Juz 1

Surat Al-Fatihah |1:1|

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

bismillaahir-rohmaanir-rohiim

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tafsir
Jalalain

(Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 1 |

Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml.

Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan tiap-tiap surat, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja.

Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-tiap surat, atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada yang lainnya; ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat

dengan yang lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat. Mengenai masalah ini banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf. Pembahasannya secara panjang lebar bukan diterangkan dalam kitab ini. Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan sanad yang sahih:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}


dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dahulu belum mengetahui pemisah di antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: Bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu Jubair.

Di dalam kitab Sahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah Saw. membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam salatnya, dan beliau menganggapnya sebagai salah satu ayatnya.

Tetapi hadis yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung kelemahan. Imam Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ .

Hal semisal diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya Di antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari tiap surat kecuali surat Bara’ah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas,

Ibnu Umar, Ibnuz Zubair,dan Abu Hurairah sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair. dan Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii,

dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah bukan

merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari surat-surat lainnya.Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat

dari Al-Fatihah, tetapi bukan merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap surat. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut garib (aneh).

Daud mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat, dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal. diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi,

dari Abul Hasan Al-Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu Hanifah.Demikianlah pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah atau tidaknya.

Masalah pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas. Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu ayat dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya.

Demikian pula halnya bagi orang yang sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri.Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap surat,

berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan dikeraskan pula bersama surat lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai kalangan ulama

dari kalangan para sahabat para tabi'in. dan para imam kaum muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah.

Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi. dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh Al-Khatib dari empat orang khalifah —yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali— merupakan pendapat yang garib.

Dari kalangan tabi'in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad serta Sa'id ibnul Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi,

Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar, Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz,

Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit. Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma'qal ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan

Ibnu Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat

surat Al-Fatihah lainnya".Telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah:

bahwa ia melakukan salat dan mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari salatnya itu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. di antara kalian."

Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan lain-lainnya.Abu Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah membuka salatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir rahim.

Kemudian Turmuzi mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan.Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw.

mengeraskan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw.,

maka ia menjawab bahwa bacaan Nabi Saw. panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain, beliau Saw. mengeraskan bacaan basmalahnya).

Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ


Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan ...Ad-Daruqutni mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.

Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah salat di Madinah; ia meninggalkan bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir

(bermakmum kepadanya) dari kalangan Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan salat untuk yang kedua kalinya. barulah ia membaca basmalah.Semua hadis dan asar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup.

dijadikan sebagai dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan dan riwayat yang garib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.

Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam salat tidak boleh dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah, Abdullah ibnu Mugaffal. dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabi'in

dan ulama Khalaf, kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan Ahmad ibnu Hambal.Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras ataupun perlahan.

Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، والقراءة بالحمد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


Rasulullah Saw. membuka salatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan al-hamdu lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).Di dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu Malik yang mengatakan:


صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وعثمان فكانوا يفتتحون بالحمد لله رب العالمين.


Aku salat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, dan Us'man. Mereka membuka (bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil 'alamina.Menurut riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismil-lahir rahmanir rahim,

baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula dalam kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mugaffal r.a. Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh para imam dalam masalah ini,

semuanya berdekatan, karena pada kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa salat orang yang mengeraskan bacaan basmalah dan yang memelankannya adalah sah.

فَصْلٌ فِي فَضْلِها


Imam Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:


حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فَقَالَ: "هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا مِنَ الْقُرْبِ"


telah menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi.

telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah satu dari nama-nama Allah;

antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena saking dekatnya.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih,dari Sulaiman ibnu Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.


وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ إِلَى الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ، وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".


Al-Hafiz ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam a.s.

diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?'

Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah

di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy,

dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini,

tetapi predikatnya garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’ Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum dia, dari Dahhak.


وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"


Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan

bahwa ketika diturunkan kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan lautan menggelora,

semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam basmalah)

diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya.Waki' mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah

yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka), hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.Allah akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah

untuk menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis yang mengatakan,


"فَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ


"Sesungguhnya aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan seorang lelaki yang mengucapkan, 'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran tayyiban mubarakan fihi'

(Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati), mengingat jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ. فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ، وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ الذُّبَابِ".


telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw.

Si pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian,

maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."

Demikian menurut riwayat Imam Ahmad.Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu Tamimah (yaitu Al-Hujaimi),

dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:


«لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ»


Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya

seperti lalat.Demikian itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah.Membaca basmalah disunatkan pada permulaan khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:


«كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ »


Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang sempurna.

Disunatkan membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya.Disunatkan pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis

yang disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:


«لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ»


Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.Hadis ini berpredikat hasan.Di antara ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir,

dan di antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama.

' Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.

Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"


Apabila kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.

Akan tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat dipegang, tidak pula pada yang lainnya.

Disunatkan membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:


"قُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"


Ucapkanlah bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.Sebagian ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.

Disunatkan pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .


Seandainya seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, "Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami,

"karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan

bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran.

Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an.Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:


وَقالَ ارْكَبُوا فِيها بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ


Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hud: 41)

Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ


Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq: 1)Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya.

Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah

' di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt.Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah,

dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad,

sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma

' (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak;

dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah,

isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami,

isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma,

' sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya".

Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna.Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan

antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada, seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim).

Adakalanya isim-nya satu. sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma,

dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan musamma,

niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah berfirman:


وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها


Allah mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu. (Al-A'raf: 180)Nabi Saw. telah bersabda:


«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»


Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan isim (nama).Shahih: Bukhari 7392 dan Muslim 2677Ini adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah pun telah berfirman:

Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 180) Allah telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:


فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ


Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Waqi'ah: 74)Demikian pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah memberikan pengertian mugayarah

(perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt. telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 180)Hal ini menunjukkan bahwa isim bukanlah zat Allah.Sedangkan orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan firman-Nya:


تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ


Mahaagung nama Tuhanmu Yang mempunyai Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)Yang Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci;

demikian pula jika seorang lelaki mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan. Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya,

dan tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri yang diberi nama Zainab terkena talak.Ar-Razi mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri orang yang bersangkutan",

maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.[القول في تأويل اللَّهِ]Allah adalah 'alam (nama) yang ditujukan kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha Tinggi. Menurut suatu pendapat, Allah adalah Ismul A'zam karena Dia memiliki semua sifat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللَّهُ الْخالِقُ الْبارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ


Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,

Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Dia-lah Allah Yang menciptakan, Yang Mengadakan, Yang membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.

Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Hasyr: 22-24)Semua asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang dise-butkan di dalam firman-Nya:


وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها


Allah mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 18) Allah Swt. berfirman:


قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى


Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai asma-ul husna (Al-Isra: 110)Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ»


Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah,

hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan lafaz.Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah mempunyai lima ribu isim (nama);

seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur. dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.

Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya.

Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi,

Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa kamu katakan,

'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam." Menurut pendapat yang lain, lafaz "Allah"

mempunyai akar kata sendiri, dan mereka berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul Ajjaj, yaitu:


لِلَّهِ دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي


Hanya milik Allah-lah semua kebaikan yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu, mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).

Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh (التَّأَلُّهُ), berasal dari fi’l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan (أَلِهَ يَأْلَهُ إِلَاهَةً وَتَأَلُّهًا). Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya

dalam surat Al-A'raf ayat 127 dengan bacaan seperti berikut: Wayazaraka wailahataka (ويذرك وآلهتك) yang artinya menurut dia ialah "Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi".

Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan firman-Nya:


وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّماواتِ وَفِي الْأَرْضِ


Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (Al-An'am: 3)Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:


وَهُوَ الَّذِي فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ


Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi. (Az-Zukhruf: 84)Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah illahun (إِلَاهٌ) berwazan fi'alun (فِعَالٍ),

kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun (النَّاسِ), bentuk asalnya adalah unasun (أناس).

Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun (لَاهَ) . kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Sibawaih.Seorang penyair mengatakan:


لَاهِ ابْنِ عَمِّكَ لَا أَفْضَلْتَ فِي حَسَبٍ ... عَنِّي وَلَا أَنْتَ دَيَّانِي فَتَخْزُونِي


Anak pamanmu merasa tinggi diri, padahal kamu tidak mempunyai keutamaan melebihiku dalam hal kehinaan, dan tidak pula kamu berhak mengadakan pembalasan kepadaku hingga kamu dapat menghinaku dengan seenaknya.

Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam,

lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya, "lakinna huwallahu rabbi," bentuk asalnya ialah lakin ana, yakni "tetapi Aku".

Al-Qurtubi mengatakan. selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya

"bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah Swt. membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah,

sebagaimana dikatakan oleh mereka wisyahun menjadi isyahun, dan wisadah menjadi isadah.Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah alihtu ilafidan yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain,

akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah Swt. telah berfirman;


أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ


Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman .... (Ar-Ra'd: 28)Ar-Razi mengatakan. menurut pendapat yang lain berasal dari laha yaiuhu yang artinya "bila terhalang".

Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya"". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-N'ya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri)

kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari alihar rajula ya-lahu; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi.Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ


sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya. (Al-Mu’minun: 88)Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ}


Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya). (An-Nahl: 53), Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


{وَهُوَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ}


Dia memberi makan dan tidak diberi makan. (Al-An'am: 14), Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:


{قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ}


Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah." (An-Nisa: 78)Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih

serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq,

niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja,

lagi Mahasuci Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:


{الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ اللَّهِ}


Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah. (Ibrahim: 1-2)Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah Swt.:


هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا


Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (Maryam: 65)Akan tetapi, berpegang kepada dalil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq,

masih perlu dipertimbangkan.Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah Swt. berasal dari bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang menurutnya pantas dinilai lemah.

Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta orang-orang yang tersesat

di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah

dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat

kepada-Nya.Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk mempertuhankan-Nya.Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi) orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap

sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan lahat —yakni telah meninggi— bila matahari terbit.Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata alihar rajulu. yakni "bila lelaki tersebut beribadah";

dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "wayazaraka wailahatuka", dengan kata lain bentuk asalnya adalah ilahun, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah;

setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam,yaitu 'ain fi’l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-Idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.


القول في تأويل الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar Ar-Rahman dengan maksud mubalagah; lafaz Ar-Rahman lebih balig (kuat) daripada lafaz Ar-Rahim. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya

riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s.

Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat."Sebagian di antara mereka (ulama)

ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:


وَكانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً


Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman adalah nama ibrani, bukan nama Arab.

Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahim adalah nama Arab, dan Ar-Rahman nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan,

pendapat ini tidak disukai.Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ»


Allah Swt. berfirman, "Akulah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan

(dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan

dan dipertentangkan. Adapun orang-orang Arab ingkar terhadap nama Ar-Rahman karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya.Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz ar-rahman

dan ar-rahim mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun,

karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapanmu rajulun gadbanu ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il

dan adakalanya menunjukkan makna maful.Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt.,

sedangkan ar-rahim hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}


Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada

yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:


«إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ ويعطي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ»


Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar.

Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عليه»


Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.Salah seorang penyair mengatakan:


اللَّهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ ... وَبُنَيُّ آدَمَ حين يسأل يغضب


Allah murka bila kamu tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah.Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar

yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, "Ar-Rahman artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin),

sedangkan Ar-Rahim Maha Penyayang kepada kaum mukmin."Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:


ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ


kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59)Di dalam firman lainnya disebutkan pula:


الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى


Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5)Allah menyebut nama Ar-Rahman untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman:


{وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا}


Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)Maka Dia mengkhususkan nama Ar-Rahim untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai pengertian mubalagah

dalam kasih sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum —baik di dunia maupun di akhirat— bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz ar-rahim dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa

yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat".Nama Ar-Rahman hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:


قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى


Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110)Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman:


وَسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنا أَجَعَلْنا مِنْ دُونِ الرَّحْمنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ


Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45)Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta)

melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan Al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut

melainkan dengan panggilan Musailamah Al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui

yang bertempat tinggal di Padang Sahara.Sebagian ulama menduga bahwa lafaz ar-rahim lebih balig dari-pada lafaz ar-rahman, karena lafaz ar-rahim dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid

(penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahwa dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat);

dan apa yang mereka sebutkan tentangnya tidak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz ar-rahman tidak layak disandang selain Allah Swt. Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya Ar-Rahman hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini. sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah,


{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى}


"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110)Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani

menamakan dirinya dengan sebutan "Ar-Rahman" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia.Adapun lafaz ar-rahim, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ


Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang

terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128)Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً بَصِيراً


Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2)

Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, Ar-Rahman, Ar-Raziq, dan Al-Khaliq serta lain-lainnya yang sejenis.

Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan ar-rahman karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz ar-rahim. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia,

maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.Jika ditanyakan, "Bila lafaz ar-rahman lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz ar-rahim juga disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut ar-rahman saja?"

Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan ar-rahman selain Dia, maka didatangkanlah lafaz ar-rahim untuk membantah dugaan yang tidak benar itu,

karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan ar-rahmanir rahim kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.

Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata ar-rahman sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-Nya:


{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى}


Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 110)Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian

Hudaibiyyah dilaksanakan —yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"— mereka mengatakan,

"Kami tidak mengenal ar-rahman, tidak pula ar-rahim." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal ar-rahman kecuali Rahman dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab). Allah Swt. telah berfirman:


وَإِذا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمنِ قالُوا وَمَا الرَّحْمنُ أَنَسْجُدُ لِما تَأْمُرُنا وَزادَهُمْ نُفُوراً


Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami

(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 60)Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar,

dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Ar-Rahman. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut:


أَلَا ضَرَبَتْ تِلْكَ الْفَتَاةُ هَجِينَهَا ... أَلَا قَضَبَ الرَّحْمَنُ رَبِّي يَمِينَهَا


Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya?Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:


عجلتم علينا إذ عجلنا عَلَيْكُمُ ... وَمَا يَشَأِ الرَّحْمَنُ يَعْقِدُ وَيُطْلِقِ


Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus hubungan).Ibnu Jarir mengatakan

bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak,

dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah wazan fa'lana dari lafaz ar-rahmah, dan ia termasuk kata-kata Arab.Ibnu Jarir mengatakan, ar-rahmanir rahim artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang

kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama.Ibnu Jarir mengatakan pula,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan

bahwa ar-rahman adalah isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim ini.Di dalam hadis Ummu Salamah disebutkan bahwa Rasulullah Saw.memutus-mutuskan bacaannya dari suatu kalimat ke kalimat lain seperti berikut:


بِسْمِ الل

Surat Al-Fatihah |1:2|

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

al-ḥamdu lillaahi robbil-'aalamiin

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.

In the name of Allah, the Entirely Merciful, the Especially Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud sebagai ungkapan pujian kepada Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya,

yaitu bahwa Allah Taala adalah yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya.

Atau makna yang dimaksud ialah bahwa Allah Taala itu adalah Zat yang harus mereka puji.

Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah.

(Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang memiliki pujian semua makhluk-Nya, yaitu terdiri dari manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya.

Masing-masing mereka disebut alam. Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya.

Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam', yaitu dengan memakai huruf ya dan huruf nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia adalah tanda bagi adanya yang menciptakannya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 2 |

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.Menurut Qira’ah Sab'ah, huruf dal dalam firman-Nya, "alhamdu lillahi," dibaca dammah, terdiri atas mubtada dan khabar.Diriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah dan Rubah ibnul Ajjaj,

keduanya membacanya menjadi alhamda lillahi (الْحَمْدَ لِلَّهِ) dengan huruf dal yang di-fathah-kan karena menyimpan fi’l.Ibnu Abu Ablah membacanya alhamdulillah dengan huruf dal dan lam yang di-dammah-kan kedua-duanya

karena yang kedua diikutkan kepada huruf pertama dalam harakat. Ia mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkan pendapatnya ini, tetapi dinilai syaz (menyendiri).Diriwayatkan dari Al-Hasan dan Zaid ibnu Ali bahwa keduanya

membacanya alhamdi lillahi dengan membaca kasrah huruf dal karena diseragamkan dengan harakat huruf sesudahnya.Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna alhamdulillah ialah "segala syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah semata,

bukan kepada apa yang disembah selain-Nya dan bukan kepada semua apa yang diciptakan-Nya, sebagai imbalan dari apa yang telah Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya berupa segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya".

Tiada seorang pun yang dapat menghitung semua bilangannya selain Dia semata. Nikmat itu antara lain adalah tersedianya semua sarana untuk taat kepada-Nya, kemampuan semua anggota tubuh yang ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal

yang difardukan oleh-Nya. Selain itu Dia menggelarkan rezeki yang berlimpah di dunia ini buat hamba-Nya dan memberi mereka makan dari rezeki tersebut sebagai nikmat kehidupan buat mereka, padahal mereka tidak memilikinya.

Dia mengingatkan dan menyeru mereka agar semuanya itu dijadikan sebagai sarana buat mencapai kehidupan yang abadi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan yang kekal untuk selama-lamanya.

Maka segala puji hanyalah bagi Tuhan kita atas semua itu sejak permulaan hingga akhir.Ibnu Jarir mengatakan bahwa alhamdulillah adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya sendiri. termasuk di dalam pengertiannya

ialah Dia memerintahkan hamba-Nya untuk memanjatkan puji dan sanjungan kepada-Nya. Seakan-akan Allah Swt. bermaksud, "Katakanlah oleh kalian, 'Segala puji hanyalah bagi Allah'!"Ibnu Jarir mengatakan, adakalanya dikatakan

"sesungguhnya ucapan seseorang yang mengatakan alhamdulillah merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi". Sedangkan ucapan seseorang

"segala syukur adalah milik Allah" merupakan pujian kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan bantahannya yang kesimpulannya adalah "semua ulama bahasa Arab menyamakan makna antara alhamdu

dan asy-syukru (antara puji dan syukur)". Pendapat ini dinukil pula oleh As-Sulami, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa puji dan syukur adalah sama pengertiannya, dari Ja'far As-Sadiq dan Ibnu Ata. dari kalangan ahlu tasawwuf.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ucapan "segala puji bagi Allah" merupakan kalimat yang diucapkan oleh semua orang yang bersyukur. Al-Qurtubi menyimpulkan dalil yang menyatakan kebenaran orang yang mengatakan bahwa kalimat alhamdulillah

adalah ungkapan syukur, dia nyatakan ini terhadap Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa telah dikenal di kalangan mayoritas ulama muta-akhkhirin bahwa alhamdu adalah pujian

dengan ucapan terhadap yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah dan yang muta'addiyah bagi-Nya, sedangkan asy-syukru tidaklah diucapkan melainkan hanya atas sifat yang muta'addiyah saja.

Terakhir adakalanya diucapkan dengan lisan atau dalam hati atau melalui sikap dan perbuatan. sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair:


أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً: ... يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا


Nikmat paling berharga yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam, yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai yang paling umum maknanya di antara keduanya,

pujian ataukah syukur. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut penyelidikan, terbukti memang di antara keduanya terdapat pengertian khusus dan umum. Alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru,

yakni bila dipandang dari segi pengejawantahannya. Dikatakan demikian karena alhamdu ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyah. Engkau dapat mengatakan, "Aku puji keberaniannya," dan "Aku puji kedermawanannya,

" hanya saja pengertiannya lebih khusus karena hanya diungkapkan melalui ucapan. Lain halnya dengan asy-syukru yang pengertiannya lebih umum bila dipandang dari segi pengejawantahannya (realisasinya)

karena dapat diungkapkan dengan ucapan. perbuatan. dan niat. seperti yang telah dijelaskan tadi. Asy-syukur dinilai lebih khusus karena hanya diungkapkan terhadap sifat muta'addiyah saja, tidak dapat dikatakan,

"Aku mensyukuri keberaniannya," atau "Aku mensyukuri kedermawanan dan kebajikannya kepadaku." Demikianlah menurut catatan sebagian ulama muta-akhkhirin.Abu Nasr Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan,

pengertian alhamdu merupakan lawan kata dari azzam (celaan). Dikatakan hamdihir rajula, alhamduhu hamdan wamahmadah (aku memuji lelaki itu dengan pujian yang setinggi-tingginya); bentuk fail-nya ialah hamid,

dan bentuk mafid-nya ialah mahmud.Lafaz tahmid mempunyai makna lebih kuat daripada alhamdu. sedangkan alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru. Abu Nasr mengatakan sehubungan dengan makna asy-syukru,

yaitu "sanjungan yang ditujukan kepada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari kebaikan yang telah diberikannya". Dikatakan syakar-tuhu atau syakartu lahu artinya "aku berterima kasih kepadanya", tetapi yang memakai lam lebih fasih.

Sedangkan makna al-madah lebih umum daripada alhamdu, karena pengertian al-madah (pujian) dapat ditujukan kepada orang hidup. orang mati, juga terhadap benda mati, sebagaimana pujian terhadap makanan, tempat, dan lain sebagainya;

dan al-madah dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebaikan, juga dapat ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyyah. Dengan demikian, berarti al-madah lebih umum pengertiannya (dari-pada alhamdu).


ذِكْرُ أَقْوَالِ السَّلَفِ فِي الْحَمْدِ


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah-ku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Qutai'i. telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulai-kah, dari Ibnu Abbas r.a.

' yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Kami telah mengetahui makna subhanallah dan la ilaha illallah, lalu apakah makna alhamdulillah?" Ali k.w. menjawab, "Ia merupakan suatu kalimah yang diridai oleh Allah untuk diri-Nya."

Asar yang sama diriwayatkan pula oleh selain Abu Ma'mar, dari Hafs, disebutkan bahwa Khalifah Umar bertanya kepada Ali, sedangkan teman-teman Umar berada di hadapannya, "La ilaha illal-lah. subhanallah,

dan Allahu akbar telah kami ketahui maknanya. Apakah yang dimaksud dengan alhamdulillah? Ali k.w. menjawab, "Ia adalah suatu kalimah yang disukai oleh Allah Swt. buat diri-Nya, diridai buat diri-Nya, dan suka bila diucapkan."

Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an menceritakan dari Yusuf ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Alhamdu lillah adalah kalimat syukur. Apabila seorang hamba mengucapkan, "Segala puji bagi Allah.'

maka Allah Swt. berfirman. 'Hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku'." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula bersama Ibnu Jarir, dari hadits Bisyir ibnu Imarah. dari Abu Rauq. dari Dahhak,

dari Ibnu Abbas yang mengatkan bahwa alhamdulillah sama dengan asy-syukru lillah yakni berterima kasih kepada-Nya dan mengakui segala nik'mat-Nya. hidayah-Nya, penciptaan-Nya, dan lain-lainnya.

Ka'b Al-Ahbar mengatakan, alhamdulillah adalah pujian kepada Allah. Ad-Dahhak mengatakan, alhamdulillah merupakan selendang (sifat) Tuhan Yang Maha Pemurah; di dalam sebuah hadis disebutkan hal yang semisal.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو السَّكوني، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا قُلْتَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَدْ شَكَرْتَ اللَّهَ، فَزَادَكَ"


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepadaku Isa ibnu Ibrahim, dari Musa ibnu Abu Habib, dari Al-Hakam ibnu Umair

yang dianggap sebagai sahabat. Dia menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila kamu ucapkan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," berarti engkau telah bersyukur kepada Allah, dan Dia niscaya akan menambahkan (nikmat-Nya) kepadamu.Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan:


حَدَّثَنَا رُوحٌ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أُنْشِدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبِّي، تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ فَقَالَ: "أَمَا إِنَّ رَبَّكَ يُحِبُّ الْحَمْدَ"


telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad ibnu Sari' yang menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, maukah engkau bila aku bacakan kepadamu pujian-pujian

yang biasa kupanjatkan kepada Rabbku Yang Mahasuci dan Maha Tinggi.' Nabi Saw. menjawab, 'Ingatlah, sesungguhnya Tuhan-mu menyukai alhamdu (pujian)'."Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Ali ibnu Hujr,

dari Ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad dari Sari' dengan lafaz yang sama.Abu Isa Al-Hafiz (yaitu Imam Turmuzi) Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Musa ibnu Ibrahim ibnu Kasir,dari Talhah ibnu Khirasy, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»


Zikir yang paling afdal (utama) ialah, "Tidak ada Tuhan selain Allah," dan doa paling afdal ialah, "Segala puji bagi Allah."Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.Ibnu Majah meriwayatkan melalui Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فقال: الحمد الله إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَى أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ»


Tidak sekali-kali Allah memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu si hamba mengucapkan, 'Segala puji bagi Allah,' melainkan apa yang diberikan oleh Allah (pahala) lebih afdal daripada apa yang diterimanya.

Al-Qurtubi di dalam kitab Tafsir-nya. dan di dalam kitab Nawadirid Usul telah meriwayatkan melalui Anas r.a., dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


«لَوْ أَنَّ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا فِي يَدِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لله كان الْحَمْدُ لِلَّهِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ»


Seandainya dunia berikut semua isinya berada di tangan seorang lelaki dari kalangan umatku, kemudian dia mengucapkan, "Segala puji bagi Allah," niscaya kalimat alhamdulillah (yang telah dia ucapkan itu) jauh lebih afdal daripada hal itu

(dunia dan seisinya).Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari hadis ini ialah "ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya untuk mengucapkan kalimah 'segala puji bagi Allah' benar-benar lebih banyak

mengandung nikmat baginya daripada semua nikmat dunia". Dikatakan demikian karena pahala memuji Allah bersifat kekal, sedangkan nikmat dunia pasti lenyap dan tidak akan kekal. Allah SWT telah berfirman:


الْمالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْباقِياتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَواباً وَخَيْرٌ أَمَلًا


Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 46)Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan melalui Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. pernah bercerita kepada mereka (para sahabat):


"أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَكَ الْحَمْدُ كما ينبغي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَعَضَلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا، فَصَعَدَا إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَا يَا رَبِّ، إِنَّ عَبْدًا قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا، قَالَ اللَّهُ -وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ-: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ قَالَا يَا رَبِّ إِنَّهُ قَدْ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ. فَقَالَ اللَّهُ لَهُمَا: اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي حَتَّى يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ بِهَا"


Bahwa ada seorang hamba Allah mengucapkan doa, "Wahai Tuhanku, bagi Engkau segala puji sebagaimana yang layak bagi keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu." Maka kedua malaikatnya merasa kesulitan,

keduanya tidak mengetahui bagaimana mencatat (pahala)nya, lalu keduanya naik melapor kepada Allah dan berkata, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan suatu kalimat (doa)

yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya.”Allah Swt. berfirman —Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya itu—, "Apakah yang telah diucapkan oleh hamba-Ku itu?" Keduanya menjawab,

"Wahai Tuhanku, sesungguhnya dia telah mengatakan, 'Bagi Engkau segala puji, wahai Tuhanku, sebagaimana yang layak bagi keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu." Lalu Allah berfirman kepada kedua malaikat itu,

"Catatlah olehmu berdua seperti apa yang diucapkan oleh hamba-Ku hingga dia bersua dengan-Ku, maka Aku akan membalas pahalanya secara langsung."Al-Qurtubi menceritakan dari segolongan ulama yang pernah mengatakan

bahwa ucapan seorang hamba, "Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam," adalah lebih afdal daripada ucapannya, "Tidak ada Tuhan selain Allah", mengingat kalimat alhamdulillahi rabbil 'ala-mina mengandung makna tauhid bersama pujian.

Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa ucapan, "Tidak ada Tuhan selain Allah," adalah lebih afdal. mengingat kalimat inilah yang memisahkan antara iman dan kekafiran, karena kalimat ini pula manusia diperangi hingga mereka

mau mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah," seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang muttafaq 'alaih. Di dalam hadis lain dinyatakan:


«أَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ»


Doa yang paling utama diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku ialah, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya."Dalam pembahasan yang lalu disebutkan sebuah hadis melalui Jabir secara marfu':


«أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»


Zikir yang paling utama ialah, "Tidak ada Tuhan selain Allah," dan doa yang paling utama ialah, "Segala puji bagi Allah."Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Turmuzi.Huruf alif dan lam dalam lafaz alhamdu

menunjukkan makna yang mencakup segala macam pujian dan semua jenisnya hanya milik Allah Swt., sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam sebuah hadis:


"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ كُلُّهُ، وَبِيَدِكَ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَإِلَيْكَ يَرْجِعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ"


Ya Allah, hanya milik-Mu-lah segala puji, dan hanya milik-Mu-lah semua kerajaan, serta di tangan kekuasaan-Mu-lah semua kebaikan, dan hanya kepada Engkaulah kembali semua urusan.


[القول في تأويل رَبِّ الْعالَمِينَ]


Istilah "Rabb" artinya "pemilik yang berhak ber-tasarruj", menurut istilah bahasa diucapkan menunjukkan arti tuan dan orang yang ber-tasarruj untuk perbaikan. Pengertian tersebut masing-masing sesuai dengan hak Allah Swt.

Lafaz Rabb tidak dapat dipakai untuk selain Allah Swt, melainkan di-mudaf-kan. Untuk itu, katakanlah olehmu Rabbud Dar (pemilik rumah) dan Rabb Kaza (pemilik anu). Lafaz Rabb yang dimaksudkan adalah Allah Swt, hanya dipakai tanpa mudaf.

Menurut suatu pendapat. lafaz Rabb adalah Ismul A 'zam.Al-'alamina bentuk jamak dari 'alamun, artinya "semua yang ada selain Allah Swt."; dan lafaz 'alamun sendiri bentuk jamak yang tidak ada bentuk tunggal dari lafaz aslinya.

Sedangkan lafaz al-'awalim artinya "berbagai macam makhluk yang ada di langit, di daratan, di laut", dan setiap generasi dari semua jenis makhluk tersebut dinamakan 'alam pula.Bisyr ibnu Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq,

dari Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa "segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam" artinya ialah "segala puji bagi Allah yang semua makhluk ini adalah milik-Nya, yaitu langit, bumi, dan yang ada di antara keduanya,

baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui.Di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Rabbul 'alamina ialah Tuhan jin dan manusia.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, dan Ibnu Juraij. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ali k.w. Menurut Ibnu Abu Hatim, sanad asar tersebut tidak dapat dipegang.Al-Qurtubi mengatakan demikian (yakni jin dan manusia) dengan berdalilkan firman Allah Swt. yang mengatakan:


لِيَكُونَ لِلْعالَمِينَ نَذِيراً


agar dia (Al-Qur'an) menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (Al-Furqan: 1)Makna yang dimaksud dengan "seluruh alam" ialah makhluk jin dan manusia.Al-Farra dan Abu Ubaid mengatakan, yang dimaksud dengan al-'alam

ialah ditujukan kepada makhluk yang berakal; mereka adalah manusia, jin, malaikat, dan setan. Untuk itu, semua jenis binatang tidak dapat dikatakan 'alam. Disebutkan dari Zaid ibnu Aslam dan Abu Muhaisin, bahwa 'alam artinya

"setiap makhluk bernyawa yang berkembang biak."Qatadah mengatakan bahwa al-'alam adalah setiap jenis alam.Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan di dalam autobiografi Marwan ibnu Muhammad —salah seorang khalifah dari kalangan Bani Umayyah

yang dikenal dengan julukan "Al-Ja'd" dan sebutan "Al-Himar"— bahwa dia pernah mengatakan, "Allah menciptakan tujuh belas ribu alam, penduduk langit dan penduduk bumi digolongkan satu alam, sedangkan yang lainnya tiada seorang pun

yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt."Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Rabbil 'alamina"bahwa Anas pernah mengatakan, "Manusia merupakan alam,

dan jin adalah alam, sedangkan selainnya terdiri atas 18.000 atau 14.000 —dia ragu— alam malaikat yang ada di atas bumi. Bumi mempunyai empat penjuru, pada tiap-tiap juru terdapat 3.500 alam (malaikat) yang telah diciptakan oleh Allah Swt.

untuk beribadah kepada-Nya." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Akan tetapi, kalimat seperti ini aneh; hal yang seperti ini memerlukan adanya dalil yang sahih.Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Furat (yakni Ibnul Walid), dari Mu'tib ibnu Sumai,

dari Subai' (yakni Al-Himyari) sehubungan dengan firman-Nya, "Rabbil 'alamina." bahwa al-alamina terdiri atas seribu umat: enam ratus berada di dalam laut, sedangkan empat ratus berada di darat.

Hal semisal diriwayatkan pula melalui Sa'id ibnul Musayyab, dan hal yang semisal ini diriwayatkan pula secara marfu’, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Ahmad ibnu Ali ibnul Mu-sanna di dalam kitab Musnad-nya, bahwa:


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ وَاقِدٍ الْقَيْسِيُّ، أَبُو عَبَّادٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ كَيْسَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَلَّ الْجَرَادُ فِي سَنَةٍ مِنْ سِنِي عُمَرَ الَّتِي وَلِيَ فِيهَا فَسَأَلَ عَنْهُ، فَلَمْ يُخْبَرْ بِشَيْءٍ، فَاغْتَمَّ لِذَلِكَ، فَأَرْسَلَ رَاكِبًا يَضْرِبُ إِلَى الْيَمَنِ، وَآخَرَ إِلَى الشَّامِ، وَآخَرَ إِلَى الْعِرَاقِ، يَسْأَلُ: هَلْ رُئِيَ مِنَ الْجَرَادِ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ قَالَ: فَأَتَاهُ الرَّاكِبُ الَّذِي مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ بِقَبْضَةٍ مِنْ جَرَادٍ، فَأَلْقَاهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا رَآهَا كَبَّرَ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "خَلَقَ اللَّهُ أَلْفَ أُمَّةٍ، سِتُّمِائَةٍ فِي الْبَحْرِ وَأَرْبَعُمِائَةٍ فِي الْبَرِّ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَهْلِكُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَمِ الْجَرَادُ، فَإِذَا هَلَكَ تَتَابَعَتْ مِثْلَ النِّظَامِ إِذَا قُطِعَ سِلْكُهُ"


telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Waqid Al-Qaisi Abu Ibad, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Isa ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Pada suatu tahun dari masa pemerintahan Khalifah Umar, belalang berkurang jumlahnya. Lalu ia bertanya-tanya mengenai hal itu, tetapi tidak ada seorang pun

yang menjawabnya,maka hal itu membuatnya kurang puas. Lalu ia mengirimkan seorang pengendara kuda untuk pergi ke negeri Yaman, seorang lagi menuju ke negeri Syam, dan yang seorang lagi menuju ke negeri Irak untuk menanyakan

apakah ada belalang atau tidak di tempat tujuan masing-masing. Kemudian datang kepadanya pengendara dari Yaman membawa segenggam belalang, lalu utusan itu meletakkannya di hadapan Umar. Ketika Umar melihatnya, maka ia bertakbir,

kemudian berkata, 'Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: 'Allah telah menciptakan seribu umat, enam ratus umat berada di laut dan yang empat ratus umat berada di daratan. Mula-mula umat yang binasa dari kesemuanya itu

adalah belalang;apabila belalang musnah, maka merambat secara beruntun sebagaimana sebuah untaian kalung yang terputus talinya."Muhammad ibnu Isa yang disebut di dalam sanad asar ini adalah Al-Hilali, dia orangnya daif.

Al-Bagawi meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa dia pernah mengatakan.”Allah telah menciptakan seribu alam. enam ratus berada di lautan, sedangkan yang empat ratus berada di daratan."Wahab ibnu Munabbih mengatakan bahwa Allah

telah menciptakan 18.000 alam, dunia ini merupakan salah satunya.Muqatil mengatakan bahwa alam-alam itu seluruhnya ada 80.000. Ka'b Al-Ahbar mengatakan, tiada seorang pun yang mengetahui bilangan alam kecuali hanya Allah Swt.

Semua yang telah disebutkan ini dinukil oleh Al-Bagawi.Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan 40.000 alam, sedangkan dunia ini dari timur hingga barat

merupakan salah satu darinya.Az-Zujaj mengatakan bahwa al-'alam ialah semua yang telah diciptakan oleh Allah di dunia dan akhirat. Demikian pendapat Al-Qurtubi, dan pendapat inilah yang sahih, yaitu yang mengatakan pengertian alam

mencakup kedua alam tersebut (dunia dan akhirat), sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya (menurut bacaan orang yang membaca al-'alamina menjadi al-'alamaini), yaitu:


قالَ فِرْعَوْنُ وَما رَبُّ الْعالَمِينَ. قالَ رَبُّ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَما بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ


"Fir'aun bertanya, 'Siapa Tuhan kedua alam itu?' Musa menjawab, Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jikakamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya'." (Asy-syuara 23)

Al-'alam berakar dari kata al-'alamah. Menurut kami, dikatakan demikian karena adanya alam ini menunjukkan adanya Penciptanya, hasil karya-Nya dan keesaan-Nya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mu'taz:


فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ


Alangkah anehnya, mengapa durhaka terhadap Tuhan, atau mengapa si pengingkar tidak mempercayai-Nya, padahal pada segala sesuatu yang ada terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.

Surat Al-Fatihah |1:3|

الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

ar-roḥmaanir-roḥiim

Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

[All] praise is [due] to Allah, Lord of the worlds -

Tafsir
Jalalain

(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 3 |

Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Firman Allah Swt., "ar-rahmanir rahim," keterangannya dikemukakan dalam Bab "Basmalah"; itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi.Al-Qurtubi mengatakan, sesungguhnya Allah Swt.

menyifati diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim sesudah firman-nya, "rabbil 'alamina, " tiada lain agar makna tarhib yang dikandung rabbul 'alamina dibarengi dengan makna targib yang terkandung pada ar-rahmanir rahim, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


نَبِّئْ عِبادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذابِي هُوَ الْعَذابُ الْأَلِيمُ


Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Al-Hijr: 49-50)Juga dalam firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:


إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ


Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-A'raf: 165)Lafaz Rabb (Tuhan) dalam ayat tersebut mengandung makna tarhib,

sedangkan ar-rahmanir rahim mengandung makna targib.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العقوبة ما طمع في جنته أَحَدٌ وَلَوْ يُعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ من الرحمة ما قنط من رحمته أحد»


Seandainya orang yang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.

Surat Al-Fatihah |1:4|

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

maaliki yaumid-diin

Pemilik hari pembalasan.

The Entirely Merciful, the Especially Merciful,

Tafsir
Jalalain

(Yang menguasai hari pembalasan) di hari kiamat kelak. Lafal 'yaumuddiin' disebutkan secara khusus,

karena di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan, kecuali hanya Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang menyatakan,

"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat) Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (Q.S. Al-Mukmin 16)

Bagi orang yang membacanya 'maaliki' maknanya menjadi "Dia Yang memiliki semua perkara di hari kiamat".

Atau Dia adalah Zat yang memiliki sifat ini secara kekal, perihalnya sama dengan sifat-sifat-Nya yang lain,

yaitu seperti 'ghaafiruz dzanbi' (Yang mengampuni dosa-dosa). Dengan demikian maka lafal 'maaliki yaumiddiin' ini sah menjadi sifat bagi Allah, karena sudah ma`rifah (dikenal).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 4 |

Yang Menguasai hari pembalasan.Sebagian ulama qiraah membacanya مَلِك, sedangkan sebagian yang lain membacanya مَالِكِ; kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan As-Sab'ah.

Lafaz maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya malki dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah huruf kaf dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din


(مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ).


Kedua bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai pendukungnya tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih lagi baik. Sedangkan Az-Zamakhsyari

lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat bacaan inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan karena firman-Nya


لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ


Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)


قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ


Dan benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membaca malaka yaumidin (مَلَكَ يوم الدين) atas dasar anggapan fi’il, fa’il, dan maful,

tetapi pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali.Abu Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut— sesuatu yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami

Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah mendengar hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta Mu'awiyah

dan anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din. Ibnu Syihab mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan (Ibnul Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca,

sedangkan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.Telah diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki yaumid din.Lafaz malik diambil dari kata al-milku, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ


Sesungguhnya Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan. (Maryam: 40)


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ


Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)Sedangkan kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ


Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)


قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ


Benarlah perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala kekuasaan. (Al-An'am: 73)


الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ عَسِيراً


Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)Pengkhususan sebutan al-mulku (kerajaan)

dengan yaumid din (hari pembalasan) tidak bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum mencakup di dunia dan akhirat.

Di-mudaf-kan kepada lafaz yaumid din karena tiada seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun yang dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:


يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً


Pada hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata. kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)


وَخَشَعَتِ الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً


dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Thaha: 108)


يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ


Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (Hud: 105)Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid din artinya

"tiada seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat mereka (raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".Ibnu Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab,

yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balas-annya pun buruk, kecuali orang yang mendapat ampunan

dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya, "Maliki yaumid din,

" ialah "Allah Mahakuasa untuk mengadakannya". Tetapi Ibnu Jarir sendiri menilai pendapat ini daif (lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat lainnya yang telah disebutkan terdahulu.

Masing-masing orang yang berpendapat demikian dan yang sebelumnya mengakui kebenaran pendapat lainnya serta tidak mengingkari kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih sesuai bila diartikan dengan makna pertama di atas tadi dibandingkan dengan pendapat yang sekarang ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


{الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا}


Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)Sedangkan pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ}


Pada hari Dia mengatakan, "Jadilah!, lalu terjadilah. (Al-An'am: 73)Pada hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ


Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)Di dalam hadis Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. secara marfu’:


«أَخْنَعُ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ وَلَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ »


Nama yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya dengan panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda


«يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ »


Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana orang-orang yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?" Di dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:


لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ


Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)Adapun mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang dimaksud adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:


إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً


Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi raja kalian. (Al-Baqarah: 247)


وَكانَ وَراءَهُمْ مَلِكٌ


karena di hadapan mereka ada seorang raja. (Al-Kahfi: 79)


إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً


ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian sebagai raja-raja (orang-orang yang merdeka). (Al-Maidah: 20)Di dalam sebuah hadis Sahihain disebutkan:


«مِثْلُ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»


seperti raja-raja yang berada di atas dipan-dipannya (singgasana).Ad-din artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam firman lainnya, yaitu:


يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ


Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)


أَإِنَّا لَمَدِينُونَ


apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan? (Ash-Shaffat: 53)Makna yang dimaksud ialah mendapat balasan yang setimpal dan dihisab.Di dalam sebuah hadis disebutkan:


«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»


Orang yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati.Makna yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana yang dikatakan Khalifah Umar r.a..

yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian," seperti yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:


يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ


Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya). (Al-Haqqah: 18)

Surat Al-Fatihah |1:5|

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

Sovereign of the Day of Recompense.

Tafsir
Jalalain

(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan) Artinya kami beribadah hanya kepada-Mu,

seperti mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 5 |

Hanya EngkaulahYangKami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif,

yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:


فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ


Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama,

kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat";

dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu

"suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan.

Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini,

sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu.

Lafaz iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:


فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ


Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)


قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا


Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)


رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا


(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:


{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}


Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab

(lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:


{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}


Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Swt.

yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat

seseorang yang tidak mengucapkan surat ini.sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»


Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»


Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan,

"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila dia mengatakan,

"Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman,

"Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan)

mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah

"Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu

dalam semua urusan kami".Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian".

Sesungguhnya lafaz iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah,

maka didahulukanlah hal yang lebih penting.Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang;

jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar),maka tidak sesuai dengan konteksnya.Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah,

sedangkan orang yang melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka

sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan".Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim,

dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:


{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}


Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan',

sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Swt.Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut

daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah

kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang penyair mengatakan:


لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي


Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ


Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)


وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ


Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya (Al-Jin: 19)


سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا


Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (Al-Isra: 1)Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya,

dan di saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ


Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat),

dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah,

mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah

Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi

tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa.

Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Swt.,

pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna".

Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat karena Allah." Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.

Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:


أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»


"Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."

Surat Al-Fatihah |1:6|

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

ihdinash-shiroothol-mustaqiim

Tunjukilah kami jalan yang lurus,

It is You we worship and You we ask for help.

Tafsir
Jalalain

(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya, yaitu:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 6 |

Tunjukilah kami jalan yang lurusBacaan yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirat dengan memakai shad. Tetapi ada pula yang membacanya sirat dengan memakai sin, ada pula yang membacanya zirat dengan memakai za,

menurut Al-Farra berasal dari dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb.Setelah pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah Swt, sesuailah bila diiringi dengan permohonan,sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas, yaitu:


«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»


Separo untuk-Ku dan separo lainnya buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang dia minta.Merupakan suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan kepada Allah Swt. terlebih dahulu memuji-Nya,

setelah itu baru memohon kepada-Nya apa yang dia hajatkan —juga buat saudara-saudaranya yang beriman— melalui ucapannya, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus." Cara ini lebih membawa kepada keberhasilan dan lebih dekat

untuk diperkenankan oleh-Nya; karena itulah Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Ia paling sempurna. Adakalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi Musa a.s. dalam firman-Nya:


رَبِّ إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ


Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. (Al-Qashash : 24)Tetapi adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Zun Nun dalam firman-Nya:


لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ


Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Anbiya: 87)Adakalanya permohonan diungkapkan hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seorang penyair:


أَأَذْكُرُ حَاجَتِي أَمْ قَدْ كَفَانِي ... حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيمَتَكَ الْحَيَاءُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا ... كَفَاهُ مِنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَاءُ


Apakah aku harus mengungkapkan keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang memujimu, niscaya engkau akan memberinya

kecukupan.Al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah bimbingan dan taufik (dorongan). Lafaz hidayah ini adakalanya muta'addi dengan sendirinya. sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini:


{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}


Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6)Maka al-hidayah mengandung makna "berilah kami ilham atau berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami", sebagaimana yang ada dalam firman-Nya:


وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)yang dimaksud ialah "Kami telah menjelaskan kepadanya (manusia) jalan kebaikan dan jalan keburukan".Adakalanya al-hidayah muta'addi dengan ila seperti yang ada Dalam firman-Nya:


اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ


Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus. (An-Nahl: 121)Allah Swt. telah berfirman:


فَاهْدُوهُمْ إِلى صِراطِ الْجَحِيمِ


maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Ash-Shaffat: 23)Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu pula makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:


وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ


Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)Adakalanya al-hidayah ber-muta'addi kepada lam, sebagaimana ucapan ahli surga yang disitir oleh firman-Nya:


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدانا لِهذا


Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. (Al-A'raf: 43)Makna yang dimaksud ialah "segala puji bagi Allah yang telah mem-beri kami taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuni-nya".

Mengenai as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan siratal mustaqim ialah "jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)".

Pengertian ini berlaku di kalangan semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan oleh Jarir ibnu Atiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu:


أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صِرَاطٍ ... إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مُسْتَقِيمُ


Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).Menurutnya, syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya.

Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu orang-orang Arab menggunakan sirat ini dengan makna isti'arah (pinjaman). lalu digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat baik yang lurus atau yang me-nyimpang.

Maka jalan yang lurus disebut mustaqim, sedangkan jalan yang menyimpang disebut mu'awwij."Selanjutnya ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf berbeda dalam menafsirkan lafaz sirat ini,

sekalipun pada garis besarnya mempunyai makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya".Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan sirat ialah Kitabullah alias Al-Qur'an.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ، وَهُوَ أَبُو الْمُخْتَارِ الطَّائِيُّ، عَنِ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ كِتَابُ اللَّهِ"


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Sa'id (yaitu Ibnul Mukhtar At-Ta'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war,

dari Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Siratal Mustaqim adalah Kitabullah.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu Habib Az-Zayyat.

Dalam pembahasan yang lalu —yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an— telah disebutkan melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi melalui riwayat Al-Haris Al-A'war, dari Ali r.a. secara marfu’,


"وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ، وَهُوَ الصِّرَاطُ المستقيم"


bahwa Al-Qur'an merupakan tali Allah yang kuat: dia adalah bacaan yang penuh hikmah. juga jalan yang lurus.Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali r.a. Riwayat terakhir ini lebih mendekati kebenaran.As-Sauri —dari Mansur,

dari Abu Wa'il, dari Abdullah— telah mengatakan bahwa siratal mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an).Menurut pendapat lain, siratal mustaqim adalah al-islam (agama Islam). Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.

yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril pernah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., "Hai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah kami jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud ialah "berilah kami ilham jalan petunjuk,

yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya".Maimun ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Bahwa makna yang dimaksud

dengan "jalan yang lurus" itu adalah "agama Islam".Ismail ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamazani, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw.

sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam. Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari Jabir sehubungan

dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6); dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam yang pengertiannya lebih luas daripada semua yang ada di antara langit dan bumi.Ibnul Hanafiyyah

mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), bahwa yang dimaksud ialah "agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridai oleh Allah Swt. buat hamba-Nya".

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan ihdinas siratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam.Dalam hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya disebutkan:


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تُعَوِّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ، لَا تَفْتَحْهُ؛ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ. فَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ"


telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh, bahwa Abdur Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari ayahnya,

dari An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisinya terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka,

tetapi pada pintu-pintu tersebut terdapat tirai yang menutupinya. sedangkan pada pintu masuk ke jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Hai manusia, masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian

menyimpang darinya." Dan di atas jembatan terdapat pula seorang juru penyeru; apabila ada seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada kedua sisi jembatan) itu, maka juru penyeru berkata,

"Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamnya." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua tembok adalah batasan-batasan (hukuman-hukuman had)

Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan juru penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah Kitabullah, dan juru penyeru yang berada di atas jembatan itu adalah nasihat Allah

yang berada dalam kalbu setiap orang muslim.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui hadis Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini

melalui Ali ibnu Hujr,dari Baqiyyah, dari Bujair ibnu Sa'd ibnu Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu Sam'an dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini hasan sahih.Mujahid mengatakan bahwa makna ayat,

"Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus," adalah perkara yang hak. Makna ini lebih mencakup semuanya dan tidak ada pertentangan antara pendapat ini de-ngan pendapat-pendapat lain yang sebelumnya.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mugirah, dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah mengenai makna "Tunjukilah kami ke jalan yang benar";

bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi Saw. sendiri dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.). Asim mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada Al-Hasan,

maka Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan nasihatnya'."Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sa-abat yang sesudahnya

(yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.), berarti dia mengikuti jalan yang hak (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an,

yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami

Mu-hammad ibnu Fadl As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy. dari Abu Wa'il. dari Abdullah yang mengatakan

bahwa siratal mustaqim itu ialah apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. buat kita semua.Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih utama bagi ayat berikut, yakni: Tunjukilah kami jalan yang lurus.

(Al-Fatihah: 6) ialah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua yang Engkau ridai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara hamba-hamba-Mu",

yang demikian itu adalah siratal mustaqim (jalan yang lurus). Dikatakan demikian karena orang yang telah diberi taufik untuk mengerjakan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat taufik dari Allah

di antara hamba-hamba-Nya —yakni dari kalangan para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh— berarti dia telah mendapat taufik dalam Islam, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan semua

yang diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi Saw. dan empat khalifah sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh. Semua itu termasuk ke dalam pengertian siratal mustaqim (jalan yang lurus).

Apabila dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah dalam setiap salat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah?

Apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang sudah teraih?"Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya,

niscaya Allah tidak akan membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu memerlukan Allah Swt. Dalam setiap keadaanya. agar dimantapkan hatinya pada hidayah dan dipertajam pandangannya

untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah. Sesungguhnya seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat menolak mudarat

terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap wakru. semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik.

Orang yang berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menjamin akan memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya.

Terlebih lagi bagi orang yang dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya, baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya.Allah Swt. telah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ


Wahai orang-orangyang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal seperti ini bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih, melainkan makna yang dimaksud ialah "perintah untuk lebih meneguhkan iman

dan terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan". Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya:


رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا وَهَبْ لَنا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ


Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).

(Ali Imran: 8)Abu Bakar As-Siddiq r.a. sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap salat Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya dengan suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan

bahwa makna firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah "tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan kami ke jalan yang lain".

Surat Al-Fatihah |1:7|

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

shiroothollażiina an'amta 'alaihim ghoiril-maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhooolliin

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang di murkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat

Guide us to the straight path -

Tafsir
Jalalain

(Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui petunjuk dan hidayah-Mu.

Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi.

(Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Kristen. Faedah adanya penjelasan tersebut tadi mempunyai pengertian

bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan pula orang-orang Kristen. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu.

Semoga selawat dan salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw.

beserta keluarga dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya.

Cukuplah bagi kita Allah sebagai penolong dan Dialah sebaik-baik penolong.

Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fatihah | 1 : 7 |

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.Dalam hadis yang lalu disebutkan apabila seseorang hamba mengucapkan.

”Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ...." sampai akhir surat. maka Allah Swt. berfirman: Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia mintaFirman Allah swt yang mengatakan: Yaitu jalan orang-orangyang telah Engkau anugerahkan

nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 7) berkedudukan menafsirkan makna siratal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal. dan boleh dianggap sebagai 'ataf bayan.Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. adalah mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:


وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ عَلِيماً


Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.

Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (An-Nisa: 69-70)Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Swt., "(yaitu)

jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu;

mereka adalah para malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

mere-ka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat. (An-Nisa: 69)Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya,

"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah "para nabi". Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud dengan "mereka"

adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid. Sedangkan menurut Waki'. mereka adalah orang-orang muslim. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Saw.

dan orang-orang yang mengikutinya.Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.


{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ}


bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 7)Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca gaira secara nasab

karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah Saw. dan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir

yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil ialah lafaz an'amta.Makna ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya.

Mereka adalah ahli hidayah. istiqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang yang dimurkai.

Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama).

akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang hak (benar).Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak,

yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna

bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:


كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ ... يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ بِشَنِّ


Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat melakukan penyerangan.Makna yang dimaksud ialah "seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta

dari temak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat gairil magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi 'alaihim

(bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:


{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ}


Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 6-7)Kemudian Allah Swt. berfirman:


{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ}


bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)Di antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya, "Walad dallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya menurut hipotesis mereka

adalah seperti berikut: "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu:


فِي بِئْرٍ لَا حُورٍ سَرَى وَمَا شَعَرَ


Dalam sebuah telaga —bukan telaga yang kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak merasakannya.Makna yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih adalah seperti yang telah kami sebutkan di atas.

Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur’an meriwayatkan sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Umar ibnul Khattab r.a. Disebutkan bahwa Umar r.a.

pernah membaca gairil magdubi 'alaihim wa gairid dallina. Sanad asar ini berpredikat sahih. Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian, tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan

oleh keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan ini memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sesungguhnya huruf la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi

agar tidak ada dugaan yang menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta 'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar masing terpisah jauh dari yang lainnya. karena sesungguhnya

jalan yang ditempuh oleh ahli iman mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya. Sedangkan -orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani telah kehilangan ilmunya. Karena itu dikatakan murka menimpa

orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya dengan orang yang tidak mempunyai ilmu.

Orang-orang Nasrani di saat mereka mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak mengikuti perkara yang hak,

akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang Yahudi dan Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.:


مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ


yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah. (Al-Maidah: 60)Yang dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيراً وَضَلُّوا عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ


mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 77)Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini tampak jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.


حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سِماك بْنَ حَرْبٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عبَّاد بْنَ حُبَيش، يُحَدِّثُ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: جَاءَتْ خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذُوا عَمَّتِي وَنَاسًا، فَلَمَّا أَتَوْا بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُفُّوا لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَاءَ الْوَافِدُ وَانْقَطَعَ الْوَلَدُ، وَأَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ، مَا بِي مِنْ خِدْمَةٍ، فمُنّ عَلَيَّ مَنّ اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ: "مَنْ وَافِدُكِ؟ " قَالَتْ: عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَ: "الَّذِي فَرَّ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ! " قَالَتْ: فمنَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا رَجَعَ، وَرَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ، تَرَى أَنَّهُ عَلِيٌّ، قَالَ: سَلِيهِ حُمْلانا، فَسَأَلَتْهُ، فَأَمَرَ لَهَا، قَالَ: فَأَتَتْنِي فَقَالَتْ: لَقَدْ فَعَلَ فَعْلَةً مَا كَانَ أَبُوكَ يَفْعَلُهَا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، وَأَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَصِبْيَانٌ أَوْ صَبِيٌّ، وَذَكَرَ قُرْبَهُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمُلْكِ كسرى ولا قيصر، فقال: "يَا عَدِيُّ، مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، فَهَلْ شَيْءٌ أَكْبَرُ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؟ ". قَالَ: فَأَسْلَمْتُ، فَرَأَيْتُ وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ، وَقَالَ: "الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ، وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى"


Dia mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut,

bahwa dia mendengar Abbad ibnu Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim. Addi ibnu Hatim mengatakan, "Pasukan berkuda Rasulullah Saw. tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan sejumlah orang dari kaumku.

Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Saw., mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku. 'Wahai Rasulullah. pemimpin kami telah jauh. dan aku tak beranak lagi,

sedangkan aku adalah seorang wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang dapat kusajikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah Saw. bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab,

'Addi ibnu Hatim.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,' lalu beliau membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah Saw. kembali bersama seorang lelaki di sampingnya lalu lelaki itu berkata

(kepada bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata aku diberi." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku datang kepadaku dan berkata,

'Sesungguhnya aku diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu. Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang, lalu orang itu memperoleh darinya apa yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya orang lain,

maka orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Saw. Ternyata di sisi beliau terdapat seorang wanita dan banyak anak,

lalu disebutkan bahwa mereka adalah kaum kerabat Nabi Saw. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi Saw. bukanlah seorang raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau Saw. bersabda kepadaku, 'Hai Addi.

apakah yang mendorongmu hingga kamu membangkang tidak mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar'?

Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah Swt.'?" Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya.”Maka aku masuk Islam. dan kulihat wajah beliau tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda,


«إن الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى»


'Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani'." Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb,

dan ia menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari Sammak ibnu Harb."Menurut kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri,

dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab. 'Mereka adalah orang-orang Yahudi"; dan tentang firman-Nya.

-Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat.Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi,

dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis Addi ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz (teks), bila dibahas cukup panjang.


قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ بُدَيْل العُقَيْلي، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيق، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي القُرَى، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْقَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ -وَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ-وَالضَّالُّونَ هُمُ النَّصَارَى"


Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pernah mendapat berita dari orang yang mendengar Rasulullah Saw.

bersabda ketika beliau berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu beliau Saw. bersabda: Mereka adalah orang-orang yang dimurkai,

seraya menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi mereka me-mursal-kannya

dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi Saw. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq,

dari Abu Zar r.a. yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna al-magdubi 'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?

" Beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani."As-Saddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat Nabi Saw.

Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai

adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada imam tersebut dalam masalah "orang-orang Yahudi adalah mereka

yang dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat" ialah hadis yang telah lalu dan firman Allah Swt. yang mengisahkan tentang kaum Bani Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu:


بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِما أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْياً أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلى مَنْ يَشاءُ مِنْ عِبادِهِ فَباؤُ بِغَضَبٍ عَلى غَضَبٍ وَلِلْكافِرِينَ عَذابٌ مُهِينٌ


Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya

di antara hamba-hamba-Nya.Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. (Al-Baqarah: 90)Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:


قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولئِكَ شَرٌّ مَكاناً وَأَضَلُّ عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ


Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah,

di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?" Mereka ini lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 60)


لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ عَلى لِسانِ داوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذلِكَ بِما عَصَوْا وَكانُوا يَعْتَدُونَ كانُوا لَا يَتَناهَوْنَ عَنْ مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كانُوا يَفْعَلُونَ


Telah dilaknai orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar

yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 78-79)Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika dia bersama segolongan teman-temannya

berangkat menuju negeri Syam dalam rangka mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim a.s.). Setelah mereka sampai di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami

sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar terhindar dari murka Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk

agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu."Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan menjauhi agama kaum musyrik,

tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi pada saat itu.

Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah melimpahkan rida kepadanya.

Surat Al-Baqarah |2:1|

لم

alif laaam miiim

Alif Lam Mim.

Alif, Lam, Meem.

Tafsir
Jalalain

(Alif laam miim) Allah yang lebih mengetahui akan maksudnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 1 |

Alif lam mim Para ulama tafsir berselisih pendapat sehubungan dengan huruf-huruf yang mengawali banyak surat Al-Qur'an. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Swt. saja,

maka untuk mengetahui maknanya mereka mengembalikannya kepada Allah Swt. dan tidak berani menafsirkannya.Demikianlah menurut riwayat Al-Qurtubi di dalam kitab Tafsir-nya melalui Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan Ibnu Mas'ud,

semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amir Asy-Sya'bi, Sufyan As-Sauri, dan Ar-Rabi' ibnu Khaisam, dan dipilih oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban.Di antara mereka ada yang menafsirkan,

dan mereka berselisih pendapat mengenai maknanya. Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, sesungguhnya huruf-huruf tersebut merupakan nama-nama surat yang bersangkutan. Abul Qasim Mahmud ibnu Umar Az-Zamakhsyari

di dalam kitab Tafsir-nya —yang kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama— mengatakan hal yang sama. Telah dinukil dari Imam Sibawaih bahwa dia mengatakan hal yang serupa dan ia memperkuat pendapatnya itu dengan hadis yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah r.a.:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ الم السَّجْدَةِ وهَلْ أَتى عَلَى الْإِنْسانِ


Rasulullah Saw. membaca surat Alif lam mim sajdah dan Hal ata 'alal insani dalam salat Subuh hari Jumat.Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Alif lam mim, Ha mim, Alif lam mim sad,

dan Shad merupakan pembuka-pembuka surat yang diberlakukan oleh-Nya dalam Al-Qur'an. Hal yang sama dikatakan pula oleh selainnya, dari Mujahid.Mujahid —menurut riwayat Abu Huzaifah Musa ibnu Mas'ud, dari Syibl,

dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sendiri— mengatakan bahwa Alif lam mim merupakan salah satu asma Al-Qur'an. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Barangkali pendapat ini merujuk kepada pendapat

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam hal makna, yaitu bahwa nama tersebut merupakan salah satu nama surat yang bersangkutan; karena sesungguhnya setiap surat dinamakan "Al-Qur'an". Tetapi tidak masuk akal bila

Alif lam mim sad —misalnya— dianggap sebagai nama Al-Qur'an seluruhnya, karena sesungguhnya pengertian yang sampai terlebih dahulu ke dalam pemahaman seseorang yang mendengar orang lain mengatakan,

"Aku telah membaca Alif lam mim sad," ialah bahwa orang tersebut telah membaca surat Al-A'raf, bukan Al-Qur'an seluruhnya.Menurut suatu pendapat, huruf-huruf tersebut merupakan salah satu nama Allah Swt. Asy-Sya'bi mengatakan,

fawatihus suwar adalah asma-asma Allah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Salim ibnu Abdullah dan Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddiyyul Kabir. Syu'bah mengatakan dari As-Saddi. telah sampai kepadanya suatu berita bahwa

Ibnu Abbas mengatakan, "Alif lam mim merupakan salah satu asma Allah Yang Teragung." Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Syu'bah.Ibnu Jarir meriwayatkan dari Bandar, dari Ibnu Mahdi,

dari Syu'bah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada As-Saddi mengenai Hamim ta sin dan Alif lam mim. Ia menjawab bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Hal itu merupakan salah satu asma Allah yang Teragung.

" Ibnu Jarir mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abun Nu'man, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ismail As-Saddi, dari Murrah Al-Hamadani

yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan hal yang serupa. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas.Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa hal itu merupakan qasam (sumpah)

yang dipakai oleh Allah dalam sumpah-Nya karena merupakan salah satu dari asma-asma-Nya. Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Ulayyah, dari Khalid Al-Hazza, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Alif lam mim

merupakan qasam (sumpah). Keduanya meriwayatkan pula melalui hadis Syarik ibnu Abdullah, dari Ata ibnus Sa'ib, dari Abud Duha, dari ibnu Abbas, bahwa makna Alif lam mim ialah Anallahu 'alam (Aku Allah Yang Maha Mengetahui).

Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jabir, dan As-Saddi mengatakannya dari Abu Malik.Abu Saleh meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Murrah Al-Hamadani meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah orang-orang

dari kalangan sahabat Nabi Saw., bahwa Alif lam mim merupakan huruf-huruf yang dipakai untuk pembukaan; semuanya berasal dari ejaan hijaiyyah asma-asma Allah.Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi', dari Anas,

dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman Allah Swt., "Alif lam mim." Ketiga huruf ini merupakan bagian dari dua puluh sembilan huruf yang berlaku di kalangan semua bahasa. Tiada suatu huruf pun dari (ketiga)nya melainkan

huruf tersebut adalah huruf pertama dari salah satu asma Allah Swt. Tiada suatu huruf pun darinya melainkan merupakan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya, dan tiada suatu huruf pun darinya melainkan di dalamnya terkandung

masa hidup suatu kaum dan ajal mereka. Isa ibnu Maryam a.s. mengatakan sebagai ungkapan dari keheranannya, "Aku heran, mereka mengucapkan asma-asma-Nya dan hidup dengan rezeki-Nya, tetapi mengapa mereka kafir terhadap-Nya?

" Huruf alif merupakan huruf pertama dari asma Allah, huruf lam merupakan kunci asma-Nya Latif {Yang Mahalembut), dan huruf mim merupakan kunci dari asma-Nya Majid (Yang Mahaagung). Huruf alif adalah tanda-tanda kebesaran Allah,

huruf lam adalah sifat Latif Allah, sedangkan huruf mim sifat Majdullah. Huruf alif menunjukkan masa satu tahun, huruf lam menunjukkan masa tiga puluh tahun, dan huruf mim menunjukkan empat puluh tahun.

Ini adalah lafaz Ibnu Abu Hatim. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, kemudian Ibnu Jarir mengarahkan pendapat-pendapat tersebut dan menyelaraskan di antara sesamanya, akhirnya dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa

sebenarnya tidak ada pertentangan di antara satu pendapat dengan yang lainnya. Semua pendapat tersebut dapat digabungkan dalam suatu kesimpulan, yaitu "huruf-huruf tersebut merupakan nama surat-surat, nama asma-asma-Nya,

dan pendahuluan surat-surat". Setiap huruf menunjukkan suatu asma atau suatu sifat Allah Swt., sebagaimana membuka banyak surat dalam Al-Qur'an dengan memuji, bertasbih, dan mengagungkan nama-Nya.

Ibnu Jarir melanjutkan, bahwa tidak menutup kemungkinan bilamana sebagian dari huruf-huruf itu menunjukkan salah satu dari asma-asma Allah dan salah satu dari sifat-sifat-Nya; juga menunjukkan suatu masa atau lain sebagainya,

sebagaimana yang disebut oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dari Abul Aliyah. Dikatakan demikian karena satu kalimat diucapkan untuk menunjukkan banyak makna, contohnya lafaz al-ummah. Lafaz al-ummah adakalanya bermakna agama, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:


إِنَّا وَجَدْنا آباءَنا عَلى أُمَّةٍ


Sesungguhnya kami menjumpai bapak-bapak kami menganut suatu agama. (Az-Zukhruf: 22)Adakalanya diucapkan untuk menunjukkan makna "jamaah", seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


إِنَّ إِبْراهِيمَ كانَ أُمَّةً قانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ


Sesungguhnya Ibrahim adalah seoraug imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (An-Nahl: 120)


وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا


Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat. (An-Nahl: 36)Adakalanya untuk menunjukkan makna "suatu waktu dari suatu masa", seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


وَقالَ الَّذِي نَجا مِنْهُما وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ


Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya. (Yusuf: 45)Makna yang dimaksud ialah "sesudah lewat beberapa waktu", menurut pendapat yang paling sahih

di antara dua pendapat.Demikianlah kesimpulan pendapat Ibnu jarir secara terarah, tetapi tidak seperti apa yang dikemukakan oleh Abul Aliyah, karena Abul Aliyah menduga bahwa huruf tersebut

menunjukkan makna anu dan makna ini serta makna itu secara bersamaan. Sedangkan lafaz ummah dan yang sejenis dengannya —termasuk lafaz musytarakah dalam peristilahan— sesungguhnya menunjukkan kepada suatu makna dalam Al-Qur'an berdasarkan konteks sebelumnya.

Jika mengartikannya menurut keseluruhan makna yang dikandungnya jika diperlukan, maka hal ini merupakan masalah yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama usul, pembahasannya bukan termasuk ke dalam subyek dari kitab ini.

Selain itu menunjukkan masing-masing makna lafaz ummah dalam konteks kalimat dilakukan berdasarkan idiom. Penunjukan makna suatu huruf kepada suatu isim dapat pula diartikan menunjukkan makna isim yang lain

dengan meniadakan keutamaan antara yang satu dengan yang lain dalam hal taqdir atau idmar, baik menurut idiom ataupun lainnya. Pengertian seperti ini tidak dapat dimengerti melainkan melalui tauqif {petunjuk dan syara').

Permasalahan huruf ini merupakan masalah yang diperselisihkan dan tiada suatu kesepakatan pun hingga dapat dijadikan sebagai ketentuan hukum.Mengenai syawahid yang mereka kemukakan untuk memperkuat kebenaran

pendapat yang mengatakan bahwa mengucapkan suatu huruf dapat diartikan sebagai petunjuk tentang huruf berikutnya dalam kalimat yang dimaksud, hal ini dapat dimengerti melalui konteks pembicaraan.

Permasalahannya berbeda amat jauh dengan huruf-huruf yang mengawali surat-surat Al-Qur'an. Di antara yang mereka jadikan sebagai syahid ialah perkataan seorang penyair:


قُلْنَا قِفِي لَنَا فقالت قاف ... لا تَحْسَبِي أنا نَسينا الْإِيجَافَ


Kami katakan, "Berhentilah kamu demi kami. Maka dia (seakan-akan) menjawab, "Aku berhenti." Janganlah kamu menduga bahwa kami lupa untuk memacu(mu).Makna yang dimaksud dari huruf qaf ialah waqaftu (aku berhenti). Demikian pula ucapan penyair lainnya, yaitu:


مَا لِلظَّلِيمِ عَالَ كَيْفَ لَا يَا ... ينقَدُّ عَنْهُ جِلْدُهُ إِذَا يَا


Tiada kemenangan atas orang yang teraniaya, mengapa dia tidak berbuat; apabila dia berbuat, niscaya tubuhnya akan didera.Ibnu Jarir mengatakan, seakan-akan penyair bermaksud mengatakan, "Iza yafalu kaza wa kaia" (Bila dia melakukan anu dan anu). Maka dalam hal ini dia cukup hanya dengan menyebutkan ya dari lafaz yafalu. Penyair lainnya mengatakan:


بِالْخَيْرِ خَيْرَاتٌ وَإِنْ شَرًّا فَا ... وَلَا أُرِيدُ الشَّرَّ إِلَّا أَنْ تَا


Perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan; dan jika jahat, maka balasannya jahat pula; dan kejahatan itu tidakakan terjadi kecuali jika kamu menghendakinya.Penyair mengatakan, "Dan jika jahat, maka balasannya jahat pula.

Kejahatan itu tidaklah dikehendaki kecuali jika kamu menghendakinya." Kedua lafaz tersebut cukup dimengerti hanya dengan menyebutkan huruf fa dan ta dari kedua kalimat tersebut. Hanya saja pengertian ini dapat diterka melalui konteks kalimat. Al-Qurtubi mengatakan sehubungan dengan hadis yang mengatakan:


«مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ»

<>br>

“Barang siapa yang ikut membantu membunuh seorang muslim dengan sepotong kalimat, hingga akhir hadis.Menurut Sufyan, makna yang dimaksud ialah "bila seseorang mengatakan uq dengan maksud uqtul (bunuhlah dia)".

Khasif mengatakan dari Mujahid bahwa sesungguhnya semua fa-watihus suwar itu —seperti qaf sad, ha mim, ta sin mim, Alif lam ra, dan lain-lainnya— merupakan huruf hijai'. Sebagian ahli bahasa Arab mengatakan bahwa fawatihus suwar

itu merupakan huruf-huruf mu'ja ejaan yang dengan menyebutkan sebagian darinya yang ada dalam permulaan surat sudah dianggap cukup untuk menunjukkan huruf-huruf lainnya yang merupakan kelengkapan dari seluruhnya

yang berjumlah dua puluh delapan huruf. Perihalnya sama dengan ucapan seseorang, "Anakku menulis a-b-c-d," makna yang dimaksud ialah semua huruf ejaan yang dua puluh delapan. Sudah dianggap cukup untuk menunjukkan

yang lainnya hanya dengan menyebutkan sebagiannya, demikian yang dikemukakan Ibnu Jarir. Menurut pendapat kami semua huruf yang disebut di dalam permulaan surat-surat Al-Qur'an dengan membuang huruf yang ber-ulang-ulang

semuanya berjumlah empat belas, yaitu alif, lam. mim. sad, ra, kaf, ha, ya, 'ain, ta, sin, ha, qaf, dan nun. Kesemuanya dapat dihimpun dalam ucapan, "Nassun hakimun qati'un lahu simin" (Ini adalah nas yang pasti dari Tuhan

Yang Mahabijaksana, mengandung rahasia). Semuanya itu separo dari bilangan huruf ejaan yang ada, dengan pengertian bahwa yang tersebut di dalamnya berkedudukan lebih besar daripada yang tidak disebut.

Penjelasan mengenai masalah ini termasuk ke dalam disiplin ilmu tasrifAz-Zamakhsyari mengatakan bahwa semua huruf yang empat belas ini mengandung berbagai jenis huruf, di antaranya ada yang mahmus, majhur, rakhwah, syadidah,

mutabbaqah, mafhihah, musta'liyah, munkhafidah, ada pula huruf qalqalah. Selanjutnya Az-Zamakhsyari menerangkan secara rinci, kemudian ia mengatakan, "Mahasuci Allah yang kebijaksanaan-Nya Mahateliti dalam segala sesuatu."

Semua jenis yang terhitung jumlahnya ini menjadi banyak dengan menyebutkan sebagian darinya. sebagaimana yang diketahui bahwa hal yang paling pokok dan paling besar bagi sesuatu menduduki status keseluruhannya.

Berdasarkan pengertian ini sebagian ulama meringkasnya dalam suatu kalimat, tidak diragukan lagi semua huruf (yang ada dalam fawatihus suwar) ini tidak sekali-kali diturunkan oleh Allah Swt. secara cuma-cuma/tiada gunanya.

Mengenai orang yang berpendapat bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat hal yang bersifat ta'abbud semata tanpa ada makna sama sekali, sesungguhnya dia sangat keliru.Berdasarkan kesimpulan dari semua itu, dapat dikatakan

bahwa huruf-huruf tersebut memang mempunyai maknanya sendiri. Jika ada berita dari orang yang terpelihara dari dosa (yakni Nabi Saw.), maka kita mengikuti apa yang dikatakannya; jika tidak ada, kita hanya mengembalikannya kepada Allah Swt. dan mengucapkan:


{آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا}


Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. (Ali Imran: 7)Tiada kesepakatan ulama sehubungan dengan masalah fawatihus suwar ini atas sesuatu yang tertentu, melainkan mereka masih berselisih

pendapat. Untuk itu, barang siapa yang menganggap kuat suatu pendapat dari kalangan mereka dengan mengetahui dalilnya, ia boleh mengikutinya; tetapi jika tidak. hendaklah dia bersikap diarn hingga jelas baginya.

Semua yang telah dikemukakan merupakan suatu pembahasan, dan pembahasan lain mengenai hikmah yang terkandung di dalam penyebutan huruf-huruf disebutkan pada permulaan surat. Hikmah apakah yang terkandung di dalamnya

tanpa memandang segi makna yang terkandung di dalamnya? Sebagian ulama mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut disebut sebagai pengenal permulaan surat-surat Demikian pendapat Ibnu jarir. tetapi pendapat ini lemah karena keputusannya dapat dilakukan tanpa huruf-huruf tersebut

bagi surat yang tidak mengandungnya; juga bagi surat yang di dalamnya disebut basmalah. baik secara bacaan maupun tulisan.Menurut ulama lain, huruf-huruf tersebut diletakkan pada permulaan surat untuk membuka pendengaran

kaum musyrik bila mereka saling berpesan di antara sesamanya agar berpaling dari Al-Qur'an. Apabila pendengaran mereka sudah siap menerimanya. barulah dibacakan kepada mereka apa yang tersusun sesudahnya.

Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir pula, tetapi pendapat ini pun dinilai lemah; sebab jika memang demikian maksudnya, niscaya huruf-huruf tersebut pasti ada pada permulaan setiap surat Al-Qur'an, bukan pada sebagiannya saja,

bahkan kebanyakan dari surat Al-Qur'an tidaklah demikian. Seandainya memang demikian, sudah selayaknya hal itu disebut pada tiap permulaan pembicaraan bersama mereka (kaum musyrik),

tanpa memandang apakah pada pembukaan surat atau pada selainnya.Selain itu sesungguhnya surat Al-Baqarah ini bersama surat yang mengiringinya —yakni surat Ali Imran— adalah Madaniyah; keduanya mengandung khitab

(perintah) bukan ditujukan kepada kaum musyrik. Dengan adanya alasan ini, batallah pendapat yang mereka sebut itu. Ulama lain berpendapat, sesungguhnya huruf-huruf tersebut dikemukakan pada permulaan surat

yang mengandungnya hanyalah untuk menerangkan mukjizat Al-Qur'an. Dengan kata lain, semua makhluk tidak akan mampu menentangnya dengan membuat hal yang semisal dengannya, sekalipun Al-Qur'an terdiri atas huruf-huruf ejaan

itu yang biasa mereka gunakan dalam pembicaraan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Mubarrad dan sejumlah ulama ahli tahqiq. Al-Qurtubi meriwayatkan pula hal yang semisal dari Al-Farra dan Qutrub,

kemudian ditetapkan oleh Az-Zamakhsyari di dalam Tafsir Kasysyaf-nya dan ia mendukungnya dengan dukungan sepenuhnya. Hal yang sama diikuti pula oleh Abul Abbas ibnu Taimiyyah dan guru kami —Abul Hajjaj Al-Mazi—

yang telah menceritakannya kepadaku, dari Ibnu Taimiyyah.Az-Zamakhsyari mengatakan. sesungguhnya huruf-huruf tersebut tidak disebutkan pada permulaan Al-Qur'an secara keseluruhan, dan sesungguhnya huruf-huruf tersebut

diulang-ulang (dalam berbagai surat) tiada lain hanya untuk menunjukkan makna tantangan dan cemoohan yang lebih keras. Perihalnya sama saja dengan pengulangan banyak kisahnya dan secara jelas pula tantangan ini

dikemukakan oleh Al-Qur'an di berbagai tempatnya. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa di antaranya ada yang disebut dengan satu huruf, misalnya sad, nun, dan qaf. ada yang terdiri atas dua huruf. misalnya ha mim: tiga huruf

seperti Alif lam mim; dan empat huruf, seperti Alif lam mim ra dan Alif lam m'im sad; serta lima huruf, seperti kaf ha ya 'ain sad dan ha mim 'ain sin, qaf karena bentuk kalimat yang mereka gunakan seperti itu, di antaranya

ada yang terdiri atas satu huruf, dua huruf, tiga huruf, empat huruf, dan lima huruf, tiada yang lebih dari lima huruf.Menurut kami, mengingat hal tersebut setiap surat yang dimulai dengan huruf-huruf itu pasti di dalamnya

disebutkan keunggulan dari Al-Qur'an dan keterangan mengenai mukjizatnya serta keagungannya. Hal ini dapat diketahui melalui penelitian, dan memang hal ini terjadi pada dua puluh sembilan surat.Allah Swt. berfirman:


الم. ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ


Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya. (Al-Baqarah: 1-2)


الم. اللَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِ

Surat Al-Baqarah |2:2|

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

żaalikal-kitaabu laa roiba fiih, hudal lil-muttaqiin

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

This is the Book about which there is no doubt, a guidance for those conscious of Allah -

Tafsir
Jalalain

(Kitab ini) yakni yang dibaca oleh Muhammad saw. (tidak ada keraguan) atau kebimbangan (padanya) bahwa ia benar-benar dari Allah swt.

Kalimat negatif menjadi predikat dari subyek 'Kitab ini', sedangkan kata-kata isyarat 'ini' dipakai sebagai penghormatan.

(menjadi petunjuk) sebagai predikat kedua, artinya menjadi penuntun (bagi orang-orang yang bertakwa) maksudnya orang-orang yang mengusahakan diri mereka

supaya menjadi takwa dengan jalan mengikuti perintah dan menjauhi larangan demi menjaga diri dari api neraka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 2 |

Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.Ibnu Juraij mengatakan, Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa makna zalikal kitabu adalah "kitab ini", yakni Al-Qur'an ini.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah. Sa'id ibnu Jabir, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Zaid ibnu Aslam, dan Ibnu Juraij. Mereka mengatakan bahwa memang demikianlah maknanya, yakni zalika (itu) bermakna haza (ini).

Orang-orang Arab biasa menyilihgantikan isim-isim isyarah (kata petunjuk), mereka menggunakan masing-masing darinya di tempat yang lain; hal ini sudah dikenal di dalam pembicaraan (percakapan) mereka.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Ma'mar ibnul Musanna, dari Abu Ubaidah.Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa isyarat tersebut ditunjukkan kepada Alif lam mim, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain:


لَا فارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوانٌ بَيْنَ ذلِكَ


yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di antara itu. (Al-Baqarah: 68)


ذلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ


Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. (Al-Mumtahanah: 10)


ذلِكُمُ اللَّهُ


(Zat) yang demikian itulah Allah. (Yunus: 3)Masih banyak lagi contoh isyarat memakai lafaz zalika dengan pengertian seperti yang telah disebutkan.Sebagian kalangan ahli tafsir berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Al-Qurtubi

dan lain-lainnya, bahwa isyarat tersebut ditujukan kepada Al-Qur'an yang telah dijanjikan kepada Rasulullah Saw. akan diturunkan kepadanya, atau isyarat ditujukan kepada kitab Taurat atau Injil atau hal yang semisal;

semuanya ada sepuluh pendapat. Akan tetapi, pendapat ini dinilai lemah oleh kebanyakan ulama.Yang dimaksud dengan "Al-Kitab" di dalam ayat ini adalah Al-Qur'an. Orang yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan

lafaz zalikal kitabu adalah isyarat kepada kitab Taurat dan Injil, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, jauh sekali menyimpang dari kebenaran. tenggelam ke dalam perselisihan dan memaksakan pendapat,

padahal dia sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.Ar-raib artinya keraguan. As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud dan dari sej'umlah orang-orang

dari kalangan sahabat Rasulullah Saw., bahwa makna la raibafihi ialah "tidak ada keraguan di dalamnya". Hal yang sama dikatakan pula oleh Abud Darda, Ibnu Abbas. Mujahid. Sa'id ibnu Jabir, Abu Malik. Nafi' maula Ibnu Umar, Ata,

Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Qatadah, dan Ismail ibnu Khalid.Ibnu Abu Hatim mengatakan, "Aku tidak pernah mengetahui ada perselisihan pendapat mengenai maknanya.

" Akan tetapi, adakalanya lafaz ar-raib dipakai untuk pengertian "tuduhan", seperti makna yang ada pada perkataan Jamil, seorang penyair:


بُثَيْنَةُ قَالَتْ يَا جَمِيلُ أَرَبْتَنِي ... فَقُلْتُ كِلَانَا يَا بُثَيْنُ مُرِيبُ


Busainah mengatakan, "Hai Jamil, apakah engkau curiga kepadaku?' Maka kukatakan, "Kita semua, hai Busainah, mencurigakan."Adakalanya dipakai untuk pengertian "kebutuhan", seperti pengertian yang terkandung di dalam ucapan seseorang dari mereka, yaitu:


قَضَيْنَا مِنْ تِهَامَةَ كُلَّ رَيْبٍ ... وَخَيْبَرَ ثُمَّ أَجْمَعْنَا السُّيُوفَا


Kami telah menunaikan semua keperluan dari Tihamah dan Khaibar, setelah itu kami himpun pedang-pedang (senjata kami).Makna ayat ialah bahwa kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan di dalamnya, ia diturunkan dari sisi Allah. Pengertiannya sama dengan makna firman Allah Swt. di dalam surat As-Sajdah. yaitu:


الم تَنْزِيلُ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ


Alif lam mim. Turunnya Al-Qur'an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (As-Sajdah: 1-2)Sebagian ulama mengatakan bahwa bentuk kalimat ayat ini merupakan kalimat berita,

tetapi makna yang dimaksud adalah kalimat nahi larangan). yakni: "Janganlah kalian meragukannya!"Di antara ulama ahli qiraah ada yang melakukan waqaf (menghentikan bacaan) pada lafaz la raiba fihi kemudian melanjutkan bacaanya

dari fihi hudal lil munaqin.Melakukan waqaf pada firman-Nya, "Ia raiba fihi lebih utama karena berdasarkan ayat yang telah kami sebut tadi, karena lafaz hudan menjadi sifat Al-Qur'an

(yakni kitab Al-Qur'an ini tidak diserukan lagi, di dalamnya terkandung petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Makna ini lebih balig (kuat) daripada fihi hudan (kitab Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa).

Lafaz hudan bila ditinjau dari segi bahasa dapat dianggap marfu' karena menjadi na'at (sifat), dapat pula dianggap mansub karena menjadi hal (keterangan keadaan). Hidayah ini dikhususkan bagi mereka yang bertakwa, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدىً وَشِفاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولئِكَ يُنادَوْنَ مِنْ مَكانٍ بَعِيدٍ


Katakanlah, "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”(Fushshilat: 44)


وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَساراً


Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna bahwa hanya orang-orang mukminlah yang beroleh manfaat dari Al-Qur'an, karena diri orang mukmin itu sendiri sudah merupakan petunjuk. Akan tetapi, yang beroleh petunjuk itu hanya mereka yang bertakwa. sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفاءٌ لِما فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ


Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Yunus: 57)

As-Saddi meriwayatkan dari Malik, dari Abu Saleh. dari Ibnu Abbas; As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud dan darisejumlah sahabat Rasulullah Saw. mengenai makna hudal lil muttaqin.

Makna yang dimaksud ialah cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.Abu Rauq meriwayatkan dari Dahhak, dari Ibnu Abbas mengenai hudal lil muttaqin. Ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang mukmin

yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah, dan mereka selalu beramal dengan taat kepada-Nya.Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad maula Zaid ibnu Sabit,

dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai makna al-muttaqin. Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut terhadap siksaan Allah dalam meninggalkan hidayah yang mereka ketahui,

dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dalam membenarkan apa yang didatangkan-Nya.Sufyan As-Sauri menceritakan dari seorang lelaki, dari Al -Hasan Al-Basri mengenai firman-Nya, "lil muttaqin." Al-Hasan mengatakan

bahwa mereka adalah orang-orang yang memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan menunaikan hal-hal yang telah difardukan-Nya.Abu Bakar ibnu Iyasy mengatakan bahwa Al-A'masy pernah bertanya kepadanya

mengenai makna al-muttaqin. Maka dijawabnya, "Tanyakanlah masalah ini kepada Al-Kalbi." Dia menanyakan kepada Al-Kalbi, dan Al-Kalbi menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar.

Kemudian Abu Bakar ibnu Iyasy berkata lagi, "Ketika aku merujuk kepada Al-A'masy mengenai apa yang dikatakan oleh Al-Kalbi, ternyata Al-Kalbi mempunyai pendapat yang sama denganku dan tidak memprotesnya." Qatadah mengatakan bahwa muttaqin adalah orang-orang yang disebut di dalam firman Allah Swt. pada ayat berikutnya:


الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ


(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat. (Al-Baqarah: 3)Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat mencakup semua yang telah dikatakan oleh pendapat-pendapat di atas.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis melalui riwayat Abu Uqail (yaitu Abdullah ibnu Uqail), dari Abdullah ibnu Yazid, dari Rabi'ah ibnu Yazid dan Atiyyah ibnu Qais, dari Atiyyah As-Saddi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ»


Seorang hamba masih belum mencapai golongan orang-orang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal-hal yang tidak mengapa karena menghindari hal-hal yang mengandung apa-apa (dosa).Menurut Imam Turmuzi,

hadis ini berpredikat hasan garib.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, dari Ishaq ibnu Sulaiman —yakni Ar-Razi—, dari Al-Mugirah ibnu Muslim, dari Maimun Abu Hamzah

yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat Abu Wa'il, masuklah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Arif, salah seorang murid Mu'az. Syaqiq ibnu Salamah berkata kepadanya, "Hai Abu Arif,

tidakkah engkau menceritakan kepada kami apa yang telah dikatakan oleh Mu'az ibnu Jabal?" Ia menjawab, "Tentu saja, aku pernah mendengarnya mengatakan bahwa kelak di hari kiamat umat manusia ditahan dalam suatu tempat.

kemudian ada suara yang menyerukan, 'Di manakah orang-orang yang bertakwa?' Lalu mereka (orang-orang yang bertakwa) bangkit berdiri di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pemurah; Allah menampakkan diri kepada mereka

dan tidak menutup diri-Nya. Aku bertanya, 'Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?' Mu'az menjawab, 'Mereka adalah kaum yang menghindarkan diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala,

dan mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Swt. semata,' lalu mereka masuk ke dalam surga."Al-huda menunjukkan makna hal yang mantap di dalam kalbu berupa iman. Tiada yang mampu menciptakannya di dalam kalbu hamba-hamba Allah selain Allah Swt. sendiri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ


Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. (Al-Qashash: 56)


لَيْسَ عَلَيْكَ هُداهُمْ


Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (Al-Baqarah: 272)


مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ


Barang siapa yang Allah sesatkan. maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk (Al-A'raf: 186)


مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً


Barang siapa diberi petujuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberinya petunjuk kepadanya. (Al-Isra: 97)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan makna yang sama. Lafaz Al-huda adakalanya dimaksudkan sebagai keterangan dan penjelasan mengenai perkara yang hak, penunjukan dan bimbingan kepadanya, sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ


Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)


إِنَّما أَنْتَ مُنْذِرٌ وَلِكُلِّ قَوْمٍ هادٍ


Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk. (Ar-Ra'd: 7)


وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى


Dan adapun kaum Samud. maka mereka Kami beri petunjuk. tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat: 17)


وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10)Sebagian orang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan an-naj-dain ialah jalan kebaikan dan jalan keburukan: penafsiran ini lebih kuat daripada yang lainnya.

At-taqwa makna asalnya ialah mencegah diri dari hal-hal yang tidak disukai, mengingat bentuk asalnya adalah qawa yang berasal dari al-wiqayah (pencegahan). An-Nabigah (salah seorang penyair Jahiliah terkenal) mengatakan:


سَقَطَ النَّصِيفُ وَلَمْ تُرِدْ إِسْقَاطَهُ ... فَتَنَاوَلَتْهُ وَاتَّقَتْنَا بِالْيَدِ


Penutup kepalanya terjatuh, padahal dia tidak bermaksud menjatuhkannya. maka dia memungutnya seraya menutupi wajahnya —menghindar dari pandangan kami— dengan tangannya.Penyair lain mengatakan:


فَأَلْقَتْ قِنَاعًا دُونَهُ الشَّمْسُ وَاتَّقَتْ ... بِأَحْسَنِ مَوْصُولَيْنِ كَفٌّ وَمِعْصَمُ


Dia menanggalkan penutup kepala yang melindunginya dari sengatan sinar matahari, kemudian ia menghindarkan (wajahnya dari sinar matahari) dengan dua persendiannya yang tercantik, yaitu telapak tangan dan lengannya.

Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b tentang makna takwa. maka Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Pernahkah engkau menempuh jalan yang beronak duri?" Umar menjawab,

"Ya, pernah." Ubay ibnu Ka'b bertanya lagi, "Kemudian apa yang kamu lakukan?" Umar menjawab, "Aku bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk melampauinya." Ubay ibnu Ka'b berkata, "Itulah yang namanya takwa." Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu'taz melalui bait-bait syairnya, yaitu:


خَلِّ الذُّنُوبَ صَغِيرَهَا ... وَكَبِيرَهَا ذَاكَ التُّقَى وَاصْنَعْ كماش فوق أرض ... الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى لَا تَحْقِرَنَّ صَغِيرَةً ... إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى


Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar, itulah namanya takwa. Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri. selalu waspada menghindari duri-duri yang dilihamya.

Dan jangan sekali-kali kamu meremehkan sesesuatu yang kecil (dosa kecil). sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.Abu Darda di suatu hari pernah mengucapkan syair-syair berikut:


يُرِيدُ الْمَرْءُ أَنْ يُؤْتَى مُنَاهُ ... وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا مَا أَرَادَا يَقُولُ الْمَرْءُ فَائِدَتِي وَمَالِي ... وَتَقْوَى اللَّهِ أَفْضَلُ مَا اسْتَفَادَا


Manusia selalu mengharapkan agar semua yang didambakannya dapat tercapai, tetapi Allah menolak kecuali apa yang Dia kehendaki. Seseorang mengatakan.”Keuntunganku dan hartaku"

padahal takwa kepada Allah merupakan keuntungan yang paling utama.Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Abu Umamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"مَا اسْتَفَادَ الْمَرْءُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنَّ غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ"


Tiada keuntungan yang paling baik bagi seseorang sesudah takwa kepada Allah selain dari istri yang saleh; jika dia memandangnya, membuat dia bahagia; dan jika dia memerintahnya, ia taat;

jika melakukan giliran terhadapnya, maka ia berbakti; dan jika dia tidak ada di tempat, meninggalkannya, maka ia memelihara diri dan harta suaminya.

Surat Al-Baqarah |2:3|

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

allażiina yu`minuuna bil-ghoibi wa yuqiimuunash-sholaata wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,

Who believe in the unseen, establish prayer, and spend out of what We have provided for them,

Tafsir
Jalalain

(Orang-orang yang beriman) yang membenarkan (kepada yang gaib) yaitu yang tidak kelihatan oleh mereka, seperti kebangkitan,

surga dan neraka (dan mendirikan sholat) artinya melakukannya sebagaimana mestinya (dan sebagian dari yang Kami berikan kepada mereka) yang Kami anugerahkan kepada mereka sebagai rezeki

(mereka nafkahkan) mereka belanjakan untuk jalan menaati Allah.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 3 |

(yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi,

dari Abu Ishaq, dari Abu Ahwas, dari Abdullah (Ibnu Mas'ud) yang pernah mengatakan bahwa iman ialah percaya.Ali Ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.

yang mengatakan bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang percaya (membenarkan).Ma'mar mengatakan dari Az-Zuhri bahwa iman ialah amal.Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas,

bahwa orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang takut (kepada Allah Swt.)Ibnu Jarir mengatakan, "Yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan terhadap masalah yang gaib secara ucapan, keyakinan,

dan perbuatan; dan adakalanya takut kepada Allah termasuk ke dalam pengertian iman yang intinya ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada Allah,

kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Dan pembenaran pengakuan dibuktikan dengan perbuatan"Menurut pendapat kami, iman secara makna lugawi (bahasa) berarti percaya secara tulus. Akan tetapi, adakalanya di dalam Al-Qur'an digunakan untuk pengertian tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:


يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ


Ia beriman kepada Allah dan mempercayai orang-orang mukmin. (At-Taubah: 61)Demikian pula yang dikatakan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka, yang hal ini disitir oleh firman-Nya:


وَما أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنا وَلَوْ كُنَّا صادِقِينَ


Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. (Yusuf: 17)Demikian pula maknanya bila dibarengi amal perbuatan, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:


إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ


kecuali orang-orang yang percaya dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin: 6)Jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara' ialah yang mencakup tiga unsur, yaitu keyakinan, ucapan, dan perbuatan.

Demikian menurut sebagian besar imam. Bahkan menurut riwayat Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, dan Abu Ubaidah serta ulama lainnya, ijma' dengan pengertian seperti berikut: Iman adalah ucapan dan perbuatan

serta dapat bertambah dan berkurang. Banyak hadis dan asar yang menerangkan pengertian ini, yang secara tersendiri telah dikemukakan di dalam permulaan Syarah Bukhari.Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan makna "takut kepada Allah", sebagaimana makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ


(yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedangkan mereka tidak melihat-Nya. (Al-Anbiya: 49)


مَنْ خَشِيَ الرَّحْمنَ بِالْغَيْبِ وَجاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ


(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedangkan Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat. (Qaf: 33)Al-khasyyah atau takut kepada Allah merupakan kesimpulan dari iman dan ilmu, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماءُ


Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir: 28)Sebagian ulama mengatakan bahwa mereka beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan) sebagaimana mereka beriman kepada yang kelihatan, dan keadaan mereka tidaklah seperti yang disebut di dalam firman Allah Swt. mengenai perihal orang-orang munafik, yaitu:


وَإِذا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قالُوا آمَنَّا وَإِذا خَلَوْا إِلى شَياطِينِهِمْ قالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّما نَحْنُ مُسْتَهْزِؤُنَ


Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanya berolok-olok." (Al-Baqarah: 14)


إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ


Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah" Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya,

dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar yang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)Berdasarkan pengertian ini berarti lafaz bil gaibi berkedudukan sebagai hal (keterangan keadaan),

yaitu sekalipun keadaan mereka tidak kelihatan oleh orang banyak (yakni sendirian).Mengenai yang dimaksud dengan al-gaib dalam ayat ini, ungkapan ulama Salaf mengenainya berbeda-beda, tetapi semuanya benar;

mengingat bila disimpulkan dari semuanya, maka yang tersimpul adalah makna yang dimaksud.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Orang-orang yang beriman

kepada yang gaib. (Al-Baqarah: 3) Menurut Abul Aliyah, makna yang dimaksud ialah "mereka beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, surga dan neraka-Nya,

bersua dengan-Nya; juga beriman kepada kehidupan sesudah mati dan hari berbangkit". Semua itu merupakan hal yang gaib (tidak kelihatan). Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah ibnu Di'amah.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, keduanya menerimanya dari Ibnu Abbas. As-Saddi juga meriwayatkannya dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw.,

bahwa gaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah surga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad,

dari Ikrimah atau dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna gaib ialah hal-hal yang didatangkan oleh Allah.Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim, dari Zurr yang mengatakan bahwa al-Gaib artinya Al-Qur'an.

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Allah berarti beriman kepada yang gaib (tidak kelihatan).Ismail ibnu Abu Khalid mengatakan bahwa mereka yang beriman kepada yang gaib ialah mereka

yang beriman sesudah masa Islam (masa Nabi dan para sahabat).Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa orang-orang yang beriman kepada yang gaib ialah yang beriman kepada takdir.Semua saling berdekatan dalam hal pengertian,

mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna gaib yang harus diimani.Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair,

dari Abdur Rahman ibnu Yazid yang mengatakan, "Ketika kami berada di hadapan sahabat Abdullah, ibnu Mas'ud duduk bersamanya. Lalu kami menceritakan perihal sahabat-sahabat Nabi Saw. dan semua amal perbuatan mereka

yang mendahului kami. Maka Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Sesungguhnya perkara Muhammad Saw. adalah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak ada seorang pun yang memiliki iman lebih afdal da-ripada iman tanpa melihat'," kemudian dia membacakan firman-Nya:


الم، ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ- إِلَى قَوْلِهِ- الْمُفْلِحُونَ


Alif lam mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib —sampai dengan firman-Nya— orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 1-5)

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan,

asar ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.Hadis semisal diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dia menyebutkan bahwa:


حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي أُسَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ خَالِدِ بْنِ دُرَيك، عَنِ ابْنِ مُحَيريز، قَالَ: قُلْتُ لِأَبِي جُمُعَةَ: حَدِّثْنَا حَدِيثًا سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَعَمْ، أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا جَيِّدًا: تَغَدَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَحَدٌ خَيْرٌ مِنَّا؟ أَسْلَمْنَا مَعَكَ وَجَاهَدْنَا مَعَكَ. قَالَ: "نَعَمْ"، قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي "


telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepadaku Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Asad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Duraik, dari Ibnu Muhairiz yang mengatakan bahwa ia pernah berkata

kepada Abu Jum'ah, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang engkau dengar dari Rasulullah Saw." Abu Jum'ah menjawab, "Ya, aku akan menceritakan kepadamu suatu hadis yang baik," yaitu: Kami makan siang

bersama Rasulullah Saw. Di antara kami terdapat Abu Ubaidah ibnul Jarrah. Ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik daripada kami? Kami masuk Islam di tanganmu dan kami berjihad bersamamu.

" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, suatu kaum dari kalangan orang-orang sesudah kalian; mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku."Menurut jalur yang lain, diketengahkan oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, yaitu:


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ جُبَيْر، قَالَ: قَدِمَ عَلَيْنَا أَبُو جُمُعَةَ الْأَنْصَارِيُّ، صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ، لِيُصَلِّيَ فِيهِ، وَمَعَنَا يَوْمَئِذٍ رَجَاءُ بْنُ حَيْوَةَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ (9) خَرَجْنَا نُشَيِّعُهُ، فَلَمَّا أَرَادَ الِانْصِرَافَ قَالَ: إِنَّ لَكُمْ جَائِزَةً وَحَقًّا؛ أُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قُلْنَا: هَاتِ رَحِمَكَ اللَّهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ عَاشِرُ عَشَرَةٍ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ قَوْمٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَّا؟ آمَنَّا بك واتبعناك، قال: "مَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذَلِكَ وَرَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ يَأْتِيكُمْ بِالْوَحْيِ مِنَ السَّمَاءِ، بَلْ قَوْمٌ مِنْ بَعْدِكُمْ يَأْتِيهِمْ كِتَابٌ بَيْنَ لَوْحَيْنِ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ، أُولَئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا" مَرَّتَيْنِ


Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ismail, dari Abdullah ibnu Mas'ud; telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Saleh,

dari Saleh ibnu Jubair yang menceritakan bahwa datang kepada kami Abu Jum'ah Al-Ansari —seorang sahabat Rasulullah Saw.— di Baitul Maqdis untuk melakukan salat. Ketika itu bersama kami terdapat Raja ibnu Haywah r.a.

Setelah dia selesai salat, kami keluar mengantarkannya. Tetapi ketika dia hendak pergi, dia berkata, "Sesungguhnya kalian berhak mendapat balasan dan hak, aku akan menceritakan sebuah hadis kepada kalian yang aku dengar langsung

dari Rasulullah Saw." Kami menjawab, "Ceritakanlah, semoga Allah merahmatimu." Abu Jum'ah bercerita: Ketika kami bersama Rasulullah Saw., di antara kami terdapat Mu'az ibnu Jabal yang merupakan orang kesepuluh dari kami semua

yang berjumlah sepuluh orang. Kemudian kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ada suatu kaum yang beroleh pahala lebih besar daripada kami? Kami beriman kepada Allah dan mengikutimu." Nabi Saw. menjawab,

"Tiada yang menghalangi kalian dari hal tersebut, karena Rasulullah berada di antara kalian menyampaikan wahyu yang turun dari langit kepada kalian, bahkan kaum sesudah kalian. Datang kepada mereka kitab (Al-Qur'an)

yang telah terhimpun di antara kedua sampulnya, lalu mereka beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dikandungnya, mereka lebih besar pahalanya daripada kalian." Ucapan ini diulanginya sebanyak dua kali.

Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui hadis Damrah ibnu Rabi'ah, dari Marzuq ibnu Nafi', dari Saleh ibnu Jubair, dari Abu Jum'ah hal yang semisal dengan hadis ini.Hadis ini mengandung dalil yang menunjukkan

amal yang berdasarkan rasa cinta, di mana para ahli hadis berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana yang telah ditetapkan pada permulaan Syarah Bukhari, karena Nabi Saw. ternyata memuji mereka yang datang sesudahnya,

mengingat mereka beriman tanpa melihat. Beliau Saw. menyebutkan bahwa mereka memiliki pahala yang lebih besar bila ditinjau dari segi itu saja tetapi tidak mutlak.Hal yang sama disebutkan pula di dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Hasan ibnu Arafah Al-Abdi:


حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ الْحِمْصِيُّ، عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ قَيْسٍ التَّمِيمِيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّ الْخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟ ". قَالُوا: الْمَلَائِكَةُ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ؟ ". قَالُوا: فَالنَّبِيُّونَ. قَالَ: "وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَالْوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟ ". قَالُوا: فَنَحْنُ. قَالَ: "وَمَا لَكَمَ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟ ". قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا إِنَّ أَعْجَبَ الْخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا لَقَوْمٌ يَكُونُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ يَجدونَ صُحُفًا فِيهَا كِتَابٌ يُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا"


telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy Al-Himsi, dari Al-Mugirah ibnu Qais At-Tamimi, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Makhluk apakah yang paling kalian kagumi imannya?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Para malaikat." Nabi Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan mereka berada di dekat Tuhannya?"

Mereka berkata, "Para nabi.'"'' Rasulullah Saw. bersabda, "Mana mungkin mereka tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka?" Mereka berkata, "Kalau begitu kami.'"' Nabi Saw. bersabda,

"Mana mungkin kalian tidak beriman, sedangkan aku berada di antara kalian?''' Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, sesungguhnya makhluk yang paling kukagumi keimanannya ialah suatu kaum yang datang sesudah kalian,

mereka menjumpai lembaran-lembaran yang di dalamnya tertuliskan Al-Kitab (Al-Qur'an), lalu mereka beriman kepada semua yang terkandung di dalamnya."Abu Hatim Ar-Razi mengatakan bahwa hadis

Al-Mugirah ibnu Qais Al-Basri berpredikat munkar.Menurut pendapat kami diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la di dalam kitab Musnad-nya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya

melalui hadis Muhammad ibnu Humaid —hanya di sini ada kedaifan— dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a., dari Nabi Saw. hadis yang semisal atau semakna dengannya. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya,

tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui Anas ibnu Malik secara marfu'.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad Al-Musnadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Idris, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Ja'far ibnu Mahmud ibnu Salamah Al-Ansari, telah menceritakan

kepadaku Ja'far ibnu Mahmud, dari kakeknya —Badilah bin Aslam— yang menceritakan, "Aku salat Lohor atau Asar di masjid Bani Harisah, ketika itu kami menghadap ke arah masjid Eliya (Yerussalem). Ketika kami baru salat dua rakaat,

tiba-tiba datang seseorang yang menyampaikan berita kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah menghadap ke arah Baitul Haram. Maka berubahlah posisi kami, kaum wanita menjadi berada di depan kaum laki-laki,

sedangkan kaum laki-laki berada di belakang kaum wanita, kemudian kami melanjutkan salat dua rakaat yang tersisa dalam keadaan menghadap ke arah Baitul Haram (kiblat)." Ibrahim mengatakan bahwa ia mendapat berita dari kaum laki-laki dari kalangan Bani Harisah bahwa ketika sampai berita tersebut kepada Rasulullah Saw., beliau bersabda:


«أُولَئِكَ قَوْمٌ آمَنُوا بِالْغَيْبِ»


Mereka adalah kaum yang beriman kepada yang gaib.Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari segi ini.


{وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ 3}


dan mereka mendirikan salat serta menqfkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)Ibnu Abbas mengatakan, makna "mereka mendirikan salat" ialah "mereka mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya)".

Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan mendirikan salat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al-Qur'an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam salat Qatadah mengatakan

bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, wudu, rukuk, dan sujud.Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al-Qur'an,

bacaan tasyahud, dan salawat buat Nabi Saw. di dalam salatAli ibnu Abu Talhah dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud dengan "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka

" ialah "mereka tunaikan zakat harta benda dengan benar".As-Sadi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbis. juga dari Murrah (Al-Hamadani), dari Ibnu Mas'ud r.a., dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw.,

bahwa makna "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" ialah "nafkah seorang lelaki kepada keluarganya". Hal ini dipahami sebelum diturunkannya ayat mengenai zakat.Juwaibir mengatakan dari Dahhak,

"Pada mulanya nafkah merupakan kurban yang mereka jadikan sebagai amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt. sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing, yakni kaya dan miskin, hingga turunlah ayat-ayat

yang memfardukan zakat. Ayat-ayat tersebut berjumlah tujuh ayat dalam surat Baraah (At-Taubah), di dalamnya disebut masalah zakat. Ayat-ayat tersebut berkedudukan menasikh secara pasti terhadap pengertian lain."

Qatadah mengatakan bahwa "menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka" artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, karena harta benda itu merupakan titipan dan pinjaman

di tanganmu, hai manusia; dalam waktu yang dekat kamu pasti meninggalkannya.Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, mencakup zakat dan nafkah. Dia mengatakan bahwa takwil yang paling utama

dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang dimaksud ialah "hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah

orang-orang yang harus ia jamin dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib ia nafkahi karena hubungan kekerabatan atau pemilikan atau faktor lainnya". Karena Allah Swt.

menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.Menurut kami, Allah Swt. sering kali menggandengkan antara salat

dengan memberi nafkah, karena salat adalah hak Allah dan seba-gai penyembahan kepada-Nya. Di dalam salat terkandung makna menauhidkan (mengesakan) Allah, memuji, mengagungkan, menyanjung-Nya,

dan berdoa serta bertawakal kepada-Nya. Sedangkan di dalam infak (membelanjakan harta) terkandung pengertian perbuatan kebajikan kepada sesama makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka.

Orang-orang yang harus diprioritaskan dalam masalah nafkah ini adalah kaum kerabat dan keluarga serta budak-budak yang dimiliki, setelah itu barulah orang lain.Setiap nafkah wajib dan zakat fardu termasuk ke dalam pengertian firman Allah Swt.:


{وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ}


Dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)Karena itu, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Ibnu Umar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ»


Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah.

Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak.Makna asal lafaz "salat" menurut istilah bahasa ialah doa, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-A'sya dalam salah satu syairnya:


لَهَا حَارِسٌ لَا يَبْرَحُ الدَّهْرَ بَيْتَهَا ... وَإِنْ ذبحت صلّى عليها وزمزم


Si wanita itu mempunyai penjaga yang selamanya tidak pernah meninggalkan rumahnya; dan jika dia menyembelih kurban, maka si penjaga itu berdoa untuknya dengan suara yang kurang dipahami.Al-A'sya pernah mengatakan pula:


وَقَابَلَهَا الرِّيحُ فِي دَنِّهَا ... وَصَلَّى عَلَى دَنِّهَا وَارْتَسَمَ


Angin menerpanya, sedangkan dia berada di dalam kemahnya, lalu ia berdoa di dalam kemahnya dan pergi.Kadua bait tersebut diketengahkan oleh Ibnu Jarir sebagai syahid 'bukti' yang menunjukkan makna tersebut (berdoa), dan Al-A'sya mengatakan pula dalam syairnya yang lain, yaitu:


تَقُولُ بِنْتِي وَقَدْ قَرَّبْتُ مُرْتَحِلًا ... يَا رَبِّ جَنِّبْ أَبِي الْأَوْصَابَ وَالْوَجَعَا عَلَيْكِ مِثْلُ الَّذِي صَلَّيْتِ فَاغْتَمِضِي ... نَوْمًا فَإِنَّ لِجَنْبِ الْمَرْءِ مُضْطَجَعًا


Anak perempuanku mengatakan di saat waktu keberangkatannya telah dekat, "Wahai Tuhanku, jauhkanlah segala musibah dan penyakit dari ayahku.'"' (Ayahnya menjawab), "Semoga engkau mendapatkan pula hal yang semisal dengan apa yang kamu doakan. Maka tidurlah dengan nyenyak, karena sesungguhnya setiap orang memerlukan istirahat."

Penyair bermaksud "semoga engkau pun memperoleh seperti apa yang kamu doakan buatku". Makna ini sudah jelas. Kemudian lafaz "salat" menurut istilah syara' dipakai untuk makna "perbuatan yang mengandung rukuk, sujud,

pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan dilakukan dalam waktu-waktu yang khusus berikut persyaratan, sifat-sifat-nya, serta jenis-jenisnya yang telah terkenal".Menurut Ibnu Jarir, salat dinamakan dengan sebutan demikian

karena pelakunya berupaya memperoleh pahala Allah melalui amalnya bersamaan dengan permintaan hal-hal yang diperlakukannya kepada Tuhannya. Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari nama kedua urat

yang digerakkan dalam salat di saat rukuk dan sujud; urat ini memanjang dari punggung sampai kepada tulang punggung yang paling bawah. Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini musalli dinamakan pula terhadap juara kedua

dalam perlombaan balap kuda, tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya.Menurut pendapat lain, lafaz "salat" berasal dari as-sala yang artinya menetapi sesuatu (memasukinya), seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


لا يَصْلاها أي لا يَلْزَمُهَا وَيَدُومُ فِيهَا إِلَّا الْأَشْقَى


Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. (Al-Lail: 15)Makna yang dimaksud ialah "tiada yang menetapi dan hingga kekal di dalamnya kecuali orang yang paling celaka."

Menurut pendapat lain ia berasal dari tasliyah, yakni memanggang kayu di atas api dengan maksud untuk meluruskannya, sebagaimana orang yang salat menegakkan kebengkokannya dengan salat-nya, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ


Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah lainnya). (Al-'Ankabut: 45)

Menganggap isytiqaq (bentuk asal) salat dari doa adalah pendapat yang paling sahih, sedangkan pembahasan mengenai zakat akan dikemukakan nanti pada bagian tersendiri.

Surat Al-Baqarah |2:4|

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

wallażiina yu`minuuna bimaaa unzila ilaika wa maaa unzila ming qoblik, wa bil-aakhiroti hum yuuqinuun

dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur´an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.

And who believe in what has been revealed to you, [O Muhammad], and what was revealed before you, and of the Hereafter they are certain [in faith].

Tafsir
Jalalain

(Dan orang-orang yang beriman pada apa yang diturunkan kepadamu) maksudnya Alquran,(dan apa yang diturunkan sebelummu) yaitu Taurat,

Injil dan selainnya (serta mereka yakin akan hari akhirat), artinya mengetahui secara pasti.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 4 |

dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.Ibnu Abbas r.a.

mengatakan bahwa makna firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 4 di atas ialah "mereka percaya kepada apa yang engkau datangkan dari Allah, juga percaya kepada apa yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelummu,

tanpa membeda-bedakan di antara mereka dan tidak mengingkari apa yang telah didatangkan oleh para rasul itu dari Tuhan mereka. Mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat, yakni percaya kepada adanya hari berbangkit,

hari kiamat, surga. neraka, hisab, dan mizan (timbangan amal perbuatan); sesungguhnya hari kemudian dinamakan hari akhirat karena terjadi sesudah kehidupan di dunia".Ulama ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan mereka yang menyandang sifat yang tersebut dalam ayat ini, apakah yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang yang telah disebut dalam firman sebelumnya, yaitu:


الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ


(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. (Al-Baqarah: 3)Atau mereka adalah orang-orang lainnya? Menurut Ibnu Jarir,

ada tiga pendapat ulama mengenai masalah ini, yaitu:Pertama, mereka yang sifat-sifatnya disebut pada ayat pertama —demikian pula mereka yang sifatnya disebutkan dalam ayat yang berikutnya— adalah setiap orang mukmin,

yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan orang Arab, orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab, dan selain mereka. Demikianlah pendapat Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.

Kedua, keduanya sama, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Berdasarkan makna ini, berarti huruf wawu adalah huruf 'ataf dari suatu sifat ke sifat yang lain. Sebagaimana pengertian yang ada di dalam firman-Nya:


سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى. الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى. وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعى. فَجَعَلَهُ غُثاءً أَحْوى


Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (Al-A’la: 1-5)Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:


إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمْ


Kepada Raja Al-Qarm, yaitu Ibnul Hammam alias singa pasukan dalam perang yang sengit.Dalam ungkapannya ini suatu sifat di-'ataf-kan kepada sifat lain, sedangkan mausuf-nya sama.

Ketiga, mereka yang sifat-sifatnya disebutkan pada ayat pertama adalah orang-orang yang beriman dari kalangan bangsa Arab. Sedangkan mereka yang disebut dalam ayat kedua —yaitu firman-Nya,

"Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat" (Al-Baqarah: 4)—

adalah orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Pendapat ini dinukil oleh As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, lalu ia memperkuat pendapatnya dengan berdalilkan firman-Nya:


وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَما أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خاشِعِينَ لِلَّهِ


Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah diri kepada Allah. (Ali Imran: 199) hingga akhir ayat. Juga berdalil kepada firman-Nya:


الَّذِينَ آتَيْناهُمُ الْكِتابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ وَإِذا يُتْلى عَلَيْهِمْ قالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ أُولئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِما صَبَرُوا وَيَدْرَؤُنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ


Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata, "Kami beriman kepadanya.

Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya)." Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,

dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan; dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. (Al-Qashash: 52-54)Juga berdalilkan sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«ثَلَاثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمَنَ بِي وَرَجُلٌ مَمْلُوكٌ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ وَرَجُلٌ أَدَّبَ جَارِيَتَهُ فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا»


Ada tiga macam orang, mereka diberi pahala dua kali, yaitu: Seorang lelaki dari kalangan ahli kitab yang beriman kepada nabinya, kemudian beriman kepadaku; seorang lelaki yang dimiliki (budak) yang menunaikan hak Allah

dan hak tuannya; dan seorang lelaki yang mendidik budak perempuannya dengan pendidikan yang baik, setelah itu dia memerdekakannya dan mengawininya.Ibnu Jarir tidak memakai dalil apa pun untuk memperkuat pendapatnya,

melainkan hanya makna kesimpulan saja, yaitu "pada permulaan surat Al-Baqarah ini Allah telah menyifati perihal orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, sebagaimana Dia mengklasifikasikan orang-orang kafir

ke dalam dua golongan, yaitu golongan orang kafir dan golongan orang munafik. Dia pun membagi orang-orang mukmin menjadi dua golongan, yaitu orang-orang mukmin dari kalangan orang-orang Arab dan orang-orang mukmin

dari kalangan ahli kitab".Menurut kami, makna lahiriah pendapat Mujahid dalam asar yang diriwayatkan oleh As'-Sauri, dari seorang lelaki, dari Mujahid; dan asar ini diriwayatkan pula bukan hanya oleh satu orang,

dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan seperti berikut:Ada empat buah ayat pada permulaan surat Al-Baqarah yang menyifati kaum mukmin dan dua ayat yang menyifati kaum kafir, serta ada tiga belas ayat

yang menyifati kaum munafik. Keempat ayat tersebut bermakna umum mencakup setiap orang mukmin yang mempunyai sifat tersebut, baik dari kalangan orang-orang Arab maupun dari kalangan selain mereka;

juga dari kalangan ahli kitab, baik manusia ataupun jin. Tiada satu pun dari sifat-sifat tersebut sah bila tanpa yang lainnya, melainkan masing-masing sifat tersebut merupakan kelaziman bagi sifat yang lainnya,

juga merupakan syarat keberadaannya. Untuk itu, tidak sah iman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, melainkan harus disertai dengan iman kepada apa yang didatangkan oleh Rasulullah Saw.

dari sisi Tuhannya, beriman kepada apa yang didatangkan sebelumnya oleh rasul-rasul lainnya dan Tuhan mereka. juga harus meyakini adanya kehidupan di alam akhirat. salah satu darinya tidaklah sah bila tanpa yang lain. Allah swt telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbuat demikian. sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ


Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)Allah Swt. telah berfirman:


وَلا تُجادِلُوا أَهْلَ الْكِتابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلهُنا وَإِلهُكُمْ واحِدٌ


Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu. (Al-Ankabut: 46)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ آمِنُوا بِما نَزَّلْنا مُصَدِّقاً لِما مَعَكُمْ


Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab berimanlah kalian kepada apa yang telah kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan kitab yang ada pada kalian (An-Nisa: 47)


قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتابِ لَسْتُمْ عَلى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ وَما أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ


Katakanlah, "Hai ahli kitab, kalian tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kalian menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian." (Al-Maidah: 68)Allah Swt. memberitakan keadaan semua orang mukmin, bahwa mereka beriman terhadap semuanya itu, melalui firman-Nya:


آمَنَ الرَّسُولُ بِما أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ


Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya." (Al-Baqarah: 285)


وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ


Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka. (An-Nisa: 152)Masih banyak lagi ayat lainnya yang intinya memerintahkan kepada segenap kaum mukmin

untuk beriman kepada Allah, rasul-rasul-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Akan tetapi, bagi orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab terdapat kekhususan. Demikian itu bila mereka beriman kepada kitab yang ada di tangan mereka

secara rinci; kemudian bila mereka masuk Islam, lalu mereka beriman pula secara rinci kepada Al-Qur'an. maka bagi mereka dua pahala atas hal tersebut. Bagi selain ahli kitab. sesungguhnya beriman kepada kitab-kitab terdahulu itu hanya secara global saja, sebagaimana yang dijelaskan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:


"إِذَا حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَلَكِنْ قُولُوا: آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ"


Apabila ahli kitab bercerita kepada kalian, janganlah kalian dustakan mereka, jangan pula kalian percaya kepada mereka, m-lainkan katakanlah, "Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian"

Akan tetapi, adakalanya iman sebagian besar orang Arab kepada agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. lebih sempurna, lebih umum, dan lebih mencakup daripada iman orang yang masuk Islam dari kalangan ahli kitab.

Sekalipun kaum ahli kitab yang masuk Islam itu beroleh pahala dua kali ditinjau dari segi tersebut, maka orang lain selain mereka akan beroleh pahala yang jauh lebih besar daripada dua kali lipat, berkat keimanannya yang dibarengi dengan tasdiq (kepercayaan).

Surat Al-Baqarah |2:5|

أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

ulaaa`ika 'alaa hudam mir robbihim wa ulaaa`ika humul-mufliḥuun

Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Those are upon [right] guidance from their Lord, and it is those who are the successful.

Tafsir
Jalalain

(Merekalah), yakni orang-orang yang memenuhi sifat-sifat yang disebutkan di atas (yang beroleh petunjuk dari Tuhan mereka

dan merekalah orang-orang yang beruntung) yang akan berhasil meraih surga dan terlepas dari siksa neraka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 5 |

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk Tuhannya, dan me-rekalah orang-orang yang beruntung.Allah Swt. berfirman bahwa yang dimaksud dengan mereka itu ialah orang-orang yang mempunyai ciri-ciri khas terdahulu,

yaitu iman kepada yang gaib, mendirikan salat, memberi nafkah dari rezeki yang diberikan Allah kepada mereka, iman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dan kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya,

dan yakin kepada kehidupan akhirat, yang hal ini menuntut persiapan sebagai bekal guna menghadapinya, yaitu mengerjakan amal-amal saleh dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. {عَلَى هُدًى}'Ala hudan, tetap beroleh cahaya

penjelasan dan petunjuk dari Allah Swt.{وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ} Waulaika humul muflihun, dan merekalah orang-orang yang beruntung di dunia dan di akhirat.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad,

dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa makna "mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya" ialah tetap beroleh nur dari Tuhan mereka dan tetap istiqamah (berpegang teguh) kepada Al-Qur'an

yang disampaikan kepada mereka. Wa ulaika humul muflihun, merekalah orang-orang yang beruntung, yakni orang-orang yang memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan yang mereka menghindar darinya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Ulaika 'ala hudam mirrabbihim," ialah "sesungguhnya mereka tetap memperoleh nur (cahaya) dari Tuhannya, pembuktian, istiqamah, dan bimbingan serta taufik Allah buat mereka".

Takwil firman-Nya, "Ulaika humul muflihun.” ialah "merekalah orang-orang yang sukses dan memperoleh apa yang mereka dambakan di sisi Allah melalui amal perbuatan mereka dan iman mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya,

dan rasul-rasul-Nya; dambaan tersebut berupa keberuntungan memperoleh pahala, kekal di surga, dan selamat dari siksaan yang telah disediakan oleh Allah buat musuh-musuh-Nya".Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah pendapat

dari sebagian kalangan ahli tafsir, bahwa isim isyarah diulangi di dalam firman-Nya: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 5)Hal itu ditujukan

kepada orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab yang ciri-ciri khasnya telah disebutkan melalui firman-Nya: dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu. (Al-Baqarah: 4) hingga akhir ayat,

seperti yang telah disebutkan perselisihan mengenainya. Berdasarkan takwil ini, berarti diperbolehkan menganggap firman-Nya, '"Wallazina yu-minuna bima unzila ilaika," bersifat munqati' (terpisah) dari ayat sebelumnya,

dan kedudukan i'rab-nya marfu' karena dianggap sebagai mubtada, sedangkan khabar-nya adalah firman Allah Swt, "Wa ulaika humul muflihun"Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah

kembali kepada semua orang yang telah disebut sebelumnya dari kalangan orang-orang beriman bangsa Arab dan orang-orang beriman dari kalangan ahli kitab. Ia memilih pendapat ini karena berdasarkan kepada sebuah asar

yang diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamadani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Orang-orang yang beriman kepada yang gaib,

mereka adalah orang-orang mukmin bangsa Arab. Sedangkan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu maksudnya ialah orang-orang beriman

dari kalangan ahli kitab. Kemudian keduanya dihimpun dalam satu ayat, yaitu melalui firman-Nya: Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Baqarah: 5)

Dalam tarjih yang telah kami sebutkan di atas, makna yang dimaksud ialah menerangkan ciri-ciri orang-orang mukmin secara umum, dan isyarat mengandung makna umum ditujukan kepada mereka semua.Telah dinukil sebuah riwayat

dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah dan Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Misri,

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam yang nama aslinya ialah Sulaiman ibnu Abdullah, dari Abdullah ibnu Amr,

dari Nabi Saw. Pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tetap membaca Al-Qur'an, lalu kami berdoa, dan kami tetap membaca Al-Qur'an hingga hampir saja kami berputus asa.

" Maka Nabi Saw. bersabda, "Maukah kalian aku beritakan tentang penduduk surga dan penduduk neraka?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. membacakan firman-Nya:


أَلَمْ ذلِكَ الْكِتابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدىً لِلْمُتَّقِينَ- إلى قوله- الْمُفْلِحُونَ


"Alif lam m'im. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan pada-nya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa," sampai dengan firman-Nya, "Orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 1-5)Kemudian Nabi Saw. bersabda,

"Mereka adalah penduduk surga." Mereka (para sahabat) berkata, "Sesungguhnya kami berharap semoga diri kami termasuk dari mereka." Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya:


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَواءٌ عَلَيْهِمْ- إِلَى قَوْلِهِ- عَظِيمٌ


"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka," sampai dengan firman-Nya, "Siksaan yang amat berat.” (Al-Baqarah: 6-7)Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah penduduk neraka. " Mereka (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, tentunya kami bukan termasuk mereka." Beliau Saw. menjawab, "Ya."

Surat Al-Baqarah |2:6|

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

innallażiina kafaruu sawaaa`un 'alaihim a anżartahum am lam tunżir-hum laa yu`minuun

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.

Indeed, those who disbelieve - it is all the same for them whether you warn them or do not warn them - they will not believe.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya orang-orang kafir) seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lainnya (sama saja bagi mereka, apakah kamu beri peringatan) dibaca, a-andzartahum,

yakni dengan dua buah hamzah secara tegas. Dapat pula hamzah yang kedua dilebur menjadi alif hingga hanya tinggal satu hamzah saja yang dibaca panjang (atau tidak kamu beri peringatan,

mereka tidak juga akan beriman.) Hal itu telah diketahui oleh Allah, maka janganlah kamu berharap mereka akan beriman. 'Indzar' atau peringatan, artinya pemberitahuan disertai ancaman.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 6 |

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.Innal lazina kafaru, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang

yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak kamu beri peringatan,

mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Al-Qur'an yang engkau datangkan kepada mereka. Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya:


إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ


Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97) Allah Swt. telah berfirman menceritakan keadaan orang-orang yang ingkar dari kalangan ahli kitab:


وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ


Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu. (Al-Baqarah: 145)

Seakan-akan makna ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang telah dipastikan oleh Allah Swt. beroleh kecelakaan, maka tiada jalan selamat baginya; dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya,

niscaya tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Untuk itu, hai Muhammad, janganlah dirimu merasa berdukacita dan kecewa terhadap sikap mereka, teruskanlah penyampaian risalahmu kepada mereka.

Barang siapa yang menerima seruanmu, maka baginya pahala yang berlimpah; dan barang siapa yang berpaling, maka janganlah kamu berdukacita terhadap mereka, hal tersebut bukan urusanmu. Pengertian ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:


فَإِنَّما عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسابُ


Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka. (Ar-Ra'd: 40)


إِنَّما أَنْتَ نَذِيرٌ وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ


Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan, dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud: 12)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir,

sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (Al-Baqarah: 6) Pada mulanya Rasulullah Saw. sangat menginginkan agar semua orang beriman dan mengikuti petunjuknya,

lalu Allah Swt. memberitahukan kepadanya bahwa tidaklah beriman kecuali orang-orang yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang berbahagia, dan tidaklah tersesat kecuali orang-orang

yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang celaka sejak zaman azalinya.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair,

dari Ibnu Abbas, bahwa makna "sesungguhnya orang-orang kafir" ialah kafir terhadap kitab yang diturunkan kepadamu, sekalipun mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami telah beriman kepada kitab yang diturunkan kepada kami

sebelummu." Sedangkan kalimat "sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak beriman" maknanya ialah bahwa mereka telah kafir terhadap kitab yang ada di tangan mereka

yang di dalamnya terdapat sebutan namamu, dan mereka telah ingkar terhadap perjanjian yang telah ditetapkan atas diri mereka. Pada kesimpulannya mereka kafir terhadap kitab yang diturunkan kepadamu,

juga kitab yang diturunkan kepada rasul selainmu buat mereka sebelum kamu; mana mungkin mereka mau mendengar peringatan dan larangan darimu, sedangkan mereka sendiri telah kafir terhadap kitab mereka sendiri yang di dalamnya terkandung pengetahuan mengenai dirimu.

Abu Ja"far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abu Aliyah yang mengatakan bahwa kedua ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan para pemimpin pasukan golongan yang bersekutu, yaitu mereka yang disebut di dalam firman-Nya:


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها


Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya. (Ibrahim: 28-29)

Makna yang kami sebutkan pertama —yaitu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di dalam riwayat Ali ibnu Talhah— merupakan makna yang lebih jelas, kemudian ayat-ayat berikutnya ditafsirkan dengan makna yang selaras dengannya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sebuah hadis dalam bab ini. Untuk itu dia mengatakan:


حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إنَّا نَقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ فَنَرْجُو، وَنَقْرَأُ فَنَكَادُ أَنْ نَيْأَسَ، فَقَالَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ"، ثُمَّ قَالَ: {إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ} هَؤُلَاءِ أَهْلُ النَّارِ". قَالُوا: لَسْنَا مِنْهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "أجل"


telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Luhai'ah,

telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Mugirah, dari Abul Haisam, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw., "Hai Rasulullah, kami tetap membaca sebagian dari Al-Qur'an

dan berharap kami tetap membaca hingga hampir saja kami merasa jenuh." Nabi Saw. bersabda, "Maukah kalian aku ceritakan ...." Kemudian beliau Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang kafir,

sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga beriman. (Al-Baqarah: 6) Beliau Saw. bersabda, "Mereka adalah ahli neraka." Para sahabat berkata,

"Mudah-mudahan kami bukan termasuk mereka, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Tentu saja tidak."Firman Allah, "La yu-minuna" berkedudukan sebagai jumlah yang mengukuhkan jumlah sebelumnya, yaitu sawa-un 'alaihim a-an

zartahum am lam tunzirhum. Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka dalam dua keadaan tersebut tetap bersikap kafir. Karena itu, hal tersebut dikukuhkan dengan firman-Nya, "La yu-minun" (mereka tetap tidak mau beriman).

Akan tetapi, dapat pula dikatakan bahwa lafaz la yu-minuna berkedudukan sebagai khabar, karena bentuk lengkapnya adalah innal lazina kafaru la yu-minuna. Dengan demikian, berarti firman-Nya, "Sawa-un 'alaihim a-an zartahum am lam tunzirhum" merupakan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan).

Surat Al-Baqarah |2:7|

خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

khotamallohu 'alaa quluubihim wa 'alaa sam'ihim, wa 'alaaa abshoorihim ghisyaawatuw wa lahum 'ażaabun 'azhiim

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.

Allah has set a seal upon their hearts and upon their hearing, and over their vision is a veil. And for them is a great punishment.

Tafsir
Jalalain

(Allah mengunci mati hati mereka) maksudnya menutup rapat hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan (begitu pun pendengaran mereka) maksudnya alat-alat

atau sumber-sumber pendengaran mereka dikunci sehingga mereka tidak memperoleh manfaat dari kebenaran yang mereka terima (sedangkan penglihatan mereka ditutup) dengan penutup yang menutupinya

sehingga mereka tidak dapat melihat kebenaran (dan bagi mereka siksa yang besar) yang berat lagi tetap. Terhadap orang-orang munafik diturunkan:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 7 |

Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah "Allah mengunci mati."

Menurut Qatadah, ayat ini bermakna "setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup.

Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya".Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan makna

khatamallahu 'ala qulubihim, bahwa makna at-tab'u ialah dosa-dosa telah melekat di hati dan meliputinya dari semua sisinya hingga menutupinya dengan rapat. Istilah menutup inilah yang dinamakan, yakni dilak.

Menurut Ibnu Juraij sendiri, yang terkunci mati ialah kalbu dan pendengarannya. Selanjutnya Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Kasir, bahwa ia pernah mendengar Mujahid berkata,

"Istilah ar-ran (kotoran) lebih ringan daripada istilah at-tab'u (tertutup rapat), sedangkan at-tab'u lebih ringan daripada al-iqfal (terkunci), dan al-iqfal lebih berat daripada kesemuanya."Al-A'masy mengatakan bahwa Mujahid

pernah berisyarat memperagakan kepadaku dengan tangannya tentang pengertian ini. Dia mengatakan, "Mereka berpendapat bahwa kalbu seseorang itu semisal dengan ini, yakni telapak tangannya.

Apabila seseorang hamba melakukan suatu dosa, maka sebagian darinya tergenggam seraya menggenggamkan jari manisnya. Apabila dia berbuat dosa lagi, maka tergenggam pula yang lainnya seraya menggenggamkan jari yang lainnya,

hingga semua jari jemari telapak tangannya tergenggam." Kemudian dia mengatakan, "Maka tertutup rapatlah kalbunya oleh dosa-dosa tersebut." Mujahid mengatakan pula, "Mereka memandang bahwa hal tersebutlah

yang dinamakan kotoran dosa yang menutupi."Ibnu Jarir meriwayatkan hal yang sama dari Kuraib, dari Waki', dari Al-A'masy, dari Mujahid.Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya

makna firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7) merupakan berita dari Allah Swt. tentang sifat takabur orang-orang kafir dan berpalingnya mereka dari perkara hak yang disampaikan

kepada mereka, yakni mereka tidak mau mendengarkannya. Perihalnya sama dengan perkataan seseorang, "Sesungguhnya si Fulan tuli, tidak mau mendengar perkataan ini," yakni bila dia tidak mau mendengarkannya

dan merasa tinggi diri, tidak mau memahaminya karena takabur. Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat ini tidak benar, karena sesungguhnya Allah Swt. telah memberitahukan bahwa Dialah yang mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka.

Az-Zamakhsyari mengulas dengan pembahasan panjang lebar dalam menyanggah apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir tadi, dan Az-Zamakhsyari menakwilkan makna ayat dari lima hipotesis, tetapi semuanya itu lemah sekali.

Menurut kami, tiada yang mendorongnya berbuat demikian melainkan hanya aliran mu'tazilah yang dianutnya. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa makna "mengunci mati hati mereka dan membuatnya menolak

untuk menerima perkara yang disampaikan kepadanya" merupakan suatu hal yang buruk (jahat) menurut Az-Zamakhsyari, dan Allah Swt. Maha Tinggi dari perbuatan tersebut; demikianlah keyakinannya.Akan tetapi, seandainya dia memahami firman Allah Swt. yang mengatakan:


فَلَمَّا زاغُوا أَزاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ


Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. (Ash-Shaff: 5)


وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ


Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)

Masih banyak ayat serupa lainnya yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Swt. mengunci mati kalbu orang-orang kafir dan menghalang-halangi antara mereka dan hidayah, hanyalah sebagai balasan yang setimpal

atas perbuatan mereka yang terus-menerus tenggelam di dalam kebatilan dan mereka tidak mau mengikuti perkara yang hak. Hal ini merupakan keadilan dari Allah Swt. sebagai sikap yang baik, bukan yang buruk.

Seandainya Az-Zamakhsyari menyadari hal ini, niscaya dia tidak akan mengeluarkan pendapatnya itu.Al-Qurtubi mengatakan, para ulama sepakat bahwa Allah Swt. menyifati diri-Nya berlaku mengunci mati dan mengelak kalbu orang-orang kafir sebagai balasan yang setimpal atas kekufuran mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْها بِكُفْرِهِمْ


Sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya. (An-Nisa: 155)Selanjutnya Al-Qurtubi menyebutkan hadis yang menceritakan tentang berbolak-baliknya hati, yaitu:


"وَيَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِينِكَ"


Wahai Tuhan yang membolak-balikkan kalbu, tetapkanlah kalbu kami dalam agama-Mu.Ia mengetengahkan hadis Huzaifah yang terdapat di dalam kitab Sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ، حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ: عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَاءِ فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادٌّ كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا"


Berbagai macam fitnah (dosa) ditampilkan pada kalbu bagaikan tikar yang dianyam sehelai demi sehelai. Hati siapa yang melakukannya, maka dosa itu membuat suatu noktah hitam padanya; dan hati siapa yang mengingkarinya,

maka terukirlah padanya suatu sepuhan yang putih. Hingga hati manusia itu ada dua macam, yaitu ada yang putih semisal warna yang jernih; hati yang ini tidak akan tertimpa bahaya oleh suatu dosa pun selagi masih ada langit dan bumi.

Sedangkan hati yang lainnya tampak hitam kelam seperti tembikar yang hangus terbakar, ia tidak mengenal perkara yang makruf dan tidak ingkar terhadap perkara yang mungkar... hingga akhir hadis.

Ibnu Jarir mengatakan, "Menurut kami, yang benar sehubungan dengan masalah ini adalah sebuah hadis sahih yang bermakna semisal dari Rasulullah Saw., yaitu sebuah hadis yang diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibnu Basysyar;

dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajlan, dari Al-Qa'qa', dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ ذَنْبًا كَانَتْ نُكْتة سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ فَإِنْ تَابَ ونزعَ وَاسْتَعْتَبَ صُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، فَذَلِكَ الرَّانُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}


Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali).

Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka." (Al-Muthaffifin: 14)

Hadis ini dari segi yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai, dari Qutaibah, Lais ibnu Sa'd dan Ibnu Majah, dari Hisyam ibnu Ammar, dari Hatim ibnu Ismail dan Al-Walid ibnu Muslim, semuanya berasal dari Muhammad ibnu Ajlan dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Rasulullah Saw. telah memberitakan bahwa dosa-dosa itu apabila berturut-turut membuat noktah hitam pada hati maka ia akan menutup hati. Apabila telah tertutup,

maka saat itulah dilakukan penguncian oleh Allah Swt. dan dilak. Setelah itu tiada jalan bagi iman untuk menembusnya dan tiada jalan keluar bagi kekufuran untuk meninggalkannya." Pengertian inilah yang dimaksud oleh

istilah penguncian dan pengelakan yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)Pengertian ini diserupakan dengan penguncian dan pengelakan

hal yang dapat diinderawi dengan mata, yakni diserupakan dengan wadah dan botol yang tidak dapat diambil isinya kecuali dengan membuka dan memutar tutupnya. Dengan kata lain, demikian pula iman;

tidak dapat sampai ke dalam kalbu orang-orang yang disifati oleh Allah Swt. hati dan pendengaran mereka telah dikunci mati, kecuali setelah membuka dan melepaskan penutup yang menguncinya.Perlu diketahui bahwa waqaf yang sempurna (menghentikan bacaan secara total) pada firman-Nya:


خَتَمَ اللَّهُ عَلى قُلُوبِهِمْ وَعَلى سَمْعِهِمْ


Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)


وَعَلى أَبْصارِهِمْ غِشاوَةٌ


dan penglihatan mereka ditutup. (Al-Baqarah: 7)Menandakan masing-masing sebagai jumlah yang sempurna. Dengan kata lain, penguncian dilakukan terhadap hati dan pendengaran,

sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan. Sebagaimana yang dikatakan As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud r.a.

dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka. (Al-Baqarah: 7)As-Saddi mengatakan, "Karena itu, mereka (orang-orang kafir)

tidak dapat berpikir dan tidak dapat pula mendengarnya." Disebutkan pula, "Dan penglihatan mereka ditutup," makna yang dimaksud ialah pada penglihatan mereka ada penutupnya hingga mereka tidak dapat melihat perkara yang hak.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku (Al-Husain ibnul Hasan), dari ayahnya, dari kakeknya,

dari Ibnu Abbas, bahwa Allah telah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penutup terdapat pada penglihatan mereka. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim,

telah menceritakan kepada kami Al-Husain (yakni Abu Daud), telah menceritakan kepadaku Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad Al-A'war), telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa penguncian terjadi pada hati dan penglihatan, sedangkan penutupan terjadi pada penglihatan.Allah Swt. telah berfirman:


فَإِنْ يَشَإِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلى قَلْبِكَ


Maka jika Allah menghendaki, niscaya Dia mengunci mati hatimu. (Asy-Syura: 24)


وَخَتَمَ عَلى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلى بَصَرِهِ غِشاوَةً


Dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. (Al-Jatsiyah: 23)Ibnu Jarir mengatakan lafaz gisyawah pada firman-Nya, "Wa'ala absarihim gisyawatan" (Al-Baqarah: 7),

barangkali yang me-nasab-kannya adalah fi'il yang tidak disebutkan. Bentuk lengkapnya ialah wa-ja'ala 'ala absarihim gisyawatan (Dan Dia menjadikan pada penglihatan mereka penutup). Barangkali nasab-nya itu karena mengikut kepada mahall i'rab dari lafaz wa 'ala sam'ihim, sebagaimana i'rab ittiba' pada firman-Nya:


وَحُورٌ عِينٌ


Dan (mereka dikelilingi oleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli. (Al-Waqi'ah: 22)Demikian pula pada perkataan seorang penyair, yaitu:


عَلَفْتُهَا تِبْنًا وَمَاءً بَارِدًا ... حَتَّى شَتَتْ هَمَّالَةً عيناها وَرَأَيْتُ زَوْجَكِ فِي الْوَغَى ... مُتَقَلِّدًا سَيْفًا وَرُمْحًا


Aku beri dia makan makanan ternak dan kuberi dia minum air yang sejuk, hingga terhapuslah belek pada kedua matanya, dan aku lihat suamimu berada dalam pertempuran menyandang pedang dan memanggul tombak.Bentuk lengkapnya

ialah wasaqaituha ma-an baridan dan mu'taqilan bumhan.Setelah disebutkan sifat orang-orang mukmin dalam permulaan surat melalui empat ayat yang mengawalinya, kemudian diperkenalkan pula keadaan orang-orang kafir

melalui dua ayat berikutnya, maka Allah Swt. mulai menjelaskan keadaan orang-orang munafik. Orang-orang munafik adalah mereka yang menampakkan lahiriahnya seakan-akan beriman,

sedangkan di dalam batin mereka memendam kekufuran. Mengingat perkara mereka membingungkan kebanyakan orang, maka Allah Swt. mengetengahkan perihal mereka dalam pembahasan yang cukup panjang dengan menyebutkan

sifat dan ciri khas yang beraneka ragam, tetapi masing-masing ragam dan bentuk tersebut merupakan ciri khas kemunafikan tersendiri. Sebagaimana Allah pun menyebutkan perihal mereka dalam surat Baraah (surat At-Taubah),

surat Munafiqun, dan surat An-Nur serta surat-surat lainnya, untuk memperkenalkan keadaan dan sepak terjang mereka agar dihindari dan jangan sampai orang yang belum mengetahuinya terjerumus ke dalamnya.

Surat Al-Baqarah |2:8|

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

wa minan-naasi may yaquulu aamannaa billaahi wa bil-yaumil-aakhiri wa maa hum bimu`miniin

Dan di antara manusia ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir," padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.

And of the people are some who say, "We believe in Allah and the Last Day," but they are not believers.

Tafsir
Jalalain

(Di antara manusia ada orang yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir.") yaitu hari kiamat, karena hari itu adalah hari terakhir.

(Padahal mereka bukan orang-orang yang beriman). Di sini ditekankan arti kata 'orang', jika kata ganti yang disebutkan lafalnya, yakni 'mereka'.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 8 |

Tafsir ayat 8-9

Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,

padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak sadar.Nifaq atau munafik ialah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan. Sifat munafik itu bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan akidah;

jenis ini menyebabkan pelakunya kelak di dalam neraka. Ada yang berkaitan dengan perbuatan, jenis ini merupakan salah satu dari dosa besar, rinciannya akan disebutkan pada bagian tersendiri, insya Allah.

Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatannya, keadaan batinnya bertentangan dengan sikap lahiriahnya, bagian dalamnya bertentangan dengan bagian luarnya,

dan penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya.Sesungguhnya sifat orang munafik diterangkan di dalam surat-surat Madaniyah, karena di Mekah tidak ada sifat munafik, bahkan kebalikannya.

Di antara orang-orang dalam periode Mekah ada yang menampakkan kekufuran karena terpaksa, padahal batinnya adalah orang mukmin tulen. Ketika Nabi Saw. hijrah ke Madinah, padanya telah ada kaum Ansar

yang terdiri atas kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dahulu di masa Jahiliah, mereka termasuk penyembah berhala sebagaimana kebiasaan kaum musyrik Arab. Di Madinah terdapat orang-orang Yahudi dari kalangan ahli kitab

yang memeluk agama menurut nenek moyang mereka.Orang-orang Yahudi Madinah terdiri atas tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqa' (teman sepakta kabilah Khazraj), Bani Nadir, dan Bani Quraizah (teman sepakta kabilah Aus).

Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan orang-orang Ansar dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj telah masuk Islam, tetapi sedikit sekali dari kalangan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, bahkan hanya satu orang,

yaitu Abdullah ibnu Salam r.a. Pada saat itu (periode pertama Madinah) masih belum terdapat nifaq, mengingat kaum muslim masih belum mempunyai kekuatan yang berpengaruh, bahkan Nabi Saw. hidup rukun bersama orang-orang Yahudi

dan kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitar kota Madinah, hingga terjadi Perang Badar Besar, dan-Allah memenangkan kalimah-Nya dan memberikan kejayaan kepada Islam serta para pemeluknya.

Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul adalah seorang pemimpin di Madinah, berasal dari kabilah Khazraj. Dia adalah pemimpin kedua kabilah di masa Jahiliah, mereka bertekad akan menjadikannya sebagai raja mereka.

Kemudian datanglah kebaikan (agama Islam) kepada mereka, dan mereka semua masuk Islam, menyibukkan dirinya dengan urusan Islam, sedangkan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul tetap pada pendiriannya seraya memperhatikan

perkembangannya Islam dan para pemeluknya. Akan tetapi, ketika terjadi Perang Badar (dan kaum muslim beroleh kemenangan), dia berkata, "Ini merupakan suatu perkara yang benar-benar telah mengarah (kepada kekuasaan).

" Akhirnya dia menampakkan lahiriahnya masuk Islam, dan sikapnya ini diikuti oleh orang-orang yang mendukungnya, juga oleh orang lain dari kalangan ahli kitab.Sejak itulah muncul nifaq (kemunafikan) di kalangan sebagian penduduk Madinah

dan orang-orang Badui yang berada di sekitar kota Madinah. Adapun kaum Muhajirin, tidak ada seorang munafik pun di kalangan mereka karena tiada seorang pun yang berhijrah karena dipaksa, bahkan setiap Muhajirin berhijrah

meninggalkan harta benda dan anak-anaknya karena mengharapkan pahala di sisi Allah kelak di hari kemudian.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad,

dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian" padahal mereka itu sesungguhnya

bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8) Yang dimaksud adalah orang-orang munafik dari kalangan kabilah Aus dan kabilah Khazraj serta orang-orang yang mengikuti mereka. Hal yang sama ditafsirkan oleh Abul Aliyah,

Al-Hasan, Qatadah, dan As-Saddi, yaitu "mereka adalah orang-orang munafik dari kabilah Aus dan kabilah Khazraj".Melalui ayat ini Allah memperingatkan kaum mukmin agar jangan terbujuk oleh lahiriah sikap mereka,

yaitu dengan menerangkan sifat-sifat dan ciri khas orang-orang munafik, karena hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya kerusakan yang luas sebagai akibat tidak bersikap waspada terhadap mereka; dan sebagai akibat meyakini

keimanan mereka, padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang kafir. Hal ini merupakan larangan besar, yaitu menduga baik pada orang-orang yang ahli dalam kemaksiatan. Untuk itulah Allah Swt. berfirman:

Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8) Dengan kata lain, mereka katakan hal tersebut hanya dengan lisannya saja, padahal di balik itu tiada satu iman pun yang terdapat di hati mereka, sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman-Nya:


إِذا جاءَكَ الْمُنافِقُونَ قالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ


Apabila orang-orang munqfik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah." Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya. (Al-Munafiqun: 1)

Dengan kata lain, sesungguhnya mereka mengatakan demikian bila datang kepadamu saja, padahal kenyataannya tidak demikian. Karena itu, mereka mengukuhkan kesaksiannya dengan inna dan lam taukid pada khabar-nya.

Mereka mengukuhkan perkataannya pula, seperti yang disitir oleh firman-Nya, "Mereka mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian'," padahal kenyataannya tidaklah demikian. Allah mendustakan kesaksian dan kalimat berita mereka, yang hal ini berkaitan dengan akidah mereka, yaitu melalui firman-Nya:


وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنافِقِينَ لَكاذِبُونَ


Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Al-Munafiqun: 1)


{وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}


padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)Firman Allah Swt. mengatakan, "Yukhadi unallaha wal lazina amanu" mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman karena mereka hanya

menampakkan keimanannya pada lahiriahnya saja, sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan mereka sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka menipu Allah Swt. dengan sikap tersebut,

dan hal tersebut menghasilkan manfaat di sisi-Nya, dapat mengelabui Allah Swt. sebagaimana mereka dapat mengecoh sebagian kalangan kaum mukmin, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعاً فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَما يَحْلِفُونَ لَكُمْ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلى شَيْءٍ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْكاذِبُونَ


(Ingatlah) hari (ketika) mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya

mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta. (Al-Mujadilah: 18)Karena itulah Allah membantah apa yang mereka yakinkan itu melalui firman-Nya:


وَما يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَما يَشْعُرُونَ


Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 9)Dengan kata lain, mereka tidak mengelabui melalui perbuatannya yang demikian itu; tidak pula menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedangkan diri mereka tidak merasakan hal itu, sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya:


إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ


Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142)Di antara ahli qiraah ada yang membaca wama yakhda'una illa an-fusahum menjadi

wama yukhadi' una illa anfusahum yang artinya "tiada lain diplomasi yang mereka lakukan itu melainkan terhadap diri mereka sendiri". Akan tetapi, kedua Qira’ah tersebut mempunyai makna yang sama.

Ibnu Jarir mengatakan, jika ada seseorang mengatakan mengapa orang yang munafik kepada Allah dan kepada kaum mukmin dapat dikatakan sebagai seorang penipu, sedangkan orang yang munafik itu tidak sekali-kali

mengatakan apa yang bertentangan dengan batinnya hanyalah karena taqiyyah semata? Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang Arab menamakan ucapan yang bertentangan dengan hati sebagai sikap taqiyyah

untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditakutkan dengan nama mukhadi'. Demikian pula halnya dengan orang munafik, dia dinamakan mukhadi' (orang yang menipu) Allah dan orang-orang mukmin dengan mengucapkan kata-kata

yang dapat menyelamatkan dirinya dari pembunuhan, penahanan, dan siksaan yang segera, padahal di balik penampilan luarnya dia memendam kebencian. Yang demikian itu adalah salah satu dari sikap orang munafik;

sekalipun dia menipu orang-orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini, tetapi dia dengan perbuatannya itu sama saja menipu dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena perbuatan yang ditampakkannya itu menurutnya

dapat memberikan apa yang dicita-citakannya dan kebahagiaan, padahal kenyataannya justru merupakan sumber kejatuhannya dan berakibat siksaan di hari kemudian serta murka Allah dan azab-Nya yang amat pedih tiada bandingannya.

Tipuan yang ia lancarkan tersebut diduganya sebagai perbuatan yang baik buat dirinya, padahal sesungguhnya dia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri bagi kehidupannya di akhirat nanti, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya,

"Tiadalah yang mereka tipu muslihatkan melainkan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak merasakannya."Ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa orang-orang munafik

telah mencelakakan dirinya sendiri karena perbuatan mereka membuat Tuhan murka, yaitu kekufuran, keraguan, dan kedustaan yang mereka lakukan tanpa mereka rasakan dan tanpa mereka ketahui hingga membuat mereka buta

dan menetapi perbuatannya itu.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak dalam suratnya yang ditujukan kepadaku, bahwa telah menceritakan kepadanya Zaid ibnul Mubarak,

telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Saur, dari Ibnu Juraij, sehubungan dengan firman-Nya: Mereka hendak menipu Allah. (Al-Baqarah: 9) Makna yang dimaksud ialah bahwa mereka menampakkan kalimat tauhid

dengan tujuan agar darah dan harta benda selamat, padahal di dalam hati mereka terdapat hal yang bertentangan dengan kalimat tauhid itu.Sa'id telah mengatakan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: Di antara manusia

ada yang mengatakan, "Kami beriman kepa-da Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu

dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 8-9) Bahwa ciri khas orang munafik pada umumnya ialah berakhlak rendah, percaya dengan lisan tetapi ingkar dengan hati, dan berbeda dengan perbuatan

serta sepak terjangnya; di pagi hari berada dalam satu keadaan, sedangkan di petang harinya dalam keadaan lain; begitu pula kebalikannya, di petang hari dalam satu sikap, sedangkan di pagi harinya bersikap lain; ia terombang-ambing bagaikan perahu yang ditiup angin kencang dan hanya bersikap mengikuti arah angin.

Surat Al-Baqarah |2:9|

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

yukhoodi'uunalloha wallażiina aamanuu, wa maa yakhda'uuna illaaa anfusahum wa maa yasy'uruun

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.

They [think to] deceive Allah and those who believe, but they deceive not except themselves and perceive [it] not.

Tafsir
Jalalain

(Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman) yakni dengan berpura-pura beriman dan menyembunyikan kekafiran

guna melindungi diri mereka dari hukum-hukum duniawi (padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri) karena bencana tipu daya itu akan kembali menimpa diri mereka sendiri. Di dunia,

rahasia mereka akan diketahui juga dengan dibuka Allah kepada Nabi-Nya,

sedangkan di akhirat mereka akan menerima hukuman setimpal (tetapi mereka tidak menyadari) dan tidak menginsafi bahwa tipu daya mereka itu menimpa diri mereka sendiri. Mukhada`ah atau tipu-menipu di sini muncul dari satu pihak,

jadi bukan berarti berserikat di antara dua belah pihak. Contoh yang lainnya mu`aqabatul lish yang berarti menghukum pencuri.

Menyebutkan Allah di sana hanya merupakan salah satu dari gaya bahasa saja. Menurut suatu qiraat tidak tercantum 'wamaa yasy`uruuna' tetapi 'wamaa yakhda`uuna', artinya 'tetapi mereka tidak berhasil menipu'.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 9 |

Penjelasan ada di ayat 8

Surat Al-Baqarah |2:10|

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

fii quluubihim marodhun fa zaadahumullohu marodhoo, wa lahum 'ażaabun aliimum bimaa kaanuu yakżibuun

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu, dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta.

In their hearts is disease, so Allah has increased their disease; and for them is a painful punishment because they [habitually] used to lie.

Tafsir
Jalalain

(Dalam hati mereka ada penyakit) berupa keragu-raguan dan kemunafikan yang menyebabkan sakit atau lemahnya hati mereka. (Lalu ditambah Allah penyakit mereka) dengan menurunkan Alquran yang mereka ingkari itu.

(Dan bagi mereka siksa yang pedih) yang menyakitkan (disebabkan kedustaan mereka.) Yukadzdzibuuna dibaca pakai tasydid, artinya amat mendustakan,

yakni terhadap Nabi Allah dan tanpa tasydid 'yakdzibuuna' yang berarti berdusta, yakni dengan mengakui beriman padahal tidak.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 10 |

Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakit-ya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani,

dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasul Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradun,'''' di dalam hati mereka ada penyakit, yakni keraguan.”Fazadahumullahu maradan," lalu ditambah Allah penyakitnya,

yakni keraguannya. Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Said bin Jabir, dari Ibnu Abbas, bahwa fi qulubihim maradun artinya keraguan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ikrimah,

Al-Hasan Al-Basri, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta Qatadah.Dari Ikrimah dan Tawus disebutkan sehubungan dengan firman-Nya, "Fi qulubihim maradun" di dalam hati mereka ada penyakit, yang dimaksud ialah riya (pamer).

Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa. fi qulubihim maradun artinya nifaq, dan fazadahumullahu maradan yakni nifaq (munafik) pula; pendapat ini sama dengan yang pertama.Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan

fi qulubihim maradun artinya penyakit dalam masalah agama, bukan penyakit pada tubuh. Mereka yang mempunyai penyakit ini adalah orang-orang munafik, sedangkan penyakit tersebut adalah berupa keraguan yang merasuki hati

mereka terhadap Islam. Fazadahumullahu maradan artinya "lalu ditambah oleh Allah kekafirannya." Selanjutnya Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan firman-Nya:


فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزادَتْهُمْ إِيماناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ. وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ


Adapun orang-orang yang beriman, maka surat itu menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka,

di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah: 124-125)Menurutnya, makna yang dimaksud ialah bertambahlah kejahatan mereka di samping kejahatan yang ada dan kesesatan di samping kesesatan yang telah ada

pada diri mereka. Pendapat yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ini merupakan pembalasan yang sesuai dengan jenis amal perbuatan, demikian pula pendapat ulama yang mendahuluinya. Hal yang sama dikatakan pula terhadap firman-Nya:


وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زادَهُمْ هُدىً وَآتاهُمْ تَقْواهُمْ


Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya. (Muhammad: 17)Firman-Nya, "Bima kanu yakzibuna" (disebabkan mereka berdusta).

Lafaz yakzibuna dapat dibaca yukazzibuna (disebabkan apa yang mereka dustakan). Dikatakan demikian karena mereka mempunyai kedua sifat tersebut, yakni mereka adalah orang-orang yang berdusta, juga mendustakan yang gaib.

Dengan kata lain, di dalam diri mereka terdapat sifat ini dan sifat itu.Imam Qurtubi dan lain-lainnya dari kalangan ulama tafsir pernah ditanya mengenai hikmah Nabi Saw. tidak membunuh orang-orang munafik,

padahal beliau mengetahui dengan jelas sebagian dari mereka. Lalu mereka mengemukakan jawaban mengenainya yang antara lain ialah melalui apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepada Umar ibnul Khattab r.a.:


«أَكْرَهُ أَنْ يَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ»


Aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab mengatakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya.Dengan kata lain, beliau merasa khawatir bila hal tersebut dilakukan nya akan mengubah sikap kebanyakan orang-orang Arab

hingga mereka antipati untuk masuk Islam, mengingat mereka tidak mengetahui hikmah di balik hukuman mati yang beliau Saw. jatuhkan terhadap mereka (orang-orang munafik), dan mereka sama sekali tidak mengerti

bahwa sesungguhnya Nabi Saw. menghukum mereka hanya karena kekufuran; yang mereka simpulkan hanyalah lahiriah yang tampak bagi mereka, lalu mereka katakan bahwa Muhammad telah membunuh teman-temannya sendiri.

Al-Qurtubi mengatakan, demikianlah pendapat ulama mazhab kami dan selain mereka, perihalnya sama dengan pemberian yang diberikan oleh Nabi Saw. kepada kaum mu'allafah (orang-orang yang sedang dibujuk hatinya masuk Islam),

padahal Nabi Saw. jelas mengetahui keburukan keyakinan mereka.Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa pendapat ini adalah yang dianut oleh murid-murid Imam Malik, pendapat ini di-nas-kan oleh Muhammad ibnul Jahm

dan Al-Qadi Ismail serta Al-Abhuri Majisyun.Jawaban lainnya ialah menurut apa yang dikatakan oleh Imam Malik, sesungguhnya Rasulullah Saw. menahan diri terhadap orang-orang munafik hanyalah untuk menjelaskan kepada umatnya

bahwa seorang hakim tidak boleh main hakim sendiri atas dasar pengetahuannya sendiri. Imam Qurtubi mengatakan, semua ulama telah sepakat bahwa seorang kadi tidak boleh menjatuhkan hukum mati atas dasar pengetahuannya sendiri,

sekalipun para ulama berbeda pendapat dalam hukum-hukum lainnya.Jawaban lainnya ialah apa yang dikatakan oleh Imam Syafli, sesungguhnya Rasulullah Saw. menahan diri tidak menghukum mati orang-orang munafik

atas perbuatan mereka yang lahiriahnya menampakkan Islam, padahal batin mereka diketahui munafik, karena apa yang mereka tampakkan itu dapat menutupi apa yang dilakukan sebelumnya. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi Saw. dalam sebuah hadis yang telah disepakati kesahihannya di dalam kitab Sahihain dan kitab-kitab lain, yaitu:


«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ»


Aku diperintahkan untuk memerangi orang-orang hingga mereka mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah." Apabila mereka mengucapkannya, berarti mereka telah memelihara darah dan harta bendanya dariku,

kecuali berdasarkan alasan yang dibenarkan, sedangkan hisab (perhitungan) mereka diserahkan kepada Allah Swt.Makna hadis ini menunjukkan bahwa "barang siapa yang mengucapkan kalimah tersebut, maka diberlakukan terhadapnya

hukum Islam menurut lahiriahnya." Jika orang yang bersangkutan mengucapkan hal itu disertai dengan keyakinan, maka ia memperoleh pahalanya di hari kemudian. Jika dia tidak meyakininya, maka tiada manfaat pemberlakuan hukum dunia baginya dan pergaulannya dengan orang-orang yang beriman.


Allah Swt. telah berfirrnan:

{يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الأمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ}


Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, "Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka (orang-orang mukmin) menjawab, "Benar, tetapi kalian mencelakakan diri kalian sendiri

dan menunggu (kehancuran kami), dan kalian ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah. (Al-Hadid: 14)Mereka (orang-orang munafik) itu bergaul dengan orang-orang mukmin

dalam sebagian dari pergaulannya. Tetapi apabila orang-orang munafik itu dituntut melakukan suatu kewajiban, mereka berbeda dengan orang-orang yang beriman dan berada di belakang kaum mukmin.Allah Swt. berfirman:


وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ


Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba': 54)Orang-orang munafik itu tidak mungkin ikut sujud bersama kaum mukmin, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak hadis.

Jawaban lainnya ialah apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, sesungguhnya Nabi Saw. tidak menghukum mati mereka karena beliau tidak merasa khawatir terhadap kejahatan dan makar mereka, mengingat beliau Saw.

masih hidup di antara kaum mukmin dan membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang memberikan penjelasan. Sesudah beliau Saw. wafat, mereka dihukum mati bila menampakkan kemunafikannya dan diketahui oleh kaum muslim.

Imam Malik mengatakan bahwa orang munafik di masa Rasulullah Saw. sama halnya dengan kafir zindiq di masa sekarang (yakni masa Imam Malik).Menurut kami, para ulama berselisih pendapat mengenai hukuman mati

terhadap kafir zindiq jika dia menampakkan kekufurannya, apakah diminta bertobat atau langsung dihukum mati, apakah ada bedanya antara orang zindiq yang telah mendengar dakwah Islam dan yang belum pernah tersentuh

oleh dakwah Islam; ataukah disyaratkan hendaknya perbuatan murtadnya itu bersifat berulang-ulang atau tidak, dan apakah masuk Islamnya atau kekafirannya disyaratkan atas kehendak sendiri atau sesudah Islam tampak baginya.

Ada berbagai pendapat yang menanggapinya. Hanya, tempat untuk menjelaskannya secara rinci dan keputusannya ada di dalam Bab "Hukum-Hukum".Pendapat orang yang mengatakan bahwa Nabi Saw.

mengetahui secara pasti sebagian orang-orang munafik, sesungguhnya yang dijadikan sandaran dalil baginya hanyalah hadis Huzaifah ibnul Yaman yang di dalamnya disebut nama-nama mereka yang jumlahnya

ada empat belas orang munafik dalam Perang Tabuk, yaitu mereka yang, berniat membunuh Rasulullah Saw. di dalam kegelapan malam di salah satu lembah di Tabuk. Mereka bermaksud melaratkan unta yang dikendarainya

dengan tujuan agar Nabi Saw. terjatuh. Lalu Allah menurunkan wahyu kepadanya mengenai makar mereka, kemudian Nabi Saw. menceritakan hal tersebut kepada Huzaifah. Barangkali Nabi Saw. menahan diri tidak menghukum mati

mereka karena adanya pemberitahuan melalui wahyu tersebut, atau karena faktor lain, hanya Allah yang mengetahuinya.Selain mereka, sesungguhnya Allah Swt. menyebutkannya melalui firman-Nya:


وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرابِ مُنافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ

Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekeliling kalian itu ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. (At-Taubah: 101)


لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ الْمُنافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجاوِرُونَكَ فِيها إِلَّا قَلِيلًا. مَلْعُونِينَ أَيْنَما ثُقِفُوا أُخِذُوا وَقُتِّلُوا تَقْتِيلًا


Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu

(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.

(Al-Ahzab: 60-61)Di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa Nabi Saw. sebenarnya tidak mengetahui mereka dan tidak mengenal mereka secara perorangan, melainkan hanya disebutkan kepadanya mengenai sifat orang-orang munafik. Dengan bekal tersebut beliau dapat menandainya pada sebagian dari kalangan mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman yang lain:


وَلَوْ نَشاءُ لَأَرَيْناكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيماهُمْ. وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ


Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka melalui tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.

(Muhammad: 30)Di antara mereka yang terkenal kemunafikannya ialah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Kemunafikannya telah disaksikan oleh Zaid ibnu Arqam r.a. setelah ada penjelasan mengenai sifat-sifat orang munafik.

Sekalipun demikian, ketika Abdullah ibnu Ubay bin Salul mati, Nabi Saw. ikut menyalatkannya dan bahkan menyaksikan penguburannya, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap kaum muslim lainnya. Ketika Umar ibnul Khattab r.a. menegurnya karena perbuatan tersebut, maka beliau Saw. bersabda:


«إِنِّي أَكْرَهُ أَنْ تَتَحَدَّثَ الْعَرَبُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ»


Sesungguhnya aku tidak suka bila nanti orang-orang Arab Badui membicarakan bahwa Muhammad membunuh teman-temannya sendiri.Di dalam riwayat lain dalam hadis sahih disebutkan:

"إِنِّي خُيِّرْتُ فَاخْتَرْتُ" وَفِي رِوَايَةٍ "لَوْ أَنِّي أَعْلَمُ لَوْ زِدْتُ عَلَى السَّبْعِينَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَهُ لَزِدْتُ".


Sesungguhnya aku disuruh memilih, maka aku melakukan pilihan (yakni ikut menyalatkan dan menguburkannya). Seandainya aku mengetahui bahwa jika aku melakukan istigfar buatnya lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, niscaya aku akan menambahnya.

Surat Al-Baqarah |2:11|

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

wa iżaa qiila lahum laa tufsiduu fil ardhi qooluuu innamaa naḥnu mushliḥuun

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi!" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan."

And when it is said to them, "Do not cause corruption on the earth," they say, "We are but reformers."

Tafsir
Jalalain

(Dan jika dikatakan kepada mereka,) maksudnya kepada orang-orang munafik tadi ("Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!") yakni dengan kekafiran dan menyimpang dari keimanan.

(Jawab mereka, "Sesungguhnya kami ini berbuat kebaikan.") dan tidak dijumpai pada perbuatan kami hal-hal yang menjurus pada kebinasaan.

Maka Allah swt. berfirman sebagai sanggahan atas ucapan mereka itu:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 11 |

Tafsir ayat 11-12

Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi:" Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya.As-Sadi di dalam kitab Tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas,

juga dari Murrah At-Tabib Al Hamdani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi,'

mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan' (Al-Baqarah: 11), "bahwa mereka adalah orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di muka bumi ialah melakukan kekufuran

dan perbuatan maksiat.Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Waiza qila lahum la tufsidu fil ard" artinya janganlah kalian berbuat maksiat di muka bumi.

Kerusakan yang mereka timbulkan disebabkan perbuatan maksiat mereka terhadap Allah. Karena orang yang durhaka kepada Allah di muka bumi atau memerintahkan kepada kedurhakaan (kemaksiatan)

berarti telah menimbulkan kerusakan di muka bumi, mengingat kebaikan bumi dan langit adalah karena perbuatan taat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid

tentang makna firman-Nya, "Waiza qila lahum la tufsidufil ardi." Menurutnya, apabila mereka mengerjakan maksiat, dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian melakukan maksiat ini dan maksiat itu." Mereka menjawab, "

Sesungguhnya kami berada di jalan hidayah dan sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan."Waki', Isa ibnu Yunus, dan Assam ibnu Ali mengatakan dari Al-A'masy, dari Minhal ibnu Amr ibnu Abbad ibnu Abdullah Al-Asadi,

dari Salman Al-Farisi, sehubungan dengan firman-Nya: Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab, Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."

(Al-Baqarah: 11) Menurut Salman Al-Farisi, orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini masih belum ada (di masanya).Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim,

telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Syarik, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb dan lain-lainnya, dari Salman Al-Farisi sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka masih belum ada.

Ibnu Jarir mengatakan, barangkali Salman r.a. bermaksud bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebut dalam ayat ini melakukan kerusakan yang jauh lebih besar daripada mereka yang memiliki sifat yang sama di zaman Nabi Saw.

Makna yang dikemukakannya bukan berarti bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut masih belum ada.Ibnu Jarir mengatakan pula, orang munafik adalah mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi karena perbuatan maksiat

mereka terhadap Tuhannya dan pelanggaran-pelanggaran yang mereka kerjakan terhadap hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Mereka pun menyia-nyiakan hal-hal yang difardukan-Nya, mereka ragu terhadap agama Allah

yang tidak mau menerima amal seorang pun kecuali dengan beriman kepadanya dan meyakini hakikatnya. Selain itu mereka berdusta terhadap kaum mukmin melalui pengakuan mereka yang me-yatakan bahwa dirinya beriman,

padahal di dalam batin mereka dipenuhi oleh keraguan dan kebimbangan. Mereka juga membantu orang-orang yang mendustakan Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kekasih-kekasih-Nya bila mereka menemukan jalan ke arah itu.

Yang demikian itulah kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang munafik di muka bumi, dan mereka menduga bahwa perbuatan mereka itu dinamakan perbaikan di muka bumi. Makna inilah yang dimaksud oleh Hasan,

bahwa sesungguhnya termasuk menimbulkan kerusakan di muka bumi bila orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:


وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسادٌ كَبِيرٌ


Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai kaum muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi

dan kerusakan yang besar. (Al-Anfal: 73)Maka Allah memutuskan (meniadakan) saling tolong antara kaum mukmin dan orang-orang kafir, sebagaimana yang ditegaskan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطاناً مُبِيناً


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)? (An-Nisa: 144) Kemudian dalam ayat berikutnya Allah Swt. berfirman:


إِنَّ الْمُنافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً


Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada bagian yang paling bawah dari neraka, dan kalian tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (An-Nisa: 145)

Mengingat orang munafik dalam sikap lahiriahnya menunjukkan beriman, perihal yang sebenarnya dapat mengelabui kaum mukmin. Kerusakan yang diakibatkan oleh orang munafik mudah terjadi,

mengingat dia dengan mudah dapat membujuk kaum mukmin melalui hasutan yang dilancarkannya. Dengan sembunyi-sembunyi orang-orang munafik bersahabat dengan orang-orang kafir untuk memusuhi kaum mukmin.

Padahal seandainya orang-orang munafik tersebut tetap pada pendirian kafirnya, niscaya kejahatan yang ditimbulkannya lebih ringan. Seandainya mereka ikhlas dalam amalnya karena Allah, niscaya mereka beruntung

dan beroleh kebahagiaan. Karena itulah Allah Swt. berfirman: Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi Mereka menjawab.”Sesungguhnya

kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (Al-Baqarah: 11)Dengan kata lain mereka mengatakan, "Kami bermaksud menjadi juru penengah perdamaian antara kedua golongan, yakni kaum mukmin dan kaum kuffar.

" Pengertian ini dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya,

"Waiza qila lahum la tufsidufil ardi qalu innama nahnu muslihuna," yakni sesungguhnya kami bermaksud melakukan perdamaian di antara kedua golongan, yaitu golongan kaum mukmin dan ahli kitab.

Akan tetapi, anggapan mereka itu dibantah oleh firman-Nya: Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. (Al-Baqarah: 12)

Dengan kata lain, dapat diartikan "hanya saja hal yang mereka duga sebagai perbaikan dan perdainaian itu justru merupakan kerusakan itu sendiri; tetapi karena kebodohan mereka, mereka tidak merasakan hal itu sebagai kerusakan.

Surat Al-Baqarah |2:12|

أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

alaaa innahum humul-mufsiduuna wa laakil laa yasy'uruun

Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.

Unquestionably, it is they who are the corrupters, but they perceive [it] not.

Tafsir
Jalalain

(Ingatlah!) Seruan untuk membangkitkan perhatian. (Sesungguhnya mereka itulah yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar) akan kenyataan itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 12 |

Penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Baqarah |2:13|

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِنْ لَا يَعْلَمُونَ

wa iżaa qiila lahum aaminuu kamaaa aamanan-naasu qooluuu a nu`minu kamaaa aamanas-sufahaaa`, alaaa innahum humus-sufahaaa`u wa laakil laa ya'lamuun

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!" Mereka menjawab, "Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?" Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal, tetapi mereka tidak tahu.

And when it is said to them, "Believe as the people have believed," they say, "Should we believe as the foolish have believed?" Unquestionably, it is they who are the foolish, but they know [it] not.

Tafsir
Jalalain

(Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain beriman!") yakni sebagaimana berimannya para sahabat Nabi. (Jawab mereka,

"Apakah kami akan beriman sebagaimana berimannya orang-orang yang bodoh") Artinya kami tidak akan melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh itu.

Maka firman Allah menolak ucapan mereka itu: (Ketahuilah, merekalah orang-orang bodoh tetapi mereka tidak tahu) akan hal itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 13 |

Apabila dikatakan kepada mereka.”Berimanlah kalian sebagaimana orang lain telah beriman." Mereka menjawab, Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?"

Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengerti.Allah Swt. berfirman, "Waiza qila" (apabila dikatakan), yakni kepada orang-orang munafik. Aminu kama amanan nasu,

berimanlah kamu sekalian sebagaimana orang-orang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari berbangkit sesudah mati, surga dan neraka serta lain-lainnya yang telah diberitakan oleh Allah

kepada orang-orang mukmin. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dalam mengerjakan semua perintah dan meninggalkan semua larangan.Qalu anuminu kama amanas sufaha-u; mereka menjawab,

"Akankah kami disuruh beriman sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Yang mereka maksudkan dengan "orang-orang yang bodoh" adalah para sahabat Rasul Saw., semoga laknat Allah atas orang-orang munafik.

Demikian menurut Abul Aliyah dan As-Saddi di dalam kitab Tafsir-nya berikut sanadnya dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud serta sejumlah sahabat Rasulullah Saw. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.

Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan lain-lainnya, makna ayat adalah "apakah kami dan mereka sama derajat dan jalannya, sedangkan mereka adalah orang-orang yang bodoh?"

As-sufaha adalah bentuk jamak dari lafaz safihun, sama wazan-nya dengan lafaz hukama, bentuk tunggalnya adalah hakimun dan hulama yang bentuk tunggalnya adalah halimun. As-safih artinya orang yang bodoh,

lemah pendapatnya, dan sedikit pengetahuannya tentang hal yang bermaslahat dan yang mudarat, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


وَلا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِياماً


Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An-Nisa: 5)

Menurut kebanyakan ulama, yang dimaksud dengan sufaha dalam ayat ini ialah kaum wanita dan anak-anak.Kemudian Allah membantah semua yang mereka tuduhkan itu melalui firman selanjutnya,

"Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh" (Al-Baqarah: 13). Allah Swt. membalikkan tuduhan mereka, sesungguhnya yang bodoh itu hanyalah mereka sendiri. Pada firman selanjutnya disebutkan,

"Tetapi mereka tidak tahu" (Al-Baqarah: 13). Dengan kata lain, kebodohan mereka sangat keterlaluan hingga tidak menyadari kebodohannya sendiri, bahwa sebenarnya keadaan mereka dalam kesesatan dan kebodohan.

Ungkapan ini lebih kuat untuk menggambarkan kebutaan mereka dan kejauhan mereka dari hidayah.

Surat Al-Baqarah |2:14|

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

wa iżaa laqullażiina aamanuu qooluuu aamannaa, wa iżaa kholau ilaa syayaathiinihim qooluuu innaa ma'akum innamaa naḥnu mustahzi`uun

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, "Kami telah beriman." Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, "Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok."

And when they meet those who believe, they say, "We believe"; but when they are alone with their evil ones, they say, "Indeed, we are with you; we were only mockers."

Tafsir
Jalalain

(Dan jika mereka berjumpa) asalnya 'laqiyuu' lalu damah pada ya dibuang karena beratnya pada lidah berikut ya itu sendiri karena bertemunya dalam keadaan sukun dengan wau sehingga menjadi 'laquu' (dengan orang yang beriman,

mereka berkata, "Kami telah beriman." Dan bila mereka telah berpisah) dengan orang-orang yang beriman dan kembali (kepada setan-setan mereka) maksudnya pemimpin-pemimpin mereka.

(Kata mereka, "Sesungguhnya kami ini bersama kamu) maksudnya sependirian dengan kamu dalam keagamaan, (kami ini hanya berolok-olok.") dengan berpura-pura beriman.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 14 |

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan,

"Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok." Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.Allah Swt. berfirman,

"Apabila orang-orang munafik bersua dengan orang-orang mukmin, mereka berkata, 'Kami beriman'." Mereka menampakkan kepada kaum mukmin seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat

dengan kaum mukmin. Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mendapat bagian ganimah

dan kebaikan yang diperoleh kaum mukmin.Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud ialah bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang lain.

Lafaz khalau mengandung makna insarafu, yakni kembali, karena ia muta'addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi'il yang tidak disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa ila di sini bermakna ma'a,

yakni "apabila mereka berkumpul bersama setan mereka tanpa ada orang lain". Akan tetapi, makna yang pertama lebih baik, yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir.As-Saddi mengatakan dari Abu Malik,

khalau artinya pergi menuju setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka yang terdiri atas kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan kaum munafik. As-Saddi

di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw., bahwa yang dimaksud dengan setan-setan

mereka dalam firman-Nya, "Wa iza khalau ila syayatinihim," ialah para pemimpin kekufuran mereka.Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah apabila mereka kembali kepada teman-temannya.

Teman-teman mereka disebut setan-setan mereka.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya,

"Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka," yakni yang terdiri atas kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw.

Mujahid mengatakan bahwa makna syayatinihim ialah teman-teman mereka dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayatinihim ialah para pemimpin

dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang semisal dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayatin artinya segala sesuatu yang membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:


وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً


Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadis dari Abu Zar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ". فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلِلْإِنْسِ شَيَاطِينٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ"


"Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan jin." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?" Nabi Saw. menjawab, 'Ya."Qalu inna ma'akum, mereka mengatakan,

"Sesungguhnya kami bersama kalian." Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah

"sesungguhnya kami sependirian dengan kalian". Innama nahnu mustahziun, sesungguhnya kami hanya mengajak mereka dan mempermainkan mereka.Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka mengatakan,

"Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad." Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah.Sebagai bantahan dari Allah Swt. terhadap perbuatan orang-orang munafik itu,

maka Allah Swt. berfirman: Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)Ibnu Jarir mengatakan, Allah Swt. membertahukan bahwa Dialah yang akan melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


يَوْمَ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَالْمُنافِقاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَراءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُوراً فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بابٌ باطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذابُ


Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka),

"Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Al-Hadid: 13) Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:


وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّما نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّما نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدادُوا إِثْماً


Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka.

(Ali Imran: 178)Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang serupa dengannya merupakan ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah Swt. terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik,

menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan pengertian tersebut.Ibnu Jarir mengatakan pula, bahwa ulama lainnya mengatakan bahwa ejekan Allah terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah

terhadap mereka karena mereka telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.Ibnu Jarir mengatakan pula, "Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan seperti ini dan yang semisal merupakan ungkapan pembalikan.

" Perihalnya sama dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata ia dapat membalikkan tipuan lawannya, "Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang menipuku).

" Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan; melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang akibat dari apa yang diperbuat mereka. Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya:


وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْماكِرِينَ


Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran: 54)


{اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ}


Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 15)Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain,

makna yang dimaksud ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri (barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya).Ulama lainnya mengatakan bahwa firman-Nya: Sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 14-15)


يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ


Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142)


فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ


Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka. (At-Taubah: 79)


ونَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ


Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67)Demikian pula ayat-ayat lainnya yang semakna, semuanya merupakan berita dari Allah Swt. bahwa Dia pasti akan memberikan balasan

terhadap mereka dengan balas memperolok-olokkan dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan siksaan-Nya

kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksaan-Nya, hanya dari segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda. Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:


وَجَزاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُها فَمَنْ عَفا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ


Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40)


{فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ}


Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194)Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya,

sedangkan makna yang kedua mengandung pengertian keadilan. Lafaz yang dipakai pada keduanya sama, tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna yang sejenis di dalam Al-Qur'an

diartikan dengan pengertian seperti ini.Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan perihal orang-orang munafik; apabila mereka berkumpul

dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap

yang kami perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olokkan mereka." Maka Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah menampakkan kepada mereka

' sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya, yaitu azab dan siksaan.

Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini, mengingat tipu daya, makar, dan olok-olokan secara main-main dan tidak ada gunanya merupakan hal yang mustahil akan dilakukan oleh Allah Swt.

menurut kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan ganjaran-ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti.Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat

dengan apa yang telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usman,

telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Allahu yastahzi-u bihim," artinya Allah memperolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap tindakan mereka. *********** Firman Allah Swt.:


{وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}


dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15)Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat Nabi Saw.,

yamudduhum artinya Allah membiarkan mereka.Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum ialah menambahkan kepada mereka, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


أَيَحْسَبُونَ أَنَّما نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مالٍ وَبَنِينَ نُسارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْراتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ


Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka! Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Mu’minun: 55-56)Dan firman Allah Swt.:


سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ


Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Al-A'raf: 182)Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa yang baru, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat yang baru. Tetapi pada hakikatnya hal itu merupakan azab, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat lain:


فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنا عَلَيْهِمْ أَبْوابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذا فَرِحُوا بِما أُوتُوا أَخَذْناهُمْ بَغْتَةً فَإِذا هُمْ مُبْلِسُونَ. فَقُطِعَ دابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ


Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka,

Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An'am: 44-45)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar ialah Kami menambahkan kepada mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam kesombongan dan pembangkangannya, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ


Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110) At-tugyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


إِنَّا لَمَّا طَغَى الْماءُ حَمَلْناكُمْ فِي الْجارِيَةِ


Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera. (Al-Haqqah: 11)Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi tugyanihim ya'mahun artinya di dalam kekufurannya

mereka terombang-ambing. Hal yang sama ditafsirkan pula oleh As-Saddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur Rahman ibnu Zaid,

bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan kesesatan.Ibnu Jarir mengatakan lafaz al-'amah artinya sesat, dikatakan 'cmiha fulanun, ya'mahu, 'amahan, dan 'amuhan artinya si Fulan telah tersesat. Ibnu Jarir mengatakan,

makna fi tugyanihim ya'mahun artinya ialah di dalam kekufuran dan kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan;

mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah Swt telah mengun-ci mati hati mereka dan mengelaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan hidayah, hingga tertutup pandangan mereka,

ti-dak dapat melihat petunjuk, tidak dapat pula mengetahui jalannya.Sebagian ulama mengatakan bahwa al-'ama (buta) khusus bagi buta mata, sedangkan al-'amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafaz al-'ama dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:


فَإِنَّها لَا تَعْمَى الْأَبْصارُ وَلكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ


Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)Dikatakan 'amihar rajulu (عَمِهَ الرَّجُلُ) artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan.

Bentuk mudari'-nya ya'mahu (يَعْمَهُ) , bentuk isim fa'il-nya 'amihun (عَمِهٌ) dan 'amihun (عَامِهٌ); bentuk jamaknya 'amahun (عُمَّهٌ), sedangkan bentuk masdarnya ialah 'amuhan (عُمُوهًا) . Dikatakan zahabat ibiluhul 'amha-u (ذَهَبَتْ إِبِلُهُ الْعَمْهَاءُ) jika untanya tidak diketahui ke mana perginya.

Surat Al-Baqarah |2:15|

اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

allohu yastahzi`u bihim wa yamudduhum fii thughyaanihim ya'mahuun

Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.

[But] Allah mocks them and prolongs them in their transgression [while] they wander blindly.

Tafsir
Jalalain

(Allahlah yang memperolok-olokkan mereka) artinya membalas olok-olokkan itu dengan memperolok-olokkan mereka pula (dan membiarkan mereka) terpedaya

(dalam kesesatan mereka) yakni melanggar batas disebabkan kekafiran (terumbang-ambing) dalam keadaan bingung tanpa tujuan atau pegangan.

Surat Al-Baqarah |2:16|

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

ulaaa`ikallażiinasytarowudh-dholaalata bil-hudaa fa maa robiḥat tijaarotuhum wa maa kaanuu muhtadiin

Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak mendapat petunjuk.

Those are the ones who have purchased error [in exchange] for guidance, so their transaction has brought no profit, nor were they guided.

Tafsir
Jalalain

(Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk) artinya mengambil kesesatan sebagai pengganti petunjuk (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka) bahkan sebaliknya mereka merugi,

karena membawa mereka ke dalam neraka yang menjadi tempat kediaman mereka untuk selama-lamanya. (Dan tidaklah mereka mendapat petunjuk) disebabkan perbuatan mereka itu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 16 |

Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.As-Saddi (As-Suda) di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik,

dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.

Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.As-Saddi (As-Suda) di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik,

dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.

" Yang dimaksud ialah mereka mengambil kesesatan dan meninggalkan hidayah.Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya,

"Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk," yakni membeli kekufuran dengan keimanan.Menurut mujahid, makna yang dimaksud ialah pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir.Qatadah mengatakan,

maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk). Pendapat Qatadah ini mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى


Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat 17)Kesimpulan dari pendapat semua ahli tafsir tentang hal-hal yang telah kami sebutkan ialah

'orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan petunjuk dan menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan'. Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:


{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}


Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Al-Baqarah: 16)Dengan kata lain, mereka melepaskan hidayah sebagai ganti kesesatan. Dalam hal ini sama saja apakah dia berasal dari orang yang tadinya beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


فِيهِمْ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلى قُلُوبِهِمْ


Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati. (Al-Munafiqun: 3).Atau dari kalangan mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah,

sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian dari kalangan mereka (orang-orang munafik), dan memang mereka itu terdiri atas berbagai macam golongan. Karena itu, pada ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:


{فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ}


Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 16)Perniagaan mereka yang demikian itu tidak membawa keuntungan, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,

yakni tidak memperoleh bimbingan dalam perbuatannya itu.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Qatadah sehubungan dengan firman-Nya,

"Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 16). Demi Allah, kalian telah melihat mereka keluar dari hidayah menuju jalan kesesatan, dari persatuan menjadi perpecahan,

dari aman menjadi ketakutan, dan dari sunnah menjadi bid'ah. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abu Hatim melalui hadis Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah dengan makna yang sama." Yang dimaksud ialah mereka mengambil

kesesatan dan meninggalkan hidayah.Ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya,

"Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk," yakni membeli kekufuran dengan keimanan.Menurut mujahid, makna yang dimaksud ialah pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir.

Qatadah mengatakan, maksudnya ialah mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah (petunjuk). Pendapat Qatadah ini mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْناهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمى عَلَى الْهُدى


Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu. (Fushshilat 17)Kesimpulan dari pendapat semua ahli tafsir tentang hal-hal yang telah kami sebutkan ialah

'orang-orang munafik itu menyimpang dari jalan petunjuk dan menempuh jalan kesesatan, mereka menukar hidayah dengan kesesatan'. Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:


{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}


Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. (Al-Baqarah: 16)Dengan kata lain, mereka melepaskan hidayah sebagai ganti kesesatan. Dalam hal ini sama saja apakah dia berasal dari orang yang tadinya beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:


فِيهِمْ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلى قُلُوبِهِمْ


Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati. (Al-Munafiqun: 3).Atau dari kalangan mereka lebih menyukai kesesatan daripada hidayah,

sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian dari kalangan mereka (orang-orang munafik), dan memang mereka itu terdiri atas berbagai macam golongan. Karena itu, pada ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:


{فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ}


Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 16)Perniagaan mereka yang demikian itu tidak membawa keuntungan, dan tidaklah mereka mendapat petunjuk,

yakni tidak memperoleh bimbingan dalam perbuatannya itu.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Basyir, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Qatadah sehubungan dengan firman-Nya,

"Maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 16). Demi Allah, kalian telah melihat mereka keluar dari hidayah menuju jalan kesesatan, dari persatuan menjadi perpecahan,

dari aman menjadi ketakutan, dan dari sunnah menjadi bid'ah. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Abu Hatim melalui hadis Yazid ibnu Zurai', dari Sa'id, dari Qatadah dengan makna yang sama.

Surat Al-Baqarah |2:17|

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ

maṡaluhum kamaṡalillażistauqoda naaroo, fa lammaaa adhooo`at maa ḥaulahuu żahaballohu binuurihim wa tarokahum fii zhulumaatil laa yubshiruun

Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.

Their example is that of one who kindled a fire, but when it illuminated what was around him, Allah took away their light and left them in darkness [so] they could not see.

Tafsir
Jalalain

(Perumpamaan mereka) sifat mereka dalam kemunafikannya itu, (seperti orang yang menyalakan) atau menghidupkan (api) dalam kegelapan

(dan setelah api itu menerangi) atau menyinari (apa yang di sekelilingnya) hingga ia dapat melihat,

berdiang dan merasa aman dari apa yang ditakutinya (Allah pun menghilangkan cahaya yang menyinari mereka) yaitu dengan memadamkannya.

Kata ganti orang dijadikan jamak 'him' merujuk kepada makna 'alladzii' (dan meninggalkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat) apa yang terdapat di sekeliling mereka,

sehingga tidak tahu jalan dan mereka dalam keadaan kecemasan. Demikianlah halnya orang-orang munafik yang mengucapkan kata-kata beriman, bila mereka mati mereka akan ditimpa ketakutan dan azab.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 17 |

Tafsir ayat 17-18

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,

tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).Dikatakan matsalun, mistlun, dan matsilun artinya perumpamaan bentuk jamaknya adalah amsal, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman lainnya:


وَتِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلَّا الْعالِمُونَ


Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut: 43)Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa Allah Swt.

menyerupakan perbuatan mereka yang membeli kesesatan dengan keimanan —dan nasib mereka menjadi buta setelah melihat— dengan keadaan orang yang menyalakan api. Akan tetapi, setelah suasana di sekitarnya terang

dan beroleh manfaat dari sinarnya, yaitu dapat melihat semua yang ada di kanan dan kirinya, telah menyesuaikan diri dengannya; di saat dalam keadaan demikian, tiba-tiba api tersebut padam. Maka ia berada dalam kegelapan yang pekat,

tidak dapat melihat, dan tidak beroleh petunjuk. Selain itu keadaannya kini menjadi tuli tidak dapat mendengar, bisu tidak dapat berbicara lagi, buta seandainya keadaannya terang karena tidak dapat melihat. Karena itu,

dia tidak dapat kembali kepada keadaan sebelumnya. Demikian pula keadaan orang-orang munafik itu yang mengganti jalan petunjuk dengan kesesatan dan lebih memilih kesesatan daripada hidayah.Di dalam masal atau perumpamaan

ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah Swt dalam ayat lainnya.Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh

Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka;

kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.

Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya:


{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}


Di antara manusia ada yang mengatakan, "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita

mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan suatu kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ayat lainnya yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya:


{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}


Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun: 3)Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis

perumpamaan ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat).

Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:


{رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ}


Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. (Al-Ahzab: 19)Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:


{مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}


Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28)


{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}


Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu'ah: 5)

Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud ialah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah

salah seorang dari mereka. Menurut yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini mengandung makna al-lazina (orang banyak), sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut:


وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ ... هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يَا أُمَّ خَالِدِ


Sesungguhnya orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:


{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}


Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali

ke (jalan yang benar). (Al-Baqarah: 17-18)Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya.Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan;

dan membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.Watarakahum fi zulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka).

La yubsirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya.Selain itu mereka summun, yakni tuli tidak dapat mendengar kebaikan;

bukmun, bisu tidak dapat mengucapkan hal-hal yang bermanfaat bagi diri mereka; 'umyun, buta dalam kesesatan dan buta mata hatinya, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya:


{فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ}


Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)Karena itu, mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah yang telah mereka tukar dengan kesesatan.

Komentar para ahli tafsir ulama salafAs-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya:


{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ}


Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17)As-Saddi menduga ada sejumlah orang yang telah masuk Islam di saat Nabi Saw. tiba di Madinah, kemudian mereka munafik. Perumpamaan mengenai diri mereka

sama dengan seorang lelaki yang pada mulanya berada dalam kegelapan, lalu dia menyalakan api. Ketika api menerangi sekelilingnya yang dipenuhi kotoran dan onak duri, maka dia dapat melihat hingga dapat menghindar.

Akan tetapi, ketika ia dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, hingga dia menghadapi situasi yang tidak ia ketahui mana yang harus dia hindarkan dari bahaya yang ada di depannya.Yang demikian itulah perihal orang munafik,

pada awalnya dia berada dalam kegelapan kemusyrikan, lalu masuk Islam hingga mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, juga mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika ia berada dalam keadaan demikian,

tiba-tiba ia kafir, akhirnya dia tidak lagi mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tidak pula mana yang baik dan mana yang buruk'.Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini.

Cahaya merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang dahulu sering mereka bicarakan, sedangkan kegelapan merupakan perumpamaan bagi kesesatan dan kekufuran mereka yang dahulu mereka perbincangkan.

Mereka adalah suatu kaum yang pada mulanya berada dalam jalan petunjuk, kemudian hidayah dicabut dari mereka; sesudah itu akhirnya mereka membangkang, tidak mau beriman lagi.Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya,

"Falamma ada-at ma haulahu" bahwa sinar api menunjukkan makna keadaan mereka di saat menghadap kepada orang-orang mukmin dan jalan hidayah.Ata Al-Khurrasani sehubungan dengan firman-Nya,

"Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal ini merupakan perumpamaan orang munafik yang kadangkala dia dapat melihat dan mengenai, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.Ibnu Abu Hatim mengatakan

—dia telah meriwayatkan dari Ikri-mah, Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas— hal yang semisal dengan apa yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani.Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya,

"Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," mengatakan bahwa hal tersebut merupakan gambaran tentang sifat orang-orang munafik yang kadangkala dapat melihat dan mengenal, tetapi setelah itu ia terkena buta hati.

Dia mengatakan pula sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran," hingga akhir ayat, bahwa hal tersebut merupakan tentang sifat orang-orang munafik. Pada mulanya mereka beriman hingga iman

menyinari kalbu mereka, sebagaimana api menyinari mereka yang menyalakannya. Kemudian mereka kafir, maka Allah menghilangkan cahaya apinya dan mencabut imannya sebagaimana Dia menghilangkan cahaya api tersebut,

hingga mereka tertinggal dalam keadaan yang sangat gelap tanpa dapat melihat.Pendapat Ibnu Jarir serupa dengan riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya:

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17) Disebutkan bahwa hal ini merupakan suatu perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan orang-orang munafik.

Yaitu pada mulanya mereka merasa bangga dengan Islam, maka kaum muslim mau mengadakan pernikahan dengan mereka, saling mewaris dan saling membagi harta fai. Tetapi di kala mereka mati, Allah mencabut kebanggaan itu

dari mereka sebagaimana cayaha api yang dihilangkan dari orang yang memerlukannya.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, "Masaluhum kamasalil lazis tauqada naran"

bahwa sesungguhnya cahaya api itu adalah cahaya api yang dinyalakannya. Tetapi bila api itu padam, maka lenyaplah cahayanya. Demikian pula keadaan orang munafik, manakala dia mengucapkan kalimat Ikhlas —yaitu la ilaha illallah

(tidak ada Tuhan selain Allah)— ia berada dalam cahaya yang terang; tetapi jika ia ragu, maka terjerumuslah ia ke dalam kegelapan.Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Zaha-ballahu binurihim."

Cahaya api mereka merupakan perumpamaan bagi iman mereka yang selalu mereka bicarakan.Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah mengenai firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,

maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. (Al-Baqarah: 17) Yang dimaksud dengan api ialah perumpamaan kalimah la ilaha illal-lah (tidak ada Tuhan selain Allah). Api itu menerangi mereka hingga mereka dapat makan dan minum,

dianggap beriman di dunia, melakukan pernikahan, serta darah mereka terpelihara. Tetapi di kala mereka mati, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka berada dalam keadaan yang sangat gelap, tidak dapat melihat.

Sa'id meriyawatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa orang munafik yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan selain Allah) memperoleh cahaya dalam kehidupan di dunia. Untuk itu,

mereka dapat menikah dengan kaum muslim melalui kalimah tersebut dan berperang bersama kaum muslim, dapat waris-mewaris dengan mereka, dan darah serta hartanya terlindungi. Tetapi di saat ia mati,

kalimah tersebut ia cabut karena di dalam hatinya tidak ada pangkalnya; pada amal perbuatannya pun tidak ada hakikat kenyataan. Maka pada ayat selanjutnya disebutkan: dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan tidak dapat melihat.

(Al-Baqarah: 17)Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatil la yubsirun" yakni Allah meninggalkan mereka dalam kegelapan (maksudnya dalam azab) bila mereka mati.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin,"

yakni mereka dapat melihat perkara hak dengan mata hatinya, dan mengatakannya hingga mereka dapat keluar dari kegelapan kekufuran. Akan tetapi, sesudah itu mereka memadamkannya melalui kekufuran dan kemunafikan mereka,

akhirnya Allah membiarkan mereka dalam kegelapan kekufuran, hingga tidak dapat melihat hidayah dan tidak dapat berjalan lurus dalam perkara yang hak.As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan berikut sanadnya

mengenai firman-Nya, "Watarakahum fi zulumatin," bahwa kegelapan tersebut merupakan perumpamaan bagi kemunafikan mereka.Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa watarakahum fi zulumatin la yubsirun artinya

hal tersebut terjadi ketika orang munafik mati. Maka amal perbuatan jahatnya merupakan kegelapan baginya, hingga dia tidak dapat menemukan suatu amal baik pun yang sesuai dengan kalimah la ilaha illallah.

Summun bukmun 'umyun, As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka bisu, buta serta tuli.Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna

summun bukmun 'umyun, bahwa mereka tidak dapat mendengar petunjuk, tidak dapat melihatnya, dan tidak dapat mem-haminya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Qatadah ibnu Di'amah.Fahum la yarji'una,

menurut Ibnu Abbas mereka tidak dapat kembali ke jalan hidayah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.As-Saddi meriwayatkan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya,

"Summun bukmun 'umyun fahum la yarji'una," yakni mereka tidak dapat kembali kepada Islam. Sedangkan menurut Qatadah, mereka tidak dapat kembali itu maksudnya tidak dapat bertobat dan tidak pula mereka ingat.

Surat Al-Baqarah |2:18|

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

shummum bukmun 'umyun fa hum laa yarji'uun

Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.

Deaf, dumb and blind - so they will not return [to the right path].

Tafsir
Jalalain

(Mereka tuli) terhadap kebenaran, maksudnya tidak mau menerima kebenaran yang didengarnya (bisu) terhadap kebaikan hingga tidak mampu mengucapkannya

(buta) terhadap jalan kebenaran dan petunjuk Allah sehingga tidak dapat melihatnya, (maka mereka tidaklah akan kembali) dari kesesatan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 18 |

Penjelasan ada di ayat 17

Surat Al-Baqarah |2:19|

أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ ۚ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ

au kashoyyibim minas-samaaa`i fiihi zhulumaatuw wa ro'duw wa barq, yaj'aluuna ashoobi'ahum fiii aażaanihim minash-showaa'iqi ḥażarol-mauut, wallohu muḥiithum bil-kaafiriin

Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir.

Or [it is] like a rainstorm from the sky within which is darkness, thunder and lightning. They put their fingers in their ears against the thunderclaps in dread of death. But Allah is encompassing of the disbelievers.

Tafsir
Jalalain

(Atau) perumpamaan mereka itu, (seperti hujan lebat) maksudnya seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat; asal kata shayyibin dari shaaba-yashuubu, artinya turun (dari langit)

maksudnya dari awan (padanya) yakni pada awan itu (kegelapan) yang tebal, (dan guruh) maksudnya malaikat yang mengurusnya.

Ada pula yang mengatakan suara dari malaikat itu, (dan kilat) yakni kilatan suara yang dikeluarkannya untuk menghardik, (mereka menaruh) maksudnya orang-orang yang ditimpa hujan lebat tadi

(jari-jemari mereka) maksudnya dengan ujung jari, (pada telinga mereka, dari) maksudnya disebabkan (bunyi petir) yang amat keras itu supaya tidak kedengaran karena (takut mati) bila mendengarnya.

Demikianlah orang-orang tadi, jika diturunkan kepada mereka Alquran disebutkan kekafiran yang diserupakan dengan gelap gulita,

ancaman yang dibandingkan dengan guruh serta keterangan-keterangan nyata yang disamakan dengan kilat,

mereka menyumbat anak-anak telinga mereka agar tidak mendengarnya, karena takut akan terpengaruh lalu cenderung kepada keimanan yang akan menyebabkan mereka meninggalkan agama mereka,

yang bagi mereka sama artinya dengan kematian. (Dan Allah meliputi orang-orang kafir) baik dengan ilmu maupun dengan kekuasaan-Nya hingga tidak sesuatu pun yang luput dari-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 19 |

Tafsir ayat 19-20

Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh, dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.

Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.

Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.Ayat ini merupakan perumpamaan lain yang dibuat oleh Allah Swt.

yang menggambarkan keadaan orang-orang munafik. Mereka adalah kaum yang lahiriahnya kadangkala menampakkan Islam, dan kadangkala di lain waktu mereka ragu terhadapnya. Hati mereka yang berada dalam keraguan,

kekufuran, dan kebimbangan itu diserupakan dengan sayyib; makna sayyib ialah hujan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan sejumlah sahabat; juga menurut Abu Aliyah, Mu-jahid, Sa'id ibnu Jubair,

Ata, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Atiyyah, Al-Aufi, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Menurut Ad-Dahhak, makna sayyibun adalah awan.Tetapi menurut pendapat yang terkenal, artinya hujan yang turun dari langit.

Dalam keadaan gelap gulita maksudnya keraguan, kekufuran, dan kemunafikan; sedangkan maksud dari suara guruh ialah rasa takut yang mencekam hati, mengingat orang munafik itu selalu berada dalam ketakutan yang sangat dan rasa ngeri, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Lainnya, yaitu:


يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ


Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. (Al-Munafiqun: 4)


{وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ * لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ}


Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kalian; padahal mereka bukanlah dari golongan kalian, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut

(kepada kalian). Jikalau mereka memperoleh tempat perlindungan atau gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (At-Taubah: 56-57)Al-barqu artinya kilat,

sedangkan yang dimaksud ialah suatu hal yang berkilat di dalam hati golongan orang-orang munafik sebagai pertanda cahaya iman, hanya dalam waktu sebentar dan sekali-kali. Karena itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:


{يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ}


mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 19)Dengan kata lain, tiada gunanya sama sekali sikap waspada mereka, karena Allah dengan kekuasaan-Nya Maha Meliputi; mereka berada di bawah kehendak dan kekuasaan-Nya, sebagaimana yang dikatakan di dalam firman-Nya:


{هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْجُنُودِ * فِرْعَوْنَ وَثَمُودَ * بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي تَكْذِيبٍ * وَاللَّهُ مِنْ وَرَائِهِمْ مُحِيطٌ}


Sudahkah datang kepadamu berita kaum-kaum penentang, (yakni kaum) Fir'aun dan (kaum) Sarnud? Sesungguhnya orang-orang kafir selalu mendustakan, padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka. (Al-Buruj: 17-20)

Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan, "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena sifat cahaya kilat tersebut kuat dan keras, sedangkan pandangan mata mereka

(orang-orang munafik) lemah, dan hati mereka tidak mantap keimanannya.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Yakadul barqu yakhtafu absarahum" artinya

"hampir-hampir ayat-ayat muhkam Al-Qur'an membuka kedok orang-orang munafik".Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair,

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, "Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka." Dikatakan demikian karena kuatnya cahaya kebenaran.”Setiap kali kilat itu menyinari mereka,

mereka berjalan di bawah sinar itu; bila gelap gulita menimpa mereka, mereka berhenti." Manakala muncul seberkas cahaya iman di dalam diri mereka, lalu mereka merasa kangen dan mengikutinya,

tetapi di lain waktu muncul keraguan yang membuat hati mereka gelap dan berhenti dalam keadaan kebingungan.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya,

"Kullama ada-a lahum masyau fihi," artinya "manakala orang-orang munafik itu beroleh manfaat dari kejayaan Islam, mereka merasa tenang; tetapi bila Islam tertimpa cobaan, mereka bangkit kembali kepada kekufuran", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt.:


{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ [وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ] }


Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu; dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke belakang. (Al-Hajj: 11)

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Kullama ada-a lahum masyau fihi, wa iza azla-ma 'alaihim qamu" artinya

"manakala mereka mengetahui perkara yang hak dan membicarakannya, hal ini dimengerti melalui percakapan mereka berada dalam jalan yang lurus. Tetapi manakala mereka berbalik dari iman menjadi kafir, mereka berhenti,

maksudnya kebingungan. Demikianlah takwil Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddu berikut sanadnya, dari sejumlah sahabat. Pendapat inilah yang paling sahih dan paling kuat.

Demikianlah keadaan orang-orang munafik kelak di hari kiamat, yaitu di saat manusia diberi nur sesuai dengan kadar keimanan masing-masing. Di antara mereka ada orang yang diberi nur yang dapat menerangi perjalanan

yang jaraknya berpos-pos buatnya, bahkan lebih dari itu atau kurang dari itu. Di antara mereka ada yang nur-nya kadangkala padam dan kadangkala bercahaya. Di antara mereka ada yang dapat berjalan di atas sirat di suatu waktu,

sedangkan di waktu lainnya dia berhenti. Di antara mereka ada yang nur-nya padam (tidak menyala) sama sekali, mereka adalah orang-orang munafik militan yang digambarkan oleh firman-Nya:


{يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا}


Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya kalian." Dikatakan (kepada mereka),

"Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian)." (Al-Hadid: 13)Sehubungan dengan orang-orang mukmin di hari kiamat nanti, Allah Swt. menceritakan perihal mereka melalui firman-Nya:


{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ}


Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), "Pada hari ini ada berita gembira untuk kalian, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (Al-Hadid: 12)Dalam firman lainnya Allah Swt. mengatakan:


{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}


Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dia; sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,

"Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. (At-Tahrim: 8)Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:


{يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ}


Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, hingga akhir ayat. (Al-Hadid: 12)Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"مِنَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ يُضِيءُ نُورُهُ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى عَدَنَ، أَوْ بَيْنَ صَنْعَاءَ وَدُونَ ذَلِكَ، حَتَّى إِنَّ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ مَنْ لَا يُضِيءُ نُورُهُ إِلَّا مَوْضِعَ قَدَمَيْهِ"


Di antara orang-orang mukmin ada yang cahayanya dapat menyinari sejauh antara Madinah sampai 'Adn yang lebih jauh dari San'a, dan ada pula yang kurang dari itu, hingga sesungguhnya di antara orang-orang mukmin

ada yang cahayanya hanya dapat menyinari tempat kedua telapak kakinya saja.Hadis riwayat Ibnu Jarir, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Imran ibnu Daud Al-Qattan, dari Qatadah hadis yang semisal.

Hadis ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang me-ngatakan bahwa kepada mereka diberikan cahaya yang sesuai dengan amal perbuatan masing-masing;

di antara mereka ada yang diberi cahaya seperti pohon kurma, ada yang seperti seorang lelaki berdiri, se-dangkan yang paling kecil cahayanya di antara mereka ialah sebesar ibu jari, terkadang padam dan terkadang menyala.

Begitu pula menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Musanna, dari Ibnu Idris, dari ayahnya, dari Al-Minhal.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang pernah mendengar dari ayahnya yang menceritakan dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Qais ibnus Sakan, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan

dengan makna firmannya: sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim: 8) Yakni sesuai dengan kadar amal perbuatan masing-masing. Mereka melewati sirat, di antara mereka

ada yang cahayanya semisal gunung, ada pula yang seperti pohon kurma, dan orang yang paling kecil cahayanya di antara mereka ialah yang sebesar ibu jarinya, adakalanya bercahaya dan adakalanya padam.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Uqbah ib-nul Yaqzan, dari Ikrimah,

dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tiada seorang pun dari kalangan ahli tauhid melainkan diberi cahaya di hari kiamat kelak. Orang munafik cahayanya padam, orang muk-min merasa kasihan melihat orang-orang munafik

padam cahayanya, lalu orang-orang mukmin berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."Ad-Dahhak ibnu Muzahim mengatakan, setiap orang yang menampakkan keimanan di dunia kelak di hari kiamat

akan diberi cahaya. Tetapi bila sampai di sirat, maka padamlah cahaya orang-orang munafik. Ketika orang-orang mukmin melihat hal itu, mereka merasa kasihan, lalu berkata, "Wahai Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami."

Berdasarkan pengertian ini, maka manusia itu terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, yang mukmin secara murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut pada keempat ayat dari permulaan surat Al-Baqarah.

Kedua, orang-orang kafir murni, yaitu mereka yang sifat-sifatnya disebut dalam dua ayat berikutnya. Ketika orang-orang munafik terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan —yang dibuat perumpamaan api

bagi mereka— dan orang-orang munafik yang masih terombang-ambing dalam kemunafikannya. Adakalanya tampak bagi mereka berkas sinar iman, dan terkadang sinar iman padam dalam diri mereka; mereka adalah orang-orang

yang diumpamakan dengan air hujan. Golongan yang terakhir ini lebih ringan daripada golongan sebelumnya.Perumpamaan mengenai diri seorang mukmin ini ditinjau dari berbagai segi, mirip dengan apa yang disebut di dalam surat An-Nur,

yaitu tentang apa yang dijadikan oleh Allah di dalam kalbunya berupa hidayah dan cahaya. Hal ini diserupakan dengan pelita yang berada di dalam kaca, sedangkan kaca tersebut seakan-akan bintang mutiara yang bercahaya

dengan sendirinya. Demikianlah keadaan kalbu orang mukmin yang dijadikan secara fitrah beriman dan mendapat siraman dari syariah yang jernih secara langsung menyentuhnya tanpa kekeruhan dan tanpa ada campuran,

sebagaimana yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya, insya Allah.Kemudian Allah membuat perumpamaan buat hamba-hamba yang kafir, yaitu mereka yang menduga bahwa diri mereka beroleh suatu manfaat, padahal tiada suatu manfaat pun yang mereka peroleh. Mereka adalah orang-orang yang jahil murakkab, sebagaimana yang disebut di dalam firman-Nya:


{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا}


Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur. 39) Kemudian Allah Swt. membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah. Mereka adalah orang-orang yang disebut di dalam firman-Nya:


{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ}


Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya;

(dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun. (An-Nur: 40)Berdasarkan hal ini orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan, sebagaimana keduanya disebut di dalam permulaan surat Al-Hajj melalui firman-Nya:


{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ}


Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat. (Al-Hajj: 3)


{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ}


Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya. (Al-Hajj: 8)Allah telah mengklasifikasikan orang-orang mukmin

pada permulaan surat Al-Waqi'ah dan bagian akhirnya, sedangkan di dalam surat Al-Insan mereka terbagi menjadi dua bagian, yaitu orang-orang yang terdahulu mereka adalah golongan orang-orang muqarrabin (dekat dengan Allah);

dan golongan as-habul yamin, yaitu orang-orang yang bertakwa.Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang mukmin itu terdiri atas dua golongan, yaitu orang-orang yang dekat dengan Allah

dan orang-orang yang bertakwa. Orang-orang kafir pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu orang-orang kafir militan dan orang-orang kafir muqallid (ikut-ikutan). Orang-orang munafik pun terbagi menjadi dua golongan, yaitu munafik militan dan munafik dari salah satu seginya saja, sebagaimana yang disebut di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Amr, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


"ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعها: مَنْ إِذَا حَدّث كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ"


Ada tiga perkara, barang siapa menyandang ketiganya, maka dia adalah orang munafik militan; dan barang siapa yang menyandang salah satunya, maka di dalam dirinya terdapat suatu pekerti munafik hingga ia meninggalkannya.

Yaitu orang yang apabila berbicara berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila dipercaya khianat.Berdasarkan hadis ini para ulama menyimpulkan bahwa di dalam diri seseorang itu adakalanya terdapat suatu cabang dari iman

dan suatu cabang dari sifat munafik, yang dalam realisasinya adakalanya berupa amali (perbuatan) berdasarkan hadis ini, atau berupa i'tiqadi (keyakinan) berdasarkan apa yang telah ditunjukkan oleh ayat tadi. Demikian pendapat segolongan ulama Salaf dan sejumlah ulama yang telah disebut di atas.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ يَعْنِي شَيْبَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ، فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزْهر، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصَفَّح، فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ الْمُنَافِقِ الْخَالِصِ، عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ، وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمُصَفَّحُ فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، ومَثَل الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ، يَمُدُّهَا الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ الْقُرْحَةِ يَمُدّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah (yakni Syaiban), dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Bukhturi, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa

Rasulullah Saw. pernah bersabda:Kalbu (manusia) itu ada empat macam, yaitu kalbu yang jernih, bagian dalamnya seperti pelita yang bercahaya, kalbu yang terbungkus dalam keadaan terikat oleh pembungkusnya, kalbu yang layu,

dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang jernih ialah kalbu orang mukmin, sedangkan pelita yang di dalam adalah cahayanya. Adapun kalbu yang terbungkus ialah (perumpamaan) kalbu orang kafir, sedangkan kalbu yang layu ialah

kalbu orang munafik murni (militan); pada mulanya mengetahui (perkara yang hak), kemudian mengingkarinya. Kalbu yang terlapisi ialah kalbu yang di dalamnya terdapat iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu

adalah seperti sayuran yang selalu diberi air yang baik, sedangkan perumpamaan nifaq adalah seperti luka yang selalu mengeluarkan nanah dan darah. Maka yang mana pun di antara kedua benda yang diperumpamakan itu lebih kuat daripada yang lainnya, berarti ia dapat mengalahkannya.Hadis ini berpredikat jayyid lagi hasan. Allah SWT telah berfirman:


{وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ}


Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah: 20)Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku

Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa demikian itu terjadi setelah mereka mengetahui perkara hak, lalu mereka meninggalkannya.

Innallaha 'ala kulli syaiin qadir, menurut Ibnu Abbas artinya 'bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa terhadap semua hal yang di-kehendaki-Nya atas hamba-hamba-Nya berupa pembalasan atau ampunan'.Ibnu Jarir mengatakan,

sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan sifat Kuasa terhadap segala sesuatu dalam hal ini, karena Dia bertindak memperingatkan terhadap orang-orang munafik akan azab dan siksanya.

Allah memberitakan kepada mereka bahwa Dia Maha Meliputi mereka dan Mahakuasa untuk menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Makna lafaz qadir adalah qadir, sama halnya dengan lafaz 'alim bermakna 'alim.

Ibnu Jarir dan orang-orang yang mengikutinya dari kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa kedua perumpamaan yang dibuat oleh Allah ini menggambarkan keadaan suatu golongan dari orang-orang munafik. Dengan demikian, berarti huruf au yang terdapat di dalam firman-Nya, "Au kasayyibim minas sama," bermakna wawu. Perihalnya sama dengan yang terdapat di dalam firman lainnya, yaitu:


{وَلا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا}


Dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. (Al-Insan: 24)Atau huruf au ini bermakna takhyir (pilihan), dengan kata lain 'aku buatkan perumpamaan ini bagi mereka

atau jika kamu suka perumpamaan lainnya'.Imam Qurtubi mengatakan bahwa huruf au di sini menunjukkan makna tasawi (persamaan atau pembanding), misalnya dikatakan: "Bergaullah kamu dengan Al-Hasan atau Ibnu Sirin."

Demikian yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari, yaitu masing-masing dari keduanya memiliki persamaan dengan yang lain dalam hal boleh bergaul. Dengan demikian, berarti makna ayat menunjukkan mana saja di antara perumpamaan ini

atau yang lainnya untuk menggambarkan mereka dinilai sesuai dengan keadaan mereka.Menurut kami, perumpamaan ini dikemukakan berdasarkan jenis orang-orang munafik, karena sesungguhnya mereka terdiri atas berbagai macam

tingkatan dan memiliki keadaan serta sifat masing-masing, sebagaimana yang disebut di dalam surat Bara-ah (At-Taubah) dengan memakai ungkapan waminhum (dan di antara mereka) secara berulang-ulang.

Setiap kali disebut lafaz waminhum, dijelaskan keadaan dan sifat-sifat mereka, ciri khas perbuatan serta ucapan mereka. Maka menginterpretasikan kedua perumpamaan ini buat dua golongan di antara mereka (orang-orang munaflk)

lebih tepat dan lebih sesuai dengan keadaan dan sifat-sifat mereka.Allah Swt. telah membuat dua perumpamaan bagi dua jenis orang-orang kafir —yaitu orang kafir militan dan orang kafir ikut-ikutan— melalui firman-Nya di dalam surat An-Nur, yaitu:


{وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ}


Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nur: 39)


{أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ}


Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam. (An-Nur: 40)Perumpamaan yang pertama ditujukan untuk orang kafir militan, yaitu mereka yang jahil murakkab (mereka tidak mengetahui bahwa dirinya tidak tahu);

sedangkan yang kedua ditujukan untuk orang kafir yang kebodohannya tidak terlalu parah, yaitu mereka dari kalangan para pengikut dan yang membebek kepada para pemimpinnya.

Surat Al-Baqarah |2:20|

يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ ۖ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

yakaadul-barqu yakhthofu abshoorohum, kullamaaa adhooo`a lahum masyau fiihi wa iżaaa azhlama 'alaihim qoomuu, walau syaaa`allohu lażahaba bisam'ihim wa abshoorihim, innalloha 'alaa kulli syai`ing qodiir

Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

The lightning almost snatches away their sight. Every time it lights [the way] for them, they walk therein; but when darkness comes over them, they stand [still]. And if Allah had willed, He could have taken away their hearing and their sight. Indeed, Allah is over all things competent.

Tafsir
Jalalain

(Hampir saja) maksudnya mendekati (kilat menyambar penglihatan mereka) merebutnya dengan cepat. (Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan padanya) maksudnya pada cahaya atau di bawah sinarnya,

(dan bila gelap menimpa mereka, mereka pun berhenti) sebagai tamsil dari bukti-bukti keterangan ayat-ayat Alquran yang mengejutkan hati mereka.

Mereka membenarkannya setelah mendengar padanya hal-hal yang mereka senangi sehingga mereka berhenti dari apa-apa yang dibencinya.

(Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dilenyapkan-Nya pendengaran dan penglihatan mereka) baik yang lahir maupun yang batin (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) yang dikehendaki-Nya,

termasuk apa-apa yang telah disebutkan tadi.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 20 |

Penjelasan ada di ayat 19

Surat Al-Baqarah |2:21|

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

yaaa ayyuhan-naasu'buduu robbakumullażii kholaqokum wallażiina ming qoblikum la'allakum tattaquun

Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.

O mankind, worship your Lord, who created you and those before you, that you may become righteous -

Tafsir
Jalalain

(Hai manusia!) Maksudnya warga Mekah, (Sembahlah olehmu) dengan bertauhid atau mengesakan (Tuhanmu yang telah menciptakanmu)

padahal sebelum itu kamu dalam keadaan tiada (dan) diciptakan-Nya pula (orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa),

artinya terpelihara dari siksa dan azab-Nya yakni dengan jalan beribadah kepada-Nya. Pada asalnya 'la`alla' mengungkapkan harapan, tetapi pada firman Allah berarti menyatakan kepastian.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 21 |

Tafsir ayat 21-22

Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air

(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.Allah Swt.

menjelaskan tentang sifat uluhiyyah-Nya Yang Maha Esa, bahwa Dialah yang memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka dari tiada ke alam wujud, lalu melimpahkan kepada mereka segala macam nikmat lahir

dan batin. Allah menjadikan bagi mereka bumi sebagai hamparan buat tempat mereka tinggal, diperkokoh kestabilannya dengan gunung-gunung yang tinggi lagi besar; dan Dia menjadikan langit sebagai atap, sebagaimana disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:


{وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ}


Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32)Allah menurunkan air hujan dari langit bagi mereka.

Yang dimaksud dengan lafaz as-sama dalam ayat ini ialah awan yang datang pada waktunya di saat mereka memerlukannya. Melalui hujan, Allah menumbuhkan buat mereka berbagai macam tumbuhan yang menghasilkan banyak jenis buah,

sebagaimana yang telah disaksikan. Hal tersebut sebagai rezeki buat mereka, juga buat ternak mereka, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ayat lainnya. Di antara ayat-ayat tersebut yang paling dekat pengertiannya dengan maksud ini ialah firman-Nya:


{اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ}


Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kalian, lalu membaguskan rupa kalian serta memberi kalian rezeki dengan sebagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah

Tuhan kalian, Maha-agung Allah, Tuhan semesta alam. (Al-Mu’min: 64)Kesimpulan makna yang dikandung ayat ini ialah bahwa Allah adalah Yang Menciptakan, Yang memberi rezeki, Yang memiliki rumah ini serta para penghuninya,

dan Yang memberi mereka rezeki. Karena itu, Dia sematalah Yang harus disembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam ayat lain:


{فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}


Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 22)Di dalam hadis Sahihain disebutkan dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:


قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا، وهو خلقك" الحديث


Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab, "Bila kamu mengadakan sekutu bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu,'" hingga akhir hadis. Demikian pula yang disebutkan di dalam hadis Mu'az yang menyebutkan.


"أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ؟ أَنْ يَعْبُدُوهُ لَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا" الْحَدِيثَ


Tahukah kamu apa hak Allah yang dibebankan pada hamba-hamba-Nya?" lalu disebutkan, "Hendaklah mereka menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun," hingga akhir hadis. Di dalam hadis lain disebutkan seperti berikut:


"لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ"


Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian mengatakan, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah, dan yang dikehendaki oleh si Fulan," tetapi hendaklah ia mengatakan, "Ini yang dikehendaki oleh Allah" kemudian, "Ini yang dikehendaki oleh si Fulan.


قَالَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ، عَنْ رِبْعيِّ بْنِ حِرَاش، عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ سَخْبَرَة، أَخِي عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ لِأُمِّهَا، قَالَ: رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ، كَأَنِّي أَتَيْتُ عَلَى نَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ فَقَالُوا: نَحْنُ الْيَهُودُ، قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: عُزَير ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ. قَالَ: ثُمَّ مَرَرْتُ بِنَفَرٍ مِنَ النَّصَارَى، فَقُلْتُ: مَنْ أَنْتُمْ؟ قَالُوا: نَحْنُ النَّصَارَى. قُلْتُ: إِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ. قَالُوا: وَإِنَّكُمْ لَأَنْتُمُ الْقَوْمُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ. فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَخْبَرْتُ بِهَا مَنْ أَخْبَرْتُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: "هَلْ أَخْبَرْتَ بِهَا أَحَدًا؟ " فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَامَ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ طُفيلا رَأَى رُؤْيَا أَخْبَرَ بِهَا مَنْ أَخْبَرَ مِنْكُمْ، وَإِنَّكُمْ قُلْتُمْ كَلِمَةً كَانَ يَمْنَعُنِي كَذَا وَكَذَا أَنْ أَنْهَاكُمْ عَنْهَا، فَلَا تَقُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ مُحَمَّدٌ، وَلَكِنْ قُولُوا: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ".


Hammad ibnu Salimah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Tufail ibnu Sakhbirah (saudara lelaki ibu Siti Aisyah r.a.) yang menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya

seakan-akan berada di tengah-tengah orang-orang Yahudi, lalu ia bertanya (kepada mereka), "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang Yahudi." Ia berkata, "Sesungguhnya kalian benar-benar merupakan

suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa Uzair anak laki-laki Allah." Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kalian pun merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa ini apa yang dikehendaki oleh Allah

dan yang dikehendaki oleh Muhammad." Kemudian Tufail bersua dengan segolongan orang-orang Nasrani, lalu ia bertanya, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami orang-orang Nasrani." Ia berkata, "Sesungguhnya

kalian benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kalian tidak mengatakan bahwa Al-Masih anak laki-laki Allah." Mereka berkata, "Dan sesungguhnya kamu pun benar-benar merupakan suatu kaum jikalau kamu tidak mengatakan

bahwa ini adalah apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad." Pada pagi harinya Tufail menceritakan mimpi itu kepada sebagian orang yang biasa mengobrol dengannya, kemudian ia datang kepada Nabi Saw.

dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Nabi Saw. bertanya, "Apakah engkau telah menceritakannya kepada seseorang?" Ia menjawab, "Ya." Maka Nabi Saw. berdiri, lalu memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya. Setelah itu beliau Saw.

bersabda: Amma ba'du, sesungguhnya Tufail telah melihat sesuatu dalam mimpinya yang telah ia ceritakan kepada sebagian orang di antara kalian yang menerima berita darinya. Sesungguhnya kalian telah mengatakan suatu kalimat

yang pada mulanya aku terhalang oleh anu dan anu untuk melarang kalian mengatakannya. Maka sekarang janganlah kalian mengatakan, "Ini adalah apa yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh Muhammad" melainkan katakanlah, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah semata."

Demikian riwayat Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengenai ayat ini melalui hadis Hammad ibnu Salimah dengan lafaz yang sama. Hadis ini diketengahkan pula oleh Ibnu Majah dari jalur lain melalui Abdul Malik ibnu Umair dengan lafaz yang sama atau semisal.


قَالَ سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْأَجْلَحِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْكِنْدِيِّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ. فَقَالَ: "أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا؟ قُلْ: مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ".


Sufyan ibnu Sa'id As-Sauri mengatakan dari Al-Ajlah ibnu Abdullah Al-Kindi, dari Yazid ibnul Asam, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw., "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan olehmu." Maka Nabi Saw. bersabda, "Apakah engkau menjadikan diriku sebagai tandingan Allah! Katakanlah, 'Inilah yang dikehendaki oleh Allah semata'"

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih. Imam Nasai serta Imam Ibnu Majah telah mengetengahkannya dari hadis Isa ibnu Yunus. dari Al-Ajlah dengan lafaz yang sama. Semua itu ditandaskan demi memelihara dan melindungi ketauhidan.

Muhammad ibnu Ishak mengatakan, telah menceritakan kepada-nya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai manusia,

sembahlah Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 21) Ayat ini ditujukan kepada kedua golongan secara keseluruhan, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dengan kata lain, esakanlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian.

Hal yang sama dikatakan pula dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekulu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 22) Maksudnya,

janganlah kalian mempersekutukan Allah dengan selain-Nya, yaitu dengan tandingan-tandingan yang tidak dapat menimpakan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat, padahal kalian mengetahui bahwa tidak ada Tuhan

yang memberi rezeki kepada kalian selain Allah. Kalian telah mengetahui apa yang diserukan oleh Muhammad kepada kalian —yaitu ajaran tauhid— adalah perkara yang hak yang tiada keraguan di dalamnya. Demikian pula menurut Qatadah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Dahhak ibnu Mukhallad alias Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya, "Fala taj'alu lillahi andadan." Istilah andad yaitu sama dengan mempersekutukan Allah, syirik itu lebih samar daripada rangkakan semut di atas batu hitam yang licin di dalam kegelapan malam. Contoh perbuatan syirik (atau mempersekutukan Allah) ialah ucapan seseorang, "Demi Allah dan demi hidupmu, hai Fulan, dan demi hidupku." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada anjing, niscaya maling akan datang ke rumah kami

tadi malam," atau "Seandainya tidak ada angsa, niscaya maling memasuki rumah kami." Demikian pula ucapan seseorang kepada temannya, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki olehmu." Juga ucapan, "Seandainya tidak ada Allah dan si Fulan," semuanya itu merupakan perkataan yang menyebabkan kemusyrikan.

Di dalam hadis disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah Saw., "Ini adalah yang dikehendaki Allah dan yang dikehendaki olehmu." Maka beliau Saw. bersabda:


"أَجَعَلْتَنِي لِلَّهِ نِدًّا"


Apakah kamu menjadikan diriku sebagai tandingan Allah?Di dalam hadis lain disebutkan:


"نِعْمَ الْقَوْمُ أَنْتُمْ، لَوْلَا أَنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ، تَقُولُونَ: مَا شَاءَ اللَّهُ، وَشَاءَ فُلَانٌ".


Sebaik-baik kaum adalah kalian jikalau kalian tidak melakukan tandingan (terhadap Allah), (karena) kalian mengatakan, "Ini adalah yang dikehendaki oleh Allah dan yang dikehendaki oleh si Fulan."

Abul Aliyah mengatakan, makna andadan dalam firman-Nya, "Fala taj'alu lillahi andadan," ialah tandingan dan sekutu. Demikian dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Abu Malik, dan Ismail ibnu Abu Khalid.

Mujahid mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Wa-antum ta'-lamuna," ialah sedangkan kalian mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab Taurat dan kitab Injil.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا أَبُو خَلَفٍ مُوسَى بْنُ خَلَفٍ، وَكَانَ يُعَد مِنَ البُدَلاء، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ سَلَّامٍ، عَنْ جَدِّهِ مَمْطُورٍ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَشْعَرِيِّ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، أَمَرَ يَحْيَى بْنَ زَكَرِيَّا، عَلَيْهِ السَّلَامُ، بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ يَعْمَلَ بِهِنَّ، وَأَنْ يَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَكَانَ يُبْطِئُ بِهَا، فَقَالَ لَهُ عِيسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ: إِنَّكَ قَدْ أُمِرْتَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ تَعْمَلَ بِهِنَّ وَتَأْمُرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَعْمَلُوا بِهِنَّ، فَإِمَّا أَنْ تُبْلِغَهُنَّ، وَإِمَّا أَنْ أُبْلِغَهُنَّ. فَقَالَ: يَا أَخِي، إِنِّي أَخْشَى إِنْ سَبَقْتَنِي أَنْ أُعَذَّبَ أَوْ يُخْسَفَ بِي". قَالَ: "فَجَمَعَ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، حَتَّى امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ، فَقَعَدَ عَلَى الشَّرَفِ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ أَعْمَلَ بِهِنَّ، وَآمُرَكُمْ أَنْ تَعْمَلُوا بِهِنَّ، وَأَوَّلُهُنَّ: أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ لَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ مَثَل رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بوَرِق أَوْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَعْمَلُ وَيُؤَدِّي غَلَّتَهُ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ فَأَيُّكُمْ يَسُرُّهُ أَنْ يَكُونَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ؟ وَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَكُمْ وَرَزَقَكُمْ فَاعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلَا تَلْتَفِتُوا. وَأَمَرَكُمْ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ مَعَهُ صُرَّةً مِنْ مِسْكٍ فِي عِصَابَةٍ، كُلُّهُمْ يَجِدُ رِيحَ الْمِسْكِ. وَإِنَّ خُلُوفَ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللَّهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ. وَأَمَرَكُمْ بِالصَّدَقَةِ؛ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسَرَهُ الْعَدُوُّ، فَشَدُّوا يَدَيْهِ إِلَى عُنُقِهِ، وَقَدَّمُوهُ لِيَضْرِبُوا عُنُقَهُ، فَقَالَ لهم: هل لكم أن أفتدي نَفْسِي ؟ فَجَعَلَ يَفْتَدِي نَفْسَهُ مِنْهُمْ بِالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ حَتَّى فَكَّ نَفْسَهُ. وَأَمَرَكُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ كَثِيرًا؛ وَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ طَلَبَهُ الْعَدُوُّ سِراعا فِي أَثَرِهِ، فَأَتَى حِصْنًا حَصِينًا فَتَحَصَّنَ فِيهِ، وَإِنَّ الْعَبْدَ أَحْصَنُ مَا يَكُونُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِذَا كَانَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ". قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَأَنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِي بِهِنَّ: الْجَمَاعَةُ، وَالسَّمْعُ، وَالطَّاعَةُ، وَالْهِجْرَةُ، وَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قيدَ شِبْر فَقَدْ خَلَعَ رِبْقة الْإِسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ، إِلَّا أَنْ يُرَاجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ فَهُوَ مِنْ جِثِيِّ جَهَنَّمَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى ؟ فَقَالَ: "وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ؛ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِأَسْمَائِهِمْ عَلَى مَا سَمَّاهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf (yaitu Musa ibnu Khalaf, beliau termasuk wali abdal), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir,

dari Zaid ibnu Salam, dari kakeknya (Mamtur), dari Al-Haris Al-Asy'ari, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt. memerintahkan kepada Yahya ibnu Zakaria a.s. untuk mengamalkan lima kalimat

dan memerintahkan kepada Bani Israil untuk mengamalkannya. Akan tetapi, hampir saja Yahya a.s. terlambat mengamalkannya, lalu Isa a.s. berkata kepadanya, 'Sesungguhnya kamu telah diperintahkan untuk mengamalkan lima kalimat.

Kamu pun memerintahkan kepada Bani Israil agar mereka mengamalkannya. Apakah kamu yang menyampaikan, atau diriku yang menyampaikannya?' Yahya menjawab, 'Hai Saudaraku, sesungguhnya aku merasa takut jika kamu

yang menyampaikannya, nanti aku akan diazab atau dikutuk.' Kemudian Yahya ibnu Zakaria mengumpulkan kaum Bani Israil di Baitul Muqaddas hingga masjid menjadi penuh oleh mereka. Yahya duduk di atas tempat yang tinggi,

lalu memuji dan menyanjung Allah Swt. Kemudian ia mengatakan, 'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk mengamalkan lima kalimat. Dia memerintahkan pula kepada kalian agar mengamalkannya. Pertama,

hendaklah kalian menyembah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempersekutukan Allah itu seperti keadaan seorang lelaki yang membeli seorang budak

dengan uangnya sendiri secara murni, baik uang perak ataupun uang emas. Lalu si budak bekerja dan memberikan hasil penjualan jasanya itu kepada selain tuannya. Maka siapakah di antara kalian yang suka diperlakukan seperti demikian?

Sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang memberi rezeki kalian. Maka sembahlah Dia oleh kalian dan jangan kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah memerintahkan kalian untuk mengerjakan salat,

karena sesungguhnya Zat Allah berada di hadapan hamba-Nya selagi si hamba (yang sedang salat itu) tidak menoleh. Karena itu, apabila kalian sedang salat, janganlah kalian menoleh. Allah telah memerintahkan kalian puasa,

karena sesungguhnya perumpamaan puasa itu seperti keadaan seorang lelaki yang membawa sebotol minyak kesturi berada di tengah-tengah segolongan kaum, lalu mereka dapat mencium bau wangi minyak kesturinya.

Sesungguhnya bau mulut orang yang sedang puasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi. Allah memerintahkan kalian untuk bersedekah, karena sesungguhnya perurnpamaan sedekah itu seperti seorang laki-laki

yang ditawan musuh, dan mengikat kedua tangannya ke lehernya, lalu mengajukannya untuk menjalani hukuman pancung. Kemudian lelaki itu berkata, 'Bolehkah aku menebus diriku dari kalian?' Lalu lelaki itu menebus dirinya

dengan semua miliknya, baik yang bernilai murah maupun yang bernilai mahal, hingga dirinya terbebas. Allah memerintahkan kalian untuk berzikir dengan banyak mengingat Allah, karena sesungguhnya perurnpamaan hal ini

seperti keadaan seorang lelaki yang dikejar-kejar musuh yang memburunya dengan cepat dari belakang. Kemudian lelaki itu sampai ke suatu benteng, lalu ia berlindung di dalam benteng itu (dari kejaran musuhnya).

Sesungguhnya tempat yang paling kuat bagi seorang hamba untuk melindungi dirinya dari setan ialah bila ia selalu dalam keadaan berzikir mengingat Allah'."

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Dan aku perintahkan kalian untuk mengerjakan lima perkara yang telah diperintahkan oleh Allah kepadaku, yaitu (menetapi) jamaah (persatuan),

tunduk dan taat (kepada ulil amri), dan hijrah serta jihad di jalan Allah. Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jamaah dalam jarak satu jengkal, berarti dia telah rnenanggalkan ikalan Islam dari lehernya,

kecuali jika ia bertobat. Barang siapa yang memanggil dengan memakai seruan Jahiliyah. maka ia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan berlutut. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, sekalipun dia puasa dan salat?"

Beliau Saw. menjawab, "Sekalipun dia salat dan puasa, serta mengaku dirinya muslim. Maka panggillah orang-orang muslim dengan nama-namanya sesuai dengan nama yang telah diberikan oleh Allah buat mereka;

orang-orang muslim dan orang-orang mukmin adalah hamba-hamba Allah.Hadis ini berpredikat hasan, sedangkan syahid (bukti) dari hadis ini yang berkaitan dengan makna ayat yang sedang kita bahas ini ialah kalimat yang mengatakan,

"Dan sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian dan memberi kalian rezeki. Maka sembahlah Dia oleh kalian, dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun."

Ayat yang sedang kita bahas menunjukkan bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Kebanyakan ulama tafsir —seperti Ar-Razi dan lain-lainnya— menyimpulkan dalil dari hadis ini adanya Tuhan

Yang Maha Pencipta, sama halnya dengan ayat yang sedang kita bahas secara lebih prioritas. Karena sesungguhnya orang yang merenungkan semua keberadaan alam bagian bawah dan bagian atas berikut berbagai ragam bentuk,

warna, watak, manfaat (kegunaan), dan peletakannya dalam posisi yang tepat, semua itu menunjukkan kekuasaan Penciptanya, kebijaksanaan-Nya, pengetahuan-Nya serta keahlian-Nya, dan kebesaran kekuasaan-Nya.

Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh sebagian orang Arab ketika ditanya, "Manakah bukti yang menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Tinggi?" Maka dia menjawab, "Subhanallah (Mahasuci Allah),

sesungguhnya kotoran unta menunjukkan adanya unta, jejak kaki menunjukkan adanya orang yang lewat. Langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki gunung-gunung serta lautan yang memiliki ombak-ombak, bukankah semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui?"

Ar-Razi meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa Ar-Rasyid pernah bertanya kepadanya mengenai masalah ini, lalu Imam Malik membuktikan dengan adanya berbagai macam bahasa, suara, dan irama.

Disebutkan oleh Abu Hanifah bahwa ada sebagian orang Zindiq bertanya kepadanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, "Biarkanlah aku berpikir sejenak untuk mengingat suatu hal

yang pernah diceritakan kepadaku. Mereka menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah perahu di tengah laut yang berombak besar, di dalamnya terdapat berbagai macam barang dagangan, sedangkan di dalam perahu itu

tidak terdapat seorang pun yang menjaganya dan tiada seorang pun yang mengendalikannya. Tetapi sekalipun demikian perahu tersebut berangkat dan tiba berlayar dengan sendirinya, dapat membelah ombak yang besar

hingga selamat dari bahaya. Perahu itu dapat berlayar dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya." Mereka berkata, "Ini adalah suatu hal yang tidak akan dikatakan oleh orang yang berakal."

Maka Abu Hanifah berkata, "Celakalah kamu, semua alam wujud berikut apa yang ada padanya mulai dari alam bagian bawah dan bagian atas, semua yang terkandung di dalamnya berupa berbagai macam benda yang teratur ini,

apakah tidak ada penciptanya?" Akhirnya kaum Zindiq itu terdiam dan mereka sadar, lalu kembali kepada perkara yang hak dan semuanya masuk Islam di tengah Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Imam Syafii bahwa ia pernah ditanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, maka ia menjawab bahwa ini adalah daun at-tut yang rasanya sama. Daun ini bila dimakan ulat sutera dapat menghasilkan benang

sutera; bila dimakan lebah, keluar darinya madu; bila dimakan kambing dan sapi atau unta, menjadi kotoran yang tercampakkan (menjadi pupuk); dan bila dimakan oleh kijang, maka keluar dari tubuh kijang itu bibit minyak kesturi, padahal daunnya berasal dari satu jenis.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah ini, ia menjawab bahwa ada sebuah benteng yang kuat lagi licin, tidak mempunyai pintu dan tidak mempunyai lubang. Bagian luarnya putih seperti perak,

sedangkan bagian dalamnya kuning mirip emas. Ketika benteng tersebut dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah dan keluarlah darinya seekor hewan yang dapat mendengar dan melihat, bentuk dan suaranya lucu. Dia bermaksud menggambarkan telur bila menetas.Abu Nuwas pernah ditanya mengenai masalah ini. Ia berkata melalui syair-syairnya, yaitu:


تَأَمَّلْ فِي نَبَاتِ الْأَرْضِ وَانْظُرْ ... إِلَى آثَارِ مَا صَنَعَ الْمَلِيكُ ... عُيُونٌ مِنْ لُجَيْنٍ شَاخِصَاتٌ ... بِأَحْدَاقٍ هِيَ الذَّهَبُ السَّبِيكُ ... عَلَى قُضُبِ الزَّبَرْجَدِ شَاهِدَاتٌ ... بِأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ لَهُ شَرِيكُ ...


Renungkanlah kejadian tumbuh-tumbuhan di bumi ini dan perhatikanlah hasil-hasil dari apa yang telah dibuat oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Air yang jernih bak perak memenuhi parit-parit yang bagaikan emas cetakan mengairi lahan-lahan yang indah bagaikan batu permata zabarjad, semuanya itu merupakan saksi yang membuktikan bahwa Allah tiada sekutu bagi-Nya.Ibnul Mu'taz mengatakan:


فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ ... وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ ...


Alangkah anehnya, bagaimanakah seseorang berbuat durhaka kepada Tuhan, dan bagaimanakah seseorang mengingkari-Nya, padahal segala sesuatu merupakan pertanda baginya yang menunjukkan bahwa Tuhan adalah Esa.

Ulama lainnya mengatakan, "Barang siapa yang merenungkan ketinggian langit ini, keluasannya, dan semua yang ada padanya berupa bintang yang bercahaya —baik yang kecil maupun yang besar— dan bintang-bintang

yang beredar pada garis edarnya serta yang tetap, niscaya semua itu memberikan kesimpulan kepadanya akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Barang siapa yang menyaksikan bagaimana bintang-bintang tersebut berputar

pada dirinya sendiri setiap sehari semalam sekali putaran dalam tata surya yang maha luas itu, sedangkan masing-masing mempunyai garis edarnya sendiri; dan barang siapa yang memperhatikan lautan yang meliputi daratan

dari berbagai arah, gunung-gunung yang dipancangkan di bumi agar stabil dan para penghuninya yang terdiri atas berbagai macam jenis dan bentuk serta warnanya, niscaya menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman-Nya:


{وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ * وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}


Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ragam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-bina-tang melata dan binatang-binatang ternak

ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir. 27-28)

Demikian pula sungai-sungai yang membelah dari suatu negeri ke negeri yang lain, membawa banyak manfaat. Semua yang diciptakan di muka bumi berupa bermacam-macam makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan yang berbeda-beda rasanya,

dan berbagai macam bunga yang beraneka ragam warnanya, padahal tanah dan airnya sama; semua itu menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan kekuasaan serta kebijaksanaan-Nya Yang Mahabesar.

Juga menunjukkan rahmat-Nya kepada semua makhluk-Nya, lemah lembut, kebajikan dan kebaikan-Nya kepada mereka; tiada Tuhan selain Allah dan Tiada Rabb selain Dia, hanya kepada-Nyalah aku bertawakal dan kembali. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan pengertian ini sangat banyak.

Surat Al-Baqarah |2:22|

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

allażii ja'ala lakumul-ardho firoosyaw was-samaaa`a binaaa`aw wa anzala minas-samaaa`i maaa`an fa akhroja bihii minaṡ-ṡamarooti rizqol lakum, fa laa taj'aluu lillaahi andaadaw wa antum ta'lamuun

(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.

[He] who made for you the earth a bed [spread out] and the sky a ceiling and sent down from the sky, rain and brought forth thereby fruits as provision for you. So do not attribute to Allah equals while you know [that there is nothing similar to Him].

Tafsir
Jalalain

(Dialah yang telah menjadikan) menciptakan (bagimu bumi sebagai hamparan), yakni hamparan yang tidak begitu keras dan tidak pula begitu lunak sehingga tidak mungkin didiami secara tetap

(dan langit sebagai naungan) sebagai atap (dan diturunkan-Nya dari langit air hujan lalu dikeluarkan-Nya daripadanya) maksudnya bermacam (buah-buahan sebagai rezeki bagi kamu)

buat kamu makan dan kamu berikan rumputnya pada binatang ternakmu (maka janganlah kamu adakan sekutu-sekutu bagi Allah), artinya serikat-serikat-Nya dalam pengabdian (padahal kamu mengetahui) bahwa Dia adalah pencipta,

sedangkan mereka itu tidak dapat menciptakan apa-apa, maka tidaklah layak disebut dan dikatakan tuhan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 22 |

Penjelasan ada di ayat 21

Surat Al-Baqarah |2:23|

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

wa ing kuntum fii roibim mimmaa nazzalnaa 'alaa 'abdinaa fa`tuu bisuurotim mim miṡlihii wad'uu syuhadaaa`akum min duunillaahi ing kuntum shoodiqiin

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur´an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar.

And if you are in doubt about what We have sent down upon Our Servant [Muhammad], then produce a surah the like thereof and call upon your witnesses other than Allah, if you should be truthful.

Tafsir
Jalalain

(Sekiranya kamu merasa ragu) atau bimbang (tentang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami) maksudnya tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada Muhammad,

bahwa itu benar-benar dari Allah, (maka buatlah sebuah surah yang sebanding dengannya) dengan surah yang diwahyukan itu. 'Min mitslihi', min yang berarti dari,

maksudnya di sini ialah untuk menjadi keterangan atau penjelasan, hingga artinya ialah yang sebanding dengannya,

baik dalam kedalaman makna maupun dalam keindahan susunan kata serta pemberitaan tentang hal-hal gaib dan sebagainya. Yang dimaksud dengan 'surah' ialah suatu penggal perkataan yang mempunyai permulaan kesudahan dan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga ayat.

(Dan ajaklah saksi-saksimu) maksudnya tuhan-tuhanmu yang kamu sembah itu (selain dari Allah) untuk menjadi penolong-penolongmu,

(jika kamu orang-orang yang benar) bahwa Alquran itu hanyalah buatan dan ucapan Muhammad belaka, maka cobalah lakukan demikian, bukankah kamu orang-orang yang berlidah fasih seperti Muhammad pula

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 23 |

Tafsir ayat 23-24

Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah,

jika kalian orang-orang yang memang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,

yang disediakan bagi orang-orang kafir.Kemudian Allah Swt. menetapkan masalah kenabian sesudah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Untuk itu, Allah mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya:


{وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا}


Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. (Al-Baqarah: 23)Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad Saw. Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan apa

yang didatangkan olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, maka tantanglah Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian

kehendaki selain Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhada-ukum artinya penolong-penolong kalian.Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhada-ukum

artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian yangmembantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongankepada tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.

Mujahid mengatakan bahwa makna wad'u syuhada-akum artinya orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.Allah Swt. menantang mereka untuk melakukan hal tersebut di lain ayat dari Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qashash:


{قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Katakanlah, "Datangkanlah oleh kalian sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian sungguh orang-orang yang benar." (Al-Qashash: 49) Di dalam surat Al-Isra disebutkan melalui firman-Nya:


{قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا}


Katakanlah.”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra: 88)Di dalam surat Hud Allah Swt. berfirman:


{أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, "(Jikalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)Di dalam surat Yunus Allah Swt. telah berfirman:


{وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Tidaklah mungkin Al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah duetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan)

dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa

yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar" (Yunus: 37-38)Semua ayat ini Makkiyyah, kemudian Allah menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyyah.

Untuk itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut: Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buailah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23)

Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir At-Tabari, Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan

peninjauan dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Swt. menantang mereka secara keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan; yang dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka

dan orang-orang yang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam tantangannya dan lebih mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang hanya ditujukan-kepada individu dari kalangan mereka yang ummi,

yaitu orang-orang yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmu pun. Sebagai buktinya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ}


maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya. (Hud: 13)


{لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ}


niscaya meraka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia. (Al-Isra : 88)Sebagian ulama mangatakan bahwa bimislihi artinya dari orang yang semisal dengan Muhammad saw. yakni dari seorang lelaki yang ummi seperti dia.

Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka dengan tantangan ini di Mekah dan di Madinah

beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Saw. dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi, sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:


{فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا}


Maka jika kalian tidak dapat (membuatnya), dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya). (Al-Baqarah: 24)Huruf lan bermakna menafikan untuk selamanya di masa mendatang, yakni kalian tidak akan mampu melakukannya

untuk selama-lamanya. Hal ini merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa Allah Swt. mengemukakan suatu berita yang pasti mendahului segalanya tanpa rasa khawatir dan takut bahwa Al-Qur'an ini tiada yang dapat membuat hal

yang semisal dengannya untuk selama - lamanya. Memang kenyataannya demikian, sejak diturunkan dari Allah Swt. sampai sekarang tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya. Tidak mungkin dan mustahil ada manusia

yang dapat melakukannya. Al-Qur'an merupakan Kalamullah Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, mana mungkin kalam Yang Maha Pencipta dapat diserupakan dengan kalam makhluk-Nya.Bagi orang yang memikirkan Al-Qur'an,

niscaya dia akan menjumpai di dalamnya berbagai mukjizat keindahan-keindahan yang Lahir dan yang tersembunyi yang berkaitan dengan segi lafaz dan segi maknanya.Allah Swt. telah berfirman:


{الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ}


Alif lam ra, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahawaspada. (Hud: 1)Lafaz-lafaz disusun dengan rapi dan kokoh,

makna-maknanya dijelaskan secara rinci, atau sebaliknya menurut pendapat yang berbeda-beda. Setiap lafaz dan makna Al-Qur'an adalah fasih belaka, tiada yang dapat menandinginya, tiada pula yang dapat sejajar dengannya.

Allah Swt. menceritakan banyak hal yang terjadi di masa silam yang kisah-kisahnya terpendam, lalu kisahnya diangkat kembali sesuai dengan kejadiannya tanpa ada kekurangan sama sekali. Allah memerintahkan kepada semua perkara yang baik dan melarang setiap perbuatan yang buruk.Allah Swt. telah berfirman:


{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا}


Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)Dengan kata lain, benar dalam pemberitaan dan adil dalam hukum; semuanya adalah hak, benar, adil, dan petunjuk.

Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat spekulasi, tiada dusta, dan tiada buat-buatan, sebagaimana yang dijumpai dalam banyak syair Arab dan lain-lainnya yang dipenuhi dengan kedustaan dan spekulasi yang tidak akan indah syair-syair

mereka bila tidak disertai dengan kedustaan dan spekulasi. Sebagaimana yang dikatakan bahwa syair yang paling indah ialah yang paling dusta.Dijumpai dalam kasidah-kasidah yang panjang lagi bertele-tele, kebanyakan isinya

hanya menceritakan wanita, kuda, khamr; atau memuji orang tertentu, unta, peperangan, kejadian, hal yang menakutkan atau sesuatu pemandangan yang tiada mengandung suatu faedah selain hanya menunjukkan kemampuan si penyair

yang bersangkutan dalam menggambarkan sesuatu yang samar lagi lembut (jelimet), atau menampilkannya ke dalam gambaran yang jelas. Kemudian dijumpai satu bait, dua bait, atau lebih mencakup isi seluruh kasidah, sedangkan yang lainnya

tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya selain hanya bertele-tele.Adapun Al-Qur'an. seluruhnya fasih lagi berparamasastra sangat tinggi bagi orang yang mengetahui hal tersebut secara rinci dan secara global dari kalangan orang-orang

yang mengerti bahasa Arab dan seni ungkapan mereka. Karena sesungguhnya jika kamu renungkan berita-beritanya, niscaya kamu menjumpainya sangat indah, baik yang diungkapkan dalam bentuk panjang ataupun ringkas.

Sama saja apakah ungkapannya berulang atau tidak, sebab setiap kali berulang dirasakan bertambah indah dan anggun, tidak bosan membacanya, dan para ulama tidak pernah merasa jenuh.Apabila Al-Qur'an mengungkapkan suatu ancaman

atau peringatan, hal ini diungkapkannya dalam bahasa yang membuat gunung yang bisu lagi kokoh itu akan bergetar, terlebih lagi kalbu manusia yang memahaminya. Apabila mengemukakan suatu janji, diungkapkan dalam gaya bahasa

yang membuat hati dan pendengaran manusia terbuka, merasa rindu kepada surga yang berada di sisi 'Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, sebagaimana yang dijelaskan dalam targib melalui firman-Nya:


{فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}


Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah: 17)


{وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}


Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya. (Az-Zukhruf: 71)Di dalam Bab "Tarhib" Allah Swt. telah berfirman:


{أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ}


Maka apakah kalian merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kalian. (Al-Isra: 68)


{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ}


Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncangl Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa)

di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk: 16-17)Dalam Bab "Peringatan" Allah Swt. telah berfirman:


{فَكُلا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ}


Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-nya. (Al-Ankabut 40)Dalam Bab "Nasihat (Pelajaran)" Allah Swt. telah berfirman:


{أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ * ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ * مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يُمَتَّعُونَ}


Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka

selalu menikmatinya. (Asy-Syu'ara: 205-207)Masih banyak ayat lainnya yang mengandung berbagai macam fasahah. paramasastra. dan keindahan. Apabila ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan perihal hukum-hukum, perintah-perintah,

dan larangan-larangan. maka setiap perintah selalu mengandung semua perkara makruf, baik, bermanfaat, dan larangan terhadap setiap perbuatan yang buruk, hina, dan rendah.Ibnu Mas'ud r.a. dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf

mengatakan, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung kebaikan yang akan diperintahkan oleh-Nya atau keburukan yang dilarang oleh-Nya." Allah Swt. telah berfirman:


{يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ}


Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka

beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-A'raf: 157)Apabila ayat-ayat menerangkan gambaran tentang hari kiamat berikut semua kesusahan dan kengerian yang terdapat di dalamnya, gambaran tentang surga,

neraka, dan semua yang disediakan oleh Allah buat kekasih-kekasih-Nya serta musuh-musuhnya, yaitu kenikmatan dan neraka, serta perlindungan dan siksa yang pedih, maka diungkapkannya dalam bentuk berita gembira, larangan,

serta peringatan. Yaitu ungkapan yang mendorong untuk mengerjakan semua kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran, mendorong untuk berzuhud terhadap duniawi serta lebih suka kepada pahala di akhirat, dan memperteguh jalan

yang penuh dengan keteladanan, memberikan petunjuk ke jalan Allah yang lurus dan syariatnya yang tegak, serta membersihkan hati dari kotoran setan yang terkutuk. Karena itu, telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


"مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا قَدْ أعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إليَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Tiada seorang nabi pun melainkan telah dianugerahi suatu mukjizat yang disesuaikan dengan apa yang diimani oleh manusia di masanya. Dan sesungguhnya apa yang telah diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadaku,

maka aku berharap semoga aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya di antara semua nabi-nabi kelak di hari kiamat.Lafaz hadis ini berasal dari Imam Muslim. Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diberikan kepadaku hanyalah

berupa wahyu; aku mempunyai kekhususan tersendiri di antara mereka (para nabi), yaitu diberi wahyu Al-Qur'an ini yang melemahkan seluruh umat manusia untuk membuat hal yang semisal dengannya, lain halnya dengan kitab-kitab

samawi lainnya. Karena sesungguhnya kitab-kitab samawi selain Al-Qur'an menurut kebanyakan ulama bukan merupakan mukjizat. Tetapi Nabi Saw. selain memiliki mukjizat Al-Qur'an, memiliki pula mukjizat-mukjizat lainnya yang menunjukkan

kenabian dan kebenaran apa yang didatangkan olehnya, dan hal ini jumlahnya cukup banyak hingga tak terhitung; segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah.Sebagian ulama ahli Kalam ada yang menetapkan unsur i'jaz di dalam Al-Qur'an

dengan suatu metode yang mencakup antara pendapat ahli sunnah dan golongan mu'tazilah yang menyatakan sirfah. Dia mengatakan, jika Al-Qur'an ini mengandung i'jaz dengan sendirinya —yakni manusia tidak akan mampu mendatangkan

yang semisal dengannya dan di luar kemampuan mereka pula untuk menentangnya— berarti apa yang diakui benar-benar telah terjadi. Jika mereka mempunyai kemampuan untuk menentang Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengannya,

sedangkan mereka tidak mampu melakukannya, padahal mereka sangat memusuhinya. maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah; karena Allah men-sirfah (memalingkan) mereka

untuk dapat menentangnya (Al-Qur'an), padahal mereka mempunyai kemampuan untuk menentangnya dengan hal yang semisal. Analisis seperti ini —sekalipun kurang dapat diterima— mengingat Al-Qur'an itu sendiri mengandung mukjizat

yang membuat manusia tidak mampu menentangnya dengan hal yang semisal, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Hanya saja analisis ini dapat diterima dengan pengertian sebagai perumpamaan dan tantangan terhadap perkara yang hak.

Metode inilah yang dipakai oleh Ar-Razi dalam menjawab hipotesisnya di dalam kitab tafsirnya menyangkut surat yang pendek-pendek, seperti surat Al-'Asr dan Al-Kausar. *********** Allah Swt. telah berfirman:


{فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ}


Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24)Yang dimaksud dengan al-waqud ialah sesuatu yang dicampakkan ke dalam api untuk membesarkannya, seperti kayu bakar dan lain-lain-nya; sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:


{وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا}


Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin: 15)Allah Swt. telah berfirman pula:


{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ}


Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya. (Al-Anbiya: 98)Yang dimaksud al-hijarah dalam surat Al-Baqarah ini ialah batu pemantik api yang sangat besar,

hitam, keras, dan berbau busuk. Batu jenis ini paling panas jika dipanaskan, semoga Allah melindungi kita darinya.Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Amr ibnu Maimun,

dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Al-Baqarah: 24) Bahwa batu yang dimaksudkan adalah batu kibrit (pemantik api), Allah telah menciptakannya di saat Allah

menciptakan langit dan bumi, yaitu di langit yang paling rendah, sengaja disediakan buat orang-orang kafir. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan lafaz seperti ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Imam Hakim

di dalam kitab Mustadraknya; ia mengatakan bahwa dengan syarat Syaikhain.As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat

sehubungan dengan makna ayat ini. Adapun yang dimaksud dengan al-hijarah ialah batu yang ada di dalam neraka, yaitu batu kibrit berwarna hitam; mereka (orang-orang kafir) diazab di dalam neraka dengan batu itu dan api neraka.

Mujahid mengatakan bahwa hijarah ini berasal dari batu kibrit yang baunya lebih busuk daripada bangkai.Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan bahwa batu tersebut adalah batu kibrit.Ibnu Juraij mengatakan, batu tersebut adalah

batu kibrit hitam yang berada di dalam neraka. Menurut Amr ibnu Dinar, batu tersebut jauh lebih keras dan lebih besar daripada yang ada di dunia.Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dimaksudkan batu berhala dan tandingan-tandingan

yang disembah selain Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman lainnya, yaitu: Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam. (Al-Anbiya: 98)Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi

dan Ar-Razi yang menilainya lebih kuat daripada pendapat di atas. Ar-Razi mengatakan, dikatakan demikian karena bukan merupakan hal yang diingkari bila api mengejar batu kibrit, untuk itu lebih utama bila bahan bakar tersebut diartikan

sebagai batu-batuan jenis kibrit. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Ar-Razi masih kurang kuat, mengingat api itu apabila dibesarkan nyalanya dengan batu kibrit, maka panasnya lebih kuat dan nyalanya lebih besar.

Terlebih lagi diartikan seperti yang telah dikatakan oleh ulama Salaf, bahwa batu-batuan tersebut adalah batu kibrit yang disediakan untuk tujuan tersebut. Selanjutnya merupakan suatu hal yang nyata pula bila api dapat membakar

jenis batu-batuan lainnya, misalnya batu jas (kapur), jika dibakar dengan api, ia menyala, kemudian menjadi kapur. Demikian pula halnya semua batuan lainnya, bila dibakar oleh api pasti terbakar dan menjadi hancur.

Sesungguhnya hal ini dikaitkan dengan panasnya api neraka yang diancamkan kepada mereka. Juga dikaitkan dengan kebesaran nyalanya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya berikut ini:


{كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا}


Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)Demikian pendapat yang dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah batu-batuan yang dapat menambah

nyala api dan menambah derajat kepanasannya, dimaksudkan agar hal ini menambah keras siksaannya terhadap para penghuninya.Al-Qurtubi mengatakan pula, telah disebut sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:


"كُلُّ مُؤْذٍ فِي النَّارِ"


Setiap yang menyakitkan pasti ada dalam neraka.Hadis ini kurang dihafal dan kurang dikenal di kalangan ulama ahli hadis. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa hadis ini diinterpretasikan dengan dua makna. Makna pertama menyatakan

bahwa setiap orang yang mengganggu orang lain dimasukkan ke dalam neraka. Makna yang kedua mengartikan bahwa setiap yang menyakitkan para penghuninya —seperti binatang buas, serangga beracun, dan lain-lain-nya— terdapat pula

di dalam neraka.Firman Allah, "U'iddat lil kafirin" menurut pendapat yang paling kuat damir yang terdapat di dalam lafaz u'iddat kembali kepada neraka yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu-batuan.

Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepa-da al-hijarah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud r.a. Kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dalam hal makna, karena keduanya

saling mengait dengan yang lainnya.U'iddat, disediakan buat orang-orang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.

Disebutkan bahwa makna firman-Nya, "Disediakan bagi orang-orang kafir" (Al-Baqarah: 24) ialah 'buat orang yang kafir di antara kalian'.Banyak orang dari kalangan para imam sunnah yang menyimpulkan dalil dari ayat ini,

bahwa neraka itu sekarang telah ada, yakni telah diciptakan Allah Swt. atas dasar firman-Nya: yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24) Dengan kata lain, neraka itu telah dipersiapkan dan disediakan buat mereka yang kafir.

Banyak hadis yang menunjukkan pengertian ini (bahwa neraka telah ada), antara lain ialah hadis yang menceritakan bahwa surga dan neraka saling membantah. Hadis lainnya menyebutkan:


"اسْتَأْذَنَتِ النَّارُ رَبَّهَا فَقَالَتْ: رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٌ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٌ فِي الصَّيْفِ"


Neraka meminta izin kepada Tuhannya. Untuk itu ia berkata, "Wahai Tuhanku, sebagian dariku memakan sebagian yang lainnya." Akhirnya ia diizinkan untuk mengeluarkan dua embusan, yaitu embusan di waktu musim dingin dan embusan lainnya di waktu musim panas.Demikian pula dalam hadis yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Mas'ud r.a.:


سَمِعْنَا وَجْبَةً فَقُلْنَا مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا حَجَرٌ أُلْقِيَ بِهِ مِنْ شَفِيرِ جَهَنَّمَ مُنْذُ سَبْعِينَ سَنَةً الْآنَ وَصَلَ إِلَى قَعْرِهَا"


Kami pernah mendengar suatu suara gemuruh, lalu kami bertanya, "Suara apakah itu?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Itu adalah suara batu yang dilemparkan dari pinggir neraka Jahannam sejak tujuh puluh tahun yang silam,

dan sekarang baru sampai ke dasarnya." Hadis ini menurut lafaz Imam Muslim. Juga hadis yang menceritakan salat gerhana Nabi Saw., hadis mengenai malam isra, dan hadis-hadis lain yang menunjukkan makna yang sama dengan pengertian yang sedang dalam bahasan kita ini.

Akan tetapi, golongan Mu'tazilah menentang pendapat ini karena kebodohan mereka sendiri, tetapi pendapat mereka didukung oleh Kadi Munzir ibnu Sa'id Al-Balluti, kadi di Andalusia. ************* Firman Allah Swt. yang mengatakan:


{فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ}


maka buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 23)dan firman Allah Swt. di dalam surat Yunus, yaitu:


{بِسُورَةٍ مِثْلِهِ}


sebuah surat semisal dengannya. (Yunus: 38)makna yang dimaksud mencakup semua surat Al-Qur'an —baik surat yang panjang maupun yang pendek— mengingat lafaz surat diungkapkan dalam bentuk nakirah dalam konteks syarat.

Lafaz seperti itu bermakna umum, sama halnya dengan nakirah yang diungkapkan dalam konteks nafi menurut ahli tahqiq dari kalangan ulama Usul; hal ini akan diterangkan nanti dalam pembahasannya sendiri. Unsur i'jaz memang terkandung

di dalam surat-surat yang panjang, juga surat-surat yang pendek. Sepengetahuan kami tidak ada ulama yang memperselisihkan pendapat ini, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.Tetapi Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya mengatakan

bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) diartikan mencakup surat Al-Kausar, Al-'Asr, dan Al-Kafirun. Kita mengetahui bahwa membuat sesuatu yang semisal dengannya

atau yang mendekatinya merupakan suatu hal yang mungkin dapat dilakukan dengan pasti. Karena itu, merupakan suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan jika dikatakan bahwa membuat hal yang semisal dengan surat-surat tersebut

merupakan suatu hal yang di luar kemampuan manusia. Apabila kita berpendapat seperti pendapat yang berlebihan ini, justru akibatnya akan mengurangi keagungan agama (Al-Qur'an) itu sendiri.Berdasarkan pengertian inilah kami memilih

cara lain dalam menginterpretasikannya; dan kami katakan jika surat-surat tersebut tingkatan kefasihannya mencapai tingkatan i'jaz, berarti bukan menjadi masalah lagi. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, berarti ketidakmampuan

orang-orang kafir untuk menyainginya merupakan suatu mukjizat tersendiri, mengingat dorongan yang ada pada diri mereka untuk melecehkan Al-Qur'an benar-benar kuat. Atas dasar kedua hipotesis ini unsur i'jaz tetap ada.

Demikian nukilan secara harfiah dari Ar-Razi.Menurut pendapat yang benar, setiap surat dari Al-Qur'an merupakan mukjizat, manusia tidak akan mampu menandinginya, baik surat yang panjang maupun yang pendek.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Jikalau manusia memikirkan makna yang terkandung di dalam surat berikut, niscaya sudah menjadi kecukupan bagi mereka," yaitu firman-Nya:


{وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ}


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.

(Al-'Asr: 1-3)Kami meriwayatkan dari Amr ibnul As, bahwa sebelum masuk Islam dia pernah bertamu kepada Musailamah Al-Kazzab. Lalu Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah yang telah diturunkan kepada teman kalian (Nabi Muhammad)

di Mekah di masa sekarang?" Maka Amr menjawabnya, "Sesungguhnya telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas lagi balig." Musailamah bertanya, "Surat apakah?" Amr menjawab: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu

benar-benar berada dalam kerugian. (Al-'Asr: 1-2) Maka Musailamah berpikir sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan pula kepadaku hal yang semisal dengannya." Amr bertanya, "Apakah itu?"

Musailamah berkata, "Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu hanya terdiri atas dua telinga dan dada, sedangkan selain itu pendek dan kurus." Kemudian Musailamah bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, hai Amr." Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa diriku mengetahui kamu berdusta."

Surat Al-Baqarah |2:24|

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

fa il lam taf'aluu wa lan taf'aluu fattaqun-naarollatii waquuduhan-naasu wal-ḥijaarotu u'iddat lil-kaafiriin

Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.

But if you do not - and you will never be able to - then fear the Fire, whose fuel is men and stones, prepared for the disbelievers.

Tafsir
Jalalain

Tatkala mereka tidak mampu memenuhi permintaan itu, maka Allah swt. berfirman, (Dan jika kamu tidak dapat melakukan) apa yang disebutkan itu disebabkan kelemahan dan ketidakmampuanmu

(dan kamu pasti tidak akan dapat melakukannya) demikian itu untuk selama-lamanya disebabkan terhalang mukjizat Alquran itu,

(maka jagalah dirimu dari neraka) dengan jalan beriman kepada Allah dan meyakini bahwa Alquran itu bukanlah ucapan manusia (yang kayu apinya terdiri dari manusia),

yakni orang-orang kafir (dan batu), misalnya yang dipakai untuk membuat patung-patung atau berhala-berhala mereka.

Maksudnya api neraka itu amat panas dan tambah menyala dengan bahan bakar manusia dan batu jadi bukan seperti api dunia yang hanya dapat dinyalakan dengan kayu bakar atau yang lainnya

(yang disediakan bagi orang-orang kafir) sebagai alat untuk menyiksa mereka. Kalimat belakang ini dapat menjadi kalimat baru atau menunjukkan keadaan yang lazim.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 24 |

Penjelasan ada di ayat 23

Surat Al-Baqarah |2:25|

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ۖ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا ۙ قَالُوا هَٰذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ ۖ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا ۖ وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ ۖ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

wa basysyirillażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati anna lahum jannaatin tajrii min taḥtihal-an-haar, kullamaa ruziquu min-haa min ṡamarotir rizqong qooluu haażallażii ruziqnaa ming qoblu wa utuu bihii mutasyaabihaa, wa lahum fiihaaa azwaajum muthohharotuw wa hum fiihaa khooliduun

Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, "Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu." Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.

And give good tidings to those who believe and do righteous deeds that they will have gardens [in Paradise] beneath which rivers flow. Whenever they are provided with a provision of fruit therefrom, they will say, "This is what we were provided with before." And it is given to them in likeness. And they will have therein purified spouses, and they will abide therein eternally.

Tafsir
Jalalain

(Dan sampaikanlah berita gembira) kabarkanlah (kepada orang-orang yang beriman) yang membenarkan Allah (dan mengerjakan kebaikan),

baik yang fardu atau yang sunah (bahwa bagi mereka disediakan surga-surga), yaitu taman-taman yang ada pepohonan dan tempat-tempat kediaman

(yang mengalir di bawahnya) maksudnya di bawah kayu-kayuan dan mahligai-mahligainya (sungai-sungai) maksudnya air yang berada di sungai-sungai itu

, karena sungai artinya ialah galian tempat mengalirnya air, sebab airlah yang telah menggali atau menjadikannya 'nahr' dan menisbatkan 'mengalir' pada selokan disebut 'majaz' atau simbolisme.

(Setiap mereka diberi rezeki di dalam surga itu) maksudnya diberi makanan (berupa buah-buahan,

mereka mengatakan, "Inilah yang pernah) maksudnya seperti inilah yang pernah (diberikan kepada kami dulu"), yakni sebelum masuk surga, karena buah-buahan itu seperti itu pula ciri masing-masingnya,

hampir serupa. (Mereka disuguhi) atau dipetikkan buah itu (dalam keadaan serupa), yakni warnanya tetapi berbeda rasanya,

(dan diberi istri-istri) berupa wanita-wanita cantik dan selainnya, (yang suci) suci dari haid dan dari kotoran lainnya, (dan mereka kekal di dalamnya) untuk selama-lamanya,

hingga mereka tak pernah fana dan tidak pula dikeluarkan dari dalamnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 25 |

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu

mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.Setelah menuturkan

apa yang disediakan-Nya buat musuh-musuh-Nya dari kalangan orang-orang yang celaka —yakni orang-orang yang kafir kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya— berupa siksaan dan pembalasan, maka Allah mengiringinya dengan kisah

keadaan kekasih-kekasih-Nya dari kalangan orang-orang yang berbahagia, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya dan kepada rasul-rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang keimanan mereka dibuktikan dengan amal-amal salehnya.

Berdasarkan pengertian inilah maka Al-Qur'an dinamakan ma-sani menurut pendapat yang paling sahih di kalangan para ulama, yang keterangannya akan dibahas dengan panjang lebar pada tempatnya. Yang dimaksud dengan masani ialah

hendaknya disebutkan masalah iman, kemudian diikuti dengan sebutan kekufuran atau sebaliknya, atau perihal orang-orang yang berbahagia, lalu diiringi dengan perihal orang-orang yang celaka atau sebaliknya. Kesimpulannya ialah

menyebutkan sesuatu hal, kemudian diiringi dengan lawan katanya. Adapun mengenai penyebutan sesuatu yang dikemukakan sesudah penyebutan hal yang semisal dengannya, hal ini dinamakan penyerupaan (tasyabuh), seperti yang akan dijelaskan nanti, insya Allah. Untuk itu, Allah Swt. berfirman:


{وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}


Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. (Al-Baqarah: 25)Surga-surga tersebut digambarkan oleh ayat ini,

mengalir di bawahnya sungai-sungai, yakni di bawah pohon-pohon dan gedung-gedungnya. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa sungai-sungai surga mengalir bukan pada parit-parit. Sehubungan dengan Sungai Al-Kausar,

telah disebutkan bahwa kedua tepinya terdapat kubah-kubah yang terbuat dari batu permata yang berlubang. Kedua pengertian ini tidak bertentangan. Tanah liat surga terdiri atas bibit minyak kesturi, sedangkan batu-batu kerikilnya terdiri atas batu-batu mutiara dan batu-batu permata. Kami memohon kepada Allah dari karunia-Nya, sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Maha Penyayang.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: قُرِئَ عَلَى الرَّبِيعِ بْنِ سُلَيْمَانَ: حَدَّثَنَا أَسَدُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ ضَمْرَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنْهَارُ الْجَنَّةِ تُفَجَّر مِنْ تَحْتِ تِلَالِ -أَوْ مِنْ تَحْتِ جِبَالِ-الْمِسْكِ"


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadaku Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Sauban, dari Ata ibnu Qur-rah, dari Abdullah ibnu Damrah,

dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sungai-sungai surga mengalir di bagian bawah lereng-lereng atau di bagian bawah bukit-bukit kesturi.Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan

kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Masruq yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud r.a. pernah mengatakan, "Sungai-sungai surga mengalir dari bukit kesturi." *********** Firman Allah Swt:


{كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ}


Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." (Al-Baqarah: 25)As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh,

dari Ibnu Abbas dan dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Disebutkan bahwa mereka di dalam surga diberi buah-buahan.

Ketika melihat buah-buahan itu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu di dunia." Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan didukung oleh Ibnu Jarir.

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka mengatakan.”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu " Makna yang dimaksud ialah 'seperti yang pernah diberikan kemarin". Hal yang sama dikatakan

oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. Mujahid mengatakan bahwa mereka mengatakan buah-buahan itu serupa dengan apa yang pernah diberikan kepada mereka.Ibnu Jarir mengatakan —begitu pula yang lainnya— bahwa takwil makna ayat ini ialah,

"Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu, buah-buahan surga sebelumnya." Dikatakan demikian karena satu sama lainnya sangat mirip, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat selanjutnya:


{وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا}


Mereka diberi buah-buahan yang serupa. (Al-Baqarah: 25)Sanid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami seorang syekh dari kalangan penduduk Al-Masisah, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang mengatakan

bahwa diberikan kepada seseorang di antara penduduk surga piring besar berisikan sesuatu (buah-buahan), lalu ia memakannya. Kemudian disuguhkan lagi piring besar lainnya, maka ia mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan

kepada kami dahulu." Maka para malaikat berkata, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda."Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman,

telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Yusaf, dari Yahya ibnu Abu Kasir yang pernah mengatakan bahwa rerumputan surga terdiri atas minyak za'faran, sedangkan bukit-bukitnya terdiri atas minyak kesturi. Para ahli surga dikelilingi

oleh pelayan-pelayan yang menyuguhkan beraneka buah-buahan, lalu mereka memakannya. Kemudian disuguhkan pula kepada mereka hal yang semisal, maka berkatalah penduduk surga kepada para pelayan,

"Inilah yang pernah kalian suguhkan kepada kami sebelumnya." Lalu para pelayan menjawabnya, "Makanlah, bentuknya memang sama, tetapi rasanya berbeda." Hal inilah yang dimaksud dengan firman-Nya,

"Mereka diberi buah-buahan yang serupa."Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: "Wautu bihi mutasyabihan," yakni satu sama lainnya mirip, tetapi rasanya berbeda.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya, dari As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh,

dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa." Makna yang dimaksud ialah serupa dalam hal warna dan bentuk,

tetapi tidak sama dalam hal rasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa buah-buahan surga mirip dengan buah-buahan di dunia,

hanya buah-buahan surga lebih wangi dan lebih enak.Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Abu Zabyan, dari Ibnu Abbas, bahwa tiada sesuatu pun di dalam surga yang menyerupai sesuatu yang di dunia,

hanya namanya saja yang serupa. Menurut riwayat yang lain, tiada sesuatu pun di dunia sama dengan yang ada di surga kecuali hanya dalam masalah nama saja yang serupa. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat As-Sauri

dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Mu'awiyah; keduanya menerima riwayat ini dari Al-A'masy dengan lafaz seperti ini.Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya,

"Mereka diberi buah-buahan yang serupa," bahwa mereka mengenal nama-namanya sebagaimana ketika mereka di dunia, misalnya buah apel dan buah delima bentuknya sama dengan buah apel dan buah delima ketika mereka di dunia.

Lalu mereka mengatakan, "Inilah yang pernah diberikan kepada kami sebelumnya ketika di dunia." Mereka diberi buah-buahan yang serupa, yakni mereka mengenalnya karena bentuknya sama dengan yang ada di dunia, tetapi rasanya tidak sama ************ Firman Allah Swt.:


{وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ}


Dan untuk mereka di dalamnya (surga) ada istri-istri yang suci. (Al-Baqarah: 25)Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutahharah artinya suci dari najis dan kotoran.Mujahid mengatakan, yang dimaksud ialah suci dari haid,

buang air besar, buang air kecil, dahak, ingus, ludah, air mani, dan beranak.Qatadah mengatakan bahwa mutahharah artinya suci dari kotoran dan dosa (najis). Menurut suatu riwayat darinya disebutkan tidak ada haid dan tidak ada tugas.

Telah diriwayatkan dari Ata, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Abu Saleh, Atiyyah, dan As-Saddi hal yang semisal dengan riwayat tadi.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami

Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa al-mutahharah artinya wanita yang tidak pernah haid. Dia mengatakan, demikian pula halnya Siti Hawa pada waktu pertama kali diciptakan. Tetapi ketika ia durhaka,

maka Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakanmu dalam keadaan suci, sekarang Aku akan membuatmu mengalami pendarahan sebagaimana kamu telah melukai pohon ini." Akan tetapi, riwayat ini dinilai garib.


قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ، وَأَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الجُوري قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْكِنْدِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ عُمَرَ البَزيعيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ} قَالَ: "مِنَ الْحَيْضِ وَالْغَائِطِ وَالنُّخَاعَةِ وَالْبُزَاقِ"


Al-Hafiz Abu Bakar Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Muhammad ibnu Harb dan Ahmad ibnu Muhammad Al-Khawari; keduanya mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Abu Nadrah,

dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci. (Al-Baqarah: 25) Yang dimaksud ialah suci dari haid, buang air besar, dahak, dan ludah. Hadis ini dinilai garib.

Akan tetapi, Imam Hakim meriwayatkan-nya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Muhammad ibnu Ya'qub, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Muhammad ibnu Ubaid dengan lafaz yang sama. Imam Hakim mengatakan bahwa predikat hadis

ini sahih bila dengan syarat Syaikhain. Apa yang didakwakan oleh Imam Hakim ini masih perlu dipertimbangkan, karena sesungguhnya hadis Abdur Razzaq ibnu Umar Al-Buzai'i dinilai oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti tidak dapat dijadikan

sebagai hujah. Menurut kami, yang jelas pendapat ini merupakan pendapat Qatadah, seperti yang telah kami kemukakan di atas. *********** Firman Allah Swt.:


{وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}


Dan mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 25)Hal ini merupakan kebahagiaan yang sempurna, karena sesungguhnya di samping mereka mendapat nikmat tersebut, mereka terbebas dan aman dari kematian dan terputusnya nikmat.

Dengan kata lain, nikmat yang mereka peroleh tiada akhir dan tiada habisnya, bahkan mereka berada dalam kenikmatan yang abadi selama-lamanya. Hanya kepada Allah-lah kami memohon agar diri kami dihimpun bersama golongan ahli surga ini; sesungguhnya Allah Mahadermawan, Mahamulia, Mahabaik lagi Maha Penyayang.

Surat Al-Baqarah |2:26|

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ

innalloha laa yastaḥyiii ay yadhriba maṡalam maa ba'uudhotan fa maa fauqohaa, fa ammallażiina aamanuu fa ya'lamuuna annahul-ḥaqqu mir robbihim, wa ammallażiina kafaruu fa yaquuluuna maażaaa aroodallohu bihaażaa maṡalaa, yudhillu bihii kaṡiirow wa yahdii bihii kaṡiiroo, wa maa yudhillu bihiii illal-faasiqiin

Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, "Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?" Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik,

Indeed, Allah is not timid to present an example - that of a mosquito or what is smaller than it. And those who have believed know that it is the truth from their Lord. But as for those who disbelieve, they say, "What did Allah intend by this as an example?" He misleads many thereby and guides many thereby. And He misleads not except the defiantly disobedient,

Tafsir
Jalalain

Untuk menolak perkataan orang-orang Yahudi, "Apa maksud Allah menyebutkan barang-barang hina ini",

yakni ketika Allah mengambil perbandingan pada lalat dalam firman-Nya, "...dan sekiranya lalat mengambil sesuatu dari mereka" dan pada laba-laba dalam firman-Nya,

"Tak ubahnya seperti laba-laba," Allah menurunkan: (Sesungguhnya Allah tidak segan membuat) atau mengambil (perbandingan) berfungsi sebagai maf`ul awal atau obyek pertama,

sedangkan (apa juga) kata penyerta yang diberi keterangan dengan kata-kata yang di belakangnya menjadi maf`ul tsani atau obyek kedua hingga berarti tamsil perbandingan apa pun jua.

Atau dapat juga sebagai tambahan untuk memperkuat kehinaan, sedangkan kata-kata di belakangnya menjadi maf`ul tsani (seekor nyamuk)

yakni serangga kecil, (atau yang lebih atas dari itu) artinya yang lebih besar dari itu, maksudnya Allah tak hendak mengabaikan hal-hal tersebut,

karena mengandung hukum yang perlu diterangkan-Nya. (Ada pun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa ia),

maksudnya perumpamaan itu (benar), tepat dan cocok dengan situasinya (dari Tuhan mereka, tetapi orang-orang kafir mengatakan,

"Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan") Matsalan atau perumpamaan itu berfungsi sebagai tamyiz hingga berarti dengan perumpamaan ini.

'Ma' yang berarti 'apakah' merupakan kata-kata pertanyaan disertai kecaman dan berfungsi sebagai mubtada atau subyek.

Sedangkan 'dza' berarti yang berikut shilahnya atau kata-kata pelengkapnya menjadi khabar atau predikat,

hingga maksudnya ialah 'apa gunanya' Sebagai jawaban terhadap mereka Allah berfirman: (Allah menyesatkan dengannya), maksudnya dengan tamsil perbandingan ini,

(banyak manusia) berpaling dari kebenaran disebabkan kekafiran mereka terhadapnya, (dan dengan perumpamaan itu,

banyak pula orang yang diberi-Nya petunjuk), yaitu dari golongan orang-orang beriman disebabkan mereka membenarkan dan mempercayainya (Tetapi yang disesatkan-Nya itu hanyalah orang-orang yang fasik),

yakni yang menyimpang dan tak mau menaati-Nya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 26 |

Tafsir ayat 26-27

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,

tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk.

Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya

dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itu-lah orang-orang yang rugi.As-Saddi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya:


{مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا}


Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17)


{أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ}


Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. (Al-Baqarah: 19)Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Mahaagung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini. Maka Allah menurunkan ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan firman-Nya:


{هُمُ الْخَاسِرُونَ}


Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27)Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah; ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata,

"Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?" Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)Sa'id meriwayatkan dari Qatadah,

bahwa sesungguhnya Allah tiada segan —demi perkara yang hak— untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang besar. Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba,

lalu orang-orang yang sesat mengatakan, "Apakah yang dimaksud oleh Allah menyebut hal ini?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.

(Al-Baqarah: 26)Menurut kami, dalam riwayat pertama —dari Qatadah— mengandung isyarat bahwa ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni Madaniyyah). Bahkan riwayat Sa'id yang dari Qatadah l

ebih mendekati kepada kebenaran.Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid semisal dengan riwayat kedua yang dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal dengan

perkataan As-Saddi dan Qatadah.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia,

yaitu nyamuk tetap hidup selagi dalam keadaan lapar; tetapi bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati. Demikian pula perumpamaan kaum yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di dalam Al-Qur'an dengan perumpamaan ini.

Dengan kata lain, bila mereka kekenyangan karena berlimpah ruah dengan harta duniawi, maka pada saat itulah Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi' ibnu Anas membacakan firman-Nya:


{فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ}


Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, hingga akhir ayat. (Al-An'am: 44)Demikian riwayat Ibnu Jarir. Hal yang sama

telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah.Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat

yang dikemukakan oleh As-Saddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat, maka lebih cocok.Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu —yakni tidak segan atau tidak takut— untuk membuat perumpamaan apa pun,

baik perumpamaan yang kecil ataupun yang besar.Huruf ma pada lafaz masalan ma menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafaz ba'udah di-nasab-kan sebagai badal. Perihal makna ma di sini sama dengan ucapan seseorang

la-adriban-na darban ma, artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf ma di sini dianggap sebagai ma nakirah mausufah,

yakni huruf ma diartikan dengan penjelasan lafaz ba'udah (nyamuk).Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa huruf ma di sini adalah ma mausulah (kata penghubung), sedangkan lafaz ba'udah di-i'rab-kan

sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang Arab, yakni mereka biasa meng-i'rab-kan silah dari huruf ma dan man sesuai dengan kedudukan i'rab keduanya.

Mengingat keduanya adakalanya berupa ma'rifat, adakalanya pula berupa nakirah. Sebagai contohnya ialah apa yang dikatakan oleh Hasan ibnu Sabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu:


وَكَفَى بِنَا فَضْلا عَلَى مَنْ غَيْرِنَا ... حُب النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ إيَّانَا


Cukuplah keutamaan bagi kami yang berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad yang keturunannya tergabung kepada kami.Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafaz ba'udah dapat di-nasab-kan karena membuang harakat jar-nya.

Bentuk kalimat secara utuh menjadi seperti berikut: Innallaha la yastahyi ay-yadriba masalam ma baina ba'udatin ila mafauqaha, yakni sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk

hingga yang lebih dari itu kecilnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra.Ad-Dahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafaz ba'udah dengan bacaan rafa' (ba'udatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa

dengan demikian berarti lafaz ba'udatun berkedudukan sebagai silah-nya ma, sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Perihalnya sama dengan i'rab yang terdapat di dalam firman-Nya:


{تَمَامًا عَلَى الَّذِي أَحْسَنَ}


Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan. (Al-An'am: 154)Bentuk Lengkapnya ialah 'alal lazi huwa ahsanu. Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang mengatakan ma anal lazi qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang pernah mengatakan sesuatu mengenai dirimu). bentuk Lengkapnya ialah bil lazi huwa qailun laka syaian. *********** Firman Allah Swt.:


{فَمَا فَوْقَهَا}


atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26)Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Perihalnya sama dengan seorang lelaki

jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, "Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya." Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid. Ar-Razi dan kebanyakan ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadis disebutkan:


"لَوْ أَنَّ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ"


Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang kafir.Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama fauqaha ialah yang lebih besar

dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk. Ini adalah pendapat Qatadah ibnu Di'amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis riwayat Imam Muslim melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَمُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ"


Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri hingga yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa.

Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan

menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:


{يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ}


Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya.

Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amal lemahlah yang menyembah dan amal lemah (pulalah) yang disembah. (Al-Hajj': 73)


{مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ}


Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 41) Allah Swt. telah berfirman:


{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ * وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ * يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}


Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim

dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya

dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 24-27)


{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ


Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun. (An-Nahl: 75)Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman:


وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ [هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ] }


Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan? (An-Nahl: 76)Sama halnya dengan firman-Nya:


{ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلا مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ}


Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian. (Ar-Rum: 28) Allah Swt. telah berfirman:


{ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ [وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ] }


Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan. (Az-Zumar: 29)


{وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ}


Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut 43)Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf mengatakan,

"Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia;

dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al-Ankabut: 43)Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk

atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Maksudnya, semua perumpamaan —baik yang kecil maupun yang besar— orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal itu merupakan perkara hak

dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar

dari Tuhan mereka. (Al-Baqarah: 26) Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid,

Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, "Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka." Yang dimaksud ialah perumpamaan ini.

Tetapi mereka yang kafir mengatakan, "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Al-Baqarah: 26) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:


{وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلا مَلائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلا هُوَ}


Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin

dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir

(mengatakan), "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (Al-Muddatstsir: 31)Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah: 26):


{يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلا الْفَاسِقِينَ}


Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 26)

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu bihi kasiran

adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi kasiran adalah orang-orang mukmin. Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada;

karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan

itu ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini. Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk

kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka

karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya,

maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan tersebut.Firman Allah Swt., "Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik" (Al-Baqarah: 26). Menurut As-Saddi,

mereka adalah orang-orang munafik.Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin" bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.

Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin.'"' Ibnu Abbas mengatakan, "Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya.

" Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya, "Wama yudillu bihi illal fasiqin," bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan

kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari Sa'd, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, "Yudillu bihi kasiran," adalah orang-orang Khawarij.

Syu'bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus'ab ibnu Sa'd yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh.

(Al-Baqarah: 27), sampai akhir ayat. Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij). Sanad riwayat ini sekalipun sahih dari Sa'd ibnu Abu Waqqas r.a., tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna

yang dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan

orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur'an.Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah bahasa

ialah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, "Fasaqatir ratbah" bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan. Di dalam hadis Sahihain dari Siti Aisyah r.a. dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"خَمْسُ فَوَاسَقَ يُقتلن فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْغُرَابُ، وَالْحِدَأَةُ، وَالْعَقْرَبُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ العقور"


Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh —baik di tanah halal maupun di tanah haram— yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila.Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka,

tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah 'fasik' dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu:


{الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}


Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Baqarah: 27)Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya:


{أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ * الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ * وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ}


Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu)

orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra'd: 19-21)Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya:


{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}


Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan

dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya. Sebagian dari kalangan

ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka

dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan hal tersebut.

Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil

oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Mereka merusak hal tersebut

dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus

menjelaskan kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan menukarnya dengan harga yang sedikit.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah

kepada mereka yang berkaitan dengan masalah menauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah Swt.

Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal

yang semisal dengannya. Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka.Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal

yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak.

Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut.Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan,

"Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?" Jawabannya, "Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji." Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى}


Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)." (Al-A'raf: 172)Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka. Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya:


{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}


Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah Swt. ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya:


{وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى [شَهِدْنَا] }


Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab,

"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172)Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya. Demikian pula menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan;

semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya:

(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.

Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik. Apabila mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut, yaitu:

Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar akan janjinya; apabila dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan,

dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi.Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas. As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh.

(Al-Baqarah: 27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur'an, lalu mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya. *************** Firman Allah Swt.:


{وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ}


dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya. (Al-Baqarah: 27)Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya:


{فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ}


Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (Muhammad: 22)Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya.

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt:


{أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ}


Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra'd: 25)Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam

berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran. Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa.Ibnu Jarir mengatakan sehubungan

dengan makna firman-Nya, "Ulaika humul khasirun" bahwa lafaz al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafaz khasirun; mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena

perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli. Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir,

keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah Swt.

Termasuk ke dalam pengertian lafaz ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah:


إِنَّ سَلِيطًا فِي الخَسَارِ إنَّه ... أولادُ قَومٍ خُلقُوا أقِنَّه


Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir ditakdirkan menjadi hamba sahaya.

Surat Al-Baqarah |2:27|

الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

allażiina yangqudhuuna 'ahdallohi mim ba'di miiṡaaqihii wa yaqtho'uuna maaa amarollaahu bihiii ay yuushola wa yufsiduuna fil-ardh, ulaaa`ika humul-khoosiruun

(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah (perjanjian) itu diteguhkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.

Who break the covenant of Allah after contracting it and sever that which Allah has ordered to be joined and cause corruption on earth. It is those who are the losers.

Tafsir
Jalalain

(Orang-orang yang) merupakan 'na`at' atau sifat (melanggar janji Allah) melanggar kewajiban yang ditugaskan Allah kepada mereka dalam Kitab-Kitab Suci berupa keimanan kepada Nabi Muhammad saw.

(setelah teguhnya) setelah kukuhnya perjanjian itu, (dan memutus apa yang diperintahkan Allah dengannya untuk dihubungkan),

yakni beriman dan menghubungkan silaturahmi dengan Nabi saw. serta lain-lainnya. Anak kalimat 'untuk dihubungkan' menjadi kata ganti dari 'dengannya',

(dan membuat kerusakan di muka bumi) dengan melakukan maksiat serta menyimpang dari keimanan (merekalah) orang-orang yang mempunyai sifat seperti yang dilukiskan itu

(orang-orang yang rugi) karena mereka dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 27 |

Penjelasan ada di ayat 26

Surat Al-Baqarah |2:28|

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

kaifa takfuruuna billaahi wa kuntum amwaatan fa aḥyaakum, ṡumma yumiitukum ṡumma yuḥyiikum ṡumma ilaihi turja'uun

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

How can you disbelieve in Allah when you were lifeless and He brought you to life; then He will cause you to die, then He will bring you [back] to life, and then to Him you will be returned.

Tafsir
Jalalain

(Mengapa kamu kafir) hai warga Mekah (kepada Allah, padahal) sesungguhnya (tadinya kamu mati) yakni ketika masih menjadi mani dalam sulbi bapakmu

(lalu kamu dihidupkan-Nya) dalam rahim ibumu dan di dunia dengan jalan meniupkan roh pada tubuhmu.

Pertanyaan di sini untuk menyatakan keheranan atas kekafiran mereka padahal bukti-bukti cukup ada atau dapat juga sebagai celaan dan kecaman terhadap mereka,

(kemudian dimatikan-Nya) ketika sampainya ajalmu (lalu dihidupkan-Nya kembali) pada saat berbangkit (kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya) yakni setelah berbangkit itu lalu dibalas-Nya amal perbuatanmu.

Sebagai alasan kemungkinan saat berbangkit, Allah berfirman,

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 28 |

Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.Allah Swt. berfirman membuktikan

keberadaan dan kekuasaan-Nya, Dialah Yang Maha Pencipta dan Yang Mengatur hamba-hamba-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman, "Kaifa takfuruna billahi" artinya 'mengapa kalian mengingkari keberadaan Allah,

atau mengapa kalian menyembah selain-Nya bersama Dia'. Kemudian disebutkan pula, "Wakuntum amwalan fa-ahyakum" artinya 'padahal kalian tadinya tidak ada, lalu Allah menciptakan kalian ke alam wujud'. Makna ayat ini sama dengan yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:


{أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ * أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بَل لَا يُوقِنُونَ}


Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu! Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). (Ath-Thur: 35-36)


{هَلْ أَتَى عَلَى الإنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا}


Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (Al-Insan: 1)ayat-ayat lainnya yang menceritakan hal ini masih banyak.Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. mengenai firman-Nya:


{قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ}


Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami" (Al-Mu’min: 11)Disebutkannya bahwa makna ayat inilah yang dimaksudkan di dalam surat Al-Baqarah berikut ini:


{وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ}


padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali. (Al-Baqarah: 28)Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa kalian tadinya mati

dalam tulang sulbi ayah-ayah kalian; saat itu kalian bukan merupakan sesuatu pun sebelum Allah menciptakan kalian. Setelah Allah menciptakan kalian, lalu Dia mematikan kalian sebagai suatu kepastian atas diri kalian.

Kemudian Allah menghidupkan kalian dalam hari berbangkit, yaitu di saat Dia menghidupkan kalian di hari kiamat. Disebutkan bahwa makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya: Ya Tuhan kami,

Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula). (Al-Mu’min: 11)Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali

dan telah menghidupkan kami dua kali (pula). (Al-Mu’min: 11)Disebutkan bahwa kalian pada asalnya berupa tanah sebelum Allah menciptakan kalian, hal ini dinilai sebagai suatu kematian. Lalu Dia menciptakan kalian,

maka hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan. Sesudah itu Allah mematikan kalian dan kalian dikembalikan ke kuburan, hal ini dinilai sebagai kematian yang lain. Kemudian Allah menghidupkan kalian di hari kiamat, hal ini dinilai sebagai suatu kehidupan

yang lain. Dua kali mati dan dua kali hidup inilah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya: Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali.

(Al-Baqarah: 28)Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari As-Saddi berikut sanad-nya melalui Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat. Riwayat ini diketengahkan

pula dari Abul Aliyah, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah Abu Saleh, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani.As-Sauri mengatakan dari As-Saddi, dari Abu Saleh sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa kalian kafir kepada Allah,

padahal kalian tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian, kemudian kalian dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kalian di-kembalikan (Al-Baqarah: 28) Disebutkan bahwa Allah menghidupkan kalian di alam kubur,

kemudian mematikan kalian.Ibnu Jarir meriwayatkan dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka di dalam sulbi Adam,

kemudian membuat perjanjian terhadap mereka, lalu Allah mematikan mereka, kemudian menghidupkan mereka di dalam rahim-rahim. Setelah itu Allah mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali di hari kiamat.

Pengertian ini sama halnya dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Mereka menjawab, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)." (Al-Mu’min: 11) Riwayat ini —juga riwayat sebelumnya— berpredikat garib. Pendapat yang benar ialah dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, golongan tersebut terdiri atas kalangan tabi'in. Mereka mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya:


{قُلِ اللَّهُ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يَجْمَعُكُمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا رَيْبَ فِيهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ}


Katakanlah, "Allah-lah yang menghidupkan kalian, kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. (Al-Jatsiyah: 26)Sama pula dengan firman Allah Swt. mengenai berhala-berhala, yaitu:


{أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ}


(Berhala-berhala itu) benda mati, tidak hidup; dan berhala-berhala itu tidak mengetahui. (An-Nahl: 21)Allah Swt. berfirman dalam ayat lainnya:


{وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ}


Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. (Yasin: 33)

Surat Al-Baqarah |2:29|

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

huwallażii kholaqo lakum maa fil-ardhi jamii'an ṡummastawaaa ilas-samaaa`i fa sawwaahunna sab'a samaawaat, wa huwa bikulli syai`in 'aliim

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

It is He who created for you all of that which is on the earth. Then He directed Himself to the heaven, [His being above all creation], and made them seven heavens, and He is Knowing of all things.

Tafsir
Jalalain

(Dialah yang telah menciptakan bagimu segala yang terdapat di muka bumi) yaitu menciptakan bumi beserta isinya, (kesemuanya) agar kamu memperoleh manfaat dan mengambil perbandingan darinya,

(kemudian Dia hendak menyengaja hendak menciptakan) artinya setelah menciptakan bumi tadi Dia bermaksud hendak menciptakan pula

(langit, maka dijadikan-Nya langit itu) 'hunna' sebagai kata ganti benda yang dimaksud adalah langit itu. Maksudnya ialah dijadikan-Nya,

sebagaimana didapati pada ayat yang lain, 'faqadhaahunna,' yang berarti maka ditetapkan-Nya mereka

, (tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu) dikemukakan secara 'mujmal' ringkas atau secara mufasshal terinci, maksudnya,

"Tidakkah Allah yang mampu menciptakan semua itu dari mula pertama, padahal Dia lebih besar dan lebih hebat daripada kamu, akan mampu pula menghidupkan kamu kembali"

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 29 |

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.Setelah Allah Swt. menyebutkan bukti

keberadaan dan kekuasaan-Nya kepada makhluk-Nya melalui apa yang mereka saksikan sendiri pada diri mereka, lalu Dia menyebutkan bukti lain melalui apa yang mereka saksikan, yaitu penciptaan langit dan bumi. Untuk itu Allah Swt. berfirman,

"Dialah Allah, yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian, dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit" (Al-Baqarah: 29).Istawa ilas sama, berkehendak atau bertujuan ke langit.

Makna lafaz ini mengandung pengertian kedua lafaz tersebut, yakni berkehendak dan bertujuan, karena ia di-muta'addi-kan dengan memakai huruf ila. Fasawahunna, lalu Dia menciptakan langit tujuh lapis. Lafaz as-sama dalam ayat ini

merupakan isim jinis, karena itu disebutkan sab'a samawat.Wahuwa bi kulli syai-in 'alim, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, yakni pengetahuan-Nya meliputi semua makhluk yang telah Dia ciptakan. Pengertiannya sama dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:


{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ}


Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian lahirkan dan yang kalian rahasiakan?) (Al-Mulk: 14)Rincian makna ayat ini diterangkan di dalam surat ha mim sajdah, yaitu melalui firman-Nya:


{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ * ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}


Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi itu

gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia. memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan Langit itu masih merupakan asap, lalu dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa" Keduanya menjawab,

"Kami datang dengan suka hati." Maka Dia menjadikan tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya

dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa Allah Swt. memulai ciptaan-Nya dengan menciptakan bumi,

kemudian menciptakan tujuh lapis langit. Memang demikianlah cara membangun sesuatu, yaitu dimulai dari bagian bawah, setelah itu baru bagian atasnya. Para ulama tafsir menjelaskan hal ini, keterangannya akan kami kemukakan sesudah ini, insya Allah. Adapun mengenai firman-Nya:


{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا}


Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang.

Dan bumi sesudah dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang

ternak kalian. (An-Nazi'at: 27-33)Maka sesungguhnya huruf summa dalam ayat ini (Al-Baqarah: 29) hanya untuk menunjukkan makna 'ataf khabar kepada khabar, bukan 'ataf fi' il kepada fi'il yang lain. Perihalnya sama dengan perkataan seorang penyair:


قُلْ لِمَنْ سَادَ ثُمَّ سَادَ أَبُوهُ ... ثُمَّ قَدْ سَادَ قَبْلَ ذَلِكَ جَدُّهُ


Katakanlah kepada orang yang berkuasa, dan telah berkuasa ayahnya, serta telah berkuasa pula kakeknya sebelum itu.Menurut suatu pendapat, ad-daha (penghamparan) bumi dilakukan sesudah penciptaan langit dan bumi.

Demikianlah menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.As-Saddi telah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud,

serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.

Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29) Disebutkan bahwa 'Arasy Allah Swt berada di atas air, ketika itu Allah Swt. belum menciptakan sesuatu pun selain dari air tersebut. Ketika Allah berkehendak menciptakan makhluk,

maka Dia mengeluarkan asap dari air tersebut, lalu asap (gas) tersebut membumbung di atas air hingga letaknya berada di atas air, dinamakanlah sama (langit). Kemudian air dikeringkan, lalu Dia menjadikannya bumi yang menyatu.

Setelah itu bumi dipisahkan-Nya dan dijadikan-Nya tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Ahad dan Senin. Allah menciptakan bumi di atas ikan besar, dan ikan besar inilah yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an melalui firman-Nya:


{ن وَالْقَلَمِ }


Nun, demi qalam. (Al-Qalam: 1)Sedangkan ikan besar (nun) berada di dalam air. Air berada di atas permukaan batu yang licin, sedangkan batu yang licin berada di atas punggung malaikat. Malaikat berada di atas batu besar,

dan batu besar berada di atas angin. Batu besar inilah yang disebut oleh Luqman bahwa ia bukan berada di langit, bukan pula di bumi.Kemudian ikan besar itu bergerak, maka terjadilah gempa di bumi, lalu Allah memancangkan gunung-gunung

di atasnya hingga bumi menjadi tenang; gunung-gunung itu berdiri dengan kokohnya di atas bumi. Hal inilah yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt.: Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak)

guncang bersama mereka. (Al-Anbiya: 31)Allah menciptakan gunung di bumi dan makanan untuk penghuninya, menciptakan pepohonannya dan semua yang diperlukan di bumi pada hari Selasa dan Rabu. Hal inilah yang dijelaskan di dalam firman-Nya:


{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا}


Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung

yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya. (Fushshilat: 9-10)Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah menumbuhkan pepohonannya, yaitu melalui firman-Nya: Dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan

(penghuni)nya. (Fushshilat: 10) Lalu dalam firman selanjutnya disebutkan: dalam empat masa, sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya. (Fushshilat: 10) Dalam ayat selanjutnya disebutkan pula: Kemudian Dia menuju

kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap. (Fushshilat 11)Asap itu merupakan uap dari air tadi, kemudian asap dijadikan langit tujuh lapis dalam dua hari, yaitu hari Kamis dan Jumat. Sesungguhnya hari Jumat

dinamakan demikian karena pada hari itu diciptakan langit dan bumi secara bersamaan. Allah Swt. berfirman: Dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. (Fushshilat 12) Artinya, Allah menciptakan makhluk tersendiri

bagi tiap-tiap langit, terdiri atas para malaikat dan semua makhluk yang ada padanya, seperti laut, gunung, embun, serta lain-lainnya yang tidak diketahui. Selanjutnya Allah menghiasi langit dunia dengan bintang-bintang

yang Dia ciptakan sebagai hiasan dan penjaga yang memelihara langit dari setan-setan.Setelah Allah menyelesaikan penciptaan apa yang Dia sukai, lalu Dia menuju 'Arasy, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya:


{خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}


Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia beristiwa di atas 'Arasy. (Al-Hadid: 4)Dan Allah Swt. telah berfirman:


{كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا}


Dahulu langit dan bumi keduanya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (Al-Anbiya: 30)Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Musanna,

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Abu Ma'syar, dari Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abdullah ibnu Salam yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memulai penciptaan makhluk-Nya pada hari Ahad,

menciptakan berlapis-lapis bumi pada hari Ahad dan hari Senin, menciptakan berbagai makanan dan gunung pada hari Selasa dan Rabu, lalu menciptakan langit pada hari Kamis dan Jumat. Hal itu selesai di akhir hari Jumat

yang pada hari itu juga Allah menciptakan Adam dengan tergesa-gesa. Pada saat itulah kelak hari kiamat akan terjadi.Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.

(Al-Baqarah: 29) Bahwa Allah menciptakan bumi sebelum menciptakan langit. Ketika Allah menciptakan bumi, maka keluarlah asap darinya. Yang demikian itulah pengertian yang dimaksud dalam firman-Nya: Dan Dia berkehendak

(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. (Al-Baqarah: 29) Yang dimaksud ialah sebagian dari langit berada di atas sebagian lainnya. Dikatakan sab'u aradina artinya tujuh lapis bumi, yakni sebagian berada di bawah sebagian yang lain Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat As-Sajdah, yaitu:


{قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ * وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ * ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ * فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}


Katakanlah, "Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam." Dan Dia menciptakan di bumi ini

gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab,

"Kami datang dengan suka hati? Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya

dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 9-12)Ayat ini dan yang tadi menunjukkan bahwa bumi diciptakan sebelum langit. Menurut pengetahuanku,

tiada seorang ulama pun yang memperselisihkan hal ini, kecuali apa yang dinukil oleh Ibnu Jarir dari Qatadah, diduga langit diciptakan sebelum bumi. Akan tetapi, dalam menanggapi masalah ini Al-Qurtubi hanya bersikap tawaqquf (tidak memberi komentar apa pun), yaitu ketika ia menafsirkan makna firman-Nya:


{أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا * رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا * وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَاهَا * وَالأرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا * أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا}


Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya. Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang.

Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh. (An-Nazi'at 27-32)Mereka mengatakan bahwa penciptaan langit

terjadi sebelum penciptaan bumi. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai masalah ini, lalu ia menjawab bahwa bumi diciptakan sebelum langit, dan sesungguhnya bumi baru dihamparkan

hanya setelah penciptaan langit. Hal yang sama dikatakan pula bukan hanya oleh seorang ulama tafsir terdahulu dan sekarang.Kami mencatat hal tersebut di dalam tafsir surat An-Nazi'at yang garis besarnya menyatakan

bahwa penghamparan bumi yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya, Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya

dengan teguh. (An-Nazi'at: 30-32) Artinya, semua yang terkandung di dalam bumi dikeluarkan secara paksa hingga menjadi kenyataan. Setelah Allah selesai dari penciptaan bumi dan langit, lalu Allah menghamparkan bumi

dan mengeluarkan segala sesuatu yang tersimpan di dalamnya, yaitu air. Berkat air itu tumbuhlah berbagai macam tetumbuhan yang beraneka ragam jenis. bentuk. dan warnanya. Demikian pula tata surya, semuanya beredar,

terdiri atas bintang-bintang yang tetap dan bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya.Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis sehubungan dengan tafsir ayat ini, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai, juga diketengahkan oleh keduanya dalam Bab "Tafsir" melalui riwayat Ibnu Juraij. Ibnu Juraij mengatakan:


أَخْبَرَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَافِعٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ: "خَلَقَ اللَّهُ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، وَخَلْقَ الْجِبَالَ فِيهَا يَوْمَ الْأَحَدِ، وَخَلْقَ الشَّجَرَ فِيهَا يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَخَلَقَ آدَمَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ، فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ"


telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Umayyah, dari Ayyub ibnu Khalid, dari Abdullah ibnu Rafi' maula Ummu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. memegang tanganku, lalu beliau bersabda:

Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu, menciptakan gunung-gunung yang ada padanya pada hari Ahad, menciptakan pepohonan yang ada padanya pada hari Senin, menciptakan hal yang tidak disukai pada hari Selasa,

menciptakan nur pada hari Rabu, mengembangbiakkan (menciptakan) binatang-binatang yang ada di bumi pada hari Kamis, dan menciptakan Adam sesudah Asar pada hari Jumat, yaitu di saat-saat terakhir hari Jumat a

ntara Asar sampai malam hari.Hadis ini termasuk salah satu hadis garib dalam Sahih Muslim. Banyak komentar mengenai hadis ini, antara lain ialah dari Ali ibnul Madini dan Imam Bukhari serta sejumlah kalangan ahli huffaz hadis.

Mereka menganggap hadis ini merupakan perkataan Ka'b, dan sesungguhnya Abu Hurairah hanya mendengamya dari kata-kata Ka'b Al-Ahbar. Hadis ini menjadi samar di kalangan sebagian para perawi hingga membuat mereka menganggapnya sebagai hadis yang marfu'. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh Imam Baihaqi.

Surat Al-Baqarah |2:30|

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

wa iż qoola robbuka lil-malaaa`ikati innii jaa'ilun fil-ardhi kholiifah, qooluuu a taj'alu fiihaa may yufsidu fiihaa wa yasfikud-dimaaa`, wa naḥnu nusabbiḥu biḥamdika wa nuqoddisu lak, qoola inniii a'lamu maa laa ta'lamuun

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

And [mention, O Muhammad], when your Lord said to the angels, "Indeed, I will make upon the earth a successive authority." They said, "Will You place upon it one who causes corruption therein and sheds blood, while we declare Your praise and sanctify You?" Allah said, "Indeed, I know that which you do not know."

Tafsir
Jalalain

(Dan) ingatlah, hai Muhammad! (Ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi")

yang akan mewakili Aku dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Ku padanya, yaitu Adam. (Kata mereka,

"Kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya) yakni dengan berbuat maksiat (dan menumpahkan darah)

artinya mengalirkan darah dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin yang juga mendiami bumi Tatkala mereka telah berbuat kerusakan,

Allah mengirim malaikat kepada mereka, maka dibuanglah mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung (padahal kami selalu bertasbih)

maksudnya selalu mengucapkan tasbih (dengan memuji-Mu) yakni dengan membaca 'subhaanallaah wabihamdih', artinya 'Maha suci Allah dan aku memuji-Nya'. (dan menyucikan-Mu) membersihkan-Mu

dari hal-hal yang tidak layak bagi-Mu. Huruf lam pada 'laka' itu hanya sebagai tambahan saja, sedangkan kalimat semenjak 'padahal' berfungsi sebagai 'hal' atau menunjukkan keadaan dan maksudnya adalah,

'padahal kami lebih layak untuk diangkat sebagai khalifah itu!'" (Allah berfirman,) ("Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui")

tentang maslahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam dan bahwa di antara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang durhaka hingga terbukti dan tampaklah keadilan di antara mereka. Jawab mereka,

"Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih tahu dari kami, karena kami lebih dulu dan melihat apa yang tidak dilihatnya.

" Maka Allah Taala pun menciptakan Adam dari tanah atau lapisan bumi dengan mengambil dari setiap corak atau warnanya barang segenggam,

lalu diaduk-Nya dengan bermacam-macam jenis air lalu dibentuk dan ditiupkan-Nya roh hingga menjadi makhluk yang dapat merasa, setelah sebelumnya hanya barang beku dan tidak bernyawa.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 30 |

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan

membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”

Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya kepada Bani Adam, yaitu sebagai makhluk yang mulia; mereka disebutkan di kalangan makhluk yang tertinggi —yaitu para malaikat— sebelum mereka diciptakan. Untuk itu, Allah Swt. berfirman:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 30)Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada kaummu'.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli bahasa Arab —yaitu Abu Ubaidah— bahwa lafaz iz dalam ayat ini merupakan huruf zaidah (tambahan), dan bentuk lengkap kalimat ialah wa qala rabbuka tanpa memakai iz.

Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir. Menurut Al-Qurtubi, semua ahli tafsir pun membantahnya. Hingga Az-Zujaj mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan suatu tindakan kurang ajar dari Abu Ubaidah.


{إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً}


Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ


Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)


{وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ}


dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62)


{وَلَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلائِكَةً فِي الأرْضِ يَخْلُفُونَ}


Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. (Az-Zukhruf: 60)


{فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ}


Maka datanglah sesudah mereka generasi lain. (Al-A'raf: 169)Menurut qiraah yang syaz dibaca inni ja'ilun fil ardi khalifah (sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah-khalifah di muka bumi). Demikianlah diriwayatkan oleh Zamakhsyari

dan lain-lainnya.Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas,

Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan perselisihan dalam masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.

Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)

di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)Karena sesungguhnya mereka (para malaikat) bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut,

seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus, atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari tanah liat

kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud dengan khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka

menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya,

sebagaimana yang akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana yang diduga

oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah Swt. menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah Swt., yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi mereka mengemukakannya.

Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk —menurut Qatadah—, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa makhluk-makhluk tersebut

gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi). Maka mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)

Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan

mereka, padahal di antara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau,

" yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan kami para malaikat saja?"Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut:


{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}


Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan

yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara mereka ada para siddiqin,

para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusyuk, dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt.

lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.Ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa para malaikat itu apabila naik (ke langit) menghadap kepada Tuhan mereka seraya membawa amal-amal hamba-hamba-Nya, maka Allah Swt. bertanya kepada mereka

(sekalipun Dia lebih mengetahui), "Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Kami datangi mereka dalam keadaan sedang salat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang salat."

Demikian itu karena mereka datang kepada kita secara silih berganti, dan mereka berkumpul dalam salat Subuh dan salat Asar. Malaikat yang datang tinggal bersama kita, sedangkan malaikat yang telah menunaikan tugasnya naik meninggalkan kita seraya membawa amal-amal kita, sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw.:


"يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ"


Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan malam hari sebelum siang hari, dan amal siang hari sebelum malam hari.Ucapan para malaikat yang mengatakan, "Kami datangi mereka sedang dalam keadaan salat, dan kami tinggalkan mereka

sedang dalam keadaan salat," merupakan tafsir dari firman-Nya kepada mereka (para malaikat): Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)Menurut pendapat lain, firman-Nya

ini merupakan jawaban kepada mereka, yang artinya, "Sesungguhnya Aku mempunyai hikmah terinci mengenai penciptaan makhluk ini, sedangkan keadaan yang kalian sebut itu sebenarnya kalian tidak mengetahuinya."

Menurut pendapat lainnya, firman Allah Swt ini merupakan jawaban ucapan mereka yang disitir oleh firman-Nya: padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Maksudnya, keberadaan iblis di antara kalian dan keadaan penciptaan ini tidaklah sebagaimana yang kalian gambarkan itu. Menurut pendapat yang lain, bahkan ucapan para malaikat tersebut disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,

padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Ayat ini mengandung makna permintaan mereka kepada Allah untuk menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu Allah Swt.

berfirman kepada mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Artinya, keberadaan kalian pada tempatnya lebih maslahat dan lebih layak bagi kalian. Demikian yang disebut oleh Ar-Razi

dalam salah satu jawabannya.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnul Hasan, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah.

Semua menceritakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi." Firman Allah yang menyatakan bahwa 'Dia akan melakukan hal tersebut' artinya 'Dia memberitahukan

hal tersebut kepada mereka'.As-Saddi mengatakan, Allah bermusyawarah dengan para malaikat tentang penciptaan Adam. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. As-Saddi mengatakan bahwa hal yang semisal diriwayatkan

pula oleh Qatadah. Ungkapan ini mengandung sikap gegabah jika tidak dikembalikan kepada pengertian pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat Ibnu Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik. Sehubungan dengan makna firman-Nya, "Fil ardi," Ibnu Abu Hatim meriwayatkan:


حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "دُحِيت الْأَرْضُ مِنْ مَكَّةَ، وَأَوَّلُ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْمَلَائِكَةُ، فَقَالَ اللَّهُ: إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، يَعْنِي مَكَّةَ"


telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Ata ibnus Sa'ib, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Bumi dihamparkan mulai dari Mekah, dan yang mula-mula melakukan tawaf di Baitullah adalah para malaikai, lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi," yakni Mekah.Hadis ini berpredikat mursal,

sedangkan di dalam sanadnya terdapat kelemahan, dan di dalam hadis ini terdapat madraj (kalimat yang dari luar hadis), yaitu makna yang dimaksud dengan bumi adalah Mekah. Karena sesungguhnya menurut pengertian lahiriah,

yang dimaksud dengan bumi lebih umum daripada hal itu (Mekah).Firman Allah, "Khalifah," menurut As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud

serta dari sejumlah sahabat, disebutkan bahwa Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka bertanya, "Wahai Tuhan kami, siapakah khalifah tersebut?" Allah berfirman,

"Kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di muka bumi, saling mendengki, dan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain."Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut, "Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah dari-Ku yang berkedudukan menggantikan diri-Ku dalam memutuskan hukum secara adil di kalangan makhluk-Ku." Sesungguhnya khalifah itu adalah Adam dan orang-orang yang menempati

kedudukannya dalam ketaatan kepada Allah dan memutuskan hukum dengan adil di kalangan makhluk-Nya. Mereka yang suka menimbulkan kerusakan dan mengalirkan darah tanpa alasan yang dibenarkan,

hal itu bukan berasal dari khalifah-khalifah-Nya.Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna khilafah yang disebut oleh Allah Swt. tiada lain khilafah satu generasi dari mereka atas generasi yang lainnya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa khalifah fi'liyyah diambil dari perkataan khalafa fulanun fulanan fi hazal amri; dikatakan demikian apabila Fulan pertama menggantikan Fulan yang kedua dalam hal itu sesudahnya. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


{ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ}


Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat. (Yunus: 14)Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan kepada sultan yang terbesar

sebagai khalifah, karena dia berkedudukan menggantikan sultan yang sebelumnya dalam menjabat urusan-urusannya, maka dikatakanlah dia sebagai penggantinya. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Muhammad Ibnu Ishaq

mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud ialah sebagai penghuni dan pembangunnya. Dengan kata lain,

yang akan membangun bumi dan menghuninya adalah makhluk selain kalian (para malaikat).Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan

kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan kerusakan di atas bumi

dan mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Setelah itu Allah mengirimkan Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis bersama para malaikat

memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau yang ada di berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu Allah menciptakan Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu Allah Swt berfirman:

'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi' (Al-Baqarah: 30)."Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa'ib, dari Ibnu Sabit sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30)

Yang dimaksud oleh para malaikat adalah Bani Adam (manusia).Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan di muka bumi makhluk (manusia)

dan Aku akan menjadikan seorang khalifah padanya," sedangkan saat itu Allah Swt. tidak memiliki makhluk selain malaikat dan bumi yang masih belum ada makhluknya. Maka para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan

(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan?"Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh As-Saddi melalui Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, serta sejumlah sahabat; ketika Allah Swt.

memberitahukan kepada para malaikat tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keturunan Adam, maka malaikat mengatakan hal tersebut.Dalam keterangan yang lalu disebutkan pula sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ad-Dahhak,

dari Ibnu Abbas, bahwa jin menimbulkan kerusakan di muka bumi sebelum Adam, maka para malaikat mengatakan hal tersebut; mereka mengkiaskan manusia dengan jin.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku,

telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta-nafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa pada mulanya

Jin Banul Jan adalah penghuni bumi sebelum Adam diciptakan dalam tenggang masa dua ribu tahun. Lalu jin menimbulkan kerusakan di bumi dan mengalirkan darah. Maka Allah mengirimkan bala tentara dari kalangan para malaikat.

Lalu para malaikat memukul (memerangi) mereka hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan. Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah berfirman menjawab mereka: Sesungguhnya Aku

mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Razi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

(Al-Baqarah: 30) sampai dengan firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Bahwa Allah menciptakan malaikat pada hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis,

dan menciptakan Adam pada hari Jumat. Ternyata suatu kaum dari makhluk jin itu kafir, lalu para malaikat turun ke bumi memerangi mereka karena mereka membangkang yang sebelumnya diawali dengan kerusakan di muka bumi.

Karena itulah para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya, seperti kerusakan yang dilakukan oleh makhluk jin. dan mengalirkan darah

seperti yang dilakukan oleh mereka?'*Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami

Mubarak ibnu Fudalah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa Allah Swt. berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi," yakni Allah berfirman kepada mereka,

"Sesungguhnya Aku hendak melakukannya." Mereka beriman kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengajarkan kepada mereka suatu ilmu dan menyembunyikan ilmu yang lain dari mereka yang hanya diketahui-Nya,

sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Lalu mereka mengatakan atas dasar ilmu yang mereka ketahui, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"

Lalu Allah menjawab melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."Al-Hasan mengatakan, dahulu makhluk jin menimbulkan kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah. Akan tetapi,

Allah menjadikan dalam hati mereka (para malaikat) bahwa hal tersebut akan terjadi, lalu mereka mengucapkan kata-kata yang diajarkan-Nya kepada mereka itu.Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah,

sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya. (Al-Baqarah: 30) Pada mulanya Allah memberitahukan kepada para malaikat,

"Apabila di muka bumi terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan menimbulkan kerusakan padanya dan suka mengalirkan darah." Oleh sebab itu mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu

orang yang akan membuat kerusakan padanya?"Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak,

dari orang yang dikenal (yakni Ibnu Kharbuz Al-Makki), dari seseorang yang pernah mendengar Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan hal berikut: As-Sijl adalah malaikat, teman-temannya antara lain Harut dan Marut,

sedangkan As-Sijl setiap harinya mempunyai kesempatan melihat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) sebanyak tiga kali. Kemudian ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, maka ia memandangnya dan ternyata di dalamnya

terdapat perihal penciptaan Adam dan semua perkara yang berkaitan dengannya. Lalu As-Sijl membisikkan hal tersebut kepada Harut dan Marut yang merupakan pembantu As-Sijl. Ketika Allah Swt. berfirman,

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"

Keduanya mengatakan hal tersebut dengan maksud ingin melebihi para malaikat lainnya.Asar ini garib (aneh), seandainya asar ini memang benar dari Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali Ibnul Husain Al-Baqir, maka dia menukilnya

dari kalangan ahli kitab; di dalam kisah ini terkandung kemungkaran yang mengakibatkan asar ini ditolak. Kesimpulan riwayat ini menyatakan bahwa malaikat yang mengatakan hal tersebut hanya dua malaikat saja,

padahal pengertian ini bertentangan dengan konteksnya.Hal yang lebih aneh lagi ialah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang menyatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku

Hisyam ibnu Abu Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Yahya ibnu Abu Kasir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa para malaikat yang mengatakan seperti apa yang disebut dalam

ayat berikut, yaitu firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau

dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Jumlah mereka semuanya ada sepuluh ribu malaikat, kemudian keluarlah api dari sisi Allah dan membakar mereka. Kisah ini pun merupakan kisah Israiliat yang mungkar, sama dengan kisah sebelumnya.

Ibnu Juraij mengatakan, sesungguhnya mereka (para malaikat) hanya mengatakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bahwa hal tersebut akan terjadi sejak penciptaan Adam, lalu mereka berkata,

"Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya para malaikat mengatakan,

"Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Karena Allah telah mengizinkan mereka menanyakan hal tersebut sesudah Allah memberitahukan

kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi di kalangan Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan ungkapan yang mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut, "Mengapa mereka berbuat durhaka terhadap-Mu,

wahai Tuhan, padahal Engkaulah Yang menciptakan mereka?" Maka Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Dengan kata lain, hal tersebut pasti

terjadi di kalangan mereka, sekalipun kalian tidak diberi tahu mengenainya; dan sebagian dari apa yang kalian kemukakan kepada-Ku menunjukkan rasa taat kalian kepada-Ku.Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa sebagian ulama

mengatakan hal tersebut diajukan oleh para malaikat untuk meminta petunjuk tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui mengenai hal itu. Seakan-akan mereka-mengatakan, "Wahai Tuhan, ceritakanlah kepada kami,"

sebagai ungkapan meminta penjelasan, bukan sebagai ungkapan protes. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.Sa'id ibnu Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna fir-man-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman

kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30) Bahwa para malaikat meminta pendapat tentang penciptaan Adam. Untuk itu mereka berkata,

"Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Mereka mengatakan demikian karena mengetahui bahwa tiada suatu perbuatan pun

yang lebih dibenci oleh Allah selain dari mengalirkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi. Lalu para malaikat berkata pula, "Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." Allah Swt. berfirman,

"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Termasuk di antara hal yang hanya ada dalam pengetahuan Allah Swt. ialah bahwa di antara khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh,

dan para penghuni surga.Sa'id ibnu Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia pernah berkata, "Sesungguhnya ketika Allah Swt. hendak menciptakan Adam a.s., para malaikat berkata,

'Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih alim di sisi-Nya daripada kami.' Maka mereka diuji dengan penciptaan Adam." Setiap makhluk mendapat ujian, seperti langit dan bumi menerima ujian untuk taat kepada Allah Swt sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya;


{اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ}


Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa! Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati." (Fushshila:t 11) *************** Firman Allah Swt.:


{وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ}


Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa tasbih dan taqdis artinya salat.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau

dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Menurut mereka, makna yang dimaksud ialah para malaikat berkata, "Kami senantiasa salat kepada-Mu."Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kami senantiasa

mengagungkan dan membesarkan Engkau. Sedangkan menurut Ad-Dahhak, makna taqdis ialah menyucikan. Menurut Muhammad ibnu Ishaq, makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau

dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami tidak pernah berbuat maksiat terhadap-Mu dan kami tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak Engkau sukai.Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna taqdis ialah mengagungkan dan menyucikan.

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah lafaz subbuhun quddusun; dimaksudkan dengan ucapan mereka subbuhun artinya memahasucikan Allah, dan arti quddusun ialah menyucikan dan mengagungkan Allah.

Hal yang sama dikatakan pula terhadap tanah seperti Tanah Suci, yang dimaksud ialah tanah yang disucikan. Dengan demikian, berarti makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. (Al-Baqarah: 30)

Kami senantiasa menyucikan Engkau dan membersihkan Engkau dari hal-hal yang dinisbatkan oleh orang-orang kafir kepada-Mu. Dan makna firman-Nya: dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami nisbatkan

Engkau kepada suatu hal dari sifat-sifat-Mu, yaitu suci dari semua hal yang kotor dan suci dari segala sesuatu yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada Engkau.Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kalam (zikir) yang paling utama. Maka beliau menjawab:


"مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"


Zikir yang dipilih oleh Allah buat para malaikat-Nya yaitu Subhanallah wa bihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala puji-Nya).Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Qart, bahwa Rasulullah Saw. di malam beliau di-isra-kan mendengar suara tasbih di langit yang tertinggi mengatakan:


"سُبْحَانَ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى"


Subhanal 'aliyyil A’la subhanahu wa ta'ala (Mahasuci Tuhan Yang Maha Tinggi atas segalanya, Mahasuci Dia dan Maha Tinggi). ********** Firman Allah Swt.:


{قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}


Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)Qatadah mengatakan, tersebut di dalam ilmu Allah bahwa kelak di kalangan khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul,

kaum yang saleh, dan para penghuni surga. Dalam pembahasan berikut akan disebutkan berbagai pendapat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, serta sejumlah sahabat dan tabi'in mengenai hikmah yang terkandung di dalam firman-Nya:

Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)Al-Qurtubi dan lain-lainnya menyimpulkan dalil ayat ini, wajib mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan perkara

yang diperselisihkan di antara manusia, memutuskan persengketaan mereka, menolong orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang yang zalim dari kalangan mereka, menegakkan hukuman-hukuman had,

dan memperingatkan mereka dari perbuatan-perbuatan keji serta hal-hal lainnya yang penting dan tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam, mengingat suatu hal yang merupakan kesempurnaan

bagi perkara yang wajib hukumnya wajib pula. Pengangkatan imam dapat dilakukan melalui nas seperti yang dikatakan oleh golongan ahli sunnah sehubungan dengan pengangkatan sahabat Abu Bakar r.a.

Atau dengan penunjukan seperti yang dikatakan oleh golongan lain dari kalangan ahli sunnah. Atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang mendahuluinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Siddiq

terhadap sahabat Umar ibnul Khattab. Atau pengangkatannya diserahkan kepada permusyawaratan sejumlah orang-orang yang saleh, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Atau dengan kesepakatan ahlul hilli wal 'aqdi

yang sepakat mem-bai’at-nya.Atau melalui pem-bai’at-an yang dilakukan oleh salah seorang dari ahlul hilli wal 'aqdi terhadap seseorang yang di-bai'at-nya. Bila terjadi hal ini, maka menurut jumhur ulama wajib ditetapkan.

Imam Haramain meriwayatkan adanya kesepakatan ulama terhadap hal ini.Atau orang yang terkuat di kalangan orang-orang banyak mengangkat dirinya secara paksa untuk ditaati, maka khilafah wajib diberikan kepadanya

untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Pendapat ini telah dinaskan oleh Imam Syafii.Apakah wajib mempersaksikan pengangkatan imam? Hal ini masih diperselisihkan. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak disyaratkan

adanya kesaksian, sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan kesaksian merupakan syarat pengangkatan; hal ini cukup dilakukan oleh dua orang saksi.Al-Jiba'i mengatakan bahwa saksi harus dilakukan oleh empat orang

selain dari orang yang mengangkat dan orang yang diangkatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. Dia menyerahkan pengangkatan khalifah kepada permusyawaratan di antara enam orang.

Yang terpilih menjadi pengangkat ialah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf, dan yang diangkatnya ialah sahabat Usman, sedangkan hukum wajib saksi empat orang disimpulkan dari empat orang dari sisanya. Akan tetapi,

pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.Seorang khalifah wajib laki-laki, merdeka, balig, berakal, muslim, adil, mujtahid, dapat melihat, semua anggota tubuhnya sehat, berpengalaman dalam masalah pertempuran

dan memiliki pendapat; dan dari kalangan Quraisy menurut pendapat yang sahih. Dalam hal ini tidak disyaratkan harus seorang Hasyimi, tidak pula orang yang terpelihara dari kekeliruan; berbeda dengan pendapat kaum militan

dari golongan Rafidah.Seandainya imam berbuat fasik, apakah harus dipecat atau tidak? Masalah ini masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat yang sahih, ia tidak dipecat karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:


"إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"


Terkecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan (dilakukannya) terhadap Allah di antara kalian, sedangkan hal itu ada buktinya.Apakah seorang imam boleh mengundurkan diri? Masalah ini masih diperselisihkan.

Al-Hasan ibnu Ali r.a. mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada Mu'awiyah. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu mempunyai uzur (alasan)nya tersendiri, ternyata sikapnya itu terpuji.Pengangkatan dua orang imam dalam satu negeri atau lebih dari dua orang hukumnya tidak boleh karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:


"مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ"


Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan perkara kalian telah bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah dia oleh kalian di mana pun ia berada.Demikianlah pendapat jumhur ulama, dan menurut

suatu riwayat yang bukan hanya diketengahkan oleh satu orang disebutkan adanya kesepakatan mengenai hal ini; di antara mereka yang meriwayatkannya adalah Imam Haramain.Mazhab Karamiyah mengatakan, diperbolehkan

mengangkat dua orang imam, bahkan lebih, seperti yang terjadi pada Ali dan Mu'awiyah yang keduanya merupakan imam yang harus ditaati. Mereka mengatakan, apabila diperbolehkan mengutus dua orang nabi dalam waktu yang sama

dan bahkan lebih dari dua orang, hal ini pun diperbolehkan dalam imamah, karena kenabian lebih tinggi kedudukannya daripada imamah tanpa ada yang memperselisihkan.Imam Haramain meriwayatkan dari Abu Ishaq,

diperbolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih apabila letak wilayahnya berjauhan, sedangkan daerah-daerah di antara keduanya cukup luas. Akan tetapi, Imam Haramain bersikap ragu dalam hal ini. Menurut kami,

pendapat ini mirip dengan keadaan para Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir, serta Khalifah Umawiyah di Magrib. Kami akan membahas seluruh masalah ini di tempat yang lain, yaitu bagian dari Kitabul Ahkam, insya Allah.

Surat Al-Baqarah |2:31|

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

wa 'allama aadamal-asmaaa`a kullahaa ṡumma 'arodhohum 'alal-malaaa`ikati fa qoola ambi`uunii bi`asmaaa`i haaa`ulaaa`i ing kuntum shoodiqiin

Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!"

And He taught Adam the names - all of them. Then He showed them to the angels and said, "Inform Me of the names of these, if you are truthful."

Tafsir
Jalalain

(Dan diajarkan-Nya kepada Adam nama-nama) maksudnya nama-nama benda (kesemuanya) dengan jalan memasukkan ke dalam kalbunya pengetahuan tentang benda-benda itu

(kemudian dikemukakan-Nya mereka) maksudnya benda-benda tadi yang ternyata bukan saja benda-benda mati,

tetapi juga makhluk-makhluk berakal, (kepada para malaikat, lalu Allah berfirman) untuk memojokkan mereka,

("Beritahukanlah kepada-Ku) sebutkanlah (nama-nama mereka) yakni nama-nama benda itu (jika kamu memang benar.") bahwa tidak ada yang lebih tahu daripada kamu di antara makhluk-makhluk yang Kuciptakan

atau bahwa kamulah yang lebih berhak untuk menjadi khalifah. Sebagai 'jawab syarat' ditunjukkan oleh kalimat sebelumnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 31 |

Tafsir ayat 31-33

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!"

Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." Allah berfirman, "Hai Adam,

beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman, "Bukankah sudah Ku-katakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia

langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?"Hal ini merupakan sebutan yang dikemukakan oleh Allah Swt., di dalamnya terkandung keutamaan Adam atas malaikat berkat apa

yang telah dikhususkan oleh Allah baginya berupa ilmu tentang nama-nama segala sesuatu, sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya. Hal ini terjadi sesudah para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.

Sesungguhnya bagian ini didahulukan atas bagian tersebut (yang mengandung perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud kepada Adam) karena bagian ini mempunyai kaitan erat dengan keti-aktahuan para malaikat

tentang hikmah penciptaan khalifah, yaitu di saat mereka menanyakan hal tersebut. Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia mengetahui apa yang tidak mereka ketahui. Karena itulah Allah menyebutkan bagian ini sesudah

hal tersebut, untuk menjelaskan kepada mereka keutamaan Adam, berkat kelebihan yang dimilikinya di atas mereka berupa ilmu pengetahuan tentang nama-nama segala sesuatu. Untuk itu Allah Swt. berfirman,


{وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا}


"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya" (Al-Baqarah: 31).As-Saddi mengatakan dari orang yang menceritakannya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (Al-Baqarah: 31) Bahwa Allah Swt. mengajarkan kepada Adam nama-nama semua anaknya seorang demi seorang, dan nama-nama seluruh hewan,

misalnya ini keledai, ini unta, ini kuda, dan seterusnya.Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud ialah nama-nama yang dikenal oleh manusia, misalnya manusia, hewan, langit, bumi,

dataran rendah, laut, kuda, keledai, dan nama-nama makhluk yang serupa lainnya.Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari hadis Asim ibnu Kulaib, dari Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini,

bahwa Allah mengajarkan nama piring dan panci kepada Adam. Ibnu Abbas mengatakan, "Memang benar diajarkan pula nama angin yang keluar dari dubur."Menurut Mujahid, makna ayat ini ialah Allah mengajarkan kepada Adam

nama semua hewan, semua jenis burung, dan nama segala sesuatu. Hal yang sama dikatakan pula oleh riwayat dari Sa'id ibnu Jubair, Qatadah, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, bahwa Allah mengajarkan kepadanya

nama-nama segala sesuatu. Ar-Rabi' dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa yang dimaksud ialah nama-nama malaikat. Hamid Asy-Syami mengatakan nama-nama bintang-bintang. Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan

bahwa Allah mengajarkan kepadanya nama-nama seluruh keturunannya.Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa Allah mengajarkan kepadanya nama-nama para malaikat dan nama-nama anak cucunya, karena Allah Swt. berfirman:


{ثُمَّ عَرَضَهُمْ}


Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu. (Al-Baqarah: 30)Kalimat ini menunjukkan pengertian makhluk yang berakal. Tetapi apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir ini bukan merupakan suatu hal yang pasti kebenarannya,

mengingat tidak mustahil bila di antara mereka termasuk jenis lain yang tidak berakal, kemudian diungkapkan keseluruhannya dalam bentuk sigat makhluk yang berakal sebagai suatu prioritas, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah lainnya, yaitu:


{وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ يَخْلُقُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}


Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki.

Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Nur: 45)Sahabat Abdullah ibnu Mas'ud membacanya summa aradahunna, sedangkan Ubay ibnu Ka'b membacanya summa aradaha,

yakni kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat.Menurut pendapat yang sahih, Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu, yakni semua zat, sifat dan karakternya —seperti yang dikatakan oleh

Ibnu Abbas— hingga nama angin yang keluar dari dubur, yakni nama-nama semua zat dan karakternya dalam bentuk mukabbar dan musaggar. Karena itu, Imam Bukhari dalam tafsir ayat ini pada Kitabut Tafsir, bagian dari kitab Sahih-nya, mengatakan:


حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ لِي خَلِيفَةُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيع، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -: "يَجْتَمِعُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَقُولُونَ: لَوِ اسْتَشْفَعْنَا إِلَى رَبِّنَا؟ فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، ويذكر ذنبه فيستحي؛ ائْتُوا نُوحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ، فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُم. وَيَذْكُرُ سُؤَالَهُ رَبَّهُ مَا لَيْسَ لَهُ بِهِ عِلْمٌ فيستحي. فَيَقُولُ: ائْتُوا خَلِيلَ الرَّحْمَنِ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكم؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا مُوسَى عَبْدًا كَلمه اللَّهُ، وَأَعْطَاهُ التَّوْرَاةَ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ قَتْلَ النفس بغير نفس، فيستحي مِنْ رَبِّهِ؛ فَيَقُولُ: ائْتُوا عِيسَى عَبْدَ اللَّهِ ورسولَه وكَلِمةَ اللَّهِ وَرُوحَهُ، فَيَأْتُونَهُ، فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُم، ائْتُوا مُحَمَّدًا عَبْدًا غَفَر اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، فَيَأْتُونِي، فَأَنْطَلِقُ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ عَلَى رَبِّي، فيُؤذن لِي، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وقعتُ سَاجِدًا، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ رَأْسَكَ، وَسَلْ تعطه، وقل يُسْمَع، وَاشْفَعْ تُشَفَّع، فَأَرْفَعُ رَأْسِي، فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يعلمُنيه، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ، ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهِ، وَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي مِثْلَهُ ، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ ، ثُمَّ أَعُودُ الرَّابِعَةَ فَأَقُولُ: مَا بَقِيَ فِي النَّارِ إِلَّا مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْخُلُودُ"


Telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Khalifah telah mengatakan kepadaku,

telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Anas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang-orang mukmin berkumpul di hari kiamat, lalu mereka mengatakan,

"Seandainya kita meminta syafaat kepada Tuhan kita." Maka mereka datang kepada Adam, lalu berkata, "Engkau adalah bapak umat manusia, Allah telah menciptakan-Mu dengan tangan kekuasaan-Nya dan Dia telah memerintahkan

kepada para malaikat-Nya agar bersujud kepadamu serta Dia telah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu, maka mintalah syafaat buat kami kepada Tuhanmu, agar Dia membebaskan kami dari tempat kami sekarang ini.

" Adam menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian." Lalu dia menyebutkan kesalahannya yang membuatnya merasa malu. (Dia berkata), "Datanglah kalian kepada Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama

yang diutus oleh Allah buat penduduk bumi." Lalu mereka datang kepadanya, tetapi Nuh menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," lalu ia menyebutkan permintaan yang pernah dia ajukan kepada Tuhannya

tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, hingga ia merasa malu. Ia berkata, "Datanglah kalian kepada kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah (Nabi Ibrahim)." Lalu mereka mendatanginya, tetapi ia berkata,

"Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," dan Nabi Ibrahim berkata, "Datangilah oleh kalian Musa, seorang hamba yang pernah diajak bicara oleh Allah dan diberi-Nya kitab Taurat." Lalu mereka datang kepada Musa,

tetapi Musa menjawab, "Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian," kemudian Musa menyebutkan pembunuhan yang pernah dilakukannya terhadap seseorang bukan karena orang itu telah membunuh orang lain,

hingga ia merasa malu kepada Tuhannya. Lalu ia berkata, "Datanglah kalian kepada Isa, hamba Allah dan rasul-Nya yang diciptakan melalui kalimat Allah dan roh (ciptaan)-Nya." Kemudian mereka datang kepada Isa, tetapi Isa menjawab,

"Aku bukanlah orang yang dapat menolong kalian, datanglah kalian kepada Muhammad, seorang hamba yang telah diampuni baginya semua dosanya yang lalu dan yang kemudian." Lalu mereka datang kepadaku, maka aku berangkat

dan meminta izin kepada Tuhanku hingga Dia mengizinkan diriku. Ketika aku melihat Tuhanku, maka aku menyungkur bersujud dan Dia membiarkan diriku dalam keadaan demikian selama yang Dia kehendaki. Kemudian Dia berfirman,

"Angkatlah kepalamu, dan mintalah, niscaya kamu diberi apa yang kamu minta; dan katakanlah, niscaya didengar; dan mintalah syafaat, niscaya kamu diberi izin untuk memberi syafaat." Lalu aku mengangkat kepalaku dan aku memuji-Nya

dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memohon syafaat, dan Dia menentukan suatu batasan kepadaku, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali kepada-Nya; dan ketika aku melihat Tuhanku,

maka aku melakukan hal yang serupa, lalu aku memohon syafaat dan Dia memberikan suatu batasan (jumlah) tertentu, maka aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali lagi untuk yang ketiga kalinya

dan kembali lagi untuk yang keempat kali-nya, hingga aku katakan, "Tiada yang tertinggal di dalam neraka kecuali orang-orang yang telah ditahan oleh Al-Qur'an dan dipastikan baginya kekal di dalam neraka."

Demikian menurut hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini. Hadis yang sama telah diketengahkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui hadis Hisyam (yaitu Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwa'i), dari Qatadah

dengan lafaz yang sama. Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ibnu Majah telah mengetengahkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id (yaitu Ibnu Abu Arubah), dari Qatadah.Kaitan pengetengahan hadis ini dan tujuan utamanya ialah menyimpulkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:


"فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: أَنْتَ أَبُو النَّاسِ خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ"


Lalu mereka mendatangi Adam dan berkata, "Engkau adalah bapak umat manusia, Allah telah menjadikan kamu dengan tangan kekuasaan-Nya, dan Dia telah memerintahkan para malaikat-Nya agar bersujud kepadamu,

dan Dia telah mengajarkan kepadamu nama-nama segala sesuatu."Hadis ini menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semua makhluk. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya:


{ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ}


Kemudian Allah mengemukakan nama-nama itu kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 31)Makna yang dimaksud ialah semua nama-nama tersebut, seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah. Qatadah mengatakan, setelah itu Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, lalu Allah Swt. berfirman:


{فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}


Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!" (Al-Baqarah: 31)As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas,

juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya," kemudian dia mengemukakan makhluk-makhluk itu

kepada para malaikat. Menurut Ibnu Juraij, dari Mujahid, setelah itu Allah mengemukakan semua makhluk yang diberi nama-nama itu kepada para malaikat.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim,

telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah; keduanya mengatakan bahwa

Allah mengajarkan kepada Adam nama segala sesuatu, dan Allah menyebutkan segala sesuatu dengan namanya masing-masing serta Dia mengemukakannya kepada Adam satu kelompok demi satu kelompok.Dengan sanad yang sama

dari Al-Hasan dan Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) disebutkan bahwa sesungguhnya Aku tidak sekali-kali menciptakan makhluk melainkan kalian

(para malaikat) lebih mengetahui daripada dia (Adam), maka sebutkanlah kepada-Ku nama-nama semuanya itu jika memang kalian orang-orang yang benar.Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya,

"In kuntum sadiqin" yakni jika kalian memang mengetahui bahwa Aku tidak usah menjadikan seorang khalifah di muka bumi.As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud,

dan dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna firman-Nya, "In kuntum sadiqin" yakni jika kalian memang orang-orang yang benar bahwa Bani Adam suka membuat kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah.

Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama dalam masalah ini ialah takwil Ibnu Abbas dan orang-orang yang sependapat dengannya.Makna hal tersebut ialah bahwa Allah Swt berfirman,

"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda yang telah Kukemukakan kepada kalian, hai malaikat yang mengatakan, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya

dan menumpahkan darah? Apakah dari kalangan selain kami atau dari kalangan kami? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau,' jika kalian memang orang-orang yang benar dalam pengakuannya.

Jika Aku menjadikan khalifah-Ku di muka bumi dari kalangan selain kalian, niscaya dia durhaka kepada-Ku, begitu pula keturunannya, lalu mereka membuat kerusakan dan mengalirkan darah. Tetapi jika Aku menjadikan khalifah

di muka bumi dari kalangan kalian, niscaya kalian taat kepada-Ku dan mengikuti semua perintah-Ku dengan mengagungkan dan menyucikan-Ku. Apabila kalian tidak mengetahui nama-nama mereka yang Kuketengahkan kepada kalian dan kalian saksikan sendiri, berarti terhadap semua hal yang belum ada dari hal-hal yang akan ada —hanya belum diwujudkan— kalian lebih tidak mengetahui lagi."


*********

{قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ}


Mereka (para malaikat) menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 32)

Ayat ini menerangkan tentang sanjungan para malaikat kepada Allah dengan menyucikan dan membersihkan-Nya dari semua pengetahuan yang dikuasai oleh seseorang dari ilmu-Nya, bahwa hal itu tidak ada kecuali

menurut apa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, tidaklah mereka mengetahui sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan oleh Allah Swt. kepada mereka. Karena itulah para malaikat berkata dalam jawabannya: Mahasuci Engkau,

tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 32) Yakni Yang Maha Mengetahui segala sesuatu,

Yang Mahabijaksana dalam ciptaan dan urusan-Mu serta dalam mengajarkan segala sesuatu yang Engkau kehendaki serta mencegah segala sesuatu yang Engkau kehendaki, hanya Engkaulah yang memiliki kebijaksanaan dan keadil-an

yang sempurna dalam hal ini.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ibnu Abbas sehubungan

dengan makna kalimat subhanallah; hal itu artinya pujian Allah kepada diri-Nya sendiri yang menyucikan-Nya dari semua keburukan.Kemudian Umar pernah bertanya kepada Ali, sedangkan teman-teman sahabat Umar berada di hadapannya,

"Kalau makna kalimah La ilaha illallah telah kami ketahui, apakah makna subhanallah? Ali k.w. menjawab, "Ia merupakan suatu kalimat yang disukai oleh Allah buat diri-Nya, dan Dia rela serta suka bila diucapkan."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Nadr ibnu Addi yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Maimun ibnu Mihran tentang makna kalimat subhanallah. Maka Maimun menjawab, "Nama untuk mengagungkan Allah dan menjauhkan-Nya dari semua keburukan." ******** Firman Allah Swt.:


{قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ}


Allah berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, sesungguhnya

Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan." (Al-Baqarah: 33)Zaid ibnu Aslam mengatakan, Adam menyebutkan semua nama, antara lain:

"Kamu Jibril, kamu Mikail, dan kamu Israfil," dan nama semua makhluk satu persatu hingga sampai pada nama burung gagak. Mujahid mengatakan, sehubungan dengan firman-Nya: Allah berfirman, "Hai Adam,

beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini" (Al-Baqarah: 33) Menurutnya, yang disebut adalah nama burung merpati, burung gagak, dan nama-nama segala sesuatu. Diriwayatkan hal yang semisal dari Sa'id ibnu Jubair,

Al-Hasan, dan Qatadah.Setelah keutamaan Adam a.s. tampak jelas oleh para malaikat karena dia telah menyebutkan nama-nama segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya, (sedangkan para malaikat tidak menge-tahuinya),

maka Allah berfirman kepada para malaikat: Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?

(Al-Baqarah: 33)Dengan kata lain, Allah bermaksud 'bukankah Aku sudah menjelaskan kepada kalian bahwa Aku mengetahui yang gaib, yakni yang Lahir dan yang tersembunyi". Makna ayat ini sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:


{وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى}


Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Thaha: 7)Sama juga dengan firman-Nya yang menceritakan perihal burung Hudhud di saat ia berkata kepada Nabi Sulaiman, yaitu:


{أَلا يَسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُعْلِنُونَ * اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ}


agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. Allah, tiada Tuhan Yang disembah kecuali Dia,

Tuhan yang mempunyai 'Arasy yang besar. (An-Naml: 25-26)Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: dan mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33)

Makna ayat ini tidaklah seperti apa yang kami sebutkan di atas. Sehubungan dengan pendapat ini Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya, "Wa a'lamu ma tubduna wama kuntum taktumun,"

bahwa makna yang dimaksud ialah 'Aku mengetahui rahasia sebagaimana Aku mengetahui hal-hal yang lahir'. Dengan kata lain, Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati iblis, yaitu perasaan takabur dan tinggi diri.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak

menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) hingga akhir ayat. Hal inilah yang dimaksudkan dengan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan mengenai firman-Nya:

dan (Aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya berupa sifat takabur. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, As-Saddi, Ad-Dahhak,

dan As-Sauri. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah me-ngatakan bahwa yang dimaksud adalah ucapan para malaikat yang mengatakan, "Tidak sekali-kali Tuhan

kami menciptakan suatu makhluk melainkan kami lebih alim dan lebih mulia di sisi-Nya daripada dia."Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan

dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Disebutkan bahwa termasuk di antara apa yang dilahirkan oleh mereka (para malaikat) ialah ucapan mereka.”Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu

orang yang akan membuat kerusakan padanya dan mengalirkan darah?" Sedangkan di antara apa yang mereka sembunyikan ialah ucapan mereka di antara sesamanya, yaitu "tidak sekali-kali Tuhan kita menciptakan suatu makhluk

kecuali kita lebih alim dan lebih mulia daripadanya". Tetapi akhirnya mereka mengetahui bahwa Allah mengutamakan Adam di atas diri mereka dalam hal ilmu dan kemuliaan.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus,

telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam kisah para malaikat dan Adam, bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sebagaimana kalian tidak mengetahui nama-nama benda-benda ini,

maka kalian pun tidak mempunyai ilmu. Sesungguhnya Aku hanya bermaksud menjadikan mereka agar membuat kerusakan di bumi, dan hal ini sudah Kuketahui dan telah berada di dalam pengetahuan-Ku. Akan tetapi,

Aku pun menyembunyikan dari kalian suatu hal, yaitu bahwa Aku hendak menjadikan di bumi itu orang-orang yang durhaka kepada-Ku dan orang-orang yang taat kepada-Ku." Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, telah ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya:


{لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ}


Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (As-Sajdah: 13, Hud: 119)Sedangkan para malaikat belum mengetahui dan belum mengerti hal ini. Ketika mereka melihat apa

yang telah dianugerahkan Allah kepada Adam berupa ilmu, akhirnya mereka mengakui kelebihan Adam atas diri mereka.Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang paling utama sehubungan dengan masalah ini ialah pendapat Abbas,

yaitu yang mengatakan bahwa makna firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan.... (Al-Baqarah: 33) Artinya "Aku, di samping pengetahuan-Ku tentang hal yang gaib di langit dan di bumi, mengetahui apa yang kalian

lahirkan melalui lisan kalian dan apa yang kalian sembunyikan di dalam diri kalian. Maka tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Ku. Rahasia dan terang-terangan kalian bagi-Ku sama saja, tidak ada bedanya, semuanya Kuketahui.

" Hal yang mereka lahirkan melalui lisan mereka adalah ucapan mereka yang mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?" Apa yang mereka sembunyikan

ialah hal-hal yang tersimpan di dalam diri iblis (yang pada asalnya adalah dari kalangan malaikat pula), yaitu menentang Allah dalam perintah-perintah-Nya dan bersikap takabur, tidak mau taat kepada-Nya.Selanjutnya Ibnu Jarir

mengatakan bahwa pengertian ini diperbolehkan, mengingat perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang Arab, "Qutilal jaisyu wahuzimu (pasukan itu banyak yang terbunuh dan terpukul mundur)."

Padahal sesungguhnya yang terbunuh hanya satu orang atau sebagian dari pasukan, dan yang terpukul mundur (kalah) hanyalah satu orang atau sebagian dari pasukan. Tetapi dalam pemberitaannya disebutkan bahwa yang terbunuh dan yang terpukul mundur adalah semua pasukan. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:


{إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ}


Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) (Al-Hujurat: 4)Sesungguhnya yang melakukan panggilan seperti itu hanyalah seseorang dari kalangan Bani Tamim, bukan semuanya. Menurut Ibnu Jarir, demikian pula pengertian makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33)

Surat Al-Baqarah |2:32|

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

qooluu sub-ḥaanaka laa 'ilma lanaaa illaa maa 'allamtanaa, innaka antal-'aliimul-ḥakiim

Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

They said, "Exalted are You; we have no knowledge except what You have taught us. Indeed, it is You who is the Knowing, the Wise."

Tafsir
Jalalain

(Jawab mereka, "Maha suci Engkau!) artinya tidak sepatutnya kami akan menyanggah kehendak dan rencana-Mu (Tak ada yang kami ketahui, kecuali sekadar yang telah Engkau ajarkan kepada kami)

mengenai benda-benda tersebut. (Sesungguhnya Engkaulah) sebagai 'taukid' atau penguat bagi Engkau yang pertama,

(Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana.") hingga tidak seorang pun yang lepas dari pengetahuan serta hikmah kebijaksanaan-Mu.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 32 |

Penjelasan ada di ayat 31

Surat Al-Baqarah |2:33|

قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

qoola yaaa aadamu ambi`hum bi`asmaaa`ihim, fa lammaaa amba`ahum bi`asmaaa`ihim qoola a lam aqul lakum inniii a'lamu ghoibas-samaawaati wal-ardhi wa a'lamu maa tubduuna wa maa kuntum taktumuun

Dia (Allah) berfirman, "Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!" Setelah dia (Adam) menyebutkan nama-namanya, Dia berfirman, "Bukankah telah Aku katakan kepadamu bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"

He said, "O Adam, inform them of their names." And when he had informed them of their names, He said, "Did I not tell you that I know the unseen [aspects] of the heavens and the earth? And I know what you reveal and what you have concealed."

Tafsir
Jalalain

(Allah berfirman, "Hai Adam! Beritahukanlah kepada mereka) maksudnya kepada para malaikat itu (nama mereka") yakni benda-benda itu.

Maka disebutnya satu persatu menurut nama masing-masing berikut hikmah diciptakannya oleh Allah.

(Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman) kepada mereka guna mencela mereka,

("Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi) maksudnya mengetahui barang yang tersembunyi pada keduanya,

(dan mengetahui apa yang kamu lahirkan) yaitu ucapan yang kamu keluarkan, yaitu, 'Kenapa hendak Engkau jadikan...dan seterusnya' (dan apa yang kamu sembunyikan.") yaitu ucapan yang kamu sembunyikan,

seperti "Allah tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih pandai dari kami."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 33 |

Penjelasan ada di ayat 31

Surat Al-Baqarah |2:34|

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

wa iż qulnaa lil-malaaa`ikatisjuduu li`aadama fa sajaduuu illaaa ibliis, abaa wastakbaro wa kaana minal-kaafiriin

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam!" Maka mereka pun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir.

And [mention] when We said to the angels, "Prostrate before Adam"; so they prostrated, except for Iblees. He refused and was arrogant and became of the disbelievers.

Tafsir
Jalalain

(Dan) ingatlah! (Ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam!") Maksudnya sujud sebagai penghormatan dengan cara membungkukkan badan

, (maka mereka pun sujud, kecuali Iblis) yakni nenek moyang bangsa jin yang ada di antara para malaikat,

(ia enggan) tak hendak sujud (dan menyombongkan diri) dengan mengatakan bahwa ia lebih mulia daripada Adam (dan Iblis termasuk golongan yang kafir) dalam ilmu Allah Taala.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 34 |

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur, dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.Hal ini merupakan

penghormatan yang besar dari Allah Swt. buat Adam dan dapat dilimpahkan kepada keturunannya, yaitu ketika Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia telah memerintahkan kepada para malaikat untuk bersujud menghormati Adam.

Kenyataan ini diperkuat pula oleh banyak hadis yang menunjukkan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi. Antara lain ialah hadis mengenai syafaat yang telah disebutkan di atas dan hadis yang mengisahkan Nabi Musa a.s., yaitu:


"رَبِّ، أَرِنِي آدَمَ الَّذِي أَخْرَجَنَا ونفسَه مِنَ الْجَنَّةِ"، فَلَمَّا اجْتَمَعَ بِهِ قَالَ: "أَنْتَ آدَمُ الَّذِي خَلَقَهُ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَأَسْجَدَ لَهُ مَلَائِكَتَهُ"


Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku Adam yang telah mengeluarkan diri kami dan dirinya sendiri dari surga. Ketika Musa telah bersua dengannya, Musa berkata, "Engkaukah Adam yang telah diciptakan oleh Allah dengan tangan

kekuasaan-Nya dan Dia meniupkan sebagian dari roh-Nya kepadamu dan memerintahkan kepada para malaikat-Nya untuk bersujud kepadamu?"Hadis secara lengkap akan diketengahkan kemudian, insya Allah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas

yang menceritakan hal berikut. Pada awalnya iblis itu merupakan suatu golongan dari kalangan para malaikat, mereka dikenal dengan sebutan jin. Iblis diciptakan dari api yang sangat panas, yakni jin yang berada di antara para malaikat,

nama aslinya adalah Al-Haris; pada mulanya ia ditugaskan sebagai salah seorang penjaga surga. Tetapi malaikat semuanya diciptakan dari nur yang berbeda dengan golongan iblis tadi. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,

bahwa jin yang disebut di dalam Al-Qur'an diciptakan dari nyala api, yakni dari lidah api yang paling ujungnya bila menyala. Sedangkan manusia diciptakan dari tanah liat. Makhluk yang mula-mula menghuni bumi adalah jin,

lalu mereka membuat kerusakan, mengalirkan darah, dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Maka Allah mengirimkan kepada mereka iblis bersama sejumlah pasukan dari para malaikat. Mereka yang diutus melakukan tugas ini

dari kalangan makhluk yang dikenal dengan nama jin. Iblis bersama para pengikutnya dapat menumpas makhluk jin hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan dan ke puncak-puncak bukit.

Setelah iblis dapat melakukan tugas tersebut, akhirnya dia merasa tinggi diri, dan mengatakan, "Aku telah melakukan sesuatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun." Allah mengetahui hal itu yang tersimpan di balik hati iblis,

sedangkan para malaikat yang bersamanya tidak mengetahui hal itu. Lalu Allah Swt. berfirman kepada para malaikat yang pernah diutus-Nya bersama iblis, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi itu."

Maka para malaikat menjawab-Nya, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, seperti kerusakan yang pernah dilakukan oleh makhluk jin

dan banyaknya darah mengalir karena perbuatan mereka? Padahal sesungguhnya kami diutus untuk menumpas mereka." Kemudian Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." yakni "

Aku mengetahui apa yang tersimpan di balik hati iblis hal-hal yang tidak kalian ketahui, yaitu sifat ta-abur dan tinggi diri. Lalu Allah memerintahkan agar dihadapkan kepada-Nya tanah liat untuk menciptakan Adam, kemudian tanah itu

dihadapkan kepada-Nya. Maka Allah menciptakan Adam dari tanah liat, yakni tanah liat yang baik, berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan berbau tidak enak. Sesungguhnya pada mulanya dari tanah,

kemudian menjadi tanah liat yang diberi bentuk; Allah menciptakan Adam dari tanah liat itu dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri. Adam didiamkan tergeletak selama empat puluh malam berupa jasad, sedangkan iblis selama itu

selalu mendatanginya dan memukulnya dengan kaki, maka tubuh Adam mengeluarkan suara (seperti suara tembikar yang dipukul). Hal inilah yang disebut di dalam firman-Nya:


{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}


dari tanah kering seperti tembikar. (Ar-Rahman: 14)Yakni berbentuk sesuatu yang berongga dan tidak berisi. Kemudian iblis memasuki mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu masuk dari dubur dan ke luar dari mulutnya.

Selanjutnya iblis mengatakan, "Kamu bukanlah sesuatu untuk dibunyikan dan karena apakah kamu diciptakan. Seandainya aku menguasaimu, niscaya aku dapat membinasakanmu; dan seandainya kamu dapat menguasaiku,

niscaya aku akan membangkang terhadapmu." Ketika Allah meniupkan ke dalam tubuhnya sebagian dari roh-Nya hal ini dilakukan mulai dari bagian kepalanya, maka tidak sekali-kali sesuatu dari tiupan itu mengalir dalam tubuhnya

melainkan berubah menjadi daging dan darah. Ketika tiupan sampai pada bagian pusar, maka Adam memandang ke arah tubuhnya dan ia merasa kagum dengan apa yang ia lihat pada tubuhnya. Lalu Adam bangkit berdiri akan tetapi tidak mampu. Hal inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:


{وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا}


Manusia bersifat tergesa-gesa. (Al-Isra: 11); Maksudnya terburu-buru, tidak mempunyai kesabaran dalam menghadapi kesukaran dan juga kedukaan. Setelah peniupan roh ke dalam tubuhnya telah selesai, maka Adam bersin,

lalu mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamina (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam) melalui ilham dari Allah Swt., maka Allah berfirman menjawabnya, "Semoga Allah mengasihani kamu, hai Adam." Kemudian Allah berfirman

kepada para malaikat yang bersama dengan iblis tadi secara khusus, bukan seluruh malaikat yang berada di langit, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Maka mereka semuanya sujud, kecuali iblis; ia membangkang dan takabur

karena di dalam dirinya telah muncul sifat takabur dan tinggi diri. Iblis berkata, "Aku tidak mau sujud karena aku lebih baik daripada dia dan lebih tua serta asalku lebih kuat. Engkau telah menciptakan aku dari api, sedangkan

dia Engkau ciptakan dari tanah liat. Sesungguhnya api lebih kuat daripada tanah liat." Setelah iblis menolak sujud kepada Adam, maka Allah menjauhkannya dari seluruh kebaikan dan menjadikannya setan yang terkutuk sebagai hukuman

atas kedurhakaannya. Kemudian Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruh benda, yaitu nama-nama yang dikenal oleh manusia, misalnya manusia, binatang, bumi, dataran rendah, laut, gunung, keledai,

serta lain-lainnya yang serupa dari kalangan makhluk hidup dan selainnya. Kemudian Allah mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat yang tadinya bersama iblis, yakni mereka yang diciptakan dari api yang sangat panas,

lalu Allah berfirman kepada mereka: Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu. (Al-Baqarah: 31) Maksudnya, jelaskanlah kepadaku nama semua benda itu. Dalam firman selanjutnya disebutkan: jika kalian memang orang-orang yang benar.

(Al-Baqarah: 31) Yakni jika memang kalian mengetahui mengapa Aku menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Ketika para malaikat mengetahui bahwa Allah murka terhadap mereka karena mereka berani mengatakan hal yang gaib

—padahal tiada yang mengetahui perkara gaib selain Allah semata— dan mereka tidak mempunyai pengetahuan mengenai-nya, lalu mereka berkata: Mahasuci Engkau. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini mengandung makna menyucikan Allah,

bahwa tiada seorang pun yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Dia semata. Dalam kalimat selanjutnya para malaikat mengatakan, "Kami bertobat kepada-Mu." tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan

kepada kami. (Al-Baqarah: 32) Kalimat ini mengandung makna kebersihan diri mereka dari pengetahuan mengenai hal yang gaib, tiada yang kami ketahui melainkan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami seperti apa yang telah Engkau

' ajarkan kepada Adam. Kemudian Allah berfirman kepada Adam: Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini. (Al-Baqarah: 33) Allah memerintahkan kepada Adam agar menyebut nama semua benda itu.

Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian." (Al-Baqarah: 33) Hai para malaikat yang khusus. bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit

dan bumi. (Al-Baqarah: 33) sedangkan selain Aku tiada yang mengetahuinya. dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Aku mengetahui semua yang kalian lahirkan

dan mengetahui semua yang kalian sembunyikan, Aku mengetahui rahasia seperti Aku mengetahui hal yang terang-terangan. Makna yang dimaksud ialah bahwa Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis di dalam hatinya,

yaitu perasaan takabur dan tinggi hati.Pendapat ini garib (aneh), di dalamnya terdapat berbagai hal yang masih perlu dipertimbangkan, bila dibahas memerlukan keterangan yang cukup panjang. Penyandaran kepada Ibnu Abbas

ini diriwayatkan oleh sebuah kitab tafsir yang cukup terkenal.As-Saddi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Nabi Saw.;

ketika Allah telah rampung dari menciptakan apa yang Dia sukai, lalu Dia berkuasa di 'Arasy. Kemudian Allah menjadikan iblis sebagai raja di langit dunia. Dia berasal dari suatu jenis malaikat yang dikenal dengan sebutan jin;

sesungguhnya iblis dinamakan 'jin' karena ia menjabat sebagai penjaga surga. Dengan demikian, di samping sebagai raja di langit dunia, ia pun sekaligus sebagai penjaga surga. Hal ini membuatnya merasa besar kepala, lalu dia mengatakan,

"Tidak sekali-kali Allah memberiku tugas ini melainkan karena aku mempunyai kelebihan di atas para malaikat." Ketika iblis mulai congkak dan Allah melihat apa yang tersembunyi di dalam diri iblis itu, maka Allah berfirman kepada para malaikat:

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Maka malaikat berkata, "Wahai Tuhan Kami, apakah yang terjadi pada khalifah itu?" Allah menjawab,

"Kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di bumi dan saling mendengki serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Para malaikat bertanya, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau hendak menjadikan

khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa

yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30) Artinya, Allah mengetahui apa yang tersimpan di dalam benak iblis. Kemudian Allah memerintahkan Malaikat Jibril turun ke bumi untuk mengambil tanah liat. Tetapi bumi berkata,

"Aku berlindung kepada Allah dari kamu agar kamu tidak mengurangiku atau membuatku menjadi buruk." Maka Malaikat Jibril kembali tanpa mengambilnya, dan ia berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya bumi meminta perlindungan kepada-Mu,"

maka Aku beri dia perlindungan. Lalu Allah mengutus Malaikat Mikail, dan bumi meminta perlindungan pula darinya, maka Ia memberinya perlindungan. Akhirnya Malaikat Mikail kembali dan mengatakan seperti apa yang dikatakan

oleh Malaikat Jibril. Pada akhirnya Allah mengirimkan malaikat maut, dan bumi meminta perlindungan darinya, tetapi malaikat maut berkata, "Dan aku pun berlindung kepada Allah bila aku kembali, sedangkan perintah Allah belum aku laksanakan"

Lalu ia mengambil tanah liat dari muka bumi dan mengambilnya secara acak bukan hanya dari satu tempat saja, lalu ia campur jadi satu, ada yang merah, ada yang putih, dan ada yang hitam. Karena itu, keturunan Adam bermacam-macam

warna kulitnya. Malaikat maut membawanya naik dalam bentuk tanah liat yang sebelumnya hanya berupa tanah. Tanah liat ialah tanah yang sebagian melekat pada sebagian yang lainnya (lengket). Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat:


{إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ * فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ}


Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan padanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kalian bersujud kepadanya. (Shad: 71-72)

Allah menciptakan Adam dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri agar iblis tidak takabur terhadapnya dan dapat dikatakan, "Apakah kamu berani takabur kepada orang yang Kujadikan dengan tangan kekuasaan-Ku sendiri,

sedangkan Aku sendiri tidak takabur terhadapnya karena menciptakannya sebagai manusia." Saat itu Adam masih berupa tubuh dari tanah liat selama empat puluh tahun sejak hari diciptakan, yaitu hari Jumat. Kemudian para malaikat.

melewatinya dan mereka terkejut tatkala melihatnya. Yang paling terkejut di kala melihatnya ialah iblis. Lalu iblis melewatinya dan memukulnya, maka keluarlah suara dari tubuh Adam sebagaimana suara tembikar bila dipukul, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:


{مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ}


dari tanah kering seperti tembikar. (Ar-Rahman: 14)Iblis mengatakan, "Untuk tujuan apakah kamu diciptakan?" Lalu ia masuk dari mulut dan keluar dari duburnya. Kemudian iblis berkata kepada para malaikat,

"Janganlah kalian takut kepada makhluk ini, karena sesungguhnya Tuhan kalian Mahaperkasa, sedangkan makhluk ini berongga. Jika aku dapat menguasainya, niscaya dia benar-benar akan kubinasakan.

" Setelah sampai waktu peniupan roh yang dikehendaki oleh Allah, maka Allah berfirman kepada para malaikat, "Maka apabila Kutiupkan padanya sebagian dari roh (ciptaan)-Ku, maka sujudlah kalian kepadanya"

Ketika roh mulai ditiupkan padanya dan roh masuk mulai dari kepalanya, maka Adam bersin, lalu para malaikat berkata, ucapkanlah alhamdulillah," maka Adam mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah).

Allah menjawabnya dengan ucapan, "Semoga Tuhanmu mengasihani kamu." Ketika roh sampai pada kedua matanya, maka Adam dapat melihat buah-buhan surga. Ketika roh sampai pada perutnya, timbullah selera makannya, lalu ia melompat sebelum roh sampai pada kedua kakinya karena tergesa-gesa ingin memetik buah surga. Yang demikian itu dikisahkan melalui firman-Nya:


{خُلِقَ الإنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ}


Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. (Al-Anbiya: 37)Kemudian semua malaikat sujud kepada Adam, kecuali iblis; ia menolak, tidak mau ikut bersama-sama para malaikat yang sujud. Iblis membangkang dan takabur,

dia termasuk orang-orang yang kafir. Allah berfirman kepada iblis, "Mengapa kamu tidak mau bersujud kepada makhluk yang Kuciptakan dengan tangan kekuasaan-Ku sendiri, ketika Kuperintahkan kamu melakukannya?" Iblis menjawab, " Aku lebih baik daripada dia, aku tidak akan bersujud kepada manusia yang Engkau ciptakan dari tanah liat" Lalu Allah berfirman kepadanya:


{أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ}


Turunlah kamu dari surga itu, karena tidak layak bagi kamu berlaku takabur di dalamnya; maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina. (Al-A'raf: 13)As-sigar artinya hina. Lalu Allah Swt. berfirman:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. (Al-Baqarah: 31) Kemudian Allah mengemukakan benda-benda itu kepada para malaikat, lalu Allah berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda

itu jika kalian memang orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 31) bahwa Bani Adam gemar membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah. Maka para malaikat berkata: Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain

dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah berfirman, "Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini."

Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa

yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan?" (Al-Baqarah: 32-33); Ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya.

(Al-Baqarah: 30) merupakan apa yang mereka lahirkan. Sedangkan yang disebut di dalam firman-Nya: dan (aku mengetahui) apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Maksudnya, Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh iblis

dalam hatinya yaitu perasaan tinggi diri (sombong).Isnad yang sampai kepada para sahabat tersebut berpredikat masyhur di dalam kitab tafsir As-Saddi, tetapi di dalamnya terdapat banyak hadis israiliyat; barangkali sebagian di antaranya

disisipkan, padahal bukan perkataan para sahabat, atau mereka mengambilnya dari sebagian kitab-kitab terdahulu.Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak mengetengahkan banyak riwayat dengan sanad yang sama,

lalu ia mengatakan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat diterima dengan syarat Imam Bukhari.Tujuan utama pengetengahan riwayat-riwayat ini untuk menjelaskan bahwa tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada para malaikat

untuk sujud kepada Adam, maka iblis dimasukkan ke dalam kisah ini; karena sekalipun iblis bukan berasal dari unsur malaikat, tetapi ia dapat menyerupai mereka dan dapat melakukan hal-hal yang dilakukan oleh para malaikat.

Karena itulah iblis dimasukkan ke dalam khitab para malaikat dan menerima celaan karena menentang perintah Allah. Masalah ini akan dibahas secara panjang lebar —insya Allah— dalam tafsir firman-Nya:


{إِلا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ}


kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. (Al-Kahfi: 50)Karena itulah Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Khallad ibnu Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan,

"Sebelum melakukan kedurhakaan, pada mulanya iblis itu termasuk golongan malaikat, dikenal dengan nama 'Azazil. Ia termasuk penduduk bumi, juga sebagai golongan malaikat yang sangat kuat ijtihadnya dan paling banyak ilmunya.

Karena itulah hal tersebut mendorongnya bersikap takabur. Dia berasal dari suatu kabilah yang dikenal dengan nama makhluk jin."Di dalam riwayat dari Khallad, dari Ata, dari Tawus atau dari Mujahid, dari Ibnu Abbas atau lainnya

disebutkan riwayat yang semisal.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad (yakni Ibnul Awwam),

dari Sufyan ibnu Husain, dari Ya’la ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Pada mulanya iblis bernama 'Azazil, termasuk golongan malaikat yang terhormat dan memiliki empat buah sayap,

kemudian menjadi iblis sesudah peristiwa tersebut."Sunaid meriwayatkan dari Hajyaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Pada awalnya iblis termasuk malaikat yang terhormat dan paling disegani

kabilahnya, dia ditugaskan sebagai penjaga surga dan mempunyai kekuasaan di langit dunia, juga mempunyai kekuasaan di bumi."Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan lain-lain-nya, dari Ibnu Abbas.

Saleh maula Tau-amah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya di antara para malaikat terdapat suatu kabilah (golongan) yang dikenal dengan nama jin. sedangkan iblis termasuk dari kalangan mereka.

Iblis menguasai kawasan antara langit dan bumi, lalu ia durhaka kepada Allah, maka Allah mengutuknya menjadi setan yang laknat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.Qatadah mengatakan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa iblis

itu pada mulanya adalah pemimpin para malaikat langit dunia.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Addi ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan

yang menceritakan, "Iblis itu sama sekali bukan termasuk golongan malaikat, dan sesungguhnya iblis itu asalnya dari golongan jin; seperti Adam, asalnya dari golongan manusia."Sanad riwayat ini berpredikat sahih, dari Al-Hasan.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.Syahr ibnu Hausyab mengatakan, iblis itu adalah berasal dari golongan jin yang diusir oleh para malaikat Sebagian dari malaikat ada yang menawannya,

lalu membawanya ke langit. Demikian riwayat Ibnu Jarir.Sunaid ibnu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yahya, dari Musa ibnu Numair dan

Usman ibnu Sa'id ibnu Kamil, dari Sa'id ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Dahulu para malaikat memerangi jin, dan iblis —yang saat itu masih kecil— tertawan, lalu iblis hidup bersama para malaikat dan ikut beribadah dengan mereka.

Ketika para malaikat diperintahkan sujud kepada Adam, mereka sujud, kecuali iblis, ia membangkang." Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin. (Al-Kahfi: 50)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sinan Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Syarik, dari seorang lelaki, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan:

Allah menciptakan suatu makhluk (Adam), lalu Dia berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka berkata, "Kami tidak mau melakukannya." Maka Allah mengirimkan api kepada mereka, dan api itu membakar mereka.

Kemudian Allah menciptakan makhluk lainnya dan berfirman: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. (Shad: 71) Lalu Allah berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Tetapi mereka menolak, maka Allah mengirimkan

api kepada mereka, dan api itu membakar mereka. Kemudian Allah menciptakan mereka, lalu berfirman, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Mereka menjawab, "Ya," dan iblis termasuk di antara mereka yang menolak, tidak mau sujud kepada Adam.

Riwayat ini garib (aneh) dan hampir dapat dikatakan tidak sah sanadnya, mengingat di dalamnya terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebutkan; hal seperti ini tidak dapat dijadikan sebagai hujah.Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Hayyan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Buraidah sehubungan dengan makna

firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yakni termasuk orang-orang yang membangkang, akhirnya mereka dibakar oleh api.Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan

dengan makna firman-Nya: ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Yang dimaksud dengan kafir ialah orang yang durhaka.Sehubungan dengan makna ayat ini As-Saddi mengatakan, yang dimaksud

dengan orang-orang kafir ialah mereka yang belum diciptakan oleh Allah saat itu, tetapi baru ada jauh sesudah masa itu.Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa iblis sejak semula diciptakan oleh Allah

ditakdirkan berbuat kekufuran dan kesesatan, tetapi beramal seperti amalnya para malaikat; kemudian Allah menjadikannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya sejak semula, yaitu kafir, sebagaimana dinyatakan oleh firman-Nya:

ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam!"

(Al-Baqarah: 34) Karena taat kepada Allah, maka dilakukan sujud kepada Adam. Allah memuliakan Adam dengan memerintahkan para malaikat-Nya bersujud kepadanya.Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud ini merupakan penghormatan dan salam serta memuliakan, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman Allah Swt.:


{وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا}


Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan Yusuf berkata, "Wahai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya

Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (Yusuf: 100)Di masa lalu hal ini memang diperbolehkan di kalangan umat-umat terdahulu, tetapi dalam agama kita hal ini telah di-mansukh. Mu'az mengatakan hadis berikut:


قَدِمْتُ الشَّامَ فَرَأَيْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَعُلَمَائِهِمْ، فَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُسْجَدَ لَكَ، فَقَالَ: "لَا لَوْ كُنْتُ آمِرًا بَشَرًا أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا"


Ketika aku tiba di negeri Syam, kulihat mereka sujud kepada uskup-uskup dan ulamanya. Maka engkau, wahai Rasulullah, adalah orang yang lebih berhak untuk disujudi. Lalu Rasul Saw. bersabda, "Tidak, seandainya aku boleh memerintahkan

seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita agar sujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas dirinya."Pendapat ini dinilai rajih oleh Ar-Razi.Sebagian ulama mengatakan bahwa sujud tersebut hanya ditujukan kepada Allah Swt., sedangkan Adam sebagai kiblat (arah)nya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:


{أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ}


Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (Al-Isra: 78)Akan tetapi, pengertian kias ini masih perlu dipertimbangkan, dan yang paling kuat adalah pendapat pertama tadi, yaitu yang mengatakan bahwa sujud kepada Adam

sebagai penghormatan dan salam serta memuliakannya. Hal ini termasuk taat kepada Allah Swt. karena Allah memerintahkannya.Pendapat ini dinilai kuat oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, sedangkan dua pendapat lainnya dinilainya lemah,

yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Adam dianggap sebagai kiblatnya, mengingat hal ini tidak menggambarkan sebagai suatu kehormatan. Pendapat yang kedua ialah yang mengatakan bahwa sujud tersebut berupa tunduk,

bukan membungkukkan badan dan meletakkan dahi di tanah; tetapi pendapat ini pun dinilai lemah oleh Ar-Razi.Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur,

dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah: 34) Musuh Allah alias iblis dengki terhadap Adam a.s. karena kehormatan yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada Adam, dan ia berkata,

"Aku berasal dari api, sedangkan dia dari tanah." Hal tersebut merupakan permulaan dosa besar, yaitu takabur iblis —musuh Allah— karena tidak mau sujud kepada Adam a.s.Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah disebutkan:


"لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ"


tidak dapat masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sifat takabur sekalipun seberat biji sawi.Di dalam hati iblis terdapat sifat takabur, kekufuran, dan keingkaran yang mengakibatkan dirinya terusir dan dijauhkan

dari rahmat Allah dan dari sisi-Nya. Sebagian ahli i'rab mengartikan firman-Nya, "Wa-kana minal kafirin," maksudnya 'jadilah dia (iblis) termasuk golongan orang-orang yang kafir karena menolak untuk bersujud'. Perihalnya sama dengan firman Allah Swt lainnya, yaitu:


{فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ}


maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 43)


{فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ}


yang menyebabkan kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 35)Seorang penyair mengatakan:


بِتَيْهَاءَ قَفْرٌ وَالْمَطِيُّ كَأَنَّهَا قَطَا الْحُزْنِ قَدْ كَانَتْ فِرَاخًا بُيُوضُهَا ...


Di padang yang tandus, sedangkan unta kendaraan itu seakan-akan seperti burung qata yang kembali menjadi anak yang baru ditetaskan dari telurnya.Menurut Ibnu Faurak, bentuk lengkap dari ayat tersebut ialah bahwa iblis itu

menurut ilmu Allah tergolong ke dalam orang-orang yang kafir. Pendapat ini dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Dalam pembahasannya Al-Qurtubi menyebutkan suatu masalah; dia mengatakan bahwa ulama kita mengatakan,

"Orang yang ditampakkan oleh Allah Swt. beberapa karamah dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam melalui tangannya, hal tersebut bukan merupakan bukti yang menunjukkan kewaliannya."

Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat sebagian orang dari kalangan ahli sufi dan golongan Rafidah. Kemudian Al-Qurtubi mengemukakan alasan yang memperkuat pendapatnya itu, "Kami tidak dapat memastikan terhadap orang

yang dapat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam, bahwa dia dapat memenuhi Allah melalui imannya. Orang yang bersangkutan sendiri tidak dapat memastikan bagi dirinya akan hal tersebut. Dengan kata lain,

predikat kewalian masih belum dapat dipastikan hanya karena perkara tersebut."Menurut pendapat kami memang ada sebagian ulama yang menyimpulkan bahwa hal yang khariq (bertentangan dengan hukum alam)

itu adakalanya keluar dari orang yang bukan wali, bahkan keluar dari orang yang berpredikat pendurhaka, juga orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang menyatakan perihal Ibnu Sayyad, dia mengatakan dukh (kabut) ketika Rasulullah Saw. menyembunyikan sesuatu masalah terhadapnya, yakni firman-Nya:


{فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ}


Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata. (Ad-Dukhan: 10)Juga melalui hal-hal yang dilakukannya, yaitu bahwa tubuhnya (Ibnu Sayyad) menjadi membesar hingga memenuhi jalan bila sedang marah,

hingga Abdullah ibnu Umar memukulnya. Juga banyak hadis yang menceritakan perihal Dajjal yang banyak melakukan hal-hal yang khariq. Antara lain dia memerintahkan kepada langit untuk menurunkan hujan, maka langit pun segera

menurunkan hujan; dan bila ia memerintahkan kepada bumi untuk mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka bumi pun segera mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Hal khariq lainnya yang dapat dilakukan oleh Dajjal ialah perbendaharaan

bumi selalu mengikutinya bagaikan laron. Disebut pula bahwa Dajjal membunuh seorang pemuda, kemudian menghidupkannya kembali, masih banyak hal lain dari perkara-perkara yang ajaib dilakukan oleh Dajjal.

Yunus ibnu Abdul A’la As-Sadfi pernah bercerita kepada Imam Syafii, bahwa Al-Lais ibnu Sa'd pernah mengatakan, "Apabila kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air dan terbang di udara, maka janganlah kalian teperdaya

sebelum kalian mengemukakan perkaranya ke dalam penilaian Al-Qur'an dan sunnah." Imam Syafii mengatakan bahwa Al-Lais rahimahullah memakai kata qasr dalam ungkapannya, yaitu: "Bahkan apabila kalian melihat seorang lelaki

dapat berjalan di atas air dan terbang di udara, janganlah kalian teperdaya oleh sikapnya itu sebelum kalian mengemukakan perkaranya ke dalam penilaian Al-Qur'an dan sunnah."Ar-Razi dan lain-lainnya meriwayatkan

pendapat kalangan para ulama sehubungan dengan masalah berikut, yaitu: Apakah yang diperintahkan sujud kepada Adam hanya khusus malaikat yang ada di bumi, ataukah umum mencakup semua malaikat, baik yang ada di bumi

maupun yang ada di langit? Masing-masing dari kedua pendapat tersebut didukung oleh segolongan ulama yang menyetujui pendapatnya.Akan tetapi, makna lahiriah ayat menunjukkan pengertian umum, karena di dalamnya disebutkan:


{فَسَجَدَ الْمَلائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ * إِلا إِبْلِيسَ}


Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblis. (Al-Hijr: 30-31)Alasan-alasan yang telah dikemukakan dalam pembahasan ini memperkuat pengertian yang menunjukkan makna umum (mencakup semua malaikat).

Surat Al-Baqarah |2:35|

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

wa qulnaa yaaa aadamuskun anta wa zaujukal-jannata wa kulaa min-haa roghodan ḥaiṡu syi`tumaa wa laa taqrobaa haażihisy-syajarota fa takuunaa minazh-zhoolimiin

Dan Kami berfirman, "Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!"

And We said, "O Adam, dwell, you and your wife, in Paradise and eat therefrom in [ease and] abundance from wherever you will. But do not approach this tree, lest you be among the wrongdoers."

Tafsir
Jalalain

(Dan Kami berfirman, "Hai Adam! Berdiamlah kamu) yakni kamu sendiri 'kamu' yang kedua berfungsi sebagai penguat bagi yang pertama dan dihubungkan dengannya

yang ditampilkan sebagai dhamir atau kata ganti yang tersembunyi (bersama istrimu) yakni Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri

(dalam surga ini dan makanlah di antara makanan-makanannya) (yang banyak) dan tidak dilarang (di mana saja kamu sukai,

tetapi janganlah kamu dekati pohon ini) pohon anggur atau batang gandum ini atau lain-lainnya, maksudnya jangan memakan buahnya (hingga kamu menjadi orang-orang yang zalim.") atau durhaka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 35 |

Tafsir ayat-35-36

Dan Kami berfirman, "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kalian sukai, tetapi janganlah kamu dekati pohon ini,

yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain,

dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."Allah Swt. berfirman memberitakan kehormatan yang dianugerahkan-Nya kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat

agar bersujud kepadanya, lalu mereka sujud kepadanya kecuali iblis; bahwa Dia memperbolehkan baginya surga untuk tempat tinggalnya di mana pun yang dikehendakinya. Adam boleh memakan makanan yang dia sukai dengan leluasa, yakni dengan senang hati, berlimpah, dan penuh dengan kenikmatan.


وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه، مِنْ حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ عِيسَى الدَّامَغَانِيِّ، حَدَّثَنَا سَلَمَةُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ مِيكَائِيلَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍ: قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ؛ أَرَيْتَ آدَمَ، أَنَبِيًّا كَانَ؟ قَالَ: "نَعَمْ، نَبِيًّا رَسُولًا كَلَّمَهُ اللَّهُ قِبَلا فَقَالَ: {اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ} "


Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Saiamah ibnul Fadl. dari Mikail, dari Lais, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya,

dari Abu Zar yang menceritakan hadis berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu Adam, apakah dia seorang nabi?" Rasul Saw. menjawab, "Ya, dia seorang nabi lagi rasul, Allah berbicara dengannya

secara terang-terangan, dan Allah berfirman, 'Diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini'."Surga yang ditempati oleh Adam ini masih diperselisihkan, apakah surga yang di langit atau surga yang di bumi? Kebanyakan ulama

berpendapat yang pertama, yakni surga yang di langit. Al-Qurtubi meriwayatkan dari golongan mu'tazilah dan Qadariyah suatu pendapat yang mengatakan bahwa surga tersebut ada di bumi. Mengenai pembahasan masalah ini secara rinci,

insya Allah akan dikemukakan dalam tafsir surat Al-A'raf.Konteks ayat menunjukkan bahwa Siti Hawa diciptakan sebelum Adam memasuki surga, hal ini telah dijelaskan oleh Muhammad ibnu Ishaq dalam keterangannya:

Ketika Allah telah selesai dari urusan-Nya mencaci iblis, lalu Allah kembali kepada Adam yang telah Dia ajari semua nama-nama itu, kemudian berfirman, "Hai Adam, sebutkanlah nama benda-benda itu," sampai dengan firman-Nya,

"Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana" (Al-Baqarah: 31-32).Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Setelah itu ditimpakan rasa kantuk kepada Adam, menurut keterangan yang sampai kepada kami

dari kaum ahli kitab yang mempunyai kitab Taurat, juga dari kalangan ahli ilmu selain mereka yang bersumber dari Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Kemudian Allah mengambil salah satu dari tulang iga sebelah kirinya dan menambal tempatnya

dengan daging, sedangkan Adam masih tetap dalam keadaan tidur, belum terbangun. Lalu Allah menjadikan tulang iganya itu istrinya —yaitu Siti Hawa— berupa seorang wanita yang sempurna agar Adam merasa tenang hidup dengannya.

Ketika tidur dicabut darinya dan Adam terbangun, ia melihat Siti Hawa telah berada di sampingnya, lalu ia berkata —menurut apa yang mereka dugakan, tetapi Allah-lah Yang lebih mengetahui kebenarannya—,

"Oh dagingku, darahku, dan istriku," lalu Adam merasa tenang dan tenteram bersamanya. Setelah Allah mengawinkannya dan menjadikan rasa tenang dan tenteram dalam diri Adam, maka Allah berfirman kepadanya secara langsung:


{يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ}


Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang

yang zalim. (Al-Baqarah: 35)Menurut pendapat lain, penciptaan Siti Hawa terjadi sesudah Adam masuk surga, seperti yang dikatakan oleh As-Saddi dalam salah satu riwayat yang diketengahkannya dari Abu Malik dan dari Abu Saleh,

dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat. Disebutkan, setelah iblis diusir dari surga dan Adam ditempatkan di dalam surga, maka Adam berjalan di dalam surga dengan perasaan kesepian

karena tiada teman hidup yang membuat dia merasa tenang dan tenteram dengannya. Kemudian Adam tidur sejenak. Setelah terbangun, ternyata di dekat kepalanya terdapat seorang wanita yang sedang duduk.

Allahlah yang telah menciptakannya dari tulang iga Adam. Lalu Adam bertanya kepadanya, "Siapakah kamu ini?" Hawa menjawab, "Seorang wanita." Adam bertanya, "Mengapa engkau diciptakan?" Hawa menjawab, "

Agar kamu merasa tenang dan tenteram bersamaku." Para malaikat bertanya kepada Adam seraya menguji pengetahuan yang dicapai oleh Adam, "Siapakah namanya hai Adam?" Adam menjawab, "Dia bernama Hawa."

Mereka bertanya lagi, "Mengapa dinamakan Hawa?" Adam menjawab, "Sesungguhnya dia dijadikan dari sesuatu yang hidup." Allah Swt. berfirman: Hai Adam, diamilah olehmu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 35) *********** Adapun firman Allah Swt.:


{وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ}


Dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35)Hal ini merupakan pilihan dari Allah Swt. dan sengaja dijadikan-Nya sebagai ujian buat Adam. Para ulama berbeda pendapat mengenai jenis pohon ini.

As-Saddi mengatakan dari orang yang mendapat kisah dari Ibnu Abbas, bahwa pohon yang dilarang oleh Allah didekati Adam adalah pohon anggur. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Asy-Sya'bi,

Ja'dah ibnu Hubairah, dan Muhammad ibnu Qais. As-Saddi mengatakan dalam salah satu riwayatnya dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan

dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) bahwa pohon tersebut adalah pohon anggur. Tetapi orang-orang Yahudi menduga pohon tersebut adalah pohon gandum.Ibnu Jarir dan Ibnu Abu

Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Samurah Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Hammani, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr (yaitu Abu Umar Al-Kharraz),

dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon yang dilarang bagi Adam a.s. mendekatinya ialah pohon gandum. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah dan Ibnul Mubarak,

dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari seorang ahlul ilmi, dari Hajjaj,

dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim,

telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan Bani Tamim, bahwa Ibnu Abbas pernah berkirim surat kepada Abul Jalad untuk menanyakan tentang pohon yang dimakan oleh Adam

dan pohon tempat Adam bertobat. Lalu Abul Jalad membalas surat Ibnu Abbas yang isinya mengatakan, "Engkau menanyakan kepadaku tentang pohon yang dilarang Nabi Adam mendekatinya ialah pohon gandum,

dan engkau menanyakan kepadaku tentang pohon tempat Nabi Adam bertobat di bawahnya ialah pohon zaitun."Demikian pula yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri, Wahab ibnu Munabbih, Atiyyah Al-Aufi, Abu Malik,

Muharib ibnu Disar dan Abdur Rahman ibnu Abu Laila. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari sebagian penduduk Yaman dari Wahab ibnu Munabbih yang pernah mengatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon gandum. Akan tetapi,

satu biji daripadanya di dalam surga sama dengan kedua paha sapi, lebih lembut daripada zubdah dan rasanya lebih manis daripada madu.Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Husain, dari Abu Malik, sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan janganlah kamu dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35) Pohon tersebut adalah pohon kurma.Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kamu dekati pohon ini. (Al-Baqarah: 35)

Pohon tersebut adalah pohon tin. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ibnu Juraij.Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, bahwa pohon tersebut bila dimakan oleh seseorang,

maka orang yang bersangkutan akan mengalami hadas, sedangkan hadas tidak layak di dalam surga.Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur Rahman ibnu Mihran yang mengatakan

bahwa ia pernah mendengar Wahab ibnu Munabbih berkata, "Setelah Allah menempatkan Adam dan istrinya di dalam surga, lalu Dia melarangnya memakan buah tersebut Buah tersebut berasal dari suatu pohon yang ranting-rantingnya

lebat sekali hingga sebagian darinya bersatu dengan yang lain. Buah pohon tersebut dimakan oleh para malaikat karena mereka ditakdirkan kekal. Pohon inilah yang dilarang Allah dimakan oleh Adam dan istrinya."

Keenam pendapat di atas merupakan tafsir dari pohon tersebut. Imam Al-Allamah Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar dalam hal ini ialah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. telah melarang Adam

dan istrinya untuk memakan buah dari suatu pohon di dalam surga, tetapi bukan seluruh pohon surga, dan ternyata Adam dan istrinya memakan buah yang terlarang baginya itu. Kami tidak mengetahui jenis pohon apa yang terlarang

bagi Adam itu secara tertentu, karena Allah tidak memberikan suatu dalil pun bagi hamba-hamba-Nya yang menunjukkan hal tersebut, baik di dalam Al-Qur'an maupun di dalam sunnah yang sahih. Ada pula yang mengatakan bahwa pohon

tersebut adalah pohon gandum, pendapat yang lain mengatakan pohon anggur, dan pendapat yang lainnya lagi mengatakan pohon tin. Memang, mungkin saja salah satu di antaranya ada yang benar, tetapi hal ini merupakan suatu ilmu

yang tidak membawa manfaat bagi orang yang mengetahuinya, dan jika tidak mengetahuinya tidak akan membawa mudarat.Hal yang sama dikuatkan pula oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya dan kitab-kitab lainnya, yakni pendapat yang memisterikan nama pohon yang terlarang itu, dan inilah pendapat yang benar. *********** Firman Allah Swt.:


{فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا}


Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu. (Al-Baqarah: 36)Dapat diinterpretasikan bahwa damir yang terdapat di dalam firman-Nya, "'Anha," kembali ke surga. Atas dasar i'rab ini berarti makna ayat ialah lalu keduanya

dijauhkan oleh setan dari surga, demikianlah menurut bacaan Asim (yakni fa-azalahuma). Dapat juga diartikan bahwa damir tersebut kembali kepada matkur yang paling dekat dengannya, yaitu asy-syajarah. Dengan demikian,

berarti makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah ialah 'maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut'. Pengertiannya sama dengan makna firman-Nya:


يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ}


Dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9)Maksudnya, dipalingkan oleh sebab Rasul dan Al-Qur'an orang yang dipalingkan. Karena itu, dalam ayat selanjutnya Allah berfirman:


{فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ}


dan keduanya dikeluarkan dari keadaan semula. (Al-Baqarah: 36)Yakni dari semua kenikmatan, seperti pakaian, tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak.


**********

{وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ}


dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang dilentukan. (Al-Baqarah: 36)

Yaitu tempat tinggal, rezeki, dan ajal. Yang dimaksud dengan ila hin ialah waktu yang terbatas dan yang telah ditentukan, kemudian terjadilah kiamat.Ulama tafsir dari kalangan ulama Salaf —seperti As-Saddi dengan sanad-sanadnya,

Abul Aliyah, Wahab ibnu Munabbih, dan lain-lainnya— dalam pembahasan ini telah mengetengahkan kisah-kisah israiliyat yang menceritakan tentang ular dan iblis. Dijelaskan di dalamnya bagaimana iblis dapat memasuki surga

dan menggoda Adam. Hal ini insya Allah akan dijelaskan secara rinci dalam tafsir surat Al-A'raf; kisah yang akan disebutkan di dalam tafsir surat Al-A'raf jauh lebih panjang daripada yang ada dalam surat ini (Al-Baqarah). Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan hal ini mengatakan:


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ رَجُلًا طُوَالا كَثِيرَ شَعْرِ الرَّأْسِ، كَأَنَّهُ نَخْلَةٌ سَحُوق، فَلَمَّا ذَاقَ الشَّجَرَةَ سَقَطَ عَنْهُ لِبَاسُهُ، فَأَوَّلُ مَا بَدَا مِنْهُ عَوْرَتُهُ، فَلَمَّا نَظَرَ إِلَى عَوْرَتِهِ جَعَلَ يَشْتَد فِي الْجَنَّةِ، فَأَخَذَتْ شَعْرَه شجرةٌ، فَنَازَعَهَا، فَنَادَاهُ الرَّحْمَنُ: يَا آدَمُ، مِنِّي تَفِرُّ! فَلَمَّا سَمِعَ كَلَامَ الرَّحْمَنِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَا وَلَكِنِ اسْتِحْيَاءً"


telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk seorang lelaki yang berperawakan sangat tinggi lagi berambut lebat, seakan-akan sama dengan pohon kurma yang rindang. Ketika dia memakan buah (terlarang) itu,

maka semua pakaiannya tertanggalkan darinya, dan yang mula-mula kelihatan dari bagian anggota tubuhnya adalah kemaluannya. Ketika Adam melihat aurat tubuhnya, maka ia berlari di dalam surga dan rambutnya menyangkut

pada sebuah pohon hingga menjebolnya. Lalu Tuhan yang Maha Pemurah memanggilnya, "Hai Adam, apakah engkau lari dari-Ku?" Ketika Adam mendengar firman Allah Yang Maha Pemurah, lalu ia berkata, "Wahai Tuhanku, aku tidak lari, tetapi aku merasa malu."Ibnu Abu Hatim mengatakan pula:


حَدَّثَنِي جَعْفَرُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَكَمِ الْقُومَشِيُّ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَتَيْنِ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ مَنْصُورِ بْنِ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمَّا ذَاقَ آدَمُ مِنَ الشَّجَرَةِ فَرَّ هَارِبًا؛ فَتَعَلَّقَتْ شَجَرَةٌ بِشَعْرِهِ، فَنُودِيَ: يَا آدَمُ، أفِرارًا مِنِّي؟ قَالَ: بَلْ حَيَاء مِنْكَ، قَالَ: يَا آدَمُ اخْرُجْ مِنْ جِوَارِي؛ فَبِعِزَّتِي لَا يُسَاكِنُنِي فِيهَا مَنْ عَصَانِي، وَلَوْ خَلَقْتُ مِثْلَك مِلْءَ الْأَرْضِ خَلْقًا ثُمَّ عَصَوْنِي لَأَسْكَنْتُهُمْ دَارَ الْعَاصِينَ"


telah menceritakan kepadaku Ja'far ibnu Ahmad ibnul Hakam Al-Qurasyi pada tahun 254, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Mansur ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Sa'id,

dari Qatadah, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Setelah Adam memakan buah terlarang itu, maka ia lari dan ada sebuah pohon yang terkait pada rambutnya, kemudian diseru,

"Hai Adam, apakah Engkau lari dari-Ku?" Adam menjawab, "Tidak, melainkan karena malu kepada-Mu." Allah berfirman, "Hai Adam, keluarlah kamu dari sisi-Ku, demi keagungan-Ku, Aku tidak akan menempatkan di dalamnya (surga)

orang yang durhaka kepada-Ku. Seandainya Aku menciptakan makhluk yang semisal denganmu sepenuh bumi, lalu mereka durhaka kepada-Ku, niscaya Aku akan menempatkan mereka di tempat tinggal orang-orang yang durhaka (neraka)."

Hadis ini berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat inqita', bahkan i'dal antara Qatadah dan Ubay ibnu Ka'b r.a.Al-Hakim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Bakuwaih, dari Muhammad ibnu Ahmad ibnun Nadr,

dari Mu'awiyah ibnu Amr, dari Zaidah, dari Ammar ibnu Abu Mu'awiyah Al-Bajali, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan, "Tidak sekali-kali Adam tinggal di dalam surga melainkan hanya antara salat Asar sampai

dengan tenggelamnya matahari." Kemudian Al-Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi ternyata Syaikhain tidak mengetengahkannya.Abdur Rahman ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab tafsir-nya,

telah menceritakan kepada kami Rauh, dari Hisyam, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa Adam tinggal di dalam surga hanya selama sesaat di siang hari. Satu saat tersebut sama lamanya dengan 130 tahun hari-hari dunia.

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas yang mengatakan bahwa Adam keluar dari surga pada pukul sembilan atau pukul sepuluh; ketika keluar, Adam membawa serta sebuah tangkai pohon surga,

sedangkan di atas kepalanya memakai mahkota dari dedaunan surga yang diuntai sedemikian rupa merupakan untaian daun-daunan surga.As-Saddi mengatakan bahwa Allah berfirman: Turunlah kalian semua dari surga itu.

(Al-Baqarah: 38) Maka turunlah mereka, sedangkan Adam turun di India dengan membawa Hajar Aswad dan segenggam dedaunan surga, lalu ia menaburkannya di India, maka tumbuhlah pepohonan yang wangi baunya.

Sesungguhnya asal mula wewangian dari India itu adalah dari segenggam dedaunan surga yang ikut dibawa turun oleh Adam. Sesungguhnya Adam menggenggamnya hanya terdorong oleh rasa penyesalan-nya karena ia dikeluarkan dari surga.

Imran ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di Dahna, salah satu wilayah negeri India.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan

kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Adam diturunkan di suatu daerah yang dikenal

dengan nama Dahna, terletak di antara Mekah dan Taif.Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Siti Hawa di Jeddah; dan iblis di Dustamisan yang terletak beberapa mil dari kota Basrah,

sedangkan ular diturunkan di Asbahan. Demikianlah riwayat Abu Hatim.Muhammad ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami

Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Qais, dari Az-Zubair ibnu Addi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di Safa, dan Hawa diturunkan di Marwah.Raja ibnu Salamah

mengatakan bahwa Adam a.s. diturunkan, sedangkan kedua tangannya diletakkan pada kedua lututnya seraya menundukkan kepalanya. Iblis diturunkan, sedangkan jari jemari tangannya ia satukan dengan yang lainnya

seraya mengangkat kepalanya ke langit.Abdur Razzaq mengatakan bahwa Ma'mar pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa, "Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam

dari surga ke bumi, terlebih dahulu Dia mengajarkan kepadanya membuat segala sesuatu dan membekalinya dengan buah-buahan surga. Maka buah-buahan kalian ini berasal dari buah-buahan surga, hanya bedanya buah-buahan yang ini berubah, sedangkan buah-buahan surga tidak berubah."


قَالَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هُرْمُزَ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم: "خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا"


Az-Zuhri meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Hurmuz Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik hari yang terbit matahari padanya adalah hari Jumat. Pada hari Jumat Adam diciptakan,

pada hari Jumat pula ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari Jumat pula ia dikeluarkan darinya. (Riwayat Imam Muslim dan Imam Nasai)Ar-Razi mengatakan, menurut sepengetahuannya di dalam ayat ini terkandung makna

peringatan dan ancaman yang besar terhadap semua perbuatan maksiat bila ditinjau dari berbagai segi. Antara lain ialah bahwa orang yang menggambarkan kejadian yang dialami oleh Nabi Adam hingga ia dikeluarkan dari surga hanya karena telah melakukan kekeliruan yang kecil, niscaya ia sangat malu terhadap perbuatan maksiat. Seorang penyair mengatakan:


يَا نَاظِرًا يَرْنُو بِعَيْنَيْ رَاقِدٍ وَمُشَاهِدًا لِلْأَمْرِ غَيْرَ مُشَاهِدِ ... تَصِلُ الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ وَتَرْتَجِي ... دَرَجَ الْجِنَانِ وَنَيْلَ فَوْزِ الْعَابِدِ ... أَنَسِيتَ رَبَّكَ حِينَ أَخْرَجَ آدَمًا ... مِنْهَا إِلَى الدُّنْيَا بِذَنْبٍ وَاحِدِ ...


Wahai orang bermata yang memandang dengan pandangan terpejam seperti orang tidur; dan wahai orang yang menyaksikan suatu perkara, padahal dia tidak menyaksikannya. Dosa-dosa dihubungkan dengan dosa-dosa lainnya,

tetapi engkau mengharapkan untuk menaiki tangga surga dan meraih keberuntungan ahli ibadah. Apakah engkau telah lupa kepada Tuhanmu yang mengeluarkan Adam dari surga ke dunia karena hanya melakukan satu dosa? Ibnul Qasim mengatakan:


ولكننا سبي العدو فهل ترى ... نعود إلى أوطاننا ونسلم


Tetapi kita adalah tawanan musuh, maka apakah kita dapat kembali ke tanah air kita dalam keadaan selamat, menurutmu?Ar-Razi meriwayatkan dari Fathul Mausuli yang pernah mengatakan bahwa kita ini pada awalnya adalah

kaum penghuni surga, kemudian kita ditawan oleh iblis ke dunia. Maka tiadalah yang kita alami selain kesusahan dan kesedihan sebelum kita dikembalikan ke rumah tempat kita dahulu dikeluarkan.Apabila ada yang mengatakan,

"Jika surga tempat Adam dikeluarkan berada di langit, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, maka mengapa iblis dapat memasukinya, padahal dia telah diusir darinya untuk selama-lamanya, sedangkan pengertian untuk selama-lamanya

itu apakah tidak bertentangan dengan kisah tersebut?" Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Memang pemikiran seperti inilah yang dijadikan dalil bagi orang yang mengatakan bahwa surga yang dahulunya ditempati oleh Adam

berada di bumi bukan di langit, seperti yang kami jelaskan secara rinci dalam permulaan kitab kami Al-Bidayah Wan Nihayah.Sehubungan dengan pertanyaan tersebut jumhur ulama mengemukakan berbagai jawaban, antara lain:

Iblis memang dilarang masuk surga bila memasukinya secara baik-baik. Jika dia memasukinya dengan mencuri-curi dan menyusup dengan cara yang hina, tiada yang mencegahnya. Karena itu, ada sebagian dari mereka yang mengatakan

sebagaimana apa yang disebut di dalam kitab Taurat, bahwa iblis masuk ke dalam surga melalui mulut ular yang ia masuki terlebih dahulu (lalu ular itu masuk ke dalam surga).Menurut sebagian ulama, dapat pula diinterpretasikan iblis

menggoda keduanya (Adam dan Hawa) dari luar pintu surga. Sebagian yang lainnya mengatakan bahwa iblis menggoda keduanya dari bumi, sedangkan keduanya masih berada di dalam surga di langit. Demikian

menurut Az-Zamakhsyari dan lain-lainnya.Al-Qurtubi dalam pembahasan ini mengetengahkan banyak hadis tentang kisah ular dan membunuhnya serta penjelasan mengenai hukumnya, dan ternyata pembahasan yang dikemukakannya itu baik lagi berfaedah.

Surat Al-Baqarah |2:36|

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ

fa azallahumasy-syaithoonu 'an-haa fa akhrojahumaa mimmaa kaanaa fiihi wa qulnahbithuu ba'dhukum liba'dhin 'aduww, wa lakum fil-ardhi mustaqorruw wa mataa'un ilaa ḥiin

Lalu, setan memerdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan."

But Satan caused them to slip out of it and removed them from that [condition] in which they had been. And We said, "Go down, [all of you], as enemies to one another, and you will have upon the earth a place of settlement and provision for a time."

Tafsir
Jalalain

(Lalu keduanya digelincirkan oleh setan) oleh Iblis dan menurut suatu qiraat 'fa-azaalahumaa', artinya maka Iblis pun menyingkirkan keduanya (daripadanya)

maksudnya dari dalam surga dengan memperdayakan serta mengatakan kepada mereka

, "Maukah kalian saya tunjukkan suatu macam pohon kekal yang akan mengekalkan kehidupan kalian Itulah dia syajaratul khuldi atau pohon keabadian"

Ia tidak lupa bersumpah atas nama Allah bahwa mereka hanyalah hendak menyampaikan nasihat dan anjuran baik belaka.

Maka Adam dan Hawa pun memakan buah itu, (dan Allah mengeluarkan mereka dari keadaan yang mereka alami semula), yakni dari nikmat surga (dan firman Kami, "Turunlah kalian!") maksudnya ke bumi,

yakni kalian berdua bersama anak cucu kalian itu (menjadi musuh bagi yang lain) disebabkan penganiayaan sebagian kalian terhadap lainnya, (dan bagi kalian tersedia tempat kediaman di bumi),

artinya tempat menetap (dan kesenangan) berupa hasil tumbuh-tumbuhan yang kalian senangi dan dapat kalian nikmati (sampai waktu tertentu) maksudnya hingga saat datangnya ajal kalian nanti.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 36 |

Penjelasan ada di ayat 35

Surat Al-Baqarah |2:37|

فَتَلَقَّىٰ آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

fa talaqqooo aadamu mir robbihii kalimaatin fa taaba 'alaiih, innahuu huwat-tawwaabur-roḥiim

Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.

Then Adam received from his Lord [some] words, and He accepted his repentance. Indeed, it is He who is the Accepting of repentance, the Merciful.

Tafsir
Jalalain

(Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya), yakni dengan diilhamkan-Nya kepadanya, menurut suatu qiraat 'Adama' dibaca nashab,

sedangkan 'kalimatun' dibaca rafa`, sehingga arti kalimat menjadi, "maka datanglah kepada Adam kalimat dari Tuhannya", yakni yang berbunyi "rabbanaa zhalamnaa anfusanaa", artinya "Ya Tuhan kami,

kami telah berbuat aniaya kepada diri kami... dan seterusnya". Maka Adam pun menyampaikan doanya dengan ayat tersebut. (maka Allah menerima tobatnya),

artinya mengampuni dosanya (Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat) terhadap hamba-hamba-Nya (lagi Maha Penyayang) terhadap mereka.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 37 |

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.Menurut suatu pendapat, ayat ini merupakan tafsir dan penjelasan dari ayat lainnya, yaitu firman-Nya:


{قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}


Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi." (Al-A'raf: 23)

Hal ini diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Khalid ibnu Ma'dan, Ata Al-Khurrasani, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya, "Kalimat-kalimat apakah yang diberikan kepada Adam oleh Tuhannya?"

Ia menjawab, "Ilmu mengenai ibadah haji."Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi yang mengatakan bahwa ia telah menerima riwayat ini dari seorang yang pernah mendengar dari Ubaid ibnu Umair.

Riwayat lain menyebutkan, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ubaid ibnu Umar yang mengatakan bahwa Adam berkata, "Wahai Tuhanku, dosa yang telah kulakukan itu merupakan suatu hal yang telah Engkau pastikan

terhadap diriku sebelum Engkau menciptakan diriku, atau sesuatu yang aku buat-buat dari diriku sendiri." Allah berfirman, "Tidak, bahkan itu adalah sesuatu yang Aku takdirkan atas dirimu sebelum kamu diciptakan." Adam berkata,

"Maka sebagaimana Engkau telah memastikannya atas diriku, karenanya ampunilah diriku ini." Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa yang demikian itulah makna dari firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,

maka Allah menerima tobatnya. (Al-Baqarah: 37)As-Saddi meriwayatkan dari orang yang menerimanya dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya. (Al-Baqarah: 37)

Disebutkan bahwa Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menciptakan diriku dengan tangan kekuasaan-Mu sendiri?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "

Dan Engkau telah meniupkan sebagian dari roh (ciptaan)-Mu kepadaku?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan ketika aku bersin, Engkau mengucapkan, 'Semoga Allah merahmatimu.' Dan rahmat-Mu

selalu mendahului murka-Mu?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "Dan Engkau telah memastikan terhadap diriku bahwa aku akan melakukan hal ini?" Dikatakan kepadanya, "Memang benar." Adam berkata, "

Bagaimanakah pendapat-Mu jika aku bertobat? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke dalam surga?" Allah menjawab, "Ya."Hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, Sa'id ibnu Jubair, dan Sa'id ibnu Ma'bad, dari Ibnu Abbas.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.

Demikian penafsiran As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi.Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan sebuah hadis yang serupa dengan hadis ini. Untuk itu dia mengatakan bahwa:


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِشْكَابَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبة، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ آدَمُ، عَلَيْهِ السَّلَامُ: أَرَأَيْتَ يَا رَبِّ إِنْ تبتُ ورجعتُ، أَعَائِدِي إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ}


telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnu Isykab, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Rasulullah Saw.

pernah bersabda: Adam a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan kembali? Apakah Engkau akan mengembalikan diriku ke surga?" Allah menjawab, "Ya." Yang demikian itulah makna firman-Nya,

"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya."Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini, di dalamnya terdapat inqita.'Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan

dengan makna firman-Nya: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. (Al-Baqarah: 37) Disebutkan bahwa sesungguhnya setelah melakukan kesalahan, Adam berkata,

"Wahai Tuhanku, bagaimanakah jika aku bertobat dan memperbaiki diriku?" Allah berfirman, "Kalau begitu, Aku akan memasukkan kamu ke surga." Hal inilah yang dimaksudkan dengan pengertian 'beberapa kalimat'. Termasuk ke dalam pengertian 'beberapa kalimat' ialah perkataan Adam yang disitir oleh firman-Nya:


{رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ}


Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya paslilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (Al-A'raf: 23)Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid yang mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa yang dimaksud dengan 'beberapa kalimat' ialah seperti berikut:


اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ، اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَارْحَمْنِي، إِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ. اللَّهُمَّ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرحيم


Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku,sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampun bagi diriku, sesungguhnya

Engkau sebaik-baik penerima tobat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu. Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka rahmatilah diriku,

sesungguhnya Engkau sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allah, tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau, Mahasuci Engkau dengan memuji kepada-Mu, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, maka berilah ampunan kepadaku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. **************** Firman Allah Swt.:


{إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ}


Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 37)Yakni sesungguhnya Dia menerima tobat orang yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Makna ayat ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:


{أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ}


Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. (At-Taubah: 104)


{وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا}


Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 11)


{وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا}


Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya. (Al-Furqan: 71)Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa Allah Swt.

mengampuni semua dosa dan menerima tobat orang yang bertobat. Demikianlah sebagian dari kelembutan Allah kepada makhluk-Nya dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya; tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.

Surat Al-Baqarah |2:38|

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

qulnahbithuu min-haa jamii'aa, fa immaa ya`tiyannakum minnii hudan fa man tabi'a hudaaya fa laa khoufun 'alaihim wa laa hum yaḥzanuun

Kami berfirman, "Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati."

We said, "Go down from it, all of you. And when guidance comes to you from Me, whoever follows My guidance - there will be no fear concerning them, nor will they grieve.

Tafsir
Jalalain

(Kami berfirman, "Turunlah kalian daripadanya") maksudnya dari surga (semuanya) diulanginya dan dihubungkan-Nya dengan kalimat yang mula-mula tad

i (kemudian jika) asalnya dari 'in maa' yang diidgamkan menjadi 'immaa' yang berarti jika; 'in' huruf syarat dan 'maa' sebagai tambahan.

(datang petunjuk-Ku kepada kalian) berupa Kitab dan rasul, (maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku) lalu ia beriman kepada-Ku dan beramal serta taat kepada-Ku

(niscaya tak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka cita), yakni di akhirat kelak, karena mereka akan masuk surga.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 38 |

Tafsir ayat 38-39

Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)

mereka bersedih hati." Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.Allah Swt menceritakan tentang peringatan yang ditujukan kepada Adam

dan istrinya serta iblis ketika mereka diturunkan dari surga. Yang dimaksud ialah anak cucunya, bahwa Allah kelak akan menurunkan kitab-kitab dan mengutus nabi-nabi serta rasul-rasul (di kalangan mereka yang akan memberi peringatan

kepada kaumnya masing-masing). Demikianlah menurut penafsiran Abul Aliyah; dia mengatakan bahwa petunjuk tersebut dimaksudkan adalah para nabi dan para rasul, serta penjelasan-penjelasan dan keterangan-Nya

(melalui ayat-ayat-Nya).Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan petunjuk dalam ayat ini ialah Nabi Muhammad Saw.; sedangkan menurut Al-Hasan, petunjuk artinya Al-Qur'an. Kedua pendapat ini sahih,

sedangkan pengertian pendapat Abul Aliyah lebih umum.Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku —yakni orang yang mau menerima apa yang diturunkan oleh Allah melalui kitab-kitab-Nya dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya—

niscaya tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dalam menghadapi nasib di hari akhirat nanti.Tidak pula mereka bersedih hati terhadap perkara-perkara duniawi yang terlewatkan oleh mereka. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:


{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}


Allah berfirman.”Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku,

ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)Menurut Ibnu Abbas r.a., makna yang dimaksud ialah dia tidak sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat. Allah Swt. telah berfirman:


{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}


Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (Thaha: 124)Perihalnya sama dengan yang dikatakan dalam ayat yang sedang kita bahas sekarang, yaitu:


{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}


Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 39)Artinya, mereka kekal di dalamnya, tiada jalan keluar bagi mereka dari neraka karena mereka

menjadi penghuni yang abadi.Ibnu Jarir dalam bab ini mengetengahkan sebuah hadis yang ia kemukakan dari dua jalur periwayatan, dari Abu Salamah dan Sa'id ibnu Yazid, dari Abu Nadrah Al-Munzir ibnu Malik ibnu Qit'ah, dari Abu Sa'id (nama aslinya Sa'd ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا فَإِنَّهُمْ لَا يَمُوتُونَ فِيهَا وَلَا يَحْيَوْنَ، لَكِنَّ أَقْوَامًا أَصَابَتْهُمُ النَّارُ بِخَطَايَاهُمْ، أَوْ بِذُنُوبِهِمْ فَأَمَاتَتْهُمْ إِمَاتَةً، حَتَّى إِذَا صَارُوا فَحْمًا أذنَ فِي الشَّفَاعَةِ"


Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni tetapnya, maka mereka tidak pernah mati di dalamnya, tidak pula hidup (karena mereka selamanya di azab terus-menerus). Tetapi ada beberapa kaum yang dimasukkan ke dalam neraka

karena dosa-dosa mereka, maka mereka benar-benar mengalami kematian; dan apabila mereka sudah menjadi arang, maka baru diizinkan beroleh syafaat.Imam Muslim meriwayatkan hadis ini melalui hadis Syu'bah, dari Abu Salamah

dengan lafaz yang sama.Penyebutan ayat yang menerangkan penurunan untuk yang kedua kalinya ini karena berkaitan dengan makna yang berbeda dengan pengertian yang ada pada ayat pertama. Sebagian ulama menduga

bahwa ayat yang kedua ini merupakan taukid dan pengulangan yang mengukuhkan makna ayat pertama, perihalnya sama dengan ucapan, "Berdirilah, berdirilah!"Ulama lainnya mengatakan bahwa penurunan yang pertama ini mengisahkan penurunan dari surga ke langit dunia, sedangkan penurunan yang kedua adalah dari langit dunia ke bumi. Akan tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi.

Surat Al-Baqarah |2:39|

وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

wallażiina kafaruu wa każżabuu bi`aayaatinaaa ulaaa`ika ash-ḥaabun-naar, hum fiihaa khooliduun

Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.

And those who disbelieve and deny Our signs - those will be companions of the Fire; they will abide therein eternally."

Tafsir
Jalalain

(Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami) mendustakan kitab-kitab suci Kami

(mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya) mereka tetap tinggal di sana untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak pula akan keluar.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 39 |

Penjelasan ada di ayat 38

Surat Al-Baqarah |2:40|

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

yaa baniii isrooo`iilażkuruu ni'matiyallatiii an'amtu 'alaikum wa aufuu bi'ahdiii uufi bi'ahdikum, wa iyyaaya far-habuun

Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu dan takutlah kepada-Ku saja.

O Children of Israel, remember My favor which I have bestowed upon you and fulfill My covenant [upon you] that I will fulfill your covenant [from Me], and be afraid of [only] Me.

Tafsir
Jalalain

(Hai Bani Israel!) maksudnya ialah anak cucu Yakub (Ingatlah akan nikmat karunia-Ku yang telah Kuberikan kepada kalian) maksudnya kepada nenek moyang kalian,

berupa menyelamatkan kalian dari kejaran Firaun, membelah lautan, menaungkan awan dan lain-lain, yaitu mensyukurinya dengan jalan taat kepada-Ku,

(dan penuhilah janji kalian kepada-Ku) yang telah kalian janjikan dulu, berupa keimanan kepada Muhammad (niscaya Kupenuhi pula janji-Ku kepada kalian) berupa pemberian pahala dan masuk surga

(dan hanya kepada-Kulah kalian harus takut) hingga kalian tidak berani menyalahi janji itu, dan kalian tidak perlu takut kepada pihak lain.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 40 |

Tafsir ayat 40-41

Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian; dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk).

Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan ape yang ada pada kalian (Taurat) dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menukarkan

ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.Allah berfirman seraya memerintahkan kepada kaum Bani Israil untuk masuk Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Saw.

dan menggerakkan perasaan mereka dengan menyebutkan kakek moyang Israil, yaitu Nabi Allah Ya'qub a.s.Seakan-akan ayat ini mengatakan, "Hai anak-anak hamba yang saleh lagi taat kepada Allah, jadilah kalian seperti kakek moyang

kalian dalam mengikuti perkara yang hak." Perihalnya sama dengan perkataan, "Hai anak orang yang dermawan, berdermalah!" Atau, "Hai anak yang pemberani, majulah menentang para penyerang!" Atau, "Hai anak orang yang alim, tuntutlah ilmu!" Dan lain sebagainya. Ayat lain yang semakna dengan ayat ini ialah firman-Nya:


{ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا}


(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (Al-Isra: 3)Israil adalah Nabi Ya'qub sendiri, sebagai dalilnya ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi:


حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنِ بَهْرَامٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوشب، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: حَضَرَتْ عِصَابَةٌ مِنَ الْيَهُودِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمْ: "هَلْ تَعْلَمُونَ أَنَّ إِسْرَائِيلَ يَعْقُوبُ؟ ". قَالُوا: اللَّهُمَّ نَعَمْ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ اشْهَدْ "


telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Segolongan orang-orang Yahudi

datang menghadap kepada Nabi Saw., lalu Nabi Saw. berkata kepada mereka, "Tahukah kalian bahwa Israil adalah Ya'qub?" Mereka menjawab, "Ya Allah, memang benar." Nabi Saw. berkata, "Ya Allah, saksikanlah."

Al-A'masy meriwayatkan dari Ismail ibnu Raja', dari Umar maula Ibnu Abbas, dari Abdullah ibnu Abbas, disebutkan bahwa Israil itu artinya sama dengan perkataanmu Abdullah (hamba Allah). ************* Firman Allah Swt.:


{اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ}


Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Aku turunkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)Mujahid mengatakan bahwa nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka (kaum Bani Israil) selain dari apa yang telah disebutkan

ialah dipecahkan batu besar buat mereka hingga mengeluarkan air untuk minum mereka, diturunkan kepada mereka manna dan salwa, dan mereka diselamatkan dari perbuatan Fir'aun dan bala tentaranya.

Abul Aliyah mengatakan bahwa nikmat Allah tersebut ialah Dia menjadikan dari kalangan mereka banyak nabi dan rasul, dan diturunkan kepada mereka kitab-kitab samawi.Menurut pendapat kami, pendapat terakhir ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Musa a.s. yang disitir oleh firman-Nya:


{يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ}


Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya

kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (Al-Maidah: 20)Yakni di zamannya.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair,

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 40) Yaitu cobaan-Ku yang ada pada kalian, juga yang telah Aku turunkan kepada nenek moyang kalian ketika mereka diselamatkan dari kejaran Fir'aun dan kaumnya. *********** Firman Allah Swt.:


{وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ}


Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40)Maksudnya, janji-Ku yang telah Aku bebankan di atas pundak kalian terhadap Nabi Saw.; bila dia datang kepada kalian,

niscaya Aku akan menunaikan apa yang telah Aku janjikan kepada kalian. Janji tersebut ialah kalian bersedia mempercayai Nabi Saw. dan mengikutinya. Maka sebagai imbalannya Aku akan menghapuskan semua beban

dan belenggu-belenggu yang berada di pundak kalian karena dosa-dosa kalian yang ada sejak kakek moyang kalian.Menurut Al-Hasan Al-Basri, janji tersebut adalah yang disebutkan di dalam firman-Nya:


{وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لأكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}


Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kalian, sesungguhnya jika kalian mendirikan salat

dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya kalian

akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. (Al-Maidah: 12)Sedangkan ulama lainnya mengatakan, janji tersebut adalah yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat,

bahwa Allah kelak akan mengutus seorang nabi yang besar dan ditaati oleh semua bangsa dari kalangan Bani Ismail; nabi yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw. Barang siapa yang mengikutinya, niscaya Allah akan mengampuni

dosa-dosanya dan memasukkannya ke dalam surga serta memberikan kepadanya dua pahala.Ar-Razi mengetengahkan banyak berita gembira yang disampaikan oleh nabi-nabi terdahulu mengenai kedatangan Nabi Muhammad

Abul Aliyah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Penuhilah janji kalian kepada-Ku" (Al-Baqarah: 40) yaitu janji Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah agama Islam dan mereka diharuskan mengikutinya.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian" (Al-Baqarah: 40), artinya "niscaya Aku rida kepada kalian dan akan memasukkan kalian ke dalam surga". Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi, Ad-Dahhak, Abul Aliyah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. ************ Firman Allah Swt.:


{وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ}


Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut (tunduk). (Al-Baqarah: 40)Yakni takutlah kalian kepada-Ku, demikian pendapat Abul Aliyah, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan

dengan makna firman-Nya, "Dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut" (Al-Baqarah: 40), yakni takutlah kalian bila Aku nanti menurunkan kepada kalian apa yang pernah Aku turunkan kepada kakek moyang kalian di masa silam,

yaitu berupa berbagai macam siksaan dan azab yang telah kalian ketahui sendiri, antara lain ialah kutukan dan azab Lainnya.Apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat ini mengandung pengertian perpindahan dari targib (anjuran) kepada tarhib

(peringatan). Allah menyeru mereka dengan ungkapan anjuran dan peringatan, barangkali mereka mau kembali ke jalan yang hak dan mengikuti Rasul Saw. serta mengambil nasihat dari Al-Qur'an dan larangan-larangannya,

serta mengerjakan perintah-perintahnya dan percaya kepada berita-berita yang disampaikannya. Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.Karena itu, maka Allah Swt. berfirman pada ayat selanjutnya, yaitu melalui firman-Nya:


{وَآمِنُوا بِمَا أَنزلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ}


Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). (Al-Baqarah: 41)Yang dimaksud adalah Al-Qur'an, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

yang ummi dari kalangan bangsa Arab. Di dalamnya terkandung berita gembira dan peringatan serta pelita yang memberi penerangan dan mengandung perkara yang hak dari Allah Swt.; serta membenarkan apa yang ada sebelumnya,

yaitu kitab Taurat dan Injil.Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat).

(Al-Baqarah: 41) Allah Swt. mengatakan, "Hai golongan ahli kitab, berimanlah kalian kepada Al-Qur'an yang telah Aku turunkan; di dalamnya terkandung keterangan yang membenarkan apa yang ada pada kalian."

Dikatakan demikian karena mereka menjumpai nama Nabi Muhammad Saw. tercantum di dalam kitab-kitab mereka, yaitu kitab Taurat dan Injil.Telah diriwayatkan dari Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah hal yang semisal. ********* Firman Allah Swt.:


{وَلا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ}


Dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. (Al-Baqarah: 41)Menurut sebagian ulama ahli i'rab (Nahwu) mengatakan bahwa bentuk lengkap ayat ialah awwala fariqin kafirin bihi (golongan pertama yang kafir kepadanya),

atau kalimat yang semakna.Menurut Ibnu Abbas r.a., janganlah kalian merupakan orang pertama yang kafir kepadanya, mengingat pada kalian terdapat pengeta-uan mengenainya yang tidak dimiliki oleh selain kalian.

Abul Aliyah mengatakan, janganlah kalian menjadi orang pertama yang kafir kepada Muhammad Saw., yakni dia sejenis dengan kalian karena dia mempunyai Al-Kitab (Al-Qur'an); maka janganlah kalian kafir kepadanya sesudah

kalian mendengar kerasulannya. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa damir bihi merujuk kepada Al-Qur'an yang telah disebut dalam

kalimat sebelumnya, yaitu bima anzaltu (apa yang telah Aku turunkan). Tetapi kedua pendapat tersebut (yang mengatakan bahwa damir kembali kepada Muhammad Saw. dan Al-Qur'an) kedua-duanya benar, mengingat satu sama lain

saling menguatkan. Dengan kata lain, orang yang kafir kepada Al-Qur'an berarti sama saja kafir kepada Nabi Muhammad Saw. Orang yang kafir kepada Nabi Muhammad Saw. berarti sama saja dengan kafir kepada Al-Qur'an.

Adapun mengenai firman-Nya, "Awwala kafirin bihi," artinya orang pertama yang kafir kepadanya dari kalangan Bani Israil, mengingat banyak orang yang kafir kepadanya lebih dahulu daripada mereka, yaitu dari kalangan orang-orang kafir

Quraisy dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang Arab.Sesungguhnya makna yang dimaksud dari kalimat 'hanya kaum Bani Israil sebagai orang pertama kafir kepadanya', mengingat orang-orang Yahudi Madinah merupakan orang pertama

dari kalangan Bani Israil yang diajak berbicara oleh Al-Qur'an. Kekafiran mereka berarti menyimpulkan bahwa mereka adalah orang pertama kafir kepadanya dari kalangan ahli kitab. ********* Firman Allah Swt.:


{وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا}


Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41)Maksudnya, janganlah kalian menukar iman kepada ayat-ayat-Ku dan percaya kepada Rasul-Ku (Nabi Muhammad Saw.)

dengan harta keduniawian dan kelezatannya, karena sesungguhnya harta duniawi itu dinilai sedikit tak ada artinya lagi fana (bila dibandingkan dengan pahala di akhirat yang kekal dan abadi).

Pengertian ini diungkapkan oleh Abdullah ibnul Mubarak melalui riwayatnya yang menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir, dari Harun ibnu Yazid yang telah menceritakan bahwa Al-Hasan

(yakni Al-Basri) pernah ditanya mengenai makna firman-Nya, "Samanan qalila” (harga yang sedikit atau rendah), bahwa yang dimaksud adalah dunia berikut segala isinya.Ibnu Luhai'ah mengatakan, telah menceritakan kepadanya

Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41) Sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah

ialah Kitab-Nya yang diturunkan-Nya kepada mereka, sedangkan yang dimaksud dengan harga yang sedikit ialah duniawi dan kesenangannya.Menurut As-Saddi, makna 'janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit

' ialah janganlah kalian mengambil keinginan yang sedikit dan janganlah kalian menyembunyikan asma Allah; ketamakan tersebut adalah harganya.Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah,

sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (Al-Baqarah: 41) Yakni janganlah kalian menerima upah atasnya. Abul Aliyah mengatakan,

bahwa hal ini telah tertera dalam kitab terdahulu yang ada pada mereka, yaitu: "Hai anak Adam, ajarkanlah ilmu dengan cuma-cuma sebagaimana kamu mempelajarinya secara cuma-cuma."

Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah janganlah kalian menukar penjelasan, keterangan, dan menyiarkan ilmu yang bermanfaat di kalangan manusia dengan cara menyembunyikannya dan memutarbalikkan kenyataan,

dengan tujuan agar kalian tetap lestari dalam menguasai keduniawian yang sedikit lagi rendah dan pasti lenyap dalam waktu yang dekat itu.Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَرُحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"


Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya diniatkan untuk memperoleh rida Allah, lalu ia mempelajarinya hanya untuk memperoleh sejumlah harta duniawi, niscaya ia tidak dapat mencium bau surga kelak di hari kiamat.

Mengajarkan ilmu dengan imbalan upah, jika orang yang bersangkutan telah beroleh gaji, tidak boleh baginya mengambil upah sebagai imbalannya. Diperbolehkan baginya mengambil gaji dari baitul mal dalam jumlah yang cukup untuk keperluan

dirinya dan orang-orang yang berada di dalam tanggungannya.Tetapi jika dia tidak memperoleh suatu gaji pun dari baitul mal, sedangkan tugas mengajarnya telah menyita banyak waktu hingga ia tidak dapat mencari nafkah,

maka kedudukannya sama dengan orang yang tidak menerima gaji (yakni boleh mengambil upah). Apabila dia tidak menerima gaji, maka ia diperbolehkan mengambil upah mengajar, menurut pendapat Imam Malik, Imam Syafii,

Imam Ahmad, dan jumhur ulama. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Bukhari, dari Abu Sa'id, mengenai kisah orang yang disengat binatang berbisa, yaitu sabda Nabi Saw. yang mengatakan:


"إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ"


Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil atas sesuatu jasa ialah Kitabullah.Demikian pula sabda Nabi Saw. dalam kisah wanita yang dilamar (dinikahi), yaitu:


زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ"


Aku nikahkan kamu dengan dia dengan imbalan mengajarkan Al-Qur'an yang kamu kuasai (hafalannya).Hadis Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Ubadah ibnus Samit pernah mengajarkan sesuatu dari Al-Qur'an

kepada seorang lelaki dari kalangan ahli suffah, lalu lelaki tersebut menghadiahkan sebuah busur kepadanya. Kemudian Ubadah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal itu, maka beliau bersabda:


إِنْ أَحْبَبْتَ أَنْ تُطَوَّقَ بِقَوْسٍ مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهُ" فَتَرَكَهُ


Jikalau kamu kelak suka dibelit oleh busur api neraka, maka terimalah. Lalu Ubadah menolak hadiah itu. (Hadis riwayat Abu Daud)Hadis semisal diriwayatkan pula melalui Ubay ibnu Ka'b secara marfu. Seandainya hadis ini sahih,

maka pengertian yang dimaksud menurut kebanyakan ulama —antara lain ialah Abu Umar ibnu Abdul Bar— bahwa Abu Ubadah mengajar demi mengharapkan pahala Allah, maka tidak boleh baginya menukar pahala Allah dengan busur

tersebut Jika seseorang sejak pertama mengajar biasa menerima upah, maka ia diperbolehkan menerima upah, seperti yang telah dinyatakan di dalam hadis orang yang disengat binatang berbisa dan hadis Sahl mengenai wanita yang dilamar tadi. ******* Firman Allah Swt:


{وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ}


Dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa. (Al-Baqarah: 41)Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Ad-Dauri, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail (seorang pendidik),

dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah, dari Talq ibnu Habib yang mengatakan bahwa pengertian takwa itu ialah hendaknya kami mengamalkan ketaatan kepada Allah karena mengharapkan rahmat Allah atas dasar nur (petunjuk)

dari Allah. Hendaknya kamu meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah atas dasar nur dari Allah karena takut terhadap siksa Allah.Makna firman-Nya, "Dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa" (Al-Baqarah: 41)

ialah bahwa Allah mengancam mereka terhadap perbuatan yang sengaja mereka lakukan, yaitu menyembunyikan perkara yang hak dan menampakkan hal yang bertentangan dan menentang Rasul Saw.

Surat Al-Baqarah |2:41|

وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ ۖ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

wa aaminuu bimaaa anzaltu mushoddiqol limaa ma'akum wa laa takuunuuu awwala kaafirim bihii wa laa tasytaruu bi`aayaatii ṡamanang qoliilaw wa iyyaaya fattaquun

Dan berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur´an) yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa (Taurat) yang ada pada kamu dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku.

And believe in what I have sent down confirming that which is [already] with you, and be not the first to disbelieve in it. And do not exchange My signs for a small price, and fear [only] Me.

Tafsir
Jalalain

(Dan berimanlah kalian pada apa yang Kuturunkan), yakni Alquran (yang membenarkan apa yang ada beserta kalian)

, yaitu Taurat berupa kesamaan dalam ketauhidan kenabian Muhammad (dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya),

yakni dari golongan Ahlul Kitab karena orang-orang yang di belakang itu hanya akan mengikuti sikap dan tindakan kalian,

sehingga dosa kekafiran mereka akan terpikul di atas pundak kalian (dan janganlah kalian jual) janganlah kalian tukar (ayat-ayat-Ku) yang terdapat dalam Kitab Suci kalian

tentang sifat-sifat dan ciri-ciri Muhammad (dengan harga yang rendah) dengan pengganti yang rendah nilainya berupa harta dunia.

Maksudnya janganlah kalian sembunyikan karena khawatir tidak akan memperoleh lagi keuntungan-keuntungan yang kalian dapatkan selama ini dari nenek moyang kalian (dan hanya kepada-Kulah kalian harus bertakwa)

maksudnya harus takut dalam hal itu dan bukan kepada selain-Ku.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 41 |

Penjelasan ada di ayat 40

Surat Al-Baqarah |2:42|

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

wa laa talbisul-ḥaqqo bil-baathili wa taktumul-ḥaqqo wa antum ta'lamuun

Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.

And do not mix the truth with falsehood or conceal the truth while you know [it].

Tafsir
Jalalain

(Dan janganlah kalian campur aduk) (barang yang hak) yang telah Kuturunkan kepada kalian (dengan yang batil) yang kamu ada-adakan (dan) jangan pula (kalian sembunyikan yang hak itu)

berupa sifat dan ciri-ciri Muhammad (sedangkan kalian mengetahui) bahwa ia hak adanya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 42 |

Tafsir ayat 42-43

Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kalian sembunyikan yang hak itu, sedangkan kalian mengetahui. Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.

Allah Swt berfirman melarang orang-orang Yahudi melakukan hal yang biasa mereka kerjakan di masa lalu, misalnya mencampuradukkan antara perkara yang hak dengan perkara yang batil, memulas perkara yang batil dengan perkara yang hak, menyembunyikan perkara yang hak dan menampakkan perkara yang batil. Allah Swt. berfirman:


{وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}


Dan janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil, dan janganlah kalian menyembunyikan yang hak itu, sedangkan kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42)Allah Swt. melarang mereka dari kedua perkara tersebut

secara bersamaan, dan memerintahkan mereka agar menampakkan perkara yang hak dan menjelaskannya. Karena itu, Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya,

"Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42), yakni janganlah kalian memalsukan yang hak dengan yang batil, yang benar dengan kedustaan.Abul Aliyah mengatakan. makna firman-Nya.

”Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42) artinya janganlah kalian mencampuri yang hak dengan yang batil, dan tunaikanlah nasihat kepada hamba-hamba Allah dari kalangan umat Muhammad Saw.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Ar-Rabi' ibnu Anas.Qatadah mengatakan bahwa firman-Nya, "Janganlah kalian campur adukkan yang hak dengan yang batil" (Al-Baqarah: 42),

yakni janganlah kalian campur adukkan Yahudi dan Nasrani dengan Islam, sedangkan kalian mengetahui bahwa agama Allah itu adalah agama Islam; agama Yahudi dan agama Nasrani itu adalah bid'ah, bukan dari Allah.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri.Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan

dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian sembunyikan perkara yang hak, sedangkan kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 42) Artinya, janganlah kalian menyembunyikan apa yang ada pada kalian mengenai pengetahuan tentang

Rasul-Ku dan apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), sedangkan kalian menemukan hal tersebut termaktub pada sisi kalian melalui apa yang kalian ketahui dari kitab-kitab yang ada di tangan kalian.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah.Mujahid, As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' Ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan janganlah kalian sembunyikan perkara yang hak" (Al-Baqarah: 42),

yakni Nabi Muhammad Saw.Menurut pendapat kami, lafaz taktumu dapat dianggap majzum, dapat pula dianggap mansub. Dengan kata lain, artinya menjadi "janganlah kalian menyatukan antara ini dan itu (hak dan batil)."

Perihalnya sama dengan perkataan, "La ta-kulis samaka watasyrabal labana (janganlah kamu makan ikan serta minum susu)."Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa di dalam mushaf Ibnu Mas'ud disebutkan wataktumunal haqqa artinya

'sedangkan kalian ketika menyembunyikan perkara yang hak itu', wa antum ta'lamuna, yakni 'dalam keadaan mengetahui perkara hak tersebut'.Boleh pula diartikan 'sedangkan kalian mengetahui akibat perbuatan tersebut,

yaitu berakibat mudarat yang besar atas umat manusia'. Mudarat yang besar tersebut ialah mereka sesat dari jalan hidayah yang menjerumuskan mereka ke dalam neraka jika mereka menempuh jalan kebatilan yang kalian tampakkan

kepada mereka, tetapi kalian pulas dengan semacam perkara yang hak agar dapat diterima oleh mereka. dan juga kalian warnai dengan penjelasan dan keterangan. Begitu pula kebalikannya, yaitu menyembunyikan yang hak dan mencampuradukkannya dengan yang batil. ************ Firman Allah Swt.:


{وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}


Dan dirikanlah salat, tunaikan zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah: 43)Muqatil mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, "Dan dirikanlah salat,"

merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka salat bersama Nabi Saw. Firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," merupakan perintah Allah kepada mereka agar mereka menunaikan zakat, yakni menyerahkannya kepada Nabi Saw.

Firman Allah Swt., "Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk," merupakan perintah Allah kepada mereka agar melakukan rukuk (salat) bersama orang-orang yang rukuk (salat) dari kalangan umat Muhammad Saw.

Singkatnya, jadilah kalian bersama-sama mereka dan termasuk golongan mereka.Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan zakat ialah taat dan ikhlas kepada Allah Swt.

Waki' meriwayatkan dari Abu Janab, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," yakni harta yang wajib dizakati, menurut Ibnu Abbas adalah dua ratus hingga lebih.

Mubarak ibnu Fudalah meriwayatkan dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," bahwa makna yang dimaksud ialah zakat merupakan fardu yang tiada gunanya amal perbuatan tanpa zakat dan salat.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syai-bah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abu Hayyan At-Taimi, dari Al-Haris Al-Akli sehubungan dengan makna firman-Nya, "Dan tunaikanlah zakat," bahwa yang dimaksud ialah zakat fitrah. ****** Firman Allah Swt.:


{وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}

Dan rukuklah kalian bersama orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah: 43)Maksudnya, jadilah kalian bersama orang-orang mukmin dalam amal perbuatan mereka yang paling baik, salah satunya dan paling khusus serta paling sempurna ialah salat.

Banyak kalangan ulama menyimpulkan dalil ayat ini akan wajibnya salat berjamaah. Masalah ini —insya Allah— akan kami terangkan dengan panjang lebar dalam kitab kami Al-Ahkamul Kabir. Al-Qurtubi mengetengahkan berbagai masalah

mengenai salat berjamaah dan imamah, ternyata pembahasannya itu cukup baik.

Surat Al-Baqarah |2:43|

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

wa aqiimush-sholaata wa aatuz-zakaata warka'uu ma'ar-rooki'iin

Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

And establish prayer and give zakah and bow with those who bow [in worship and obedience].

Tafsir
Jalalain

(Dan dirikanlah sholat, bayarkan zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk) artinya sholatlah bersama Muhammad dan para sahabatnya.

Lalu Allah Taala menunjukkan kepada para ulama mereka yang pernah memesankan kepada kaum kerabat mereka yang masuk Islam, "Tetaplah kalian dalam agama Muhammad, karena ia adalah agama yang benar!"

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Baqarah | 2 : 43 |

Penjelasan ada di ayat 42