Tafsir Ibnu Katsir
Surat Al-Baqarah
Tafsir ayat 229-230

Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam

masa idahnya.Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:


{الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}


Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab

"Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah,

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228),

hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak

(yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya,

"Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu

akan habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan

hadis ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya.

Dan ada seorang lelaki dari kalangan Ansar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana bisa demikian?" Si suami menjawab, "

Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali." Kemudian si istri

menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali" (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi

mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam,

dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya.Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini paling sahih.Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya

melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad

ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah,

dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya. Dan tersebutlah

terjadi antara seorang lelaki Ansar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu

bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah Swt.

menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali,

tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru.Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Saddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini. ******************* Firman Allah Swt.:


{فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ}


Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu

masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu

dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki

menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik,

atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun."


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قِرَاءَةً، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سُمَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَزِين يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} أَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ".


Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan As-Sauri, telah menceritakan kepadaku

Ismail ibnu Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya,

'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik." Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut:


أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَمِيعٍ، أَنَّ أَبَا رَزِينٍ الْأَسَدِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ الثَّالِثَةُ".


Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman

Allah Swt., 'Talak (yang boleh dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''''Hadis ini diriwayatkan

pula oleh Imam Ahmad. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama secara mursal.Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad,

dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw., lalu ia menceritakan hadis tersebut.Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan;


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَرِيرِ بْنِ جَبَلَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَائِشَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَكَرَ اللَّهُ الطَّلَاقَ مَرَّتَيْنِ، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ".


telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah,

telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali,

maka manakah talak yang ketiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.” ******************* Firman Allah Swt.:


{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا}


Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya

kepada kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:


وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ


Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)

Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:


فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً


Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)Jika suami dan istri bertengkar

karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya —begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya—, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami

dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri)

tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur),

kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan:


حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ -وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ -قَالَا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابة، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".


telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya

(Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab

ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan. Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban.

Sebagian ahli hadis ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu'.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ -قَالَ: وَذَكَرَ أَبَا أَسْمَاءَ وَذَكَرَ ثَوْبَانَ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban

pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh

Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan lafaz yang sama.Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir:


حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، حَرّم اللَّهُ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".


telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta

kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga.Nabi Saw. bersabda pula:


"الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".


Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik.Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Lais

(yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Zar'ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ»


Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita munafik.Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat.Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:


حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمُخْتَلِعَاتِ الْمُنْتَزِعَاتِ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ"


telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir,

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.Hadis ini berpredikat garib lagi daif bila ditinjau dari segi ini. Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:


حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".


telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya

lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:


حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى بْنِ ثَوْبان، عَنْ عَمِّهِ عمارةَ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تسألُ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ كُنْهِه فَتَجِدَ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لُيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا".


telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw.

telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan

empat puluh tahun.Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri.

Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya:


{وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا [إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ] }


Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229)

Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khulu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini

tidak ada.Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya,

sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj'i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian."

Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama. Pendapat ini pula

yang dikatakan oleh semua muridnya.Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya:


وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً


sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20)Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari

Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya,

yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya.


قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي مُوَطَّئِهِ: عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرة بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زَرَارَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الغَلَس، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ. فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ " فَقَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ -لِزَوْجِهَا -فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هذه حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ". فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْ مِنْهَا". فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.


Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari,

bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah Saw. keluar menunaikan salat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap.

Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya.

Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya." Habibah berkata,

"Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah,

lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Daud meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik,

sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah. Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو السَّدُوسِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -بْنِ أَبِي بَكْرٍ -عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ نُغضها فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا فَقَالَ: "خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا". قَالَ: وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ، فَهُمَا بِيَدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا". فَفَعَلَ.


telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah

binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah Saw. sesudah salat Subuh, dan mengadu kepadanya.

Maka Rasulullah Saw. memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Sabit berkata,

"Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.

Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abul Husam.Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas.


قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً".


Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadis berikut:

Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam.

" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda, "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."Hal yang sama telah diriwayatkan

oleh Imam Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan

lafaz yang semisal.Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan:


لَا أُطِيقُهُ


Aku tidak tahan dengannya - yakni benci.Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Bukhari sendiri yang memilikinya. Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada

kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. —demikianlah menurutnya—, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya.Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu

Buttah mengatakan: telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi), telah menceritakan kepada kami

Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:


أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنَّنِي أَكْرَهُ الْكُفْرَ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، لَا أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلَا يَزْدَادَ.


Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya

karena benci." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih.

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la hal yang semisal. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah,

dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafaz yang sama, sanad hadis ini baik lagi benar.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ جَمِيلَةَ بِنْتِ أُبَيِّ ابْنِ سَلُولَ: أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَنَشَزَتْ عَلَيْهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "يَا جَمِيلَةُ، مَا كَرِهْتِ مِنْ ثَابِتٍ؟ " قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا كَرِهْتُ مِنْهُ دِينًا وَلَا خُلُقًا، إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ دَمَامَتَهُ! فَقَالَ لَهَا: "أَتَرُدِّينَ الْحَدِيقَةَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتِ الْحَدِيقَةَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah,

dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi Saw. memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: "Hai Jamilah, mengapa engkau tidak suka

kepada Sabit?'" Jamilah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk." Maka Nabi Saw.

bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. menceraikan di antara keduanya.Ibnu Jarir meriwayatkan pula:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي جَرِيرٍ أَنَّهُ سَأَلَ عِكْرِمَةَ: هَلْ كَانَ لِلْخُلْعِ أَصْلٌ؟ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ فِي أُخْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا يَجْمَعُ رَأْسِي وَرَأْسَهُ شَيْءٌ أَبَدًا، إِنِّي رفعتُ جَانِبَ الْخِبَاءِ، فَرَأَيْتُهُ أَقْبَلَ فِي عِدَّةٍ، فَإِذَا هُوَ أَشُدُّهُمْ سَوَادًا، وَأَقْصَرُهُمْ قَامَةً وَأَقْبَحُهُمْ وَجْهًا. قَالَ زَوْجُهَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهَا أَفْضَلَ مَالِي، حَدِيقَةً لِي، فَإِنْ رَدَّتْ عليَّ حَدِيقَتِي؟ قَالَ: "مَا تَقُولِينَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، وَإِنْ شَاءَ زِدْتُهُ. قَالَ: فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.


telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadis berikut dari Abu Jarir,

bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada saudara perempuan

Abdullah ibnu Ubay. Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya.

Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata, "Wahai Rasulullah,

sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah pendapatmu?"

Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya." Maka Nabi Saw. memisahkan (menceraikan) keduanya.Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah:


حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كَانَتْ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ لَوْلَا مَخَافَةُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ عليَّ بَصَقْتُ فِي وَجْهِهِ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.


telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri

Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya.

" Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah Saw.

memisahkan keduanya.Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri.

Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah

Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya,

"Bagairnanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, "Ceraikanlah dia,

sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya."Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal. Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar

menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari.Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab,

lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah. Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?"

Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini." Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia)."

Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa

Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan asar berikut. Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya.

Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menjawab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu.

Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan. Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil

konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde.Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu'

seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah,

Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti.Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Lais, Imam Syafii, dan Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir.Murid-murid Imam Abu Hanifah

mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahannya,

maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali,

maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'.

Hal ini dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab, Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan,

"Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya."Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya

yang minta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadis yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam

kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu.Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh

Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang lebih banyak

daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya. Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa

apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan

dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.

(Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut.Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir. Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229) Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan

istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah Swt. telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya:

bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 230)Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan

melalui imbalan harta bukan talak namanya.Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya

mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak.

Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a.

membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya

(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230)Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak,

melainkan fasakh nikah.Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal,

Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.Pendapat yang kedua mengenai

masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam,

dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman

mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan,

Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.

Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak,

maka yang jatuh adalah tiga talak."Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan

sebagai suatu masalah sama sekali.Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah

sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah,

Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.Imam Turmuzi mengatakan bahwa

pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu'

dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.

Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a.

(mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid."

Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."Telah menceritakan kepada kami Abdah,

dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus,

dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.