Juz 30
Surat Al-Lail |92:15|
لَا يَصْلَاهَا إِلَّا الْأَشْقَى
laa yashlaahaaa illal-asyqoo
yang hanya dimasuki oleh orang yang paling celaka,
None will [enter to] burn therein except the most wretched one.
(Tidak ada yang masuk ke dalamnya) atau memasukinya (kecuali orang yang celaka) sekalipun lafal Al-Asyqaa ini menunjukkan arti yang paling celaka, akan tetapi makna yang dimaksud ialah orang yang celaka.
"Yang tidak akan terpanggang padanya, kecuali orang yang paling celaka." (ayat 15). Lalu dijelaskan pada ayat berikutnya siapakah orang yang paling celaka itu, yaitu:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 15 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:16|
الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
allażii każżaba wa tawallaa
yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Who had denied and turned away.
(Yang mendustakan) Nabi saw. (dan berpaling) dari iman. Pengecualian yang terdapat pada ayat sebelum ayat ini merupakan takwil dari makna yang terkandung di dalam ayat lainnya yaitu, firman-Nya,
"dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (Q.S. An-Nisa, 48)
Dengan demikian berarti makna yang dimaksud dengan masuk neraka pada ayat 15 tadi adalah masuk untuk selama-lamanya, yakni untuk menjadi penghuni yang abadi.
"Yang mendustakan dan membelakang." (ayat 16).Bersualah dalam ayat ini dua perangai yang menyebabkan orang jadi paling celaka.
(1) mendustakan, (2) membelakang. Arti mendustakan ialah dia tidak mau menerima ajakan kebenaran itu. Dipandangnya semua omong kosong belaka.
Kemudian itu dia membelakang, punggungnya yang diberikannya, karena sombongnya. Hanya dipandangnya hina saja Rasulullah yang menyampaikan petunjuk-petunjuk Tuhan.
Ini yang diungkap pada pepatah Melayu: "Bersutan di mata, beraja di hati." Seakan-akan dia merasa dirinya lebih tinggi dan Rasul-rasul itu hina belaka.
Dan sabda-sabda Tuhan itu omong kosong, dan mereka benar sendiri! Sebab itu sudah sepantasnyalah api neraka yang bernyala-nyala tempat mereka.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 16 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:17|
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
wa sayujannabuhal-atqoo
Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa,
But the righteous one will avoid it -
(Dan kelak akan dijauhkan dari neraka itu) dihindarkan daripadanya (orang yang bertakwa) demikian pula lafal Al-Atqaa, sekalipun menunjukkan makna Tafdhil, tetapi makna yang dimaksud adalah At-Taqiyyu, yakni orang yang bertakwa.
"Dan akan dijauhkan dia." (pangkal ayat 17). Artinya akan dijauhkanlah api neraka yang bernyala-nyala itu:
"Daripada orang yang paling bertakwa." (ujung ayat 17). Api itu tidak akan didekatkan, melainkan akan dijauhkan dari orang-orang bertakwa,
yaitu yang selalu berbakti kepada Allah. Yaitu tidak putus hubungannya dengan Tuhan dan terpelihara. Karena hidupnya telah disediakannya menempuh jalan yang benar.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 17 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:18|
الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ
allażii yu`tii maalahuu yatazakkaa
yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya),
[He] who gives [from] his wealth to purify himself
(Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya) untuk membersihkannya di sisi Allah swt. seumpamanya dia mengeluarkannya bukan karena ria atau pamer dan gengsi,
maka setelah itu harta yang dimilikinya menjadi bersih di sisi-Nya nanti. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. yaitu sewaktu ia membeli Bilal yang sedang disiksa oleh majikannya karena beriman.
Setelah membelinya lalu langsung memerdekakannya. Pada saat itu juga orang-orang kafir mengatakan, bahwa tiada lain Abu Bakar melakukan hal tersebut karena ia telah berutang jasa kepadanya. Maka pada saat itu turunlah ayat ini.
"Yang memberikan hartanya karena ingin membersihkan." (ayat 18). Bukti yang utama dari bakti ialah suka memberikan harta,
suka mengeluarkannya. Jangan bakhil, jangan kedekut dan kikir. Diri sendiri dibersihkan daripada penyakit kotor pada jiwa:
yaitu penyakit bakhil. Dan harta itu sendiri pun dibersihkan dengan jalan mengeluarkan bahagian yang patut diterima oleh fakir dan miskin.
Meskipun di Makkah belum turun peraturan beberapa zakat meski dibayar, berapa yang satu nishab dalam edaran satu tahun (haul), namun sejak dari masa Makkah itu pendidikan jiwa kepada bederma telah dilatih.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 18 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:19|
وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ
wa maa li`aḥadin 'indahuu min ni'matin tujzaaa
dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya,
And not [giving] for anyone who has [done him] a favor to be rewarded
(Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,)
"Padahal tidak ada padanya budi seseorang yang hendak dibalas." (ayat 19). Artinya seketika dia mengeluarkan sebahagian dari harta-bendanya untuk pembantu orang lain, benar-benar timbul dari hati yang suci.
Bukanlah dia mau mengeluarkan harta karena dahulu orang yang sekarang diberinya itu pernah berjasa kepadanya.Dan kalau tidak karena membalas jasa, tidaklah hartanya akan dikeluarkannya.
Dan jangan pula memberi karena menghadap lain hari orang itu akan membalas jasa pula. Hendaklah karena Allah semata-mata. Inilah orang yang dikatakan paling bertakwa.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 19 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:20|
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ
illabtighooo`a waj-hi robbihil-a'laa
tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
But only seeking the countenance of his Lord, Most High.
(melainkan) tetapi hanya semata-mata (karena mencari keridaan Rabbnya Yang Maha Tinggi) artinya dia memberikan hartanya itu hanya karena mengharapkan pahala Allah.
"Melainkan hanya karena mengharapkan wajah Tuhannya Yang Maha Tinggi." (ayat 20).Orang yang mengeluarkan hartabenda untuk mensucikan batin
, tidak mengharap balasan manusia, hanya mengharapkan Ridha Allah, itulah orang yang akan dijauhkan daripada api neraka yang bernyala-nyala itu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 20 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Al-Lail |92:21|
وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
wa lasaufa yardhoo
Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).
And he is going to be satisfied.
(Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan) dari pahala pemberiannya itu di surga nanti. Makna ayat ini mencakup pula setiap orang yang mengerjakan amal perbuatan seperti yang telah dilakukan oleh Abu Bakar r.a. Kelak dia akan dijauhkan dari neraka dan mendapatkan pahala yang berlimpah.
"Dan akan Ridhalah Dia." (ayat 21). Dengan ayat penutup ini Tuhan telah menegaskan bahwa amal orang itu diterima Tuhan, Tuhan Ridha.
Sebagaimana telah kita ketahui dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, Ridha Tuhan adalah puncak nikmat yang akan dicapai oleh hamba Allah di dalam syurga kelak
.
Bahkan tidaklah ada artinya syurga itu kalau tidak disertai Ridha Tuhan. Dan ridha Tuhan itu adalah balasan yang sudah sepantasnya bagi seorang hamba Allah
yang telah menyediakan dirinya menyambut dan mengerjakan perintah-perintah Tuhan yang telah dipimpinkan oleh Rasul-rasul.
Ibnu Jarir menafsirkan ayat: "Dan akan Ridhalah Dia." Artinya: "Allah akan ridha kepada orang yang telah memberikan hartanya ini untuk menunaikan hak Allah 'azza wa jalla.
Sebab dia telah menzakatkan, telah membersihkan harta dan hatinya, maka dia akan menerima ganjarannya di akhirat kelak,
sebagai ganti barang yang dikeluarkannya di dunia itu setelah dia bertemu dengan Tuhan kelak
.
Maka di dalam ayat ini tersimpanlah sebuah janji yang mulia, bahwa si hamba itu akan mendapat sekalian yang diinginkannya dengan sempurna dan indahnya."
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bukan seorang dua ahli tafsir mengatakan bahwa ayat yang jadi pimpinan umum bagi seluruh orang yang beriman ini telah bertemu pada diri sahabat Rasulullah SAW
yang amat utama, yaitu Abu Bakar Shiddiq. Bahkan ada juga orang mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan menuju Abu Bakar adalah sama pendapat seluruh ahli tafsir.
Dia membenarkan dan menerima seruan Rasul dengan jujur, dengan tidak ada sisa keraguan barang sedikit pun sejak semula dia memeluk Islam.
Dia seorang yang takwa kepada Allah dan seorang yang sangat pemurah Hartabendanya dikeluarkannya untuk menyatakan taat kepada Allah dan untuk membela junjungannya Nabi kita Muhammad SAW.
Tidak diperhitungkannya berapa dinarnya habis, berapa dirhamnya keluar untuk mengharapkan wajah Allah.
Dan perbuatannya itu sekali-kali bukan karena membalas jasa orang kepadanya, melainkan dialah yang berjasa kepada orang.
Seluruh kepala-kepala kabilah merasakan bekas baik budinya. Sehingga 'Urwah bin Mas'ud kepala kabilah Tsaqiif dalam Perdamaian Hudaibiyah mengakui terus-terang bahwa hatinya sudi memeluk Islam,
tetapi jangan hendaknya karena segan kepada Abu Bakar, karena dia merasa berhutang budi kepada Abu Bakar.
Dan dialah yang membeli Bilal yang telah disiksa oleh pengulunya Umaiyah bin Khalaf ketika Bilal dijemur di atas pasir panas.
Dan setelah dibelinya langsung dimerdekakaknnya. Padahal di saat itu kaum Muslimin masih sangat sengsara karena aniayaan orang Quraisy.
Dia yang menemani Nabi SAW seketika hijrah ke Madinah. Dan sebelum itu dia pula yang terlebih dahulu menyatakan saya percaya
seketika Nabi mengatakan bahwa tadi malam beliau Isra' dan Mi'raj. Sehingga Nabi SAW pernah mengatakan:
Sesungguhnya manusia yang paling menyenangkan kepadaku karena bersahabat dengan dia beserta hartanya ialah Abu Bakar.
Kalau ada dalam kalangan ummatku orang yang akan kujadikan khalil (teman sangat karib), Abu Bakarlah yang akan aku ambil kecuali pertemanan Islam.(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sungguhpun ahli-ahli tafsir telah menyatakan bahwa ayat-ayat ini menyatakan keperibadian Abu Bakar,
namun dia bukanlah berarti tertutup untuk yang lain; menegakkan semangat dermawan, takwa kepada Allah dan menyukai kebaikan.
Dan melatih diri supaya terjauh daripada perangai bakhil dan merasa diri cukup dan mendustakan kebaikan. Moga-moga kita semua pun dapat menurutinya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 21 |
penjelasan ada di ayat 12
Surat Ad-Duha |93:1|
وَالضُّحَىٰ
wadh-dhuḥaa
Demi waktu duha (ketika matahari naik sepenggalah),
By the morning brightness
(Demi waktu Dhuha) yakni waktu matahari sepenggalah naik, yaitu di awal siang hari; atau makna yang dimaksud ialah siang hari seluruhnya.
"Demi waktu dhuha." (ayat 1). Di ayat pertama ini Tuhan bersumpah, tegasnya memerintahkan kita memperhatikan waktu dhuha.
Waktu dhuha ialah sejak pagi setelah matahari terbit, sampai naik sampai menjelang tengahari. Di dalam bahasa Melayu lama disebut "sepenggalah matahari naik."
Apabila matahari telah sampai di pertengahan langit, yang disebut "tengah-hari", waktu dhuha tidak ada lagi.
Terdapat Hadis-hadis yang shahih menganjurkan kita sembahyang sunnat sekurangnya 2 rakaat, atau 4 rakaat, atau sampai 8 rakaat; dua rakaat satu salam pada waktu dhuha itu.
Waktu dhuha diambil persumpahan oleh Tuhan untuk menarik perhatian kita kepadanya.
Mungkin oleh karena di waktu yang demikian kita sedang lincah, kekuatan dan kesegaran masih ada berkat tidur yang nyenyak pada malamnya.
Maka di waktu Dhuha itulah kesempatan yang baik untuk berusaha di muka bumi Allah, sepanjang yang dianjurkan oleh Allah sendiri. (Lihat Surat 67, Al-Mulk; 15).
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 1 |
Tafsir ayat 1-11
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Aswad ibnu Qais yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Jundub menceritakan bahwa Nabi Saw.
mengalami sakit selama satu atau dua malam hingga beliau tidak melakukan qiyamul lail. Maka datanglah kepadanya seorang wanita dan berkata, "Hai Muhammad, menurut hematku setanmu itu tiada lain telah meninggalkanmu,"
maksudnya malaikat yang membawa wahyu kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu
dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3) Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, Imam Nasai, Imam Ibnu Abu Hatim, dan Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari
Al-Aswad ibnu Qais, dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajali yang juga dikenal pula dengan Al-Alaqi dengan sanad yang sama. Menurut riwayat Sufyan ibnu Uyaynah, dari Al-Aswad ibnu Qais, disebutkan bahwa ia pernah
mendengar Jundub mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Rasulullah Saw., maka orang-orang musyik mengatakan, "Muhammad ditinggalkan oleh Tuhannya." Maka Allah menurunkan firman-Nya:
Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Abu Sa'id Al-Asyaj dan Amr ibnu Abdullah Al-Audi, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepadaku Sufyan, telah menceritakan kepadaku
Al-Aswad ibnu Qais; ia pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilempar dengan batu hingga mengenai jari tangannya sampai berdarah, maka beliau mengucapkan kalimat berikut:
Tiadalah engkau selain dari jari tangan yang berdarah, di jalan Allah padahal engkau mengalaminya.Lalu Rasulullah Saw. tinggal selama dua atau tiga malam tanpa mengerjakan qiyamul lail (salat sunat malam hari).
Maka ada seorang wanita (musyrik) yang berkata kepadanya, "Menurutku tiada lain setanmu telah meninggalkanmu." Maka turunlah firman Allah Swt.: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi.
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)Menurut konteks hadis yang ada pada Abu Sa'id, suatu pendapat mengatakan bahwa wanita tersebut adalah Jamil, istri Abu Lahab.
Disebutkan pula bahwa jari tangan beliau Saw. terluka. Dan mengenai sabdaNabi Saw. di atas bertepatan dengan wazan syair telah disebutkan di dalam kitab Sahihain. Akan tetapi, hal yang aneh dalam hadis ini
ialah luka di ibu jari itu menjadi penyebab beliau Saw. meninggalkan qiyamul lailnya dan juga menjadi turunnya surat ini.Adapun menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritaka'n kepada kami Sulaiman Asy-Syaibani, dari Abdullah ibnu Syaddad, bahwa Siti Khadijah berkata kepada Nabi Saw.,
"Menurut hemat saya, Tuhanmu telah meninggalkan kamu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu
dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan
bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Nabi Saw. Maka nabi Saw. merasa sangat gelisah karenanya, lalu Siti Khadijah mengatakan, "Sesungguhnya aku melihat Tuhanmu telah meninggalkan kamu,
karena aku melihat kegelisahanmu yang berat." Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa maka turunlah firman Allah Swt.: Demi waktu matahari sepenggalah naik dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan
kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3) hingga akhir surat.Maka sesungguhnya hadis ini berpredikat mursal dari kedua jalur tersebut. Barangkali penyebutan Khadijah bukanlah berdasarkan hafalan,
atau memang dia terlibat dan mengatakannya dengan nada menyesal dan bersedih hati; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.Sebagian ulama Salaf —antara lain Ibnu Ishaq— menyebutkan, bahwa surat inilah
yang disampaikan oleh Jibril a.s. kepada Nabi Saw. ketika Jibril a.s. menampakkan rupa aslinya kepada Nabi Saw. dan datang mendekatinya, lalu turun menuju kepada beliau Saw. yang saat itu beliau sedang berada
di Lembah Abtah, seperti yang disebutkan firman-Nya: Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 10)Ibnu Ishaq mengatakan bahwa saat itulah Jibril menyampaikan
kepada Rasulullah Saw. surat ini yang diawali oleh firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. (Adh-Dhuha: 1 -2)Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah
diturunkan kepada Nabi Saw. permulaan wahyu Al-Qur'an, maka Jibril datang terlambat beberapa hari dari Nabi Saw. sehingga roman muka beliau Saw. berubah sedih karenanya. Dan orang-orang musyrik mengatakan,
"Dia telah ditinggalkan oleh Tuhannya dan dibenci." Maka Allah Swt. menurunkan firman Allah Swt.: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3) Ini merupakan sumpah dari Allah Swt.
dengan menyebut waktu duha dan cahaya yang Dia ciptakan padanya.
{وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى}
dan demi malam apabila telah sunyi. (Adh-Dhuha: 2) Yakni bila telah tenang dan gelap gulita. Demikianlah menurut Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.
Hal ini menunjukkan akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pencipta, dan merupakan bukti yang jelas lagi gamblang. Makna ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى}
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 1-2) Juga sama dengan firman Allah Swt.:
فالِقُ الْإِصْباحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَناً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْباناً ذلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 96)Adapun firman Allah Swt.:
{مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ}
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu. (Adh-Dhuha: 3) Artinya, Dia tidak meninggalkanmu.
{وَمَا قَلَى}
dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3)Yakni Dia tidak murka kepadamu.
{وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى}
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. (Adh-Dhuha: 4) Sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagimu daripada negeri ini (dunia). Karena itu, Rasulullah Saw. adalah orang yang paling zuhud
terhadap perkara dunia dan paling menjauhinya serta paling tidak menyukainya, sebagaimana yang telah dimaklumi dari perjalanan hidup beliau Saw. ketika Nabi Saw. disuruh memilih di usia senjanya antara hidup kekal di dunia
sampai akhir usia dunia —kemudian ke surga— dan antara kembali ke sisi Allah Swt. Maka beliau Saw. memilih apa yang ada di sisi Allah daripada dunia yang rendah ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخعِي، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ مَسْعُودٍ-قَالَ: اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيرٍ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيرِ شَيْئًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ما لِي وَلِلدُّنْيَا؟! مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكِبٍ ظَلّ تَحْتَ شَجَرَةٍ، ثُمَّ راح وتركتها
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibrahim An-Nakha'i, dari Alqamah,
dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakanbahwa Rasulullah Saw. berbaring di atas hamparan tikar sehingga anyaman tikar yang kasar itu membekas di lambungnya.
Ketika beliau bangkit dari berbaringnya, maka aku (Ibnu Mas'ud) mengusap lambung beliau dan kukatakan kepadanya, "Wahai Rasulullah, izinkanlah kepada kami untuk menggelarkan kasur di atas tikarmu."
Maka Rasulullah Saw. menjawab: Apakah hubungannya antara aku dan dunia, sesungguhnya perumpamaan antara aku dan dunia tiada lain bagaikan seorang musafir yang berteduh di bawah naungan sebuah pohon,
kemudian dia pergi meninggalkannya. Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-Mas'udi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan berarti sahih.Firman Allah Swt.:
{وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (Adh-Dhuha: 5)Yakni kelak di negeri akhirat Allah akan memberinya hingga ia merasa puas tentang umatnya dan juga
kemuliaan yang telah disediakan oleh Allah untuk dirinya. Yang antara lain ialah Telaga Kautsar yang kedua tepinya berupa kubah-kubah dari mutiara yang berongga, sedangkan tanahnya bibit minyak kesturi,
sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.Imam Abu Amr Al-Auza'i telah meriwayatkan dari Ismail ibnu Abdullah ibnu Abul Muhajir Al-Makhzumi, dari Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari ayahnya yang mengatakan bahwa
ditampakkan kepada Rasulullah Saw. Apa yang bakal dibukakan buat umatnya sesudah ia tiada perbendaharaan demi perbendaharaan. Maka beliau merasa senang dengan hal tersebut, lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (Adh-Dhuha: 5) Dan Allah Swt. memberikan kepada beliau Saw. di dalam surga sejuta gedung, dalam tiap gedung terdapat istri-istri
dan para pelayan yang layak baginya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui jalur Abu Amr Al-Auza'i. Sanad ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas, dan hal yang semisal
dengan ini tiada lain kecuali berpredikat mauquf.As-Saddi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa untuk memuaskan hati Nabi Muhammad Saw., Allah tidak akan memasukkan seorang pun dari kalangan ahli baitnya ke dalam neraka.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Al-Hasan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah syafaat (diizinkan untuk memberi syafaat). Hal yang sama telah dikatakan
oleh Abu Ja'far Al-Baqir.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا معاويةُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "أنا أهلُ بَيْتٍ اخْتَارَ اللَّهُ لَنَا الْآخِرَةَ عَلَى الدُّنْيَا {وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Ali ibnu Saleh, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kami adalah suatu ahli bait, Allah telah memilihkan akhirat di atas dunia bagi kami. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman berikutnya bilangan nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw.:
{أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى}
Bukanlah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. (Adh-Dhuha: 6) Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak beliau masih berada dalam kandungan ibunya.
Menurut pendapat yang lain, ayah beliau wafat ketika beliau baru dilahirkan. Kemudian ibunya (yaitu Aminah binti Wahb) wafat pula saat beliau berusia enam tahun. Sesudah itu beliau berada dalam pemeliharaan kakeknya (yaitu Abdul Muttalib)
hingga kakeknya wafat saat beliau masih berusia delapan tahun. Kemudian beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Abu Talib, yang bersikap terus-menerus melindunginya, menolongnya, meninggikan kedudukannya,
dan mengagungkannya serta membentenginya dari gangguan kaumnya sesudah Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam usia empat puluh tahun. Perlu diketahui bahwa Abu Talib adalah pengikut agama kaumnya yang
menyembah berhala-berhala, dan Nabi Saw. tidak terpengaruh, yang hal ini tiada lain berkat takdir Allah dan pengaturan-Nya yang baik. Dan ketika Abu Talib meninggal dunia sebelum Nabi Saw. akan melakukan hijrah dalam waktu yang tidak lama,
maka orang-orang yang kurang akalnya dan orang-orang yang bodoh dari kalangan kaum Quraisy mulai berani mengganggunya. Maka Allah Swt. memilihkan hijrah baginya dari
kalangan mereka menuju negeri kaum Aus dan Khazraj, sebagaimana yang telah digariskan oleh suratan takdir-Nya yang lengkap lagi sempurna. Ketika beliau Saw. sampai di negeri mereka, mereka memberinya tempat, menolongnya,
melindunginya, dan membelanya dengan jiwa dan harta mereka; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka semuanya. Dan semuanya itu berkat pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian dari Allah kepada Nabi Saw. Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى}
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Adh-Dhuha: 7) Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدى كَقَوْلِهِ: وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتابُ وَلَا الْإِيمانُ وَلكِنْ جَعَلْناهُ نُوراً نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشاءُ مِنْ عِبادِنا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan
Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy-Syura: 52), hingga akhir ayat. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud
ialah sesungguhnya Nabi Saw. pernah tersesat di lereng-lereng pegunungan Mekah saat ia masih kecil, kemudian ia dapat pulang kembali ke rumahnya. Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya ia pernah tersesat
bersama pamannya di tengah jalan menuju ke negeri Syam. Saat itu Nabi Saw. mengendarai unta betina di malam yang gelap, lalu datanglah iblis yang menyesatkannya dari jalur jalannya. Maka datanglah Malaikat Jibril
yang langsung meniup iblis hingga terpental jauh sampai ke negeri Habsyah. Kemudian Jibril meluruskan kembali kendaraanNabi Saw. ke jalur yang dituju. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Bagawi. Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ عَائِلا فَأَغْنَى}
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Adh-Dhuha: 8) Yakni pada mulanya kamu hidup dalam keadaan fakir lagi banyak anak, lalu Allah memberimu kecukupan dari selain-Nya
Dengan demikian, berarti Allah menghimpunkan baginya antara kedudukan orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur, semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya.Qatadah telah mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Adh-Dhuha: 6-8) Bahwa demikianlah kedudukan Nabi Saw. sebelum beliau diangkat menjadi utusan oleh Allah Swt.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim.Di dalam kitah Sahihain disebutkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari
Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
Bukanlah orang kaya itu karena banyak memiliki harta benda, tetapi orang yang kaya itu adalah orang yang jiwanya kaya.Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بما آتاه»
Sesungguhnya beruntunglah orang yang Islam dan diberi rezeki secukupnya serta Allah telah menjadikannya menerima seadanya menurut apa yang diberikan oleh-Nya (diberi sifat qana'ah).Kemudian Allah Swt. dalam ayat selanjutnya berfirman:
{فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ}
Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (Adh-Dhuha: 9) Yakni sebagaimana engkau dahulu seorang yang yatim, lalu Allah melindungimu, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim.
Yakni janganlah kamu menghina, membentak, dan merendahkannya; tetapi perlakukanlah dia dengan baik, dan kasihanilah dia. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa jadilah engkau terhadap anak yatim
sebagai seorang ayah yang penyayang.
{وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ}
Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10) Yaitu sebagaimana engkau dahulu dalam keadaan kebingungan, lalu Allah memberimu petunjuk, maka janganlah
kamu menghardik orang yang meminta ilmu yang benar kepadamu dengan permintaan yang sesungguhnya. Ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan terhadap orang yang minta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10) Maksudnya, janganlah kamu bersikap sewenang-wenang, jangan sombong, jangan berkata kotor, dan jangan pula bersikap kasar terhadap orang-orang yang lemah dari hamba-hamba Allah.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah bila menolak orang miskin lakukanlah dengan sikap kasih sayang dan lemah lembut.
{وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ}
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Adh-Dhuha: 11) Yakni sebagaimana engkau dahulu orang yang kekurangan lagi banyak tanggungannya,'lalu
Allah menjadikanmu berkecukupan, maka syukurilah nikmat Allah yang diberikan kepadamu itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam doa yang di-ma’sur dari Nabi Saw. seperti berikut:
«وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ مُثِنِينَ بِهَا عَلَيْكَ قابليها وأتمها علينا»
Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu dan memanjatkan pujian kepada-Mu karenanya serta menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Iyas Al-Jariri,
dari Abu Nadrah yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang muslim memandang bahwa termasuk mensyukuri nikmat-mkmat Allah ialah dengan menyebut-nyebutnya (mensyukurinya dengan lisan).
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ، حَدَّثَنَا الْجَرَّاحُ بْنُ مَليح، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ: "مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ، لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ. وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شَكْرٌ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ. والجماعة رحمة، والفرقة عذاب"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Falih, dari Abu Abdur Rahman, dari Asy-Sya'bi, dari An-Nifman
ibnu Basyir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda di atas mimbar: Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, berarti tidak mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barang siapa yang tidak
berterima kasih kepada (jasa) orang lain, berarti dia tidak bersyukur kepada Allah. Dan menyebut-nyebut nikmat Allah adalah (ungkapan rasa) syukur, sedangkan meninggalkannya berarti mengingkarinya. Persatuan itu membawa rahmat dan berpecah belah itu membawa azab.
Sanad hadis ini daif.Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas, bahwa Kaum Muhajirin bertanya, "Wahai Rasulullah, orang-orang Ansar telah memborong semua pahala." Maka Nabi Saw. menjawab:
«لَا مَا دَعَوْتُمُ اللَّهَ لَهُمْ وَأَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ»
Tidak, selama kalian mendoakan mereka kepada Allah dan memuji sikap baik mereka.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Muslim, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada (kebaikan) orang lain.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Ibnul Mubarak, dari Ar-Rabi' ibnu Muslim, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُبْلِي بَلَاءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ"
Abu Daud mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Jarrah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang mendapat suatu cobaan (yang baik),
lalu ia menyebutnya, berarti dia telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkarinya. Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا بِشْرٌ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ غَزْية، حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ قَوْمِي، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أعطَى عَطاء فَوَجَد فَليَجزْ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَليُثن بِهِ، فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ"
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Imarah ibnu Gaziyyah, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan kaumku,
dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang diberi suatu pemberian, lalu ia mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka balaslah pemberian itu.
Maka barang siapa yang memuji pemberinya, berarti telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya (tidak menyebutnya), berarti dia telah mengingkarinya. Abu Daud mengatakan bahwa dan Yahya ibnu Ayyub
meriwayatkannya dari Imarah ibnu Gaziyyah, dari Syurahbil, dari Jabir; mereka tidak mau menyebut nama Syurahbil karena mereka tidak suka kepadanya. Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).
Mujahid mengatakan bahwa nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kenabian yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya. Yakni syukurilah kenabian yang telah diberikan Tuhanmu kepadamu.
Menurut riwayat yang lain, nikmat yang dimaksud adalah Al-Qur'an.Lais telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Al-Hasan ibnu Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Adh-Dhuha: 11)
Yakni kebaikan apapun yang telah kamu kerjakan, maka ceritakanlah hal itu kepada saudara-saudaramu. Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa apa yang telah diberikan
oleh Allah kepadamu berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang lain dan serulah (mereka) kepadanya. Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah Saw.
menceritakan karunia kenabian yang telah diterima olehnya itu kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu difardukanlah ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya.
Surat Ad-Duha |93:2|
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ
wal-laili iżaa sajaa
dan demi malam apabila telah sunyi,
And [by] the night when it covers with darkness,
(Dan demi malam apabila telah sunyi) telah tenang, atau telah menutupi dengan kegelapannya.
"Demi malam, apabila dia sudah sunyi-senyap." (ayat 2). Sumpah peringatan atas malam apabila sudah sunyi senyap ialah memperingatkan
betapa penting manusia istirahat mengambil kekuatan baru di malam hari untuk berjuang hidup lagi pada besok harinya.
Dan kelak apabila telah masuk dua pertiga malam, kira-kira sekitar pukul 3 hari akan siang di daerah Khatul-Istiwa ini,dianjurkan pulalah kita melakukan sembahyang tahajjud dan ditutup dengan witir,
sekurangnya 8 rakaat dan lebihnya berapa kita sanggup. Sehabis sembahyang kita duduk memohon ampun kepada Ilahi atau membawa Al-Qur'an sampai waktu Subuh datang.
Sesudah Tuhan mengambil sumpah dengan waktu dhuha dan larut malam itu, barulah Tuhan menuju apa yang Dia maksudkan dengan sumpah tersebut.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:3|
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
maa wadda'aka robbuka wa maa qolaa
Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu,
Your Lord has not taken leave of you, [O Muhammad], nor has He detested [you].
(Tiada meninggalkan kamu) tiada membiarkan kamu sendirian, hai Muhammad (Rabbmu, dan tiada pula Dia benci kepadamu) atau tidak senang kepadamu.
Ayat ini diturunkan setelah selang beberapa waktu yaitu lima belas hari wahyu tidak turun-turun kepadanya, kemudian orang-orang kafir mengatakan, sesungguhnya Rabb Muhammad telah meninggalkannya dan membencinya.
"Tidaklah Tuhanmu membuangmu, dan tidaklah Dia marah." (ayat 3). Artinya secara harfiyah "tidaklah Tuhanmu mengucapkan selamat tinggal kepadamu"
sehingga engkau merasa kesepian sebab Jibril tidak akan datang lagi. Dan tidaklah Tuhan marah sehingga engkau tidak diperdulikan lagi.
Menurut tafsir Ibnu Jarir, pernah beberapa lamanya terhenti turunnya wahyu,
sehingga belum ada lagi sambungan Al-Qur'an yang akan disampaikan oleh beliau SAW kepada manusia, sehingga merasa sepilah Nabi SAW.
Dan hal ini diketahui oleh kaum musyrikin, sampai mereka berkata: "Muhammad sudah diucapi selamat tinggal oleh Tuhannya dan telah dimarahi.
" Yang mengatakan demikian ialah isteri Abu Lahab. Lantaran itu datanglah ayat ini
;
bahwasanya persangkaan kaum musyrikin itu tidaklah benar, Tuhan tidak pernah meninggalkan Nabi-Nya dan tidak pernah marah kepadanya. Dia selalu didampingi oleh Tuhannya.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:4|
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
wa lal-aakhirotu khoirul laka minal-uulaa
dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.
And the Hereafter is better for you than the first [life].
(Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu) maksudnya kehidupan di akhirat itu lebih baik bagimu, karena di dalamnya terdapat kemuliaan-kemuliaan bagimu (dari permulaan) dari kehidupan duniawi.
"Dan sesungguhnya kesudahan itu, lebih baik bagimu daripada permulaan." (ayat 4). Janganlah berdukacita jika kadang-kadang terlambat datang wahyu itu kepadamu. Menurut tafsiran dari Al-Qasimi:
"Yang diujung pekerjaanmu ini akan lebih baik dari permulaannya." Artinya jika di permulaan ini kelihatan agak sendat jalannya,
banyak tantangan dan perlawanan, namun akhir kelaknya engkau akan mendapat hasil yang gilang-gemilang.
Dengan ayat ini diberikanlah kepada Rasul SAW dan kepada orang yang menyambung usaha Rasul suatu tuntunan hidup,
agar merasa besar hati dan besar harapan melihat zaman depan. Meskipun perjuangan itu dimulai dengan serba kesusahan,
namun pada akhirnya kelak akan didapat hasil yang baik. Dan ini bertemu dalam sejarah kebangkitan Islam.
Asal pekerjaan telah dimulai, akhir pekerjaan niscaya akan mendapati yang lebih baik daripada yang permulaan.
Yang pokok ialah keteguhan niat dan azam disertai sabar dan tabah hati.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:5|
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ
wa lasaufa yu'thiika robbuka fa tardhoo
Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.
And your Lord is going to give you, and you will be satisfied.
(Dan kelak Rabbmu pasti memberimu) di akhirat berupa kebaikan-kebaikan yang berlimpah ruah (lalu kamu menjadi puas) dengan pemberian itu.
Maka Rasulullah saw. bersabda, "Kalau begitu mana mungkin aku puas, sedangkan seseorang di antara umatku masih berada di neraka.
" Sampai di sini selesailah Jawab Qasam, yaitu dengan kedua kalimat yang dinisbatkan sesudah dua kalimat yang dinafikan.
"Dan sesungguhnya Tuhanmu akan memberi kepadamu, sehingga engkau ridha." (ayat 5).
Ayat ini pun berisi janji harapan yang disampaikan Tuhan sebagai bujukan kepada utusan-Nya yang dikasihi-Nya. Bahwa banyaklah kurnia dan anugerah yang akan diberikan kepadanya kelak,
sambil jalan dari permulaan menuju kesudahan itu, terutama anugerah ketinggian gensi dan martabat, kesempurnaan jiwa dan kebesaran peribadi,
ilmu dunia dan akhirat, pengetahuan tentang ummat-ummat yang dahulu, kemenangan menghadapi musuh-musuh,
ketinggian agama dan pernaklukan beberapa negeri; baik yang terjadi di zaman beliau sendiri atau di zaman khalifah-khalifah beliau,
dan akan tersebarlah agama ini ke seluruh dunia, ke Timur dan ke Barat,yang semuanya itu akan mendatangkan ridha, atau senang bahagia dalam hati Nabi Muhammad SAW.
Itulah rentetan bujukan dan obat penawar hati bagi Nabi SAW seketika agak terlambat wahyu bersambung datang.
Suatu peringatan bahwa perjalanan ini masih jauh dan kemenangan terakhir akan ada pada beliau.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:6|
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
a lam yajidka yatiiman fa aawaa
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu).
Did He not find you an orphan and give [you] refuge?
(Bukankah Dia mendapatimu) Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna Taqrir atau menetapkan (sebagai seorang yatim) karena ayahmu telah mati meninggalkan kamu sebelum kamu dilahirkan,
atau sesudahnya (lalu Dia melindungimu) yaitu dengan cara menyerahkan dirimu ke asuhan pamanmu Abu Thalib.
"Bukankah Dia dapati engkau dalam keadaan yatim, lalu Dia pelihara engkau?" (ayat 6).
Ini adalah lanjutan bujukan Tuhan pada ayat sebelumnya, bahwa Allah akan memberi kurnia kepada beliau sebanyak-banyaknya,
sehingga beliau merasa ridha, senang gembira. Yang demikian itu adalah kurnia yang dijanjikan
.
Adapun sebelum nikmat itu pun telah banyak, banyak sekali. Lalu Tuhan Allah memperingatkan nikmat yang beliau terima sejak beliau kecil.
Ayah beliau telah meninggal semasa beliau lagi dalam kandungan ibunya 2 bulan. Setelah dia lahir ke dunia,
sejak dari penjagaan ibu yang menyusukan beliau di desa Bani Sa'ad, yang bernama Halimatus-Sa'diyah,
sampai pulangnya ke Makkah dalam usia 4 tahun, sampai dalam pemeliharaan neneknya Abdul Muthalib, sampai pula kepada sambutan pemeliharaan Abu Thalib saudara ayahnya,
jelas sekali pada semuanya itu bahwa beliau tidak pernah lepas dari pemeliharaan dan pengasuhan Allah.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:7|
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
wa wajadaka dhooollan fa hadaa
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
And He found you lost and guided [you],
(Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung) mengenai syariat yang harus kamu jalankan (lalu Dia memberi petunjuk) Dia menunjukimu kepadanya.
"Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan bingung, lalu Dia pimpin?" (ayat 7). Sejak masa muda belianya telah kelihatan beliau tidak menyukai perbuatan-perbuatan kaumnya,
menyembah berhala, menternakkan uang dengan riba, memperbudak sesama manusia dengan sesuka hati, menguburkan anak-anak perempuan hidup-hidup.
Kadang-kadang berperang di antara satu kabilah dengan kabilah yang lain hanya karena soal-soal kecil. Beliau menolak semuanya itu.
Tetapi beliau bingung, tak tahu jalan, bagaimana memperbaiki kebobrokan yang didapatinya dalam masyarakat ini.
Lalu tertariklah hatinya hendak menyisihkan diri, menjari kejernihan pada jiwa, memohonkan petunjuk kepada Allah, maka datanglah wahyu. Dan diceritakan pula bahwa wahyu itu datang bertingkat-tingkat.
Mulanya berupa suatu mimpi yang benar, kemudian sebagai bunyi lonceng. Akhirnya datanglah malaikat membawa wahyu pertama di gua Hira'
.
Dengan datangnya wahyu sebagai hidayat daripada Allah, hilanglah kebingungan beliau dan dapatlah beliau memimpin kaumnya dan bangsa dan dunia seluruhnya.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:8|
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ
wa wajadaka 'aaa`ilan fa aghnaa
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
And He found you poor and made [you] self-sufficient.
(Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan) atau orang yang fakir (lalu Dia memberikan kecukupan) kepadamu dengan pemberian yang kamu merasa puas dengannya, yaitu dari ganimah dan dari lain-lainnya.
Di dalam sebuah hadis disebutkan, "Tiadalah kaya itu karena banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa."
"Dan didapati-Nya engkau dalam keadaan miskin, lalu Dia cukupkan." (ayat 8). Miskin hartabenda meskipun kaya budi,
sampai akhirnya menerima sambutan kekayaan Khadijah dan berniaga ke Syam. Akhirnya pulang dari Syam kawin dengan janda kaya itu,
sehingga sejak itu menjadi orang yang termasuk kayalah beliau di Makkah karena kekayaan isterinya.
Dari kecil yatim dipelihara oleh Tuhan. Dalam kebingungan diberi petunjuk oleh Tuhan.
Dalam keadaan miskin, dinaikkan Tuhan jadi orang kaya. Ini semuanya adalah nikmat yang telah beliau terima lebih dahulu dan akan banyak nikmat lagi.
Untuk mensyukuri nikmat yang berganda lipat yang telah diterima dan akan diterima itu:
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:9|
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
fa ammal-yatiima fa laa taq-har
Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
So as for the orphan, do not oppress [him].
(Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang) dengan cara mengambil hartanya atau lain-lainnya yang menjadi milik anak yatim.
"(Oleh sebab itu), adapun anak yatim, janganlah engkau hinakan." (ayat 9).Oleh sebab engkau sendiri telah merasai keyatiman itu,
dan Allah sendiri yang menanamkan kasih-sayang kepada pengasuh-pengasuhmu di waktu engkau kecil,
hendaklah engkau tunjukkan pula kasih-sayang kepada anak-anak yatim. Jangan engkau bersikap keras kepadanya,
jangan mereka dipandang hina. Tanamkanlah perasaan pada anak-anak yatim itu bahwa mereka dibela, dibelai dan dikasihi.
Hartabenda mereka hendaklah terjamin baik sampai dapat mereka terima sendiri setelah mereka dewasa.
Ini berlaku sendiri dalam kehidupan Rasulullah. Bagaimana beliau memperlakukan anak-anak yatim,
yang ayah mereka mati dalam perjuangan, jihad fi sabilillah. Ketika beliau meminang Ummi Salamah yang suaminya Abu Habsyi Salamah telah turut berjuang mendampingi Rasulullah,
sampai hijrah ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah dan mati dalam jihad,
meninggalkan anak-anak yatim, beliau katakan kepada Ummi Salamah, bahwa anak-anak yatim itu akan diasuh dan dididik bersama.
Di antara anak-anak itu ialah Zainab. Beliau ini terkenal cerdas fikiran dalam ilmu fiqh. Selalu disebut namanya Zainab binti Abu Salamah, rabibatu Rasulillah,
(anak tiri atau anak didik Rasulullah). Berkata Abu Rafi' Ash-Shaaigh: "Kalau aku terkenang ahli-ahli fiqh di negeri Madinah, selalu aku teringat akan Zainab. Dia adalah perempuan yang paling ahli fiqh di Madinah."
Ja'far bin Abu Thalib adalah kepala rombongan yang hijrah ke negeri Habsyi dan tinggal di sana bertahun-tahun. Setelah dia pulang di tahun ketujuh hijrah,
dia turut pergi ke berperang ke Mut'ah dan tewas syahid dalam peperangan itu bersama dengan Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah.
Tiga hari setelah berita kematian Ja'far itu Rasulullah SAW pergi melihati anak-anak yatim yang ditinggal mati oleh Ja'far itu.
Lalu beliau berkata: "Jangan kalian menangis juga mengingati saudaraku Ja'far mulai hari ini."
"Sejak hari itu kami beliau panggilkan "Ibnu Akhi" anak saudaraku" , kata Abdullah bin Ja'far. Anak yatim Ja'far bin Abu Thalib itu dua orang;
Muhammad dan Abdullah. Ketika ayahnya syahid anak-anak itu masih amat kecil-kecil, seorang digendong dan seorang dibimbing oleh ibunya.
Lalu beliau SAW menyuruh memanggil tukang cukur, beliau suruh cukur kepala anak-anak itu. Setelah itu beliau pegangi dan beliau kemban keduanya
Kepada Muhammad beliau katakan: "Muhammad ini menyerupai paman kami Abu Thalib.
Tetapi Abdullah (yang kecil) menyerupai aku, baik rupanya atau bentuk badannya." Kemudian beliau ambil tanganku kata Abdullah, diangkatkannya ke langit lalu beliau berdoa: "Ya Allah,
turunkanlah pengganti Ja'far dalam kalangan putera-puteranya, dan beri berkatlah Abdullah dalam segala usahanya."
Maka mendekatlah ibu anak-anak itu kepada beliau dan airmatanya berlinang,
sedih memikirkan anak-anak ini. Lalu beliau bersabda pula: "Jangan kau takut dan cemaskan keadaan mereka. Aku akan menjadi pengasuh mereka dunia dan akhirat."
Kemudian hari, lama setelah Rasulullah SAW meninggal,terkenallah Abdullah bin Ja'far karena kekayaannya dan kedermawanannya.Makbul padanya doa Rasulullah.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 9 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:10|
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
wa ammas-saaa`ila fa laa tan-har
Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).
And as for the petitioner, do not repel [him].
(Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya) membentaknya karena dia miskin.
"Dan adapun orang yang datang bertanya, janganlah engkau hardik." (ayat 10). As-Saail mempunyai dua arti. Yaitu bertanya dan meminta.
Dalam tafsiran menurut yang pertama, kalau datang orang menayakan soal-soal agama yang musykil baginya dan dia tidak tahu, hendaklah beri dia jawaban yang memuaskan.
Janganlah jengkel atau marah kepadanya jika ternyata dia bodoh. Inilah menurut tafsir Ar-Razi.
Tafsir yang kedua: "Jika ada orang datang meminta tolong, meminta bantu karena dia berkurangan,
jangan engkau sambut dengan sifat angkuh dan menghardik." Ini menurut Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari.
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 10 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Ad-Duha |93:11|
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
wa ammaa bini'mati robbika fa ḥaddiṡ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).
But as for the favor of your Lord, report [it].
(Dan terhadap nikmat Rabbmu) yang dilimpahkan kepadamu, yaitu berupa kenabian dan nikmat-nikmat lainnya (maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya) yakni mengungkapkannya dengan cara mensyukurinya.
Di dalam beberapa Fi'il pada surah ini Dhamir yang kembali kepada Rasulullah saw. tidak disebutkan karena demi memelihara Fawashil atau bunyi huruf di akhir ayat. Seperti lafal Qalaa asalnya Qalaaka;
lafal Fa-aawaa asalnya Fa-aawaaka; lafal Fahadaa asalnya Fahadaaka; dan lafal Fa-aghnaa asalnya Fa-aghnaaka
"Dan adapun dengan nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau dermakan." (ayat 11). Artinya syukurilah nikmat Tuhan yang telah engkau terima.
Kekayaan yang bersifat benda atau bersifat kejiwaan, hendaklah engkau dermakan pula. Hendaklah engkau murah
tangan dan hendaklah engkau nyatakan syukurmu kepada Tuhan atas nikmat itu. Janganlah engkau bakhil setelah beroleh kekayaan
.
Ingatlah betapa sakitnya hidup miskin sebagaimana telah engkau derita sebelum beristri Khadijah.
Ayat ini sangat pula mempengaruhi beliau. Sehingga kerapkalilah baju gamis atau jubah yang selalu beliau pakai sendiri,
beliau hadiahkan kepada seseorang, setelah dilihatnya dengan mata yang kaya dengan firasat itu bahwa orang tersebut amat ingin akan pakaian yang beliau pakai.
Ini banyak diceritakan di dalam Hadis-hadis.Berkata Ustazul Imam Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu' ‘Ammanya:
"Sudah menjadi kebiasaan orang yang bakhil menyembunyikan bahwa dia orang kaya, untuk jadi alasan baginya menahan dari memberikan bantuan kepada orang lain
atau untuk kepentingan umum. Biasa saja dia mengatakan bahwa dia sedang susah! Adapun orang yang telah melatih diri jadi dermawan senantiasalah
memberikan harta kurnia Allah yang telah diterimanya. Dan selalu dia memuji Tuhan, karena telah mencurahkan rezeki kepadanya
.
Lantaran itulah maka mendermakan harta, memberi makanan fakir dan miskin dan membantu orang-orang yang sangat memerlukan bantuan,
di ujung ayat ini disebut fahaddits, yang artinya secara harfiyah; hendaklah sebut-sebut! Bukan disebut–sebut dengan mulut
,
melainkan dibuktikan dengan perbuatan, sampai akhirnya mau tidak mau, jadi buah sebutan yang baik dari orang yang dibantu.
Ayat ini terhadap kepada Nabi Muhammad, perluaslah bantuan kepada fakir miskin.
Bukanlah artinya menyebut-nyebut saya kaya, kekayaan saya sekian; karena itu namanya membangga dan menyombong.
Bukan itulah yang disuruhkan Allah kepada Rasul-Nya. Tidak pernah tersebut dalam riwayat bahwa beliau membanggakan kekayaan.
Yang tersebut hanyalah bagaimana cepatnya beliau mengeluarkan harta kekayaannya untuk membantu orang lain.
Malahan kadang-kadang untuk keperluan dirinya sendiri dia lupa mengingatnya." Demikian isi tafsir Syaikh Muhammad Abduh.
Dan kita lihatlah Siirah atau riwayat hidup beliau SAW. Di waktu di Makkah memang beliau kaya dengan hartabenda yang ditinggalkan Khadijah.
Hartabenda itu pulalah yang menjaga muruah beliau, sehingga bagaimanapun besarnya rintangan kaum Quraisy,
beliau tetap dapat menjaga gengsi dan martabat diri. Dan kemudian setelah hijrah ke Madinah terbukalah dunia Arab di hadapannya,
seluruh masyriq dan maghrib telah jatuh ke bawah kuasanya, dan Tuhan memberikan seperlima bahagian dari harta rampasan perang (ghanimah)untuk beliau,
dan yang empat perlima lagi untuk para mujahidin. Tetapi dicatatlah oleh riwayat bahwa pernah sebulan rumahnya tidak berasap,
dan pernah beliau memulai niat puasa siang hari saja, karena persediaan makanan untuk sarapan pagi tidak ada di rumah.
Dan seketika beliau meninggal dunia tidaklah ada pusaka warisan yang beliau tinggalkan selain dari setengah guni gandum,
seekor unta tua dan sebuah tombak, tetapi tergadai pula di rumah seorang Yahudi.Pernah beliau jelaskan: "Seperlima harta rampasan itu dijelaskan untuk aku.
Tetapi dia pun aku kembalikan kepada kamu." Yaitu fakir miskin, orang-orang tua,orang-orang lemah, orang sakit, anak-anak yatim yang semuanya itu tidak ada kesanggupan turut berperang fi Sabilillah.
***
Menurut riwayat mufassir Ibnu Katsir, ada beberapa Hadis menerangkan bahwa setelah kita
selesai membaca Surat Adh-Dhuha, sunnatlah kita membaca takbir:Allahu Akbar, Walillahilham
Setelah selesai membaca Takbir itu barulah kita teruskan membaca Surat Alam Nasyrah.
Syaikh Syihabuddin Abu Syamah di dalam kitabnya "Syarahusy-Syathibiyah" meriwayatkan dari Asy-Syafi'i
, bahwa Asy-Syafi'i mendengar seseorang membaca Takbir sesudah membaca Surat Adh-Dhuha dalam sembahyang.
Lalu beliau berkata: "Perbuatanmu itu baik dan telah tepat menurut sunnah."
Tafsir Ibnu Katsir | Ad-Duha | 93 : 11 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:1|
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
a lam nasyroḥ laka shodrok
Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?,
Did We not expand for you, [O Muhammad], your breast?
(Bukankah Kami telah melapangkan) Istifham atau kata tanya di sini mengandung makna Taqrir atau menetapkan, yakni Kami telah melapangkan (untukmu) hai Muhammad (dadamu) dengan kenabian dan lain-lainnya.
"Bukankah telah Kami lapangkan untukmu dadamu?" (ayat 1). Tegas artinya ialah: Bukankah dadamu telah kami lapangangkan? Yang tadinya sempit karena susah atau dukacita,
atau sempit karena belum banyak diketahui jalan yang akan ditempuh, sehingga dengan Allah melapangkan dada itu,
timbullah kebijaksanaan dan timbullah hukum dan pertimbangan yang adil.Bukankah dengan petunjuk Kami dadamu telah lapang menghadap segala kesulitan?
Dalam ungkapan bahasa kita sendiri pun telah terkenal dipakai kata-kata "lapang", dan "sempit dada" sebagai ungkapan fikiran yang sempit.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 1 |
Tafsir ayat 1-8
Firman Allah Swt:
{أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ}
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (Alam Nasyrah: 1) Yakni Kami telah melapangkan dadamu. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Kami telah menjadikannya bercahaya dan luas lagi lapang. Semakna dengan apa yang telah disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلامِ
Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. (Al-An'am: 125) Dan sebagaimana Allah telah melapangkan dada Rasulullah Saw.
demikian pula Allah telah menjadikan syariatnya luas, lapang, toleran, lagi mudah, tiada kesulitan dan tiada beban serta tiada kesempitan padanya. Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan firman Allah Swt.:
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (Alam Nasyrah:1) Yakni Allah telah melapangkan dadanya di malam Isra, sebagaimana yang telah disebutkan dahulu melalui riwayat Malik ibnu Sa'sa'ah.
Imam Turmuzi telah mengetengahkannya dalam tafsir ayat ini. Dan jika memang hal itu terjadi di malam Isra sebagaimana yang telah disebutkan di dalam riwayat Malik ibnu Sa'sa'ah, maka pada hakikatnya tidaklah bertentangan
dengan pendapat di atas. Karena sesungguhnya akibat dari pengaruh yang dilakukan terhadap dada beliau di malam Isra, terjadi pula pengaruh yang sama setelah dilapangkan oleh Allah Swt. secara maknawi.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ َبُو يَحْيَى الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، حَدَّثَنِي أَبِي مُحَمَّدُ بْنُ مُعَاذٍ، عَنْ مُعَاذٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ جَرِيًّا عَلَى أَنْ يَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَشْيَاءَ لَا يَسْأَلُهُ عَنْهَا غَيْرُهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أولُ مَا رَأَيْتَ مِنْ أَمْرِ النُّبُوَّةِ؟ فَاسْتَوَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَقَالَ: "لَقَدْ سألتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنِّي لَفِي الصَّحْرَاءِ ابنُ عَشْرِ سِنِينَ وَأَشْهُرٍ، وَإِذَا بِكَلَامٍ فَوْقَ رَأْسِي، وَإِذَا رَجُلٌ يَقُولُ لِرَجُلٍ: أَهُوَ هُوَ؟ [قَالَ: نَعَمْ] فَاسْتَقْبَلَانِي بِوُجُوهٍ لَمْ أَرَهَا [لِخَلْقٍ] قَطُّ، وَأَرْوَاحٍ لَمْ أَجِدْهَا مِنْ خَلْقٍ قَطُّ، وَثِيَابٍ لَمْ أَرَهَا عَلَى أَحَدٍ قَطُّ. فَأَقْبَلَا إِلَيَّ يَمْشِيَانِ، حَتَّى أَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بعَضُدي، لَا أَجِدُ لِأَحَدِهِمَا مَسًّا، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: أَضْجِعْهُ. فَأَضْجَعَانِي بِلَا قَصْر وَلَا هَصْر. فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: افْلِقْ صَدْرَهُ. فَهَوَى أَحَدُهُمَا إِلَى صَدْرِي فَفَلَقَهُ فِيمَا أَرَى بِلَا دَمٍ وَلَا وَجَعٍ، فَقَالَ لَهُ: أَخْرِجِ الغِلّ والحَسَد. فَأَخْرَجَ شَيْئًا كَهَيْئَةِ الْعَلَقَةِ ثُمَّ نَبَذَهَا فَطَرَحَهَا، فَقَالَ لَهُ: أَدْخِلِ الرَّأْفَةَ وَالرَّحْمَةَ، فَإِذَا مِثْلُ الَّذِي أَخْرَجَ شبهُ الفضة، ثم هز إِبْهَامَ رِجْلِي الْيُمْنَى فَقَالَ: اغدُ وَاسْلَمْ. فَرَجَعْتُ بِهَا أَغْدُو، رِقَّةً عَلَى الصَّغِيرِ، وَرَحْمَةً لِلْكَبِيرِ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahim alias Abu Yahya Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Mu'az ibnu Muhammad ibnu Ubay ibnu Ka'b, telah menceritakan kepadaku Abu Muhammad ibnu Mu'az, dari Muhammad, dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa Abu Hurairah adalah orang yang paling berani menanyakan kepada Rasulullah Saw.
tentang berbagai masalah yang tidak ada seorang pun berani menanyakannya kepada beliau Saw. selain dia. Maka Abu Hurairah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang mula-mula engkau Iihat dari urusan kenabian ini?"
Rasulullah Saw. Duduk tegak dan menjawab: Sesungguhnya engkau telah menanyakan hal yang berbobot, hai Abu Hurairah! Sesungguhnya ketika usiaku menginjak sepuluh tahun lebih beberapa bulan, aku berada di padang Sahara.
Tiba-tiba aku mendengar pembicaraan di atas kepalaku, dan ternyata ada seorang laki-laki yang berbicara kepada laki-laki lainnya, "Apakah orang ini adalah dia?” Maka keduanya datang menyambutku dengan penampilan
wajah yang sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya, dan sama sekali belum pernah pula aku melihat arwah seperti itu sebelumnya, dan belum pernah pula aku melihat pakaian yang dikenakannya pernah dikenakan oleh seseorang.
Keduanya datang kepadaku dengan jalan kaki, hingga masing-masing dari keduanya memegang kedua lenganku, tetapi anehnya aku tidak merasa sentuhan tangan keduanya. Salah seorang berkata kepada yang lainnya,
'Rebahkanlah dia.' Lalu keduanya merebahkan diriku tanpa paksa dan tanpa sulit. Kemudian salah seorangnya berkata kepada yang lainnya, "Belahlah dadanya, " maka salah seorangnya menurut penglihatanku membelah dadaku
tanpa ada darah yang mengalir dan tanpa rasa sakit. Lalu berkata kepada yang membelahku, "Keluarkanlah iri hati dan dengki.” Lalu ia mengeluarkan sesuatu yang bentuknya seperti segumpal darah, kemudian ia membuangnya jauh-jauh.
Dan berkata lagi ia kepada orang yang membelahku, "Masukkanlah lemah lembut dan kasih sayang.” Maka tiba-tiba kulihat sesuatu sebesar apa yang baru dikeluarkan, bentuknya mengilap seperti perak
(dimasukkan ke dalam dadaku), kemudian ia mengguncangkan jempol kakiku yang sebelah kanan, dan berkata, "Kembalikanlah ke semula dalam keadaan utuh.”
Maka setelah itu aku pulang dengan berlari dan terasa dadaku dipenuhi oleh perasaan lembut terhadap anak kecil dan kasih sayang kepada orang dewasa.Firman Allah Swt.:
{وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ}
dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu. (Alam Nasyrah: 2) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ}
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. (Al-Fath: 2) Adapun firman Allah Swt.:
{الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ}
yang memberatkan punggungmu. (AlamNasyrah: 3) Al-inqad artinya suara (tulang punggung bila memikul beban berat). Dan bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: yang memberatkan punggungmu. (AlamNasyrah: 3) Yakni membebanimu dengan beban yang berat. Dan mengenai firman selanjutnya:
{وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ}
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. (Alam Nasyrah: 4) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'tidaklah Aku disebut melainkan namamu disebut pula bersama-Ku' yaitu dalam kalimah 'aku bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah'.Qatadah mengatakan bahwa Allah meninggikan (mengangkat) sebutan namanya di dunia dan di akhirat. Maka tiada seorang khatib pun,
tiada seorang yang membaca syahadat pun, dan tiada orang yang salat pun melainkan mengucapkannya, yaitu kalimah, 'aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.'
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يُونُسُ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَراج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَتَانِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: إِنَّ رَبِّي وَرَبَّكَ يَقُولُ: كَيْفَ رَفَعْتُ ذِكْرَكَ؟ قَالَ: اللَّهُ أَعْلَمُ. قَالَ: إِذَا ذُكِرتُ ذُكِرتَ مَعِي"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Haris, dari Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id, dari Rasulullah Saw.,
bahwa beliau Saw. pernah bersabda: Jibril datang kepadaku dan berkata, " Sesungguhnya Tuhanku dan Tuhanmu pernah berfirman, 'Tahukah kamu bagaimana Aku meninggikan sebutan (nama)mu?' Jibril menjawab, 'Allah lebih mengetahui.'
Allah berfirman, Apabila nama-Ku disebut, maka disebutpula namamu bersama-Ku'.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Yunus, dari Abdul A’la dengan sanad yang sama. Abu Ya’la meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Lahi'ah,
dari Darij.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا أَبُو عُمر الحَوضي، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سَأَلْتُ رَبِّي مَسْأَلَةً وَدَدْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ سَأَلْتُهُ، قُلْتُ: قَدْ كَانَتْ قَبْلِي أَنْبِيَاءُ، مِنْهُمْ مَنْ سُخِّرَتْ لَهُ الرِّيحُ وَمِنْهُمْ مَنْ يُحْيِي الْمَوْتَى. قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَلَمْ أَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَيْتُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَبِّ. قَالَ: أَلَمْ أَجِدْكَ ضَالًّا فَهَدَيْتُكَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَبِّ. قَالَ: أَلَمْ أَجِدْكَ عَائِلًا فَأَغْنَيْتُكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: بَلَى يَا رَبِّ. قَالَ: أَلَمْ أَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ؟ أَلَمْ أَرْفَعْ لَكَ ذِكْرَكَ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَبِّ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Umar Al-Haudi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ata ibnus Sa’ib
dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku pernah menanyakan suatu masalah kepada Tuhanku, padahal aku tidak menginginkan untuk menanyakan hal itu kepada-Nya.
Aku bertanya, "Sesungguhnya di antara nabi-nabi sebelumku ada yang telah Engkau tundukkan angin baginya, dan di antara mereka ada yang dapat menghidupkan orangmati.”Allah Swt. Balik bertanya,
"Wahai Muhammad bukankah Aku mendapatimu sebagai seorang yang yatim piatu, lalu Aku melindungimu?” Aku menjawab, "Benar, ya Tuhanku.” Allah berfirman, "Bukankah Aku mendapatimu sebagai seorang yang bingung,
lalu Aku memberimu petunjuk?” Aku menjawab, "Benar, ya Tuhanku.” Allah berfirman, "Bukankah Aku mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Aku memberimu kecukupan.” Aku menjawab, "Benar, ya Tuhanku.”
Allah berfirman, "Bukankah Aku telah melapangkan dadamu, bukankah Aku telah meninggikan sebutan (nama)mu?” Aku menjawab, "Benar, ya Tuhanku.” Abu Na'im di dalam kitab Dala'ilun Nubuwwah mengatakan:
حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الْغِطْرِيفِيُّ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ الجَوْني، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ بَهْرام الْهِيَتِيُّ، حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَطَاءٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمَّا فَرَغْتُ مِمَّا أَمَرَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ أَمْرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلْتُ: يَا رَبِّ، إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا وَقَدْ كَرَّمْتَهُ، جَعَلْتَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَمُوسَى كَلِيمًا، وَسَخَّرْتَ لِدَاوُدَ الْجِبَالَ، وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ وَالشَّيَاطِينَ، وَأَحْيَيْتَ لِعِيسَى الْمَوْتَى، فَمَا جَعَلْتَ لِي؟ قال: أو ليس قَدْ أَعْطَيْتُكَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، أَنِّي لَا أُذْكَرُ إِلَّا ذُكِرْتَ مَعِي، وَجَعَلْتُ صُدُورَ أُمَّتِكَ أَنَاجِيلَ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ظَاهِرًا، وَلَمْ أُعْطِهَا أُمَّةً، وَأَعْطَيْتُكَ كَنْزًا مِنْ كُنُوزِ عَرْشِي: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ"
telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Al-Gatrifi, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sahl Al-Juwaini, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Bahzan Al-Haiti, telah menceritakan kepada
kami Nasr ibnu Hammad, dari Usman ibnu Ata, dari Az-Zuhri, dari Anas yang mengatakan bahwaRasulullah Saw. pernah bersabda: Setelah aku selesai dari menerima apa yang diperintahkan kepadaku menyangkut semua urusan
langit dan bumi, lalu aku bertanya, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tiada seorang nabi pun sebelumku melainkan Engkau telah memuliakannya; Engkau telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil (kekasih), Musa sebagai Kalim
(yang Engkau ajak bicara langsung), Engkau telah tundukkan gunung-gunung bagi Daud, dan bagi Sulaiman angin dan semua setan, dan Engkau hidupkan bagi Isa orang-orang yang telah mati. Maka apakah yang Engkau
berikan kepadaku?”Allah berfirman, "Bukankah Aku telah memberimu dari hal tersebut seluruhnya, bahwa sesungguhnya tidaklah nama-Ku disebut melainkan engkau disebut pula bersama-Ku; dan Aku telah menjadikan dada
umatmu sebagai kitab-kitab, mereka dapat membaca Al-Qur’an secara hafalan, dan hal itu belum pernah Kuberikan kepada suatu umat pun. Dan Aku telah memberimu suatu perbendaharaan dari 'Arasy-Ku,
yaitu kalimah 'tidak ada daya (untuk menghindar dari maksiat) dan tiada kekuatan (untuk mengerjakan ibadah) kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar'.” Al-Bagawi telah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas dan Mujahid, bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah azan, yakni nama beliau Saw. disebutkan dalam azan. Lalu Al-Bagawi menyitir bait-bait syair yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit:
أغَرّ عَلَيه لِلنُّبُوَّةِ خَاتَم ... مِنَ اللَّهِ مِنْ نُور يَلوحُ وَيشْهَد ... وَضمَّ الإلهُ اسْمَ النَّبِيِّ إِلَى اسْمِهِ ... إِذَا قَالَ فِي الخَمْس المؤذنُ: أشهدُ ... وَشَقَّ لَهُ مِن اسْمِهِ ليُجِلَّه ... فَذُو العَرشِ محمودٌ وهَذا مُحَمَّدُ
Kedudukannya (Nabi Saw.) sebagai penutup nabi Allah lebih terang dari cahaya yang kita lihat. Dan juga Allah telah menggabungkan nama Nabi dengan nama-Nya, bila seorang muazzin mengucapkan kalimah yang kelima dalam azannya,
yaitu 'asyhadu...'. Dan Allah telah membelah buatnya sebagian dari nama-Nya untuk menjadikannya orang yang diagungkan. Tuhan Yang mempunyai 'Arasy Mahmud (Yang Maha Terpuji), dan dia bernama Muhammad (orang yang terpuji).
Ulama lainnya mengatakan bahwa Allah meninggikan sebutan namanya di kalangan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian. Dan Allah memuliakan namanya saat mengambil perjanjian dari para nabi,
yaitu hendaknya mereka beriman kepada Nabi Muhammad dan hendaklah mereka memerintahkan kepada umatnya masing-masing untuk beriman kepadanya. Kemudian Allah memasyhurkan sebutannya di kalangan umatnya,
maka tidak sekali-kali nama Allah disebut melainkan ia pun disebut bersama nama-Nya. Alangkah baiknya apa yang telah dikatakan oleh As-Sarsari rahimahullah dalam bait syairnya:
لَا يَصِحُّ الأذانُ فِي الفَرْضِ إِلَّا ... باسمِه العَذْب فِي الْفَمِ المرْضي ...
Tidaklah sah azan dalam salat fardu melainkan dengan menyebut namanya yang enak disebut oleh lisan yang diridai. Disebutkan pula dalam bait syair lainnya:
[ألَم تَر أنَّا لَا يَصحُّ أذانُنَا ... وَلا فَرْضُنا إنْ لَمْ نُكَررْه فِيهِمَا]
Tidakkah engkau perhatikan, bahwa tidaklah sah azan kita dan tidak sah (pula) salat fardu kita bila kita tidak menyebut-nyebut namanya dalam keduanya. Firman Allah Swt.:
{فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا}
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah: 5-6) Allah Swt. menceritakan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan, kemudian berita ini diulangi-Nya lagi.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا حُميد بْنُ حَمَّادِ بْنِ خَوَار أَبُو الْجَهْمِ، حَدَّثَنَا عَائِذُ بْنُ شُريح قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَحِيَالَهُ حجر، فقال: "لو جاء العسر فدخل هذا الحجر لَجَاءَ الْيُسْرُ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ فَيُخْرِجَهُ"، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (5) {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا}
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Hamid ibnu Hammad ibnu Abu Khuwar alias Abu Jahm, telah
menceritakan kepada kami Aiz ibnu Syuraih yang mengatakan bahwa Anas ibnu Malik pernah menceritakan bahwa Nabi Saw. duduk dan di hadapannya terdapat sebuah batu, maka beliau Saw. bersabda: Seandainya kesulitan datang,
lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan akan datang dan masuk ke dalamnya, lalu mengusirnya. Dan Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah: 5-6) Abu Bakar Al-Bazzar meriwayatkan hadis ini di dalam kitab musnadnya, dari Muhammad ibnu Ma'mar, dari Humaid ibnu Hammad dengan sanad yang sama yang lafaznya
seperti berikut:
"لَوْ جاء العسر حتى يدخل هذا الحجر لَجَاءَ الْيُسْرُ حَتَّى يُخْرِجَهُ" ثُمَّ قَالَ: {فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا}
Seandainya kesulitan datang, lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan akan datang dan mengusirnya. KemudianNabi Saw. membacakan firman-Nya: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah: 5-6) Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahui hadis ini diriwayatkan dari Anas kecuali oleh Aiz ibnu Syuraih. Menurut hemat kami, Abu Hatim Ar-Razi
telah mengatakan sehubungan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aiz, bahwa dia berpredikat lemah. Tetapi Syu'bah telah meriwayatkannya dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnu Mas'ud secara mauquf.
Dan Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abu Qatn, telah menceritakan kepada kami
Al-Mubarak ibnu Fudalah, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa mereka (para sahabat) mengatakan bahwa satu kesulitan tidak dapat mengalahkan dua kemudahan.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَر، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَسْرُورًا فَرِحًا وَهُوَ يَضْحَكُ، وَهُوَ يَقُولُ: "لَنْ يَغْلِب عُسْر يُسْرَيْنِ، لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ، فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا، إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa di suatu hari Nabi Saw. keluar dalam keadaan senang
dan riang seraya tersenyum, lalu bersabda: Satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan, satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadis Auf Al-A'rabi dan Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan secara mursal. Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah,
bahwa telah diceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. menyampaikan berita gembira kepada para sahabatnya dengan ayat ini, lalu beliau Saw. bersabda:
"لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ".
Satu kesulitan tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan. Yang beliau maksudkan adalah firman Allah Swt: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Alam Nasyrah: 5-6)
Dikatakan demikian karena al-'usr yang pertama sama dengan al-'usr yang kedua. Lain halnya dengan yusr, ia berbilang (yakni dua) karena yang pertama lain dengan yang kedua.
قَالَ الْحَسَنُ بْنُ سُفْيَانَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا خَارِجَةُ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "نَزَّلَ الْمَعُونَةَ مِنَ السَّمَاءِ عَلَى قَدْرِ الْمَؤُونَةِ، وَنَزَّلَ الصَّبْرَ عَلَى قَدْرِ الْمُصِيبَةِ"
Al-Hasan ibnu Sufyan mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Kharijah, dari Abbad ibnu Kasir, dari Abuz Zanad, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Pertolongan diturunkan dari langit sesuai dengan kadar pembiayaan, dan kesabaran diturunkan sesuai dengan kadar musibah. Dan termasuk di antara nasihat yang bersumber dari Imam Syafii disebutkan sebagai berikut:
صَبرا جَميلا مَا أقرَبَ الفَرجا ... مَن رَاقَب اللَّهَ فِي الْأُمُورِ نَجَا ... مَن صَدَق اللَّهَ لَم يَنَلْه أذَى ... وَمَن رَجَاه يَكون حَيثُ رَجَا ...
Bersabarlah dengan kesabaran yang baik, maka alangkah dekatnya jalan kemudahan itu. Barang siapa yang merasa dirinya selalu berada dalam pengawasan Allah dalam semua urusan, niscaya ia akan selamat.
Dan barang siapa yang membenarkan janji Allah, niscaya tidak akan tertimpa oleh musibah. Dan barang siapa yang berharap kepada Allah, maka akan terjadilah seperti apa yang diharapkan.
Ibnu Duraid mengatakan bahwa Abu Hatim As-Sijistani telah membacakan bait-bait syair berikut kepadanya, yaitu:
إِذَا اشْتَمَلَتْ عَلَى الْيَأْسِ القلوبُ ... وَضَاقَ لِمَا بِهِ الصَّدْرُ الرحيبُ ... وَأَوْطَأَتِ الْمَكَارِهُ وَاطْمَأَنَّتْ ... وَأَرْسَتْ فِي أَمَاكِنِهَا الخطوبُ ... وَلَمْ تَرَ لِانْكِشَافِ الضُّرِّ وَجْهًا ... وَلَا أَغْنَى بحيلته الأريبُ أَتَاكَ عَلَى قُنوط مِنْكَ غَوثٌ ... يَمُنُّ بِهِ اللَّطِيفُ المستجيبُ ... وَكُلُّ الْحَادِثَاتِ إِذَا تَنَاهَتْ ... فَمَوْصُولٌ بِهَا الْفَرَجُ الْقَرِيبُ ...
Bilamana hati dipenuhi oleh rasa putus asa, dan dada yang luas menjadi terasa scmpit, dan hal-hal yang tidak disukai datang menimpa diri, serta banyak musibah yang dialaminya, sehingga ia tidak melihat adanya celah untuk
melepaskan diri dari bahaya yang sedang menimpa diri, dan tiada gunanya lagi semua upaya untuk menanggulanginya. Maka akan datanglah kepadamu pertolongan bila hatimu berserah diri kepada-Nya,
yaitupertolongan dari Tuhan Yang Mahalembut lagi Maha Memperkenankan doa. Semua musibah apabila telah mencapai puncaknya pasti berhubungan langsung denganjalan keluarnyayang tidak lama.Penyair lainnya mengatakan
dalam bait-bait syairnya:
وَلَرُب نَازِلَةٍ يَضِيقُ بِهَا الْفَتَى ... ذَرْعًا وَعِنْدَ اللَّهِ مِنْهَا الْمَخْرَجُ ... كَمُلَتْ فَلَمَّا اسْتَحْكَمَتْ حَلْقَاتُهَا ... فُرِجَتْ وَكَانَ يَظُنُّهَا لَا تُفْرَجُ ...
Betapa banyak musibah yang menimpa diri seseorang hingga membuatnya terasa sempit, sedangkan di sisi Allah adajalan keluar darinya. Bilamana musibah mencapai puncaknya,
maka pastilah adajalan keluarnya, padahalyang bersangkutan mengira tiada jalan keluar darinya. Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ}
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyrah: 7-8) Yakni apabila kamu telah
merampungkan urusan-urusan duniamu dan kesibukannya dan telah kamu selesaikan semua yang berkaitan dengannya, maka bulatkanlah tekadmu untuk ibadah dan bangkitlah kamu kepadanya dalam keadaan bersemangat.
Curahkanlah hatimu dan ikhlaskanlah niatmu dalam beribadah kepada-Nya dan berharap kepada-Nya. Termasuk pula ke dalam pengertian ini sebuah hadis yang telah disepakati kesahihannya, yaitu yang mengatakan:
"لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلَا وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ"
Tiada salat di hadapan makanan, dan tiada salat pula sedangkan yang bersangkutan menahan keinginan membuang kedua air (buang air kecil dan buang air besar). Dan sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ، فَابْدَءُوا بالعَشَاء"
Apabila salat diiqamahkan, sedangkan makan malam telah disediakan, maka mulailah dengan menyantap makan malam dahulu. Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa apabila kamu telah
merampungkan urusan duniamu, lalu kamu berdiri untuk salat, maka kerjakanlah salatmu dengan sungguh-sungguh dengan menghadap kepada Tuhanmu. Dalam riwayat lain yang bersumber dari Qatadah disebutkan pula bahwa
apabila berdiri untuk salat, maka berdoalah dengan sungguh-sungguh untuk keperluanmu. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas'ud, bahwa apabila engkau telah mengerjakan salat-salat fardumu, maka kerjakanlah qiyamul lail
dengan sungguh-sungguh. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Iyad hal yang semisal dengan pendapat Ibnu Mas'ud. Menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyrah: 7-8) Yakni sesudah engkau selesaikan salatmu, sedangkan engkau masih dalam keadaan duduk.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (AlamNasyrah: 7)
Yaitu dalam berdoa.Zaid ibnu Aslam dan Ad-Dahhak telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka apabila kamu telah selesai. (AlamNasyrah: 7)
Maksudnya, dari melakukan jihad. kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Alam Nasyrah: 7) Yakni kerjakanlah ibadah dengan sungguh-sungguh.
{وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ}
dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Alam Nasyrah: 8) As-Sauri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jadikanlah niatmu dan harapanmu hanya tertuju kepada Allah Swt. semata.
Surat Al-Insyirah |94:2|
وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ
wa wadho'naa 'angka wizrok
dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu,
And We removed from you your burden
(Dan Kami telah menghilangkan) telah melenyapkan (darimu dosamu.)
"Dan telah Kami lepaskan daripadamu beban beratmu?" (ayat 2).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:3|
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
allażiii angqodho zhohrok
yang memberatkan punggungmu,
Which had weighed upon your back
(Yang memberatkan) yang memayahkan (punggungmu) ayat ini maknanya sama dengan ayat lainnya yaitu, firman-Nya, "....supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu..." (Q.S. Al-Fath:2)
"Yang telah menekan punggungmu?" (ayat 3).Berbagai tafsir telah saya baca tentang arti wizraka di sini.
Beberapa ahli tafsir mengatakan: Beban berat ialah tekanan dosa yang menimpa perasaan Nabi SAW.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menguatkan bahwa arti wizraka di sini ialah dosa-dosa. Dan itu adalah dosa-dosa zaman jahiliyah,meskipun di zaman jahiliyah itu beliau tidak pernah menyembah berhala.
Tetapi satu tafsir menarik hati kita dan cocok dengan perasaan kita ialah yang diriwayatkan dari Abdul Aziz bin Yahya dan Abu 'Ubaidah:
"Dan Kami telah lepaskan daripadamu beban beratmu," ialah tanggungjawab nubuwwat.
Sebab menjadi Nabi dan Rasul adalah satu beban berat. Itulah telah dibuat ringan oleh Allah sehingga tidak berat memikulnya lagi."
Ibnu 'Arafah pun menafsirkan secara demikian: "Beban berat yang membuat tulang punggung jadi bungkuk memikulnya.
Mengadakan seruan da'wah kepada kaumnya, padahal sedikit sekali yang mau mengacuhkan katanya. Dan "assabiqunal awwalun",
atau orang-orang yang mula-mula masuk itu umumnya ialah golongan-golongan lemah.
Sedang di seluruh Tanah Arab faham musyrik yang lebih berkuasa, kesesatan lebih berpengaruh dan kekuatan
ada pada tangan mereka." Ini semuanya adalah suatu pikulan yang amat berat, laksana dapat mematahkan tulang punggung.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:4|
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
wa rofa'naa laka żikrok
dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu.
And raised high for you your repute.
(Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu) yakni sebutan namamu sebagai contohnya ialah namamu disebutkan bersama-sama dengan nama-Ku di dalam azan, iqamah, tasyahhud, khotbah dan lain sebagainya.
"Dan telah Kami tinggikan bagimu sebutan kamu." (ayat 4). Meskipun demikian beratnya beban nubuwwat yang laksana membuat tulang punggung jadi bungkuk,
namun sebutanmu Kami naikkan. Namamu Kami junjung tinggi. Mujahid menafsirkan:
"Tidaklah disebut orang nama-Ku, namun namamu turut disebutkan bersama nama-Ku."
Menurut riwayat yang dirawikan oleh Abu Dhahak dari Ibnu Abbas, berkata beliau: "Bila disebut orang nama-Ku,
namamu pun turut disebut dalam azan (bang), dalam iqamat, dalam syahadat. Di hari Jum'at di atas mimbar, di Hari Raya 'Idul Fithri,
di Hari Raya 'Idul Adhha, di Hari Tasyriq di Mina, di hari wuquf di 'Arafah, di hari melontar jumrah ketiganya,
di antara bukit Shafa dan Marwah, bahkan sampai kepada khutbah nikah, namun namamu disejejerkan menyebutkannya dengan nama-Ku,
sampai ke Timur, sampai ke Barat. Malahan jika adalah seseorang menyembah beribadat kepada Allah yang Maha Kuasa,
seraya mengakui akan adanya syurga dan neraka, dan segala yang patut diakui,
padahal tidak dia akui bahwa engkau Rasulullah, tidaklah ada manfaatnya segala pengakuannya itu, malahan dia masih kafir." Demikian satu tafsir Ibnu Abbas.
Dan lebih tepat lagi tafsir Imam Asy-Syafi'i. Beliau berkata: Artinya ialah: "Tidak menyebut nama-Ku,
melainkan mesti diiringi dengan namamu. Kalau orang mengucapkan Asyhadu Alla Ilaha Illallah,
barulah sah setelah diiringkan dengan Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."
Kata Imam Syafi'i lagi: "Ucapan syahadat yang seiring dua itu adalah alamat Iman,
dan ucapan seiring pada azan adalah panggilan ibadat. Diseiringkan pula ketika membaca Al-Qur'an dan segala amal shalih dan taat
,
dan ketika berhenti dari maksiat." Kata beliau seterusnya: "Apa saja pun nikmat yang menyentuh kita,
baik lahir ataupun batin. Atau nasib baik yang kita capai, baik dunia atau akhirat,
atau kita terhindar bencana dosa yang kita benci, di dunia dan akhirat, atau di salah satu keduanya, pastilah Muhammad yang menjadi sebabnya.
Dari itu dapatlah diketahui bahwa meskipun pada lahirnya sebutan itu terbatas, namun dia pun mengandung jika dzikr-qalbi (ingatan dalam hati), sehingga meliputi segala lapangan ibadat dan ketaatan.
Seorang yang berakal lagi beriman, apabila dia mengingat Allah, akan senantiasa teringat pula dia kepada orang yang
memperkenalkan Allah itu kepadanya dan siapa yang menunjukkan jalan bagaimana cara mentaati perintah Allah itu.
Itulah Rasul Allah Shalallahu 'alaihi wasallama. Sebagai dikatakan orang:
Engkau adalah laksana pintu untuk menuju Allah; siapa saja yang hendak datang kepada-Nya tidaklah dapat masuk kalau tidak melalui gerbangmu.
Demikianlah tafsir dari Al-Imam Asy-Syafi'i r.a.Dan boleh juga engkau katakan.
"Yang dimaksud dengan meninggikan sebutannya itu ialah selalu memuliakannya dan menyebut namanya pada sekalian syi'ar-syi'ar agama yang lahir.
Yang pertama sekali ialah kalimat syahadat, sebagai pokok pertama dari agama.
Kemudian itu pada azan dan iqamat dan sembahyang dan khutbah dan sebagainya." Itulah tafsir dari Asy-Syihab.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:5|
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
fa inna ma'al-'usri yusroo
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,
For indeed, with hardship [will be] ease.
(Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu) atau kesukaran itu (ada kelapangan) yakni kemudahan.
"Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 5). Ini adalah Sunnatullah! Nabi Muhammad merasa berat beban itu sampai seakan-akan hendak patah tulang punggung memikulnya.
Namun di samping beratnya beban, atau beserta dengan beratnya beban, namanya diangkat Tuhan ke atas,
sebutannya dimuliakan! Karena demikianlah rupanya Sunnatullah itu; kesulitan selalu beserta kemudahan.
Yang sulit saja tidak ada! Yang mudah saja pun tidak ada! Dalam susah berisi senang, dalam senang berisi susah;
itulah perjuangan hidup. Dan ini dapat diyakinkan oleh orang-orang yang telah mengalami.
Penulis tafsir ini sendiri mendapat pengalaman besar sekali untuk meresapkan intisari ayat ini seketika ditahan dua tahun empat bulan dengan secara kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan!
Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah rasanya diri ini gila.
Tetapi akal terus berjalan; maka ilham Allah pun datang. Cepat-cepat saya baca Al-Qur'an, sehingga pada 5 hari penahanan yang pertama saja, 3 kali Al-Qur'an khatam dibaca.
Lalu saya atur jam-jam buat membaca dan jam-jam buat mengarang tafsir Al-Qur'an yang saya baca itu.
Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak lagi memikirkan bilakah akan keluar.
Akhirnya setelah terjadi kekacauan politik gara-gara Komunis pada 30 September 1965 itu di bulan Mei 1966 saya dibebaskan,
saya telah selesai pula menulis Tafsir Al-Qur'an 28 Juzu'. Karena 2 Juzu' 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum ditangkap dalam masa dua tahun.
Dan kemudian itu pada tahun kelima, Irfan. Lebih dari separuh belanja perjalanan kami bertiga beranak ialah dari hasil honorarium (royalty) Tafsir Al-Azhar Juzu' 1.
Ada penafsiran bahwa "Sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (Lihat Terjemahan Al-Qur'an Kementrian Agama hal. 1037). Dia mengartikan ma'a dengan ba'da; beserta dengan sesudah.
Memang ada juga dalam Al-Qur'an disebutkan:"Kelak Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan."(Ath-Thalaq: 7)
Ayat ini adalah lebih khusus sifatnya, yaitu memberi harapan kepada suami isteri yang dalam kesempitan tekanan-tekanan ekonomi dalam rumahtangga;
sesudah sekarang susah, nanti akan mudah. Bahkan dalam kesulitan itu sendiri ada kemudahan.
Pada mulanya kadang-kadang orang tidak menampakkannya. Namun setelah diperhatikan dengan Iman, jelaslah kelihatan. Lalu diulang sekali lagi untuk lebih mantap dalam fikiran:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:6|
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
inna ma'al-'usri yusroo
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Indeed, with hardship [will be] ease.
(Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan) Nabi saw. banyak sekali mengalami kesulitan dan hambatan dari orang-orang kafir,
kemudian beliau mendapatkan kelapangan dan kemudahan, yaitu setelah beliau mengalami kemenangan atas mereka.
"Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 6). Dan itu memang akan terjadi terus, berulang-ulang,
kesulitan itu senantiasa disertai kemudahan; dalam susah ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya.
Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, fikiran mencari jalan keluar.
Oleh sebab itu dapatlah diyakinkan bahwa kesukaran, kesulitan, kesempitan,
marabahaya yang mengancam dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit,
dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, yang dengan sendirinya menjadikan manusia itu orang yang dinamis.
Tetapi ini pasti akan tercapai hanya jika Iman di dada dipupuk, jangan lemah iman.
Karena lemah iman akan menyebabkan kita terjatuh di tengah jalan sebelum sampai kepada akhir yang dituju,
yang akan ternyata kelak bahwa kesulitan adalah kejayaan dan keberuntungan yang tiada taranya.
Kadang-kadang sesuatu pengalaman yang pahit menjadi kekayaan jiwa yang tinggi mutunya, jadi kenangan yang amat indah untuk membuat hidup lebih matang.
Sehingga datang suatu waktu kita mengucapkan syukur yang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya karena Tuhan telah berkenan mendatangkan kesulitan itu kepada kita pada masa yang lampau.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:7|
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
fa iżaa faroghta fanshob
Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain),
So when you have finished [your duties], then stand up [for worship].
(Maka apabila kamu telah selesai) dari sholat (bersungguh-sungguhlah kamu) di dalam berdoa.
Itulah suatu keajaiban hidup!"Maka apabila engkau telah selesai, maka tegaklah." (ayat 7).
Artinya apabila telah selesai suatu pekerjaan atau suatu rencana telah menjadi kenyataan: Fan-shab! Artinya bersiaplah buat memulai pekerjaan yang baru.
Dengan kesadaran bahwa segala pekerjaan yang telah selesai atau yang akan engkau mulai lagi tidaklah terlepas daripada kesulitan,
tapi dalam kesulitan itu kemudahan pun akan turut serta. Ada-ada saja nanti ilham yang akan diberikan Allah kepadamu,
asal engkau senantiasa menyandarkan segala pekerjaanmu itu kepada Iman. Tetapi sekali-kali jangan lupa, yaitu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Insyirah |94:8|
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ
wa ilaa robbika farghob
dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
And to your Lord direct [your] longing.
(Dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap) atau meminta dengan merendahkan diri.
"Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap." (ayat 8). Inilah satu pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada Rasul-Nya dan akan dipusakakan oleh Rasul kepada ummatnya,
yang tegak berjuang menyambung perjalanan memikul "beban berat" itu menjalankan perintah Tuhan; selesai satu usaha,
mulai lagi usaha baru. Tapi Tuhan jangan ditinggalkan! Jangan gentar menghadapi kesukaran,
karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal engkau pergunakan otakmu buat memecahkannya. Sebab Tuhan tidak pernah mengecewakan orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ada juga difahamkan orang dari hal pertalian ayat 5 dan ayat 6, beserta kesulitan ada kemudahan,
bersama kesulitan ada kemudahan. Dan melihat bahwa 'usri (kesulitan) yang tercantum di ayat 6 adalah terjepit di antara dua yusran,
sebab itu maka 'usri tidaklah akan menang. Akhirnya dia mesti kalah juga. Sebab 'usrin yang dijepit oleh dua yusran. Ataupun adalah sikap jiwa dari Saiyidina Umar bin Khathab sendiri.
Maka tersebutlah di dalam kitab Al-Muwaththa' Imam Malik, di dalam Kitab pada menyatakan Jihad, suatu riwayat demikian bunyinya:
"Dari Zaid bin Aslam, berkata dia: "Abu 'Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khathab
yang isinya menerangkan bahwa suatu Tentara Rum yang sangat besar telah siap akan menyerang mereka, kekuatan tentara itu amat mencemaskan."
Surat itu dibalas oleh Saiyidina Umar bin Khathab, di antara isinya: "Amma Ba'du. Bagaimana jua pun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman,
namun Allah akan melepaskannya jua dari kesukaran itu, karena satu 'usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua Yusran." Di waktu saya masih kanak-kanank,
ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syi'ir,yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghapalnya dan menyanyikan pula:
"Apabila bala bencana telah bersangatan menimpamu: Fikirkan segera Surat Alam Nasyrah; 'Usrun terjepit di antara dua Yusran, kalau itu telah engkau fikirkan, niscaya engkau akan gembira."
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Insyirah | 94 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:1|
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ
wat-tiini waz-zaituun
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
By the fig and the olive
(Demi Tin dan Zaitun) keduanya adalah nama buah, atau dapat juga keduanya diartikan nama dua buah gunung yang menumbuhkan kedua buah tersebut.
Dalam ayat yang pertama: "Demi buah tin, demi buah zaitun." (ayat 1). Terdapat berbagai tafsiran. Menurut Mujahid dan Hasan,
kedua buah-buahan itu diambil jadi sumpah oleh Tuhan untuk diperhatikan. Buah TIN diambil sumpah karena dia buah yang terkenal untuk dimakan,
buah ZAITUN karena dia dapat ditempa dan diambil minyaknya. Kata Qatadah: "Tin adalah nama sebuah bukit di Damaskus dan Zaitun nama pula dari sebuah bukit di Baitul-Maqdis.
" Tandanya kedua negeri itu penting untuk diperhatikan. Dan menurut sebuah riwayat pula,
yang diterima dari Ibnu Abbas, "Tin adalah mesjid yang mula didirikan oleh Nuh di atas gunung Al-Judi, dan Zaitun adalah Baitul-Maqdis.
Banyak ahli tafsir cenderung menyatakan bahwa kepentingan kedua buah-buahan itu sendirilah yang menyebabkan keduanya diambil jadi sumpah.
Buah Tin adalah buah yang lunak, lembut, kemat, hampir berdekatan rasanya dengan buah serikaya yang tumbuh di negeri kita dan banyak sekali tumbuh di Pulau Sumbawa. Zaitun masyhur karena minyaknya.
Tetapi terdapat lagi tafsir yang lain menyatakan bahwa buah Tin dan Zaitun itu banyak sekali tumbuh di Palestina.
Di dekat Jerusalem pun ada sebuah bukit yang bernama Bukit Zaitun, karena di sana memang banyak tumbuh pohon zaitun itu. Menurut kepercayaan dari bukit itulah Nabi Isa Almasih mi'raj ke langit
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 1 |
Tafsir ayat 1-8
Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan tafsir surat ini, ada beberapa pendapat yang cukup banyak di kalangan mereka mengenainya. Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan tin adalah sebuah masjid di kota Dimasyq.
Menurut pendapat yang lainnya adalah buah tin. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi adalah nama sebuah gunung penuh dengan buah tin.Al-Qurtubi mengatakan bahwa tin adalah nama masjid As-habul Kahfi.
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Al-Aufi, bahwa tin di sini adalah masjid Nabi Nuh yang ada di puncak Bukit Al-Judi. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah pohon tin kalian ini.Sedangkan mengenai zaitun menurut Ka'bul Ahbar,
Qatadah, Ibnu Zaid, dan yang lainnya— hal ini adalah nama sebuah masjid yang terletak di kota Yerussalem (Baitul Maqdis). Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah buah zaitun yang kalian peras ini.
{وَطُورِ سِينِينَ}
dan demi Bukit Sinai. (At-Tin: 2) Ka'bul Ahbar dan yang lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini adalah nama bukit yang di tempat itu Allah berbicara langsung kepadaMusaa.s.
{وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ}
dan demi kota (Mekah) ini yang aman. (At-Tin: 3) Makna yang dimaksud adalah kota Mekah, menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Ibrahim An-Nakha'i, Ibnu Zaid, dan Ka'bul Ahbar; tiada perbedaan pendapat di kalangan
mereka dalam hal ini. Sebagian para imam mengatakan bahwa ketiganya merupakan nama tiga tempat yang pada masing-masingnya Allah telah mengutus seorang nabi dari kalangan Ulul 'Azmi para pemilik syariat-syariat yang besar
Yang pertama ialah tempat yang dipenuhi dengan tin dan zaitun, yaitu Baitul Maqdis, Allah telah mengutus Isa putra Maryam padanya. Yang kedua adalah Tur Sinai, yakni nama bukit yang padanya Allah berbicara langsung kepada
Musa ibnu Imran. Dan yang ketiga ialah Mekah alias kota yang aman; yang barang siapa memasukinya, pasti dia dalam keadaan aman; di tempat inilah Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. Mereka mengatakan bahwa
pada akhir kitab Taurat nama ketiga tempat ini disebutkan, "Allah datang dari Bukit Sinai —yakni tempat yang padanya Allah berbicara langsung kepada Musa a.s. ibnu Imran Dan muncul di Sa'ir, nama sebuah bukit di Baitul Maqdis,
yang padanya Allah mengutus Isa. Dan tampak di bukit-bukit Faran, yakni bukit-bukit Mekah yang darinya Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. Maka Allah Swt. menyebutkan nama-nama ketiga tempat itu seraya memberitakan
tentang mereka yang diutus-Nya secara tertib dan menurut urutan zamannya. Untuk itulah hal ini berarti Allah bersumpah dengan menyebut yang mulia, lalu yang lebih mulia darinya, kemudian yang lebih mulia dari keseluruhannya.
Firman Allah Swt.:
{لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ}
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tin: 4) Dan inilah subjek sumpahnya, yaitu bahwa Allah Swt. telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya.
{ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ}
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5) Yakni neraka, menurut Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Yakni kemudian sesudah penciptaan yang paling baik lagi paling
indah itu, tempat kembali mereka adalah ke neraka, jika mereka tidak taat kepada Allah dan tidak mengikuti rasul-rasul-Nya. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ}
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. (At-Tin:6) Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (At-Tin: 5)
Yaitu kepada usia yang paling hina. Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Ikrimah, sehingga Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang hafal Al-Qur'an seluruhnya, maka ia tidak akan memasuki usia yang paling hina.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir. Seandainya hal itulah yang dimaksud oleh makna ayat, niscaya tidaklah menjadi indah pujian bagi kaum mukmin, mengingat sebagian dari mereka adalah yang mengalami usia pikun.
Dan sesungguhnya makna yang dimaksud hanyalah sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, yakni ke neraka, bukan ke usia yang paling hina alias pikun. Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, (Al-'Asr: 1-3) Adapun firman Allah Swt.:
{فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ}
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (At-Tin: 6) Yakni tiada habis-habisnya, sebagaimana yang sering diterangkan sebelumnya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
{فَمَا يُكَذِّبُكَ}
Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan. (At-Tin: 7) hai anak Adam.
{بَعْدُ بِالدِّينِ}
(hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7) Maksudnya, pembalasan di hari kemudian. Sesungguhnya kamu telah mengetahui permulaan kejadianmu dan telah mengetahui bahwa Tuhan
yang mampu menciptakan dari semula berkuasa pula untuk mengembalikannya jadi hidup, bahkan itu lebih mudah bagi-Nya. Maka apakah yang mendorongmu mendustakan adanya hari pembalasan, padahal engkau telah mengetahui hal tersebut?
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Mansur yang mengatakan bahwa aku pernah bertanya kepada
Mujahid mengenai makna firman-Nya: Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (At-Tin: 7)
Apakah yang dimaksud adalah Nabi Saw.? Maka Mujahid menjawab, "Ma'azallah, makna yang dimaksud adalah manusia." Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan lain-lainnya. Firman Allah Swt:
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ}
Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (At-Tin: 8) Yakni bukankah Dia Hakim yang paling adil, yang tidak melampaui batas dan tidak aniaya terhadap seseorang pun. Dan termasuk dari sifat adil-Nya ialah Dia mengadakan hari kiamat,
lalu orang yang dianiaya di dunia dapat membalas kepada orang yang pernah berbuat aniaya kepadanya di hari itu. Dalam pembahasan yang lalu telah kami terangkan melalui hadis Abu Hurairah secara marfu':
«فَإِذَا قَرَأَ أَحَدُكُمْ وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فَأَتَى عَلَى آخِرِهَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحاكِمِينَ فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ من الشاهدين»
Apabila seseorang di antara kamu membaca Wat Tini Waz Zaituni (surat At-Tin), lalu sampai pada ayat terakhirnya, yaitu firman Allah Swt., "Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya, " maka hendaklah ia mengucapkan, "Benar, dan aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi atas hal tersebut.”
Surat At-Tin |95:2|
وَطُورِ سِينِينَ
wa thuuri siiniin
demi Gunung Sinai,
And [by] Mount Sinai
(Dan demi bukit Sinai) nama sebuah bukit tempat sewaktu Allah swt. berfirman kepada Nabi Musa. Arti lafal Siiniina ialah yang diberkahi atau yang baik karena memiliki banyak pohon yang menghasilkan buah.
"Demi gunung Sinai." (ayat 2). Di ayat ini disebut namanya Thurisinina, disebut juga Thursina, disebut juga Sinai dan disebut juga Thur saja. Kita kenal sekarang dengan sebutan Semenanjung Sinai.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:3|
وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
wa haażal-baladil-amiin
dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.
And [by] this secure city [Makkah],
(Dan demi kota ini yang aman) yaitu kota Mekah, dinamakan kota aman karena orang-orang yang tinggal di dalamnya merasa aman, baik pada zaman jahiliah maupun di zaman Islam.
"Demi negeri yang aman ini." (ayat 3). Negeri yang aman ini ialah Makkah, tempat ayat ini diturunkan.Sebab itu dikatakan "INI".
Berkata Ibnu Katsir: Berkata setengah imam-imam: Inilah tiga tempat, yang di masing-masing tempat itu Allah telah membangkitkan Nabi-nabi utusan-Nya,
Rasul-rasul yang terkemuka, mempunyai syariat yang besar-besar. Pertama tempat yang di sana banya tumbuh Tin dan Zaitun.
Itulah Baitul-Maqdis. Di sanalah Tuhan mengutus Isa bin Maryam 'alaihis-salam. Kedua: Thurisinina, yaitu Thurisina, tempat Allah bercakap-cakap dengan Musa bin 'Imran, 'alaihis-salam.
Ketiga: Negeri yang aman, yaitu Makkah. Barangsiapa yang masuk ke sana, terjaminlah keamanannya. Di sanalah diutus Tuhan Rasul-Nya Muhammad SAW.
Kata Ibnu Katsir selanjutnya: "Dan di dalam Taurat pun telah disebut tempat yang tiga ini: 'Telah datang Allah dan Thursina,
' yaitu Allah telah bercakap-cakap dengan Musa. 'Dan memancar Dia dari Seir', yaitu sebuah di antara bukit-bukit di Baitul-Maqdis,
yang di sana Isa Almasih dibangkitkan. 'Dan menyatakan dirinya di Faran'. Yaitu nama bukit-bukit Makkah,
tempat Muhammad SAW diutus. Maka disebutkan itu semua guna memberitakan adanya Rasul-rasul itu sebab itu diambil-Nya sumpah berurutan yang mulia, yang lebih mulia dan yang paling mulia."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya "Al-Jawab Ash-Shahih, liman baddala dinal Masih"
(Jawab yang jitu untuk siapa yang menukar-nukar Agama Almasih), menerangkan juga ayat di dalam Taurat ini: Bertemu di dalam "Kitab Ulangan", Fasal 33, ayat 2.
Demikian bunyinya pada salinan Bible (Al-Kitab) cetakan terakhir dalam bahasa Indonesia: "2 maka katanya: Bahwa Tuhan telah datang dari Torsina,
dan telah terbit bagi mereka itu dari Seir; kelihatanlah Ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran." (Lembaga Alkitab Indonesia 1970).
Maka datanglah komentar dari Ulama-ulama Besar Islam, yang didapat dalam keterangan Abu Muhammad Ibnu Qutaibah:
"Dengan ini tidak tersembunyi lagi bagi barangsiapa yang sudi memperhatikan. Karena Tuhan datang dari Torsina itu ialah turunnya Taurat kepada Musa di Thursina;
sebagaimana yang diperpegangi oleh ahlil-kitab dan oleh kita Kaum Muslimin. Demikian juga tentang terbitnya di Seir,
ialah turunnya Injil kepada Almasih 'alaihis-salam. Almasih berasal dari Seir, bumi Jalil di sebuah desa bernama Nashirah, dan dari nama desa itulah pengikut Almasih menamakan diri mereka Nasrani.
Maka sebagaimana sudah pastinya bahwa Dia terbit di Seir mengisyaratkan kedatangan Almasih,
maka dengan sendirinya gemerlapan cahayanya di bukit Paran itu ialah turunnya Al-Qur'an kepada Muhammad SAW di bukit-bukit Paran, yaitu bukit-bukit Makkah."
Ibnu Taimiyah berkata selanjutnya: "Tidak ada pertikaian di antara Kaum Muslimin dengan ahlul-kitab bahwa Gunung Paran itu ialah Makkah
. Kalau mereka hendak memungkiri bahwa Paran itu ialah Makkah, dan itu bisa saja terjadi karena mereka tidak keberatan mengobah isi kitabnya atau membuat dusta,
bukankah di dalam Taurat juga dinyatakan bahwa Ibrahim menempatkan Hajar dan Ismail di Paran? (Kejadian, Fasal 21, ayat 19-21). Dan Dia katakan:
tunjukkanlah kepada kami suatu tempat lain yang gemerlapan cahaya di sana, adakah yang paran lain?
Dan adakah timbul di sana seorang Nabi "gemerlapan" cahayanya sesudah Isa Almasih yang menyerupai tersebarnya Islam di Timur dan di Barat?"
Abu Hasyim bin Thafar berkata: "Seir adalah sebuah bukit di Syam, tempat lahirnya Almasih. Kataku: "Di dekat Beitlehem,
desa tempat Almasih dilahirkan, sampai sekarang ada sebuah desa bernama Seir. Di sana pun ada sebuah bukit bernama bukit Seir.
Berdasar kepada ini telah tersebutlah tiga bukit. Yaitu Bukit Hira', yang di sekeliling Makkah tidak ada bukit yang lebih tinggi dari dia. Di sanalah mula turunnya wahyu kepada Muhammad SAW.
Dan bertali-tali dengan bukit-bukit itu terdapat lagi banyak bukit yang lain. Kumpulan semuanya dinamai Paran sampai kini. Di sanalah mula turunnya Al-Qur'an,
dan daratan luas di antara Makkah dengan Thursina itu dinamai dataran Paran. Kalau akan dikatakan bahwa di daratan itulah Nabi yang dmaksud, maka sampai sekarang tidaklah ada Nabi timbul di daratan itu."
Di dalam ayat dalam Ulangan tersebut bertemu tiga ayat: (1) Tuhan telah datang di Torsina, (2) telah terbit, (3) telah gemerlapan cahayanya.
Maka datangnya Taurat adalah laksana terbitnya fajar. Terbit di bukit Seir, adalah matahari telah terbit, dan gemerlapan cahayanya ialah bahwa Matahari Al-Qur'an telah naik memancar tinggi,
sehingga menerangi seluruh alam Masyriq dan Maghrib, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri:
"Telah dibentangkan bagiku muka bumi ini seluruhnya, sehingga aku lihat Timurnya dan Baratnya. Akan sampailah ummatku ke seluruh bumi yang terbentang itu."(Riwayat Muslim)
Maka bersumpahlah Tuhan: Demi buah tin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina, demi negeri yang aman Tuhan bersumpah dengan tin dan zaitun, itulah lambang dari pegunungan Jerusalem Tanah Suci,
yang di sana kedua buah-buahan itu banyak tumbuh, dan di sana Almasih diutus Allah dengan Injilnya.
Dan bersumpah pula Tuhan dengan Thursina, yaitu gunung tempat Tuhan bercakap dengan Musa dan tempat Tuhan memanggil dia,
di lembahnya yang sebelah kanan, di tumpak tanah yang diberi berkat bernama Thuwa, di pohon kayu itu. Dan bersumpah pula Tuhan dengan Negeri yang aman sentosa ini, yaitu negeri Makkah,
di sanalah Ibrahim menempatkan puteranya tertua Ismail bersama ibunya Hajar. Dan negeri itu pulalah yang dijadikan Allah tanah haram yang aman sentosa.
Sedang di luar batasnya orang rampas-merampas, rampok-merampok, culik-menculik dan dijadikan-Nya negeri itu aman dalam kejadian,
aman dalam perintah Tuhan, aman dalam takdir dan aman menurut syara'." Seterusnya Ibnu Taimiyah berkata: "Maka firman Tuhan 'Demi buah tin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina.
Demi negeri yang aman ini,' adalah sumpah kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada ketiga tempat yang mulia lagi agung, yang di sana sinar Allah dan petunjuk-Nya
dan ketiga tempat itu diturunkan ketiga kitab-Nya: Taurat, Injil dan Al-Qur'an, sebagaimana yang telah disebutkannya ketiganya itu dalam Taurat:
"Datang Allah dari Torsina, telah terbit di Seir dan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran." Sekedar itu kita salinkan dari Ibnu Taimiyah.
Selanjutnya ada pula penafsir-penafsir zaman sekarang sebagai disebutkan oleh Al-Qasimi
di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi tempat bersemadinya Buddha Gaotama ketika beliau mencari Hikmat Tertinggi.
Buddha adalah pendiri dari agama Buddha yang di kemudian harinya telah banyak berobah dari ajarannya yang asli.
Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan lama sesudah matinya. Dia hanya diriwayatkan sebagai riwayat-riwayat Hadis-hadis dalam kalangan kita Muslimin,
dari mulut ke mulut. Lama kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-pemeluknya bertambah maju.
Menurut penafsir ini pendiri agama Buddha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni atau Gaotama.
Mula kebangkitannya ialah seketika dia berteduh bersemadi di bawah pohon kayu Bodhi yang besar.
Di waktu itulah turun wahyu kepadanya, lalu dia ditutus menjadi Rasul Allah. Syaitan berkali-kali mencoba memperdayakannya,
tetapi tidaklah telap. Pohon Bodhi itu menjadi pohon yang suci pada kepercayaan penganut Buddha, yang mereka namai juga Acapala.
Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir yang menafsirkan buah Tin di dalam Al-Qur'an itu dengan pohon Bodhi tempat Buddha bersemadi,
belum mendalami benar-benar filsafat ajaran Buddha. Menurut penyelidikan ahli-ahli, Buddha itu lebih banyak mengajarkan filsafat menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan Ketuhanan.
Lalu pengikut Buddha yang datang di belakang memuaskan hati mereka dengan menuhankan Buddha itu sendiri.
Tetapi seorang ulama Besar dari Arabia dan Sudan, Syaikh Ahmad Soorkati yang telah mustautin di Indonesia ini pernah pula menyatakan perkiraan beliau,
kemungkinan besar sekali bahwa yang dimaksud dengan seorang Rasul Allah yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an Dzul-Kifli: Itulah Buddha!
Asal makna dari Dzul-Kifli ialah yang empunya pengasuhan, atau yang ahli dalam mengasuh. Mungkin mengasuh jiwa manusia.
Maka Syaikh Ahmad Soorkati menyatakan pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama negeri tempat Buddha dilahirkan, yaitu Kapilawastu.
Dan semuanya ini adalah penafsiran. Kebenarannya yang mutlak tetaplah pada Allah sendiri.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:4|
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
laqod kholaqnal-insaana fiii aḥsani taqwiim
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,
We have certainly created man in the best of stature;
(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia) artinya semua manusia (dalam bentuk yang sebaik-baiknya) artinya baik bentuk atau pun penampilannya amatlah baik.
"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu atas sebaik-baik pendirian." (ayat 4). Ayat inilah permulaan dari apa yang telah Allah mulaikan lebih dahulu dengan sumpah.
Yaitu, bahwasanya di antara makhluk Allah di atas permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk lahir dan bentuk batin.
Bentuk tubuh dan bentuk nyawa. Bentuk tubuhnya melebihi keindahan bentuk tubuh hewan yang lain. Tentang ukuran dirinya,
tentang manis air-mukanya, sehingga dinamai basyar, artinya wajah yang mengandung gembira, sangat berbeda dengan binatang yang lain. Dan manusia diberi pula akal, bukan semata-mata nafasnya yang turun naik.
Maka dengan perseimbangan sebaik-baik tubuh dan pedoman pada akalnya itu dapatlah dia hidup di permukaan bumi ini menjadi pengatur
. Kemudian itu Tuhan pun mengutus pula Rasul-rasul membawakan petunjuk bagaimana caranya menjalani hidup ini supaya selamat.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:5|
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
ṡumma rodadnaahu asfala saafiliin
kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
Then We return him to the lowest of the low,
(Kemudian Kami kembalikan dia) maksudnya sebagian di antara mereka (ke tempat yang serendah-rendahnya) ungkapan ini merupakan kata kiasan bagi masa tua,
karena jika usia telah lanjut kekuatan pun sudah mulai melemah dan pikun. Dengan demikian ia akan berkurang dalam beramal, berbeda dengan sewaktu masih muda;
sekalipun demikian dalam hal mendapat pahala ia akan mendapat imbalan yang sama sebagaimana sewaktu ia beramal di kala masih muda, hal ini diungkapkan dalam firman selanjutnya, yaitu:
"Kemudian itu, Kami jatuhkan dia kepada serendah-rendah yang rendah." (ayat 5). Demikianlah Allah mentakdirkan kejadian manusia itu. Sesudah lahir ke dunia, dengan beransur tubuh menjadi kuat dan dapat berjalan,
dan akal pun berkembang, sampai dewasa, sampai di puncak kemegahan umur. Kemudian itu beransur menurun badan tadu, beransurlah tua. Beransur badan lemah dan fikiran mulai pula lemah,
tenaga mulai berkurang, sehingga mulai rontok gigi, rambut hitam berganti dengan uban, kulit yang tegang menjadi kendor, telinga pun beransur kurang pendengarannya, dan mulailah pelupa.
Dan kalau umur itu masih panjang juga mulailah padam kekuatan akal itu sama-sekali, sehingga kembali seperti kanak-kanak,
sudah minta belas kasihan anak dan cucu. Malahan ada yang sampai pikun tidak tahu apa-apa lagi. Inilah yang dinamai "Ardzalil-‘umur";
tua nyanyuk. Sehingga tersebut di dalam salah satu doa yang diajarkan Nabi SAW agar kita memohon juga kepada Tuhan jangan sampai dikembalikan kepada umur sangat tua (Al-Harami) dan pikun itu.
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:6|
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
illallażiina aamanuu wa 'amilush-shooliḥaati fa lahum ajrun ghoiru mamnuun
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.
Except for those who believe and do righteous deeds, for they will have a reward uninterrupted.
(Kecuali) melainkan (orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya) atau pahala yang tak pernah terputus.
Di dalam sebuah hadis telah disebutkan, bahwa apabila orang mukmin mencapai usia tua hingga ia tidak mampu lagi untuk mengerjakan amal kebaikan,
maka dituliskan baginya pahala amal kebaikan yang biasa ia kerjakan di masa mudanya dahulu.
"Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih." (pangkal ayat 6). Menurut tafsir dari Ibnu Jarir: "Beriman dan beramal shalih di waktu badan masih muda dan sihat." "Maka untuk mereka adalah ganjaran yang tiada putus-putus." (ujung ayat 6).
Doa yang diajarkan Nabi SAW itu ialah:Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau daripada bakhil dan pemalas,
dan tua dan kembali pikun dan daripada siksa kubur dan fitnah Dajjal dan fitnah hidup dan fitnah mati.(Riwayat Bukhari daripada Anas bin Malik)
Menurut keterangan Saiyidina Ali bin Abu Thalib kembali kepada umur tua renta ardzalil-'umur itu ialah tujuh lima tahun.
Di dalam Al-Qur'an umur tua renta ardzalil-'umur itu sampai dua kali. Yaitu ayat 70 dari Surat An-Nahl (lebah) Surat 16 dan Surat Al-Hajj (22) ayat 5.
Ktika menafsirkan Ardzalil-'umur itu terdapatlah satu tafsir dari Ibnu Abbas demikian bunyinya: "Asal saja dia taat kepada Allah di masa-masa mudanya,
meskipun dia telah tua sehingga akalnya mulai tidak jalan lagi, namun buat dia masih tetap dituliskan amal shalihnya sebagaimana di waktu mudanya itu jua,
dan tidaklah dia akan dianggap berdosa lagi atas perbuatannya di waktu akalnya tak ada lagi itu. Sebab doa adalah beriman. Dia adalah taat kepada Allah di masa mudanya."
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Ikrimah:"Barangsiapa yang mengumpulkan Al-Qur'an tidaklah akan dikembalikan kepada ardzalil-'umur. Kepada tua pikun. Insya Allah!"
Tentang ini penulis tafsir ini berpengalaman. 'Ammati (saudara perempuan ayahku), Uaik Tuo Aisyah meninggal dalam usia 86 tahun. Sejak beberapa tahun sebelum meninggal beliau telah pekak tuli,
sehingga tidak mendengar lagi apa yang kita bicarakan dekat beliau. Tetapi sejak masih gadisnya beliau menuruti ajaran ayahnya,
Tuanku Syaikh Amrullah yaitu mewiridkan membaca Al-Qur'an sekhatam-sekhatam. Dan kalau tidak ada kesempatan, namun Surat-surat Yaa-Siin, Al-Waqiah, Al-Kahfi,
Al-Mulk dan beberapa Surat yang lain yang beliau hafal di luar kepala. Dan Surat-surat itulah yang selalu beliau baca
. Maka meskipun sudah tua dan telinga sudah pekak, namun beliau tidak sampai pikun. Kerja beliau sehari-hari hanya membaca Al-Qur'an sehingga pekaknya tidak jadi rintangan baginya
. Setelah dia sakit akan meninggal, mulutnya masih berkomat-kamit membaca Al-Qur'an.
Dan beberapa jam lagi akan menutup mata masih sempat dengan senyum dia berkata bahwa dia mendengarkan suara-suara yang indah merdu membaca Al-Qur'an.
Lalu beliau suruh anak cucu yang mengelilingnya turut berdiam mendengarkan bacaan itu. Padahal bacaan itu tidak didengar oleh mereka.
Dan beliau pun meninggal dalam senyum, barangkali dalam suasana mendengar suara merdu membaca Al-Qur'an.
Sebaliknya ada juga saya dapati, terutama orang-orang perempuan yang telah tua, yang kira-kira usianya telah mencapai 80 atau 90 tahun menjadi amat pikun hilang sama sekali ingatannya,
padahal di waktu mudanya dia pun tidak pernah meninggalkan sembahyang lima waktu. Untuk menentramkan hati kita, saya salinkan di sini sebuah Hadis:
"Seorang anak yang dilahirkan apabila telah mulai bertumbuh pengertiannya, jika dia bekerja yang baik, ditulislah pahala untuk ayahnya atau kedua orang tuanya. Dan jika dia berbuat salah,
tidaklah ditulis untuk dirinya dan tidak untuk orang tuanya. Apabila dia telah berkesadaran, mulailah berjalan Qalam Tuhan,
diperintah Tuhan dua malaikat yang selalu menyertainya agar anak itu dijaga baik-baik dan diawasi. Apabila telah mencapai empat puluh tahun dalam Islam,
damankan Allahlah dia daripada bala bencana yang tiga macam: (1) gila, (2) penyakit kusta, (3) penyakit balak. Apabila telah mencapai enam puluh tahun diberi Allahlah dia kesukaan kembali kepada Allah (Inabah) dengan amalan-amalan yang disukai Allah.
Apabila dia telah mencapai tujuh puluh tahun, jatuh cintalah kepadanya seluruh isi langit. Apabila dia telah mencapai delapan puluh tahun,
dituliskan Allahlah segala kebaikannya dan dilampaui Tuhan saja kesalahan-kesalahannya. Apabila dia telah mencapai sembilan puluh tahun diampuni Allahlah dosa-dosanya,
yang terdahulu dan yang terkemudian, dan menjadi syafa'atlah dia pada kalangan ahli rumahnya dan ditulislah dia sebagai Aminullah (Kepercayaan Allah)
dan adalah dia tawanan Allah di muka bumi-Nya. Apabila telah mencapai dahulunya,
akan dituliskan Allah tentang dirinya yang baik-baik saja, sebagaimana yang diamalkannya di waktu sihatnya dahulu, dan kalau dia berbuat salah, tidaklah dituliskan apa-apa."(Riwayat Abu Ya'ala dari Hadis Anas bin Malik)
Maka terpulanglah kepada Tuhan Allah sendiri, berapa umur yang akan Dia berikan kepada kita;
entah mati muda atau sampai mencapai usia lanjut, asal kita sendiri mematuhi perintah-perintah Allah sejak masih muda remaja,
sehingga tetap menjadi modal hidup di hari tua. Dan kita pun tetap memohon jangan kiranya kita sampai jadi tua pikun yang sampai memberati kepada anak cucu. Amin!
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 6 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:7|
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ
fa maa yukażżibuka ba'du bid-diin
Maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari Pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?
So what yet causes you to deny the Recompense?
(Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan) hai orang kafir (sesudah itu) yakni sesudah hal-hal yang telah disebutkan tadi, yaitu mengenai penciptaan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,
kemudian dijadikan-Nya tua dan pikun, yang hal ini menunjukkan kepada kekuasaan-Nya untuk membangkitkan makhluk hidup kembali (hari pembalasan) yang terlebih dahulu diawali dengan hari kebangkitan lalu perhitungan amal perbuatan.
Maksudnya apakah gerangan yang mendorongmu mendustakan hal tersebut Tentu saja tidak ada yang mendorongnya untuk mendustakan hal tersebut selain dirinya sendiri.
"Maka apakah sesuatu yang akan mendustakan kamu tentang agama?"(ayat 7). Artinya: Kalau sudah demikian halnya, yaitu bahwa Allah telah menciptakan engkau, hai Insan demikian rupa,
dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan setelah lanjut umur kamu akan jatuh menjadi serendah-rendahnya kalau tidak ada pendidikan dan asuhan beragama semenjak kecil,
apa lagikah alasan bagi kamu akan mendustakan agama? Bukankah ajaran agama itu yang akan memberikan pegangan bagi kamu menempuh hidup ini, sejak mudamu sampai kepada hari tuamu?
Bagaimanalah jadinya nasib kamu menempuh hidup ini kalau kamu tidak hidup beragama? Dan kalaupun ada, tetapi tidak kamu pegang dengan baik? "Bukankah Allah itu yang paling adil di antara segala yang menghukum?"(ayat 8).
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 7 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat At-Tin |95:8|
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
a laisallohu bi`aḥkamil-ḥaakimiin
Bukankah Allah hakim yang paling adil?
Is not Allah the most just of judges?
(Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya) artinya Dia adalah hakim yang paling adil di antara hakim-hakim yang adil lainnya, dan keputusan-Nya berdasarkan sifat tersebut.
Di dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa membaca surah At-Tiin hingga akhir surah, maka hendaknya sesudah itu ia menjawab,
'Balaa Wa Anaa 'Alaa Dzaalika Minasy Syaahidiina/tentu saja kami termasuk orang-orang yang menyaksikan akan hal tersebut.'"
"Bukankah Allah itu yang paling adil di antara segala yang menghukum?" (ayat 8). Kalau seseorang yang setia memegang ajaran agama untuk pedoman hidupnya, lalu hidupnya selamat sampai hari tuanya,
bukankah itu suatu akibat yang adil dari hukum kebijaksanaan Ilahi? Dan kalau seseorang sebelum tua sudah kehilangan pedoman,
dan setelah tua menjadi orang tua yang jadi beban berat kepada anak-cucu karena jiwa kosong dari pegangan, putus hubungan dengan alam, bukankah itu pun satu keputusan yang adil dari Allah?
Itu pun masih saja di dunia. Bagaimana kalau kemelaratan, kehancuran hidup sampai rendah serendah-rendahnya di dunia dan di akhirat.
Melarat masuk neraka, tidakkah semuanya itu akibat yang wajar jua dari orang yang tidak mau memperdulikan petunjuk yang telah disampaikan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi?
Maka segala petunjuk yang dibawa oleh Nabi-nabi, baik yang dilambangkan oleh buah tin dan zaitun yang tumbuh di pegunungan Jerusalem (Palestina) yang berupa kitab Injil,
atau yang diturunkan di Jabal Thursina di semenanjung Sinai, tempat Taurat diberikan kepada Musa,
atau kitab penutup yang dibawa oleh Khatimul Anbiya' wal Mursalin, Al-Qur'an yang dibawa Muhammad,
yang mula diturunkan di negeri yang aman, Makkah Al-Mukarramah, semuanya itu adalah satu maksudnya, yaitu Addin: Agama untuk muslihat hidup manusia sejak datang ke dunia ini sampai pulangnya ke akhirat esok.
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis dirawikan Termidzi dari Abu Hurairah, Nabi menganjurkan Imam sampai pada penutup ayat ini,
pada sembahyang jahar, (Alaisallahu bi ahkamil Haakimin), kita ma'mun sunnat membaca:"Benar itu! Dan aku sendiri atas yang demikian itu turut menyaksikan."
Tafsir Ibnu Katsir | At-Tin | 95 : 8 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Alaq |96:1|
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
iqro` bismi robbikallażii kholaq
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Recite in the name of your Lord who created -
(Bacalah) maksudnya mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan) semua makhluk.
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta." (ayat 1). Dalam waktu pertama saja, yaitu "bacalah. telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya.
Nabi SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.Yaitu.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 1 |
Tafsir ayat 1-5
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa permulaan wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Saw.
berupa mimpi yang benar dalam tidurnya. Dan beliau tidak sekali-kali melihat suatu mimpi, melainkan datangnya mimpi itu bagaikan sinar pagi hari. Kemudian dijadikan baginya suka menyendiri, dan beliau sering datang ke Gua Hira,
lalu melakukan ibadah di dalamnya selama beberapa malam yang berbilang dan untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Kemudian beliau pulang ke rumah Khadijah (istrinya) dan mengambil bekal lagi untuk melakukan
hal yang sama. Pada suatu hari ia dikejutkan dengan datangnya wahyu saat berada di Gua Hira. Malaikat pembawa wahyu masuk ke dalam gua menemuinya, lalu berkata, "Bacalah!" Rasulullah Saw. melanjutkan kisahnya,
bahwa ia menjawabnya, "Aku bukanlah orang yang pandai membaca." Maka malaikat itu memegangku dan mendekapku sehingga aku benar-benar kepayahan olehnya, setelah itu ia melepaskan diriku dan berkata lagi,
"Bacalah!" Nabi Saw. menjawab, "Aku bukanlah orang yang pandai membaca." Malaikat itu kembali mendekapku untuk kedua kalinya hingga benar-benar aku kepayahan, lalu melepaskan aku dan berkata, "Bacalah!"
Aku menjawab, "Aku bukanlah orang yang pandai membaca." Malaikat itu kembali mendekapku untuk ketiga kalinya hingga aku benar-benar kepayahan, lalu dia melepaskan aku dan berkata:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. (Al-'Alaq: 1) sampai dengan firman-Nya: apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq: 5) Maka setelah itu Nabi Saw. pulang dengan hati yang gemetar hingga masuk menemui Khadijah,
lalu bersabda:
«زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي»
Selimutilah aku, selimutilah aku! Maka mereka menyelimutinya hingga rasa takutnya lenyap. Lalu setelah rasa takutnya lenyap, Khadijah bertanya, "Mengapa engkau?" Maka Nabi Saw. menceritakan kepadanya kejadian
yang baru dialaminya dan bersabda, "Sesungguhnya aku merasa takut terhadap (keselamatan) diriku." Khadijah berkata, "Tidak demikian, bergembiralah engkau, maka demi Allah, Dia tidak akan mengecewakanmu selama-lamanya.
Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka bersilaturahmi, benar dalam berbicara, suka menolong orang yang kesusahan, gemar menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah."Kemudian Khadijah
membawanya kepada Waraqah ibnu Naufal ibnu Asad ibnu Abdul Uzza ibnu Qusay. Waraqah adalah saudara sepupu Khadijah dari pihak ayahnya, dan dia adalah seorang yang telah masuk agama Nasrani di masa Jahiliah dan
pandai menulis Arab, lalu ia menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Arab seperti apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, dan dia adalah seorang yang telah lanjut usia dan tuna netra. Khadijah bertanya, "Hai anak pamanku, dengarlah
apa yang dikatakan oleh anak saudaramu ini." Waraqah bertanya, "Hai anak saudaraku, apakah yang telah engkau lihat?" Maka Nabi Saw. menceritakan kepadanya apa yang telah dialami dan dilihatnya.
Setelah itu Waraqah berkata, "Dialah Namus (Malaikat Jibril) yang pernah turun kepada Musa. Aduhai, sekiranya diriku masih muda. Dan aduhai, sekiranya diriku masih hidup di saat kaummu mengusirmu."
Rasulullah Saw. memotong pembicaraan, "Apakah benar mereka akan mengusirku?" Waraqah menjawab, "Ya, tidak sekali-kali ada seseorang lelaki yang mendatangkan hal seperti apa yang engkau sampaikan,
melainkan ia pasti dimusuhi. Dan jika aku dapat menjumpai harimu itu, maka aku akan menolongmu dengan pertolongan yang sekuat-kuatnya." Tidak lama kemudian Waraqah wafat, dan wahyu pun terhenti untuk sementara waktu
hingga Rasulullah Saw. merasa sangat sedih.Menurut berita yang sampai kepada kami, karena kesedihannya yang sangat, maka berulang kali ia mencoba untuk menjatuhkan dirinya dari puncak bukit yang tinggi. Akan tetapi,
setiap kali beliau sampai di puncak bukit untuk menjatuhkan dirinya dari atasnya, maka Jibril menampakkan dirinya dan berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah yang sebenarnya,"
maka tenanglah hati beliau karena berita itu, lalu kembali pulang ke rumah keluarganya.Dan manakala wahyu datang terlambat lagi, maka beliau berangkat untuk melakukan hal yang sama. Tetapi bila telah sampai di puncak bukit,
kembali Malaikat Jibril menampakkan diri kepadanya dan mengatakan kepadanya hal yang sama.Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui Az-Zuhri; dan kami telah membicarakan tentang hadis ini
ditinjau dari segi sanad, matan, dan maknanya pada permulaan kitab syarah kami, yaitu Syarah Bukhari dengan pembahasan yang lengkap. Maka bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut, dipersilakan untuk
merujuk kepada kitab itu, semuanya tertulis di sana.Mula-mula wahyu Al-Qur'an yang diturunkan adalah ayat-ayat ini yang mulia lagi diberkati, ayat-ayat ini merupakan permulaan rahmat yang diturunkan oleh Allah karena
kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, dan merupakan nikmat yang mula-mula diberikan oleh Allah kepada mereka. Di dalam surat ini terkandung peringatan yang menggugah manusia kepada asal mula penciptaan manusia
yaitu dari 'alaqah. Dan bahwa di antara kemurahan Allah Swt. ialah Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Hal ini berarti Allah telah memuliakan dan menghormati manusia dengan ilmu.
Dan ilmu merupakan bobot tersendiri yang membedakan antara Abul Basyar (Adam) dengan malaikat. Ilmu itu adakalanya berada di hati, adakalanya berada di lisan, adakalanya pula berada di dalam tulisan tangan.
Berarti ilmu itu mencakup tiga aspek, yaitu di hati, di lisan, dan di tulisan. Sedangkan yang di tulisan membuktikan adanya penguasaan pada kedua aspek lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Karena itulah disebutkan dalam firman-Nya:
{اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ}
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Penmrah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq: 3-5) Di dalam sebuah asar disebutkan,
"Ikatlah ilmu dengan tulisan." Dan masih disebutkan pula dalam asar, bahwa barang siapa yang mengamalkan ilmu yang dikuasainya, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.
Surat Al-Alaq |96:2|
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
kholaqol-insaana min 'alaq
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Created man from a clinging substance.
(Dia telah menciptakan manusia) atau jenis manusia (dari 'alaq) lafal 'Alaq bentuk jamak dari lafal 'Alaqah, artinya segumpal darah yang kental.
“Menciptakan manusia dari segumpal darah.” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki
dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah,dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf,tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca.
Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya,diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya.
Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya.
Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Ammanya menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia daripada air mani,
menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis.
Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca,
tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras,
buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil,
manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari.Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 2 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Alaq |96:3|
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
iqro` wa robbukal-akrom
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia.
Recite, and your Lord is the most Generous -
(Bacalah) lafal ayat ini mengukuhkan makna lafal pertama yang sama (dan Rabbmulah Yang Paling Pengasih) artinya tiada seorang pun yang dapat menandingi kemurahan-Nya.
Lafal ayat ini sebagai Haal dari Dhamir yang terkandung di dalam lafal Iqra'.
“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” (ayat 3). Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah,
diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 3 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Alaq |96:4|
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
allażii 'allama bil-qolam
Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Who taught by the pen -
(Yang mengajar) manusia menulis (dengan qalam) orang pertama yang menulis dengan memakai qalam atau pena ialah Nabi Idris a.s.
"Dia yang mengajarkan dengan qalam." (ayat 4). Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi.
Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah,
yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat.
Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 4 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Alaq |96:5|
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
'allamal-insaana maa lam ya'lam
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Taught man that which he knew not.
(Dia mengajarkan kepada manusia) atau jenis manusia (apa yang tidak diketahuinya) yaitu sebelum Dia mengajarkan kepadanya hidayah, menulis dan berkreasi serta hal-hal lainnya.
"Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu." (ayat 5).Lebih dahulu Allah Ta'ala mengajar manusia mempergunakan qalam.Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya,
sehingga dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya:"Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh."
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan
asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.
Dan segumpal mani itu berasal dari saringan halus makanan manusia yang diambil dari bumi. Yaitu dari hormon, kalori,
vitamin dan berbagai zat yang lain, yang semua diambil dari bumi yang semuanya ada dalam sayuran, buah-buahan makanan pokok dan daging.
Kemudian itu manusia bertambah besar dan dewasa. Yang terpenting alat untuk menghubungkan dirinya dengan manusia sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lidah,
sebagai sambungan dari apa yang terasa di dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis.
Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya: "Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini
di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya.
Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang."Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju,
merobek segala selubung pembungkus yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan,atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap,
sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan bodoh,dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya.
Ar-Razi menguraikan dalam tafsirnya, bahwa pada dua ayat pertama disuruh membaca di atas nama Tuhan yang telah mencipta,
adalah mengandung qudrat, dan hikmat dan ilmu dan rahmat. Semuanya adalah sifat Tuhan.Dan pada ayat yang seterusnya seketika Tuhan menyatakan mencapai ilmu dengan qalam atau pena,
adalah suatu isyarat bahwa ada juga di antara hukum itu yang tertulis, yang tidak dapat difahamkan kalau tidak didengarkan dengan seksama.
Maka pada dua ayat pertama memperlihatkan rahasia Rububiyah, rahasia Ketuhanan. Dan di tiga ayat sesudahnya mengandung rahasia Nubuwwat, Kenabian.
Dan siapa Tuhan itu tidaklah akan dikenal kalau bukan dengan perantaraan Nubuwwat, dan nubuwwat itu sendiri pun tidaklah akan ada, kalau tidak dengan kehendak Tuhan
Inilah peringatan kepada Rasulullah SAW sendiri yang akan menghadapi tugas yang berat menjadi Rasul. Dia akan berhadapan dengan manusia,
dan manusia itu pada umumnya mempunyai suatu sifat yang buruk. Yaitu kalau dia merasa dirinya telah berkecukupan,
telah menjadi orang kaya dengan harta-benda, atau berkecukupan karena dihormati orang, disegani dan dituakan dalam masyarakat
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 5 |
penjelasan ada di ayat 1
Surat Al-Alaq |96:6|
كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ
kallaaa innal-insaana layathghooo
Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas,
No! [But] indeed, man transgresses
(Ketahuilah) artinya memang benar (sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas)
"Sungguh! Sesungguhnya manusia itu suka sekali melampaui batas." (ayat 6)."Lantaran dia melihat dirinya sudah berkecukupan." (ayat 7).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 6 |
Tafsir ayat 6-19
Allah Swt. menceritakan perihal manusia, bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai kesenangan, jahat, angkuh, dan melampaui batas apabila ia melihat dirinya
telah berkecukupan dan banyak hartanya. Kemudian Allah mengancamnya dan memperingatkan kepadanya melalui firman berikutnya:
{إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى}
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu). (A1-'Alaq: 8) Yakni hanya kepada Allah-lah kamu kembali dan berpulang, lalu Dia akan mengadakan perhitungan terhadap hartamu dari manakah kamu hasilkan dan ke manakah kamu belanjakan?
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Ismail As-Sa'ig, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aim, telah menceritakan kepada kami Abu Umais, dari Aun yang telah mengatakan bahwa
Abdullah ibnu Mas'ud pernah mengatakan bahwa ada dua orang yang haus dan tidak pernah merasa kenyang, yaitu orang yang berilmu dan orang yang memiliki harta; tetapi keduanya tidak sama. Adapun orang yang berilmu,
maka bertambahlah rida Tuhan Yang Maha Pemurah kepadanya. Adapun orang yang berharta, maka dia makin tenggelam di dalam kesesatannya (sikap melampaui batasnya). Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud
membacakan firman-Nya: Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (Al-'Alaq: 6-7) Dan terhadap orang yang berilmu,
Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman Allah Swt.: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. (Fathir: 28) Hal yang semakna telah diriwayatkan pula secara marfu' sampai kepada Rasulullah Saw., yaitu:
«مَنْهُومَانِ لَا يَشْبَعَانِ طَالِبُ عِلْمٍ وَطَالِبُ دُنْيَا»
Ada dua macam orang yang rakus selalu tidak merasa kenyang, yaitu penuntut ilmu dan pemburu duniawi. Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya:
{أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى عَبْدًا إِذَا صَلَّى}
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan salat. (Al-'Alaq: 9-10) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap Abu Jahal laknatullah.
Dia mengancam Nabi Saw. bila melakukan salat di Baitullah. Maka Allah Swt. pada mulanya menasihati Abu Jahal dengan cara yang terbaik, untuk itu Allah Swt. berfirman:
{أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَى}
Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu berada di atas kebenaran. (Al-'Alaq: 11) Yakni bagaimanakah menurut pendapatmu jika orang yang kamu larang ini berada di jalan yang Iurus dalam sepak terjangnya.
{أَمَرَ بِالتَّقْوَى}
Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? (Al-'Alaq: 12) melalui ucapannya, sedangkan engkau menghardiknya dan mengancamnya bila ia mengerjakan salatnya. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya:
{أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى}
Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (Al-'Alaq: 14) Artinya, tidakkah orang yang melarang orang yang mendapat petunjuk itu mengetahui bahwa Allah melihatnya dan mendengar pembicaraannya,
dan kelak Dia akan membalas perbuatannya itu dengan balasan yang setimpal. Selanjutnya Allah Swt. memperingatkan dan mengancam dengan ancaman yang keras:
{كَلا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ}
Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti. (Al-'Alaq: 15) Yaitu tidak lagi menghentikan perbuatannya yang selalu bermusuhan dan ingkar.
{لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ}
niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Al-'Alaq: 15) Yakni niscaya Kami benar-benar akan memberinya tanda hitam kelak di hari kiamat. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:
{نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ}
(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. (Al-'Alaq: 16) Maksudnya, ubun-ubun Abu Jahal yang pendusta dalam ucapannya lagi durhaka dalam perbuatannya.
{فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ}
Maka biarlah dia memanggil golongannya. (Al-'Alaq: 17) Yakni kaumnya dan kerabatnya, biarlah dia memanggil mereka untuk menolongnya.
{سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ}
kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah. (Al-'Alaq: 18) Mereka adalah malaikat juru siksa; sehingga dia mengetahui siapakah yang menang, apakah golongan Kami ataukah golongan dia?
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الجَزَري، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَالَ أَبُو جَهْلٍ: لَئِنْ رَأَيْتُ مُحَمَّدًا يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَأَطَأَنَّ عَلَى عُنُقه. فبَلغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "لَئِنْ فَعَلَهُ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ"
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
Abu Jahal berkata, "Sesungguhnya jika aku melihat Muhammad sedang salat di dekat Ka'bah, aku benar-benar akan menginjak lehernya." Maka ancaman itu sampai kepada Nabi Saw., lalu beliau Saw. bersabda:
Sesungguhnya jika dia melakukan niatnya, benar-benar malaikat akan mengambilnya (menghukumnya). Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti oleh Amr ibnu Khalid,
dari Ubaidillah ibnu Arar, dari Abdul Karim. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab tafsir masing-masing melalui jalur Abdur Razzaq dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Zakaria ibnu Addi, dari Ubaidillah ibnu Amr dengan sanad yang sama. Imam Ahmad dan Imam Turmuzi serta Imam Nasai dan Ibnu Jarir telah meriwayatkannya
yang hadis berikut berdasarkan lafaz yang ada pada Ibnu Jarir, melalui jalur Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. sering melakukan salat di dekat maqam Ibrahim.
Maka lewatlah kepadanya Abu Jahal ibnu Hisyam, lalu berkata, "Hai Muhammad, dengan apakah engkau mengancamku? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah penduduk lembah ini yang paling banyak
pendukungnya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil Malaikat Zabaniyah. (Al-'Alaq: 17-18)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa seandainya Abu Jahal memanggil golongannya (para pendukungnya), niscaya saat itu juga malaikat azab akan mengambilnya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan, sahih.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَيْدٍ أَبُو يَزِيدَ، حَدَّثَنَا فُرَات، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ أَبُو جَهْلٍ: لَئِنْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يُصَلِّي عِنْدَ الْكَعْبَةِ لَآتِيَنَّهُ حَتَّى أَطَأَ عَلَى عُنُقِهِ. قَالَ: فَقَالَ: "لَوْ فَعَلَ لَأَخَذَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عِيَانًا، وَلَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوا الْمَوْتَ لَمَاتُوا وَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ النَّارِ، وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهلون رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَجَعُوا لَا يَجِدُونَ مَالًا وَلَا أَهْلًا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Yazid alias Abu Yazid, telah menceritakan kepada kami Furat, dari Abdul Karim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa
Abu Jahal pernah berkata, "Sesungguhnya jika aku melihat Rasulullah sedang mengerjakan salat di dekat Ka'bah, benar-benar aku akan menginjak lehernya (saat ia sujud)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu Nabi Saw. bersabda: Seandainya dia melakukan niatnya itu, niscaya malaikat akan mengambilnya secara terang-terangan. Dan seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan mati, niscaya mereka benar-benar mati
dan akan melihat tempat kedudukan mereka di dalam neraka. Dan seandainya orang-orang yang bermubahalah dengan Rasulullah Saw. keluar (untuk melakukannya), niscaya saat mereka pulang ke rumahnya,
mereka tidak akan menjumpai harta dan juga keluarga (mereka). Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami
Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Al-Walid ibnul Aizar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Abu Jahal pernah mengatakan bahwa sesungguhnya jika Muhammad kembali ke maqam Ibrahim untuk melakukan salat,
aku benar-benar akan membunuhnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. (Al-'Alaq: 1) Sampai dengan firman-Nya: niscaya Kami tarik ubun-nbunnya,
(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil MalaikatZabaniyah. (Al-'Alaq: 15-18) Maka Nabi Saw.
Datang dan melakukan salatnya. Lalu dikatakan kepada Abu Jahal, "Mengapa engkau mengurungkan niatmu dan tidak melakukannya?" Abu Jahal menjawab, "Sesungguhnya ada bala tentara yang banyak sekali yang menghalang-halangi antara aku dengan dia."
Ibnu Abbas mengatakan bahwa demi Allah, seandainya Abu Jahal bergerak, benar-benar malaikat akan mengambilnya dengan terang-terangan, sedangkan orang-orang menyaksikannya.Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, dari ayahnya, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Abu Hindun, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa
Abu Jahal pernah berkata, "Maukah kalian melihat wajah Muhammad ditaburi dengan debu di hadapan kalian?" Mereka menjawab, "Ya." Abu Hurairah melanjutkan, bahwa lalu Abu Jahal mengatakan, "Demi Lata dan 'Uzza,
sesungguhnya jika aku melihat Muhammad sedang salat seperti ini (sujud), aku benar-benar akan menginjak lehernya dan benar-benar akan menaburkan debu ke mukanya." Maka datanglah Abu Jahal kepada Rasulullah Saw.
yang sedang mengerjakan salat dengan maksud akan menginjak lehernya. Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa maka tiada yang mengejutkan mereka yang menyaksikan Abu Jahal melainkan karena mereka melihat
Abu Jahal surut mundur ke belakang dan melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. Ketika ditanyakan kepadanya, "Mengapa engkau?" Abu Jahal menjawab,
"Sesungguhnya antara aku dan dia terdapat parit api dan pemandangan yang sangat menakutkan serta banyak sayap." Abu Hurairah melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah Saw. bersabda:
«لَوْ دَنَا مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا»
Seandainya dia mendekat kepadaku, niscaya malaikat akan mencabik-cabik tubuhnya anggota demi anggota. Perawi mengatakan bahwa lalu Allah menurunkan firman-Nya—apakah hal ini terdapat di dalam hadis
Abu Hurairah ataukah tidak? saya tidak mengetahui—, yaitu: Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. (Al-'Alaq: 6), hingga akhir surat. Imam Ahmad ibnu Hambal, Imam Muslim,
Imam Nasai, dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya melalui Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama Firman Allah Swt.:
{كَلا لَا تُطِعْهُ}
sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya. (Al-'Alaq: 19) Yakni hai Muhammad, janganlah kamu patuh kepada orang itu yang melarang kamu melakukan rutinitas ibadahmu, melainkan teruskanlah salatmu menurut yang kamu sukai.
Janganlah engkau pedulikan dia, karena sesungguhnya Allah-lah yang memeliharamu dan menolongmu, dan Dia akan memelihara kamu dari gangguan orang lain.
{وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ}
dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (Al Alaq: 19) Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih yang ada pada Imam Muslim melalui jalur Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris,
dari Imarah ibnu Gazyah, dari Samiy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ»
Tempat yang paling dekat bagi seorang hamba kepada Tukannya ialah saat ia sedang sujud, maka perbanyaklah berdoa (padanya).
Dan dalam hadis terdahulu telah disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. melakukan sujud tilawah pada surat Insyiqaq dan Al-'Alaq.
Surat Al-Alaq |96:7|
أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ
ar ro`aahustaghnaa
apabila melihat dirinya serba cukup.
Because he sees himself self-sufficient.
(karena dia melihat dirinya) sendiri (serba cukup) dengan harta benda yang dimilikinya; ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap Abu Jahal.
Dan lafal Ra-aa tidak membutuhkan Maf'ul kedua; dan lafal An Ra-aahu berkedudukan sebagai Maf'ul Lah.
"Lantaran dia melihat dirinya sudah berkecukupan." (ayat 7). Lantaran itu dia tidak merasa perlu lagi menerima nasihat dan pengajaran dari orang lain.
Maka hiduplah dia menyendiri, takut akan kena. Dan harta bendanya yang berlebih-lebihan itu tidak lagi dipergunakannya untuk pekerjaan yang bermanfaat, padahal.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 7 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:8|
إِنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الرُّجْعَىٰ
inna ilaa robbikar-ruj'aa
Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).
Indeed, to your Lord is the return.
(Sesungguhnya hanya kepada Rabbmulah) hai Manusia (tempat kembali) yakni kembali kalian nanti, karena itu Dia kelak akan memberi balasan kepada orang yang melampaui batas sesuai dengan dosa-dosa yang telah dilakukannya.
Di dalam ungkapan ini terkandung ancaman dan peringatan buat orang yang berlaku melampaui batas.
"Sesungguhnya kepada Tuhanmulah tempat kembali." (ayat 8).Apabila telah datang saat kembali kepada Tuhan, yaitu maut,
kekayaan yang disangka mencukupi itu tidak sedikit pun dapat menolong.Tepatlah apa yang ditafsirkan oleh Abus Su'ud bahwa karena hidup merasa kaya berkecukupan,
orang melampaui batas-batas yang patut dijaga. Akhir kelaknya dia mesti kembali juga kepada Yang Maha Kuasa atas dirinya dan atas hartanya.
Dia mesti mati, dan sesudah mati dia kelak akan dibangkitkan, berhadapan dengan Tuhan sendiri,
bukan dengan yang lain. Di situ kelak engkau rasakan akibat dari sikapmu yang tidak mau tahu, yang merasa cukup dan melampau itu.
Sebab turunnya ayat lanjutan dari 9 sampai 14 ini ialah bahwa setelah datang ayat-ayat memerintahkan Rasulullah SAW menyampaikan
da'wah dan seruannya kepada penduduk Makkah, banyaklah orang yang benci dan marah. Di antaranya ialah orang-orang yang sifatnya telah dikatakan kepada ayat 6 sampai 8 tadi,
yang merasa dirinya berkecukupan dan hidupnya melanggar dan melampaui batas Seorang di antara mereka yang sangat terkemuka ialah Abu Jahal. Dia benci benar kepada Rasul,
sebab beliau menyerukan menghentikan menyembah berhala, dan supaya orang hanya menyembah kepada Allah Yang Esa.
Dan Nabi SAW dengan tidak perduli kepada siapa pun, pergi sembahyang di Ka'bah menyembah Allah menurut keyakinannya dan cara yang telah dipimpinkan Tuhan kepadanya.
Menurut sebuah Hadis dari Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Bukhara dan Muslim,
setelah Abu Jahal mendengar dari kawan-kawannya bahwa Muhammad telah pernah sembahyang seperti itu di Ka'bah, sangat murkanya,
sampai dia berkata: "Kalau saya lihat Muhammad itu sembahyang di dekat Ka'bah, akan saya injak-injak kuduknya."
Seketika ancaman Abu Jahal itu disampaikan orang kepada beliau SAW, beliau berkata: "Kalau dia berani,malaikatlah yang akan menariknya."Maksud susunan ayat-ayat ini ialah .
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 8 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:9|
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَىٰ
a ro`aitallażii yan-haa
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang,
Have you seen the one who forbids
(Bagaimana pendapatmu) lafal Ara-ayta dan dua lafal lainnya yang sama nanti mengandung makna Ta'ajjub (tentang orang yang melarang) yang dimaksud adalah Abu Jahal.
"Adakah engkau perhatikan."(pangkal ayat 9). Atau adakah teringat olehmu, ya Muhammad Rasul Allah, "Orang yang melarang?
"
(ujung ayat 9). Atau menghambat dan menghalang-halangi dan mengancam kepada: "Seorang hamba."(pangkal ayat 10).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 9 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:10|
عَبْدًا إِذَا صَلَّىٰ
'abdan iżaa shollaa
seorang hamba ketika dia melaksanakan sholat,
A servant when he prays?
(Seorang hamba) yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw. (ketika dia mengerjakan sholat.)
"Seorang hamba." (pangkal ayat 10). Seorang hamba Allah, yaitu Muhammad SAW. — Dalam ayat ini dan terdapat juga dalam ayat-ayat yang lain,
beliau disebutkan seorang hamba Allah sebagai kata penghormatan dan jaminan perlindungan yang diberikan kepadanya:
"Apabila dia sembahyang." (ujung ayat 10). Adakah engkau perhatikan keadaan orang itu?
Yaitu orang yang mencoba hendak menghalangi seorang hamba yang dicintai Allah akan mengerjakan sembahyang karena cinta dan
tunduknya kepada Tuhan yang mengutusnya jadi Rasul? Bagaimanalah pongah dan sombongnya orang yang mencegahnya sembahyang itu?
Sehingga mana benarkah kekuatan yang ada padanya, sehingga dia sampai hati berbuat demikian?
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 10 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:11|
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَى الْهُدَىٰ
a ro`aita ing kaana 'alal-hudaaa
bagaimana pendapatmu jika dia (yang dilarang sholat itu) berada di atas kebenaran (petunjuk),
Have you seen if he is upon guidance
(Bagaimana pendapatmu jika orang yang dilarang itu) (berada di atas kebenaran)
"Adakah engkau perhatikan, jika dia ada atas petunjuk?" (ayat 11). Coba engkau perhatikan dan renungkan,
siapakah yang akan menang di antara kedua orang itu? Orang yang menghalangi orang sembahyang,
dengan orang yang memperhambakan dirinya kepada Allah itu? Apatah lagi jika jelas nyata bahwa orang yang memperhambakan diri ini.
Dan telah diakui Allah pula bahwa orang itu HAMBANYA? Berjalan di atas jalan yang benar, yang mendapat hudan, mendapat petunjuk dan bimbingan dari Tuhan?
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 11 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:12|
أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَىٰ
au amaro bit-taqwaa
atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?
Or enjoins righteousness?
(Atau) huruf Au di sini menunjukkan makna Taqsim (dia menyuruh bertakwa.)
"Atau dia menyuruh kepada bertakwa?" (ayat 12). sembahyang, bertindak menurut tuntunan Tuhan,
menyeru dan menyuruh manusia supaya bertakwa kepada Allah? Sebandingkah di antara keduanya itu? Cobalah perhatikan!
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 12 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:13|
أَرَأَيْتَ إِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ
a ro`aita ing każżaba wa tawallaa
Bagaimana pendapatmu jika dia (yang melarang) itu mendustakan dan berpaling?
Have you seen if he denies and turns away -
(Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakannya) yakni mendustakan Nabi saw. (dan berpaling) dari iman
"Adakah engkau perhatikan jika dia mendustakan dan berpaling?" (ayat 13). Abu Jahal juga! Dia dustakan seruan yang dibawa Nabi.
Dan bila diajak bicara dari hati ke hati dia berpaling membuang muka. Tak mau mendengar sama sekali.Cobalah perhatikan, alangkah jauh bedanya di antara kedua peribadi ini.
Mungkin dengan sikap sombong dan gagah perkasa si Abu Jahal yang merasa dirinya tinggi dan kaya itu orang akan takut dan mundur,
kalau orang yang diancam itu tidak berpendirian, tidak menghambakan diri kepada Allah, tidak kalau yang dihadapinya itu Muhammad SAW,
Rasul Allah, Nabi penutup dari sekalian Nabi, maksud si Abu Jahal, atau setiap orang yang berperangai seperti perangai Abu Jahal,
tidaklah akan berhasil. Sebab kuncinya telah diperingatkan kepada Muhammad SAW, yaitu ayat selanjutnya:
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 13 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:14|
أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَىٰ
a lam ya'lam bi`annalloha yaroo
Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?
Does he not know that Allah sees?
(Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat) apa yang dilakukannya itu; artinya Dia mengetahuinya, karena itu Dia kelak akan memberi balasan kepadanya dengan balasan yang setimpal.
Maka sudah sepatutnya kamu hai orang yang diajak berbicara untuk merasa heran terhadap orang yang melarang itu, karena ia melarang Nabi melakukan sholat,
padahal orang yang dilarangnya itu berada dalam jalan hidayah dan memerintahkan untuk bertakwa. Yang amat mengherankan lagi ialah bahwa yang melarangnya itu mendustakannya dan berpaling dari iman.
"Tidakkah dia tahu bahwa Allah Melihat?" (ayat 14).Dalam hati kecilnya tentu ada pengetahuan bahwa Allah melihat perbuatannya yang salah itu,
menghalangi hamba Allah sembahyang, bahkan menghambat segala langkah Rasul membawa petunjuk dan seruan kebenaran.
Tetapi hawa nafsu, kesombongan dan sikap melampaui batas karena merasa diri sanggup,cukup dan kaya, menyebabkan kesadaran kekuasaan Allah itu jadi hilang atau terpendam.
Inilah gambaran nyata yang disambungkan pada Surat Al-'Alaq tentang hambat rintangan yang diterima Rasul SAW
seketika beliau memulai melakukan tugasnya menyampaikan da’wah.Ini adalah ancaman!
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 14 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:15|
كَلَّا لَئِنْ لَمْ يَنْتَهِ لَنَسْفَعًا بِالنَّاصِيَةِ
kallaa la`il lam yantahi lanasfa'am bin-naashiyah
Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya (ke dalam neraka),
No! If he does not desist, We will surely drag him by the forelock -
(Sekali-kali tidaklah demikian) kalimat ini mengandung makna hardikan dan cegahan baginya (sungguh jika) huruf Lam di sini menunjukkan makna
qasam atau sumpah (dia tidak berhenti) dari kekafiran yang dilakukannya itu (niscaya Kami akan tarik ubun-ubunnya) atau Kami akan seret dia masuk neraka dengan cara ditarik ubun-ubunnya.
"Sungguh! Jika dia tidak mau juga berhenti." (pangkal ayat 15). Dari menghalangi Utusan Allah menyampaikan seruannya,
dan tidak mau juga berhenti mengejek dan menghina: "Sesungguhnya akan Kami sentakkan ubun-ubunnya." (ujung ayat 15).
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 15 |
penjelasan ada di ayat 6
Surat Al-Alaq |96:16|
نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
naashiyating kaażibatin khoothi`ah
(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan dan durhaka.
A lying, sinning forelock.
(Yaitu ubun-ubun) lafal Naashiyatan adalah isim Nakirah yang berkedudukan menjadi Badal dari isim Ma'rifat yaitu lafal An-Naashiyah pada ayat sebelumnya
(orang yang mendustakan lagi durhaka) makna yang dimaksud adalah pelakunya; dia disifati demikian secara Majaz.
"Ubun-ubun yang dusta, yang penuh kesalahan."(ayat 16). Ditarik ubun-ubunnya artinya ialah karena kepala dari orang itu sudah kosong dari kebenaran.
Isinya hanya dusta dan bohong, kesalahan dan nafsu jahat. Artinya dia pasti akan mendapat hukuman yang kejam dari Tuhan.
Tafsir Ibnu Katsir | Al-Alaq | 96 : 16 |
penjelasan ada di ayat 6