمٍ يَقُولُ: {وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا} فَلَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ كَانَ لَهُ بَيْتٌ وَخَادِمٌ فَهُوَ مَلِكٌ".


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnu Bakkar, telah menceritakan kepada kami Abu Damrah Anas ibnu Iyad. bahwa ia pernah mendengar Zaid ibnu Aslam berkata menafsirkan makna firman-Nya,

"Dan Dia menjadikan kalian orang-orang merdeka" (Al-Maidah: 20). Maka tiada yang dikatakannya kecuali hanya mengetengahkan hadis bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mempunyai rumah dan pelayan,

maka dia adalah raja. Hadis ini mursal lagi garib. Menurut Malik, yang dimaksud dengan raja ialah orang yang memiliki rumah, pelayan, dan istri. Di dalam sebuah hadis disebutkan:


"مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِربه، عِنْدَهُ قُوت يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزت لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا".


Barang siapa yang berpagi hari dari kalian dalam keadaan diberi kesehatan pada tubuhnya dan aman dijalannya, serta ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah diraih olehnya.Firman Allah Swt.:


{وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}


dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah di­berikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)Yakni orang-orang yang alim di masa kalian. Karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang

yang paling mulia di zamannya, lebih mulia daripada orang-orang Yunani, orang-orang Egypt, dan bangsa-bangsa lain dari anak Adam. seperti yang disebutkan oleh ayat lain:


{وَلَقَدْ آتَيْنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ}


Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al-Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian; dan Kami berikan kepada mereka rezeki-rezeki yang baik, dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (Al-Jatsiyah: 16) Allah Swt. berfirman,menceritakan perihal Musa a.s. ketika umatnya mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya:


{اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ. إِنَّ هَؤُلاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ}


Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala). Musa menjawab, "Sesung­guhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)." Sesungguhnya mereka itu

akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab, "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kalian yang selain dari Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kalian atas segala umat.”

(Al-A'raf: 138-140)Yang kami maksudkan ialah "mereka adalah orang-orang yang paling unggul di masanya", karena sesungguhnya umat ini lebih mulia daripada mereka dan lebih utama di sisi Allah,

syariatnya lebih sempurna dan jalannya lebih lurus, nabinya lebih mulia, kerajaannya lebih besar, rezekinya lebih berlimpah, harta dan anaknya lebih banyak, serta kerajaannya lebih luas dan kejayaannya lebih kekal. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:


{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ}


Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. (Al-Baqarah: 143)Kami telah mengetengahkan hadis-hadis yang mutawatir menceritakan perihal keutamaan umat ini dan kemuliaan serta kehormatannya di sisi Allah, yaitu pada tafsir firman-Nya:


{كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ}


Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. (Ali Imran: 110)Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Malik serta Sa'id ibnu Jubair, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20); Makna yang dimaksud dengan lafaz al- 'alamina adalah umat Muhammad Saw.

Seakan-akan mereka bertiga bermaksud bahwa khitab dalam firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah di­berikan-Nya kepada seorang pun. (Al-Maidah: 20) menyertakan pula umat Muhammad.

Sedangkan menurut Jumhur ulama, khitab ini dari Musa a.s., ditujukan kepada umatnya; dan makna yang dimaksud adalah orang-orang alim yang sezaman dengan mereka, seperti keterangan yang telah kami kemukakan di atas.

Menurut pendapat yang lain. makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20);

Yakni apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada mereka, berupa manna dan salwa dan dinaungi oleh awan serta hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam lainnya yang pernah diberikan kepada mereka oleh Allah Swt.

sebagai suatu kekhususan buat mereka.Kemudian Allah Swt. menceritakan perihal anjuran yang dikeluarkan oleh Musa a.s. kepada Bani Israil untuk berjihad dan memasuki Baitul Muqaddas yang dahulunya adalah milik mereka

di masa kakek moyang mereka, yaitu Nabi Ya'aub a.s. Nabi Ya'qub dan anak-anaknya serta semua keluarganya pergi meninggalkannya menuju ke negeri Mesir di masa Nabi Yusuf a.s. Mereka tetap tinggal di Mesir, dan baru keluar

meninggalkannya bersama Musa a.s. Tetapi mereka menjumpai di dalam kota Baitul Maqdis suatu kaum dari orang-orang 'Amaliqah (raksasa) yang gagah perkasa, yang telah merebut kota itu dan menguasainya.

Maka utusan Allah —Nabi Musa a.s.— memerintahkan kaum Bani Israil untuk memasuki Baitul Muqaddas dan memerangi musuh me­reka serta membangkitkan semangat mereka dengan berita gembira akan mendapat pertolongan

dan kemenangan atas musuh mereka. Tetapi mereka membangkang dan durhaka serta tidak mau menuruti perintah nabinya. Akhirnya mereka dihukum oleh Allah dengan hukuman terse­sat di padang sahara selama empat puluh tahun;

selama itu mereka ti­dak mengetahui arah manakah yang mereka tempuh dan ke manakah tujuan mereka. Hal tersebut sebagai hukuman terhadap mereka karena mereka menyia-nyiakan perintah Allah Swt.

dan tidak mau menaati­Nya.Untuk itu Allah Swt. Berfirman menceritakan perihal Nabi Musa a.s. yang berkata kepada kaumnya:


{يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ}


“Hai kaumku masuklah ke tanah suci (Palestina).” (Al Maidah: 21)Yakni: Mutahharah ialah "yang suci". Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna tanah suci ini,

bahwa yang dimaksud ialah Bukit Tur dan daerah sekitarnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah,

dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa tanah suci tersebut adalah Ariha. Hal yang sama telah dikatakan oleh bu­kan hanya seorang dari kalangan mufassirin. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan,

mengingat Ariha bukan kota yang dimaksudkan untuk diserang, bukan pula terletak di tengah perjalanan mereka menuju ke Baitul Maqdis, karena mereka datang dari negeri Mesir ketika Allah telah membinasakan musuh mereka,

yaitu Raja Fir'aun; kecuali jika yang dimaksud dengan Ariha adalah Baitul Maqdis, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi menurut apa yang diriwayat­kan oleh Ibnu Jarir darinya. Jadi,

yang dimaksud dengan Ariha bukan­lah sebuah kota terkenal yang terletak di pinggiran Bukit Tur sebelah tenggara kota Baitul Muqaddas.Firman Allah Swt.:


{الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}


yang telah ditentukan Allah bagi kalian. (Al-Maidah: 21)Yakni Allah telah menjanjikannya buat kalian melalui lisan kakek moyang kalian —Nabi Ya*qub— bahwa tanah tersebut merupakan warisan bagi orang yang beriman di antara kalian.


{وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ}


dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut musuh). (Al-Maidah: 21)Dengan kata lain, janganlah kalian membangkang untuk berjihad.


{فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ}


"Maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.”Mereka ber­kata, "Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali ti­dak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya.

Jika mere­ka keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.” (Al-Maidah: 21-22)Mereka mengemukakan alasannya, bahwa "di negeri yang engkau perintahkan agar kami memasukinya dan memerangi penduduknya terdapat kaum yang

gagah perkasa, memiliki tubuh raksasa yang kuat dan besar, dan sesungguhnya kami tidak mampu melawan mereka dan tidak pula menyerang mereka, serta tidak mungkin bagi kami mema­sukinya selagi mereka masih bercokol di dalamnya.

Jika mereka keluar darinya, niscaya kami akan memasukinya; tetapi jika mereka masih tetap berada di dalamnya, maka tidak ada kekuatan bagi kami untuk mengusir mereka".Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku

Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bahwa Abu Sa'id pernah mengatakan bahwa Ikrimah telah menceritakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan:

Musa diperintahkan untuk memasuki kota orang-orang yang gagah perkasa. Maka Musa berjalan bersama dengan orang-orang yang mengikutinya hingga turun istirahat di suatu tempat dekat dengan kota yang dimaksud, yaitu Ariha.

Lalu Musa a.s. mengirimkan kepada mereka dua belas orang mata-mata yang berasal dari masing-masing kabilah. Mata-mata itu ditugaskan untuk melihat keadaan dan kekuatan musuh, lalu beritanya disampaikan kepada Nabi Musa a.s.

dan pasukannya. Kedua belas orang mata-mata itu memasuki kota tersebut, dan ternyata mereka menyaksikan suatu hal yang hebat sekali. Mereka tertegun kaget melihat keadaan kota dan tubuh para penghuninya yang besar-besar

seperti raksasa. Lalu mereka memasuki kebun milik salah seorang penduduk kota itu, tetapi pemilik kebun datang untuk meme­tik buah dari kebunnya. Kemudian ia memetik buah-buahan, dan ia menjumpai bekas telapak kaki kedua belas orang itu,

lalu ia mengikuti dan mengejarnya. Setiap ia berhasil menangkap seseorang dari mereka, ia masukkan ke dalam kantong baju jubahnya bersama buah-buahan yang dipetiknya, hingga ia berhasil menangkap kedua belas orang mata-mata itu.

Pemilik kebun itu memasukkan mereka ke dalam suatu kantong, bersama buah-buahan yang telah dipetiknya, lalu ia berangkat menghadap kepada rajanya dan mengeluarkan mereka semua dari kantong itu di hadapan rajanya.

Si Raja berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kalian telah melihat keadaan dan kekuatan kami. maka sekarang pulanglah dan beri tahukanlah kepada pemimpin kalian." Maka mereka kembali kepada Musa a.s. dan menceritakan kepadanya

semua apa yang telah mereka saksikan perihal musuh mere­ka. Akan tetapi, sanad asar ini masih perlu dipertimbangkan.Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Musa bersama kaumnya turun istirahat

di suatu tempat, maka ia mengirimkan dua belas orang dari mereka yang semuanya adalah para pemimpin kabilah yang telah disebutkan oleh Allah Swt. Maka Musa a.s. mengirimkan mereka dengan tugas untuk membawa berita perihal kekuatan

musuh mereka. Kedua belas orang itu berjalan. Di tengah jalan mereka bertemu dengan salah seorang dari penduduk kota yang gagah perkasa. Maka orang itu memasukkan mereka ke dalam kantong jubahnya dan membawa mereka

sampai ke kotanya. Lalu orang itu berseru kepada kaumnya, kemudian kaumnya berkumpul mengelilinginya. Setelah itu mereka (penduduk kota itu) bertanya, "Siapakah kalian ini?" Kedua belas orang itu menjawab, "Kami adalah kaum Nabi Musa,

dialah yang mengirimkan kami untuk mencari berita tentang kalian." Maka mereka memberi kedua belas orang itu sebiji buah anggur yang cukup buat makan satu orang, dan mereka berkata, "Pergilah kalian kepada Musa dan kaumnya,

dan katakanlah kepada mereka bahwa ini adalah takdir." Maka mereka kembali dengan hati yang sangat takut, Ketika mereka datang kepada Musa, mereka langsung menceritakan apa yang telah mereka saksikan. Ketika Musa memerintahkan

mereka untuk memasuki kota itu dan memerangi penduduknya, maka mereka (kaum Musa) berkata, "Hai Musa. pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub,

dari Yazid ibnul Hadi, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abdur Rahman yang telah menceritakan bahwa ia pernah melihat Anas ibnu Malik memungut sebuah tongkat, lalu ia mengukurnya dengan sesuatu yang panjangnya tidak ia ketahui

berapa hasta. Kemudian ia mengukurkannya ke tanah sepanjang lima puluh atau lima puluh lima kali panjang tongkat itu. Lalu ia berkata, "Inilah tinggi kaum 'Amaliqah (raksasa)."Sehubungan dengan masalah ini banyak kalangan mufassirin

yang menceritakan berita-berita buatan Bani Israil mengenai besarnya tubuh kaum yang gagah perkasa itu. Disebutkan bahwa di antara mere­ka ada seseorang yang dikenal dengan nama Auj ibnu Unuq binti Adam a.s.

Konon tingginya adalah tiga ribu tiga ratus tiga puluh tiga dan sepertiga hasta, berdasarkan ukuran perhitungan hasta. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat memalukan bila disebutkan, kemudi­an hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"إِنَّ اللَّهَ [تَعَالَى] خَلَقَ آدَمَ وَطُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا، ثُمَّ لَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ حَتَّى الْآنَ".


Sesungguhnya Allah menciptakan Adam as. dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian keadaan (tubuh) manusia terus-menerus berkurang hingga sekarang.Kemudian mereka menyebutkan bahwa Auj ibnu Unuq ini adalah seorang kafir,

dia lahir dari hubungan zina, dan menolak menaiki perahu Nabi Nuh a.s. Dikatakan pula bahwa banjir besar tidak sampai sebatas lututnya (karena sangat tingginya); ini merupakan kedustaan dan kebohongan, karena sesungguhnya Allah Swt.

telah menceritakan bahwa Nabi Nuh a.s. mendoakan kebinasaan atas penduduk bumi yang kafir, seperti yang disebutkan melalui firman-Nya:


{رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا}


Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antaraorang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi (Nuh : 26)


{فَأَنْجَيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ ثُمَّ أَغْرَقْنَا بَعْدُ الْبَاقِينَ}


Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal. (Asy-Syu'ara: 119-120)


{لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ}


Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang. (Hud: 43)Apabila anak Nabi Nuh sendiri yang kafir tenggelam, maka mana mungkin Auj ibnu Unuq yang kafir lagi anak zina itu dapat selamat

dan masih hidup? Hal ini jelas bertentangan dengan rasio dan syara' (agama). Kemudian keberadaan seorang lelaki yang bernama Auj ibnu Unuq ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya. Firman Allah Swt.:


{قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا}


Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya. (Al-Maidah: 23)Ketika kaum Bani Israil menolak untuk taat kepada Allah dan menolak mengikuti rasul-Nya

—yaitu Nabi Musa a.s.—, mereka digerakkan oleh dua orang lelaki yang telah mendapat nikmat yang besar dari Allah; keduanya termasuk orang-orang yang taat kepada perintah Allah dan takut terhadap siksaan-Nya.Sebagian mufassirin ada yang membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut:


{قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يُخَافُونَ}


Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang berpengaruh (di kalangan mereka). (Al-Maidah: 23)dengan dibaca mabni majhul, yakni sebagian dari orang-orang yang mempunyai pengaruh yang besar dan kedudukan di kalangan mereka

(Bani Israil). Kedua orang tersebut menurut suatu pendapat bernama Yusya’ ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya

yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.Kedua orang itu berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:


{ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}


Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila ka­lian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya ke­pada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman. (Al-Maidah: 23)

Yakni jika kalian bertawakal kepada Allah dan mengikuti perintah-Nya serta mendukung rasul-Nya, niscaya Allah akan menolong kalian terhadap musuh-musuh kalian, Dia akan mendukung kalian serta memenangkan kalian

atas musuh-musuh kalian, dan kalian pasti akan memasuki negeri yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian.Akan tetapi, hal tersebut tidak memberi pengaruh sedikit pun pada mereka, sebagaimana disebutkan oleh firman selanjutnya:


{قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُون}


Mereka berkata, "Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya Karena itu, pergi­lah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, se­sungguhnya kami hanya duduk

menanti di sini saja.” (Al-Maidah: 24)Ini merupakan sikap pembangkangan mereka yang tidak mau berjihad dan menentang rasul mereka serta menolak untuk berperang dengan Musuh mereka.Disebutkan bahwa ketika mereka menolak berjihad

dan bertekad untuk berangkat kembali menuju ke negeri Mesir, maka Musa dan Harun sujud (kepada Allah) di hadapan sejumlah pemimpin dari kalangan Bani Israil karena sangat keberatan dengan apa yang mereka niatkan itu.

Kemudian Yusya' ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana merobek bajunya sendiri (sebagai ungkapan kekesalan) dan mencaci kaumnya yang bersikap demikian itu (menolak berjihad). Menurut suatu kisah, mereka (kaum Bani Israil) merajam Yusya'

dan Kalib, dan terjadilah suatu peristiwa yang sangat besar serta krisis yang sangat parah.Sehubungan dengan hal ini, alangkah baiknya apa yang dikatakan oleh para sahabat radiyallahu 'anhum pada hari Perang Badar kepada Rasulullah Saw.,

yaitu ketika Rasulullah Saw. meminta pendapat dari mereka untuk berangkat memerangi pasukan kaum musyrik yang datang untuk melindungi kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan.Ketika kafilah itu terlepas dari penghadangan mereka,

dan pasukan kaum musyrik yang terdiri atas sembilan ratus sampai seribu orang personel berikut semua perbekalan dan persenjataannya mendekat kepada pasukan kaum muslim, maka Abu Bakar r.a. mengemukakan pendapatnya,

dan ternyata pendapatnya itu baik. Kemudian sebagian dari sahabat yang terdiri atas kalangan kaum Muhajirin mengemukakan pula pendapatnya, sedangkan Rasulullah Saw. sendiri bersabda:


"أَشِيرُوا عليَّ أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ".


Berikanlah saran-saran kalian kepadaku, hai kaum muslim!Rasulullah Saw. tidak sekali-kali memaklumatkan demikian kecuali untuk memberitahukan kepada para sahabat dari kalangan Ansar, karena hari itu mereka merupakan mayoritas.

Maka Sa'd ibnu Mu'az (pemimpin mereka) berkata:Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau menyindir kami. Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, seandainya engkau hadapkan kami ke laut ini,

lalu engkau memasukinya, niscaya kami pun akan memasukinya pula bersamamu, tanpa ada seorang pun yang tertinggal dari kami. Kami sama sekali tidak segan untuk menghadapi musuh kami besok hari, sesungguhnya kami

adalah orang-orang yang teguh da­lam perang dan pantang mundur dalam medan laga. Mudah-mudahan Allah menampakkan kepadamu sikap kami yang akan membuat engkau senang hati, maka bawalah kami dengan berkah dari Allah

Mendengar perkataan Sa’d dan semangatnya yang berkobar untuk menghadapi medan perang, maka hati Rasulullah Saw. menjadi gembira.Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Ali Ibnul Husain,

telah menceritakan kepada kami Abu Hatim Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Anshari, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. ketika hendak berangkat menuju

ke medan Badar bermusyawarah dengan kaum muslim, maka sahabat Umar mengemukakan pendapatnya untuk berangkat. Kemudian Rasulullah Saw. meminta pendapat mereka, maka kaum Ansar berkata.”Hai orang-orang Ansar,

sesungguhnya Rasulullah Saw. bermaksud minta pendapat dari kalian!" Maka mereka menjawab, "Kalau demikian, kami tidak akan mengatakan kepadanya seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa dalam firman-Nya:

Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini sa­ja (Al-Maidah: 24) Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran,

seandainya engkau pergi ke jantung pertahanan mereka sampai ke Barkil Gimad niscaya kami akan ikut besertamu.Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ubaidah ibnu Humaid, dari Humaid At-Tawil, dari Anas dengan lafaz yang sama.

Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna, dari Khalid ibnul Haris, dari Humaid dengan lafaz yang sama.Ibnu Hibban meriwayatkannya dari Abu Ya'la, dari Abdul A'la ibnu Hammad, dari Ma'mar ibnu Sulaiman,

dari Humaid dengan lafaz yang sama.Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Al-Hakam ibnu Ayyub, dari Abdullah ibnu Nasikh, dari Atabah ibnu Ubaid As-Sulami yang telah menceritakan bahwa Nabi Saw. berkata kepada para sahabatnya,

"Maukah kalian berperang?" Mereka menjawab, "Ya, dan kami tidak akan berkata seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu yang disitir oleh firman-Nya: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu,

dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja* (Al-Maidah: 24). Tetapi kami akan mengatakan, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu'."

Yang termasuk salah seorang yang memenuhi seruan itu adalah Al-Miqdad ibnu Amr Al-Kindi r.a. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Waki, telah menceritakan kepadaku Sufyan,

dari Mukhariq ibnu Abdullah Al-Ahmasi, dari Tariq, yaitu Ibnu Syihab, bahwa Al-Miqdad berkata kepada Rasulullah Saw. dalam peristiwa Perang Badar, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak akan mengatakan kepadamu

seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah engkau

bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami pun ikut berperang bersama kamu berdua." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari segi ini.

Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur lain, bahwa telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir. telah menceritakan kepada kami Israil, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab yang telah menceritakan bahwa

Abdullah ibnu Mas'ud pernah menceritakan, "Sesungguhnya aku pernah menyaksikan suatu sikap Al-Miqdad yang membuat diriku menginginkan seperti apa yang dilakukannya, yaitu ketika Rasulullah Saw. sedang menyeru kaum muslim

untuk berperang melawan kaum musyrik, Al-Miqdad datang kepadanya, lalu berkata, 'Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak akan mengatakan seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa: karena itu pergilah kamu

bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja. (Al-Maidah: 24) Tetapi kami akan ikut berperang di sebelah kanan, di sebelah kiri, di sebelah depan, dan di sebelah belakangmu.

' Maka aku melihat wajah Rasulullah Saw. berseri-seri karenanya. Hal itu membuatnya gembira."Demikian pula Imam Bukhari telah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Magazi dan kitab Tafsir melalui berbagai jalur dari Mukhariq.

Lafaz yang diketengahkannya di dalam kitab Tafsir dari Abdullah adalah seperti berikut:Pada hari Perang Badar, Al-Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Ansar) tidak akan mengatakan kepadamu

seperti yang pernah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu: 'karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja' (Al-Maidah: 24). Tetapi berangkatlah

engkau,dan kami akan bersama denganmu." Maka seakan-akan Al-Miqdad membuat Rasulullah Saw. sangat gembira.Kemudian Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Waki', dari Sufyan, dari Mukhariq, dari Tariq, bahwa

Al-Miqdad berkata kepada Nabi Saw. hingga akhir hadis.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa

telah diceritakan kepada kami bahwa pada hari Hudaibiyah Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya, yaitu ketika kaum musyrik menghalang-halangi hewan kurban kaum muslim dan menghalang-halangi antara mereka

dan tempat manasiknya: Sesungguhnya aku akan pergi membawa hewan kurban, maka sembelihlah di Baitullah. Maka Al-Miqdad ibnul Aswad berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami tidak akan seperti segolongan orang dari kaum Bani Israil,

ketika mereka berkata kepada nabi mereka (Nabi Musa a.s.). yaitu: karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja (Al-Maidah: 24). Tetapi pergilah kamu

bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami akan ikut berperang bersamamu." Ketika para sahabat mendengar hal ini maka mereka mengikuti sikap Al-Miqdad ibnul Aswad.Hal ini bilamana memang terjadi

pada hari Hudaibiyah, maka dapat diartikan bahwa ucapan tersebut pada hari itu kembali diulangi oleh Al-Miqdad sebagaimana yang pernah ia katakan pada hari Perang Badar.Firman Allah Swt.:


{قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}


Berkata Musa, "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu." (Al-Maidah: 25)Yakni ketika kaum Bani Israil tidak mau berperang,

maka Nabi Musa a.s.marah kepada mereka, dan ia berkata dalam doanya: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. (Al-Maidah: 25)Dengan kata lain,

tiada seorang pun dari mereka yang taat kepadaku, lalu mau mengerjakan perintah Allah dan memenuhi apa yang aku serukan, kecuali hanya aku dan saudaraku Harun.


{فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}


Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu. (Al-Maidah: 25)Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah "berilah keputusan antara aku dan mereka". Hal yang sama dikatakan

oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas; dikatakan pula oleh Ad-Dahhak, yakni "berilah keputusan antara kami dan mereka". Sedangkan menurut yang lainnya adalah "pisahkanlah antara kami dengan mereka". Perihalnya sama dengan pengertian yang ada di dalam sebuah bait syair berikut:


يَا رَبِّ فَافْرُقْ بَيْنَه وبَيْني ... أَشَدَّ مَا فَرقْت بَيْن اثْنَيْنِ ...


Ya Tuhanku, pisahkanlah antara dia dengan aku, dengan per­pisahan yang amat jauh yang pernah Engkau lakukan terhadap dua orang.Firman Allah Swt.:


فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ


Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26), hingga akhir ayat Setelah Nabi Musa a.s. menyeru mereka

untuk berjihad dan mereka menolak, tidak mau berjihad, maka Allah memutuskan bahwa haram bagi mereka memasuki kota itu selama empat puluh tahun. Akhirnya mereka terjebak di padang Tih dan mereka berjalan berputar-putar

selama masa tersebut di dalamnya tanpa mengetahui jalan keluarnya.Di padang Tih itu terjadi banyak hal yang ajaib dan mukjizat-mukjizat, antara lain: Mereka selalu dinaungi oleh awan, diturunkannya manna dan salwa kepada mereka,

dan keluarnya air dari benda mati, yaitu sebuah batu yang mereka bawa di atas seekor hewan kendaraan. Apabila Musa memukul batu itu dengan tongkatnya, maka mengalirlah darinya dua belas mata air yang memancar,

masing-masing kabilah memperoleh sebuah mata air. Terjadi pula mukjizat-mukjizat lainnya yang diberikan oleh Allah Swt. kepada Musa ibnu Imran.Di padang Tih itulah kitab Taurat diturunkan, disyariatkan untuk mereka berbagai hukum,

serta dibuatkan kubah perjanjian yang dikenal dengan sebutan "Kubah Zaman".Yazid ibnu Harun telah meriwayatkan dari Asbag ibnu Zaid, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ia pernah bertanya kepada

Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt. berikut: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar­-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (AJ-Maidah: 26),

hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka tersesat di padang itu selama empat puluh tahun, setiap hari mereka berjalan tanpa ada tempat yang tetap bagi mereka. Kemudian di padang itulah mereka dinaungi oleh awan,

dan diturunkan kepada mereka manna dan salwa. Inilah yang disebutkan oleh sebagian dari hadis Futun.Kemudian pada masa itulah Harun a.s. wafat, selang tiga tahun kemudian Musa as. pun meninggal dunia. Lalu Allah mengangkat

Yusya' ibnu Nun sebagai nabi mereka menggantikan Musa ibnu Imran as. Kebanyakan kaum Bani Israil meninggal dunia di masa itu, sehingga dikatakan bahwa tiada seorang pun

dari mereka yang tersisa selain Yusya’ ibnu Nun dan Kalib. Berangkat dari pengertian ini sebagian kalangan mufassirin ada yang mengatakan bahwa firman-Nya:


{قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ}


Allah berfirman, "(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka " (Al-Maidah: 26)Pada ayat ini terdapat waqaf tam (bacaan berhenti atau titik), dan firman-Nya:


{أَرْبَعِينَ سَنَةً}


selama empat puluh tahun. (Al-Maidah: 26)di-nasab-kan oleh fi'il yang terdapat pada firman-Nya:


{يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ}


(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26)Setelah masa empat puluh tahun berlalu, maka Yusya' ibnu Nun membawa mereka keluar dari padang itu bersama orang-orang yang masih hidup

dari mereka atau dengan Bani Israil seluruhnya dari bukit yang berikutnya. Lalu Yusya' ibnu Nun a.s. membawa mereka dengan tujuan Baitul Maqdis, kemudian Yusya' mengepung kota itu, dan akhirnya kota itu berhasil ia jatuhkan

pada hari Jumat sesudah asar.Ketika matahari hampir tenggelam dan Yusya' merasa khawatir akan masuknya hari Sabtu (yang disucikan mereka), maka ia berkata, "Sesungguhnya engkau diperintahkan, aku pun diperintahkan pula. Ya Allah,

tahanlah matahari ini untukku." Maka Allah menahannya hingga kemenangan mereka raih secara sempurna.Allah memerintahkan Yusya' ibnu Nun agar memerintahkan ke­pada Bani Israil supaya memasuki Baitul Maqdis dari pintu gerbangnya

seraya bersujud dan mengucapkan doa Hittah (yakni ampunilah dosa-dosa kami). Tetapi ternyata mereka mengganti semua yang diperintah­kan kepada mereka; mereka memasukinya dengan mengesot seraya mengatakan,

"Habbah fi sya'rah." Hal ini telah kami terangkan di dalam surat Al-Baqarah.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar Al-Abdi, telah menceritakan

kepada kami Sufyan, dari Abu Sa'id, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r,a. sehubungan dengan firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka berputar-putar

kebingungan di bumi (padang Tih) itu. (Al-Maidah: 26); Bahwa mereka tersesat di padang Tih selama empat puluh tahun, dan Musa serta Harun wafat di padang itu beserta semua orang yang usianya melampaui empat puluh tahun.

Setelah berlalu masa empat puluh tahun, maka Yusya' ibnu Nun memimpin mereka. Dialah yang memerintah mereka sesudah Musa a.s., dan dialah yang mengalahkan kota Baitul Maqdis, dia pula yang dikatakan kepadanya bahwa

hari itu adalah hari Jumat. Ketika mereka hampir saja mengalahkan kota itu dan matahari mendekati ufuk baratnya, maka Yusya' ibnu Nun merasa khawatir bila malam Sabtu masuk, sehingga mereka harus menyucikan hari itu.

Lalu ia berseru kepada matahari, "Sesungguhnya aku diperintahkan sebagaimana engkau pun diperintahkan." Maka matahari terhenti hingga Yusya' ibnu Nun menjatuhkan kota itu.Di dalam kota itu Yusya ibnu Nun menjumpai harta

yang berlimpah yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian ia memasukkan semua harta ganimah itu ke dalam api, tetapi api tidak mau melahapnya. Maka ia berkata, "Di antara kalian ada orang yang korupsi." Lalu ia memanggil

semua pemimpin kabilah yang berjumlah dua belas orang. Kemudian Yusya' membaiat mereka, ternyata tangan seseorang dari mereka ada yang menempel, tidak mau lepas dari tangannya. Maka Yusya' ibnu Nun berkata, "Penggelapan ini

terjadi di antara orang-orangmu, maka keluarkanlah barang itu!"Maka orang yang tangannya menempel itu mengeluarkan sebuah patung kepala sapi dari emas yang kedua matanya terbuat dari batu yaqut dan giginya dari mutiara.

Lalu Yusya' ibnu Nun meletakkan patung sapi itu bersama dengan ganimah lainnya yang akan dibakar oleh api, maka saat itu juga api baru mau melahapnya.Konteks asar ini mempunyai bukti yang menguatkannya di dalam kitab Sahih.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: (Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka (Al-Maidah: 26) merupakan 'amil yang berpengaruh pada lafaz arba'ina sanah (empat puluh tahun),

dan bahwa mereka tinggal tanpa dapat memasuki Baitul Maqdis selama empat puluh tahun dalam keadaan tersesat di padang sahara tanpa mengetahui arah tujuannya.Ibnu Jarir mengatakan, setelah itu Nabi Musa a.s.

keluar dari padang Tih dan membuka kota Baitul Maqdis bersama dengan Bani Israil. Ibnu Jarir mengatakan demikian dengan berdalilkan kesepakatan pendapat ulama berita-berita umat terdahulu yang mengatakan bahwa

Auj ibnu Unuq dibunuh oleh Musa a.s. Ibnu Jarir mengatakan, "Se­andainya Musa membunuhnya sebelum ia masuk ke padang Tih, niscaya kaum Bani Israil tidak merasa takut terhadap bangsa 'Amaliqah.

Dan hal ini jelas menunjukkan bahwa kejadian tersebut sesudah pengembaraan di padang Tih."Ibnu Jarir mengatakan bahwa para ulama ahli berita umat ter­dahulu telah sepakat bahwa Bal'am ibnu Ba'ura membantu kaum yang gagah perkasa

untuk melawan Musa a.s. melalui doanya. Ibnu Jarir mengatakan, hal tersebut masih belum terjadi kecuali setelah pengembaraan di padang Tih, karena mereka sebelum itu tidak merasa takut terhadap Musa a.s. dan kaumnya.

Demikianlah alasan yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan ke­pada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Qais,

dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa panjang tong­kat Nabi Musa adalah sepuluh hasta, sedangkan tinggi lompatannya sepuluh hasta, dan tinggi tubuhnya sendiri adalah sepuluh hasta.

Lalu Nabi Musa a.s. melompat dan memukulkan tongkatnya kepada Auj ibnu Unuq. tetapi yang ia kenai hanya mata kakinya, dan ternyata pukulan itu mematikan Auj ibnu Unuq. Konon tulang (iganya)

dijadikan jembatan Sungai Nil selama satu tahun.Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Nauf Al-Bakkali

yang telah mengatakan bahwa konon tempat tidur Auj ibnu Unuq panjangnya delapan ratus hasta. Tinggi Nabi Musa adalah sepuluh hasta, panjang tongkatnya sepuluh hasta, dan ia melompat ke atas setinggi sepuluh hasta,

lalu ia memukul Auj ibnu Unuq dengan tongkatnya, yang ia kenai hanyalah mata kakinya Lalu Auj ibnu Unuq jatuh dan mati, maka (tulangnya) dijadikan oleh orang-orang sebagai jembatan tempat mereka berlalu lalang.Firman Allah Swt.:


{فَلا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ}


Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu. (Al-Maidah: 26)Hal ini dimaksudkan untuk menghibur hati Nabi Musa a.s. agar tidak memikirkan mereka. Dengan kata lain,

janganlah kamu sesali dan jangan kamu bersedih hati terhadap mereka tentang apa yang telah engkau putuskan atas mereka, karena sesungguhnya mereka berhak untuk mendapat hukuman itu.

Di dalam kisah ini terkandung makna yang mengingatkan orang-orang Yahudi akan masa silam mereka yang penuh dengan kekelam­an dan terkandung penjelasan mengenai hal-hal yang memalukan mereka

dan pertentangan mereka terhadap Allah dan rasul-Nya, serta pembangkangan mereka kepada keduanya, yakni mereka tidak me­naati perintah keduanya yang menganjurkan mereka untuk berjihad.

Dan ternyata jiwa mereka lemah, tidak mampu bersabar untuk menghadapi musuh dan memeranginya, padahal di antara mereka terdapat utusan Allah yang pernah diajak bicara langsung oleh-Nya dan merupakan makhluk pilihan Allah

di masa itu. Dia telah menjanjikan pertolongan dan kemenangan bagi mereka atas musuh-musuhnya. Padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang telah dilakukan oleh-Nya terhadap musuh mereka,

yaitu Fir'aun, berupa azab-Nya, pembalasan-Nya, dan Fir'aun beserta bala tentaranya ditenggelamkan ke dalam laut oleh-Nya, sedangkan mereka menyaksikan peristiwa itu agar hati mereka tenteram,

dan peristiwa tersebut tidaklah jauh dari masa mereka. Akan tetapi, mereka tetap membangkang, tidak mau berperang melawan penduduk Baitul Maqdis; padahal bila dibandingkan dengan penduduk Mesir, tidak ada satu persennya,

baik dari segi bilangan penduduknya maupun dari segi perlengkapan senjatanya.Ternyata keburukan-keburukan perbuatan dan sepak terjang mereka tampak jelas di mata orang-orang tertentu dan juga kalangan awam.

Sejarah mereka yang memalukan itu tidak dapat ditutupi, sekalipun oleh gelapnya malam dan tidak dapat disembunyikan. Tetapi ironisnya mereka dalam kebodohannya bergelimangan, dan dalam kesesatannya tiada berkesudahan.

Mereka adalah orang-orang yang dibenci oleh Allah dan dianggap sebagai musuh-musuh-Nya. Tetapi anehnya sekalipun demikian mereka tega mengatakan bahwa dirinya adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.

Semoga Allah memburukkan wajah mereka yang seharian darinya telah dikutuk oleh Allah menjadi babi dan kera yang hina, dan selalu disertai oleh laknat Allah yang terus-menerus menemani mereka sampai ke neraka yang menyala-nyala.

Allah memutuskan keabadian di dalam neraka bagi mereka, dan Allah telah melakukan hal itu. Segala puji bagi Allah dari segala seginya.

Surat Al-Maidah |5:21|

يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

yaa qoumidkhulul-ardhol-muqoddasatallatii kataballohu lakum wa laa tartadduu 'alaaa adbaarikum fa tangqolibuu khoosiriin

Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.

O my people, enter the Holy Land which Allah has assigned to you and do not turn back [from fighting in Allah 's cause] and [thus] become losers."

Tafsir
Jalalain

(Hai kaumku! Masuklah kamu ke tanah suci) yang disucikan (yang telah ditetapkan Allah bagi kamu) telah dititahkan-Nya untuk memasukinya yaitu tanah Syam (dan janganlah kamu lari ke belakang)

berbalik surut karena takut kepada musuh (nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi.") dalam usahamu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Maidah | 5 : 21 |

Penjelasan ada di ayat 20