Juz 30
Surat Al-Alaq |96:17|
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
falyad'u naadiyah
Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
Then let him call his associates;
(Maka biarlah dia memanggil golongannya) yakni teman-teman senadinya; Nadi adalah sebuah majelis tempat mereka memusyawarahkan sesuatu perkara.
Sesungguhnya orang yang melarang itu mengatakan kepada Nabi saw. sewaktu dia mencegahnya dari melakukan sholat, "Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa tiada seseorang pun di Mekah ini yang lebih banyak teman senadinya daripada aku.
Sesungguhnya jika kamu mau meninggalkan sholat, aku benar-benar akan memberikan kepadamu, kuda-kuda yang tak berpelana dan laki-laki pelayan sepenuh lembah ini."
"Biarkan dia panggil kawan-kawan segolongannya." (ayat 17). Berapa orang konconya,
berapa orang yang berdiri di belakang menjadi penyokongnya, suruh mereka berkumpul semuanya dengan maksud hendak melawan Allah.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 17 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:18|
سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ
sanad'uz-zabaaniyah
Kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah (penyiksa orang-orang yang berdosa),
We will call the angels of Hell.
(Kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah) mereka adalah malaikat-malaikat yang terkenal sangat bengis lagi kejam, untuk membinasakannya,
sebagaimana yang telah disebutkan di dalam salah satu hadis, yaitu, "Seandainya dia benar-benar memanggil golongan senadinya, niscaya dia akan diazab oleh malaikat Zabaniyah secara terang-terangan."
"Akan Kami panggil (pula) Zabaniyah." (ayat 18). Zabaniyah adalah nama malaikat-malaikat yang menjadi penjaga dalam neraka.
Rupanya kejam dan gagah perkasa dan menakutkan, laksana algojo dalam permisalan dunia ini, yang tidak merasa kasihan apabila dia diperintahkan menjatuhkan hukuman gantung kepada yang bersalah.
Maka Zabaniyah-zabaniyah itu dengan kegagahan dan keseraman rupanya, tidaklah akan sebanding dengan manusia yang sombong, melampaui batas dan tidak tahu diri itu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 18 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:19|
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ۩
kallaa, laa tuthi'hu wasjud waqtarib
sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh kepadanya, dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah).
No! Do not obey him. But prostrate and draw near [to Allah].
(Sekali-kali tidaklah demikian) kalimat ini mengandung hardikan dan cegahan baginya (janganlah kamu patuhi dia) hai Muhammad untuk meninggalkan sholat (dan sujudlah)
maksudnya sholatlah demi karena Allah (dan mendekatlah) kepada-Nya dengan melalui amal ketaatan.
"Sungguh! Jangan engkau ikut dia." (pangkal ayat 19). Jangan engkau perdulikan dia, jangan engkau takut dan bimbang. Teruskan tugasmu! "Tetapi sujudlah dan berhampir dirilah." (ujung ayat 19).
Bertambahlah besar halangan dan sikap kasar, mendustakan dan berpaling yang mereka lakukan terhadap dirimu, bertambah tekun perkuat ibadat kepada Allah, sujud,
sembahyang dengan khusyu'. Setiap waktu hendaklah engkau mendekatkan dirimu kepada Allah. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi musuh-musuh Tuhan ini.
Apabila kita lihat dan perhatikan sejak dari ayat yang keenam, nampaklah betapa Tuhan membesarkan semangat Rasul-Nya dan memperteguh hatinya SAW di dalam menghadapi musuh.
Keyakinan bahwa diri sendiri adalah di pihak yang benar, itulah pangkal kemenangan yang tidak akan dapat diatasi oleh musuh.
Dan penutup penting sekali, yaitu hendaklah selalu sujud, selalu mendekati Tuhan, selalu ingat kepada Tuhan. Sebab rasa dekat kepada Tuhanlah sumber kekuatan peribadi yang tidak akan pernah dapat dipatahkan.
***
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fathul-Bari: "Ancaman keras sampai ubun-ubun akan ditarik terhadap Abu Jahal yang begitu kerasnya,
ialah karena ancamannya yang sangat kasar akan menginjak-injak kuduk Nabi, kalau dia melihat Nabi sembahyang.
Padahal Uqbah bin Abu Mu'ith pun pernah menyungkup Rasul SAW dengan kulit unta basah, sedang dia sembahyang."
Dan Nabi pun tidak pernah gentar menerima ancaman itu. Sampai beliau berkata: "Kalau dia berani mencoba mendekati aku sembahyang,
dia akan ditarik dan dihancurkan oleh malaikat!" Dan beliau terus sembahyang. Sebab meskipun perintah sembahyang lima waktu belum ada pada waktu itu,
yang teruntuk bagi Ummat, namun Nabi SAW telah diajar oleh Jibril mengerjakan sembahyang pada waktu-waktu tertentu, lebih-lebih sembahyang malam.
Imam Asy-Syafi'i menganjurkan, apabila kita membaca (tilawat) Al-Qur'an, sesampai di akhir surat ini, was jud waq-tarib, supaya kita lakukan sujud tilawat.
Guruku Ahmad Sutan Mansur memberi ingat kami waktu menafsirkan Surat ini bahwa cara membacanya pun lain dari yang lain.
Membacanya tidak boleh gontai dan hendaklah bersemangat. Sebagaimana beliau pun tidak suka
kalau orang membaca iqamat mengajak sembahyang dengan suara lemah-gemulai! "Sebab iqamat adalah komando," kata beliau.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 19 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Qadr |97:1|
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
innaaa anzalnaahu fii lailatil-qodr
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur´an) pada malam qadar.
Indeed, We sent the Qur'an down during the Night of Decree.
(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya) yaitu menurunkan Alquran seluruhnya secara sekali turun dari lohmahfuz hingga ke langit yang paling bawah (pada malam kemuliaan) yaitu malam Lailatulkadar, malam yang penuh dengan kemuliaan dan kebesaran.
"Sesungguhnya telah Kami turunkan dia pada malam Kemuliaan." (ayat 1). Artinya ialah bahwa Kami yaitu Allah Tuhan sarwa sekalian alam telah menurunkan Al-Qur'an yang mula-mula sekali kepada Nabi-Nya pada malam Kemuliaan. Lailatul-Qadr,
kita artikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti qadr itu ialah kemuliaan. Dan boleh juga diartikan Lailatul-Qadr malam Penentuan,
karena pada waktu itulah mulai ditentukan khittah atau langkah yang akan ditempuh Rasul-Nya di dalam memberi petunjuk bagi ummat manusia.
Kedua arti ini boleh dipakai. Kalau dipakai arti Kemuliaan, maka mulai pada malam itulah Kemuliaan tertunggi dianugerahkan kepada Nabi SAW,
karena itulah permulaan Malaikat Jibril menyatakan diri di hadapan beliau di dalam gua Hira' sebagai yang telah kita tafsirkan pada Surat Al-'Alaq yang telah lalu.
Dan pada malam itu pulalah perikemanusiaan diberi Kemuliaan, dikeluarkan dari zhulumaat, kegelapan, kepada nur,
cahaya petunjuk Allah yang gilang-gemilang. Dan jika diartikan penentuan, berartilah di malam itu dimulai menentukan garis pemisah di antara kufur dengan iman,
jahiliyah dengan Islam, syirik dengan tauhid, tidak berkacau-balau lagi. Dan dengan kedua kesimpulan ini sudahlah nampak bahwa malam itu adalah malam yang istimewa dari segala malam.
Malam mulai terang-benderang wahyu datang ke dunia kembali setelah terputus beberapa masa dengan habisnya tugas Nabi yang terdahulu.
Dan Nabi yang kemudian ini, Muhammad SAW adalah penutup dari segala Nabi dan segala Rasul (Khatimul Anbiya' wal mursalin).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qadr | 97 : 1 |
Tafsir ayat 1-5
Allah Swt. menceritakan bahwa Dia menurunkan Al-Qur'an di malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh dengan keberkahan, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3) Yaitu Lailatul Qadaryangterletakdi dalam bulan Ramadan, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)Al-Qur’an. (Al-Baqarah: 185) Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa Allah Swt.
menurunkan Al-Qur'an sekaligus dari Lauh Mahfuz ke Baitul 'Izzah di langit yang terdekat. Kemudian diturunkan secara terpisah-pisah sesuai dengan kejadian-kejadian dalam masa dua puluh tiga tahun kepada Rasulullah Saw.
Kemudian Allah Swt. berfirman, mengagungkan kedudukan Lailatul Qadar yang dikhususkan oleh Allah Swt. sebagai malam diturunkan-Nya Al-Qur'an di dalamnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ}
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 2-3) Abu Isa At-Turmuzi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan,
telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani, dari Yusuf ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa seorang lelaki bangkit menuju kepada Al-Hasan ibnu Ali sesudah membaiat Mu'awiyah.
Lalu lelaki itu berkata, "Engkau telah mencoreng muka kaum mukmin," atau, "Hai orang yang mencoreng muka kaum mukmin." Maka Al-Hasan ibnu Ali menjawab, "Janganlah engkau mencelaku, semoga Allah merahmatimu,
karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah diperlihatkan kepadanya Bani Umayyah berada di atas mimbarnya, hal itu membuat diri beliau merasa berdukacita. Maka turunlah firman Allah Swt.:
إِنَّا أَعْطَيْناكَ الْكَوْثَرَ
'Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar' (Al-Kautsar: 1) hai Muhammad, yakni sebuah sungai (teiaga) di dalam surga. Dan turunlah pula firman Allah Swt.:
{إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ}
'Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan' (Al-Qadar: 1-3).
yang akan dimilikkan sesudahmu kepada Bani Umayyah, hai Muhammad." Al-Qasim mengatakan bahwa lalu kami menghitung-hitungnya, dan ternyata masa pemerintahan Bani Umayyah adalah seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun.
Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini, yaitu melalui hadis Al-Qasim ibnul Fadl. Dia adalah seorang yang berpredikat siqah, dinilai siqah oleh Yahya Al-Qattan dan Abdur Rahman ibnu Mahdi.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa gurunya bernama Yusuf ibnu Sa'd yang dikenal dengan nama Yusuf ibnu Mazin, dia adalah seorang yang tidak dikenal. Dan hadis dengan lafaz yang seperti ini tidaklah dikenal melainkan hanya melalui jalur ini.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan hadis ini melalui jalur Al-Qasim ibnul Fadl, dari Yusuf ibnu Mazin dengan sanad yang sama. Dan mengenai perkataan (penilaian) Imam Turmuzi yang menyebutkan bahwa
Yusuf ibnu Sa'd seorang yang tidak dikenal, masih perlu diteliti. Karena sesungguhnya telah meriwayatkan darinya sejumiah ulama yang antara lain ialah Hammad ibnu Salamah, Khalid Al-Hazza dan Yunus ibnu Ubaid.
Yahya ibnu Mu'in menilainya sebagai seorang yang masyhur (terkenal). Dan menurut suatu riwayat dari Ibnu Mu'in, Yusuf ibnu Sa'd adalah seorang yang siqah (dipercaya).Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini melalui jalur Al-Qasim
ibnul Fadl, dari Yusuf ibnu Mazin, demikianlah menurutnya, dan ini menimbulkan idtirab dalam hadis ini; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.Kemudian hadis ini dengan hipotesis apa pun berpredikat munkar sekali.
Guru kami Imam Al-Hafiz Al-Hujjah Abul Hajjaj Al-Maziy mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar.Menurut hemat kami, ucapan Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani yang menyebutkan bahwa ia menghitung-hitung masa pemerintahan Bani Umayyah,
maka ternyata ia menjumpainya seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun, pendapat ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan r.a. baru memegang tampuk pemerintahan saat
Al-Hasan ibnu Ali menyerahkannya kepada dia pada tahun empat puluh Hijriah, lalu semua baiat sepakat 'tertuju kepada Mu'awiyah, maka tahun itu dinamakan dengan tahun Jama'ah.Kemudian Bani Umayyah terus-menerus memegang
kendali pemerintahan berturut-turut di negeri Syam dan negeri lainnya. Tiada suatu kawasan pun yang memberontak terhadap mereka kecuali hanya di masa pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair di kedua tanah suci (Mekah dan Madinah)
dan Al-Ahwaz serta negeri-negeri yang terdekat selama sembilan tahun. Akan tetapi, kesatuan dan persatuan mereka tetap berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah secara keseluruhan terkecuali hanya pada sebagian kawasan
yang tertentu. Hingga pada akhirnya kekhalifahan direbut dari tangan mereka oleh Banil Abbas pada tahun seratus tiga puluh dua.Dengan demikran, berarti jumlah masa pemerintahan Bani Umayyah seluruhnya adalah sembilan puluh
dua tahun, dan ini berarti lebih dari seribu bulan, yang kalau dijumlahkan berarti hanya delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan.Kalau begitu, berarti Al-Qasim ibnul Fadl menggugurkan masa pemerintahan mereka
di masa-masa Ibnuz Zubair (yang hanya sembilan tahun itu). Jika demikian, berarti jumlah ini mendekati kebenaran dari apa yang dikatakannya; hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui.Bukti lain yang menunjukkan ke-daif-an
hadis ini ialah karena hadis ini sengaja diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan Bani Umayyah. Seandainya dimaksudkan untuk mencela mereka, tentulah bukan dengan konteks seperti itu.
Mengingat keutamaan LailatuI Qadar di masa-masa pemerintahan mereka bukanlah menunjukkan tercelanya hari-hari mereka. Sesungguhnya malam LailatuI Qadar itu sangat mulia, dan surat yang mulia ini diturunkan hanya semata-mata memuji malam LailatuI Qadar.
Lalu mengapa ayat ini memuji keutamaannya di masa-masa pemerintahan Bani Umayyah yang dinilai oleh hadis ini tercela. Hal ini tiada lain hanyalah seperti apa yang dikatakan oleh penyair:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ السَّيْفَ يَنْقُصُ قَدْرُهُ ... إِذَا قِيلَ إِنَّ السَّيْفَ أَمْضَى مِنَ الْعَصَا
Tidakkah engkau lihat, bahwa pedang itu turun pamornya bila dikatakan bahwa ia lebih tajam daripada tongkat? Penyair lainnya mengatakan:
إِذَا أَنْتَ فَضَّلْتَ امْرَأً ذَا بَرَاعَةٍ ... عَلَى نَاقِصٍ كَانَ الْمَدِيحُ مِنَ النَّقْصِ
Jika engkau mengutamakan seseorang yang mempunyai keahlian di atas orang yang tidak mempunyai keahlian, maka sama saja dengan merendahkan martabat orang yang dipujinya. Kemudian bila-dipahami dari ayat ini bahwa
seribu bulan yang disebutkan dalam ayat menunjukkan masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan suratnya sendiri adalah Makkiyyah. Lalu bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian seribu bulan masa pemerintahan
Bani Umayyah, padahal baik lafaz maupun makna ayat tidak menunjukkan kepada pengertian itu. Dan lagi mimbar itu hanyalah baru dibuat di Madinah sesudah hijrah. Semua bukti tersebut menunjukkan kelemahan dan
kemungkaran hadis di atas; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan
kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi Saw. menceritakan tentang seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah Swt
Maka kaum muslim merasa kagum dengan perihal lelaki Bani Israil itu. Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 1-3) Maksudnya, lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad
di jalan Allah. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam ibnu Muslim, dari Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Mujahid yang meHgatakan bahwa
dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang lelaki yang malam harinya melakukan qiyam hingga pagi hari, kemudian di siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Dia mengerjakan amalan ini selama seribu bulan,
maka Allah menurunkan firman-Nya: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 3) Yakni melakukan qiyam di malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani Israil itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Maslamah ibnu Ali, dari Ali ibnu Urwah yang mengatakan bahwa di suatu hari
Rasulullah Saw. menceritakan tentang kisah empat orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil (di masa lalu); mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya barang sekejap mata pun
Beliau Saw. menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya' ibnu Nun. Ali ibnu Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu para sahabat Rasulullah Saw. merasa kagum dengan amalan mereka.
Maka datanglah Jibril kepada Nabi Saw. dan berkata, "Hai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka barang sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah Swt.
telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu." Kemudian Malaikat Jibril a.s. membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu
apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 1 -3) Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah Saw. dan orang-orang
yang bersamanya saat itu. Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa telah sampai kepadaku dari Mujahid sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan. Bahwa amalan, puasa, dan qiyamnya lebih baik
daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan bahwa malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan yang di dalam bulan-bulannya tidak terdapat malam
Lailatul Qadar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah ibnu Di'amah dan Imam Syafii serta yang lainnya yang bukan hanya seorang. Amr ibnu Qais Al-Mala'i telah mengatakan bahwa melakukan suatu amalan di malam
kemuliaan lebih baik daripada melakukan amalan selama seribu bulan.Dan pendapat yang menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar itu lebih afdal daripada melakukan ibadah selama seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadar,
merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir, dan pendapat inilah yang benar, bukan yang lainnya. Pengertian ini sama dengan apa yang disebutkan dalam sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«رِبَاطُ لَيْلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ لَيْلَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَنَازِلِ»
Berjaga-jaga selama semalam di jalan Allah (jihad) lebih baik daripada seribu malam di tempat-tempat yang lainnya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Sebagaimana pula yang disebutkan berkenaan dengan keutamaan
seseorang yang datang ke salat Jumatdengan penampilan yang baik dan niat yang saleh, bahwa dicatatkan baginya amal selama satu tahun, berikut pahala puasa dan qiyamnya. Dan masih banyak lagi nas-nas lainnya yang semakna.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابَة، عَنْ أَبِي هُريرة قَالَ: لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قد جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ، شَهَرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرم خَيرَها فَقَدْ حُرم".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ketika Ramadan tiba, Rasulullah Saw.
bersabda: Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkati, Allah telah memfardukan bagimu melakukan puasa padanya. Di dalamnya dibukakan semua pintu surga dan ditutup rapat-rapat semua pintu neraka,
dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari kebaikannya, berarti dia telah terhalang (dari semua kebaikan).Imam Nasai meriwayatkannya
melalui hadis Ayyub dengan sanad yang sama. Mengingat melakukan ibadah di dalam malam Lailatul Qadar sebanding pahalanya dengan melakukan ibadah selama seribu bulan, telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
Barang siapa yang melakukan qiyam (salat sunat) di malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala dan ridaAllah, maka diampunilah baginya semua dosanya yang terdahulu.Firman Allah Swt.:
{تَنزلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ}
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4) Yakni banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan ini karena berkahnya yang banyak.
Dan para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat, sebagaimana mereka pun turun ketika Al-Qur'an dibacakan dan mengelilingi halqah-halqah zikir serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang
menuntut ilmu dengan benar karena menghormatinya. Adapun mengenai ar-ruh dalam ayat ini, menurut suatu pendapat makna yang dimaksud adalah Jibril a.s., yang hal ini berarti termasuk ke dalam Bab "Ataf khusus kepada umum."
Menurut pendapat lain menyebutkan, ar-ruh adalah sejenis malaikat tertentu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam surat An-Naba. Hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah Swt.:
{مِنْ كُلِّ أَمْرٍ}
untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4) Mujahid mengatakan bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan.Sa'id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus,
telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Malam itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5) Bahwa malam itu penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya
atau melakukan gangguan padanya. Qatadah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki ditakdirkan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
فِيها يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad' Dukhan: 4) Adapun firman Allah Swt.:
{سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ}
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar: 5) Sa'id ibnu Mansur mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan makna firman-Nya:
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar: 4-5) Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di malam Lailatul Qadar kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit.
Dan Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Min kulli imri'in, yang artinya menjadi seperti berikut: Kepada setiap orang (malaikat memberi salam) di malam Lailatul Qadar
sampai terbit fajar, yang dimaksud adalah ahli masjid. Imam Baihaqi telah meriwayatkan sebuah asar yang garib yang menceritakan turunnya para malaikat dan lewatnya mereka kepada orang-orang
yang sedang salat di malam itu (malam kemuliaan) sehingga orang-orang yang salat mendapat berkah karenanya. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan sebuah asar yang garib dari
Ka'bul Ahbar cukup panjang menceritakan turunnya para malaikat dari Sidratul Muntaha dipimpin oleh Malaikat Jibril a.s. ke bumi di malam kemuliaan dan doa mereka bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ -يَعْنِي الْقَطَّانَ-عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ أَبِي هُريرة: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: "إنها ليلة سابعة -أو: تاسعة -وعشرين، وإن الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عدد الحصى"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan (Lailatul Qadar):
Sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadan), dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu kerikil.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Al-Minhal, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila sehubungan dengan makna firman-Nya: untuk mengatur segala urusan, yang (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 4-5)
Yakni tiada suatu urusan pun yang terjadi di malam itu.Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: malam itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5)
Yaitu semuanya baik belaka, tiada suatu keburukan pun yang terjadi di malam itu sampai matahari terbit. Pengertian ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
حَدَّثَنَا حَيْوَة بْنُ شُرَيح، حَدَّثَنَا بَقِيَّة، حَدَّثَنِي بَحير بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَان، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِيَ لَيْلَةٌ وِتْرٍ: تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ". وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إن أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَة، كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةٌ سَجِيَّةٌ، لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ، وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ. وَأَنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً، لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ"
telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah. telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa'd dan Khalid ibnu Ma’dan: dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Lailatul Qadar terdapat di malam sepuluh yang terakhir (dari bulan Ramadan); barang siapa yang melakukan qiyam padanya karena mengharapkan pahala di malam-malam tersebut, maka Allah
memberi ampunan baginya atas semua dosanyayang terdahulu dan yang kemudian. Malam Lailatul Qadar adalah malam yang ganjil, yang jatuh pada malam dua puluh sembilan, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh lima,
atau dua puluh tiga, atau malam yang terakhir. Rasulullah Saw. telah bersabda pula: Sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar ialah cuacanya bersih lagi terang seakan-akan ada rembulannya, tenang, lagi hening;
suhunya tidak dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada malam itu sampai pagi hari. Dan sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar itu dipagi harinya matahari terbit dalam keadaan sempurna,
tetapi tidak bercahaya seperti biasanya melainkan seperti rembulan di malam purnama, dan tidak diperbolehkan bagi setan ikut muncul bersamaan dengan terbitnya matahari di hari itu. Sanad hadis ini hasan dan di dalam matannya
terdapat garabah, dan pada sebagian lafaznya terdapat yang hal munkar.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا زَمْعَة، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرام، عَنْ عِكْرِمة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: "لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ، لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ، وَتُصْبِحُ شَمْسُ صَبِيحَتِهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zam'ah, dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan malam Lailatul Qadar:
(Yaitu) malam yang sedang lagi terang, tidak panas dan tidak dingin, dan pada keesokan harinya cahaya mataharinya lemah kemerah-merahan.Ibnu Abu Asim An-Nabil telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Jabir ibnu Abdullah,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنِّي رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَأُنْسِيتُهَا وَهِيَ فِي العشر الأواخر من لياليها وهي طَلْقَةٌ بِلُجَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا لَا يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيءَ فَجْرُهَا»
Sesungguhnya aku telah melihat malam Lailatul Qadar, lalu aku dijadikan lupa kepadanya; malam Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan Ramadan), pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas
dan tidak pula dingin, seakan-akan padanya terdapat rembulan; setan tidak dapat keluar di malam itu hingga pagi harinya. Para ulama berbeda pendapat, apakah di kalangan umat-umat terdahulu ada Lailatul Qadar,
ataukah memang Lailatul Qadar hanya khusus bagi umat ini? Ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya. Abu Mus'ab alias Ahmad ibnu Abu Bakar Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Malik,
telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah Saw. diperlihatkan kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah.
Maka Rasulullah Saw. seakan-akan menganggap pendek usia umatnya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat
mencapai tingkatan mereka. Maka Allah Swt. memberinya Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Hadis ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh Malik ini memberikan pengertian bahwa
Lailatul Qadar hanya dikhususkan bagi umat ini. Dan pendapat ini telah dinukil oleh penulis kitab Al-Iddah, salah seorang ulama dari kalangan mazhab Syafii dari jumhur ulama; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui Al-Khattabi
telah meriwayatkan adanya kesepakatan dalam hal ini, dan'Al-Qadi telah menukilnya secara pasti dari mazhab Syafii. Akan tetapi, pengertian yang ditunjukkan oleh hadis memberikan pengertian bahwa Lailatul Qadar terdapat pula
di kalangan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat di kalangan umat kita sekarang.
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ: حَدَّثَنِي أَبُو زُمَيل سِمَاك الحَنَفي: حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ مَرْثَد بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي مَرْثَد قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا ذَرٍّ قُلْتُ: كَيْفَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ قَالَ: أَنَا كُنْتُ أَسْأَلُ النَّاسَ عَنْهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخْبِرْنِي عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، أَفِي رَمَضَانَ هِيَ أَوْ فِي غَيْرِهِ؟ قَالَ: "بَلْ هِيَ فِي رَمَضَانَ". قُلْتُ: تَكُونُ مَعَ الْأَنْبِيَاءِ مَا كَانُوا، فَإِذَا قُبِضُوا رُفِعَتْ؟ أَمْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: "بَلْ هِيَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ". قُلْتُ: فِي أَيِّ رَمَضَانَ هِيَ؟ قَالَ: "الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأُوَلِ، وَالْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ". ثُمَّ حَدّثَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحَدّث، ثُمَّ اهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ قُلْتُ: فِي أَيَّ الْعَشْرَيْنِ هِيَ؟ قَالَ: "ابْتَغَوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، لَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا". ثُمَّ حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ اهْتَبَلْتُ غَفْلَتَهُ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ بِحَقِّي عَلَيْكَ لَمَا أَخْبَرْتَنِي فِي أَيِّ الْعَشْرِ هِيَ؟ فَغَضِبَ عَلَيَّ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ مِثْلَهُ مُنْذُ صَحِبْتُهُ، وَقَالَ: "الْتَمِسُوهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ، لَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا"
Imam Ahmad Ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Abu Zamil alias Sammak Al-Hanafi, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Marsad
ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Marsad yang telah mengatakan bahwa aku bertanya kepada Abu Zar, "Apakah yang pernah engkau tanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang Lailatul Qadar?" Abu Zar menjawab
bahwa dirinyalah orang yang paling gencar menanyakan tentang Lailatul Qadar kepada Rasulullah Saw. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah terdapat di dalam bulan Ramadan
ataukah di bulan yang lain?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak, bahkan ia terdapat di dalam bulan Ramadan." Aku bertanya lagi, "Apakah Lailatul Qadar itu hanya ada di masa para nabi saja? Apabila mereka telah tiada,
maka Lailatul Qadar dihapuskan, ataukah masih tetap ada sampai hari kiamat?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak, bahkan Lailatul Qadar tetap ada sampai hari kiamat." Aku bertanya lagi, "Di bagian manakah Lailatul Qadar
terdapat dalam bulan Ramadan?" Rasulullah Saw. menjawab: Carilah Lailatul Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apapun sesudah ini. Kemudian Rasulullah Saw.
melanjutkan perbincangannya, dan beliau terus berbincang-bincang, lalu aku memotong pembicaraannya dan bertanya, "Di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Carilah ia di malam-malam
sepuluh terakhir, dan jangan engkan bertanya lagi mengenainya sesudah ini. Rasulullah Saw. melanjutkan pembicaraannya, kemudian aku memotong lagi pembicaraannya dan kukatakan kepadanya, "Wahai Rasulullah,
aku bersumpah kepada engkau demi hakku atas dirimu setelah engkau menceritakannya kepadaku, di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?" Maka beliau Saw. kelihatan marah, dan aku belum pernah melihat
beliau marah seperti itu sejak aku menjadi sahabatnya, lalu beliau bersabda: Carilah ia di malam-malam tujuh terakhir, dan jangan lagi engkau menanyakannya kepadaku sesudah ini.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Al-Fallas, dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan sanad yang sama. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, yaitu bahwa
Lailatul Qadar masih tetap ada sampaihari kiamat, tiap tahunnya sesudah Nabi Saw. tiada. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian golongan Syi'ah yang mengatakan bahwa
Lailatul Qadar telah diangkat secara keseluruhan, sesuai dengan pemahaman mereka terhadap hadis yang akan kami kemukakan sehubungan dengan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ»
Maka diangkatlah (dihapuskanlah) LailatuI Qadar dan mudah-mudahan hal ini baik bagi kalian. Karena sesungguhnya makna yang dimaksud ialah hanya penghapusan mengenai pengetahuan malamnya secara tertentu.
Juga dalam hadis di atas menunjukkan bahwa LailatuI Qadar itu hanya khusus terjadi di dalam bulan Ramadan, bukan bulan-bulan lainnya. Tidak sebagaimana yang diriwayatkan dari
Ibnu Mas'ud dan ulama ahli Kufah yang mengikutinya, mereka mengatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di sepanjang tahun dan diharapkan terdapat di setiap bulannya secara merata.
Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya telah menukil hadis ini dalam Bab "Penjelasan LailatuI Qadar" terdapat di semua Ramadan, untuk itu ia mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا حُمَيد بْنُ زَنْجُويه النَّسَائِيُّ أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِل رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَقَالَ: "هِيَ فِي كُلِّ رَمَضَانَ"
telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Zanjawaih As-Sami, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far ibnu Abu Kasir, telah menceritakan
kepadaku Musa ibnu Uqbah, dari Abu Ishaq, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai LailatuI Qadar, sedangkan ia mendengarkannya.
Maka beliau Saw. menjawab: LailatuI Qadar terdapat di semua Ramadan. Sanad ini semua perawinya berpredikat siqah; hanya saja Abu Daud mengatakan bahwa Syu'bah dan Sufyan telah meriwayatkan hadis ini dari Abu Ishaq
dan keduanya me-mauquf-kan hadis ini hanya sampai kepadanya. Dan telah diriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah, bahwa LailatuI Qadar itu diharapkan terdapat di setiap bulan Ramadan. Ini merupakan suatu
pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Gazali dan dinilai garib sekali oleh Ar-Rafi'i. Kemudian dikatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di malam pertama bulan Ramadan, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Razin.
Menurut pendapat yang lain, LailatuI Qadar terdapat pada malam tujuh belas Ramadan. Sehubungan dengan hal ini Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadis marfu' dari Ibnu Mas'ud. Sebagaimana telah diriwayatkan pula
hal yang sama secara mauquf hanya sampai pada Ibnu Mas'ud, Zaid ibnu Arqam, dan Usman ibnu Abul As. Dan hal ini merupakan suatu pendapat yang bersumber dari Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii, dan diriwayatkan
dari Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengemukakan alasannya, bahwa LailatuI Qadar terjadi di malam Perang Badar, yang jatuh pada hari Jumat tanggal tujuh belas Ramadan. Dan di pagi harinya terjadi Perang Badar,
yaitu hari yang disebut oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dengan sebutan Yaumul Furqan, alias hari pembeda antara perkara yang hak dan perkara yang batil. Menurut pendapat lain, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal
sembilan belas bulan Ramadan; pendapat ini bersumber dari Ali dan juga Ibnu Mas'ud. Menurut pendapat yang lainnya lagi, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal dua puluh satu berdasarkan hadis Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. melakukan i'tikaf di malam-malam sepuluh pertama bulan Ramadan, dan kami pun ikut i'tikaf bersamanya. Lalu datanglah Jibril dan mengatakan kepadanya,
"Sesungguhnya yang engkau cari berada di depanmu." MakaNabi Saw. melakukan i'tikaf pada malam-malam pertengahan (sepuluh kedua) bulan Ramadan, dan kami ikut beri'tikaf bersamanya.
Dan Jibril datang lagi kepadanya, lalu berkata, "Yang engkau cari berada di depanmu." Kemudian Nabi Saw. berdiri dan berkhotbah di pagi hari tanggal dua puluh Ramadan, antara lain beliau bersabda:
«مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي رَأَيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي أُنْسِيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأواخر في وِتْرٍ وَإِنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاءٍ»
Barang siapa yang telah melakukan i'tikaf bersamaku, hendaklah ia pulang, karena sesungguhnya aku telah melihat malam kemuliaan itu. Dan sesungguhnya aku telah dibuat lupa terhadapnya,
sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di sepuluh terakhir bulan Ramadan pada malam-malam ganjilnya, dan sesungguhnya aku telah bermimpi seakan-akan diriku sedang sujud di tanah dan air (karena cuacanya hujan).
Sedangkan atap masjid terbuat dari pelepah daun kurma, pada mulanya kami tidak melihat sepotong awan pun di langit. Lalu tiba-tiba terjadilah pelangi, dan terjadilah hujan, dan Nabi Saw. membawa kami salat sehingga aku
melihat bekas tanah dan air menempel di kening beliau, hal ini membuktikan kebenaran dari mimpi yang dilihatnya. Menurut riwayat yang lain, kejadian itu terjadi pada pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadan; diketengahkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing. Imam Syafii mengatakan bahwa hadis ini merupakan hadis yang sanadnya paling sahih. Menurut pendapat lainnya, malam kemuliaan terjadi pada
tanggal dua puluh tiga Ramadan berdasarkan hadis Abdullah ibnu Unais dalam kitab Sahih Muslim, dan hadis ini konteksnya mendekati hadisnya Abu Sa'id; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Menurut pendapat yang lainnya lagi,
malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh empat Ramadan. Sehubungan dengan hal ini Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari A.bu Sa'id,
bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ»
Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (bulan Ramadan). Sanad hadis ini semua perawinya berpredikat siqah.
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيب، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنِ الصُّنَابِحِيِّ، عَنْ بِلَالٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ"
Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair As-Sanabiji, dari Bilal yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (Ramadan).Ibnu Lahi'ah orangnya daif. Hadis ini bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Asbag, dari Ibnu Wahbdari Arar ibnul Haris,
dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Abu Abdullah As-Sanabiji yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Bilal juru azan Rasulullah Saw., bahwa malam kemuliaan itu terdapat pada malam tujuh terakhir dari bulan Ramadan
Hadis ini mauquf hanya sampai kepada Bilal, dan inilah yang paling sahih; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir, Al-Hasan, Qatadah, dan Abdullah ibnu Wahb,
bahwa malam kemuliaan terdapat pada malam dua puluh empat Ramadan.Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Wasilah ibnul Asqa' secara marfu', yaitu dalam tafsir surat Al-Baqarah, berbunyi demikian:
«إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ لَيْلَةَ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ»
Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan pada malam dua puluh empat (Ramadan). Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua puluh lima Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى»
Carilah malam kemuliaan di malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadan, yaitu bila tinggal sembilan malam lagi atau bila tinggal tujuh malam lagi, atau bila tinggal lima malam lagi.Kebanyakan ulama menakwilkan
makna hadis ini dengan malam-malam yang ganjil, dan pendapat inilah yang kuat dan yang terkenal. Sedangkan ulama lainnya menakwilkannya terjadi pada malam-malam yang genap dari malam-malam sepuluh terakhir Ramadan
Ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa'id, bahwa ia menakwilkannya demikian; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat
dalam malam dua puluh tujuh Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Ubay ibnu Ka'b, dari Rasulullah Saw., bahwa malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tujuh.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang telah mendengar dari Abdah dan Asim, dari Zur yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b, "Hai Abul Munzir, engkau pernah berkata
bahwa saudaramu Ibnu Mas'ud pernah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan qiyaimil lail sepanjang tahun, niscaya akan menjumpai Lailatul Qadar."Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Semoga Allah merahmatinya,
sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam kemuliaan itu terdapat di dalam bulan Ramadan dan tepatnya di malam dua puluh tujuh." Kemudian Ubay ibnu Ka'b bersumpah untuk menguatkan perkataannya.
Dan aku bertanya, "Bagaimanakah kamu mengetahuinya?" Ubay ibnu Ka'b menjawab, "Melalui alamat atau tandanya yang telah diberitahukan kepada kami oleh Nabi Saw., bahwa pada siang harinya mentari terbit di pagi harinya,
sedangkan cahayanya lemah."Imam Muslim telah meriwayatkan ini melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, Syu'bah, dan Al-Auza'i, dari Abdah, dari Zur, dari Ubay, lalu disebutkan hal yang semisal. Yang di dalamnya disebutkan
bahwa Ubay ibnu Ka'b mengatakan, "Demi Allah, yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya malam kemuliaan itu benar-benar berada di bulan Ramadan." Ubay ibnu Ka'b bersumpah tanpa mengucapkan pengecualian,
lalu ia melanjutkan, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui di tanggal berapakah Lailatul Qadar itu berada, Rasulullah Saw. telah memerintahkan kami untuk melakukan qiyam padanya, yaitu tanggal
dua puluh tujuh. Dan pertandanya ialah di pagi harinya mentari terbit dengan cahaya yang redup."Dalam bab yang sama telah disebutkan dari Mu'awiyah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas serta selain mereka, dari Rasulullah Saw.
yang telah bersabda bahwa Lailatul Qadar itu adalah malam dua puluh tujuh. Dan inilah pendapat yang dipegang oleh segolongan ulama Salaf, dan merupakan pendapat yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah,
juga menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Abu Hanifah menyebutkan hal yang sama. Telah diriwayatkan pula dari sebagian ulama Salaf, bahwa Imam Abu Hanifah berupaya menyimpulkan keadaan Lailatul Qadar
jatuh pada tanggal duapuluh tujuh dari Al-Qur'an melalui firman-Nya, "Hiya (malam itu)," dengan alasan bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang kedua puluh tujuh dari surat yang bersangkutan; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim Ad-Dubri, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
dari Qatadah dan Asim; keduanya pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. mengundang semua sahabat,
lalu menanyakan kepada mereka tentang Lailatul Qadar, maka mereka sepakat mengatakan bahwa malam Lailatul Qadar berada di malam sepuluh terakhir bulan Ramadan.
Ibnu Abbas melanjutkan, bahwa lalu ia berkata kepada Umar, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui —atau merasa yakin— di malam ke berapakah Lailatul Qadar berada?" Umar bertanya, "Kalau begitu, katakanlah
di malam ke berapakah ia berada?" Ibnu Abbas menjawab, bahwa Lailatul Qadar adanya pada sepuluh malam terakhir Ramadan bila telah berlalu tujuh malam, atau bila tinggal tujuh malam lagi.Umar bertanya, "Dari manakah kamu mengetahui hal itu?"
Ibnu Abbas menjawab, bahwa Allah telah menciptakan langit tujuh lapis, bumi tujuh lapis, hari-hari ada tujuh, dan bulan berputar pada tujuh (manzilah). Manusia diciptakan dari tujuh (lapis bumi) makan dengan tujuh anggota,
sujud dengan tujuh anggota, tawaf tujuh kali, melempar jumrah tujuh kali, dan lain sebagainya. Maka Umar berkata, "Sesungguhnya engkau mempunyai pandangan yang jeli yang kami tidak menyadarinya."Dan tersebutlah bahwa
menurut riwayat Qatadah, ia menambahkan dalam perkataan Ibnu Abbas sesudah mengatakan bahwa manusia makan dengan tujuh anggota, yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan: lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
anggur dan sayur-sayuran. ('Abasa: 27-28), hingga akhir ayat. Sanad hadis ini Jayyid lagi kuat, tetapi matannya garib sekali; hanya Allah Yang Maha Mengetahui.Menurut pendapat yang lainnya lagi, Lailatul Qadar terdapat di malam dua puluh
sembilan.
قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ عُمرَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي رَمَضَانَ، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَإِنَّهَا فِي وتْر إِحْدَى وَعِشْرِينَ، أَوْ ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ، أَوْ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ، أَوْ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ، [أَوْ تِسْعٍ وَعِشْرِينَ] أَوْ فِي آخِرِ لَيْلَةٍ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil,
dari Umar ibnu Abdur Rahman, dari Ubadah ibnus Samit, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang Lailatul Qadar bilakah adanya. Maka Rasulullah Saw. menjawab: Dalam bulan Ramadan,
carilah dalam malam-malam sepuluh terakhirnya, dan sesungguhnya ia terdapat pada malam yang ganjil, yaitu dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan,
atau di malam yang terakhirnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -وَهُوَ: أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ-حَدَّثَنَا عِمْرَانُ الْقَطَّانُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي ليلة القدر: "إنها ليلة سابعة أو تاسعة وَعِشْرِينَ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan: Sesungguhnya ia berada di malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadan), dan sesungguhnya para malaikat di malam itu di bumi jumlahnya
lebih banyak daripada bilangan kerikil Imam Ahmad meriwayatkannya secara tunggal, sanadnya tidak ada celanya.Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar terdapat di malam terakhir bulan Ramadan, berdasarkan hadis yang telah disebutkan
di atas tadi, juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui hadis Uyaynah ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
فِي تِسْعٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ سَبْعٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ خَمْسٍ يَبْقَيْنَ، أَوْ ثَلَاثٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ"
di malam duapuluh satu, atau duapuluh tiga, atau duapuluh lima, atau duapuluh tujuh, atau di malam terakhir. Yakni carilah malam kemuliaan tersebut di malam-malam itu.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan, sahih. Dan di dalam kitab musnad disebutkan melalui jalur Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. sehubungan dengan malam kemuliaan ini:
"إِنَّهَا آخِرُ لَيْلَةٍ"
Sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di malam terakhir (Ramadan). Imam Syafii mengatakan sehubungan dengan riwayat-riwayat ini, bahwa semuanya merupakan jawaban Nabi Saw. terhadap pertanyaan
orang yang bertanya kepadanya, "Apakah kita mencari malam kemuliaan di malam anu?" Maka beliau Saw. menjawab, "Ya." Padahal sesungguhnya malam kemuliaan itu adalah malam tertentu yang tidak berpindah-pindah.
Demikianlah menurut apa yang telah dinukil oleh Imam Turmuzi secara garis besarnya. Telah diriwayatkan pula dari Abu Qilabah, bahwa ia telah mengatakan, "Lailatul Qadar itu berpindah-pindah di malam-malam sepuluh terakhir Ramadan."
Dan apa yang diriwayatkan dari Abu Qilabah ini dicatat sebagai nas oleh Malik, As-Sauri, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, Al-Muzani, dan Abu Bakar ibnu Khuzaimah, dan lain-lainnya. Imam Syafii telah mengatakan hal yang sama pula
menurut apa yang dinukil oleh Al-Qadi darinya dan pendapat inilah yang lebih mirip kepada kebenaran; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Dan senada dengan pendapat ini apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abdullah ibnu Umar,
bahwa beberapa orang laki-laki dari sahabat Rasulullah Saw. diperlihatkan kepada mereka Lailatul Qadar dalam malam-malam tujuh terakhir Ramadan. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ، فَمَنْ كَانَ مُتحريها فَلْيَتَحرها فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ"
Aku juga telah melihat hal yang sama seperti kalian dalam mimpiku, malam kemuliaan itu berada di tujuh malam terakhir Ramadan. Maka barang siapa yang mencarinya hendaklah ia mencarinya di tujuh malam terakhir.
Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan pula melalui Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ"
Carilah Lailatul Qadar di malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadan. Sedangkan lafaz hadis ini ada pada Imam Bukhari. Imam Syafii dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar itu tidak
berpindah-pindah melainkan ada di malam tertentu dari bulan Ramadan beralasan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya melalui -Ubadah ibnus Samit yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
muncul untuk memberitahukan kepada kami tentang malam kemuliaan, maka tiba-tiba muncul pula dua orang dari kalangan kaum muslim (menemuinya). Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda:
"خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ، وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ"
Aku keluar untuk memberitahukan kepada kamu tentang malam kemuliaan, maka muncullah si Fulan dan si Fulan sehingga (pengetahuan mengenai) malam kemuliaan itu terhapuskan (dari ingatanku), dan barangkali hal ini baik
bagi kamu. Maka carilah ia di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh) lima. Yang tersimpulkan dari makna hadis ini menunjukkan bahwa seandainya malam kemuliaan tidak tertentu secara berkesinambungan,
tentulah tidak akan diperoleh bagi mereka pengetahuan mengenai ketentuannya di setiap tahunnya. Sebab jika malam kemuliaan itu memang berpindah-pindah, niscaya mereka tidak mengetahui ketentuan malamnya terkecuali
hanya tahun itu saja. Terkecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya beliau keluar hanya untuk memberitahukan kepada mereka mengenainya di tahun itu saja, dan hal ini ternyata tidak disebutkan. Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
maka muncullah si Fulan dan si Fulan, sehingga (pengetahuanku mengenainya) terhapuskan (dari ingatanku) Terkandung suatu rujukan yang menjadi sumber dari suatu peribahasa yang mengatakan bahwa sesungguhnya berbelit-belit itu
dapat memutuskan faedah dan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana pula halnya yang disebutkan dalam hadis yang mengatakan:
"إِنَّ الْعَبْدَ ليُحْرَم الرزقَ بالذَّنْبِ يُصِيبه"
Sesungguhnya seorang hamba benar-benar terhalang dari rezekinya disebabkan dosa yang dikerjakannya. Dan sabda Nabi Saw. yang mengatakan: maka dihapuslah (pengetahuan tentang malam kemuliaan dari ingatanku).
Yakni dihapuskan pengetahuan mengenai ketentuan malamnya dari kalian, dan bukan berarti bahwa malam kemuliaan itu dihapuskan seluruhnya, seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang kurang akalnya dari golongan Syi'ah.
Karena sesungguhnya Nabi Saw. bersabda sesudahnya: Maka carilah malam kemuliaan itu di malam (dua puluh) sembilan, (dua puluh) tujuh, dan (dua puluh) lima. Sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Dan barangkali hal itu lebih baik bagi kamu
Yakni ketiadaan ketentuan malamnya lebih baik bagimu, karena sesungguhnya jika malam kemuliaan dimisterikan ketentuannya, maka orang-orang yang mencarinya akan mengejarnya dengan penuh kesungguhan guna
mendapatkannya dalam seluruh bulan Ramadan. Dengan demikian, berarti ibadah yang dilakukannya lebih banyak. Berbeda halnya jika ketentuan malamnya disebutkan dan mereka mengetahuinya, maka semangat
menjadi pudar untuk mencarinya dan hanya timbul di malam itu saja, sedangkan pada malam lainnya mereka tidak mau melakukan qiyam padanya. Sesungguhnya hikmah disembunyikannya ketentuan malam kemuliaan ini
dimaksudkan agar ibadah meramaikan seluruh bulan Ramadan untuk mencarinya, dan kesungguhan makin meningkat bila Ramadan mencapai sepuluh terakhirnya.Untuk itulah maka Rasulullah Saw. melakukan i'tikaf
di malam sepuluh terakhir Ramadan sampai Allah Swt. mewafatkannya, kemudian sesudah beliau istri-istri beliau mengikuti jejaknya dalam melakukan i'tikaf ini. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan
hadis ini melalui riwayat Aisyah r.a.Dan masih dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah disebutkan melalui Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. selalu melakukan i'tikaf di malam-malam sepuluh terakhir Ramadan.
Dan Siti Aisyah r.a. telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadan, maka beliau menghidupkan malam-malamnya (dengan qiyamul lail), dan membangunkan istri-istrinya
(untuk melakukan hal yang sama), dan beliau mengencangkan ikat pinggangnya (yakni tidak melakukan senggama dengan istri-istri beliau di malam-malam tersebut). Diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Menurut riwayat Imam Muslim melalui Aisyah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mencurahkan semua kesibukannya untuk ibadah di malam (sepuluh terakhir Ramadan) tidak sebagaimana kesungguhannya di malam-malam lainnya
Dan hal ini semakna dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah, "Mengencangkan ikat pinggangnya."Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan mengencangkan ikat pinggang ialah memisahkan diri dari istri-istrinya
Akan tetapi, dapat juga ditakwilkan dengan pengertian mengikat pinggang sesungguhnya.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari
Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. apabila Ramadan tinggal sepuluh hari lagi, maka beliau mengencangkan ikat pinggangnya dan menjauhi istri-istrinya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Ahmad secara tunggal.Telah diriwayatkan pula dari Malik rahimahullah, bahwa dianjurkan mencari malam kemuliaan pada semua malam sepuluh terakhir Ramadan secara sama rata, tidak ada perbedaan
antara satu malam dengan malam lainnya Penulis mengatakan bahwa ia melihat pendapat ini dalam syarah Ar-Rafi'i rahimahullah.Hal yang dianjurkan dalam semua waktu ialah memperbanyak doa, dan dalam bulan
Ramadan hal yang lebih banyak membacanya ialah bila telah mencapai sepuluh terakhir darinya, kemudian yang lebih banyak lagi ialah di witir-witirnya. Dan hal yang disunatkan ialah hendaknya seseorang memperbanyak doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf suka memberi maaf, maka maafkanlah daku.Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami
Al-Juwairi alias Sa'id ibnu Iyas, dari Abdullah ibnu Buraidah, bahwa Aisyah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku ucapkan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»
Ucapkanlah olehmu, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maafkanlah daku.”Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui jalur Kahmas ibnul Hasan,
dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Aisyah yang telah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku mengetahui malam kemuliaan, lalu apakah yang harus aku ucapkan padanya?" Rasulullah Saw. menjawab:
«قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي»
Ucapkanlah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaaf, maka maafkanlah daku.” Hadis ini menurut lafaz yang ada pada Imam Turmuzi. Kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Hakim mengetengahkannya
di dalam kitab Mustadrak-nya, dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain.Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Suiaiman ibnu Buraidah,
dari Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu jika aku menjumpai malam kemuliaan, apakah yang harus aku ucapkan padanya?" Rasulullah Saw. menjawab:
"قولي: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُو تُحِبُّ الْعَفْوَ، فَاعْفُ عَنِّي"
Ucapkanlah, "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaaf, maka maafkanlah daku.” Diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim dalam tafsir ayat ini. Untuk itu ia mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad Al-Qatwani, telah menceritakan kepada kami Sayyar ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sa'id Ar-Rasi
dari Hilal ibnu Abu Jabalah, dari Abu Abdus Salam, dari ayahnya, dari Ka'b. Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa sesungguhnya Sidratul Muntaha itu berada di perbatasan langit ketujuh dekat dengan surga, udaranya adalah
campuran antara udara dunia dan udara akhirat. Dahan dan ranting-rantingnya berada di bawah Al-Kursi. Padanya terdapat malaikat-malaikat yang bilangannya tiada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt. Mereka selalu
melakukan ibadah kepada Allah Swt. di semua dahannya dan di setiap tempat bulu pohon itu terdapat seorang malaikat, sedangkan kedudukan Malaikat Jibril berada di tengah-tengahnya.Allah memanggil Jibril untuk turun
di setiap malam kemuliaan bersama dengan para malaikat yang menghuni Sidratul Muntaha. Tiada seorang malaikat pun dari mereka melainkan telah dianugerahi rasa lembut dan kasih sayang kepada orang-orang mukmin.
Maka turunlah mereka di bawah pimpinan Jibril a.s. di malam kemuliaan di saat matahari terbenam. Maka tiada suatu tempat pun di bumi di malam kemuliaan melainkan telah terisi oleh malaikat; ada yang sedang sujud,
ada pula yang sedang berdiri mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.Terkecuali jika tempat itu berupa gereja, atau sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi), atau tempat pemujaan api,
atau tempat pemujaan berhala, atau sebagian tempat kalian yang dipakai oleh kalian membuang kotoran, atau rumah yang di dalamnya terdapat orang mabuk, atau rumah yang ada minuman yang memabukkan, atau rumah yang
di dalamnya ada berhala yang terpasang, atau rumah yang di dalamnya ada lonceng yang tergantung atau tempat sampah, atau tempat sapu.Mereka terus-menerus sepanjang malam itu mendoakan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan
Dan Jibril tidak sekali-kali mendoakan seseorang dari kaum mukmin melainkan ia menyalaminya. Dan sebagai pertandanya ialah bila seseorang yang sedang melakukan qiyam bulunya merinding (berdiri) dan hatinya lembut
serta matanya menangis, maka itu akibat salam Jibril kepadanya (jabat tangan Jibril kepadanya).Ka'bul Ahbar menyebutkan bahwa barang siapa yang di malam kemuliaan membaca kalimah "Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah"
sebanyak tiga kali, Allah memberikan ampunan baginya dengan salah satunya, dan menyelamatkannya dari neraka dengan satunya lagi, dan dengan yang terakbir Allah memasukkannya ke dalam surga.Maka kami bertanya
kepada Ka'bul Ahbar, "Hai Abu Ishaq, benarkah ucapanmu itu?" Ka'bul Ahbar menjawab, "Tiada yang mengucapkan kalimah 'Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah' kecuali hanyalah orang yang benar.
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya Lailatul Qadar itu benar-benar terasa berat bagi orang kafir dan orang munafik, sehingga seakan-akan beratnya seperti bukit di punggungnya
"Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa para malaikat itu terus-menerus dalam keadaan demikian hingga fajar terbit. Dan malaikat yang mula-mula naik ke langit adalah Malaikat Jibril; manakala sampai di ufuk yang tinggi di dekat matahari
maka ia membuka lebar-lebar sayapnya. Ia memiliki sepasang sayap yang berwarna hijau, dan dia belum pernah membukanya kecuali hanya di saat itu. Karenanya maka cahaya matahari kelihatan redup.Kemudian Jibril memanggil malaikat demi malaikat,
maka naiklah yang dipanggilnya sehingga berkumpullah nur para malaikat dan nur kedua sayap Jibril. Maka matahari di hari itu terus-menerus kelihatan cahayanya pudar. Dan Jibril beserta para malaikat bermukim di antara
bumi dan langit di hari itu dalam keadaan berdoa dan memohonkan rahmat serta ampunan bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala Allah
Dan Jibril mendoakan orang yang hatinya mengatakan bahwa jika dia hidup sampai Ramadan tahun depan, maka ia akan puasa lagi karena Allah.Bila hari telah petang, mereka memasuki perbatasan langit yang terdekat,
lalu mereka duduk dan membentuk lingkaran-lingkaran dan bergabung dengan mereka semua malaikat yang ada di langit terdekat. Maka para malaikat langit yang terdekat menanyakan kepada mereka tentang perihal laki-laki
dan perempuan dari penduduk dunia, lalu para malaikat Sidratul Muntaha menceritakan keadaan orang-orang yang ditanyakan mereka kepada mereka. Hingga mereka bertanya, "Apakah yang dikerjakan oleh si Fulan
dan bagaimanakah engkau menjumpainya di tahun ini?" Maka para malaikat yang bam datang itu menjawab, "Kami jumpai si Fulan di permulaan malam tahun lalu sedang ibadah, dan kami jumpai dia tahun ini dalam keadaan mengerjakan perbuatan bid'ah
Dan kami telah menjumpai si Fulan di tahun kemarin dalam keadaan berbuat bid'ah, sedangkan di tahun ini kami menjumpainya dalam keadaan beribadah."Maka para malaikat langit yang terdekat tidak lagi mendoakan
ampunan bagi orang yang berbuat bid'ah dan memohonkan ampunan bagi orang yang beribadah. Dan mereka memberitahukan bahwa kami jumpai si Fulan dan si Anu dalam keadaan berzikir kepada Allah, dan kami jumpai si Fulan
sedang rukuk, dan kami jumpai si Fulan sedang sujud, dan kami jumpai si Anu sedang membaca Kitabullah.Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa mereka di siang dan malam hari itu tetap dalam keadaan demikian, hingga naiklah mereka ke langit yang kedua
Dan di setiap langit mereka singgah selama sehari semalam, hingga sampailah mereka ke tempat semula di Sidratul Muntaha.Maka Sidratul Muntaha menyambut mereka dan berkata, "Hai para pendudukku, ceritakanlah
kepadaku tentang manusia dan sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku, karena sesungguhnya aku mempunyai hak atas kalian, dan sesungguhnya aku menyukai orang-orang yang menyukai Allah."Ka'bul Ahbar
menceritakan bahwa mereka menyebutkan kepada Sidratul Muntaha apa yang diinginkannya dengan menyebutkan nama tiap laki-laki dan perempuan yang diceritakannya, juga nama orang tua-orang tua mereka.
Kemudian surga datang kepada Sidratul Muntaha dan mengatakan, "'Ceritakanlah kepadaku apa yang telah diceritakan oleh malaikat-malaikat yang menghunimu," lalu Sidratul Muntaha menceritakan hal itu kepadanya
Ka'bul Ahbar melanjutkan, bahwa setelah itu surga mengatakan, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada si Fulan dan semoga Allah melimpahkan pula rahmat-Nya kepada si Fulanah. Ya Allah, segerakanlah mereka kepadaku
"Jibril lebih dahulu sampai di tempatnya sebelum para malaikat yang menyertainya, lalu Allah mengilhamkan kepadanya untuk berbicara, maka Jibril berkata, "Aku telah menjumpai si Fulan sedang sujud, maka ampunilah dia,"
kemudian Allah memberikan ampunan bagi si Fulan yang bcsangkutan. Suara Jibril terdengar oleh para malaikat pemikul 'Arasy, maka mereka memohon, "Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulan, dan semoga
rahmat Allah terlimpahkan kepada si Fulanah, dan semoga ampunan Allah diberikan kepada si Fulan."Jibril berkata, "Ya Tuhanku, aku menjumpai hamba'-Mu si Fulan yang telah kujumpai di tahun kemarin dalam keadaan
menempuh jalan sunnah dan beribadah, sekarang di tahun ini aku menjumpainya telah melakukan suatu perbuatan bid'ah," lalu Jibril menolak untuk memohonkan ampunan dan rahmat bagi orang itu. Maka Allah Swt. berfirman,
"Hai Jibril, jika dia bertobat dan kembali ke jalan-Ku tiga jam sebelum dia mati, Aku memberikan ampunan baginya."Maka Jibril berkata, "Bagi-Mu segala puji, ya Tuhanku, Engkau lebih penyayang daripada semua makhluk-Mu,
dan Engkau lebih penyayang kepada hamba-hamba-Mu daripada hamba-hamba-Mu terhadap diri mereka sendiri."Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa lalu 'Arasy berguncang berikut semua yang ada di sekitarnya dan juga semua hijab (tirai).
Semua langit dan para penghuninya mengatakan, "Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang."Perawi mengatakan bahwa Ka'bul Ahbar telah mengatakan, "Barang siapa yang melakukan puasa Ramadan,
sedangkan dalam dirinya ia berbicara bahwa apabila ia berbuka (yakni telah selesai dari puasa Ramadannya) ia bertekad untuk tidak akan berbuat durhaka kepada Allah Swt., niscaya orang itu masuk surga tanpa pertanyaan dan tanpa hisab."
Surat Al-Qadr |97:2|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
wa maaa adrooka maa lailatul-qodr
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
And what can make you know what is the Night of Decree?
(Dan tahukah kamu) Hai Muhammad (apakah malam kemuliaan itu) ungkapan ini sebagai pernyataan takjub atas keagungan yang terdapat pada Lailatulkadar.
"Dan sudahkah engkau tahu, apakah dia malam Kemuliaan itu?" (ayat 2). Ayat yang kedua ini tersusun sebagai suatu pertanyaan Allah kepada Nabi-Nya untuk memperkokoh perhatian kepada nilai tertinggi malam itu.
Dan setelah pertanyaan timbul dalam hati Nabi SAW apakah makna yang terkandung dan rahasia yang tersembunyi dalam malam itu, maka Tuhan pun menukas wahyu-Nya
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qadr | 97 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qadr |97:3|
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
lailatul-qodri khoirum min alfi syahr
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
The Night of Decree is better than a thousand months.
(Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan) yang tidak ada malam lailatulkadarnya; beramal saleh pada malam itu pahalanya jauh lebih besar dan lebih baik daripada beramal saleh yang dilakukan selama seribu bulan yang tidak mengandung malam lailatulkadar.
"Malam Kemuliaan itu lebih utama daripada 1000 bulan." (ayat 3). Dikatakan dalam ayat ketiga ini bahwa keutamaan malam Kemuliaan atau Malam Lailatul-Qadr itu sama dengan 1000 bulan,
lebih daripada 80 tahun, selanjut usia seorang manusia. Lalu diterangkan pula sebabnya dalam ayat selanjutnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qadr | 97 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qadr |97:4|
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
tanazzalul-malaaa`ikatu war-ruuḥu fiihaa bi`iżni robbihim, ming kulli amr
Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.
The angels and the Spirit descend therein by permission of their Lord for every matter.
(Turunlah malaikat-malaikat) bentuk asal dari lafal Tanazzalu adalah Tatanazzalu, kemudian salah satu huruf Ta-nya dibuang,
sehingga jadilah Tanazzalu (dan Ar-Ruh) yakni malaikat Jibril (di malam itu) artinya pada malam kemuliaan/lailatulkadar itu (dengan izin Rabbnya) dengan perintah dari-Nya (untuk mengatur segala urusan)
atau untuk menjalankan ketetapan Allah buat tahun itu hingga tahun berikutnya, hal ini terjadi pada malam kemuliaan itu. Huruf Min di sini bermakna Sababiyah atau sama artinya dengan huruf Ba;
yakni mereka turun dengan seizin Rabbnya dengan membawa segala urusan yang telah menjadi ketetapan-Nya untuk tahun itu hingga tahun berikutnya.
"Turun Malaikat dan Roh pada malam itu, dengan izin Tuhan mereka, membawa pokok-pokok dari tiap-tiap perintah." (ayat 4).
Itulah sebab yang nyata dari kemuliaan malam itu. Laksana satu perutusan, atau satu delegasi,
malaikat-malaikat turun ke muka bumi ini bersama-sama dengan malaikat yang di sini disebut ROH, yaitu kepala dari sekalian malaikat.
Itulah Malaikat Jibril yang kadang-kadang disebut juga Ruhul-Amin dan kadang-kadang disebut juga Rahul-Quds
,
yang menghantarkan wahyu kepada Nabi yang telah terpilih buat menerimanya, (Mushthafa), Muhammad SAW dia dalam gua Hira'.
Nilai malam itu menjadi tinggi sekali, lebih utama dari 1000 bulan, setinggi-tinggi usia biasa yang dapat dicapai oleh manusia.
Pada kali pertama dan utama itu Jibril memperlihatkan dirinya kepada Muhammad menurut keadaannya yang asli,
sehingga Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa hanya dua kali dia dapat melihat Jibril itu dalam keadaannya yang sebenarnya
,
yaitu pada malam Lailatul-Qadr, atau malam Nuzulul-Qur'an itu di Gua Hira', dan kedua di Sidratul Muntaha ketika beliau mi'raj.
Pada kali yang lain beliau melihat Jibril hanyalah dalam penjelmaan sebagai manusia, sebagai pernah dia menyerupakan dirinya dengan sahabat Nabi yang bernama Dahiyyah Al-Kalbi.
Di dalam Surat 44, Ad-Dukhkhan ayat 3, malam itu disebut "lailatinmubaarakatin", malam yang diberkati Tuhan.
Amat mulialah malam itu, sebab malaikat-malaikat dan Roh dapat menyatakan dirinya dan Muhammad SAW
mulai berhubungan dengan Alam Malakut, dan akan terus-meneruslah hal itu selama 23 tahun; 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah
, yaitu setelah lengkap wahyu itu diturunkan Tuhan. Di ujung ayat disebutkan bahwa kedatangan malaikat-malaikat dan Roh itu
dengan izin Tuhan ialah karena akan menyampaikan pokok-pokok dari tiap-tiap perintah.
Setiap perintah akan disampaikan kepada Rasul SAW, setiap itu pulalah malaikat dan Roh itu akan datang, sehingga lancarlah perhubungan di antara alam syahadah dengan Alam Ghaib
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qadr | 97 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qadr |97:5|
سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
salaamun hiya ḥattaa mathla'il-fajr
Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.
Peace it is until the emergence of dawn.
(Malam itu penuh dengan kesejahteraan) lafal ayat ini sebagai Khabar Muqaddam atau Khabar yang didahulukan, sedangkan Mubtadanya ialah (sampai terbit fajar) dapat dibaca Mathla'al Fajri dan Mathla'il Fajri, artinya hingga waktu fajar.
Malam itu dinamakan sebagai malam yang penuh dengan kesejahteraan, karena para malaikat banyak mengucapkan salam, yaitu setiap kali melewati seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan mereka selalu mengucapkan salam kepadanya.
"Sejahteralah dia sehingga terbit fajar." (ayat 5). Dalam ayat ini bertambah jelas bahwa malam itu adalah malam SALAAM,
malam sejahtera, malam damai dalam jiwa Rasul Allah. Sebab pada malam itulah beliau diberi pengertian mengapa sejak beberapa waktu
sebelum itu dia mengalami beberapa pengalaman yang ganjil. Dia merasakan mimpi yang benar,
dia mendengar suara di dekat telinganya sebagai gemuruh bunyi lonceng. Mulai pada malam itu terobat hati manusia utama itu,
Muhammad SAW, yang sudah sekian lama merasa diri terpencil dalam kaumnya karena perasaannya yang murni sudah sejak kecilnya
tidak menyetujui menyembah berhala dan tidak pernah beliau memuja patung-patung dari batu dan kayu itu sejak kecilnya.Dan sudah sejak mudanya hati kecilnya tidak menyetujui adat-adat buruk bangsanya.
Pada malam itulah terjawab segala pertanyaan dalam hati, terbuka segala rahasia yang musykil selama ini. Itulah malam damai,
malam salam, sejak terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar hari esoknya. Di waktu itu,
sebab pada malam itulah "dipisahkan segala urusan yang penuh hikmah." (Surat 44 Ad-Dukhkhan ayat 4). "Yaitu urusan yang benar dari sisi Kami; Sesungguhnya Kami adalah mengutus Rasul.
"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, lagi Mengetahui."
***
Dalam keterangan 3 ayat Lailatul-Qadr, ditambah 3 ayat pembuka dari Surat Ad-Dukhkhan teranglah bahwa Malam Lailatul-Qadr itu adalah malam mula turunya Al-Qur'an.
Bilakah masa Lailatul-Qadr itu? Al-Qur'an telah menjelaskannya lagi. Di dalam Surat 2, Al-Baqarah ayat 185 jelas
bahwa "Bulan Ramadhan adalah bulan yang padanyalah diturunkan Al-Qur'an, menjadi petunjuk bagi manusia,
dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan pemisah, di antara yang hak dengan yang batil. Tetapi menjadi perbincangan panjang lebar pula di antara ahli-ahli Hadis dan riwayat,
bilakah, malam apakah yang tepat Lailatul-Qadr itu? Sehingga di dalam kitab Al-Fathul-Bari syarah Bukhari dari Ibnu Hajar Al-Usqallani yang terkenal itu,
disalinkan beliau tidak kurang dari 45 qaul tentang malam terjadinya Lailatul-Qadr, masing-masing menurut pengalaman dengan catatan Ulama-ulama yang merawikannya,
sejak dari malam 1 Ramadhan sampai 29 atau malam 30 Ramadhan ada saja tersebut Ulama yang merawikannya di dalam kita tersebut. Dan semuanya pun dinukilkan pula oleh Syaukani di dalam "Nailul-Authar"nya.
Ada satu riwayat dalam Hadis Bukhari dirawikan dari Abu Said Al-Khudri bahwa tentang malam bulan Ramadhan itu diramaikan dan diisikan penuh dengan ibadat.
Tetapi terdapat juga riwayat yang kuat bahwa Lailatul-Qadr itu ialah pada malam sepuluh akhir dari Ramadhan,
artinya sejak malam 21. Karena sejak malam 21 itu Nabi SAW lebih memperkuat ibadatnya daripada malam-malam yang sebelumnya, sampai beliau bangunkan kaum keluarganya yang tertidur.
Abdullah bin Masud, dan Asy-Sya'bi dan Al-Hasan dan Qatadah berpendapat bahwa malam itu ialah malam 24 Ramadhan.
Alasan mereka ialah karena ada Hadis dari Wastilah bahwa Al-Qur'an diturunkan pada 24 Ramadhan.
Suatu riwayat lagi dari As-Sayuthi, yang kemudian sekali dikuatkan oleh Syaikh Khudhari, Guru Besar pada Fuad I University (1922),
jatuhnya ialah pada 17 Ramadhan. Orang yang berpegang pada 17 Ramadhan ini mengambil istimbath daripada ayat 41 dari Surat 8, Al-Anfal karena di sana tersebut:
"… dan apa yang Kami turunkan kepada Hamba Kami pada Pemisahan, hari bertemu dua golongan."
"Hari bertemu dua golongan" ialah dalam peperangan Badar, pada 17 Ramadhan, sedang "Hari Pemisahan" ialah hari turunnya Al-Qur'an yang pertama,
yang disebut juga malam yang diberi berkat sebagai tersebut di dalam Surat 44 Ad-Dukhkhan di atas tadi.
Maka oleh karena berhadapan dua golongan di Perang Badar itu, golongan Islam dan golongan musyrikin terjadi 17 Ramadhan,
mereka menguatkan bahwa Lailatul-Qadr, mulai turunnya Al-qur'an di gua Hira', ialah 17 Ramadhan pula, meskipun jarak waktunya adalah 15 tahun.
Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ini pun adalah hasil ijtihad, bukan suatu nash qath'i yang pasti dipegang teguh,
sebab Nabi SAW menyuruh memperhebat ibadat setelah 10 yang akhir, bukan pada malam 17 Ramadhan.
Menurut keterangan Al-Hafiz Ibnu Hajar juga, di dalam Fathul-Bari, setengah Ulama berpendapat bahwa Malam Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanyalah satu kali saja,
yaitu ketika Al-Qur'an mulai pertama turun itu. Adapun Lailatul-Qadr yang kita peringati dan memperbanyak ibadat pada tiap malam hari
Bulan Ramadhan itu, ialah untuk memperteguh ingatan kita kepada turunnya Al-Qur'an itu. Sudah terang malam itu pasti terjadi dalam bulan Ramadhan. Kita hidupkan malam itu,
mengambil berkat dan sempena dan memperbanyak syukur kepada Allah karena bertetapan dengan malam itulah Al-Qur'an mulai diturunkan Allah.
Berdiri mengerjakan sembahyang yang disebut qiyamul-lail atau tarawih, di seluruh malam Ramadhan
ataupun menambah ramainya di malam 10 yang akhir, pastilah salah satu bertetapan dengan malam turunnya Al-Qur'an.
Bukanlah ini saja hari-hari besar yang disuruh peringati di dalam Agama Islam. Kita pun disuruh mempuasakan 10 Muharram,
atau ‘Asyura karena mengenangkan beberapa kejadian pada Nabi-nabi yang terdahulu pada tanggal tersebut.
Nabi SAW pun menegakkan beberapa Sunnah dalam manasik haji guna mengenangkan kejadian zaman lampau;
seumpama Sa'i antara bukit Shafa dan Marwah mengenangkan betapa sulitnya Hajar mencari air untuk puteranya Ismail di lembah yang tidak bertumbuh-tumbuhan itu
.
Kita pun disuruh melontar Jumratul ‘Aqabah bersama kedua Jumrah lagi, memperingati perdayaan syaitan kepada Nabi Ibrahim karena akan menyembelih puteranya atas perintah Tuhan.
Namun Ibrahim tetap teguh hatinya dan tidak kena oleh perdayaan itu. Maka jika kita tilik memperingati Lailatul-Qadr, atau Malam Kemuliaan,
atau Malam Penentuan, dapatlah semuanya kita pertautkan jadi satu, yaitu membesarkan syi'ar Allah untuk menambah Takwa hati.
Ada juga yang mengatakan bahwa Malam Lailatul-Qadr itu dapat disaksikan dengan kejadian yang ganjil-ganjil.
Misalnya air berhenti mengalir, pohon kayu runduk ke bumi dan sebagainya. Semuanya itu adalah hal-hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut ilmu agama yang sebenarnya.
Heran dan kagumlah saya dengan orang tua saya, Syaikh Yusuf Amrullah yang wafat pada 11 Ramadhan 1392 (19 Oktober 1972),
dalam usia 86 tahun, seketika saya menziarahi beliau pada 10 April 1972. Beliau menyatakan pendapatnya yang sesuai dengan pendapat Ulama
yang disalinkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar tadi, bahwa Lailatul-Qadr yang sebenarnya hanya sekali,
yaitu ketika mula-mula Al-Qur'an diturunkan. Yang kita perkuat berbuat ibadat di dalam bulan puasa menunggu Lailatul-Qadr
itu ialah memperingati dan memuliakan malam Al-Qur'an pertama turun itu. Kita kenangkan tiap tahun,
agar kita bertambah teguh memegang segala yang dituntunkan Tuhan di dalam Al-Qur'an. Saya menjadi kagum, karena sudah lama mata beliau tidak dapat melihat kitab-kitab lagi.
Ada juga terdapat beberapa perkataan mengatakan bahwa Lailatin-Mubaarakatin, malam yang diberi berkat itu bukanlah Lailatul-Qadr,
melainkan malam Nisfu Sya'ban. Tetapi dalam penyelidikan terhadap sumber agama yang sah, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadis yang shahih,
tidaklah bertemu sumbernya. Riwayat tentang Nisfu Sya'ban itu tidaklah dapat dipegang, sanad-sanad ambilannya kacau-balau,
riwayatnya banyak yang dha'if, bahkan ada yang dusta. Oleh sebab itu tidaklah dapat dijadikan dasar untuk dijadikan akidah dan pegangan..
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qadr | 97 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Bayyinah |98:1|
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
lam yakunillażiina kafaruu min ahlil-kitaabi wal-musyrikiina munfakkiina ḥattaa ta`tiyahumul-bayyinah
Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata,
Those who disbelieved among the People of the Scripture and the polytheists were not to be parted [from misbelief] until there came to them clear evidence -
(Tiadalah orang-orang yang kafir dari) huruf Min di sini mengandung makna penjelasan (kalangan ahlulkitab dan orang-orang musyrik) orang-orang musyrik artinya orang-orang yang menyembah berhala;
lafal Musyrikiina di'athafkan kepada lafal Ahlilkitaabi (mau meninggalkan) agamanya; lafal Munfakkiina sebagai Khabar dari lafal Yakun;
artinya mereka akan tetap memegang agama yang mereka peluk (sebelum datang kepada mereka) artinya sampai datang kepada mereka (bukti yang nyata) berupa hujah yang jelas, yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw.
PENDAHULUAN
Tersebut dalam sebuah hadits yg dirawinkan Oleh Imam Ahmad Dari Anas bin Malik ,
bahwa Rasululloh saw. Pernah berkata keapada sahabatnya , Ubay bin ka'ab " Sesungguhnya Allah menyuruhku membacakan kepadamu surah Lam Yakunil Ladzirirza Kaffaru".
Lalu Ubay bertanya "Apakah Allah menyebut namaku?" Rasullulloh Menjawab "Ya"
mendengar itu menangislah Ubay.Hadits inipun dirawikan oleh Bukhari dan Muslim.
Menurut keterangan al-Qurtubhi didalam tafsirnya ,makanya sampai Allah menyuruhbacakan surah ini kepada Ubay bin Ka'ab karena ubay ini sangat kuatingatanya
,sehingga apa saja yg didengarnya dari Rasullulloh saw ,lekas dapat ditangkapnya dan diajarkannya kepada orang lain.
Kekuatan Ingatan dan kesungguhan menghafal dan mengajarkan ayat-ayat kepada orang lain itulah yang mendapat penghargaan dari langit.
Ada juga riwayatnya dari Yahya bin Salam mengatakan surah ini diturunkan di mekkah.Tetapi Ibnu Abbas dan Jumhur ahli tafsir berpendapat bahwa surah itu diturunkan di madinah.
Dan lagi apabila kita perhatikan isinya yang banyak menyebut keadaan ahlul kitab ,Beratlah pendapat kita bahwa surah ini di turunkan di Madinah .
Selain bernama Al Qayyimah(Yang lurus) Dan al-Munfakiin(meninggalkan). "Tidaklah orang-orang yang kafir dari ahli-kitab dan musyrikin itu." (pangkal ayat 1).
Kafir di sini ialah orang-orang yang menolak, yang tidak mau percaya, tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Rasul SAW. Mereka itu sendiri daripada ahlul-kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani,
dan kaum musyrikin yang masih menyembah berhala. Artinya tidaklah: "Akan meninggalkan (pendirian mereka), sampai datang bukti kepada mereka." (ujung ayat 1).
Arti ayat ini ialah bahwasanya ahlul-kitab (Yahudi dan Nasrani), demikian juga kaum musyrikin,
baik berada di Makkah atau di luar Makkah, akan tetaplah memegang teguh pendirian mereka,
kepercayaan yang mereka terima dari nenek-moyang turun-temurun, sampai satu waktu datang kepada mereka keterangan yang penuh dengan bukti-bukti kebenaran.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 1 |
Tafsir ayat 1-5
Adapun yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, sedangkan orang-orang musyrik adalah para penyembah berhala dan api.
baik dari kalangan bangsa Arab maupun bangsa ' Ajam (non-Arab). Mujahid mengatakan bahwa mereka tidak mau berhenti alias tidak mau meninggalkan agama mereka sebelum jelas bagi mereka perkara yang hak.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dalam firman-Nya: sebelum datang kepadamereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1) Yaitu Al-Qur'an ini. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya:
{لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ}
Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka,) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)Kemudian bukti yang nyata ini ditafsirkan oleh firman selanjutnya:
{رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً}
(yaitu) seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan. (Al-Bayyinah: 2) Yakni Nabi Muhammad dan kitab yang dibacanya, yaitu
Al-Qur'an yang mulia,yang telah tercatat di kalangan Mala'ul A'la di dalam lembaran-lembaran yang disucikan. Seperti yang dikatakan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ بِأَيْدِي سَفَرَةٍ كِرامٍ بَرَرَةٍ
di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti. ('Abasa: 13-16) Adapun firman Allah Swt.:
{فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ}
di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. (Al-Bayyinah: 3) Ibnu Jarir mengatakan bahwa di dalam lembaran-lembaran yang disucikan itu terdapat kitab-kitab dari Allah yang berharga. adil, lagi lurus;
tiada suatu kesalahan pun di dalamnya karena ia dari sisi Allah Swt . Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) seorang rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan.
(Al-Bayyinah: 2) Al-Qur'an dalam ayat ini disebutkan dengan sebutan yang terbaik dan dipuji dengan pujian yang terbaik. Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang Iurus.
(Al-Bayyinah: 3) Yakni yang Iurus lagi pertengahan. Firman Allah Swt.:
{وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ}
Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 4) Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَأُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali Imran: 105)
Yang dimaksud oleh ayat ialah menceritakan keadaan Ahli Kitab dari kalangan umat terdahulu. Sesudah Allah menegakkan hujah dan bukti terhadap mereka, maka mereka bercerai-berai dan berselisih mengenai takwil yang dimaksud oleh Allah
di dalam kitab-kitab mereka. Dan hal ini berakibat mereka bercerai-berai dan menjadi golongan yang banyak, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur, yaitu:
"أَنَّ الْيَهُودَ اخْتَلَفُوا عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَأَنَّ النَّصَارَى اخْتَلَفُوا عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ الْأُمَّةُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً". قَالُوا: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"
Sesungguhnya orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, dan orang-orang Nasrani berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan,
semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka yang satu golongan yang selamat itu, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. bersabda: Yaitu golongan yang mengikuti apa yang dikerjakan olehku
dan para sahabatku. Firman Allah Swt.:
{وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ}
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (Al-Bayyinah: 5) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya: 25) Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
حُنَفَاءَ
Dengan lurus. (Al-Bayyinah: 5) Yakni menyimpang dari kemusyrikan dan menuju kepada tauhid, sepetti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut.” (An-Nahl: 36) Dalam pembahasan yang lalu di tafsir surat Al-An'am telah diterangkan makna hanif ini dengan keterangan yang lengkap, hingga tidak perlu diulangi lagi dalam bab ini.
{وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ}
dan supaya mereka mendirikan salat. (Al-Bayyinah: 5) Salat adalah ibadah badaniyah yang paling mulia.
{وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ}
dan menunaikan zakat. (Al-Bayyinah: 5) Yaitu memberikan santunan dan kebaikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan pertolongan.
{وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ}
dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah: 5) Yakni agama yang tegak lagi adil, atau maknanya umat yang lurus lagi pertengahan. Banyak dari kalangan para imam seperti
Az-Zuhri dan Asy-Syafii yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa amal perbuatan itu termasuk ke dalam iman. Oleh karenanya disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ}
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah: 5)”
Surat Al-Bayyinah |98:2|
رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً
rosuulum minallohi yatluu shuḥufam muthohharoh
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang suci (Al-Qur´an),
A Messenger from Allah, reciting purified scriptures
(Yaitu seorang rasul dari Allah) lafal ayat ini menjadi Badal dari lafal Al-Bayyinah, yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. (yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan) dari segala bentuk kebatilan.
"(Yaitu) Rasul dari Allah." (pangkal ayat 2). Yakni Nabi Muhammad SAW yang telah diutus Tuhan menyampaikan seruan kebenaran: "Yang membacakan lembaran-lembaran yang suci." (ujung ayat 2).
Lembaran-lembaran yang suci itu ialah catatan-catatan Al-Qur'an yang telah mulai ada pada waktu itu.
Meskipun beliau tidak pandai menulis dan membaca, namun oleh karena ayat-ayat Tuhan itu telah hapal oleh beliau sejak ia diturunkan,
mudahlah bagi beliau membacakan di hadapan mereka. Dijelaskan di dalam ayat ini bahwa dia tertulis dalam lembaran-lembaran yang suci: Suci dari campuran tangan manusia,
tidak diselipkan di dalamnya kata-kata orang lain walaupun kata Muhammad sendiri. Bersih suci daripada keraguan,
suci daripada sikap munafik dan suci daripada kesesatan. Kata Qatadah: "Suci dari Batil". Kata yang lain: "Suci daripada dusta, syubuhat dan kufur."
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Bayyinah |98:3|
فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
fiihaa kutubung qoyyimah
di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus (benar).
Within which are correct writings.
(Di dalamnya terdapat kitab-kitab) maksudnya hukum-hukum yang tertulis (yang lurus) artinya hukum-hukum yang lurus. Dia akan membacakan apa yang dikandungnya,
yaitu Alquran; di antara mereka ada orang-orang yang beriman kepadanya dan ada pula orang-orang yang kafir kepadanya.
"Di dalamnya ada kitab-kitab yang lurus." (ayat 3). Arti kitab-kitab di sini ialah peraturan atau perintah.Di dalam Al-Qur'an memang bertemu beberapa perintah yang disebut kitab: "kutiba 'alaikum", diperintahkan ke atas diri kamu.
Di dalam lembaran yang suci itu termaktublah peraturan-peraturan perintah dan larangan yang dipikulkan ke atas pundak manusia,
untuk keselamatan mereka dunia dan akhirat. Peraturan itu adalah lurus, tegas dan kokoh.
Kitab-kitab yang lurus, Al-Kutubul-qayyimah itu ialah Al-Qur'an.Makna urutan ketiga ayat ini ialah bahwa ahlul-kitab,
Yahudi dan Nasrani, ditambah dengan kaum musyrikin memegang teguh pendirian mereka, tidak mau meninggalkan pendirian itu,
tidak mau berkisar. Tetapi setelah datang keterangan dan bukti-bukti yang dibawa oleh Nabi SAW mulailah kepercayaan yang dipegang teguh itu bergoncang.
Segala kepercayaan yang selama ini dipegang sebagai pusaka, laksana "barang larangan"
yang tidak boleh dibongkar dan diutik-utik, semua sekarang telah mendapat bandingan. Wahyu yang dibawa oleh Muhammad
mengetuk hati sanubari dan mengajak akal supaya berfikir. Itu semuanya membawa kegoncangan.
Di antara mereka tentu saja ada yang ragu akan sesuatu yang dipegang teguh selama ini.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Bayyinah |98:4|
وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُ
wa maa tafarroqollażiina uutul-kitaaba illaa mim ba'di maa jaaa`at-humul-bayyinah
Dan tidaklah terpecah-belah orang-orang Ahli Kitab melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.
Nor did those who were given the Scripture become divided until after there had come to them clear evidence.
(Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Alkitab) kepada mereka sehubungan dengan masalah iman kepada Nabi Muhammad saw.
(melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata) yaitu setelah datang kepada mereka Nabi Muhammad saw., atau Alquran yang dibawa olehnya sebagai mukjizat baginya.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. mereka adalah orang-orang yang sepakat untuk beriman kepadanya/Nabi Muhammad tetapi setelah Nabi Muhammad saw.
datang kepada mereka, tiba-tiba mereka mengingkarinya, terutama orang-orang yang dengki dari kalangan mereka.
"Dan tidaklah berpecah-belah orang-orang yang diberi kitab itu, melainkan sesudah datang kepada mereka pembuktian itu." (ayat 4).
Seyogianya bila keterangan dan pembuktian telah datang tunduklah mereka kepada kebenaran. Tetapi setelah pembuktian dan penerangan itu datang,
bukanlah mereka segera tunduk, melainkan mereka menjadi berpecah-belah,
bermusuh-musuhan, yang satu menyalahkan yang lain. Dan tidak satu jua pun yang sudi menerima kebenaran. Terutama terhadap diri Nabi Muhammad SAW.
Di dalam kitab-kitab suci yang telah terdahulu telah ada isyarat akan kedatangannya. Musa telah menjanjikan,
Isa pun telah menyebutkan dan mereka sendiri pun percaya akan ada lagi Nabi Akhir Zaman yang akan menggenapkan seruan Rasul yang telah terdahulu.
Tetapi setelah Rasul itu datang dengan nyata dan tak dapat dibantah lagi kebenarannya, mereka pun berpecah.
Pada ayat yang pertama disebut ahlul-kitab dan musyrikin. Pada ayat 4 ini ditonjolkan ahlul-kitab saja.
Dapatlah kita mengambil perbandingan, sedangkan ahli-kitab yang telah pernah kedatangan Rasul lagi membantah dan berpecah-belah menerima Rasul, apatah lagi kaum musyrikin.
Apakah sebab timbul perpecahan itu? Ditilik dari ilmu kemasyarakatan dapat diambil kesimpulan bahwa mereka berpecah karena soal ini telah dipersangkutkan dengan kepentingan pribadi dan kedudukan "Bayyinah"
atau pembuktian yang dibawakan Nabi Muhammad SAW di dalam Al-Qur'an itu tidaklah selisih dengan isi kitab mereka,
dan mereka pun telah diberitahu dalam kitab-kitab itu bahwa Nabi itu akan datang.
Tetapi setelah beliau betul-betul datang, mereka tidak mau lagi, mereka berpecah. Ada yang menerima dalam hati,
tetapi takut kepada masyarakatnya sendiri akan dibenci oleh mereka. Dan ada juga yang didorong menolaknya oleh rasa benci dan dengki.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Bayyinah |98:5|
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
wa maaa umiruuu illaa liya'budulloha mukhlishiina lahud-diina ḥunafaaa`a wa yuqiimush-sholaata wa yu`tuz-zakaata wa żaalika diinul-qoyyimah
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
And they were not commanded except to worship Allah, [being] sincere to Him in religion, inclining to truth, and to establish prayer and to give zakah. And that is the correct religion.
(Padahal mereka tidak disuruh) di dalam kitab-kitab mereka yaitu Taurat dan Injil (kecuali menyembah Allah) kecuali supaya menyembah Allah, pada asalnya adalah An Ya'budullaaha,
lalu huruf An dibuang dan ditambahkan huruf Lam sehingga jadilah Liya'budullaaha (dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama)
artinya membersihkannya dari kemusyrikan (dengan lurus) maksudnya berpegang teguh pada agama Nabi Ibrahim dan agama Nabi Muhammad bila telah datang nanti.
Maka mengapa sewaktu ia datang mereka menjadi jadi ingkar kepadanya (dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama) atau tuntunan (yang mustaqim) yang lurus.
"Padahal tidaklah mereka itu diperintah, melainkan supaya mereka menyembah kepada Allah." (pangkal ayat 5). Kepada Allah sahaja,
tidak dipersekutukan yang lain dengan Allah: "Dengan mengikhlaskan agama karena-Nya. "Segala amal dan ibadat,
pendeknya segala apa jua pun perbuatan yang bersangkutan dengan agama, yang dikerjakan dengan kesadaran,
hendaklah ikhlas karena Allah belaka, bersih daripada pengaruh yang lain: "Dengan menjauhkan diri dari kesesatan.
" Itulah yang dinamai hanif, jama'nya hunafaa-a. Yaitu condong kepada kebenaran, laksana jarum kompas (pedoman),
ke mana pun dia diputarkan, namun jarumnya selalu condong ke Utara. Demikianlah hendaknya hidup manusia,
condong kepada yang benar, tidak dapat dipalingkan kepada yang salah: "Dan supaya mendirikan sembahyang," yaitu dengan gerak-gerik tubuh tertentu,
dengan berdiri dan ruku' dan sujud mengingat Allah, membuktikan ketundukan kepada Allah: "Dan mengeluarkan zakat,
" yaitu mengeluarkan sebahagian dari hartabenda buat membantu hidup fakir miskin, atau untuk menegakkan jalan Allah di dalam masyarakat yang luas,
sehingga dengan sembahyang terbuktilah hubungan kokoh dengan Allah dan dengan zakat terbuktilah hubungan yang kokoh dengan sesama manusia.
"Dan yang demikian itulah agama yang lurus." (ujung ayat 5).Tidaklah mereka itu dijatuhi perintah melainkan dengan segala yang telah diuraikan itu: menyembah Allah,
ikhlas beribadat, condong kepada berbuat baik, sembahyang dan berzakat. Itulah dia inti agama.
Itulah yang dibawa oleh Nabi-nabi sejak syariat diturunkan di zaman Nabi Nuh, sampai kepada Nabi yang sekarang ini,
Muhammad SAW. Maka kalau hendak dihimpunkan sekalian perintah agama yang dibawa Nabi-nabi,
inilah dia himpunan perintah itu. Kontak dengan Allah, mengakui Keesaan Allah, beribadat kepada-Nya sahaja,
tidak kepada yang lain, sembahyang dan berzakat. Maka kalau mereka itu tidak menurutkan kehendak hawa nafsu,
patutlah mereka menerima menyambutnya. Karena isi ajaran tidaklah merobah isi kitab yang mereka pegang, melainkan melengkapinya.
Syaikh Muhammad Abduh di dalam tafsir Juzu' ‘Ammanya memberi peringatan, bahwa meskipun ayat ini turun mengkisahkan sikap ahlul-kitab,
namun penyakit semacam ini telah banyak bertemu dalam kalangan kaum Muslimin. Meskipun Firman Ilahi dan Sabda Rasulullah SAW telah terang benderang dan jelas isinya,
masih pula terdapat perpecahan di kalangan kaum Muslimin, ta'ashshub mempertahankan golongan masing-masing,
sehingga di antara Muslimin sesama Muslimin pun terjadi perpecahan. Beliau berkata:
"Bagaimana pendapatmu tentang keadaan kita (kaum Muslimin)? Bukankah hal ini telah diingatkan oleh Kitab suci kita sendiri,
yang telah membuktikan buruknya amal-amal kita, sehingga kita pecah-berpecah dalam hal agama,
sampai bergolong-golong, sampai amalan kita penuh dengan perbuatan baru yang diada-adakan dan perbuatan bid'ah?"
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Bayyinah |98:6|
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
innallażiina kafaruu min ahlil-kitaabi wal-musyrikiina fii naari jahannama khoolidiina fiihaa, ulaaa`ika hum syarrul-bariyyah
Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.
Indeed, they who disbelieved among the People of the Scripture and the polytheists will be in the fire of Hell, abiding eternally therein. Those are the worst of creatures.
(Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik -dimasukkan- ke dalam neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya) lafal Khaalidiina menjadi Haal atau kata keterangan keadaan dari lafal yang tidak disebutkan;
'lengkapnya mereka telah dipastikan oleh Allah swt. untuk menjadi penghuni tetap di dalam neraka Jahanam untuk selama-lamanya. (Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.)
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir." (pangkal ayat 6). Yaitu orang-orang yang sengaja menolak,
membohongkan dan memalsukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu,
padahal kalau mereka pakai akal yang sihat, tidak ada satu jua pun yang dapat dibantah,
sehingga mereka menolak itu hanya semata-mata karena dipengaruhi oleh hawanafsu belaka: "Dari ahlil-kitab dan musyrikin itu.
" Yaitu orang Yahudi dan Nasrani dan musyrikin penyembah berhala: "Adalah di neraka jahannam,
yang akan kekal mereka padanya." Di sanalah mereka akan mendapat azab dan siksanya tidak berkeputusan: "Mereka itulah yang sejahat-jahat makhluk." (ujung ayat 6).
Mengapa dikatakan mereka sejahat-jahat makhluk? Ialah karena sebagai yang ditafsirkan oleh Syaikh Muhammad Abduh
:
"Karena mereka memungkiri kebenaran, sesudah mereka mengetahuinya dan telah cukup dalil dan tanda atas kebenarannya.
Dimungkirinya kebenaran yang telah diakui oleh jiwa mereka sendiri, sehingga rusaklah rohnya dan sengaja merusak pula kepada yang lain."
Keterangan ayat yang setegas ini dapatlah kita lihat pada usaha beratus-ratus kaum Orientalis dan penyebar-penyebar Agama Kristen,
yang mereka berkata bahwa mereka menyelidiki Agama Islam secara mendalam, mengadakan studi berpuluh tahun,
diadakan akademi atau Fakultas khusus untuk mempelajari segala cabang Ilmu Pengetahuan Islam lalu hasil penyelidikan mereka disebarkan kepada orang-orang Islam sendiri,
khusus yang jatuh ke bawah pengaruh jajahan mereka. Maka mereka tafsirkanlah ajaran Islam atau sejarah Nabi Muhammad SAW
dengan dikendalikan oleh rasa benci mereka kepada Islam. Sampai ada yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah seorang kepala penyamun.
Sampai ada yang mengatakan bahwa Muhammad itu adalah seorang yang ditimpa penyakit sawan.
Sampai ada yang mengatakan bahwa Muhammad itu menyebarkan Islam di muka bumi ini dengan pedang.
Sampai ada yang mengatakan bahwa Agama Islam itu adalah agama yang hanya mementingkan syahwat. Sampai ada yang mengatakan bahwa Islam itu tidak mempunyai kebudayaan,
tidak mempunyai filsafat. Islam hanya menyalin dari filsafat Yunani. Sampai ada yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya karangan Muhammad saja, bukan wahyu
.
Tetapi ada pula yang lain yang mengatakan bahwa Muhammad itu seorang yang bodoh.
Mereka tidak ingat lagi bahwa seorang bodoh tidaklah mungkin dapat mengarang wahyu.
Bahkan ada yang mengatakan Muhammad itu mengharamkan orang makan daging babi,
karena dia sendiri suka makan babi. Karena Muhammad takut daging babinya dicuri khadamnya, lalu diharamkannya.
Macam-macamlah yang mereka perbuat. Mulanya secara kasar, kian lama kian memasukkan jarum secara halus.
Beratus tahun lamanya kendali ilmu "Ketimuran" (Orientalism) itu terpegang teguh di tangan mereka.
Dan pada Universitas-universitas yang dalam pengaruh mereka, ajaran Orientalis dan Penyebar Kristen itulah yang di "kuliahkan" kepada murid-murid yang beragama Islam,
supaya setelah mereka keluar dari sekolah itu ilmu mereka terhadap Agama mereka sendiri ialah ilmu yang diakui Orientalis itu sendiri,
bukan ilmu yang mereka ambil dari sumbernya yang asli.Lebih-lebih lagi banyak naskhah kitab-kitab Islam yang mahal,
sebagai sumber pengetahuan yang tidak diketahui nilainya oleh tukang jual barang loak (pasar miskin)
dapat dibeli oleh mereka dan dimasukkan ke dalam perpustakaan mereka yang bersar-besar di Leipzig, Bonn, Sarbon, Leiden, Amerika dan lain-lain.
Hanya sekali-sekali muncul pencari Ilmu Pengetahuan yang jujur, yang dapat mengeluarkan hasil penyelidikannya dengan adil.
Adapun yang terbanyak adalah Orientalis alat penjajahan, baik penjajahan politik sebelum Negara-negar Islam merdeka,
atau penjajahan peradaban setelah negeri-negeri Islam mencapai kemerdekaannya. Dan mereka itu kerjasama,
bantu membantu dengan penyebar Agama Kristen. Keduanya berusaha keras membelokkan cara berfikir orang Islam dari agama Tauhidnya dan tunduk kepada cara mereka berfikir,
yaitu memisahkan agama dari kegiatan hidup, dan mengurung agama itu dalam gereja saja.
Maka cap yang diberikan Tuhan di ujung ayat: "Mereka itulah yang sejahat-jahat makhluk," adalah cap yang tepat.
Dan inilah yang kita rasakan hebat perjuangannya di seluruh Dunia Islam sekarang ini.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 6 |
Tafsir ayat 6-8
Allah Swt. menceritakan akibat yang dialami oleh orang-orang durhaka dari kalangan orang-orang kafir Ahli Kitab dan orang-orang musyrik yang menentang kitab-kitab Allah yang diturunkan dan menentang para rasul yang diutus-Nya.
Bahwa mereka kelak di hari kiamat dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya; mereka menjadi penghuni tetapnya, tidak akan berpindah darinya dan tidak pula mereka lenyap darinya.
Allah Swt. menceritakan akibat yang dialami oleh orang-orang durhaka dari kalangan orang-orang kafir Ahli Kitab dan orang-orang musyrik yang menentang kitab-kitab Allah yang diturunkan dan menentang para rasul yang diutus-Nya.
Bahwa mereka kelak di hari kiamat dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya; mereka menjadi penghuni tetapnya, tidak akan berpindah darinya dan tidak pula mereka lenyap darinya.
{أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ}
Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Al-Bayyinah: 6) Yakni seburuk-buruk makhluk yang diciptakan Allah dan yang diadakan-Nya. Kemudian Allah Swt.
menceritakan keadaan orang-orang yang berbakti, yaitu mereka yang hatinya beriman, dan badan mereka mengamalkan perbuatan-perbuatan yang saleh. Bahwa mereka adalah sebaik-baik makhluk Allah.
Abu Hurairah dan segolongan ulama menyimpulkan dari ayat ini bahwa orang-orang yang beriman dari kalangan manusia lebih utama daripada para malaikat, yaitu karena firman-Nya yang mengatakan:
{أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ}
Mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (Al-Bayyinah: 7) Kemudian Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:
{جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ}
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka. (Al-Bayyinah: 8)Yaitu di hari kiamat nanti.
{جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا}
adalah surga 'adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. (Al-Bayyinah: 8)Yakni tiada putus-putusnya, tiada habis-habisnya, dan tiada selesai-selesainya.
{رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ}
Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 8) Perlu diketahui bahwa rida Allah kepada mereka lebih tinggi derajatnya daripada kenikmatan abadi yang diberikan-Nya kepada mereka.
{وَرَضُوا عَنْهُ}
dan mereka pun rida kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 8) Artinya, merasa puas dengan keutamaan yang menyeluruh yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Firman Allah Swt:
{ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ}
Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-Bayyinah: 8) Yaitu pahala ini akan didapat oleh orang yang takut kepada Allah,
bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa,dan menyembah-Nya seakan-akan dia melihat-Nya, dan ia mengetahui bahwa jika ia tidak dapat melihat-Nya, maka Dia Maha Melihat kepadanya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَرٍ، عَنْ أَبِي وَهْبٍ -مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ-عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الْبَرِيَّةِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "رَجُلٌ أَخَذَ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، كُلَّمَا كَانَتْ هَيْعَة اسْتَوَى عَلَيْهِ. أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الْبَرِيَّةِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "رَجُلٌ فِي ثُلَّة مِنْ غَنَمِهِ، يُقِيمُ الصَّلَاةَ وَيُؤْتِي الزَّكَاةَ. أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ؟ ". قَالُوا: بَلَى. قَالَ: "الَّذِي يَسأل بِاللَّهِ، وَلَا يُعطي بِهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Abu Wahb maula Abu Hurairah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik makhluk?” Mereka menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang laki-laki yang memegang kendali kudanya di jalan Allah,
manakala terjadi serangan musuh, maka dia menunggangi kudanya (dan memacunya menghadapi musuh).” "Maukah aku beri tahukan kepadamu tentang sebaik-baik makhluk?"
Mereka menjawab, "Tentu saja mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang lelaki yang berada di kumpulan ternak kambingnya mendirikan salat dan menunaikan zakat.”
"Maukah aku ceritakan kepadamu tentang seburuk-buruk makhluk?" Mereka menjawab, "Tentu mau." Rasulullah Saw. menjawab, "Orang yang meminta kepada Allah dan Allah tidak memberinya.”
Surat Al-Bayyinah |98:7|
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
innallażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati ulaaa`ika hum khoirul-bariyyah
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
Indeed, they who have believed and done righteous deeds - those are the best of creatures.
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk) artinya makhluk yang paling baik.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 7). Yang terutama Iman di sini niscaya ialah Iman kepada Allah dan Iman kepada Rasul-Nya,
menerima dan menyetujui petunjuk Tuhan yang telah tersebut pada ayat 5 tadi. "Dan mengerjakan amalan yang shalih.
" Membuktikan Iman yang telah diakui dalam hati itu dengan perbuatan dan sikap hidup.
Terutama mengurbankan harta benda untuk berbuat kebajikan kepada sesama manusia,
sebagai yang telah dijiwai oleh zakat tadi, dan berkurban pula dengan jiwa-raga dan tenaga untuk memperjuangkan tegaknya kebenaran atau Sabilillah di muka bumi ini,
yang dijiwai oleh menegakkan sembahyang, serta tulus ikhlas di dalam segala hubungan,
baik hubungan ke langit kepada Allah, atau ke bumi kepada sesama manusia.
Dan semua amalan yang shalih itu mereka kerjakan dengan kesadaran dan penuh cinta: "Mereka itu adalah sebaik-baik makhluk." (ujung ayat 7).
Karena dengan mengikuti kebenaran, menegakkan kepercayaan dan membuktikan dengan perbuatan,
mereka itu telah mengisi kemanusiaan sebaik-baiknya. Mereka telah memenuhi arti hidup.
Dan Allah pun memuliakan mereka. Mereka pelihara punca-punca budi dan keutamaan yang jadi tujuan sejati wujud Insan ini. Dan itulah bahagia yang sejati.
Sebab dia telah dapat menyesuaikan apa yang terasa dalam hati sanubari dengan tingkah laku di dalam hidup.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 7 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Bayyinah |98:8|
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
jazaaa`uhum 'inda robbihim jannaatu 'adnin tajrii min taḥtihal-an-haaru khoolidiina fiihaaa abadaa, rodhiyallohu 'an-hum wa rodhuu 'an-h, żaalika liman khosyiya robbah
Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah Surga ´Aadn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Their reward with Allah will be gardens of perpetual residence beneath which rivers flow, wherein they will abide forever, Allah being pleased with them and they with Him. That is for whoever has feared his Lord.
(Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga 'Adn) sebagai tempat tinggal tetap mereka (yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Allah rida terhadap mereka) karena ketaatan mereka kepada-Nya (dan mereka pun rida kepada-Nya) yakni merasa puas akan pahala-Nya.
(Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Rabbnya) maksudnya takut kepada siksaan-Nya, yang karena itu lalu ia berhenti dari mendurhakai-Nya
"Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga-syurga tempat menetap." Itulah perhentian dan penetapan terakhir,
tempat istirahat menerima hasil dan ganjaran dari kepayahan berjuang pada hidup yang pertama di dunia: "Yang mengalir padanya sungai-sungai,
" sebagai lambang kiasan dari kesuburan dan kesejukan, tepung tawar untuk ketenteraman (muthmainnah),
kesuburan yang tiada pernah kering: "Kekal mereka padanya selama-lamanya,
" nikmat yang tiada pernah kering rahmat yang tiada pernah terhenti, tidak akan keluar lagi dari dalam nikmat itu dan tidak lagi akan merasakan mati.
Sebab mati itu hanya sekali yang dahulu saja. Dan yang menjadi puncak dan puncak dari nikmat itu ialah: "Allah ridha kepada mereka," Allah senang,
Allah menerima mereka dengan tangan terbuka dan penuh Rahman, sebab tatkala di dunia mereka taat dan setia: "Dan mereka pun ridha kepada-Nya," Ridha yang seimbang, balas membalas,
kontak mengontak, bukan laksana bertepuk sebelah tangan. Karena Iman dan keyakinan jualah yang mendorong mereka memikul beban perintah Allah seketika mereka hidup dahulu,
tidak ada yang dirasa berat dan tidak pernah merasa bosan. "Yang demikian itulah untuk orang yang takut kepada Tuhannya." (ujung ayat 8).
Dengan ujung ayat ini diperkuatlah kembali tujuan hidup seorang Muslim, Tuhan meridhai mereka,
dan mereka pun meridhai Tuhan. Tetapi betapa pun akrab hubungannya dengan Tuhan, namun rasa takutnya kepada Tuhan tetap ada.
Oleh sebab itu maka rasa sayang dan rasa cinta kepada Tuhan, ridha meridhai dan kasih mengasihi tidaklah sampai menghilangkan wibawa,
kekuasaan, bahkan keangkuhan Tuhan di dalam sifat keagungan dan ketinggian-Nya. Sebab itulah maka si Muslim mengerjakan suruh dan menghentikan tegah.
Dia sangat mengharapkan dimasukkan ke dalam syurga, namun di samping itu dia pun takut akan diazab Tuhan dan dimasukkan ke dalam neraka.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Bayyinah | 98 : 8 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Az-Zalzalah |99:1|
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا
iżaa zulzilatil-ardhu zilzaalahaa
Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat,
When the earth is shaken with its [final] earthquake
(Apabila bumi diguncangkan) yaitu mengalami gempa di saat hari kiamat tiba (dengan guncangannya) yang amat dahsyat sesuai dengan bentuknya yang besar.
Sebagaimana beberapa Surat yang lain, Surat Az-Zalzalah ini pun membayangkan keadaan yang akan dihadapi kelak ketika hari mulai kiamat.
"Apabila telah digempakan bumi itu segempa-gempanya." (ayat 1). Dengan diujungi "segempa-gempanya",
atau sehebat-hebatnya, dapatlah kita fahamkan bahwa gempa itu bukanlah lagi gempa setumpak, melainkan seluruh permukaan bumi.
Bukan lagi karena letusan sebuah gunung, melainkan bumi itu seluruhnya atau kesebuahannya telah tergoncang dari falak tempat jalannya.
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 1 |
Tafsir ayat 1-8
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila bumi diguncangkan dengan seguncang-guncangnya (yang dahsyat). (Az-Zalzalah: 1) Yakni bergerak dan bergetar dari bagian bawahnya hingga menimbulkan gempa yang dahsyat.
{وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا}
dan bumi mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya (Az-Zalzalah: 2) Yaitu mengeluarkan orang-orang mati dari dalam perutnya, menurut sebagian ulama Salaf yang bukan hanya seorang, dan ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَ السَّاعَةِ شَيْءٌ عَظِيمٌ
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Al-Hajj: 1) Sama pula dengan firman-Nya:
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ وَأَلْقَتْ مَا فِيها وَتَخَلَّتْ
dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. (Al-Insyiqaq: 3-4)
قَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا وَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيل، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَقيء الْأَرْضُ أَفْلَاذَ كَبِدِهَا أَمْثَالَ الْأُسْطُوَانِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، فَيَجِيءُ الْقَاتِلُ فَيَقُولُ: فِي هَذَا قَتَلْتُ، وَيَجِيءُ الْقَاطِعُ فَيَقُولُ: فِي هَذَا قَطَعتُ رَحِمِي، وَيَجِيءُ السَّارِقُ فَيَقُولُ: فِي هَذَا قُطِعت يَدِي، ثُمَّ يَدَعُونه فَلَا يَأْخُذُونَ مِنْهُ شَيْئًا"
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wasil ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari ayahnya, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Bumi mengeluarkan semua isi perutnya seperti piring-piring emas dan perak. Maka datanglah pembunuh, lalu ia mengatakan, "Karena inilah aku membunuh.” Dan datanglah orang yang memutuskan
persaudaraan, lalu ia berkata, "Karena inilah aku memutuskan hubungan persaudaraan.” Dan datanglah pencuri, lalu berkata, "Karena inilah tanganku terpotong.” Kemudian mereka membiarkannya dan tidak mengambil sesuatu pun darinya.
Firman Allah Swt:
{وَقَالَ الإنْسَانُ مَا لَهَا}
dan manusia bertanya, "Mengapa bumi (jadi begini)?” (Az-Zalzalah: 3)Yakni merasa heran dengan keadaannya, padahal sebelumnya bumi tenang, kokoh, serta menetap, dan manusia diam dengan tenang di atas permukaannya
Dengan kata lain, keadaan bumi menjadi sebaliknya, saat itu bumi bergerak-gerak dan mengalami gempa yang dahsyat. Bumi telah kedatangan perintah Allah Swt. yang memerintahkan kepadanya untuk berguncang dengan hebatnya,
yaitu gempa yang dahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kemudian bumi mengeluarkan semua orang mati yang terkandung di dalam perutnya dari kalangan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian.
Saat itulah manusia merasa heran dengan keadaan bumi, karena bumi telah diganti dengan bumi yang lain, begitu pula langitnya; lalu mereka digiring untuk menghadap kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha menang. Firman Allah Swt.:
{يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا}
pada hari itu bumi menceritakan beritanya. (Az-Zalzalah: 4) Yaitu menceritakan tentang semua apa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang menghuni permukaannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ -وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ النَّسَائِيُّ، وَاللَّفْظُ لَهُ: حَدَّثَنَا سُوَيد بْنُ نَصْرٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ الْمُبَارَكِ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ سَعِيدٍ المقْبُرِي، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا} قَالَ: "أَتَدْرُونَ مَا أَخْبَارُهَا؟ ". قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّ أَخْبَارَهَا أَنَّ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ وَأَمَةٍ بِمَا عَمِل عَلَى ظَهْرِهَا، أَنْ تَقُولَ: عَمِلَ كَذَا وَكَذَا، يَوْمَ كَذَا وَكَذَا، فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak; dan Imam Turmuzi mengatakan juga Abdur Rahman An-Nasai, sedangkan lafaz hadis berikut menurut apa
yang ada padanya, bahwa telah menceritakan kepada kami Suwaid ibnu Nasi", telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, dari Sa'id ibnu Abu Ayyub, dari Yahya ibnu Abu Sulaiman, dari Sa'id Al-Maqbari,
dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: pada hari itu bumi menceritakan beritanya. (Az-Zalzalah: 4) Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Tahukah kamu apakah yang dimaksud dengan beritanya?"
Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya berita bumi ialah bila ia mengemukakan persaksian terhadap setiap hamba laki-laki dan perempuan tentang apa yang telah
dikerjakannya di atas permukaannya. Bumi mengatakan bahwa Fulan telah mengerjakan anu dan anu di hari anu. Demikianlah yang dimaksud dengan beritanya. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, sahih, garib.
وَفِي مُعْجَمِ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ لَهِيعة: حَدَّثَنِي الْحَارِثُ بْنُ يَزِيدَ -سَمِعَ رَبِيعَةَ الجُرَشي-: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "تَحَفَّظُوا مِنَ الْأَرْضِ، فَإِنَّهَا أُمُّكُمْ، وَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ عَامِلٌ عَلَيْهَا خَيْرًا أَوْ شَرًّا، إِلَّا وَهِيَ مُخبرة"
Di dalam kitab Mu'jam Imam Tabrani disebutkan melalui hadis Ibnu Lahi'ah, bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Haris ibnu Yazid yang telah mendengar Rabi'ah Al-Hadasi yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Hati-hatilah kalian terhadap bumi, karena sesungguhnya bumi adalah ibu kalian, dan sesungguhnya tiada seorang manusia pun yang melakukan suatu perbuatan di atasnya, apakah amal baik atau amal jahat, melainkan ia pasti akan menceritakannya
.Firman Allah Swt.:
{بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا}
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya. (Az-Zalzalah: 5) Imam Bukhari mengatakan bahwa lafaz ini sesinonim dengan auha ilaiha dan waha laha atau waha ilaiha.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa auha laha sama dengan auha ilaiha. Makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa ini mengandung makna azina laha, yakni Tuhan telah memerintahkan atau mengizinkan kepadanya (untuk demikian).
Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: pada hari itu bumi menceritakan beritanya. (Az-Zalzalah: 4)Yakni Tuhannya telah berfirman kepadanya, '"Berbicaralah kamu,"
maka ketika itu juga bumi dapat berbicara. Mujahid mengatakan, makna auha laha ialah memerintahkan kepadanya. Al-Qurazi mengatakan bahwa Allah Swt. telah memerintahkan kepada bumi untuk terbelah mengeluarkan mereka. Firman Allah Swt.:
{يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا}
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam. (Az-Zalzalah: 6) Mereka kembali dari mauqif hisab (tempat penghisaban) dalam keadaan bercerai-berai dan bermacam-macam,
ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Para malaikat diperintahkan untuk membawa mereka yang berbahagia ke dalam surga, dan membawa mereka yang celaka ke dalam neraka.
Menurut Ibnu Juraij, mereka bercerai-berai terpisah-pisah dan tidak dapat berkumpul sama sekali. As-Saddi mengatakan bahwa makna asytatan ialah bergolong-golongan.Firman Allah Swt.:
{لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ}
supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. (Az-Zalzalah: 6) Yaitu agar mereka mengetahui dan mendapat balasan dari apa yang telah mereka perbuat di dunia, yang baiknya dan yang buruknya. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ}
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8)
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمان عَنْ أَبِي هُرَيرة: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْخَيْلُ لِثَلَاثَةٍ: لِرَجُلٍ أَجْرٌ، وَلِرَجُلٍ سِتْرٌ، وَعَلَى رَجُلٍ وِزْرٌ؛ فَأَمَّا الَّذِي لَهُ أَجْرٌ، فَرَجُلٌ رَبَطَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأَطَالَ طَيلها فِي مَرْجٍ أَوْ رَوْضَةٍ، فَمَا أَصَابَتْ فِي طِيَلِهَا ذَلِكَ فِي الْمَرْجِ وَالرَّوْضَةِ كَانَ لَهُ حَسَنَاتٌ، وَلَوْ أَنَّهَا قَطَعَتْ طِيَلَهَا فاستنَّت شَرَفا أو شَرَفَيْنِ، كَانَتْ آثَارُهَا وَأَرْوَاثُهَا حَسَنَاتٍ لَهُ، وَلَوْ أَنَّهَا مَرَّتْ بِنَهَرٍ فَشَرِبَتْ مِنْهُ وَلَمْ يُرِدْ أَنْ يَسقَى بِهِ كَانَ ذَلِكَ حَسَنَاتٍ لَهُ، وَهِيَ لِذَلِكَ الرَّجُلِ أَجْرٌ. وَرَجُلٌ رَبَطَهَا تَغَنيا وَتَعَفُّفًا، وَلَمْ يَنْسَ حَقَّ اللَّهِ فِي رِقَابِهَا وَلَا ظُهُورِهَا، فَهِيَ لَهُ سِتْرٌ. وَرَجُلٌ رَبَطَهَا فَخْرًا وَرِئَاءً وَنِوَاءً، فَهِيَ عَلَى ذَلِكَ وِزْرٌ". فسُئل رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الحُمُر، فَقَالَ: "مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا هَذِهِ الْآيَةَ الْفَاذَّةَ الْجَامِعَةَ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ}
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Abu Saleh As-Samman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Kuda itu bagi tiga macam orang lelaki; yaitu bagi seseorang menghasilkan pahala, dan bagi seseorang yang lain menjadi penutup; dan bagi seorang yang lainnya lagi menghasilkan dosa. Adapun orang yang mendapatkan
pahala dari kudanya ialah seorang lelaki yang menambatkan kudanya dijalan Allah, lalu kuda itu diikat di padang rumput atau di taman. Maka apa yang dimakannya sepanjang tali penambatnya di padang rumput atau taman
itu akan menjadi pahala kebaikan bagi pemiliknya. Dan sekiranya kudanya itu memutuskan tali penambatnya, lalu berlari sejauh satu syaraf atau dua syaraf, maka semua jejaknya dan tahi kotoran yang dikeluarkannya menjadi
pahala kebaikan bagi pemiliknya. Dan sekiranya kudanya itu melalui sebuah sungai (mata air), lalu minum air darinya, padahal pemiliknya tidak menginginkan kudanya itu minum, maka hal itu akan menjadi pahala baginya.
Dan semuanya itu akan membawa pahala bagi lelaki yang memilikinya. Dan seorang lelaki yang menambatkannya dengan niat untuk mencukupi kebutuhannya sendiri dan menjaga kehormatannya (agar tidak minta tumpangan dari orang lain),
sedangkan ia tidak melupakan hak Allah yang ada pada leher kudanya dan tidak pula pada punggungnya, maka kudanya itu menjadi penutup baginya. Dan seorang lelaki yang menambatkannya karena berbangga diri, pamer
dan ingin terkenal, maka kudanya itu akan membawa dosa baginya. Lalu Rasulullah Saw. Ditanya tentang keledai, maka beliau Saw. menjawab bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sesuatu pun mengenainya kecuali hanya
ayat yang tegas lagi mencakup ini, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Zaid ibnu Aslam dengan sanad yang sama.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ صَعْصَعَةَ بْنِ مُعَاوِيَةَ -عَمِّ الْفَرَزْدَقِ-: أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} قَالَ: حَسْبِي! لَا أُبَالِي أَلَّا أَسْمَعَ غَيْرَهَا
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Sa'sa'ah ibnu Mu'awiyah pamannya Farazdaq
bahwa ia datang menghadap kepada Nabi Saw., maka beliau Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt.-: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Lalu ia berkata, "Sudah cukup bagiku ayat ini, aku tidak peduli bila tidak mendengarkan yang lainnya."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab tafsir, dari Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Yunus Al-Mu-addib, dari ayahnya, dari Jarir ibnu Hazim, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Sa'sa'ah pamannya Farazdaq, kemudian disebutkan hal yang semisal. Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa telah diriwayatkan dari Adiy secara marfu':
"اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ"
Hindarilah neraka, sekalipun dengan (menyedekahkan) separo buah kurma, dan sekalipun dengan kalimat yang baik. Juga dari Adiy disebutkan di dalam kitab sahih:
«لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تُفْرِغَ مِنْ دَلْوِكَ فِي إِنَاءِ الْمُسْتَسْقِي وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِطٌ»
Jangan sekali-kali kamu meremehkan sesuatu pun dari kebajikan, sekalipun dalam bentuk engkau menuangkan sebagian air dari timbamu ke wadah orang yang meminta minum, dan sekalipun dalam rupa engkau sambut saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.Di dalam hadis sahih disebutkan pula:
«يا معشر نِسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ»
Hai kaum wanita yang beriman, jangan sekali-kali seseorang meremehkan tetangganya sekalipun dengan mengirimkan kikil kambing. Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«رُدُّوا السَّائِلَ وَلَوْ بِظِلْفٍ مُحَرَّقٍ»
Berikanlah kepada peminta-minta sekalipun berupa kikil yang dibakar.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَا عَائِشَةُ، اسْتَتِرِي مِنَ النَّارِ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ، فَإِنَّهَا تَسُدُّ مِنَ الْجَائِعِ مَسَدَّهَا مِنَ الشَّبْعَانِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Zaid, dari Al-Mutttalib ibnu Abdullah, dari Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Hai Aisyah, lindungilah dirimu dari api neraka, sekalipun dengan menyedekahkan separo biji kurma, karena sesungguhnya separo biji kurma dapat mengisi perut orang yang lapar sebagaimana ia pun dapat mengisi perut orang yang kenyang.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Telah diriwayatkan pula dari Aisyah, bahwa ia pernah menyedekahkan sebiji buah anggur, lalu berkata, "Berapa banyak sebiji buah anggur itu mengandung zarrah."
قَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، سَمِعْتُ عَامِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ: حَدَّثَنِي عَوْفُ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ الطُّفَيْلِ: أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: "يَا عَائِشَةُ، إِيَّاكِ وَمُحَقِّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّ لَهَا مِنَ اللَّهِ طَالِبًا".
Dan Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Muslim, bahwa ia pernah mendengar Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair
mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Auf ibnul Haris ibnut Tufail, bahwa Aisyah pernah menceritakan kepadanya bahwa "Nabi Saw. telah bersabda kepadanya:
Hai Aisyah, jauhilah dosa-dosa kecil yang remeh, karena sesungguhnya kelak Allah akan menuntutnya. Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Sa'id ibnu Muslim ibnu Banik dengan sanad yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي أَبُو الْخَطَّابِ الْحَسَّانِيُّ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُجزى بِمَا عملتُ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ مِنْ شَرٍّ؟ فَقَالَ: "يَا أَبَا بَكْرٍ، مَا رَأَيْتَ فِي الدُّنْيَا مِمَّا تَكْرَهُ فَبِمَثَاقِيلِ ذَرِّ الشَّرِّ وَيَدَّخِرُ اللَّهُ لَكَ مَثَاقِيلَ ذَر الْخَيْرِ حَتَّى تُوفَاه يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abul Khattab Al-Hassani, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Sammak ibnu Atiyyah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah,
dari Anas yang telah menceritakan bahwa Abu Bakar sedang makan bersama Nabi Saw., lalu turunlah firman Allah Swt. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Maka Abu Bakar menghentikan tangannya dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah benar aku akan dibalas karena melakukan perbuatan buruk walaupun hanya sebesar zarrah?" Rasulullah Saw. menjawab: Hai Abu Bakar, apa saja yang kamu alami di dunia ini yang tidak kamu senangi, maka itu
disebabkan beban keburukan yang sekecil-kecilnya, tetapi Allah telah menyediakan bagimu pahala kebaikan yang sama hingga engkau menjumpainya kelak di hari kiamat. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis ini dari
ayahnya alias Abul Khattab dengan sanad yang sama. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab,
telah menceritakan kepada kami Ayyub yang mengatakan di dalam kitab Abu Qilabah, dari Abu Idris, bahwa Abu Bakar makan bersama Nabi Saw., selanjutnya disebutkan hal yang semisal dengan hadis di atas.
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya pula dari Ya'qub, dari Ibnu Aliyyah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, bahwa Abu Bakar r.a. dan selanjutnya disebutkan hal yang sama.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، أَخْبَرَنَا ابن وهب، أخبرني حُيَي ابن عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: {إِذَا زُلْزِلَتِ الأرْضُ زِلْزَالَهَا} وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَاعِدٌ، فَبَكَى حِينَ أُنْزِلَتْ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا يُبْكِيكَ يَا أَبَا بَكْرٍ؟ ". قَالَ: يُبْكِينِي هَذِهِ السُّورَةُ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا أَنَّكُمْ تُخْطِئُونَ وَتُذْنِبُونَ، فَيَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ، لَخَلَقَ اللَّهُ أُمَّةً يُخْطِئُونَ وَيُذْنِبُونَ فَيَغْفِرَ لَهُمْ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli,
dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, bahwa ia telah mengatakan ketika diturunkan firman-Nya: Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat). (Az-Zalzalah: 1) Saat ibnu Abu Bakar As-Siddiq sedang duduk,
lalu ia menangis, maka Rasulullah Saw. bertanya kepadanya, "Apakah yang menyebabkan engkau menangis, hai Abu Bakar?" Maka Abu Bakar menjawab, "Surat inilah yang membuatku menangis." Rasulullah Saw. bersabda:
Seandainya kalian tidak pernah berbuat kesalahan dan dosa hingga Allah tidak perlu memberikan ampunan bagi kalian, tentulah Dia akan menciptakan umat yang berbuat kesalahan dan melakukan perbuatan dosa,
lalu Dia memberikan ampunan bagi mereka.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ [مُحَمَّدِ بْنِ] الْمُغِيرَةِ -الْمَعْرُوفُ بِعَلَّانَ الْمِصْرِيِّ-قَالَا حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ الحرَّاني، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، أَخْبَرَنِي هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: لَمَّا أُنْزِلَتْ: {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَرَاءٍ عَمَلِيَ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قُلْتُ: تِلْكَ الْكِبَارُ الْكِبَارُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قُلْتُ: الصِّغَارُ الصِّغَارُ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قُلْتُ: واثُكلَ أُمي. قَالَ: "أَبْشِرْ يَا أَبَا سَعِيدٍ؛ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بعشر أمثالها -يعني إلى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ -وَيُضَاعِفُ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ، وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا أَوْ يَغْفِرُ اللَّهُ، وَلَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ". قُلْتُ: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ: "وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ" قَالَ أَبُو زُرْعَة: لَمْ يَرْوِ هَذَا غَيْرُ ابْنِ لَهِيعة.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah dan Ali ibnu Abdur Rahman ibnul Mugirah yang dikenal dengan julukan Allan Al-Masri, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami
Amr ibnu Khalid Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa ketika
firman Allah diturunkan, yaitu: Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8) Maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah sungguh aku akan melihat semua amal perbuatanku?'" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi,
"Semua yang besar-besar." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi, "Dan semua yang kecil-kecil?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Aku berkata, "Aduhai, celakalah diriku." Rasulullah Saw. bersabda: Bergembiralah, hai Abu Sa'id,
karena sesungguhnya kebaikan itu diberi imbalan sepuluh kali lipatnya —yakni sampai tujuh ratus kali lipat— dan Allah melipatgandakan (pahala-Nya) bagi siapa yang dikehendaki-Nya, sedangkan keburukan itu hanya dibalas dengan hal
yang semisal atau Allah memaafkan; tiada seorang pun dari kalian yang selamat karena amal perbuatannya. Aku bertanya, "Dan juga termasuk engkau, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Dan tidakpula diriku, terkecuali bila Allah
melimpahkan rahmat kepadaku dari sisi-Nya. Abu Zar'ah mengatakan bahwa tiada seorang pun yang meriwayatkan ini selain dari Ibnu Lahi'ah.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah,
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman Allah Swt.:
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Az-Zalzalah: 7-8)
Demikian itu ketika diturunkan ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Al-Insan: 8) Maka kaum muslim berpandangan
bahwa mereka tidak akan mendapat imbalan pahala dari sesuatu yang sedikit jumlahnya bila mereka menyedekahkannya. Maka bilamana datang kepada pintu rumah-rumah mereka orang miskin yang meminta-minta,
mereka merasa keberatan untuk memberinya sebiji buah kurma atau sepotong roti atau sesuap makanan dan lain sebagainya yang tiada artinya, pada akhirnya mereka menolak orang miskin itu seraya berkata dalam diri mereka,
"Ini bukan berarti apa-apa, sesungguhnya kami hanya diberi pahala karena menyedekahkan apa yang kami sukai." Sedangkan kaum muslim lainnya ada yang mempunyai pemandangan bahwa diri mereka tidak dicela
karena melakukan perbuatan dosa kecil, seperti dusta, memandang wanita lain, mengumpat, dan lain sebagainya yang serupa. Mereka menganggap bahwa Allah Swt. hanya mengancam dengan neraka bagi para pelaku dosa besar.
Maka Allah memacu semangat mereka untuk mengerjakan kebaikan sekalipun sedikit, karena sesungguhnya amal kebaikan yang sedikit itu lama-kelamaan akan menjadi banyak. Sekaligus Allah memperingatkan mereka terhadap
perbuatan jahat walaupun kecil, karena sesungguhnya kejahatan yang sedikit itu lama-kelamaan akan menjadi besar. Oleh karena itulah maka turunlah firman Allah Swt.: Barang siapa yang mengerjakan barang seberat zarrah. (Az-Zalzalah: 7)
Zarrah artinya semut yang terkecil, yakni seberat semut kecil. dari kebaikan, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Az-Zalzalah:8) Yakni dalam buku catatan amal perbuatannya, dan dimudahkan baginya dalam hal tersebut.
Disebutkan bahwa dicatatkan bagi setiap orang yang bertakwa dan orang yang durhaka untuk setiap keburukan satu amal keburukan, dan untuk setiap amal kebaikan dicatat sepuluh amal kebaikan yang semisal.
Apabila hari kiamat tiba, maka Allah memperlipatgandakan kebaikan-kebaikan orang-orang mukmin, untuk setiap kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat dan dihapuskan darinya
karena tiap satu kebaikan sebanyak sepuluh keburukannya. Maka barang siapa yang kebaikan-kebaikannya melebihi keburukan-keburukannya, walaupun hanya beda seberat zarrah, niscaya ia masuk surga.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا عِمْرَانُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ، عَنْ أَبِي عِيَاضٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ"
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daid, telah menceritakan kepada karhi Imran, dari Qatadah, dari Abdu Rabbihi, dari Abu Iyad, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hindarilah oleh kalian dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bila menumpuk pada diri seseorang, niscaya akan membinasakannya.Dan sesungguhnya Rasulullah Saw
telah membuat suatu perumpamaan bagi dosa-dosa kecil yang terkumpulkan ini dengan suatu kaum yang turun beristirahat di suatu tanah lapang, lalu para juru masak mereka datang, dan masing-masing orang dari mereka pergi dan datang
dengan membawa sepotong kayu bakar, hingga pada akhirnya terkumpulkanlah setumpuk kayu yang banyak jumlahnya. Lalu mereka menyalakan api dan membuat masak semua makanan yang dilemparkan ke dalamnya.
Surat Az-Zalzalah |99:2|
وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا
wa akhrojatil-ardhu aṡqoolahaa
dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya,
And the earth discharges its burdens
(Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya) berupa semua perbendaharaan yang dikandungnya termasuk orang-orang mati, kemudian semuanya itu dicampakkan ke permukaannya.
"Dan mengeluarkan bumi itu akan segala isi-isinya." (ayat 2). Ini pun menambah lagi pengertian kita atas kuat dan hebatnya gempa besar itu, sehingga goncangan bumi yang sedemikian hebat,
menjadikan bumi laksana dihindang dan dihayunkan, sehingga segala isi yang tersimpan di sebalik bumi itu terbongkar keluar,
tidak ada lagi yang tersembunyi, sampai pun tulang-tulang manusia yang beratus ribu tahun telah terkubur dibalik kulit bumi itu akan terbongkar keluar.
Menurut Al-Qurthubi ada juga orang yang mentafsirkan segala isi-isi yang berat dalam bumi bukan saja tulang-tulang manusia,
melainkan perbendaharaan emas perak yang menjadi kekayaan bumi pun terbongkar. Dengan tafsiran demikian itu,
kita di zaman sekarang yang telah melihat betapa banyaknya kekayaan terpendam di dalam bumi, sejak dari bensin dan minyak tanah, akan dapat menggambarkan betapa hebatnya pada waktu itu.
Kalau isi bumi terbongkar keluar, lahar tanah, bayangkanlah, alangkah dahsyat pada waktu itu.
Kiamat pasti datang. Dia bukan semata-mata kepercayaan yang diajarkan oleh sekalian agama langit.
Bahkan telah menjadi pengetahuan manusia. Penyelidikan akan kemungkinan kiamat telah dinyatakan secara Teori ilmiah sebaca tersebut di bawah ini.
BEBERAPA KEMUNGKINAN DUNIA MUSNAH
Di Kayden Planetarium New York pernah diadakan demonstrasi cara bagaimana – menurut para sarjana – bumi yang kita diami ini akan menemui kehancurannya.
Dipertunjukkan secara realistis adanya 5 kemungkinan: Pertama – matahari meletus dan bumi musnah dalam lautan api.
Kedua – matahari berbalik menjadi beku sedemikian rupa hingga bola bumi menjadi dataran hitam yang tertutup es.
Ketiga – mungkin juga terjadi bahwa suatu bintang yang besar bertubrukan dengan matahari yang mana akan mengakibatkan kehancuran bumi.
Keempat – didemonstrasikan adanya kemungkinan bintang berekor jatuh ke bumi dengan kedahsyatan begitu rupa hingga bumi hancur luluh karenanya.
Kelima – kemusnahan dengan segala penghuninya karena jarak dengan bulan menjadi begitu dekat
sehingga menimbulkan gelombang-gelombang air pasang yang dahsyat disertai letusan-letusan hebat dari gunung-gunung berapi. (Antara Spektrum).Sekian berita-berita itu.
Jadi orang-orang yang meminta penyaksian Ilmiah manusia apa yang disabdakan Tuhan,
sudah boleh tenteram hati menerima wahyu-wahyu Ilahi. Padahal sehendaknya bagi orang yang beriman,
pengetahuan manusia belum dapat sekaligus diterimanya kalau belum sesuai dengan firman Tuhan.
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:3|
وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا
wa qoolal-insaanu maa lahaa
dan, manusia bertanya, "Apa yang terjadi pada bumi ini?"
And man says, "What is [wrong] with it?" -
(Dan manusia bertanya) yakni orang yang ingkar kepada adanya hari berbangkit ("Mengapa bumi jadi begini") ia mengatakan demikian dengan nada ingkar kepada kenyataan yang sedang mereka alami ketika itu, yaitu keadaan menjelang hari kiamat.
"Dan berkata manusia: "Apa halnya?" (ayat 3). Artinya: apa halnya bumi maka jadi begini? Apa yang telah terjadi? Menunjukkan bahwa manusia pada waktu itu tanya bertanya di dalam kegugupan dan bingung.
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:4|
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
yauma`iżin tuḥaddiṡu akhbaarohaa
Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya,
That Day, it will report its news
(Pada hari itu) menjadi Badal dari lafal Idzaa berikut Jawabnya (bumi menceritakan beritanya) yaitu menceritakan semua amal perbuatan yang telah dilakukan di atas permukaannya, amal baik dan amal buruk.
"Di hari itu dia akan menceriterakan khabar-khabarnya." (ayat 4). Artinya bahwa di hari itu bumi itu sendiri akan menceriterakan sendiri khabar berita tentang dirinya.
Yaitu meskipun bukan bumi berkata dengan lidah, tetapi keadaan yang telah terjadi itu, yang kian lama kian hebat dahsyat dan menakutkan,
telah menjawab sendiri pertanyaan yang timbul di hati manusia. Yaitu bahwa inilah permulaan hari kiamat: Dunia lama mulai dihancurkan dan zaman akhirat telah mulai datang.
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:5|
بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَىٰ لَهَا
bi`anna robbaka auḥaa lahaa
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya.
Because your Lord has commanded it.
(Karena sesungguhnya) hal itu terjadi disebabkan karena (Rabbmu telah memerintahkan kepadanya) yang demikian itu. Di dalam sebuah hadis disebutkan,
"Setiap hamba laki-laki dan perempuan menyaksikan (pada hari itu) semua amal perbuatan yang telah dilakukannya di muka bumi."
"Bahwa Tuhan engkau telah memerintahkannya." (ayat 5). Artinya bahwa segala yang tengah terjadi itu adalah suatu ketentuan yang pasti dari Allah,
qadar yang telah ditentukan, atau ajal yang telah sampai pada waktunya, bilangan dunia sudah sampai!
Al-Qasyani menegaskan: "Artinya Tuhanlah yang memerintahkan bumi itu bergoncang dan rusak dan hancur dan runtuh
dan mengeluarkan segala isinya yang terpendam," (sebagai disebutkan di ayat 2).
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:6|
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ
yauma`iżiy yashdurun-naasu asytaatal liyurou a'maalahum
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya.
That Day, the people will depart separated [into categories] to be shown [the result of] their deeds.
(Pada hari itu manusia keluar) maksudnya mereka berangkat meninggalkan tempat penghisaban (dalam keadaan yang bermacam-macam) yakni terpisah-pisah;
ada yang mengambil jalan ke kanan yaitu menuju ke surga dan ada yang mengambil jalan ke kiri yaitu menuju ke neraka (supaya diperlihatkan kepada mereka pekerjaan mereka) maksudnya balasan amal perbuatan mereka, berupa surga atau neraka.
"Di hari itu manusia akan pergi berpisah-pisah." (pangkal ayat 6). Berpisah-pisah dibawa untung masing-masing,
keluar dari kampung halaman atau rumah tangganya, sehingga terpisah-pisahlah di antara satu dengan yang lain,
tidak dapat berkelompok lagi. Hal ini pun diterangkan lebih jelas dalam Surat 80, 'Abasa ayat 34 sampai 37,
bahwa di hari itu orang lari dari saudaranya, dari ibunya dan ayahnya, dari isterinya dan anak-anaknya,
karena masing-masing orang menghadapi urusannya sendiri: "Untuk diperlihatkan kepada mereka amal-amal mereka." (ujung ayat 6).
Itulah pula yang dinamai "Yaumal-Hisab", Hari Perhitungan, atau "Yaumal-Mizan", Hari Penimbangan.
Akan diselidiki satu demi satu amal perbuatan, kegiatan dan usaha selama hidup di atas duni, baiknya dan buruknya.
Dan semuanya akan diperlakukan dengan adil dan tidak ada yang tersembunyi.
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:7|
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
fa may ya'mal miṡqoola żarrotin khoiroy yaroh
Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
So whoever does an atom's weight of good will see it,
(Maka barang siapa yang mengerjakan seberat zarah) atau seberat semut yang paling kecil (kebaikan, niscaya dia akan melihatnya) melihat pahalanya.
"Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan setimbang debu pun, niscaya dia akan melihatnya." (ayat 7).
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Az-Zalzalah |99:8|
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
wa may ya'mal miṡqoola żarrotin syarroy yaroh
Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
And whoever does an atom's weight of evil will see it.
(Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihatnya pula) artinya dia pasti akan merasakan balasannya.
"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan setimbang debu pun, niscaya dia pun akan melihatnya." (ayat 8).
Di dalam kedua ayat ini disebut dzarrah, yang supaya lebih popular kita artikan saja dengan debu.
Padahal dzarrah adalah lebih halus dari debu. Di zaman modern ini, setelah orang menyelidiki tenaga atom dan telah dapat memanfaatkannya,
maka atom itu dipakai dalam bahasa seluruh dunia dengan memakai kalimat dzarrah.
Ahli-ahli fisika Arab menyebut juga dzarrah itu dengan Al-Jauharul-fard, benda yang sangat halus yang tidak dapat dibagi lagi. Lantaran itu boleh jugalah kita artikan
: "Dan barangsiapa yang mengerjakan setimbang atom pun dari kebaikan,
niscaya dia akan melihatnya." Jadi bukti bahwa tidak ada satu pun yang tersembunyi
di sisi Tuhan dari hal amalan manusia dan kegiatan hidupnya, supaya dibalas dan diganjari setimpal dengan perbuatannya.
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya menegaskan "ayat ini telah menyatakan bahwa segala amalan dan usaha,
baiknya dan buruknya, besarnya dan kecilnya akan dinilai oleh Tuhan. Baik yang berbuatnya itu orang beriman ataupun kafir.
Tegasnya lagi, amal kebaikan orang yang kafir dihargai Tuhan, meskipun dia dengan demikian tidak terlepas daripada hukuman kekafirannya."
Beliau kemukakan sebuah ayat di dalam Surat 21, Al-Anbiya' ayat 47: "Bahwa di hari kiamat itu alat-alat penimbang akan diletakkan dengan sangat adil,
sehingga tidak ada satu diri pun yang akan teraniaya, walaupun sebesar biji daripada hama (telur hama), semuanya akan dipertimbangkan."
Dengan demikian orang yang telah mengaku beriman kepada Allah dan Rasul pun begitu. Meskipun dia telah mengaku beriman,
namun dosanya atau kesalahan dan kejahatannya pun akan dipertimbangkan dan diperlihatkan.
Syukurlah dia tidak mempersekutukan yang lain dengan Allah, sehingga siksaan yang akan diterimanya tidaklah seremuk sehina orang yang kafir.
Maka tersebutlah bahwa Hatim Ath-Thaaiy, dermawan Arab yang beragama Nasrani yang terkenal di zaman jahiliyah
akan diringankan azabnya di neraka karena di kala hidupnya dia sangat dermawan. Dan Abu Lahab paman Rasulullah SAW
yang sangat terkenal benci kepada anaknya yang menjadi Nabi itu, pun akan ada satu segi yang akan meringankan azabnya. Karena beliau sangat bersukacita ketika Rasulullah SAW lahir ke dunia,
sampai disediakannya jariahnya bernama Tsaaibah yang akan menyusukan Nabi, sebelum disusukan oleh Halimatus-Sa'diyah.
Dan sudah tentu azab siksaan yang akan diterima Abu Thalib yang mengasuh Nabi SAW
sampai beliau menjadi Rasul dan membelanya sampai akhir hayatnya tidaklah akan disamakan dengan azab siksaan yang akan diterima oleh Abu Jahal
.
Selanjutnya tidaklah akan sama azab terhadap ahlul-kitab yang terang mempercayai Nabi-nabi dengan azab terhadap orang-orang yang sama sekali tidak mempercayai adanya Allah
. Dan keringanan yang akan diterima oleh Thomas Alva Edison tentu tersedia, karena jasanya mendapatkan alat-alat listrik yang dapat dipergunakan untuk melakukan da'wah Islam.
Selain dari itu, ayat ini pun menjadi obat yang jadi sitawar-sidingin bagi orang-orang yang beramal dengan ikhlas untuk agama,
untuk bangsa dan perikemanusiaan, tetapi mereka dilupakan orang, misalnya karena pertentangan politik.
Meskipun di dunia mereka dilupakan orang, namun kebajikan dan jasanya di kala hidupnya tetap tercatat di sisi Allah dan akan dihadapinya kelak di hari akhirat.
***
Tersebut di dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW
pernah mengatakan bahwa Surat "Idza Zulzilati" adalah setimbang dengan separuh Al-Qur'an, dan "Qul Huwallaahu Ahad"
setimbang dengan sepertiga Al-Qur'an, dan "Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna" setimbang dengan seperempat Al-Qur'an.
Marilah kita camkan dalam fikiran dan perenungan kita mengapa Rasulullah menilai ketiga Surat ini demikian. Tentu banyak kebaikan di dalamnya .
Tafsir Ibnu Katsir | Az-Zalzalah | 99 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:1|
وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا
wal-'aadiyaati dhob-ḥaa
Demi kuda perang yang berlari kencang terengah-engah,
By the racers, panting,
(Demi yang berlari kencang) di dalam perang, yaitu kuda yang lari dengan kencangnya di dalam peperangan (dengan terengah-engah) lafal Adh-Dhabhu artinya suara napas kuda sewaktu berlari kencang.
KEPENTINGAN KUDA DI MEDAN PERANG
Nama Surat ini ialah Al-'Adiyat, yang berarti kuda-kuda yang berlari kencang. Maka tersebutlah dalam ayat yang pertama bagaimana keistimewaan kuda itu: "Demi yang berlari kencang terengah-engah." (ayat 1).
Dalam penyerbuan mengejar musuh yang hebat dahsyat itu kelihatanlah bagaimana pentingnya kendaraan atau angkatan berkuda (Cavalerie).
Kuda itu dipacu dengan penuh semangat oleh yang mengendarainya, sehingga dia berlari kencang sampai mendua,
artinya sudah sama derap kedua kaki muka dan kedua kaki belakang, bukan lagi menderap.
Sehingga berpadulah semangat yang mengendarai dengan semangat kuda itu sendiri; kedengaran dari sangat kencang dan jauh larinya,
nafasnya jadi terengah, namun dia tidak menyatakan payah, bahkan masih mau dihalau lagi.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 1 |
Tafsir ayat 1-11
Allah Swt. bersumpah dengan menyebut kuda apabila dilarikan di jalan Allah (jihad), maka ia lari dengan kencangnya dan suara dengus napasnya yang keras saat lari.
{فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا}
dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku teracaknya). (Al-'Adiyat: 2) Yakni suara detak teracaknya ketika menginjak batu-batuan, lalu keluarlah percikan api darinya.
{فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا}
dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-'Adiyat: 3) Yaitu mengadakan serangan di waktu pagi hari, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Beliau mengadakan serangan di waktu subuh;
maka apabila beliau mendengar suara azan di kabilah yang akan diperanginya, beliau mengurungkan niatnya. Dan apabila beliau Saw. tidak mendengar suara azan di kabilah tersebut, maka dilangsungkanlah niatnya. Firman Allah Swt.:
{فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا}
maka ia menerbangkan debu. (Al-'Adiyat: 4) Maksudnya, debu di tempat kuda-kuda mereka sedang beraksi di kancah peperangan.
{فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا}
dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-'Adiyat: 5) Yakni kuda-kuda tersebut berada di tengah-tengah kancah peperangan (mengobrak-abrik barisan musuh). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. (Al-'Adiyat: l)
Yaitu unta; menurut Ali disebutkan unta, dan menurut Ibnu Abbas disebutkan kuda. Dan ketika apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas itu sampai ke telinga Ali, maka ia berkata, "Dalam Perang Badar kami tidak memiliki kuda."
Ibnu Abbas menjawab, bahwa sesungguhnya hal tersebut hanyalah berkenaan dengan pasukan khusus yang dikirimnya. Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Abu Mu'awiyah Al-Bajali, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan kepadanya bahwa ketika aku sedang berada di Hijir Isma'il
tiba-tiba datanglah kepadaku seorang lelaki yang bertanya mengenai makna firman-Nya: Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. (Al-'Adiyat: 1) Maka aku menjawab, bahwa makna yang dimaksud
adalah kuda ketika digunakan untuk menyerang di jalan Allah, kemudian di malam hari diistirahatkan dan mereka membuat makanan (memasak makanan)nya, dan untuk itulah maka mereka menyalakan api
(dapur)nya buat masak. Setelah itu lelaki tersebut pergi meninggalkan diriku menuju ke tempat Ali berada, yang saat itu berada di tempat minum air zamzam (dekat sumur zamzam). Lalu lelaki itu menanyakan kepada Ali
makna ayat tersebut, tetapi Ali r.a. balik bertanya, "Apakah engkau pernah menanyakannya kepada seseorang sebelumku?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, dan ia mengatakan bahwa
makna yang dimaksud adalah kuda ketika menyerang di jalan Allah." Ali berkata, "Pergilah dan panggillah dia untuk menghadap kepadaku." Ketika Ibnu Abbas telah berada di hadapan Ali, maka Ali r.a. berkata, "
Apakah engkau memberi fatwa kepada manusia dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu mengenainya. Demi Allah, sesungguhnya ketika mula-mula perang terjadi di masa Islam (yaitu Perang Badar),
tiada pada kami pasukan berkuda kecuali hanya dua ekor kuda. Yang satu milik Az-Zubair dan yang lainnya milik Al-Miqdad. Maka mana mungkin yang dimaksud dengan al-'adiyati dabhan adalah kuda.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan al-'adiyati dabhan ialah bila berlari dari 'Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina." Ibnu Abbas mengatakan bahwa lalu ia mencabut ucapannya itu dan mengikuti pendapat
yang dikatakan oleh Ali r.a. Dan berdasarkan sanad ini dari Ibnu Abbas dapat disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa menurut Ali, al-'adiyati dabhan bila jarak yang ditempuhnya dari 'Arafah ke Muzdalifah
dan apabila mereka beristirahat di Muzdalifah, maka mereka menyalakan apinya (untuk memasak makanannya). Al-Aufi dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud adalah kuda
Dan ada sejumlah ulama yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah kumpulan unta (yang digunakan untuk kendaraan perang di jalan Allah), di antara mereka adalah Ibrahim dan Ubaid ibnu Umair.
Sedangkan ulama lainnya mengikuti pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, antara lain ialah Mujahid, Ikrimah, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak; dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.Ibnu Abbas dan Ata mengatakan
bahwa tiada yang mengeluarkan suara dengusan napas saat berlari kecuali hanya kuda dan anjing. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ata, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas memperagakan tentang makna ad-dabhu
yaitu suara dengusan napas.Kebanyakan ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan kuda yang mencetuskan bunga api dengan pukulan (kuku kakinya). (Al-'Adiyat: 2) Yakni dengan teracaknya,
dan menurut pendapatyang lain menyebutkan bila kuda-kuda itu menyalakan peperangan di antara para penunggangnya, menurut Qatadah.Telah diriwayatkan dari Mujahid dan Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan kuda yang mencetuskan bunga api dengan pukulan (teracaknya). (Al-'Adiyat: 2) Yaitu menyalakan api untuk tipu muslihat dalam peperangan.
Menurut pendapat yang lain, menyalakan api bila kembali ke tempat tinggal mereka di malam hari. Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah apinya para kabilah.
Dan menurut orang yang menafsirkannya dengan kuda mengartikannya dengan pengertian menyalakan api di Muzdalifah.Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah yang pertama.
Yaitu yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kuda ketika memercikkan bunga api dari kaki teracaknya saat berlari kencang dan beradu dengan batu-batuan.Firman Allah Swt.:
{فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا}
dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-'Adiyat: 3) Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah pasukan berkuda yang menyerang di pagi hari buta di jalan Allah.
Dan menurut ulama yang menafsirkannya dengan unta, makna yang dimaksud ialah berangkat di waktu subuh dari Muzdalifah ke Mina. Dan mereka semuanya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
{فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا}
maka ia menerbangkan debu. (Al-'Adiyat: 4) Yakni tempat yang kuda-kuda dan unta-unta itu berada, baik dalam ibadah haji maupun dalam jihad, debu-debu beterbangan karenanya. Firman Allah Swt.:
{فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا}
dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-'Adiyat: 5) Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan Ad-Dahhak (yang semuanya dari Ibnu Abbas), bahwa makna yang dimaksud ialah
kumpulan pasukan musuh yang kafir. Dapat pula ditakwilkan dengan pengertian bahwa kuda-kuda itu berkumpul di tengah-tengah tempat medan pertempuran. Dengan demikian, berarti lafaz jam'ah di-nasab-kan
menjadi hal (kata keterangan keadaan) yang menguatkan makna wasata. Abu Bakar Al-Bazzar sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah hadis yang garib sekali. Untuk itu ia mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Jami', telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
mengirimkan pasukan berkuda, maka berlalulah masa satu bulan tanpa ada kabar beritanya. Lalu turunlah firman Allah Swt.: Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. (Al-'Adiyat: 1)
Yakni menghentak-hentakkan kakinya dengan cepat dalam larinya. dan kuda yang mencetuskan bunga api dengan pukulan (teracaknya). (Al-'Adiyat: 2) Artinya, teracaknya memercikkan bunga-bunga api karena menginjak bebatuan,
seperti halnya batu pemantik api apabila diadukan. dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. (Al-'Adiyat: 3) Yaitu menyerang musuh di pagi buta dengan serangan yang mengejutkan. maka ia menerbangkan debu. (Al-'Adiyat: 4)
Yakni debu beterbangan karena injakan teracak-teracaknya. dan menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh. (Al-'Adiyat: 5) Maksudnya, menyerbu ke tengah-tengah kantong musuh semuanya di waktu pagi buta.Firman Allah Swt:
{إِنَّ الإنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ}
sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. (Al-'Adiyat: 6) Inilah subjek sumpahnya, dengan pengertian bahwa sesungguhnya manusia itu benar-benar mengingkari nikmat-nikmat
Tuhannya.Ibnu Abbas, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Abul Jauza, Abul Aliyah, Abud Duha, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Qais, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ibnu Zaid telah mengatakan bahwa
al-kanud artinya pengingkar. Al-Hasan mengatakan bahwa al-kanud artinya orang yang mengingat-ingat musibah dan melupakan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari Ja'far ibnuz Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya. (Al-'Adiyat: 6) Beliau bersabda, bahwa al-kanud artinya orang yang makan sendirian
dan memukul budaknya serta menolak kehadirannya. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui jalur Ja'far ibnuz Zubair, tetapi dia orangnya tidak terpakai hadisnya,
dan sanad hadis ini lemah.Ibnu Jarir telah meriwayatkannya pula melalui hadis Hirriz ibnu USmam, dari Hamzah ibnu Hani', dari Abu Umamah secara mauquf. Firman Allah Swt.:
{وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ}
dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-'Adiyat: 7) Qatadah dan Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa sesungguhnya Allah benar-benar menyaksikan hal tersebut.
Dapat pula ditakwilkan bahwa damir yang ada merujuk kepada manusia, ini menurut Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Dengan demikian, berarti maknanya ialah sesungguhnya manusia itu benar-benar
menyaksikan sendiri (mengakui) akan keingkaran dirinya melalui sepak terjangnya, yakni terlihat jelas hal itu dari ucapan dan perbuatannya, sebagaimanayangdisebutkan dalam firman-Nya:
مَا كانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَساجِدَ اللَّهِ شاهِدِينَ عَلى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ
Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. (At-Taubah: 17) Adapun firman Allah Swt.:
{وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ}
dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-'Adiyat: 8) Yakni sesungguhnya kecintaannya kepada harta benda benar-benar sangat berat. Sehubungan dengan makna ayat ini, ada dua pendapat
pendapat pertama mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu sangat mencintai harta. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa sesungguhnya karena kecintaannya kepada harta, dia menjadi seorang yang kikir.
Kedua makna sama-sama benarnya. Kemudian Allah Swt. menganjurkan kepada manusia untuk berzuhud terhadap duniawi dan menganjurkan mereka untuk menyukai pahala akhirat.
Yang hal ini diungkapkan-Nya melalui peringatan terhadap mereka tentang apa yang akan terjadi sesudah kehidupan dunia ini, yaitu banyak peristiwa yang menakutkan yang akan dihadapinya.
{أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ}
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur? (Al-'Adiyat: 9) Maksudnya, dikeluarkan orang-orang yang telah mati dari dalam kuburnya.
{وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ}
dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada. (Al-'Adiyat: 10) Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah apabila dilahirkan dan ditampakkan apa yang selama itu mereka sembunyikan dalam diri dan hati mereka.
{إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ}
sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itn Maha Mengetahui keadaan mereka. (Al-'Adiyat: 11) Tuhan mereka benar-benar mengetahui semua yang diperbuat dan yang dikerjakan oleh mereka,
dan Dia kelak akan membalaskannya terhadap mereka dengan balasan yang sempurna; Dia tidak akan berbuat aniaya barang seberat zarrah pun terhadap seseorang.
Surat Al-Adiyat |100:2|
فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا
fal-muuriyaati qod-ḥaa
dan kuda yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku kakinya),
And the producers of sparks [when] striking
(Dan demi yang mencetuskan api) maksudnya kuda yang memercikkan api (dengan pukulan) teracak kakinya apabila ia berlari di tanah yang banyak batunya pada malam hari.
"Yang memancarkan api." (ayat 2). Dalam lari yang sangat kencang itu, terutama di waktu dinihari kelihatanlah memancar api dari ladamnya ketika terantuk jalan keras.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:3|
فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا
fal-mughiirooti shub-ḥaa
dan kuda yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu pagi,
And the chargers at dawn,
(Dan demi yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi) yaitu kuda yang menyerang musuh di waktu pagi, karena pengendaranya melakukan penyerbuan di waktu tersebut.
"Yang menyerang waktu subuh" Dalam lari yang sangat kencang itu, terutama di waktu dinihari kelihatanlah memancar api dari ladamnya ketika ladam itu terantuk batu:
"Yang menyerang di waktu Subuh." (ayat 3). Yaitu di waktu musuh sedang lengah atau lalai atau mengantuk, sehingga angkatan perang itu datang saja dengan tiba-tiba laksana dijatuhkan dari langit.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:4|
فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا
fa aṡarna bihii naq'aa
sehingga menerbangkan debu,
Stirring up thereby [clouds of] dust,
(Maka ia menerbangkan) atau mengepulkan (di waktu itu) di waktu tersebut, atau di tempat ia berlari (debu) karena gerakannya yang sangat keras.
"Yang membangkitkan padanya” yaitu pada waktu Subuh itu "debu-duli.” (ayat 4). Biasanya di waktu Subuh, embun masih membasahi bumi. Barulah embun itu akan hilang setelah matahari naik.
Tetapi oleh karena hebat penyerangan angkatan perang berkuda itu, karena kencang lari kuda-kudanya,
yang menerbitkan cetusan api karena pergeseran ladamnya dengan batu, debu-duli naiklah ke udara. Sehingga berkabutlah tempat itu, tidak ada yang kelihatan lagi, menyebabkan orang yang diserang kebingungan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:5|
فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا
fa wasathna bihii jam'aa
lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
Arriving thereby in the center collectively,
(Dan menyerbu dalam kepulan debu ke tengah-tengah) artinya dengan membawa kepulan debu (kumpulan musuh) yang diserangnya; maksudnya kuda-kuda tersebut berada di tengah-tengah musuh dalam keadaan menyerang.
Lafal Fawasathna yang kedudukannya sebagai Fi'il di'athafkan kepada Isim, karena mengingat bahwa semua Isim yang di'athafkan kepadanya mengandung makna Fi'il pula. Yakni demi yang berlari kencang, lalu mencetuskan api, lalu menerbangkan debu.
"Yang menyerbu ke tengah kumpulan (musuh)." (ayat 5). Yaitu kumpulan musuh. Dengan lima ayat itu, dengan bahasa yang indah, bahasa Tuhan sendiri,
digambarkanlah betapa hebatnya penyerangan dan penyerbuan dengan kuda. Dan dengan sendirinya ayat ini memberikan
penghargaan yang amat tinggi kepada kuda di medan perang yang dinamai khail! Malahan di dalam Surat Al-Anfal,
Surat 8 ayat 60 ada suruhan yang terang dan tegas kepada mujahidin Islam mencukupkan persediaan alat perang,
di antaranya ialah kuda (khail) tidaklah ketinggalan. Dan di dalam perang yang telah modern sekarang ini pun,
dengan tank-tank berlapis baja, namun angkatan perang berkuda masih tetap dipandang penting.
Di dalam ayat keempat kita artikan bahwa penyerbuan tentara berkuda itu menerbitkan debu-duli yang naik ke udara menimbulkan kelam kabut.
Setengah ahli tafsir mengartikan Naq'an yang kita artikan debu itu dengan sorak-sorai.
Ini pun suatu tafsir yang juga dapat diterima. Karena kadang-kadang suara sorak sorai sebagai lambang dalam perang sangat besar kesannya untuk mematahkan semangat musuh.
Tentara Jepang waktu menduduki Indonesia, terkenal dengan soraknya yang dihajan dari pusat dan menimbulkan takut yang mendengar.
Dalam kitab "Tuhfatun-Nafis" karangan Raja Ali Haj Riau, beliau menerangkan bahwa tentara Bugis apabila menyerbu musuh mereka itu mengkaruk,
yaitu bertampik-sorak yang dahsyat. Mujahidin di Aceh ketika berperang dengan Belanda di akhir Abad ke 19
sampai permulaan Abad Kedua Puluh (1902) menyorakkan "La Ilaha Illallah" atau "Allahu Akbar" di tengah hutan balantara tengah bergerilya.
Tentara Belanda mengakui terus-terang bahwa mereka takut mendengarkan tahlil dan takbir yang dijadikan semboyan perang itu.
Tentara Turki dalam Perang Korea di bawah komando MacArthur pun tidak pernah meninggalkan semboyan Allahu Akbar dalam perang.
Dengan kelima ayat itu Allah membuat sumpah, agar kuda jangan diabaikan oleh kaum Muslimin dalam perang.
Dan Rasulullah SAW sendiri setelah mulai hijrah ke Madinah, salah satu perintah harian beliau ialah menyuruh sahabat-sahabatnya memelihara kuda untuk perang.
Pembahagian ghanimah (harta rampasan), kalau bagi seorang yang berjalan kaki dapat satu, maka bagi yang berkuda dapat empat bahagian.
Lantaran itu menjadi kesukaan turun-temurunlah bagi bangsa Arab memlihara kuda dan terkenallah ketangkasan bentuk kuda Arab di seluruh dunia sampai kepada zaman sekarang ini.
Setelah Tuhan bersumpah dengan memakai kuda kendaraan di dalam perang, yang gagah perkasa menyerbu musuh di tengah malam,
sehingga dari ladam kuda itu timbul api dan bekas hebat serbuannya menimbulkan debu-duli, datanglah tujuan inti sumpah pada ayat yang keenam, yaitu:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:6|
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ
innal-insaana lirobbihii lakanuud
sungguh, manusia itu sangat ingkar, (tidak bersyukur) kepada Tuhannya,
Indeed mankind, to his Lord, is ungrateful.
(Sesungguhnya manusia itu) yang dimaksud adalah manusia yang kafir (sangat ingkar kepada Rabbnya) artinya ia mengingkari semua nikmat-Nya yang telah dilimpahkan kepadanya.
"Sesungguhnya manusia terhadap Tuhannya tidaklah berterima kasih." (ayat 6). Arti kanuud ialah tidak berterima kasih, pelupakan jasa.
Berapa saja nikmat diberikan Tuhan diterimanya dan dia tidak merasa puas dengan yang telah ada itu,
bahkan masih meminta tambahnya lagi. Nafsunya tidak pernah merasa cukup kenyang, yang ada tidak disyukurinya,
bahkan dia mengomel mengapa sedikit, dan yang datang terlebih dahulu dilupakannya.
Abu Amamah berkata: "Mana yang telah dia dapat, dia makan sendiri dan tidak diberinya orang lain.
Hambasahayanya dipukulinya dan orang-orang yang berhajat tidak diperdulikannya."Banyaklah manusia yang bersifat demikian.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:7|
وَإِنَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ
wa innahuu 'alaa żaalika lasyahiid
dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya,
And indeed, he is to that a witness.
(Dan sesungguhnya manusia itu terhadap hal tersebut) terhadap keingkarannya (menyaksikan sendiri) atau dia menyaksikan bahwa dirinya telah berbuat ingkar.
"Dan sesungguhnya dia, atas yang demikian itu, adalah menyaksikan sendiri." (ayat 7). Artinya, bahwasanya tingkah laku dan sikap hidup orang
yang tidak berterima kasih kepada Tuhan itu mudah saja diketahui oleh orang lain, karena orang yang begitu tidaklah dapat menyembunyikan perangainya yang buruk itu
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:8|
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
wa innahuu liḥubbil-khoiri lasyadiid
dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.
And indeed he is, in love of wealth, intense.
(Dan sesungguhnya karena cintanya kepada kebaikan) maksudnya cinta atas harta benda (dia sangat bakhil) artinya lantaran sangat mencintai harta, jadilah ia seorang yang amat bakhil atau kikir.
"Dan sesungguhnya dia, karena cintanya kepada harta, adalah terlalu." (ayat 8). Yang dimaksud dengan terlalu di sini ialah sangat bakhil. Mana yang telah masuk tidak boleh keluar lagi.
Dipertalikan di antara ayat 7 dengan ayat 8 yaitu tingkah laku orang itu dapat saja dilihat orang, dan lekas dapat diketahui.
Takut didekati orang karena takut orang akan datang meminta. Sampai kadang-kadang pada manis mulutnya kepada orang,
sampai kepada caranya berburuk-buruk supaya jangan diketahui orang bahwa dia kaya,
semuanya itu adalah menunjukkan ciri-ciri orang bakhil. Kadang-kadang terompahnya yang patut ditukar sekali setahun,
sudah lima tahun tidak ditukarnya dan hanya ditambal-tambalnya saja.
Yang sangat padanya ialah mementingkan diri sendiri dan yang lemah adalah hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia.Ayat selanjutnya ialah ancaman hari depan bagi orang demikian.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:9|
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ
a fa laa ya'lamu iżaa bu'ṡiro maa fil-qubuur
Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan,
But does he not know that when the contents of the graves are scattered
(Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan) dibangunkan dan dikeluarkan (apa yang ada dalam kubur) yakni orang-orang mati yang dikubur di dalamnya.
"Apakah dia tidak tahu?" (pangkal ayat 9). Apakah dia tidak mendengar? Apakah tidak sampai kepadanya pengajaran yang disampaikan oleh Rasul,
bahwa hidup ini bukanlah sehingga dunia sahaja? Dan setelah manusia mati harta bendanya itu tidak akan dibawa? Malahan kelak akan tiba masanya:
"Apabila dibongkar apa yang ada dalam kubur?" (ujung ayat 9). Artinya bahwa semua makhluk yang telah mati akan dibangkitkan kembali dari kuburnya karena akan dihisab,
karena akan diperhitungkan amalan yang telah dibawanya untuk hidupnya di akhirat.
Dan akan ditanyai dari mana didapatnya hartanya yang banyak dan dipertahankannya mati-matian sampai menjadi bakhil itu, dan ke mana dibelanjakannya?
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 9 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:10|
وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ
wa hushshila maa fish-shuduur
dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan?
And that within the breasts is obtained,
(Dan dilahirkan) atau ditampakkan dan dikeluarkan (apa yang ada dalam dada) maksudnya, apa yang tersimpan di dalam kalbu berupa kekafiran dan keimanan.
"Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada-dada?" (ayat 10). Maka segala rahasia yang tersembunyi selama hidup dahulu,
entah harta-benda yang banyak itu didapat dari menipu, mencuri, berbohong, laku curang, korupsi, manipulasi,
semuanya akan terbongkar, sehingga jatuh hinalah diri di hadapan khalayak ramai di Padang Mahsyar.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 10 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Adiyat |100:11|
إِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَخَبِيرٌ
inna robbahum bihim yauma`iżil lakhobiir
Sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui terhadap keadaan mereka.
Indeed, their Lord with them, that Day, is [fully] Acquainted.
(Sesungguhnya Rabb mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka) karena itu Dia akan memberikan balasan kepada mereka atas kekafiran mereka.
Di sini Dhamir diulangi penyebutannya dalam bentuk jamak, hal ini tiada lain karena memandang segi makna yang dikandung lafal Al-Insaan.
Jumlah ayat ini menunjukkan pengertian Maf'ul bagi lafal Ya'lamu; artinya sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepadanya pada saat itu.
Berta'alluqnya lafal Khabiirun kepada lafal Yaumaidzin memberikan pengertian, bahwa hari itu adalah hari pembalasan, karena sesungguhnya Allah selama-lamanya Maha Mengetahui.
"Sesungguhnya Tuhan mereka, terhadap mereka, di hari itu adalah Amat Mengetahui." (ayat 11).
Tidaklah dapat berbohong lagi, atau bersenda-gurau dan main-main (lahwun wa la'ibun) sebagai di dunia, karena semua rahasia sudah ada di tangan Tuhan.
Maka marilah berlindung kepada Allah, moga-moga penyakit demikian jangan menimpa diri kita: Amin!
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Adiyat | 100 : 11 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:1|
الْقَارِعَةُ
al-qoori'ah
Hari Kiamat,
The Striking Calamity -
(Hari kiamat) dinamakan Al-Qaari'ah karena kengerian-kengerian yang terjadi di dalamnya sangat menggentarkan kalbu.
"Penggeger." (ayat 1). Kita sudah sama maklum apa arti geger; semua orang menjadi geger, kelibut, heboh, kacau-balau,
hoyong ke sana hoyong ke mari. Geger artinya begoncang perasaan karena ketakutan dan kecemasan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 1 |
Tafsir ayat 1-11
Al-Qari'ah adalah nama lain dari hari kiamat, seperti Al-Haqqah, At-Tammah, As-Sakhkhah, Al-Ghasyiyah, dan lain-lainnya. Kemudian Allah Swt. menggambarkan tentang kedahsyatan dan kengeriannya melalui firman-Nya:
{وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ}
Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? (Al-Qari'ah: 3) Kemudian ditafsirkan oleh firman berikutnya:
{يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ}
(yaitu) pada hari manusia seperti anai-anai yang bertebaran. (Al-Qari'ah:4) Yakni mereka bertebaran bercerai-berai ke sana dan kemari karena kebingungan menghadapi huru-hara
yang sangat menakutkan di hari itu, sehingga mereka mirip dengan anai-anai yang bertebaran. Hal yang sama digambarkan oleh Allah Swt. melalui ayat lainnya:
كَأَنَّهُمْ جَرادٌ مُنْتَشِرٌ
seakan-akan mereka belalang yang beterbangan. (Al-Qamar: 7) Adapun firman Allah Swt.:
{وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ}
dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Al-Qari'ah: 5) Gunung-gunung di hari itu seakan-akan seperti bulu domba yang diawut-awut hingga menjadi beterbangan. berfirman,
menceritakan apa yang akan dialami oleh orang-orang yang beramal dan tempat kembali mereka berpulang yang adakalanya di tempat yang terhormat dan adakalanya pula di tempat yang terhina sesuai dengan amal perbuatan masing-masing.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ}
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya. (Al-Qari'ah: 6) Maksudnya, timbangan amal kebaikannya lebih berat daripada timbangan amal keburukannya.
{فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ}
maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. (Al-Qari'ah: 7) Yakni berada di dalam surga.
{وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ}
Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya. (Al-Qari'ah: 8) Yaitu timbangan amal keburukannya lebih berat daripada timbangan amal kebaikannya. Firman Allah Swt.:
{فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ}
maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (Al-Qari'ah: 9)Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah terjatuh ke dalam neraka dengan kepala di bawah, yaitu neraka Jahanam. Lalu diungkapkan dengan
ummihi yang artinya otaknya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Abu Saleh, dan Qatadah. Qatadah mengatakan bahwa orang itu terjatuh ke dalam neraka dengan kepala di bawah.
Hal yang sama dikatakan oleh Abu Saleh, bahwa mereka terjatuh ke dalam neraka dengan kepala di bawah.Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah tempat asal yang menjadi tempat kembalinya dan
tempat ia berpulang adalah Hawiyah, yaitu nama lain dari neraka. Ibnu Jarir mengatakan bahwa sesungguhnya dikatakan Hawiyah sebagai tempat kembalinya, tiada lain karena tiada kembali baginya kecuali hanya
kepadanya. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Hawiyah adalah neraka yang merupakan tempat kembali dan tempat berpulang bagi orang yang amal keburukannya lebih berat daripada amal kebaikannya.
Lalu Ibnu Zaid membacakan firman-Nya: sedangkan tempat tinggal mereka (di akhirat) adalah neraka. (An-Nur: 57) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Qatadah;
ia telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah neraka,dan neraka itu adalah tempat mereka kembali. Karena itulah maka ditafsirkan dalam firman berikutnya menjelaskan tentang Hawiyah, yaitu.
{وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ}
dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (Al-Qari'ah: 10-11) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur,
dari Ma'mar, dari Al-Asy'as ibnu Abdullah yang tuna netra; dia telah mengatakan bahwa apabila orang mukmin meninggal dunia, maka rohnya dibawa menuju ke tempat arwah kaum mukmin.
Dan mereka mengatakan, "Buatlah saudara kalian senang, karena sesungguhnya dia dahulu selalu berada dalam kesusahan di dunia." Lalu mereka bertanya kepadanya, "Apakah yang dilakukan oleh si Fulan?"
Maka ia menjawab, "Dia telah mati, bukankah dia telah datang kepada kalian?" Mereka berkata, "Kalau begitu, dia dibawa ke tempat kembalinya di Hawiyah."Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur Anas ibnu Malik
secara marfu' dengan teks yang lebih panjang daripada ini yang telah kami kemukakan di dalam kitab Sifalun Ncir, semoga Allah melindungi kitadari neraka dengan kemurahan dan karunia-Nya. Firman Allah Swt:
{نَارٌ حَامِيَةٌ}
(Yaitu) api yang sangat panas. (Al-Qari'ah: 11) Yakni sangat panas lagi sangat kuat nyala dan gejolak apinya.
قَالَ أَبُو مُصْعَبٍ، عَنْ مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "نَارُ بَنِي آدَمَ الَّتِي تُوقدون جزء من سبعين جزء مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةً. فَقَالَ: "إِنَّهَا فُضِّلَت عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزءًا"
Abu Mus'ab telah meriwayatkan dari Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Api Bani Adam yang biasa kalian nyalakan merupakan satu bagian dari tujuh puluh
bagian api neraka Jahanam. Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, itu pun sudah mencukupi kebutuhan." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya api neraka itu lebih unggul di atasnya dengan enam puluh sembilan bagian.
وَرَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي أُوَيْسٍ، عَنْ مَالِكٍ. وَرَوَاهُ مُسْلِمٌ عن قُتيبة، عن المغيرة ابن عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي الزِّناد، بِهِ وَفِي بَعْضِ أَلْفَاظِهِ: "أَنَّهَا فُضلت عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا، كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا".
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ismail ibnu Abu Uwais, dari Malik. Dan Imam Muslim meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Al-Mugirah ibnu Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad dengan sanad yang sama.
Dan pada sebagian lafaznya disebutkan: Sesungguhnya api neraka itu lebih unggul daripada api dunia dengan enam puluh sembilan kali lipatnya, yang masing-masing bagian sama panasnya sama dengan panas api dunia.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ -وَهُوَ ابْنُ سَلَمَةَ-عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ-سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " نَارُ بَنِي آدَمَ الَّتِي تُوقِدُونَ، جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ". فَقَالَ رَجُلٌ: إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةً. فَقَالَ: "لَقَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا حَرًّا فَحَرًّا"
Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Abu Ziyad; ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Abul Qasim alias Nabi Saw. bersabda: Api Bani Adam yang biasa kalian nyalakan merupakan suatu bagian dari tujuh puluh bagian api neraka Jahanam. Lalu seorang lelaki berkata,
"Sesungguhnya satu bagian itu pun benar-benar sudah cukup."Maka Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya api neraka Jahanam itu lebih panas daripada api dunia dengan
enam puluh sembilan kali kelipatannya, bagian demi bagiannya. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan cara munfarid melalui jalur ini, tetapi dengan syarat Muslim.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزِّيَادِ عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَعَمْرٍو، عَنْ يَحْيَى بْنِ جَعْدة-: "إِنَّ نَارَكُمْ هَذِهِ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ، وَضُرِبَتْ بِالْبَحْرِ مَرَّتَيْنِ، وَلَوْلَا ذَلِكَ مَا جَعَلَ اللَّهُ فِيهَا مَنْفَعَةً لِأَحَدٍ"
Imam Ahmad telah meriwayatkan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. Dan juga Amr, dari Yahya ibnu Ja'dah:
Sesungguhnya api kalian ini merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian api neraka Jahanam. Ia telah dicelupkan ke dalam laut sebanyak dua kali; seandainya tidak demikian,
niscaya Allah tidak akan menjadikan padanya suatu manfaatpun bagi seseorang. Ini dengan syarat Sahihain, tetapi mereka tidak ada yang mengetengahkannya dari jalur ini.
Imam Muslim telah meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui suatu jalur. Al-Bazzar meriwayatkannya melalui hadis Abdullah ibnu Mas'ud dan Abu Sa'id Al-Khudri:
"نَارُكُمْ هَذِهِ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا"
Api kalian ini merupakan suatu bagian dari tujuh puluh bagian.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ -هُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ-عَنْ سُهَيل عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُريرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "هَذِهِ النَّارُ جُزْءٌ مِنْ مِائَةِ جُزْءٍ مِنْ جَهَنَّمَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad Ad-Darawardi, dari Sahl, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Api ini merupakan suatu bagian dari seratus bagian api neraka Jahanam.Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid dari jalur ini, tetapi harus dengan syarat Muslim pula.
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَمْرٍو الْخَلَّالُ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ، حَدَّثَنَا مَعْن بْنُ عِيسَى الْقَزَّازُ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَمّه أَبِي سُهَيل، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُريرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتُدْرُونَ مَا مَثَلُ نَارِكُمْ هَذِهِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ؟ لَهِيَ أَشَدُّ سَوَادًا مِنْ دُخَانِ نَارِكُمْ هَذِهِ بِسَبْعِينَ ضِعْفًا"
Abul Qasim Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr Al-Khallal, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir Al-Hizami, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Isa Al-Qazzaz,
dari Malik, dari pamannya Abu Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tahukah kalian bagaimana perumpamaan api kalian ini bila dibandingkan dengan api neraka Jahanam.
Sesungguhnya api neraka Jahanam itu lebih hitam asapnya daripada api kalian ini dengan tujuh puluh kali lipatnya. Abu Mus'ab telah meriwayatkannya dari Malik, tetapi ia tidak me-rafa '-kannya. Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah
telah meriwayatkan:
عَنْ عَبَّاسٍ الدَّوريّ، عَنْ يَحْيَى ابْنِ أَبِي بُكَيْر: حَدَّثَنَا شَرِيكٍ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أُوقِدَ عَلَى النَّارِ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى احْمَرَّتْ، ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ، ثُمَّ أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ، فَهِيَ سَوْدَاءُ مُظْلِمَةٌ"
dari Abbas Ad-Dauri, dari Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Asim, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang meiigatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Api neraka dinyalakan
selama seribu tahun hingga memerah, kemudian dinyalakan lagi selama seribu tahun hingga memutih, kemudian dinyalakan lagi selama seribu tahun hingga menghitam, maka api neraka itu hitam lagi gelap.
Hadis ini telah diriwayatkan pula melalui Anas dan Umar ibnul Khattab. Dan telah disebutkan di dalam hadis yang ada pada Imam Ahmad:
مِنْ طَرِيقِ أَبِي عُثْمَانَ النَّهدي، عَنْ أَنَسٍ -وَأَبِي نَضْرَةَ العَبْديّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وعَجْلان مَوْلَى المُشْمَعّل، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ"
melalui jalur Abu Usman An-Nahdi, dari Anas, dari Abu Nadrah Al-Ma'badi, dari Abu Sa'id dan Ajlan maula Al-Musyma'il, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya ahli neraka yang paling ringan
azabnya ialah seseorang yang mengenakan sepasang terompah, yang otaknya mendidih karenanya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"اشْتَكَتِ النَّارُ إِلَى رَبِّهَا فَقَالَتْ: يَا رَبِّ، أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا، فَأَذِنَ لَهَا بنَفَسين: نَفَسٌ فِي الشِّتَاءِ، وَنَفَسٌ فِي الصَّيْفِ. فَأَشُدُّ مَا تَجِدُونَ فِي الشِّتَاءِ مِنْ بَرْدِهَا، وَأَشَدُّ مَا تَجِدُونَ فِي الصَّيْفِ مِنْ حَرِّهَا"
Neraka mengadu kepada Tuhannya, untuk itu ia berkata, "Ya Tuhanku, sebagian dariku memakan sebagian yang lainnya, " maka diberi izin baginya untuk mengeluarkan dua kali hembusan napasnya; sekali di musim dingin dan yang sekali lagi
di musim panas. Maka yang sangat dingin yang kamu jumpai di musim dingin bersumber darinya. Dan panas yang amat terik yang kamu jumpai di musim panas, bersumber dari panasnya. Di dalam kitab Sahihain disebutkan:
"إِذَا اشْتَدَّ الْحُرُّ فَأَبْرِدُوا عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيح جَهَنم"
Apabila panas sangat terik, maka tunggulah sampai panasnya menurun dan jangan salat dahulu, karena sesungguhnya panas yang memuncak itu merupakan embusan dari neraka Jahanam.
Surat Al-Qariah |101:2|
مَا الْقَارِعَةُ
mal-qoori'ah
apakah hari Kiamat itu?
What is the Striking Calamity?
(Apakah hari kiamat itu) ungkapan ini menggambarkan tentang kengeriannya; ayat yang pertama dan ayat yang kedua merupakan Mubtada dan Khabarnya.
"Apakah penggeger itu?" (ayat 2). Kita artikan Al-Qari'ah, isim fail itu dengan penggeger, karena dia yang menimbulkan kegegeran pada manusia. Dia yang menjadi punca dan sebab.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:3|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
wa maaa adrooka mal-qoori'ah
Dan tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
And what can make you know what is the Striking Calamity?
(Tahukah kamu) atau apakah kamu tahu (apakah hari kiamat itu) ungkapan ayat ini menambah kengerian yang terdapat di hari kiamat.
Lafal Maa yang pertama adalah Mubtada sedangkan lafal sesudahnya yaitu lafal Adraaka merupakan Khabarnya; dan Maa yang kedua berikut Khabarnya berkedudukan sebagai Maf'ul kedua dari lafal Adraa.
"Sudah tahukah engkau, apakah penggeger itu?" (ayat 3). Sudah tahukah engkau hai Nabi apakah penggeger itu? Diulang kata geger sampai tiga kali: geger,
geger dan geger! Sehingga bertambahlah perhatian atas dahsyatnya hari itu. Itulah Hari Kiamat! Dan kiamat itu pasti terjadi.
Geger! Sebab segala sesuatu berobah; langit akan belah (82:1), bahkan akan hancur (84:1). Matahari akan digulung,
bintang-bintang akan gugur, gunung-gunung akan hapus rata, unta bunting tidak diperdulikan lagi,
binatang-binatang buas pun telah berkumpul, air laut menggelegak naik (81:1 sampai 6) dan beberapa ayat dan Surat yang lain. Itulah yang menjadikan semuanya menjadi geger dan kacau-balau.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:4|
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
yauma yakuunun-naasu kal-faroosyil-mabṡuuṡ
Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan,
It is the Day when people will be like moths, dispersed,
(Pada hari itu) dinashabkan oleh lafal yang disimpulkan dari pengertian yang terkandung di dalam lafal Al-Qaari'ah yakni lafal Taqra'u,
artinya pada hari yang menggentarkan itu (manusia adalah seperti anai-anai yang dihambur-hamburkan) atau seakan-akan belalang-belalang yang dihambur-hamburkan; sebagian di antaranya terbang beriring-iringan dengan yang lainnya secara semrawut.
Demikian itu karena mereka dalam keadaan kebingungan, hal ini terus berlangsung hingga mereka dipanggil untuk menjalani perhitungan amal perbuatan.
"Di hari yang adalah manusia seakan-akan rama-rama yang bertebaran." (ayat 4). Bertebaran manusia, atau seakan-akan rama-rama yang bertebaran, beterbangan, tidak tentu lagi tempat hinggap,
karena rumah-rumah tempat tinggal manusia pun telah digoncang dihancurkan oleh gempa bumi yang amat dahsyat.
Diambil perumpamaan dengan rama-rama, karena rama-rama itu adalah lemah, dan manusia di waktu itu sudah sangat kelihatan lemahnya, tidak berdaya lagi untuk mempertahankan diri, untuk mempertahankan hidup.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:5|
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
wa takuunul-jibaalu kal-'ihnil-manfuusy
dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
And the mountains will be like wool, fluffed up.
(Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan) atau bagaikan wool yang terhambur-hamburkan, karena ringannya, sehingga jatuh kembali rata dengan tanah.
"Dan adalah gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan." (ayat 5). Tegaslah dalam ayat ini, dan disebutkan juga dalam ayat yang lain bahwa gunung tidak ada artinya lagi sebagai pemagar angin yang akan menyapu muka bumi.
Gempa bumi itu ada hubungannya dengan letusan yang ada di dalam perut bumi. Lahar meletus bersama api dari puncak kepundan gunung-gunung yang berapi selama ini,
dan gunung-gunung lain yang selama ini kelihatan tidak berapi. Lahar yang panas itu melonjak bertebar dan mengalir laksana bulu yang dihamburkan. Itulah Kiamat! Sebagaimana telah diterangkan juga pada Surat 99, Az-Zalzalah,
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:6|
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
fa ammaa man ṡaqulat mawaaziinuh
Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
Then as for one whose scales are heavy [with good deeds],
(Dan adapun orang yang berat timbangannya) artinya amal kebaikannya lebih berat daripada amal keburukannya.
"adapun siapa yang berat timbangannya." (ayat 6). Yaitu berat kebaikannya, lebih banyak amal baiknya dan berguna.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:7|
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ
fa huwa fii 'iisyatir roodhiyah
maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang).
He will be in a pleasant life.
(Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan) yaitu berada di dalam surga; atau dengan kata lain kehidupan yang diterimanya itu sangat memuaskannya.
"Maka dia itu adalah dalam kehidupan yang diridhai." (ayat 7).Itulah kehidupan di dalam syurga yang telah disediakan Tuhan untuknya.
Berlakulah atas dirinya panggilan Tuhan yang telah disampaikan sejak dia masih hidup, dan penggilan itu diturutinya,
sebagai termaktub di akhir Surat "Al-Fajr" (89 : ayat 27 sampai 30). Bahwa Nafsul-Muthmainnah telah dipanggil oleh Tuhan supaya kembali kepada-Nya,
dalam keadaan ridha dan diridhai, masuk ke dalam kelompok hamba-hamba Tuhan yang setia dan masuk dengan selamat ke dalam syurga yang telah disediakan Tuhan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:8|
وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
wa ammaa man khoffat mawaaziinuh
Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
But as for one whose scales are light,
(Dan adapun orang yang ringan timbangannya) artinya amal keburukannya lebih berat daripada amal kebaikannya.
"Dan adapun barangsiapa yang ringan timbangannya." (ayat 8). Karena keranjang tidak berisi amal yang akan membawanya selamat di akhirat, kosong daripada kebajikan
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:9|
فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
fa ummuhuu haawiyah
maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah.
His refuge will be an abyss.
(Maka tempat kembalinya) yaitu tempat tinggalnya (adalah neraka Haawiyah.)
"Maka tempat kembalinya ialah jurang yang dalam." (ayat 9). Di dalam ayat ini disebut fa ummuhuu; maka ibunya. Dikatakannya jurang yang dalam itu sebagai ibunya, karena ke sanalah tempat dia pulang dan tidak akan keluar lagi
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 9 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:10|
وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ
wa maaa adrooka maa hiyah
Dan tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?
And what can make you know what that is?
(Dan tahukah kamu, apakah Haawiyah itu) atau apakah neraka Haawiyah itu
. " Dan apakah yang memberitahumu; apakah itu?" (ayat 10). Atau: Sudah adakah yang memberitahu kepadamu
, Muhammad, apakah jurang yang dalam itu, apakah haawiyah itu? Pertanyaan Tuhan seperti ini, laksana pertanyaan guru kepada murid, untuk menarik perhatian
,
dan guru sendirilah kelak yang akan memberikan jawabannya, karena selain dari Allah
dengan perantaraan Malaikat Jibril tidaklah seorang jua pun yang sanggup memberikan pengetahuan tentang yang ghaib kepada Nabi Muhammad SAW. Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Tuhan
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 10 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Qariah |101:11|
نَارٌ حَامِيَةٌ
naarun ḥaamiyah
(Yaitu) api yang sangat panas.
It is a Fire, intensely hot.
Neraka Haawiyah itu adalah (api yang sangat panas) yang panasnya luar biasa; huruf Ha yang terdapat pada lafal Hiyah adalah Ha Sakat, baik dalam keadaan Washal ataupun Waqaf tetap dibaca. Tetapi menurut suatu qiraat tidak dibaca bila dalam keadaan Washal.
"Itulah api yang panas!"(ayat 11). Itulah neraka jahannam. Di dalam sebuah Hadis, Shahih Muslim yang diterimanya, daripada Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW pernah mengatakan:
"Apa kamu ini, yang dinyalakan oleh anak Adam adalah satu bahagian daripada 70 bahagian panasnya dari neraka jahannam."
Saiyidina Abu Bakar Shiddiq r.a. seketika membicarakan arti berat dan ringannya timbangan ini pernah berkata
:
"Makanya jadi berat timbangan orang yang berat timbangannya itu ialah karena yang terletak di dalamnya adalah AL-HAQ: Kebenaran."
Maka sudah sepantasnyalah sesuatu timbangan yang di dalamnya berisi KEBENARAN menjadi berat.
Dan makanya ringan timbangan orang yang ringan timbangannya itu, karena yang terletak di dalamnya ialah orang yang BATIL:
Suatu Kesalahan. Maka sudah sepantasnyalah timbangan yang berisi KEBATILAN itu ringan adanya." Menurut pepatah yang terkenal:"Barang yang batil itu tidaklah ada hakikatnya."
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Qariah | 101 : 11 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Takasur |102:1|
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
al-haakumut-takaaṡur
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
Competition in [worldly] increase diverts you
(Telah membuat kalian lalai) atau telah melalaikan kalian dari taat kepada Allah (bermegah-megahan) yaitu saling bangga-membanggakan harta, anak-anak dan pembantu-pembantu.
"Kamu telah diperlalaikan oleh bermegah-megahan." (ayat 1). Kamu telah terlalai, terlengah dan kamu telah terpaling daripada tujuan hidup yang sejati.
Kamu tidak perhatikan lagi kesucian jiwa, kecerdasan akal memikirkan hari depan. Telah lengah kamu daripada memperhatikan hidupmu yang akan mati dan kamu telah lupa perhubunganmu
dengan Tuhan Pencipta seluruh alam dan pencipta dirimu sendiri. Kamu terlalai dan terlengah dari itu semuanya karena kamu telah diperdayakan oleh kemegahan harta-benda.
Sampai kamu berbangga kepada sesamamu manusia: "Aku orang kaya!", "Aku banyak harta", "Aku mempunyai keluarga besar,
banyak anak dan banyak cucu." Padahal kesemuanya itu adalah keduniaan yang fana belaka. "Sehingga kamu melawat ke kubur-kubur." (ayat 2).
Tafsir Ibnu Katsir | At-Takasur | 102 : 1 |
Tafsir ayat 1-8
Allah Swt. berfirman, bahwasanya kalian disibukkan oleh kecintaan kalian kepada duniawi dan kesenangannya serta perhiasannya, sehingga kalian melupakan upaya kalian untuk mencari pahala akhirat dan memburunya.
Dan kalian terus-menerus sibuk dengan urusan duniawi kalian hingga maut datang menjemput kalian dan kalian dimasukkan ke dalam kubur hingga menjadi penghuninya.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الوَقار الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ الدَّايِمِ، عَنِ ابْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ} عَنِ الطَّاعَةِ، {حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ} حَتَّى يَأْتِيَكُمُ الْمَوْتُ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya Al-Waqqad Al-Masri, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Abdud Da-im, dari Ibnu Zaid ibnu Aslam,
dari ayahnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian dari ketaatan, sampai kalian masuk ke dalam liang kubur (sampai maut datang menjemput kalian).
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. (At-Takatsur: 1) Yakni dengan harta dan anak-anak. Di dalam kitab Sahih Bukhari dalam Bab "Raqa'iq'
telah disebutkan hal yang sama dari Al-Hasan Al-Basri. Dan disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik, dari
Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa kami menganggap hal berikut termasuk dari Al-Qur'an sebelum diturunkan firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. (At-Takatsur: 1)
Yang dimaksud adalah sabda Nabi Saw. yang menyebutkan: Seandainya Anak Adam (manusia) mempunyai lembah emas. dan seterusnya hingga akhir hadis.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ مُطْرِّف -يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الله بن الشخير-عن أبيه قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم وَهُوَ يَقُولُ: " {أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ} يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي مَالِي. وَهَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ؟ ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan dari Mutarrif ibnu Abdullah ibnusy Syikhkhir
dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia sampai kepada Rasulullah Saw. yang saat itu beliau Saw. sedang membaca firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (At-Takatsur: 1)
Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ibnu Adam mengatakan, "Hartaku, hartaku.” Tiadalah bagimu dari hartamu selain dari apa yang engkau makan, lain engkau lenyapkan; atau yang engkau pakai, lalu engkau lapukkan;
atau engkau sedekahkan, lalu engkau lanjutkan.Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui jalur Syu'bah dengan sanad yang sama.
قَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا سُوِيدُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ، عَنِ الْعَلَاءِ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ الْعَبْدُ: مَالِي مَالِي؟ وَإِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ: مَا أَكَلَ فَأَفْنَى، أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى، أَوْ تَصَدَّقَ فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ"
Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Suwaid ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Maisarah dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba mengatakan, "Hartaku, hartaku!" Padahal sesungguhnya tiada dari hartanya selain tiga hal, yaitu apa yang telah dimakannya, lalu ia lenyapkan; atau yang ia pakai,
lain ia lapukkan, atau yang ia sedekahkan, lalu ia lanjutkan. Sedangkan yang selain dari itu akan pergi dan akan ia tinggalkan untuk orang lain. Imam Muslim meriwayatkannya secara munfarid melalui jalur ini.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا الحُمَيدي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثلاثةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ: يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm
yang telah mendengar dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Ada tiga perkara yang mengiringi keberangkatan mayat; maka yang dua perkara kembali, sedangkan
yang satunya menemaninya. Keluarganya, harta bendanya, dan amal perbuatannya mengiringinya; maka kembalilah keluarga dan harta bendanya, dan yang tertinggal (bersamanya)
adalah amal perbuatannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ: الْحِرْصُ وَالْأَمَلُ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Ibnu Adam akan menua, dan akan tetap
menemaninya dua perkara, yaitu keinginan dan cita-cita. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkannya di dalam kitab sahih masing-masing.Al-Hafiz ibnu Asakir di dalam biografi Al-Ahnaf ibnu Qais
yang dijuluki Ad-Dahhak menyebutkan bahwa ia meliliat seorang lelaki yang di tangannya memegang mata uang dirham, lalu ia bertanya "Kepunyaan siapakah uang dirham ini?" Lelaki itu menjawab, "Milikku." Maka Ad-Dahhak mengatakan,
"Sesungguhnya uang dirham itu adalah milikmu bilamana kamu belanjakan untuk hal yang mengandung pahala, atau sebagai rasa ungkapan syukurmu." Kemudian Ad-Dahhak alias Al-Ahnaf mengucapkan perkataan seorang penyair:
أَنْتَ لِلْمَالِ إِذَا أَمْسَكْتَهُ ... فَإِذَا أَنْفَقْتَهُ فَالْمَالُ لَكْ
Engkau ditunggangi oleh harta jika engkau pegang dia, maka jika engkau belanjakan dia, berarti harta itu adalah milikmu (bermanfaat bagimu).Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah yang telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Saleh ibnu Hibban, dari Ibnu Buraidah sehubungan dengan makna firman-Nya: bermegah-megahan
telah melalaikan kalian. (At-Takatsur: 1) Bahwa surat ini diturunkan berkenaan dengan dua kabilah Ansar, yaitu Bani Harisah dan Banil Haris, mereka saling membanggakan diri dengan kepemilikan mereka yang banyak.
Salah satu pihak mengatakan bahwa apakah di kalangan kalian terdapat orang yang semisal dengan si Fulan bin Fulan dan si Fulan. Sedangkan pihak lain mengatakan hal yang sama pula kepada lawannya.
Mereka saling berbangga diri dengan orang-orang yang masih hidup, kemudian mereka mengatakan, "Marilah kita berangkat menuju kuburan." Lalu salah satu pihak mengatakan, "Apakah di kalangan kalian terdapat
orang yang seperti si Fulan," seraya mengisyaratkan kepada kuburan seseorang. Dan pihak lainnya mengatakan hal yang sama seraya mengisyaratkan ke kuburan lainnya. Maka turunlah firman-Nya:
Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 1-2) Sesungguhnya telah ada bagi kalian suatu pelajaran dari apa yang kalian lihat dan juga kesibukan.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 1-2) Dahulu mereka mengatakan, "Kami lebih banyak
daripada Bani Fulan, dan kami lebih kuat daripada Bani Fulan," setiap hari mereka saling menjatuhkan yang lainnya tanpa henti-hentinya. Demi Allah, mereka akan terus-menerus demikian sehingga mereka semuanya masuk ke dalam kubur dan menjadi penghuninya.
Pendapat yang sahih menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya: sampai kamu masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 2) Yakni hingga kalian dikubur dan menjadi penghuninya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَعْرَابِ يَعُودُهُ، فَقَالَ: "لَا بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ". فَقَالَ: قُلْتَ: طَهُور؟! بَلْ هِيَ حُمَّى تَفُورُ، عَلَى شَيْخٍ كَبِيرٍ، تُزيره الْقُبُورَ! قَالَ: "فَنَعَم إِذًا"
bahwa Rasulullah Saw. mendatangi seorang lelaki Badui dalam rangka menjenguknya, lalu bersabda: "Tidak mengapa, insya Allah disucikan.” Lelaki itu menjawab, "Engkau katakan disucikan, tidak sebenarnya yang kurasakan
adalah demam yang mengguncangkan seorang syekh (berusia lanjut) lagi sudah tua dan sudah dekat ke Liang kuburnya.” Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Kalau begitu, itu yang terbaik.” Ibnu Abu Hatim mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Hakkam ibnu Salim Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari Al-Hajjaj,
dari Al-Minhal, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ali yang mengatakan bahwa kami masih tetap meragukan tentang adanya siksa kubur sebelum diturunkan firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian
masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 1 -2) Imam Turmuzi telah meriwayatkan hadis ini dari Abu Kurajb, dari Hakkam ibnu Salim dengan sanad yang sama, lalu Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Daud Al-Irdi, telah menceritakan kepada kami Abul Malih Ar-Ruqiy, dari Maimun ibnu Mahran
yang mengatakan bahwa ketika aku sedang duduk di hadapan Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz, maka ia membaca firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 1-2)
Maka dia diam sebentar, lalu berkata, "Hai Maimun, tiadalah kulihat kuburan itu melainkan dalam ziarahku, dan sudah merupakan keharusan bagi orang yang berziarah kembali ke tempat tinggalnya." Abu Muhammad
menjelaskan bahwa makna yang dimaksud dengan kembali ke tempat tinggalnya ialah ke surga atau ke neraka. Hal yang sama telah disebutkan, bahwa pernah ada seorang lelaki Badui mendengar seorang lelaki membaca firman-Nya:
sampai kalian masuk ke dalam kubur. (At-Takatsur: 2) Lalu ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai Ka'bah, ini artinya hari berbangkit." Yakni sesungguhnya bagi orang yang menziarahi kubur pasti akan pergi dari kubur itu menuju ke tempat yang lain.
Firman Allah Swt.:
{كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ}
Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu); dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. (At-Takatsur. 3-4) Al-Hasan mengatakan bahwa dalam ayat ini terkandung pengertian
ancaman sesudah ancaman lainnya. Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. (At-Takatsur: 4)
Yakni hai orang-orang kafir. janganlah begitu, jika kalian mengetahui. (At-Takatsur: 5) Yaitu hai orang-orang mukmin. Dan mengenai firman selanjutnya, yaitu:
{كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ}
Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan 'ainul yaqin. (At-Takatsur: 5)Yakni seandainya kalian mengetahui dengan pengetahuan yang sebenarnya,
niscaya kalian tidak akan terlena dengan memperbanyak harta hingga lupa dari mencari pahala akhirat, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya:
{لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ}
niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (At-Takatsur: 6-7) Ini merupakan penjelasan dari ancaman yang telah disebutkan di atas,
yaitu pada firman-Nya: Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu); dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. (At-Takatsur: 3-4) Allah mengancam mereka dengan
keadaan tersebut, yaitu saat ahli neraka melihat neraka manakala neraka bergolak dengan sekali golak. Maka menyungkurlah semua malaikat terdekat dan nabi yang diutus dengan bersideku di atas kedua lututnya
masing-masing karena takut menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sangat mengerikan itu, sebagaimana yang akan disebutkan dalam atsar yang menceritakan keadaan tersebut. Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ}
kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu). (At-Takatsur: 8) Yakni kemudian kalian benar-benar akan dimintai pertanggungjawaban di hari itu tentang
mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada kalian, seperti kesehatan, keamanan, rezeki, dan lain sebagainya, apakah kalian bersyukur dan beribadah kepada-Nya? Ibnu Abu Hatim mengatakan
telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya Al-Jazzar Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Isa alias Abu Khalid Al-Jazzar, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Ubaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas; ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab mengatakan bahwa Rasulullah Saw. keluar di waktu tengah hari, dan beliau menjumpai Abu Bakar berada di dalam masjid.
Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah yang mendorongmu keluar di saat seperti ini?" Abu Bakar menjawab, "Wahai Rasulullah, telah mengeluarkan aku Tuhan yang telah mengeluarkanmu." Lalu datanglah pula
Umar ibnul Khattab, makaNabi Saw. bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu keluar, hai Ibnul Khattab?" Umar menjawab, "Tuhan yang telah menyebabkan kamu berdua keluar." Lalu Umar duduk, dan Rasulullah Saw.
berbicara kepada keduanya, "Maukah kamu berdua aku ajak menuju ke kebun kurma itu, maka kamu akan mendapat makanan, minuman, dan naungan?" Keduanya menjawab, "Kami mau." Rasulullah Saw. bersabda, "
Marilah kita singgah di rumah Ibnut Taihan alias Abul Haisam Al-Ansari." Maka Rasulullah Saw. berada di depan kami dan mengucapkan salam serta meminta izin sebanyak tiga kali, sedangkan Ummul Haisam berada
di balik pintu rumahnya mendengarkan ucapan Rasulullah Saw. dengan maksud ia mendapat tambahan dari salam Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw. hendak pergi, Ummul Haisam keluar dan mengerjarnya dari belakang,
lalu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya aku mendengar suara salammu, tetapi aku bermaksud ingin mendapat tambahan dari salammu." Rasulullah Saw. menjawab, "Itu baik." Rasulullah Saw.
bertanya, "Mana Abul Haisam, aku tidak melihatnya?" Ummul Haisam menjawab, "Wahai Rasulullah, dia pergi sebentar untuk menyejukkan air minum, sebentar lagi insya Allah dia akan datang, masuklah."
Lalu Ummul Haisam menggelarkan permadani di bawah pohon kurma. Tidak lama kemudian datanglah Abul Haisam, dan ia merasa senang dengan kedatangan mereka, lalu ia segera menaiki pohon kurma dan memetik
beberapa tangkai buah kurma. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Itu sudah cukup, hai Abul Haisam." Abul Haisam berkata, "Wahai Rasulullah, engkau makan buahnya yang masih gemading
dan yang telah masak," lalu Abul Haisam menyuguhkan air minum buat mereka dan mereka pun minum dari air yang disuguhkannya. Setelah itu Rasulullah Saw. bersabda:
"هَذَا مِنَ النَّعِيمِ الَّذِي تُسْأَلُونَ عَنْهُ"
Ini termasuk nikmat yang kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban mengenainya Hadis berpredikat garib bila ditinjau dari segi jalurnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Husain ibnu Ali As-Sada'i
telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnul Qasim, dari Yazid ibnu Kaisan, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa ketika Abu Bakar dan Umar sedang duduk,' maka datanglah Nabi Saw.
kepada keduanya, lalu beliau Saw. bertanya, "Apakah yang membuat kamu berdua duduk di sini?" keduanya menjawab, "Demi Tuhan Yang telah mengutus engkau dengan hak, tiada yang menyebabkan kami keluar
melainkan rasa lapar." Nabi Saw. bersabda; "Demi Allah yang telah mengutusku dengan hak, tidak ada yang mendorongku keluar selain dari alasan yang sama." Lalu mereka pergi hingga sampai di rumah
seorang lelaki dari kalangan Ansar, maka mereka disambut oleh seorang wanita, dan Nabi Saw. bertanya kepada wanita itu, "Kemanakah si Fulan (suaminya)?" Wanita itu menjawab bahwa suaminya sedang pergi untuk
menyejukkan air minum buat dia dan keluarganya. Tidak lama kemudian datanglah orang yang dicari mereka dengan membawa qirbah wadah airnya, dan ia langsung berkata menyambut mereka, "Marhaban (selamat datang)
tiada seorang tamu pun berkunjung kepada seseorang lebih afdal daripada Nabi yang hari ini datang berkunjung kepadaku." Lalu ia menggantungkan qirbah wadah airnya ke pohon kurma
dan ia pergi,kemudian datang lagi dengan membawa setandan buah kurma. MakaNabi Saw. bersabda kepadanya, "Bukankah engkau telah memetik buah kurmamu?"
Lelaki itu menjawab "Aku ingin menghormati kalian dengan rnenyajikan makanan yang masih segar menurut kesukaan kalian." Kemudian ia mengambil pisau besar (untuk menyembelih kambing)
maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu sembelih kambing yang sedang menyusui." Ia menyembelih kambing buat mereka di hari itu dan mereka makan makanan yang telah disajikan, lalu Nabi Saw. bersabda:
"لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هَذَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ. أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمُ الْجُوعُ، فَلَمْ تَرْجِعُوا حَتَّى أَصَبْتُمْ هَذَا، فَهَذَا مِنَ النَّعِيمِ"
Sungguh kamu akan ditanyai mengenai hal ini kelak di hari kiamat. Kamu keluar karena terdorong oleh rasa lapar, dan sebelum pulang kamu telah mendapatkan semua ini, dan ini termasuk dari nikmat.
Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Yazid ibnu Kaisan dengan sanad yang sama. Abu Ya’la dan Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui hadis Al-Mukari, dari Yahya ibnu Ubaidillah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah
dari Abu Bakar dengan lafaz yang sama. Arba'ah telah meriwayatkan hadis ini melalui Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan teks yang semisal dan juga kisahnya.Imam Ahmad mengatakan
telah menceritakan kepada kami Syuraih, telah menceritakan'kepada kami Hasyraj, dari Abu Nadrah, dari Abu Asib maula Rasulullah Saw. yang telah menceritakan bahwa di suatu malam Rasulullah Saw. keluar.
lalu lewat di dekat rumahku, maka beliau memanggilku dan aku pun keluar menemaninya. Lalu Nabi Saw. melewati rumah Abu Bakar dan memanggilnya, maka Abu Bakar keluar dan bergabung bersamanya.
Nabi Saw. berangkat meneruskan perjalannya hingga sampailah di sebuah kebun kurma milik seorang Ansar dan beliau memasukinya, lalu berkata kepada pemilik kebun itu, "Berilah kami makan." Lalu pemilik
kebun itu datang dengan membawa setandan buah kurma, dan Rasulullah Saw. makan bersama sahabat-sahabatnya, kemudian meminta air sejuk dan minum, lalu bersabda: Sesungguhnya kalian akan dimintai pertanggungjawaban
tentang ini kelak di hari kiamat. Maka Umar mengambil ketandan buah kurma itu dan memukulkannya ke tanah hingga buahnya yang gemading berceceran di hadapan Rasulullah Saw.,
kemudian Umar bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita sungguh akan dimintai pertanggungjawaban tentang ini kelak di hari kiamat?" Maka Rasulullah Saw. menjawab:
"نَعَمْ، إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: خِرْقَةٌ لَفَّ بِهَا الرَّجُلُ عَوْرَتَهُ، أَوْ كَسْرَةٌ سَدَّ بِهَا جَوْعَتَهُ، أَوْ جُحْرٌ تَدخَّل فِيهِ مِنَ الْحَرِّ وَالْقَرِّ"
Ya, kecuali tiga hal, yaitu kain yang digunakan oleh seseorang untuk menutupi aurat tubuhnya, atau sepotong roti yang dimakan untuk menutup rasa laparnya, atau rumah tempat bernaungnya dari kepanasan dan kedinginan.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami
Ammar; ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar memakan buah kurma dan minum air, setelah itu Rasulullah Saw. bersabda:
"هَذَا مِنَ النَّعِيمِ الَّذِي تُسْأَلُونَ عَنْهُ"
Ini termasuk nikmat yang kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Ammar ibnu Abu Ammar, dari Jabir dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, dari Safwan ibnu Sulaim, dari Mahmud ibnur Rabi' yang mengatakan bahwa ketika diturunkan
firman-Nya: Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. (At-Takatsur: 1) Ia meneruskan bacaannya sampai pada firman-Nya: kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia ini). (At-Takatsur: 8)
Maka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, tentang nikmat apakah yang kami akan ditanyai mengenainya? Padahal sesungguhnya hanya kurma dan air, dan pedang kami yang selalu tersandang, sedangkan musuh menghadang
di hadapan. Lalu nikmat apakah yang akan dipertanyakan kepada kami?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ingatlah, sesungguhnya pertanyaan tentang hal itu pasti akan terjadi." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Amir alias Abdul Malik ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Abdullah ibnu Habib, dari ayahnya, dari pamannya yang
mengatakan bahwa kami berada di suatu majelis, lalu muncullah Nabi Saw., sedangkan di kepala beliau terdapat bekas air. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau dalam keadaan senang."
Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Kemudian orang-orang berbincang-bincang tentang kekayaan. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى اللَّهَ، وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى اللَّهَ خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى، وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النَّعِيمِ"
Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang yang bertakwa kepada Allah, dan sehat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa kepada Allah daripada kekayaan, dan senang hati lebih baik
daripada kesenangan. Ibnu Majah meriwayatkannya dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Khalid ibnu Makhlad, dari Abdullah ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا شَبَابَةُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَلَاءِ، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَرْزَمٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ -يَعْنِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ-الْعَبْدُ مِنَ النَّعِيمِ أَنْ يُقَالَ لَهُ: أَلَمْ نُصِحّ لك جسمك، ونُرْوكَ من الماء البارد؟ "
Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Syababah, dari Abdullah ibnul Ala, dari Ad-Dahhak ibnu Abdur Rahman ibnu Arzab Al-Asy'ari yang
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya yang mula-mula dipertanyakan kepada seorang hamba —yakni di hari kiamat nanti— mengenai
kesenangan ialah dikatakan kepadanya. Bukankah Kami telah menyehatkan tubuhmu dan memberimu minum dengan air yang sejuk?” Imam Turmuzi meriwayatkannya secara munfarid.Dan Ibnu Hibban meriwayatkannya
di dalam kitab sahihnya melalui jalur Al-Walid ibnu Muslim, dari Abdullah ibnul Ala ibnu Zubair dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan
kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Amr, dari Yahya ibnu Hatib, dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Az-Zubair pernah mengatakan bahwa
ketika turun firman-Nya: kemudian kalian pasti akan ditanyaipada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu . (At-Takatsur: 8) Mereka bertanya,
"Wahai Rasulullah, nikmat apakah yang dipertanyakan kepada kami, padahal sesungguhnya makanan kami hanyalah kurma dan air saja?" Rasulullah Saw. menjawab:
"إِنَّ ذَلِكَ سَيَكُونُ"
Sesungguhnya pertanyaan itu akan ada. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Imam Ahmad telah meriwayatkannya dari
jalur yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Az-Zahrani, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Umar Al-Adni
dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu). (At-Takatsur: 8)
Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, nikmat apakah yang kami dapatkan, sesungguhnya kami hanya makan roti gandum untuk mengganjal perut kami?" Maka Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya: Katakanlah kepada mereka,
"Bukankah kamu mengenakan terompah dan minum air yang sejuk? Itu adalah termasuk nikmat.” Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sulaiman ibnul Asbahani, dari Ibnu Abu Laila, yang menurut perawi diyakini ia menerimanya dari Amir, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw.
sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu). (At-Takasxir: 8) Kemudian beliau Saw. bersabda: (yaitu)
Keamanan dan kesehatan. Zaid ibnu Aslam telah mengatakan dari Rasulullah Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. (At-Takatsur: 8)
Yakni perut kenyang, minuman yang sejuk, naungan rumah. penciptaan bentuk yang tegak (sempurna). dan nikmatnya tidur.Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya dengan sanad seperti di atas, dari Zaid ibnuy Aslam
dalam permulaan surat ini. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa akan dipertanyakan juga sampai madu yang diminum. Mujahid mengatakan akan dipertanyakan pula semua kesenangan dunia. Al-Hasan Al-Basri
mengatakan bahwa termasuk nikmat yang akan dipertanyakan ialah makan siang dan makan malam. Abu Qilabah mengatakan bahwa termasuk nikmat ialah makan samin dan madu dengan roti. Dan pendapat yang paling
mencakup adalah yang dikemukakan oleh Mujahid. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian kalian pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. (At-Takatsur: 8)
Bahwa nikmat itu adalah kesehatan tubuh, pendengaran, dan penglihatan. Allah akan mempertanyakan hamba-hamba-Nya untuk apakah semuanya itu digunakan, sedangkan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dari mereka.
Hal ini disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Al-Isra: 36) Di dalam kitab Sahih Bukhari dan
Sunan Turumuzi serta Sunan Nasai dan Sunan Ibnu Majah telah disebutkan melalui hadis Abdullah ibnu Sa'id ibnu Abu Hindun, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ"
Ada dua macam nikmat yang banyak memperdaya kebanyakan manusia, yaitu kesehatan dan waktu luang. Makna yang dimaksud dari hadis ini ialah bahwa mereka melalaikan mensyukuri kedua nikmat tersebut dan tidak mengerjakan
apa yang seharusnya dilakukan terhadap keduanya. Dan barang siapa yang tidak menunaikan suatu hak yang diwajibkan atas dirinya, maka dia adalah orang yang terperdaya.
قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن الحسن ابن شَقِيقٍ، حَدَّثَنَا أَبُو حَمْزَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي فَزَارَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا فَوْقَ الْإِزَارِ، وَظِلُّ الْحَائِطِ، وخُبْز، يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَوْ يُسْأَلُ عَنْهُ"
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Muhammad ibnu Yahya Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnu Syaqiq, telah menceritakan kepada kami
Abu Hamzah, dari Lais, dari Abu Fazzarah, dari Yazid ibnu Asam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Pakaian di atas kain, naungan tembok (rumah), dan air minum,
kelak seorang hamba akan dihisab mengenainya atau diminta pertanggungjawabannya. Kemudian Imam Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengenai hadis ini kecuaii hanya melalui sanad ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا بَهْزٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ -قَالَ عَفَّانُ في حديثه: قال إسحاق ابن عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ -قَالَ عَفَّانُ: يوم القيامة-: يا بن آدَمَ، حَمَلْتُكَ عَلَى الْخَيْلِ وَالْإِبِلِ، وَزَوَّجْتُكَ النِّسَاءَ، وَجَعَلْتُكَ تَرْبَع وَتَرْأَسُ، فَأَيْنَ شُكْرُ ذَلِكَ؟ "
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan, keduannya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad, bahwa Affan telah mengatakan dalam hadisnya bahwa Ishaq ibnu Abdullah telah meriwayatkan dari
Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Allah Swt. berfirman —Affan mengatakan pada hari kiamat nanti— , "Hai anak Adam, Aku telah membawamu di atas kuda dan unta, dan Aku kawinkan kamu dengan wanita,
dan Aku jadikan kamu dapat memimpin dan berkuasa, maka manakah ungkapan rasa syukurmu atas semuanya itu?” Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid melalui jalur ini.
Surat At-Takasur |102:2|
حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
ḥattaa zurtumul-maqoobir
sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Until you visit the graveyards.
(Sampai kalian masuk ke dalam kubur) hingga kalian mati dikubur di dalam tanah; atau hingga kalian menghitung-hitung banyaknya orang yang telah mati.
"Sehingga kamu melawat ke kubur-kubur." (ayat 2). Dan kamu tidak insaf bahwa apabila kamu masuk ke dalam kubur itu
kamu tidak akan balik lagi ke dunia ini. Maka terbuang percumalah umurmu yang telah habis mengumpul harta, mencari pangkat, pengaruh dan kedudukan.
Ziarah ke kubur artinya ialah mati.
Setengah ahli bahasa memberi nama ungkapan bagi kubur, yaitu serambi akhirat!
Tafsir Ibnu Katsir | At-Takasur | 102 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Takasur |102:3|
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
kallaa saufa ta'lamuun
Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
No! You are going to know.
(Janganlah begitu) kalimat ini mengandung hardikan dan cegahan (kelak kalian akan mengetahui.)
"Kallaa! Sekali-kali tidak!" (pangkal ayat 3). Artinya bahwasanya hidupmu yang terlalai karena mengumpulkan harta, kekayaan, kemegahan itu "sekali-kali tidaklah" perbuatan yang terpuji.
Sekali-kali tidaklah itu perbuatan yang benar, yang akan membawa selamat. "Bahkan, akan kamu ketahui kelak." (ujung ayat 3). Akan kamu ketahui sendiri kelak bahwa perbuatanmu yang seperti itu
tidak ada faedahnya sama sekali. Banyak hartamu tidaklah akan menolong. Banyak anak dan cucu tidaklah akan membela.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Takasur | 102 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Takasur |102:4|
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
ṡumma kallaa saufa ta'lamuun
kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.
Then no! You are going to know.
(Dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui) akibat buruk dari perbuatan kalian itu di kala kalian menjelang kematian, kemudian sewaktu kalian telah berada di dalam kubur.
"Kemudian itu, sekali-kali tidak. Bahkan akan kamu ketahui kelak."(ayat 4). Bahwa segala perbuatanmu mengumpul dan bermegah-megahan dengan harta dunia fana itu percuma belaka.
Di akhirat semuanya itu tidaklah akan menolong.
Berkata setengah ahli tafsir, bahwa pada ayat 3 adalah pemberitahuan bahwa kamu akan tahu sendiri kelak
apabila kamu telah masuk ke dalam suasana alam kubur; mana kainmu, mana bajumu, mana pangkatmu dan kebesaran yang kamu megahkan di dunia ini; bukankah hanya kain kafan pembungkus diri?
Dan pada ayat 4 diperingatkan pula bahwa kamu akan tahu sendiri kelak sesudah alam kubur itu akan melanjutkan kepada Alam Barzakh,
kemudian itu panggilan Hari Kiamat. Di waktu itu pun akan kamu saksikan sendiri bahwa kekayaan dunia
yang kamu megahkan dahulu sama sekali tidak ada artinya lagi; yang berarti hanyalah amalan di dunia untuk diambil hasilnya di akhirat.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Takasur | 102 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1