Juz 30

Surat Al-Fajr |89:30|

وَادْخُلِي جَنَّتِي

wadkhulii jannatii

dan masuklah ke dalam surga-Ku.

And enter My Paradise."

Tafsir
Jalalain

(Dan masuklah ke dalam surga-Ku") bersama dengan hamba-hamba-Ku yang saleh.

Alazhar

"Dan masuklah ke dalam syurga-Ku." (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan;

Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia.

Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia,

dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang.Maka diartikannya ayat ini: "Wahai Roh yang telah mencapai tenteram,

kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil

, " sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli.

Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii 'Abdii dan qiraat umum Fii "Ibaadil.Wallahu A'lam Bishshawaabi.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Fajr | 89 : 30 |

penjelasan ada di ayat 21

Surat Al-Balad |90:1|

لَا أُقْسِمُ بِهَٰذَا الْبَلَدِ

laaa uqsimu bihaażal-balad

Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah),

I swear by this city, Makkah -

Tafsir
Jalalain

(Sungguh) huruf Laa di sini adalah huruf Zaidah mengandung makna Taukid (Aku bersumpah dengan kota ini) yakni kota Mekah.

Alazhar

Ketika menafsirkan Surat 75 Al-Insan atau Ad-Dahr di Juzu' 29 telah kita uraikan juga agak panjang tentang arti sumpah peringatan Allah yang dimulai dengan Laa Uqsimu,

yang arti lurusnya saja: tidak aku akan bersumpah! Meskipun arti lurus saja tidak bersumpah, namun maksudnya ialah bersumpah,

sehingga perkataan Laa pada satu waktu berarti menafikan dan di waktu yang lain berarti nahyi, yaitu melarang,

di Laa Uqsimu ini mesti diartikan bahwa Tuhan Bersumpah. Sehingga Syaukani di dalam tafsirnya

Al-Fat-hul Qadiir mengambil kesimpulan bahwa Laa yang berarti tidak atau jangan ialah huruf zaidah huruf tambahan

yang tidak ada arti dalam susunan ini. Tafsiran Asy-Syaukani ini menguatkan tafsiran Al-Akhfasy. Seluruh ahli tafsir, sejak dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, sampai kepada Ibnu Katsir dan lain-lain

(jumhurul-mufassirin) telah mengartikan Laa Uqsimu dengan aku bersumpah, bukan dengan Tidak aku bersumpah.

Satu tafsiran dari Al-Qusyairi: Huruf Laa yang berarti tidak, di sini bukanlah huruf tambahan yang tidak berarti.

Kata beliau Tuhan berfirman: TIDAK! Adalah bantahan terhadap manusia yang kelak akan dibicarakan dalam Surat ini,

yaitu manusia yang terpedaya oleh dunia; tidaklah keadaan sebagai yang mereka sangka, yaitu bahwa mereka menyangka tidak seorang pun yang dapat menguasai mereka; yang akan tersebut di ayat 5 kelak.

Jadi menurut tafsiran Al-Qusyairi ini ialah begini: "Tidak! Persangkaan kalian itu adalah salah!" Aku bersumpah, demi negeri ini!"

Dan ada satu lagi penafsiran dibawakan orang. Dia mengatakan bahwa Laa Uqsimu artinya betul-betul menurut aslinya. Yaitu:

"Aku tidak bersumpah demi negeri ini lagi, karena engkau tidak ada lagi di dalamnya, sesudah engkau keluar meninggalkannya (hijrah)." Tafsiran ini diriwayatkan oleh Al-Makkiy.

Maka kita ambil sajalah tarjamah dan arti yang dipakai oleh golongan yang terbesar (jumhurul-mufassirin), sebagai telah kita suntingkan di atas; "Aku bersumpah, demi negeri ini." (ayat 1).

Tuhan bersumpah demi negeri ini, yaitu negeri Makkah Al-Mukarramah. Dan apabila Tuhan telah mengambilnya menjadi sumpah, artinya ialah bahwa Tuhan memberi ingat kita betapa pentingnya negeri itu.

Di Surat 95 kelak, (Surat At-Tiin) kita bertemu lagi ayat 3 sumpah Tuhan memperingati negeri ini:"Demi ini negeri yang aman."

Dapatlah kita maklumi betapa mulia dan betapa penting kedudukan negeri Makkah itu, yang sejak zaman Ibrahim telah jadi pusat peribadatan kepada Allah bagi menegakkan kalimat tauhid.

Dia bernama Makkah dan dia bernama Bakkah. Antara huruf Mim dengan huruf Baa adalah satu makhrajnya,

yaitu sama-sama bibir. Di sanalah pertama sekali sebuah rumah ibadat buat memuja Allah Yang Esa berdiri,

jadi petunjuk untuk seluruh alam, (Surat 3, Ali Imran; 96). Di sana terdapat Maqam Ibrahim (Ali Imran; 97).

Di situ berdiri Ka'bah didirikan oleh Nabi Ibrahim dibantu oleh anaknya Ismail sebagai pusat tempat beribadat

bagi manusia (Surat 5; Al-Maidah; 97). Dan beberapa Surat yang lain. Dan di sinilah lahir Nabi Muhammad SAW.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 1 |

Tafsir ayat 1-10

Ini merupakan sumpah dari Allah Swt. dengan menyebut Mekah Ummul Qura dalam keadaan halal bagi orang yang bertempat tinggal di dalamnya. untuk mengingatkan keagungan kedudukan kota Mekah disaat

penduduknya sedang melakukan ihram. Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah). (Al-Balad: 1) Sumpah ini bukanlah sanggahan

terhadap mereka; Allah Swt. hanya bersumpah dengan menyebut nama kota ini (Mekah). Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini. (Al-Balad: 1)

Yakni kota Mekah. dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. (Al-Balad: 2) Yaitu engkau Muhammad, diperbolehkan bagimu melakukan peperangan di dalamnya. Hal yang sama telah diriwayatkan dari

Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Atiyyah, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid. Mujahid mengatakan bahwa apa saja yang engkau peroleh darinya, dihalalkan bagimu. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna

firman-Nya: dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. (Al-Balad: 2) Maksudnya. engkau boleh tinggal di kota ini tanpa dibebani rasa dosa ataupun halangan. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah Swt.

menghalalkannya bagi Nabi Swt. dalam sesaat dari siang hari. Makna dari apa yang dikatakan oleh mereka sehubungan dengan hal ini memang telah disebutkan di dalam hadis yang telah disepakati kesahihannya, yaitu:


"إِنَّ هَذَا الْبَلَدَ حَرَّمَهُ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بحُرمَة اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يُعضَد شَجَرُهُ وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهُ. وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، وَقَدْ عَادَتْ حُرْمَتُهَا الْيَوْمَ كحرمتها بالأمس، ألا فليبلغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ"


Sesungguhnya kota ini telah diharamkan (disucikan) oleh Allah di hari Dia menciptakan langit dan bumi, maka kota ini menjadi kota yang suci karena disucikan oleh Allah sampai hari kiamat nanti.

Pepohonannya tidak boleh ditebang dan tetumbuhannya tidak boleh dicabuti. Dan sesungguhnya kota ini dihalalkan bagiku hanya dalam sesaat dari siang hari.

kemudian kesuciannya kembali lagi di hari ini sebagaimana kesuciannya di hari sebelumnya. Ingatlah. hendaklah orang yang hadir menyampaikan (berita ini) kepada orang yang tidak hadir. Dalam lafaz lain disebutkan:


فَإِنْ أَحَدٌ تَرَخَّص بِقِتَالِ رَسُولِ اللَّهِ فَقُولُوا: إِنَّ اللَّهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ وَلَمْ يَأْذَنْ لَكُمْ"


Maka jika ada seseorang yang menghalalkan kesuciannya karena Rasulullah pernah melakukan peperangan (di dalamnya). maka katakanlah, bahwa sesungguhnya Allah hanya memberi izin kepada Rasul-Nya dan tidak memberi izin bagimu! Firman Allah Swt:


{وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ}


dan demi bapak dan anaknya. (Al-Balad: 3) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Atiyyah, dari Syarik, dari Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas v sehubungan dengan makna firman-Nya: dan demi bapak dan anaknya. (Al-Balad: 3) Al-walid artinya orang yang beranak, dan wama walad artinya orang yang mandul tidak dapat beranak. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya

melalui hadis Syarik ibnu Abdullah Al-Qadi dengan sanad yang sama. Ikrimah mengatakan bahwa al-walid artinya yang beranak, dan wama walad artinya yang tidak dapat beranak. Demikianlah menurut apa yang

diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Mujahid, Abu Saleh, Qatadah, Ad-Dahhak, Sufyan As-Sauri, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, Al-Hasan Al-Barsi, Khasif, Syurahbil ibnu Sa'd, dan lain-lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan walid ialah Adam

sedangkan yang dimaksud dengan wama walad ialah anak-anaknya. Dan apa yang dikatakan oleh Mujahid dan teman-temannya ini baik lagi kuat. Karena pada mulanya Allah bersumpah dengan Ummul Qura, yaitu tempat-tempat tinggal;

lalu diiringi-Nya dengan sumpah dengan menyebut penghuninya, yaitu Adam alias bapak moyangnya manusia dan keturunannya. Abu Imran Al-Juni mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah Ibrahim dan keturunannya;

demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah umum mencakup orang tua dan anaknya; makna ini pun dapat juga dijadikan sebagai salah satu dari takwil ayat. Firman Allah Swt.:


{لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي كَبَدٍ}


Sesunggahnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (Al-Balad: 4) Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid. Ibrahim An-Nakha'i, Khaisamah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya

bahwa maknayang dimaksud ialah dalam keadaan tegak lurus. ibnu Abbas dalam suatu riwayat yang bersumber darinya menambahkan dalam keadaan tegak lurus di dalam perut ibunya. Al-kabad artinya tegak lurus.

Kesimpulan dari pendapat ini menyatakan bahwa Kami telah. menciptakan manusia dengan sempurna dan tegak, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الْإِنْسانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شاءَ رَكَّبَكَ


Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmmu dan menjadikan

(susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (Al-Infithar: 6-8) Dan firman Allah Swt.:


لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ


sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At-Tin: 4) Ibnu Abu Najih, Juraij, dan Ata telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah dalam keadaan susah payah

yakni kejadian yang susah; bukankah engkau lihat manusia itu bagaimana kelahirannya dan bagaimana tumbuh gigi-giginya. Mujahid mengatakan bahwa makna firman Allah Swt.: berada dalam susah payah. (Al- Balad: 4)

Yakni dari nutfah menjadi 'alaqah, lalu menjadi segumpal daging. Dengan kata lain, manusia itu diciptakan dalam keadaan susah payah. Mujahid mengatakan bahwa ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam

ayat lain melalui firman-Nya: ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). (Al-Ahqaf:15) dan ibunya menyusuinya dengan susah payah, dan kehidupan dia semasa bayinya susah

payah pula, maka dia mengalami fase-fase tersebut dengan susah payah. Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (Al- Balad: 4)

Yaitu dalam keadaan susah dan mencari penghidupan. Ikrimah mengatakan dalam keadaan susah payah yang berkepanjangan. Qatadah mengatakan dalam keadaan susah (masyaqat). Ibnu Abu Hatim mengatakan,

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Ja'far, bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ali alias Abu Ja'far Al-Baqir

bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan Ansar mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (Al- Balad: 4) Lalu ia menjawab bahwa untuk dapat berdiri

dan tegaknya, manusia mengalami susah payah. Dan Abu Ja'far Al-Baqir tidak menyangkal kebenarannya. Telah diriwayatkan pula melalui jalur Abu Maudud, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan membaca ayat ini, yaitu firman-Nya:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (Al- Balad: 4) Yakni mengalami susah payah dalam menanggulangi suatu urusan dari perkara dunianya dan suatu urusan dari perkara akhiratnya.

Dan menurut riwayat yang lain, disebutkan mengalami kesusahan hidup di dunia dan kesusahan di akhirat.Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firrnan-Nya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

(Al- Balad: 4) Bahwa Adam diciptakan di langit, karenanya ia dinamakan Al Kabad. Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berada dalam kesusahan menghadapi semua urusan dan penanggulangannya yang berat. Firman Allah Swt:


{أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ}


Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya? (Al-Balad: 5) Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa makna firman-Nya: Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali

tiada seorang pun yang berkuasa atasnya? (Al-Balad: 5) Yaitu yang akan mengambil hartanya. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Apakah manusia itu menyangka halnya sekali-kali tiada

seorang pun yang berkuasa atasnya? (Al-Balad: 5) Ibnu Adam mengira bahwa Allah tidak akan menanyai harta ini, dari manakah dia memperolehnya dan ke manakah dia membelanjakannya? As-Saddi telah mengatakan

sehubungan dengan makna firman-Nya: Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya? (Al-Balad: 5) Sebagai jawabannya ada, yaitu Allah Swt.Firman Allah Swt.:


{يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالا لُبَدًا}


Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (Al-Balad: 6) Yakni anak Adam mengatakan bahwa dirinya telah membelanjakan harta yang banyak jumlahnya menurut Mujahid, Al-Hasan, Qatadah. As-Saddi, dan yang lainnya.


{أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ}


Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang pun yang melihatnya. (Al-Balad: 7) Mujahid mengatakan bahwa apakah dia mengira bahwa Allah Swt. tidak melihatnya? Hal yang sama dikatakan oleh yang lainnya dari kalangan ulama Salaf. Firman Allah Swt.:


{أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ}


Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata. (Al-Balad: 8) yang dengan kedua matanya itu dia melihat.


{وَلِسَانًا}


lidah. (Al-Balad: 9) yang dengannya dia berbicara, lalu dapat mengungkapkan apa yang terkandung di dalam hatinya.


{وَشَفَتَيْنِ}


dan dua buah bibirnya. (Al-Balad: 9) yang membantunya untuk berbicara dan makan serta menjadi anggota yang memperindah penampilan wajah dan mulutnya.

Al-Hafiz Ibnu Asakir di dalam auto biografi Abur Rabi' Ad-Dimasyqi telah meriwayatkan dari Mak-hul, bahwaNabi Saw. pernah bersabda:


«يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ قَدْ أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ نِعَمًا عِظَامًا لَا تُحْصِي عَدَدَهَا وَلَا تُطِيقُ شُكْرَهَا، وَإِنَّ مِمَّا أَنْعَمْتُ عَلَيْكَ أَنْ جَعَلْتُ لَكَ عَيْنَيْنِ تَنْظُرُ بِهِمَا وَجَعَلْتُ لَهُمَا غِطَاءً، فَانْظُرْ بِعَيْنَيْكَ إِلَى مَا أَحْلَلْتُ لَكَ، وَإِنْ رَأَيْتَ مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَطْبِقْ عَلَيْهِمَا غِطَاءَهُمَا، وَجَعَلْتُ لَكَ لِسَانًا وَجَعَلْتُ لَهُ غُلَافًا فَانْطِقْ بِمَا أَمَرْتُكَ وَأَحْلَلْتُ لك، فإن عرض عليك مَا حَرَّمْتُ عَلَيْكَ فَأَغْلِقْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ. وَجَعَلْتُ لَكَ فَرْجًا وَجَعَلْتُ لَكَ سِتْرًا، فَأَصِبْ بِفَرْجِكَ ما أحللت لك، فإن عرض عليك ما حرمت عليك فأرخ عليك سترك، ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَا تَحْمِلُ سُخْطِي وَلَا تطيق انتقامي»


Allah SWT. berfirman, "Hai anak Adam, Aku telah memberikan nikmat-nikmat yang besar kepadamu, yang tidak dapat kamu hitung bilangannya, dan kamu tidak akan mampu mensyukurinya. Dan sesungguhnya di antara

nikmat yang Aku berikan kepadamu ialah Aku jadikan bagimu dua buah mata yang dengan keduanya kamu dapat melihat, dan Aku jadikan bagi keduanya kelopak. Maka gunakanlah keduanya untuk memandang

apa yang telah Kuhalalkan bagimu, dan jika kamu melihat apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka katupkanlah kedua kelopaknya. Dan Aku telah menjadikan bagimu lisan dan Kujadikan pula baginya penutupnya.

Maka berbicaralah dengan apa yang telah Kuperintahkan kepadamu dan apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka tutuplah lisanmu (diamlah).

Dan Aku telah menjadikan kemaluan bagimu, dan Aku telah menjadikan pula baginya penutup, maka gunakanlah kemaluanmu terhadap apa yang telah Kuhalalkan bagimu. Dan jika ditawarkan kepadamu

apa yang telah Kuharamkan bagimu, maka turunkanlah penutupnya. Hai anak Adam, sesungguhnya Engkau tidak akan mampu menanggung murka-Ku dan tidak akan mampu menahan pembalasan (azab)-Ku.”Firman Allah Swt:


{وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ}


Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni dua jalan. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim, dari Zur, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Artinya kebaikan dan keburukan. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Abu Wa-il, Abu Saleh, Muhammad ibnu Ka'b,

Ad-Dahhak, Ala Al-Khurrasani, dan lain-lainnya. Abdullah ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Sinan ibnu Sa'd, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«هُمَا نَجْدَانِ فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»


Keduanya adalah dua jalan, lalu apakah yang menyebabkan jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan? Sinan Ibnu Sa'd meriwayatkan hadis ini secara tunggal, dan dikatakan pula bahwa dia adalah

Sa'd ibnu Sinan, dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in. Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Al-Juzjani mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat diterima. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia meninggalkan hadisnya karena hadisnya idtirab.

Dan dia telah meriwayatkan lima belas hadis yang semuanya berpredikat munkar. Imam Ahmad mengatakan bahwa ia tidak mengenal suatu hadis pun dari hadisnya yang menyerupai dengan hadis Al-Hasan Al-Basri

dan tidak pula menyerupai hadis Anas ibnu Malik Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, dari Abu Raja yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar

Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami telah memmjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُمَا النَّجْدَانِ نَجْدُ الْخَيْرِ وَنَجْدُ الشَّرِّ، فَمَا جَعَلَ نَجْدَ الشَّرِّ أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ نَجْدِ الْخَيْرِ»


Hai manusia, sesungguhnya keduanya adalah dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan, maka apakah yang membuat jalan keburukan lebih disukai olehmu daripada jalan kebaikan?

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Habib ibnusy Syahid, Ma'mar, Yunus ibnu Ubaid dan Abu Wahb, dari Al-Hasan secara mursal. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Qatadah secara mursal. Ibnu Abu Hatim mengatakan

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu lsam Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Affan, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 10) Yakni kedua Puting susu.Telah diriwayatkan pula dari Ar-Rabi' ibnu Khaisam, Qatadah, dan Abu Hazim hal yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Waki,

dari Isa ibnu Aqqal dengan sanad yang sama. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:


إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً بَصِيراً إِنَّا هَدَيْناهُ السَّبِيلَ إِمَّا شاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً


Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (Al-Insan: 2-3)

Surat Al-Balad |90:2|

وَأَنْتَ حِلٌّ بِهَٰذَا الْبَلَدِ

wa anta ḥillum bihaażal-balad

dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri (Mekah) ini,

And you, [O Muhammad], are free of restriction in this city -

Tafsir
Jalalain

(Dan kamu) hai Muhammad (halal) maksudnya dihalalkan bagimu (kota ini) artinya Dia menghalalkannya untukmu melakukan peperangan di dalamnya untuk melawan orang-orang musyrik.

Allah memenuhi janji-Nya itu pada waktu penaklukan kota Mekah. Ayat ini merupakan Jumlah Mu'taridhah yang terletak di antara Qasam yang pertama dengan Qasam yang selanjutnya.

Alazhar

"Dan engkau menjadi halal di negeri ini." (ayat 2).Ayat ini pun mendapat dua macam penafsiran yang berbeda,

karena berbedanya pengertian tentang kalimat hillun.Al-Wahidi berkata: Al-hillu, al-halal dan al-mahill sama saja artinya, yaitu lawan dari haram.

Ada penafsir mengatakan bahwa yang halal itu ialah perbuatan Nabi Muhammad, jika dia hendak bertindak bagaimanapun,

walaupun membunuh orang, kalau negeri itu ditaklukkannya kelak. Dan telah beliau taklukkan kemudian setelah beliau datang dengan tentaranya dari Madinah di tahun ke 8.

Ibnu Abbas menjelaskan; "Engkau halal membunuh siapa sja yang engkau rasa patut dibunuh, jika engkau masuk ke sana kelak."

Dijelaskan lagi oleh As-Suddi: "Engkau halal memerangi orang-orang yang pernah memerangimu di negeri itu."

Ini pun dikuatkan oleh sebuah Hadis shahih;"Allah telah menjadikan Makkah tanah haram sejak sehari Dia menciptakan segala langit dan bumi,

Maka tetaplah dia tanah haram sampai kelak berdiri kiamat. Maka tidaklah pernah dia dihalalkan bagi seorang pun yang sebelumku,

dan tidak pula dihalalkan bagi seorang pun sesudahku. Dan tidaklah dia dihalalkan untukku hanyalah satu saat saja pada suatu hari."(Muttafaq ‘alaihi; Bukhari dan Muslim).

Tetapi ada pula penafsir lain berpendapat bahwa yang halal di negeri itu ialah Nabi sendiri. Al-Qasimi menyalinkan riwayat itu demikian;

"Dan ada pula yang mengatakan bahwa artinya ialah kehormatan diri engkau, ya Muhammad, telah diperhalal orang saja di negeri ini.

Mereka berleluasa saja menyakiti engkau." Dalam arti seperti ini terkandunglah dalam ayat ini rasa heran ta’jub mengapa sampai demikian mereka memusuhi Nabi

. Dan sebagai suatu uraian tentang mereka berkumpul dan mereka berpisah dari masa ke masa,

tidak seorang jua pun yang berlain pendapat bahwa seekor burung merpati pun mesti mendapat perlindungan di Tanah Haram Makkah itu,

mengapa darah dan nyawa orang yang ditunjuk Allah untuk menjadi pembawa selamat bagi seluruh alam ini mereka pandang halal saja.

Penafsir-penafsir kita sendiri di Indonesia pun memakai kedua macam tafsir ini juga.

H. Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin H.S. menafsirkan; "Dan engkau bertempat tinggal di negeri ini."

Pada keterangan beliau-beliau di bawahnya no. 2051 (Hal. 913), mereka tulis; "Nabi Muhammad di waktu masih bertempat tinggal di Makkah."

Arti yang dipakai oleh Panitia Penyusun "Al-Qur’an Dan Terjemahannya" dari Kementrian Agama mengartikan; "Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini." (Hal. 1061).

Tuan A. Hassan dalam tafsirnya "Al-Furqan" mengambil tafsir yang disalinkan oleh Al-Qasimi itu.

Demikian bunyinya; "Padahal engkau menjadi barang halal di negeri ini." Lalu beliau terangkan tafsirnya pada catatan

di bawah (Al-furqan, hal. 1208); "Engkau diganggu dan diapa-apakan di negeri ini sebagai suatu barang halal buat umum."

Saya, penafsir Al-Azhar ini lebih dekat kepada arti yang dipakai oleh A. Hassan. Sebab kalau dipakai arti Zainuddin Hamidi dan Kementrian Agama,

kita tentu meletakkan mashdar dari halla, yahillu, hallan; yang berarti tempat tinggal. Sedang di ayat ini bacaannya (Qiraat) dan baris di dalam mushaf ialah hillun,

yang menurut yang dijelaskan oleh Al-Wahidi di atas tadi, al-hillu, al-halal dan al-mahill artinya satu saja, yaitu lawan dari haram.

Dan A. Hassan menjadikan huruf waw di permulaan ayat menjadi waw hal. Lalu beliau artikan; "Aku menarik perhatian sungguh-sungguh ke negeri ini." Padahal engkau jadi barang halal di negeri ini."

Maka dapatlah kita fahamkan penafsiran A. Hassan; "Negeri ini menjadi perhatian-Ku sungguh-sungguh,

sampai dia Aku jadikan sumpah kemuliaan. Tetapi engkau sendiri dipandang oleh penduduknya

sebagai seorang yang halalud-dam, halal darahnya saja, boleh dibunuh sesuka hati." Dan ayat ini turun di Makkah. Kemudiannya baru beliau diperintah pindah, hijrah ke Madinah,

pada malam orang sudah bermufakat hendak membunuhnya dengan mengepungnya di rumahnya sendiri.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:3|

وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ

wa waalidiw wa maa walad

dan demi (pertalian) bapak dan anaknya.

And [by] the father and that which was born [of him],

Tafsir
Jalalain

(Dan demi bapak) yaitu Nabi Adam (dan anaknya) atau anak cucunya; huruf Maa di sini bermakna Man.

Alazhar

"Demi yang beranak, demi yang diperanakkannya." (ayat 3).Siapakah yang dituju Tuhan dengan mengambil sumpah dengan waalid;

yang berarti ayah, dan wamaa walad; apa yang dia anakkan. Menurut tafsir Mujahid dan Qatadah dan lain-lain: Yang beranak,

atau ayah itu, yang dimaksud Tuhan ialah Nabi Adam; ayah dari seluruh manusia. Yang diperanakkan ialah kita seluruh keturunan Adam ini.

Dapat saja kita memperpanjang tafsir ini dengan penghargaan Allah terhadap Insan yang amat dimuliakan Tuhan di antara segala makhluk-Nya.

Di Surat 17, Al-Isra’: 70, dengan bangga Allah menyatakan bahwa; "Sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam;

dan Kami angkut mereka di darat dan di laut dan Kami beri rezeki mereka dengan yang baik-baik,

dan Kami lebihkan dia dari sebahagian besar dari yang Kami ciptakan, benar-benar lebih." Banyak lagi ayat lain menyatakan kelebihan Adam dan keturunannya itu.

Abu Imran Al-Juani menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan yang jadi ayah itu ialah Nabi Ibrahim,

dan yang diperanakkan ialah turunannya, termasuk Nabi Ishak yang menurunkan Nabi-nabi Bani Israil dan Ismail yang menurunkan Muhammad SAW.

Tetapi Ibnu Jarir At-Thabari menyatakan dengan tegas, bahwa yang dimaksud dalam ayat ini nyata sekali yaitu segala orang yang jadi ayah, dan segala anak yang diperanakkan oleh si ayah itu.

Manusia kembang di dunia ini. Kehidupan seorang ayah di dalam mendidik anaknya berbagai ragam, berbagai rupa,

berbagai perangai, itu pun satu hal yang memang patut mendapat perhatian. Itu sebab maka "Ayah dan keturunannya"

menjadi salah satu sumpah penting pula oleh Allah. Hartabenda dan anak keturunan adalah perhiasan hidup di dunia,

namun yang kekal hanyalah amal yang shalih jua. Seorang ayah dapat membangga dengan banyak anak-anaknya

waktu mereka masih kecil. Tetapi setelah anak itu menjadi dewasa, belum tentu anak itu akan dapat dibanggakan.

Teringatlah saya bahwa pada tahun 1951, ketika Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia,

di tengah hebatnya percaturan politik, Natsir mendapat percobaan. Puteranya laki-laki terbenam hanyut sedang berenang di salah satu permandian di Jakarta,

sehingga meninggal dunia. Di antara yang datang takziyah Almarhum Haji Agus Salim Failasuf tua itu dalam bersalam menyatakan turut berdukacita

telah berkata kepada Natsir: "Tak usah saya terangkan lagi. Bersyukurlah kepada Tuhan, karena anak ini meninggal di saat engkau masih merasa bangga dengan dia."

Saya tafakur mendengarkan ucapan orang tua itu. Dan telah berlalu lebih 20 tahun sampai sekarang,

kian saya renungkan maksud perkataan Failasuf besar itu. Memang anak sebelum dia dewasa masih pasti dapat kita banggakan.

Nanti kalau dia telah dewasa dan telah bertindak sendiri dalam hidupnya, tidaklah kurang orang tua yang "makan hati berulam jantung"

melihat perangai anak. Lain yang dicitakan, lain yang tumbuh dalam hidup anak ini. Kadang-kadang bertolak belakang.

Di dalam ayat ini disebut waa waalidin, yang berarti demi seorang ayah. Kita cenderung menumpangkan diri dalam tafsiran Ibnu Jarir,

bahwa sumpah peringatan Allah itu bukan terkhusus kepada Nabi Adam atau Nabi Ibrahim. Sebab kalimat waalidin adalah nakirah, yang berarti tidak ditentukan kepada orang tertentu,

bahkan mencakup barang mana ayah saja pun. Sambungannya wamaa walada;

Yang berarti: dan apa yang dia peranakan. Kalau diingat bahwa yang diperanakkan itu tentu saja manusia,

tentu hendaknya bukan memakai maa yang berarti apa yang melainkan memakai man yang berarti demi orang yang dia peranakan.

Tetapi karena yang dimaksud bukan menyebut orangnya, melainkan menyebut macam ragam perangai, pembawaan, kelakuan,

kepintaran, kebodohan, kekayaan dan kemiskinan, maka yang tepat memang Maa, bukanlah Man.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:4|

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

laqod kholaqnal-insaana fii kabad

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

We have certainly created man into hardship.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia) semuanya (berada dalam susah payah) yaitu lelah dan susah karena selalu menghadapi musibah-musibah di dunia dan kesengsaraan-kesengsaraan di akhirat.

Alazhar

"Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu berada dalam susah payah." (ayat 4).Setelah berturut mengemukakan tiga macam sumpah peringatan,

(1) Makkah sebagai kota terpenting tempat Ka’bah berdiri, (2) Muhammad yang begitu berat dan mulia tugasnya berdiam di Makkah itu, namun darahnya dipandang halal saja oleh kaumnya,

(3) bersumpah lagi demi pentingnya, kedudukan ayah dan pentingnya pula anak-anak yang diturunkannya,

masuklah Tuhan kepada yang dimaksudnya, memperingatkan bahwa Dia telah menciptakan manusia tidak terlepas daripada susah-payah

. Susah-payah itulah bahagian yang tidak terpisah dari hidup itu. Tidak bernama hidup kalau tidak ada kesusahan dan kepayahan.

Berkata Al-Yaman: "Tak ada Allah menciptakan makhluk yang lebih banyak susah-payah dalam hidup ini, melebihi Anak Adam, padahal dia adalah makhluk yang paling lemah pula."

Fikirkanlah; sejak dari dalam rahim ibu kepayahan itu sudah dimulai. Membalik-balikkan badan mencari jalan keluar sampai kepada tersumbur dari pintu.

Setelah lahir dengan kepayahan, yang mula terdengar adalah tangis karena tak tahan dingin mula bertemu dengan udara luas,

setelah berbulan lamanya merasa panas badan dalam rahim ibu. Setelah itu mulailah pusat dikerat, lalu menangis kesakitan.

Mulailah menggerak-gerakkan tangan dan kaki; mulai menangis minta menyusu, menangis kedinginan karena telah basah oleh kencing, menangis karena telah berak, menangis minta digendong minta dibawa.

Beransur badan besar, beransur besar kepayahan. Setelah itu bapa memandang telah kuat, mulailah merasa sakit dikhitan.

Setelah selesai dikhitan, mulailah dimasukkan ke sekolah. Sejak dari kelas satu sekolah rendah sampai sekolah tinggi bertemu kesusahan mengahapal,

kepayahan mengulang pelajaran, ketakutan mendapat angka "merah". Dan kalau maju sekolah,

orang tua susah dan melarat, susah payah mencari akal bagaimana melanjutkan sekolah. Dan setelah tammat sekolah yang tinggi,

menggondol titel dan gelar Sarjana Hukum, Insinyur, dan Doktorandus, timbul lagi kesusah-payahan mencari pekerjaan. Dan setelah sampai berumahtangga, timbul lagi kesusahan menafkahi isteri,

kemudian mengemudikan anak, timbul lagi kesusah-payahan lantaran umur yang lanjut.

Setelah isteri dan anak berdiri berkeliling, timbul lagi kesusahan menyediakan rumah yang layak tempat diam,

kendaraan yang layak untuk perhubungan. Setelah rumah tempat tinggal siap dan kendaraan telah sedia,

timbul lagi kesusah-payahan memperjodohkan anak-anak. Yang perempuan supaya bersuami, yang laki-laki supaya beristeri.

Setelah semuanya itu selesai; rumah sudah ada, anak-anak sudah kawin, yang laki-laki telah keluar bersama isterinya,

yang perempuan telah keluar dibawa suaminya, tinggallah awak telah tua dalam kesepian ditinggalkan anak cucu.

Setelah datang usia tua, segala penat, payah, mulailah terasa. Kaki mulai penat, tangan mulai pegal,

mata mulai kabur, gigi mulai goyah dan gugur, uban mulai bertabur, telinga mulai pekak, kepala sakit-sakit dan pening; akhirnya ditutup semuanya dengan mati.

Oleh sebab itu maka kepayahan dan kesusahan adalah bahagian dari hidup, dalam itulah Tuhan menciptakan kita.

Sehingga walau pekerjaan baik atau pekerjaan buruk, semuanya meminta kepayahan. Sehingga memberikan nafkah batin kepada isteri pun meminta tenaga dan kepayahan!

Oleh sebab itu sia-sialah, semata-mata orang yang menghabiskan usia, yang segala sesuatu, baik dan buruk, pasti payah, kalau kepayahan itu karena yang buruk.

Termidzi menyimpulkan usia habis dalam kepayahan itu dalam sepatah dan dua patah kata: "Sudah payah, tidak memperhatikan apa yang perlu, menghabiskan masa pada yang tidak perlu."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:5|

أَيَحْسَبُ أَنْ لَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ

a yaḥsabu al lay yaqdiro 'alaihi aḥad

Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?

Does he think that never will anyone overcome him?

Tafsir
Jalalain

(Apakah manusia itu menyangka) atau apakah manusia menduga, bahwa dia itu adalah kuat. Yang dimaksud adalah Asyad dari kalangan kaum Quraisy ia terkenal kekuatannya (bahwa) huruf An di sini adalah bentuk Takhfif dari Anna,

sedangkan Isimnya tidak disebutkan, lengkapnya Annahuu (sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atas dirinya) Allahlah yang berkuasa atas dirinya.

Alazhar

Sebagai telah dikatakan di atas tadi, manusia pun berpayah-payah menghabiskan usianya pada perkara yang tidak berfaedah.

Bahkan orang musyrikin Quraisy pun berpayah-payah menghabiskan tenaga dan harta menghambat dan menghalangi segala seruan Nabi Muhammad SAW.

Maka datanglah ayat selanjutnya; "Apakah dia menyangka bahwa tidak seorang pun yang berkuasa atas dirinya?" (ayat 5).

Apakah disangkanya bahwa Tuhan tidak melihat dan memperhatikannya? Apakah dia menyangka bahwa Tuhan akan membiarkan saja dia berleluasa berbuat sesuka hati?

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 5 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:6|

يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُبَدًا

yaquulu ahlaktu maalal lubadaa

Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan harta yang banyak."

He says, "I have spent wealth in abundance."

Tafsir
Jalalain

(Dia mengatakan, "Aku telah menghabiskan) untuk memusuhi Muhammad (harta yang banyak") maksudnya banyak mengeluarkan harta untuk memusuhinya.

Alazhar

"Dia mengatakan: "Aku telah menghabiskan harta yang bertumpuk." (ayat 6). Ayat ini menyatakan bagaimana orang yang telah bersusah-payah menghabiskan tenaga dan hartabendanya untuk perkara yang tidak berfaedah,

membanggakan kepada orang sudah berapa hartanya habis. Sebagaimana membangganya si tukang judi sekian ribu dia menang atau sekian ribu dia kalah.

Sebagaimana membangganya orang-orang yang mubazzir membuang harta karena menunjukkan dia orang kaya,

bahwa sekian juta telah habis untuk berfoya-foya. Ataupun orang yang pada lahirnya berbuat baik,

seka berderma dan membantu orang lain, padahal cuma semata-mata untuk mereklamekan dirinya.

Sebagaimana tersebut di dalam sebuah Hadis yang dirawikan daripada Abu Hurairah, bahwa di hari kiamat kelak semua orang akan ditanyai: "Apa yang engkau perbuat dengan hartamu yang banyak itu?"

Orang itu menjawab: "Aku belanjakan untuk kebajikan dan aku zakatkan!" Lalu datanglah sambutan: "Engkau bohong!

Padahal engkau mengeluarkan harta itu hanya semata-mata supaya engkau dipuji orang lain dan dikatakan bahwa engkau seorang yang dermawan." Lalu dilemparkanlah orang itu ke dalam neraka."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 6 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:7|

أَيَحْسَبُ أَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدٌ

a yaḥsabu al lam yarohuuu aḥad

Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?

Does he think that no one has seen him?

Tafsir
Jalalain

(Apakah dia menyangka bahwa) dirinya (tiada seorang pun yang melihatnya) artinya melihat apa-apa yang telah dibelanjakannya itu,

sehingga ada orang yang mengetahui berapa jumlah harta yang telah dibelanjakannya. Allahlah yang mengetahui berapa jumlah yang telah dibelanjakannya itu,

dan jumlah sedemikian itu tidak berarti apa-apa di sisi-Nya, bahkan Dia kelak akan membalas perbuatannya yang buruk dan keji itu.

Alazhar

"Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang yang melihatnya?" (ayat 7).Apakah mereka menyangka bahwa perbuatannya,

membuang-buang harta pada yang tidak berfaedah, atau mengeluarkan harta menolong orang lain,

hanya semata-mata ingin disanjung dipuji, bahwa semuanya itu tidak ada orang yang tahu? Apakah dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu tidak lepas dari tilikan Allah Ta'ala.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 7 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:8|

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ

a lam naj'al lahuu 'ainaiin

Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata,

Have We not made for him two eyes?

Tafsir
Jalalain

(Bukankah Kami telah menjadikan) Istifham atau kata tanya di sini mengandung arti Taqrir (baginya dua buah mata,)

Alazhar

Di samping itu: "Bukanlah telah Kami jadikan baginya dua mata?" (ayat 8).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 8 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:9|

وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

wa lisaanaw wa syafataiin

dan lidah dan sepasang bibir?

And a tongue and two lips?

Tafsir
Jalalain

(lidah dan dua buah bibir)

Alazhar

"Dan lidah dan dua bibir?" (ayat 9).Diberi Tuhan dua mata buat melihat jauh; jangan hanya merumbu-rubu dalam semak dan rimba kehidupan ini,

dengan tidak tentu arah. Diberi lidah dan dua buah bibir, bibir sebelah atas dan sebelah bawah. Gunanya ialah untuk bercakap yang baik, untuk bertanya kepada yang pandai, karena kalau malu bertanya sesat di jalan.

Berkata Sayid Al-Murtadha: "Dengan ayat-ayat ini Allah memperingatkan betapa besar nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-Nya.

Dengan dua mata untuk melihat, satu lidah untuk bercakap dan membolak-balikkan makanan dalam mulut. Dua bibir adalah bertalian dengan lidah.

Bibir menghambat lidah itu sendiri ketika akan bercakap yang tidak berketentuan. Apabila agak lain rasanya

, kedua bibir dapat dikatupkan saja. Dan makanan yang sedang dikunyah-kunyah dengan gigi, dihambat keluar oleh kedua bibir sehingga tidak berhamburan keluar.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 9 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:10|

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

wa hadainaahun-najdaiin

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).

And have shown him the two ways?

Tafsir
Jalalain

(Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan) maksudnya Kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.

Alazhar

"Dan telah Kami tunjukkan kepadanya dua jalan" (ayat 10). An-Najdain artinya ilah dua jalan yang mendaki. Dua mata menghadap kemuka. Di muka terentang dua jalan yang mendaki;

menandakan bahwa dua jalan yang terentang itu mesti ditempuh dengan perjuangan dan mengeluarkan tenaga juga.

Kesatu ialah jalan kebajikan. Kedua ialah jalan yang buruk. Pilihlah dengan akal budi yang telah dianugerahkan Tuhan dan bimbingan Taufiq hidayat Ilahi jalan yang baik dan jauhi jalan yang membawa celaka.

Pada ayat 10 telah diterangkan bahwa di muka kita ada dua jalan terentang, yaitu jalan kebajikan dan jalan kecelakaan.

Sedang keduanya itu sama saja sukarnya. Maka dalam ayat 11 ini diterangkanlah malang dan dangkalnya berfikir orang yang kurang iman

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 10 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Balad |90:11|

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ

fa laqtaḥamal-'aqobah

Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar.

But he has not broken through the difficult pass.

Tafsir
Jalalain

(Maka kenapa ia tidak) atau mengapa ia tidak (menempuh jalan yang sulit)

Alazhar

"Tetapi tidak ditempuhnya jalan mendaki yang sukar." (ayat 11). Dilihatnya di muka ada kesukaran, ('aqabah), sebab itu dijauhinya.

Dia takut dan cemas melihat kesukaran itu. Padahal jalan kepada kebajikan, walaupun ada kesukarannya,

namun bila ditempuh, selamatlah jiwa sendiri dan selamatlah masyarakat dan mendapatlah ridha dari Tuhan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 11 |

Tafsir ayat 11-20

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ismail ibnu Mujalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, dari ayahnya, dari Abu Atiyyah, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya:

Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) Maksudnya, memasuki jalan yang mendaki lagi sulit, yaitu nama sebuah gunung di dalam neraka Jahanam. (Dengan demikian,

berarti huruf lam di sini bukan lam nafi, melainkan lam taukid. Sehingga makna ayat menjadi seperti berikut, "Maka sesungguhnya manusia itu akan menempuh jalan yang sulit lagi mendaki," pent). Ka'bul Ahbar mengatakan

sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) 'Aqabah adalah tingkatan yang terdiri dari tujuh puluh tingkatan di dalam neraka Jahanam.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sulit. (Al-Balad: 11) Yaitu jalan yang mendaki lagi sulit di dalam neraka Jahanam.

Qatadah mengatakan bahwa sesungguhnya hal itu merupakan jalan mendaki, sulit, lagi keras, maka jinakkanlah ia dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah.Qatadah mengatakan bahwa selanjutnya disebutkan oleh

firman-Nya: Tahukah 'kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Al-Balad: 12) Lalu disebutkan pula bagaimana cara melaluinya dalam firman berikutnya: (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan.

(Al-Balad: 13-14) Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? (Al-Balad: 11)

Yakni tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang membawanya kepada keselamatan dan kebaikan.Kemudian dijelaskan dalam firman berikutnya:


{وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ أَوْ إِطْعَامٌ}


Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu: (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan atau memberi makan. (Al-Balad: 12-14) Suatu qiraat ada yang membacanya fakku raqabatin dengan me-mudaf-kannya.

Dan qiraat lain ada yang membacanya fakkun raqabatan. Lafaz fakkun menjadi mudaf yang beramal dengan amal fi’il-nya. Ia mengandung damir yang menjadi fa'il-nya, sedangkan raqabatan menjadi maf’ulnya.

Kedua qiraat ini maknanya berdekatan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id ibnu Abu Hindun,

dari Ismail ibnu Abu Hakim pelayan keluarga Az-Zubair, dari Sa'id ibnu Marjanah; ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ إرب- أي عضو- مِنْهَا إِرْبًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ حَتَّى إِنَّهُ لَيُعْتِقُ بِالْيَدِ الْيَدَ وَبِالرِّجْلِ الرِّجْلَ وَبِالْفَرْجِ الْفَرْجَ»


Barang siapa yang memerdekakan seorang budak yang mukmin. maka Allah memerdekakan tiap anggota tubuhnya dengan tiap anggota tubuh budak itu dari api neraka, sehingga sesungguhnya Allah memerdekakan

tangan dengan tangan, kaki dengan kaki, dan kemaluan dengan kemaluan. Kemudian Ali ibnul Husain bertanya, "Apakah engkau benar mendengar hadis ini dari Abu Hurairah?" Sa'id menjawab, "Benar." Maka

Ali ibnul Husain berkata kepada salah seorang budaknya untuk memanggil budak yang paling disayanginya.”Panggilah si Mutarrif!" Ketika Mutarrif telah berada di hadapan Ali ibnu Husain, maka Ali berkata kepadanya.

Pergilah kamu, sekarang engkau merdeka karena Allah." Imam Bukhari dan Imam Muslim, juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai, telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Sa’id ibnu Mirjanah dengan sanad yang sama.

Menurut lafaz yang ada pada Imam Muslim budak yang dimerdekakan oleh Ali ibnul Husain alias Zainul Abidin ini adalah seorang budak yang sebelum dimerdekakan diberi uang sebanyak sepuluh ribu dirham (untuk bekalnya).

Qatadah telah meriwayatkan dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma’dan ibnu Abu Talhah, dari Abu Najih yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


أَيُّمَا مُسْلِمٍ أَعْتَقَ رَجُلًا مُسْلِمًا فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ وَفَاءَ كل عظم من عظامه عظما من عظامه محررا من النار، وأيما امرأة أَعْتَقَتِ امْرَأَةً مُسْلِمَةً فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ وَفَاءَ كُلِّ عَظْمٍ مِنْ عِظَامِهَا عَظْمًا مِنْ عِظَامِهَا مِنَ النَّارِ


Orang muslim yang memerdekakan seorang budak laki-laki yang muslim, maka sesungguhnya Allah menjadikan imbalannya untuk setiap anggota tubuhnya dengan anggota tubuh budak yang dimerdekakannya itu dari neraka.


itu dimerdekakan dari api neraka, Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Dan Abu Najih ini adalah Amr ibnu Absah As-Sulami r.a.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih.

telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan. dari Kasir ibnu Murrah, dari Amr ibnu Absah; ia telah menceritakan kepada mereka bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:


«مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِيُذْكَرَ اللَّهُ فِيهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. وَمَنْ أَعْتَقَ نَفْسًا مُسَلِمَةً كَانَتْ فِدْيَتَهُ مِنْ جَهَنَّمَ، وَمَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ»


Barang siapa yang membangun masjid agar disebutkan nama Allah di dalamnya, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah gedung di dalam surga. Dan barang siapa yang memerdekakan seorang budak yang muslim,

maka budak itu menjadi tebusannya dari neraka Jahanam. Dan barang siapa yang mengalami ubanan pada sehelai rambutnya di masa Islam, maka hal itu kelak akan menjadi nur (cahaya) baginya di hari kiamat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Nafi', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Salim ibnu Amir, bahwa Syurahbil ibnus Simt pernah mengatakan kepada Amr ibnu Absah,

"Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tidak panjang dan tidak mudah dilupakan." Maka Amr ibnu Absa berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُسْلِمَةً كَانَتْ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ عُضْوًا بِعُضْوٍ، وَمَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فَبَلَغَ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ كَانَ كَمُعْتِقِ رَقَبَةٍ مِنْ بَنِي إِسْمَاعِيلَ»


Barang siapa memerdekakan seorang budak yang muslim, maka budak itu menjadi kebebasannya dari neraka; setiap anggota tubuh dengan setiap anggota tubuh lainnya. Dan barang siapa yang tumbuh ubannya

sehelai dijalan Allah, maka hal itu akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat. Dan barang siapa yang membidikkan anak panahnya, lalu mencapai sasarannya atau meleset (di jalan Allah), maka dia bagaikan seorang

yang memerdekakan seorang budak dari kalangan Bani Ismail. Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkan sebagian dari hadis ini.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul

Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Faraj, telah menceritakan kepada kami Luqman, dari Abu Umamah, dari Amr ibnu Absah As-Sulami. Abu Umamah mengatakan kepadanya, "Ceritakanlah kepada kami

sebuah hadis yang di dalamnya tidak mengandung kekurangan dan tidak pula hal yang sulit dicapai." Amr ibnu Absah menjawab, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«مَنْ وُلِدَ لَهُ ثَلَاثَةُ أَوْلَادٍ فِي الْإِسْلَامِ فَمَاتُوا قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ، وَمَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كانت له نورا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَلَغَ بِهِ الْعَدُّوَ أَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ كَانَ لَهُ عِتْقُ رَقَبَةٍ، وَمَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنْهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّ لِلْجَنَّةِ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابٍ يُدْخِلُهُ اللَّهُ مِنْ أَيِّ بَابٍ شَاءَ مِنْهَا»


Barang siapa yang dilahirkan baginya tiga orang anak dalam masa Islam, lalu mereka semuanya mati sebelum mencapai usia balig, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kemurahan rahmat-Nya

kepada mereka. Dan barang siapa yang beruban sehelai rambutnya di jalan Allah, maka uban itu akan menjadi cahaya baginya kelak di hari kiamat. Dan barang siapa yang membidikkan anak panah di jalan Allah hingga

mencapai musuhnya, baik mengenainya atau meleset, maka baginya pahala seperti memerdekakan seorang budak. Dan barang siapa memerdekakan seorang budak yang mukmin, maka Allah memerdekakan tiap anggota

tubuhnya berkat tiap anggota tubuh budak yang dimerdekakannya dari api neraka. Dan barang siapa yang membelanjakan dua jenis keperluan di jalan Allah, maka sesungguhnya surga itu mempunyai delapan buah pintu,

Allah akan memasukkannya ke dalam surga dari pintu mana pun yang disukainya. Semua sanad hadis-hadis di atas berpredikat jayyid lagi kuat; segala puji bagi Allah Swt.Abu Daud mengatakan, telah

menceritakan kepada kami Ais ibnu Muhammad Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Damrah, dari Ibnu Abu Ablah, dari Al-Arrif ibnu Iyasy Ad-Dailami yang mengatakan bahwa kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa

dan kami berkata kepadanya, "Ceritakanlah kepada kami sebuah hadis yang tidak ada penambahan dan tidak pula pengurangan." Maka Wasilah marah dan berkata, "Sesungguhnya seseorang dari kamu benar-benar membaca

Al-Qur'an dan mushaf yang dibacanya tergantung di rumahnya (tersimpan di dalamnya), maka apakah dia berani menambah-nambahi atau menguranginya?" Kami berkata, "Bukan itu kami maksudkan, sesungguhnya yang kami

maksudkan hanyalah sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang pernah engkau dengar secara harfiah." Wasilah ibnu Asqa' mengatakan, "Kami datang menghadap kepada Rasulullah Saw.

untuk menanyakan kepada beliau tentang seorang teman kami yang sudah dapat dipastikan akan masuk neraka karena bunuh diri, maka Rasulullah Saw. menjawab:


«أَعْتِقُوا عَنْهُ يُعْتِقُ اللَّهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ»


'Merdekakanlah olehmu untuknya seorang budak, maka Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'.” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai

melalui hadis Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Arrif ibnu Iyasy Ad-Dailami, dari Wasilah dengan lafaz yang sama Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad,

telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Qais Al-Juzami, dari Uqbah ibnu Amir Al-Juhani, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«من أعتق رقبة مُسْلِمَةٍ فَهُوَ فِدَاؤُهُ مِنَ النَّارِ»


Barang siapa memerdekakan seorang budak yang muslim, maka budak itu menjadi penebus dirinya dari neraka. Telah menceritakan pula kepada kami Abdul Wahhab Al-Khaffaf, dari Sa'd,

dari Qatadah yang mengatakan bahwa pernah diceritakan kepada kami bahwa Qais Al-Juzami menceritakan hadis dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


«مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً فَهِيَ فِكَاكُهُ مِنَ النَّارِ»


Barang siapa memerdekakan seorang budak yang mukmin, maka budak itu menjadi pembebasnya dari neraka. Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid melalui jalur ini. Imam Ahmad mengatakan,telah menceritakan kepada kami

Yahya ibnu Adam dan Abu Ahmad, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Abdur Rahman Al-Bajali, dari Bani Bajilah, dari Ibnu Sulaim, dari Talhah ibnu Muarrif, dari Abdur Rahman ibnu Ausajah, dari

Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki Badui datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarilah aku suatu amal yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga." Maka Rasulullah Saw. menjawab:


«لَئِنْ كُنْتَ أَقْصَرْتَ الْخُطْبَةَ لَقَدْ أَعْرَضْتَ الْمَسْأَلَةَ، أَعْتِقِ النَّسَمَةَ وَفُكَّ الرَّقَبَةَ»


Sesungguhnya aku telah berniat akan meringkas khotbah ini, tetapi ternyata engkau menjadikannya panjang. Merdekakanlah budak dan bantulah untuk memerdekakannya. Lelaki Badui itu bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah keduanya itu sama?" Rasulullah Saw. menjawab:


«لَا إِنَّ عِتْقَ النَّسَمَةِ أَنْ تَنْفَرِدَ بِعِتْقِهَا، وَفَكَّ الرَّقَبَةِ أَنْ تُعِينَ فِي عِتْقِهَا، وَالْمِنْحَةُ الْوَكُوفُ ، وَالْفَيْءُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الظَّالِمِ فَإِنْ لَمْ تُطِقْ ذَلِكَ فَأَطْعِمِ الْجَائِعَ، وَاسْقِ الظَّمْآنَ، وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ، فَإِنْ لَمْ تُطِقْ ذَلِكَ فَكُفَّ لِسَانَكَ إِلَّا من الخير»


Tidak, sesungguhnya yang pertama berarti engkau memerdekakan budak seutuhnya, sedangkan yang kedua berarti engkau hanya membantu memerdekakannya. Dan gemarlah berderma, berilah saudara yang zalim.

Maka jika kamu tidak mampu mengerjakannya, berilah makan orang yang kelaparan, berilah minum orang yang kehausan, beramar ma'ruf dan bernahi munkarlah. Dan jika kamu tidak mampu mengerjakannya, maka cegahlah lisanmu kecuali terhadap kebaikan.Firman Allah Swt.:


{أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ}


Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Al-Balad: 14) Ibnu Abbas mengatakan bahwa masgabah artinya kelaparan. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, dan selain mereka. As-sagab artinya kelaparan.

Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah di hari makanan sulit dicari. Qatadah mengatakan di hari yang makanan sangat diminati. Firman Allah Swt.:


{يَتِيمًا}


(kepada) anak yatim. (Al-Balad: 15) Yakni berilah makan anak yatim di hari seperti itu.


{ذَا مَقْرَبَةٍ}


yang ada hubungan kerabat. (Al-Balad: 15) Yaitu mempunyai pertalian kekeluargaan dengan yang bersangkutan. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan As-Saddi, sebagaimana yang telah disebutkan

di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.Bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah binti Sirin, dari Salman ibnu Amir, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:


«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ»


Bersedekah kepada (orang lain) yang miskin berpahala sedekah; dan kepada orang miskin yang ada hubungan kerabat dua pahala, pahala sedekah dan pahala silaturahmi. Imam Turmuzi dan Imam Nasai telah meriwayatkannya pula, dan sanad hadis ini sahih.Firman Allah Swt.:


{أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ}


atau orang miskin yang sangat fakir. (Al-Balad: 16) Yakni sangat miskin sehingga menempel di tanah, lagi tak punya apa-apa. Ibnu Abbas mengatakan bahwa za matrabah artinya orang miskin yang terlempar di jalan (gelandangan)

tidak punya rumah, dan tidak punya sesuatu yang menghindarinya dari menempel di tanah. Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah orang yang menempel di tanah karena fakir lagi berhajat dan tidak mempunyai apa-apa.

Dan menurut riwayat lainnya yang juga dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah orang yang jauh rumahnya. Menurut Ibnu Abu Hatim, makna yang dimaksud dari ucapan Ibnu Abbas ialah orang yang mengembara,

jauh dari negeri asalnya. Ikrimah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang fakir yang banyak utangnya lagi memerlukan bantuan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, yang dimaksud ialah orang yang hidup sebatang kara. Ibnu Abbas,

Sa'id, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hauyyan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang miskin yang banyak anaknya. Semua pendapat di atas mempunyai makna yang berdekatan. firman Allah Swt.:


{ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا}


Dan dia termasuk orang-orang yang beriman. (Al-Balad: 17)Yaitu selain dari semua sifat tersebut yang baik lagi suci, dia adalah seorang yang mukmin hatinya dan mengharapkan pahala amalnya itu hanya karena Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


وَمَنْ أَرادَ الْآخِرَةَ وَسَعى لَها سَعْيَها وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ كانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُوراً


Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. (Al-Isra: 19) Dan firman Allah Swt.


مَنْ عَمِلَ صالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ


Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan ia dalam keadaan beriman. (Al-Mukmin: 40), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah Swt.:


{وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ}


dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (Al-Balad: 17) Yakni dia termasuk orang-orang mukmin yang gemar mengerjakan amal saleh lagi saling berpesan

untuk bersabar dalam menghadapi gangguan manusia dan tetap bersikap penyayang kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis:


«الْمُتَوَاصِينَ بِالصَّبْرِ عَلَى أَذَى النَّاسِ وَعَلَى الرَّحْمَةِ بِهِمْ كَمَا جَاءَ فِي الحديث الشريف الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ»


Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan menyayangimu. Di dalam hadis lain disebutkan:


«لَا يَرْحَمُ اللَّهُ مَنْ لَا يَرْحَمُ النَّاسَ»


Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia. Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Najih, dari Ibnu Amir, dari Abdullah ibnu Amr yang meriwayatkan hadis ini:


«مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا»


Barang siapa yang tidak menyayangi orang-orang kecil kami dan tidak menghormati hak orang-orang besar kami, maka dia bukan dari golongan kami. Firman Allah Swt.:


{أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ} Mereka adalah golongan kanan. (Al-Balad: 18) Yaitu orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas adalah golongan kanan. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya:


{وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ}


Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. (Al-Balad: 19) Yakni termasuk golongan kiri.


{عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ}


Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Mereka dimasukkan ke dalamnya, lalu ditutup rapat-rapat sehingga tidak ada jalan selamat bagi mereka dan tidak pula ada jalan keluar bagi mereka darinya

Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Atiyyah Al-Aufi, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makiia firman Allah Swt.: yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20)

Maksudnya, ditutup rapat; Ibnu Abbas mengatakan bahwa semua pintunya ditutup. Mujahid mengatakan bahwa asuddul bab dengan dialek Quraisy artinya aku menutup pintu. Hal ini kelak akan dijelaskan hadis yang menerangkannya dalam tafsir

surat Al-Humazah.Ad-Dahhak mengatakan bahwa firman-Nya: yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Yakni diberi tembok di sekelilingnya, tidak ada jalan keluar darinya. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

yang ditutup rapat. (Al-Balad: 20) Yaitu tertutup rapat, sehingga tidak ada cahaya, tidak ada celah, dan tidak ada pula jalan keluar darinya untuk selama-lamanya. Abu Imran Al-Juni mengatakan bahwa apabila hari kiamat terjadi

maka Allah Swt. memerintahkan kepada Malaikat Zabaniyah untuk menghimpunkan semua orang yang bertindak sewenang-wenang dan semua setan serta semua orang yang dahulunya ketika di dunia kejahatan-nya

ditakuti oleh manusia. Lalu mereka diikat dengan rantai besi. Kemudian Allah memerintahkan (kepada malaikat-Nya) untuk memasukkan mereka ke dalam neraka Jahanam, setelah itu neraka Jahanam ditutup rapat-rapat menyekap

mereka di dalamnya.Abu Imran Al-Juni melanjutkan, bahwa maka demi Allah, telapak kaki mereka sama sekali tidak dapat menetap selama-lamanya. Dan demi Allah, mereka di dalam neraka Jahanam sama sekali tidak dapat

melihat langit selama-lamanya. Dan demi Allah, kelopak mata mereka sama sekali tidak dapat dikatupkan dan tidak dapat merasakan tidur untuk selama-lamanya. Dan demi Allah, mereka di dalamnya sama sekali

tidak pernah merasakan sejuknya minuman untuk selama-lamanya. Demikianiah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Surat Al-Balad |90:12|

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ

wa maaa adrooka mal-'aqobah

Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?

And what can make you know what is [breaking through] the difficult pass?

Tafsir
Jalalain

(Tahukah kamu) maksudnya apakah kamu mengetahui (apakah jalan yang sulit) yang akan ditempuhnya itu Ungkapan ini mengagungkan kedudukan jalan tersebut.

Ayat ini merupakan Jumlah Mu'taridhah atau kalimat sisipan; kemudian dijelaskan oleh ayat berikutnya, yaitu:

Alazhar

Dilihatnya di muka ada kesukaran, ('aqabah), sebab itu dijauhinya. Dia takut dan cemas melihat kesukaran itu. Padahal jalan kepada kebajikan, walaupun ada kesukarannya, namun bila ditempuh,

selamatlah jiwa sendiri dan selamatlah masyarakat dan mendapatlah ridha dari Tuhan. "Tahukah engkau, apakah jalan mendaki yang sukar itu?" (ayat 12).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 12 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:13|

فَكُّ رَقَبَةٍ

fakku roqobah

(Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),

It is the freeing of a slave

Tafsir
Jalalain

(Melepaskan budak) dari perbudakan, yaitu dengan cara memerdekakannya.

Alazhar

"(Ialah) melepaskan belenggu perbudakan." (ayat 13).Perbudakan dalam bahasa Arab disebut Raqabatin.

Asal katanya berarti kuduk atau leher. Seorang yang telah jatuh ke dalam perbudakan samalah keadaannya dengan orang yang telah terbelenggu lehernya.

Dia tidak bebas lagi. Lehernya telah dibelenggu oleh kekuasaan tuannya atas dirinya.Maka mendapat pahala besarlah

orang yang sudi membeli budak-budak untuk memerdekakannya. Inilah yang disebut "tahriru raqabatin"; memerdekakan budak!

Memerdekakan budak itu adalah salah satu dari yang disebut 'aqabah, jalan mendaki yang sukar menempuhnya,

sebab mesti keluar uang. Dibelanjakan harta sendiri buat membeli orang. Harga manusia yang sudah menjadi "barang dagangan" itu kadang-kadang mahal.

Dan kalau sudah dibeli, dia sudah menjadi kepunyaan yang empunya; boleh disuruhnya, boleh dicegahnya

, bahkan lebih lagi rendahnya dari khadam atau orang gajian. Dan kalau budak itu perempuan, kalau cantik boleh dipakai, disetubuhi dengan tidak usah dibayar maharnya,

asal dimaklumkan saja bahwa dia telah dijadikan gundik dan anak yang lagir dari hubungan dengan budak itu diakui sah oleh agama

menjadi anak dari yang memperbudak ibunya itu. Dan tidak ada batas misalnya mesti berempat; seratus orang pun boleh kalau sanggup. Dan kalau dia telah beranak, dia tidak boleh dijual lagi.

Maka dikatakanlah dalam ayat ini bahwa memerdekakan budak yang telah dibeli itu adalah "jalan mendaki yang sukar

. " Kalau dia dimerdekakan, niscaya dia sudah duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan tuannya,

dan uang untuk pembelinya tadi hilang habis saja. Rugi pada benda, tetapi tinggi pada pahala dan penghargaan di sisi Allah. Itulah "Jalan mendaki."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 13 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:14|

أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ

au ith'aamun fii yaumin żii masghobah

atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan,

Or feeding on a day of severe hunger

Tafsir
Jalalain

(Atau memberi makan pada hari kelaparan) yakni sewaktu terjadi bencana kelaparan.

Alazhar

"Atau memberi makan pada hari kelaparan." (ayat 14). Memberi orang makan, membagi-bagikan beras atau gandum atau apa saja makanan mengenyang yang lain di musim paceklik,

di musim rusak hasil bumi. Kalau ada orang kaya yang sanggup berbuat begini, memanglah dia telah melalui jalan mendaki yang sukar

. Sebab tidak akan ada balasan dari orang-orag lapar yang ditolong itu lain dari "ucapan terimakasih."

Di dalam Surat 76, Al-Insan ayat 8 dan 9 dipujikan orang ini oleh Allah setinggi-tingginya: "Mereka memberi makanan,

dalam keadaan dia pun sangat memerlukannya, kepada orang miskin, dan anak yatim dan orang yang tengah tertawan.

Kami beri makan kamu ini, lain tidak, hanyalah karena mengharap wajah Allah semata-mata; tidaklah kami menghendaki daripada kamu suatu balasan pun, dan tidak pula terimakasih."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 14 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:15|

يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ

yatiiman żaa maqrobah

(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,

An orphan of near relationship

Tafsir
Jalalain

(Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat) atau famili.

Alazhar

Yang diberi makan itu ialah; "Anak yatim yang ada hubungan qirabat." (ayat 15).Dalam ayat ini Allah menyebut anak yatim yang pantas ditolong itu;

disebutkan bahwa yang utama ditolong ialah anak yatim yang ada hubungan qirabat. Ditekankan qirabat, supaya orang merasa bahwa mengasuh dan memelihara anak yati itu adalah kewajiban.

Ini pun adalah "jalan mendaki yang sukar", karena anak yatim itu adalah beban baru yang tadinya tidak disangka-sangka.

Taruklah anak perempuan kita sendiri yang telah bersuami dan telah beranak-anak. Tiba-tiba suami anak kita itu,

tegasnya menantu kita itu mati. Syukur kalau menantu kita itu meninggalkan harta yang banyak,

sehingga kita hanya tinggal mengasuh dan mengawasi. Bagaimana kalau miskin? Ke mana anak isterinya itu akan pulang?

Siapa orang lain yang akan memikul beban itu kalau bukan kita sebagai neneknya? Demikian juga kematian saudara kandung kita.

Anaknya mau tidak mau adalah tanggungan kita. Beban tersandang ke bahu. Tidak ada jalan buat nafsi-nafsi, kalau hendak beragama.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 15 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:16|

أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ

au miskiinan żaa matrobah

atau orang miskin yang sangat fakir.

Or a needy person in misery

Tafsir
Jalalain

(Atau orang miskin yang sangat fakir) artinya karena amat miskinnya hanya beralaskan tanah. Menurut suatu qiraat kedua Fi'il tersebut diganti menjadi dua Mashdar yang kedua-duanya dirafa'kan.

Yang pertama dimudhafkan kepada lafal Raqabatin sedangkan yang kedua ditanwinkan, maka sebelum lafal Al-'Aqabah diperkirakan adanya lafal Iqtihaam. Qiraat ini merupakan penjelasan dari makna ayat-ayat tersebut.

Alazhar

"Atau orang miskin yang telah tertanah." (ayat 16).Matrabah saya artikan tertanah; telah melarat, sehingga kadang-kadang rumah pun telah berlantai tanah.

Di Minangkabau orang yang sudah sangat melarat itu memang disebutkan juga telah "tertanah" tak dapat bangkit lagi. Maka datanglah hari paceklik,

semua orang kelaparan, harga makanan sangat naik, pertanian tak menjadi, banyak orang melarat.

Maka tibalah seorang hartawan-dermawan membeli beras itu banyak-banyak lalu membagikannya dengan segala kerendahan hati,

tidak memperdulikan "jalan mendaki yang sukar" karena uang kekayaannya akan berkurang lantaran itu.

Sebab dia telah memupuk Imannya sendiri. Sebab kalau tidak ‘aqabah yang baik itu yang ditempuhnya,

tentu jalan kepada kecelakaan jiwa karena bakhil. Dalam keadaan bakhil itu dia pun mati. Maka harta yang disembunyikannya itu habis porak-poranda dibagi orang yang tinggal atau dipertipukan orang.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 16 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:17|

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ

ṡumma kaana minallażiina aamanuu wa tawaashou bish-shobri wa tawaashou bil-mar-ḥamah

Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.

And then being among those who believed and advised one another to patience and advised one another to compassion.

Tafsir
Jalalain

(Kemudian dia adalah) lafal ayat ini di'athafkan kepada lafal Iqtahama; dan lafal Tsumma menunjukkan makna urutan penyebutan atau Tartiibudz Dzikr.

Artinya dia sewaktu menempuh jalan yang sulit itu (termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan) yakni sebagian di antara mereka berpesan kepada sebagian yang lain (untuk bersabar)

di dalam menjalankan amal ketaatan dan menjauhi perbuatan kemaksiatan (dan saling berpesan untuk berkasih sayang) terhadap semua makhluk.

Alazhar

"Kemudian." (pangkal ayat 17). Artinya di samping amalannya yang lahir kelihatan itu, "Adalah dia termasuk orang-orang yang beriman." Bukan hanya semata-mata karena mencari pujian orang, karena riya'.

Karena kalau hanya mencari pujian dan riya', dia akan berhenti di tengah jalan. Tak ada yang memuji dia pun berhenti,

diomeli sedikit dia pun merajuk, sebab dia merasa dirinya penting benar. "Dan pesan-memesan dengan kesabaran,

" karena banyaknya percobaan hidup sebagai paceklik, kemiskinan, kelaparan dan keyatiman. Semua adalah percobaan,

dan harus dihadapi dengan hati tabah; "Dan pesan-memesan dengan berkasih-kasihan." (ujung ayat 17). Yaitu bahwa yang kuat mengasihi yang lemah,

yang kaya menghibai yang miskin. Berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, bantu membantu, tolong menolong; "Orang-orang begitu adalah golongan kanan." (ayat 18).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 17 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:18|

أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ

ulaaa`ika ash-ḥaabul-maimanah

Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.

Those are the companions of the right.

Tafsir
Jalalain

(Mereka) yaitu orang-orang yang memiliki sifat-sifat demikian itu (adalah golongan kanan.)

Alazhar

"Orang-orang begitu adalah golongan kanan." (ayat 18). Dan di akhirat kelak surat keputusan nasibnya pun akan diterimanya dari sebelah kanan juga. (Lihat kembali Surat 84, Al-Insyiqaq; 7-8).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 18 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:19|

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ

wallażiina kafaruu bi`aayaatinaa hum ash-ḥaabul-masy`amah

Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.

But they who disbelieved in Our signs - those are the companions of the left.

Tafsir
Jalalain

(Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri)

Alazhar

"Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami. (pangkal ayat 19). Yaitu yang tidak mau percaya segala keterangan dan bimbingan yang diberikan Allah dengan perantaraan Rasul-rasulnya;

"Mereka itulah golongan kiri." (ujung ayat 19). Dan dari kiri atau belakang pulalah mereka akan menerima surat keputusan nasibnya di hari akhirat kelak (lihat Surat 10-12).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 19 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Balad |90:20|

عَلَيْهِمْ نَارٌ مُؤْصَدَةٌ

'alaihim naarum mu`shodah

Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.

Over them will be fire closed in.

Tafsir
Jalalain

(orang-orang kiri itu berada dalam neraka yang ditutup rapat) dapat dibaca Mu'shadah dan Muushadah, artinya neraka yang tertutup rapat.

Alazhar

"Untuk mereka adalah neraka yang dikunci rapat." (ayat 20). Tak ada harapan buat keluar lagi, sampai secukupnya azab siksaan yang diterima.

Dari sini mengertilah kita bahwa dalam istilah islam''Golongan kanan''Dan''Golongan kiri"itu berbeda istilah kaum politisi Barat yg telah diistilahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Asalnya ialah dari tradisi parlemen di Negeri negeri barat,wakil wakil rakyat yang menyokong pemerintah dduk di sebelah kanan, dan yang menentang oposisi duduk di sebelah kiri dari posisi Ketua parlemen.

Orang-orang Komunis di negeri-negeri yang belum mereka kuasai, senantiasa mengadakan oposisi (bangkangan) kepada pemerintah yang ada,

lalu mereka menyebut diri mereka "Kaum Kiri". Demikian pandai mereka mempengaruhi masyarakat dengan semboyan-semboyan,

sehingga orang merasa megah kalau menyebut diri "Golongan Kiri" dan apa yang disebut "Golongan Kanan" dartikan golongan borjuis atau kaum kapitalis,

orang yang tidak progressif dan kata-kata ejekan yag lain, sehingga golongan beragama yang telah menerima tuntunan dari Wahyu Ilahi,

yang hidup dalam bertakwa dan iman yang disebut Tuhan dalam wahyu-Nya itulah "Golongan Kanan" menjadi terdesak dan malu,

sedang orang-orang keras kepala, yang selalu hanya membangkang, yang merebut kekuasaan dengan serba kekerasan, merasa bangga dengan menyebutkan dirinya "Kaum Kiri."

*** Seketika hebat revolusi fisik di Bukittinggi di sekitar tahun 1947 ayat-ayat dari Surat Al-Balad inilah yang diselidiki lebih mendalam dan diambil nilai-nilainya

untuk dasar perjuangan Partai Masyumi oleh pemimpin Masyumi di Sumatera Barat di waktu itu,

saudara Darwis Thaib, yang setelah menyandang gelar adat pusaka, memakai gelar Datuk Sidi Bandoro.

Di zaman pergerakkan menentang penjajahan sebelum perang dunia ke-II, Darwis Thaib adalah salah seorang kader penting dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia,

yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Hatta. Darwis Thaib mempelajari sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau,

ayat-ayat dari Surat Al-Balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran "Keadilan Sosial" yang bersumber dari wahyu.

Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan mendaki yang sukar (‘Aqabah), mengeluarkan hartabenda dan tenaga buat: (1) Memberantas segala macam perbudakan,

pemerasan manusia atas sesama manusia, (2) Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makanan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas sebagai korban perjuangan,

atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak mempunyai apa-apa. (3) Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari Iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim,

yang masyarakatnya dibentuk oleh jamaahnya sendiri. Yaitu jamaah yang hidup dalam gotong-royong,

hidup pesan-memesan tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang,

bantu-membantu, tolong-menolong; itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat MARHAMAH.

Dan oleh Darwis Thaib diberi nama sehingga kalimat MARHAMISME ini menjadi timbalan,

jauh lebih populer di kalangan Kaum Muslimin daripada kalimat MARHAENISME ciptaan Sukarno.

Sayang sekali karena perhubungan se Indonesia belum lancar di waktu itu, maka doktrin MARHAMISME dari kalimat MARHAMAH ini belum sempat tersiar jauh,

dan oleh gangguan kesihatan Darwis Thaib tidak dapat membawa nilai-nilai cita-cita dan kepuasannya terhadap Surat Al-Balad ini ke pusat Masyumi di waktu itu,

yaitu di Jokja, atau di Jakarta, untuk diperdalam lagi setelah didiskusikan dengan pemimpin-pemimpin yang lain

. Apakah lagi setelah selesai penyerahan kedaulatan, Partai Masyumi telah menghadapi perjuangan-perjuangan yang dahsyat menghadapi usaha-usaha lawan-lawannya buat menghancurkannya,

yang dipelopori oleh Presiden Sukarno sendiri, yang akhirnya sampai membubarkan partai tersebut. Dan setelah itu pemimpin-pemimpinnya dihalaukan masuk penjara bertahun-tahun lamanya.

Kemudian sekali barulah diketahui bahwa Presiden Sukarno memang sudah lama dibina dan digarap oleh Komunis;

sampai dia jatuh tersungkur dari kemegahannya yang demikian teguh dipertahankannya. Darwis Thaib penggali doktrin MARHAMISME itu di tahun 1947 menerbitkan brosur kecil bernama "Marhamisme".

Dalam penggalian membentuk ajaran MARHAMISME untuk ideologi Masymi ini Darwis Thaib telah menggabungkan

penyelidikannya yang dalam terhadap Al-Qur'an dengan ajaran Kedaulatan Rakyat Keadilan Sosial yang diterimanya

dari kursus-kursus yang diberikan Muhammad Hatta, yang ditekankan terlebih dahulu kepada PENDIDIKAN.

Oleh karena kekecewaan yang dirasakan oleh Hatta setelah Gerakan Nasional dicoba menghancurkannya oleh Belanda

, sampai Sukarno ditangkap dan dibuang (1930), lalu Partai Nasional Indonesia (P.N.I) dibubarkan oleh Mr. Sartono,

diganti dengan Partai Indonesia. Hatta tak setuju dengan pembubaran dan menukar nama itu;

lalu didirikannya PENDIDIKAN Nasional Indonesia. Karena menurut Hatta rasa kebangsaan itu bergantung juga kepada pembentukkan karakter.

Kalau karakter lemah, orang akan lari tumpang-siur apabila musuh datang menghalau. Sebab itu dalam Pendidikan Nasional,

Hatta menitikberatkan kepada pendidikan politik, memperdalam kesadaran nasional dan kesediaan berkurban demi cita-cita.

Karena untuk mencapai kemerdekaan tanahair tidaklah soal mudah. Penjajah pasti tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan itu dalam dulang emas.

Itulah yang ditanamkan Hatta dalam partainya tersebut. Temannya di waktu itu ialah Sutan Syahrir. Belanda memandang partai yang tidak banyak berpidato itu amat berbahaya.

Akhirnya Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, namun kader-kader yang mereka tinggalkan tetap menjadi teladan keteguhan pendirian.

Darwis Thaib adalah seorang di antara mereka.Setelah Masyui berdiri di Sumatera Barat di permulaan kemerdekaan, tidak ayal lagi,

Darwis Thaib mendapat didikan Islam yang mendalam yang terus memasuki partai tersebut. Sebagai seorang pemikir, dialah yang menimbulkan citra MARHAMISME yang dikorek dari Surat Al-Balad itu.

MARHAMISME menjadi populer sehingga hilanglah pengaruh MARHAENISME dan MURBAISME yang suku-suku katanya hampir sembunyi dari daerah Sumatera Tengah.

Demi perjuangan politik Islam, Masyumi mesti membentuk Kader dan memberikan pendidikan kehidupan MARHAMISME itu.

Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri,

dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islami. Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak ayat dan bunyi Hadis Rasulullah SAW.

Darwis Thaib mendapat dalam renungannya bahwa apabila kemerdekaan ini telah tercapai dengan sempurna kelak

, dan kita telah mendapat "De Jure" akan tiba masanya kaum yang tidak terdidik dalam Islam, kaum Komunis atau Kaum Nasionalis menyingkirkan Islam dari arena perjuangan.

Walaupun secara curang. Karena suatu politik yang tidak berurat tunggang kepada agama berpendapat bahwa "kecurangan" adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan politik. Tujuan politik ialah kekuasaan.

Sebab itu Darwis Thaib memperingatkan bahaya masuknya kaum oportunis, sarjana-sarjana dan cendekiawan yang tertarik masuk partai karena melihat partai mendapat dukungan massa yang amat hebat.

Yang mereka harapkan ialah mendapat kedudukan yang empuk dengan perantaraan Masyumi. Padahal kehidupan peribadi mereka tidaklah menurut Islam. Rukun Islam tidak pernah mereka kerjakan,

mereka tidak sembahyang. Tidak nampak Islam, baik pada dirinya ataupun dalam rumahtangganya.

Soal sembahyang lima waktu, puasa, zakat fithrah, zakat harta, pendidikan agama pada kanak-kanak bagi Darwis Thaib adalah syarat mutlak untuk mencapai masyarakat Marhamisme.

Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak Partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina,

disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tumpang-siur pula Waktu dia membuka soal ini di kantor Masyumi "Jalan Lurus" Bukitinggi,

banyak orang yang tertawa saja, dan menuduh bahwa semuanya itu hanyalah "berkatia-katai" orang sakit demam panas!

Bagi beliau waktu itu, kerjasama di antara Masyumi dengan Muhammadiyah mestilah sangat dieratkan.

Sebab Muhammadiyah itu adalah salah satu alat penting untuk membentuk kader perjuangan Islam,

yang mesti selalu ditingkatkan untuk mencapai Marhamisme. Dia tertarik kepada pergerakkan Muhammadiyah,

terutama di bawah pimpinan Abuya Ahmad Rasyid Sutan Mansyur, karena Muhammadiyah telah dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin partai yang gigih memperjuangkan Islam

dalam Masyumi, terutama di Sumatera. Sebab Abuya Sutan Mansyur memang sejak lama telah membentuk kader-kader Islam.

Dan pada masa itu (1945-1948) Abuya Sutan Mansyur membentuk gerakan Jihad yang giat mengadakan amal,

mengerjakan sawah ladang, membangun madrasah, surau, langgar dan lain-lain yang berkenaan juga dengan pertanian dan ekonomi.

Semua digerakkan setelah selesai sembahyang Subuh, dan hanya dikerjakan satu jam saja.

Menurut teori beliau, kemenangan politik Islam mesti dimulai dan ditanamkan dari bawah, dari satu jamaah kecil di satu surau kecil,

dengan imamnya yang merangkap jadi pemimpin. Ini beliau dasarkan kepada ayat 38 dari Surat 42, Asy-Syura:

"Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, dan mendirikan sembahyang,

sedang urusan mereka dipermusyawaratkan di antara mereka, dan sebahagian daripada rezeki yag Kami anugerahkan, mereka belanjakan."

Di ayat ini terdapat 4 pokok pendidikan:(1) Kesadaran beragama, (2) Membentuk jamaah dari sebab sembahyang, (3) Latihan selalu musyawarat (demokrasi),

(4) Latihan berkurban harta.Dengan sendirinya dari dasar yang di bawah itu, kepada jamaah, keyakinan politik Islam sudah mulai ditanamkan. Karena sudah nyata bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan

di antara politik atau kenegaraan dengan agama. Langgar ataupun mesjid adalah lembaga tempat pertumbuhan politik.

Beliau pandang pula pembahagian isi Surat Al-Balad itu dengan kacamata perjuangan politik. Al-Balad berarti Negeri;

dan dia akan meningkat menjadi Negara. Tiap jamaah mempunyai Imam, bahkan dalam perjalanan musafir, bila bilangan anggota safari itu telah sampai tiga orang, sudah mesti seorang dijadikan imam.

Imam atau pemimpin yang di atas sekali ialah Muhammad SAW. Muhammad sebagai pemimpin tertinggi mesti melalui pengalaman-pengalaman peribadi yang pahit,

sampai dipandang orang halal darahnya di negerinya sendiri, sehingga terpaksa hijrah. Namun hijrah bukanlah lari,

tetapi pergi menyusun kekuatan lahir dan batin, untuk merebut Negeri itu kembali,

yaitu Makkah Al-Mukarramah. Karena dari sana, dari Makkah, yang bernama juga "Ummul Qura" artinya ibu dari negeri-negeri

akan dipancarkan kelak pimpinan ke seluruh dunia. Sebab Muhammad diutus ialah untuk menjadi Rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Aalamin).

Ketika diadakan "Ulang Tahun ke-II" berdirinya Partai Politik Islam Masyumi di Gedong Nasional (Bekas gedong Belvedere) pada 7 November 1947,

di Bukittinggi Wakil Presiden Muhammad Hatta hadir dan turut mendengarkan keterangan dan uaraian bekas murid atau kadernya

itu dalam ceramahnya yang brilian tentang MARHAMISME. Dalam memberikan keterangan yang luar biasa mengagumkan saya itu,

kelihatan bahwa beliau agak payah karena sakit. Dalam sakitnya itu pidatonya bertambah indah;

ada-ada saja penemuan baru tentang ideologi Islam yang ditemuinya. Sehabis dia berpidato seketika akan pulang, Wakil Presiden mengatakan kepada saya rasa sayang karena ideolog yang "Genius" itu sakit.

Sayangnya cita-cita dan penelitian yang indah itu belum sampai diratakan ke seluruh Indoneisa.

Penyerbuan Belanda yang kedua terjadi. Kami kucar-kacir, Darwis Thaib pun pulang ke Maninjau kampung halamannya.

Dan kami pun berserak-serak. Teringat saya Failasuf Jerman yang besar Friedrich Nietsche dengan filsafatnya yang terkenal "superman". Buah-buah fikirannya yang indah itu pun banyak yang timbul di waktu dia sakit.

Setelah perang berhenti dan sampai pada penyerahan kedaulatan, terbukalah segala hubungan. Jalan ke Jawa telah terbuka. Tetapi Masyumi telah masuk ke dalam lapangan praktis politik yang hebat.

Bergolak menegakkan cita-cita di dalam hebatnya pukulan lawan-lawannya. Apa yang dikira-kirakan oleh Darwis Thaib seketika di Jalan Lurus Bukittinggi yang ketika itu ada yang menertawakan atau menyangka "katai-katai"

orang sakit yang tengah mengigau, benar-benar terjadi; Masyumi sesudah tiga kali memegang perdana menteri dan dua kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno.

Tetapi pokok dan dasar faham Marhamisme yang digali oleh Darwis Thaib dari dalam Surat Al-Balad ini masih tercantum dengan baik

dan segar, dan masih dapat saja memberikan inspirasi perjuangan untuk tiap-tiap masa, untuk keturunan (generasi) demi keturunan.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Balad | 90 : 20 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Asy-Syams |91:1|

وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا

wasy-syamsi wa dhuḥaahaa

Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,

By the sun and its brightness

Tafsir
Jalalain

(Demi matahari dan cahayanya di pagi hari) yaitu sewaktu memancarkan sinarnya di pagi hari.

Alazhar

Di sini Tuhan Allah mengambil persumpahan dengan beberapa makhluk yang Dia ciptakan, yang samasekali itu adalah makhluk besar jika dibandingkan dengan kejadian manusia.

Mula sekali di Surat ini Tuhan bersumpah dengan matahari, dan matahari pula yang menjadi nama Surat ini; "Demi matahari dan cahaya siangnya." (ayat 1).

Karena apabila matahari telah mulai terbit, kian lama dia akan kian tinggi dan kian memancar pulalah cahaya siangnya.

Maka terasalah betapa sangkut=pautnya kehidupan manusia dengan cahaya matahari di siang hari itu. Dalam ayat ini ada disebut waktu Dhuha, yaitu sejak matahari mulai beransur panas,

sampai matahari di pertengahan langit. Waktu itu disebut waktu Dhuha. Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘ammanya

mengatakan bahwa matahari dijadikan persumpahan oleh Tuhan agar kita perhatikan terbitnya dan terbenamnya,

karena dia adalah makhluk Tuhan yang besar dan dahsyat. Dan Tuhan ambil pula cahaya

siangnya jadi persumpahan karena cahaya itulah sumber kehidupan dan penerang mencari petunjuk dalam alam ciptaan Tuhan yang luas ini.

Di mana engkau akan dapat hidup kalau cahaya matahari tak menerangi? Dan di mana engkau akan dapat melihat sesuatu yang tumbuh

dan berkembang? Bahkan di mana engkau dapat mengetahui dirimu sendiri, kalau tak ada cahaya Sang Surya?

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 1 |

Tafsir ayat 1-10

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. (Asy-Syams: 1) Yakni sinarnya di waktu pagi. Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Waduhaha," artinya seluruh siang hari,

bukan hanya pagi hari saja. Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang benar ialah bila dikatakan bahwa Allah bersumpah dengan menyebut matahari dan siang hari, karena sinar matahari yang terang terdapat di siang hari.


{وَالْقَمَرِ إِذَا تَلاهَا}


dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Mujahid mengatakan mengiringinya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bulan apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2)

Maksudnya, mengiringi siang hari. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: apabila mengiringinya. (Asy-Syams: 2) Yaitu malam hilal; bila mentari terbenam, hilal baru kelihatan.

Ibnu Zaid mengatakan bahwa bulan mengiringi matahari pada pertengahan bulan pertama, kemudian sebaliknya matahari mengiringi bulan dan bulan mendahuluinya pada pertengahan bulan yang terakhir.

Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah apabila bulan mengiringi matahari di malam Lailatul Qadar. Firman Allah Swt:


{وَالنَّهَارِ إِذَا جَلاهَا}


dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila cuacanya cerah. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3)

Yakni apabila siang hari menerangi semuanya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian ahli bahasa Arab menakwilkan hal ini dengan pengertian siang hari apabila mengusir gelapnya malam hari.

Dikatakan demikian karena konteks kalimat menunjukkan kepada pengertian ini. Menurut hemat kami, seandainya orang yang berpendapat demikian menakwilkan dengan pengertian tersebut sebagaimana takwilnya

terhadap firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3) tentulah hal ini lebih utama dan lebih sahih bila diterapkan kepada firman-Nya: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4)

Maka takwilnya akan kelihatan lebih baik dan lebih kuat; hanya Allah-lah Yang Mengetahui. Karena itulah maka Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siang apabila menampakkannya. (Asy-Syams: 3)

Bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 2) Adapun Ibnu Jarir, dia memilih pendapat yang merujukkan semua damir kepada matahari dalam semua kalimat itu

mengingat mataharilah yang menjadi subjek pembicaraan. Para ulama mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams: 4)

Yaitu apabila malam menutupi matahari saat matahari tenggelam, maka seluruh cakrawala menjadi gelap.Baqiyyah ibnul Walid telah meriwayatkan dari Safwan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Zi Hamamah

yang mengatakan bahwa apabila malam hari tiba, Allah Swt. berfirman, "Hamba-hamba-Ku telah ditutupi oleh makhluk-Ku yang besar," malam hari takut kepada Allah,

dan memang Allah yang telah menciptakannya lebih berhak untuk dia takuti. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.Firman Allah Swt.:


{وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا}


dan langit serta pembinaannya. (Asy-Syams: 5) Ma di sini dapat diartikan sebagai ma masdariyah, sehingga artinya menjadi 'dan langit serta bangunannya'. Ini menurut pendapat Qatadah.

Dapat pula ia dianggap sebagai huruf yang bermakna man, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Dan langit serta Tuhan yang membangunnya. Ini menurut pendapat Mujahid;

kedua pendapat tersebut saling berkaitan. Dan yang dimaksud dengan bina-iha ialah bangunannya yang tinggi. sebagaimanayang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


وَالسَّماءَ بَنَيْناها بِأَيْدٍ- أَيْ بِقُوَّةٍ- وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ وَالْأَرْضَ فَرَشْناها فَنِعْمَ الْماهِدُونَ


Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. Dan bumi itu Kami hamparkan; maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). Adz-Dzariyat: 47-48) Demikian pula firman Allah Swt:


{وَالأرْضِ وَمَا طَحَاهَا}


dan bumi serta penghamparannya. (Asy-Syams: 6) Mujahid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan penghamparannya. (Asy-Syams: 6)

Yakni segala makhluk yang terdapat di dalamnya. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah bagian-bagiannya. Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi, As-Sauri,

Abu Saleh, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa taha-ha artinya penghamparannya, dan inilah pendapat yang terkenal dan dianut oleh kebanyakan ulama tafsir, juga yang terkenal dikalangan ahli bahasa.

Al-Jauhari mengatakan bahwa tahautuhu sama dengan dahawtuhu, artinya aku telah menghamparkannya.Firman Allah Swt.:


{وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا}


Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. (Asy-Syams: 7) Yaitu penciptaannya yang sempurna dengan dibekali fitrah yang lurus lagi tegak, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْها لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Rasulullah Saw. telah bersabda:


«كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُولَدُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟»


Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka hanya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani, atau seorang Majusi.

Sebagaimana hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan utuh, maka apakah kamu pernah melihatnya ada yang cacat? Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui riwayat Abu Hurairah,

sedangkan di dalam Sahih Muslim disebutkan melalui riwayat Iyad ibnu Hammad Al-Mujasyi'i, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:


«يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ»


Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (menyimpang dari kebatilan dan cenderung kepada perkara hak). Kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agamanya. Firman Allah Swt.:


{فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا}


maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Yakni Allah menerangkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaan, kemudian memberinya petunjuk kepadanya

sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untuknya. ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8)

Allah telah menjelaskan kepadanya kebaikan dan keburukan.Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, dan As-Sauri. SaMd ibnu Jubair mengatakan bahwa Allah mengilhamkan (menginspirasikan)

kepadanya jalan kebaikan dan keburukan. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Allah Swt. menjadikan dalam jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar,

telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa dan Abu Asim An-Nabil, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Azrah ibnu Sabit, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Aqil, dari Yahya ibnu Ya'mur,

dari Abul Aswad Ad-Daili yang mengatakan bahwa Imran ibnu Husain mengatakan kepadanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia sehingga mereka bersusah payah melakukannya?

Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dan telah digariskan oleh takdir yang terdahulu atas mereka. Ataukah merupakan sesuatu yang bergantung kepada penerimaan mereka terhadap apa

yang disampaikan oleh Nabi Saw. kepada mereka dan yang telah diperkuat oleh hujjah sebagai alasan terhadap mereka?" Maka Abul Aswad Ad-Daili menjawab, "Tidak demikian, sebenarnya hal itu merupakan sesuatu

yang telah ditetapkan atas diri mereka oleh takdir Allah.'" Imran ibnu Husain bertanya, "Maka apakah hal itu bukan termasuk perbuatan aniaya?" Abul Aswad Ad-Daili mengatakan bahwa ia merasa sangat terkejut

terhadap pertanyaan itu. Maka ia menjawab, "Tiada sesuatu pun melainkan dia adalah makhluk-Nya dan menjadi milik-Nya, tiada seorang pun yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan

dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah mereka kerjakan."Imran ibnu Husain berkata, "Semoga Allah meluruskanmu, sesungguhnya aku bertanya kepadamu tiada lain untuk memberitahukan kepadamu

bahwa pernah ada seorang lelaki dari Bani Muzayyanah atau Bani Juhainah datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang apa yang dikerjakan oleh manusia

yang mereka bersusah payah menanggulanginya. Apakah hal itu merupakan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka dalam takdir yang terdahulu, ataukah hal itu merupakan

sesuatu yang mereka terima dari apa yang disampaikan oleh Nabi mereka kepada mereka, lalu diperkuat dengan hujah atas diri mereka?" Maka Rasulullah Saw. menjawab:


«بَلْ شَيْءٌ قَدْ قُضِيَ عَلَيْهِمْ»


Tidak demikian, sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan atas diri mereka. Lelaki itu bertanya lagi, "Lalu apakah gunanya kita beramal?" Rasulullah Saw. menjawab, bahwa barang siapa yang diciptakan oleh Allah untuk

mengerjakan salah satu di antara keduanya, maka Allah menyiapkannya untuk itu, dan hal yang membenarkan ini dalam Kitabullah adalah firman-Nya yang mengatakan: dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Azrah ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Firman Allah Swt.:


{قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}


sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10) Takwil makna ayat dapat dikatakan bahwa sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan dirinya

dengan taat kepada Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang hina. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id ibnu Jubair. Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى


Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (Al-Ala: 14-15) Adapun firman Allah Swt.:


{وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}


dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 10) Yakni membenamkannya, menguburnya, dan menghinakannya dengan tidak mengikuti jalan petunjuk, hingga terjerumuslah dia ke dalam

perbuatan-perbuatan maksiat dan meninggalkan ketaatan kepada Allah Swt. Dapat juga makna ayat ditakwilkan dengan pengertian berikut, bahwa beruntunglah orang yang jiwanya dibersihkan oleh Allah,

dan merugilah orang yang jiwanya ditakdirkan kotor oleh Allah Swt. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada

kami ayahku dan Abu Zur'ah, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abu Malik alias Amr ibnul Haris, dari Amr ibnu Hisyam,

dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (Asy-Syams: 9)

Maka beliau Saw. bersabda: Beruntunglah jiwa orang yang di sucikan oleh Allah Swt. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Malik dengan sanad yang sama. Juwaibir yang disebutkan dalam

perawi hadis ini adalah Ibnu Sa'id, orangnya berpredikat matruk, dan lagi Ad-Dahhak belum pernah bersua dengan Ibnu Abbas.Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh,

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bila bacaannya sampai pada ayat ini, yaitu firman-Nya:

dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 7-8) Maka beliau Saw. menghentikan bacaannya, lalu berdoa:


«اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، وَخَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا»


Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, Engkau adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya, dan (Engkau) adalah sebaik-baik yang menyucikannya.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan

kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Humaid Al-Madani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdullah Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Muhammad Al-Gifari,

dari Hanzalah ibnu Ali Al-Aslami, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams: 8) Lalu beliau Saw. berdoa:


«اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا»


Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya; dan sucikanlah jiwaku, Engkau sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau Pemiliknya dan Yang Menguasainya. Mereka tidak ada yang mengetengahkannya dari jalur ini

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Saleh ibnu Sa'id, dari Aisyah r.a., bahwa ia merasa kehilangan Nabi Saw. di tempat peraduannya,

lalu ia mencarinya dengan meraba-rabakan tangannya (dalam kegelapan malam), dan tangannya memegang diri Nabi Saw. yang saat itu sedang melakukan sujud seraya berdoa:


«رَبِّ أَعْطِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا»


Ya Tuhanku, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya dan Engkan adalah Yang Memiliki dan Yang Menguasainya. Imam Ahmad meriwayatkan

hadis ini secara munfarid.Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad,

telah menceritakan kepada kami Asim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS, dari Zaid ibnu Arqam yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. acapkali mengucapkan doa berikut:


«اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْهَرَمِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ. اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ. وَعِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَدَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا»


Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, kepikunan, sifat pengecut, sifat kikir, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia,

Engkau adalah sebaik-baik yang menyucikannya, Engkau adalah Pemilik dan Yang Menguasainya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah kenyang (puas)

dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari doa yang tidak diperkenankan. Ibnu Zaid mengatakan, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kami doa-doa tersebut, dan sekarang kami mengajarkannya kepada kalian.

Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah, dari Asim Al-Ahwal, dari Abdullah ibnul HariS dan Abu Usman An-Nahdi, dari Zaid ibnu Arqam dengan lafaz yang sama.

Surat Asy-Syams |91:2|

وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا

wal-qomari iżaa talaahaa

demi bulan apabila mengiringinya,

And [by] the moon when it follows it

Tafsir
Jalalain

(Dan bulan apabila mengiringinya) apabila muncul mengiringi terbenamnya matahari.

Alazhar

"Demi bulan apabila dia mengikutinya." (ayat 2). Yang dimaksud bulan mengikuti matahari ini ialah di saat-saat bulan mencapai purnamanya,

sejak 13 haribulan sampai 16 haribulan. Waktu itulah bulan penuh sebagaimana adanya kelihatan dari muka bumi,

sehingga malam pun mendapat sinaran dari bulan sepenuhnya sejak matahari terbenam sampai fajar menyingsing.

Oleh sebab itu persumpahan Ilahi tertuju di sini bukan semata kepada bulannya, tetapi terutama lagi kepada perbandingan cahayanya dengan cahaya matahari.

Bukanlah maksud ayat ini bahwa bulan sendirilah yang mengikuti matahari, sebab sebagai tersebut di dalam Surat 36, Yaa-Siin ayat 40

perjalanan bulan itu jauh lebih cepat dari perjalanan matahari, sehingga "Tidaklah selayaknya matahari menukar bulan",

sebab perjalanan matahari itu lebih lambat (365 hari edaran satu tahun) dan bulan lebih cepat (354 hari dalam setahun).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:3|

وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا

wan-nahaari iżaa jal-laahaa

demi siang apabila menampakkannya,

And [by] the day when it displays it

Tafsir
Jalalain

(Dan siang apabila menampilkannya) yaitu menampakkan matahari yang semakin meninggi.

Alazhar

"Demi siang apabila menampakkannya." (ayat 3). Artinya, apabila hari telah pertambah siang, bertambah nampak jelaslah matahari itu,

bahkan adanya matahari yang jelas itulah yang menyebabkan adanya siang. Karena di waktu itulah matahari yang memancarkan cahaya itu menjadi lebih jelas.

Sehingga jelaslah dalam ayat ini betapa pentingnya cahaya itu bagi seluruh alam dalam kekeluargaan matahari,

terutama di muka bumi kita ini. Dan kepentingan perhatian kita di hadapan cahaya itu bertambah lagi karena ayat yang berikutnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:4|

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

wal-laili iżaa yaghsyaahaa

demi malam apabila menutupinya (gelap gulita),

And [by] the night when it covers it

Tafsir
Jalalain

(Dan malam apabila menutupinya) artinya menyelimuti siang dengan kegelapannya. Lafal Idzaa yang ada pada tiga tempat di atas hanya menunjukkan makna Zharaf, sedangkan yang menjadi Amilnya adalah Fi'il dari Qasam.

Alazhar

"Demi malam apabila menutupinya." (ayat 4). Karena bila matahari telah terbenam datanglah malam. Malam ialah saat-saat berpengaruhnya kegelapan, karena matahari tidak kelihatan lagi.

Dan kegelapan malam itu mempengaruhi kepada urat-urat saraf kita. Dengan datangnya malam,

yang matahari laksana tersimpan dahulu, kita pun dapat beristirahat menunggu matahari terbit pula.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:5|

وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا

was-samaaa`i wa maa banaahaa

demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan),

And [by] the sky and He who constructed it

Tafsir
Jalalain

(Dan langit serta pembinaannya.)

Alazhar

"Demi langit dan apa yang mendirikannya." (ayat 5). Setelah diambil perhatian kita kepada matahari, bulan dan siang dan malam,

pada yang kelima diperingatkanlah keindahan langit itu sendiri, dan apa atau siapakah yang membina langit yang demikian indah,

yang kadang-kadang dinamai "gubah hijau", demi indah permainya di siang hari ketika awan beriring ke tepi, bukan berarak ke tengah.

Dan lebih indah lagi bila kelihatan di malam hari dengan hiasan bintang-bintang, tidak pernah membosankan mata memandang, lebih-lebih lagi mereka yang berperasaan halus.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 5 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:6|

وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا

wal-ardhi wa maa thoḥaahaa

demi bumi serta penghamparannya,

And [by] the earth and He who spread it

Tafsir
Jalalain

(Dan bumi serta penghamparannya) yang menghampar.

Alazhar

"Demi bumi dan apa yang menghamparkannya." (ayat 6). Kelihatan pula keindahan bumi dengan lautan dan daratannya,

gunung dan ganangnya, danau dan tasiknya, rimba dan padang belantaranya. Kayu-kayuannya,

rumput-rumputannya, binatang-binatangnya, ikannya di laut, ternaknya di padang. Sebagai ayat 5 tentang langit,

perhatian pun ditarik untuk memperhatikan apa yang menghamparkan bumi itu begitu indah, dengan padang saujananya yang serenjana mata memandang.

Alangkah dahsyatnya kejadian bumi itu, apakah agaknya, atau siapakah yang menghamparkannya

sehingga manusia dapat hidup di dalam bumi terhampar itu? Di kedua ayat ini, ayat lima dan ayat enam; dikatakan apa untuk mencari siapa!

Untuk menegaskan dari apa kepada siapa, datanglah ayat selanjutnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 6 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:7|

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا

wa nafsiw wa maa sawwaahaa

demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,

And [by] the soul and He who proportioned it

Tafsir
Jalalain

(Dan jiwa) sekalipun bentuk lafalnya Mufrad tetapi makna yang dimaksud adalah Jamak (serta penyempurnaannya) maksudnya kesempurnaan ciptaannya; lafal Maa pada tiga tempat di atas adalah Maa Mashdariyah, atau bermakna Man.

Alazhar

"Demi sesuatu diri dan apa yang menyempurnakannya." (ayat 7). Atau sesuatu jiwa, yang dimaksud ialah peribadi seorang Insan,

termasuk engkau, termasuk aku. Sesudah kita disuruh memperhatikan matahari dan bulan, siang dan malam,

langit dan bumi dan latarbelakang segala yang nyata itu, yang di dalam filsafat dinamai fisika, kita disuruh mencari apa metafisikanya,

sampai hendaknya kita menginsafi bahwa segala-galanya itu mustahil terjadi dengan sendirinya. Semuanya teratur,

mustahil tidak ada yang mengatur. Untuk sampai kesana, sesudah melihat alam keliling,

hendaklah kita melihat diri sendiri; Siapakah AKU ini sebenarnya? Aku lihat matahari dan bulan itu, siang dan malam itu,

langit dan bumi itu, kemudian aku fikirkan; "Aku yang melihat ini sendiri siapakah adanya?"

Mula-mula yang kita dapati ialah; "Aku Ada!" bukti bahwa aku ini ADA ialah karena aku berfikir. Aku Ada, karena aku bertanya.

Sesudah Aku yakin akan ADAnya aku, datanglah pertanyaanku terakhir; "secara kebetulankah AKU ADA ini?

Secara kebetulankah aku ini berfikir? Dan apa artinya AKU ADA ini? Siapakah yang aku? Apakah tubuh kasar ini,

yang dinamai fisika pula. Kalau hanya semata-mata tubuh kasar ini yang aku,

mengapa waktu berhenti bernafas dan orang pun mati? Dan barulah sempurna hidupku karena ada gabungan pada diriku ini di antara badan dan nyawa.

Dan nyawa itu pun adalah sesuatu yang metafisika, di luar kenyataan! Maka lanjutlah pertanyaan! Apa dan siapakah yang menyempurnakan kejadianku itu?"

Di sinilah kita mencari Tuhan Maha Pencipta, setelah kita yakin akan adanya diri kita. Di sinilah terletak pepatah terkenal:

"Barang siapa yang telah mengenal akan dirinya, niscaya akan kenallah dia kepada Tuhannya."

Sedangkan diri sendiri lagi menjadi suatu persoalan besar, apakah lagi persoalan tentang mencari hakekat Tuhan.

Maka akan nyatalah dan jelaslah Tuhan itu pada matahari dengan cahaya siangnya, bulan ketika mengiringinya,

siang ketika menampakkannya, malam ketika menutupinya, langit yang jelas betapa kokoh pendiriannya

dan bumi yang jelas betapa indah penghamparannya; akhirnya diri kita sendiri dengan serba-serbi keajaibannya

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 7 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:8|

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

fa al-hamahaa fujuurohaa wa taqwaahaa

maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,

And inspired it [with discernment of] its wickedness and its righteousness,

Tafsir
Jalalain

(Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya) maksudnya Allah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.

Lafal At-Taqwaa letaknya diakhirkan karena demi memelihara keserasian bunyi akhir ayat, sedangkan sebagai Jawab dari Qasam di atas ialah:

Alazhar

"Maka menujukkanlah Dia." (pangkal ayat 8). Dia, yaitu Tuhan yang mendirikan langit menghamparkan bumi dan menyempurnakan kejadian Insan.

Diberi-Nya Ilham diberi-Nya petunjuk "kepadanya." Artinya kepada diri Insan tadi; "Akan kejahatannya dan kebaikannya." (ujung ayat 8).

Diberilah setiap diri itu Ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya,

yang akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik,

yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat. Artinya, bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima Ilham dan petunjuk.

Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya.

Di Surat Al-Balad yang baru lalu pada ayat 10 dikatakan juga: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan mendaki."

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 8 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:9|

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

qod aflaḥa man zakkaahaa

sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),

He has succeeded who purifies it,

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya beruntunglah) pada lafal Qad Aflaha ini sengaja tidak disebutkan huruf Lam Taukidnya karena mengingat panjangnya pembicaraan (orang yang menyucikannya) yakni menyucikan jiwanya dari dosa-dosa.

Alazhar

"Maka berbahagialah barangsiapa yang membersihkannya." (ayat 9). Setelah Tuhan memberikan Ilham dan petunjuk,

mana jalan yang salah dan mana jalan kepada takwa, terserahlah kepada manusia itu sendiri, mana yang akan ditempuhnya,

sebab dia diberi Allah akal budi. Maka berbahagialah orang-orang yang membersihkan jiwanya atau dirinya,

gabungan di antara jasmani dan rohaninya. Jasmani dibersihkan dari hadas dan najis, hadas besar atau kecil, baik najis ringan atau berat.

Dan jiwanya dibersihkan pula daripada penyakit-penyakit yang mengancam kemurniannya.

Penyakit paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul,

atau bersifat hasad dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 9 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:10|

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

wa qod khooba man dassaahaa

dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.

And he has failed who instills it [with corruption].

Tafsir
Jalalain

(Dan sesungguhnya merugilah) atau rugilah (orang yang mengotorinya) yang menodainya dengan perbuatan maksiat. Asalnya lafal Dassaahaa ialah Dassasahaa,

kemudian huruf Sin yang kedua diganti menjadi Alif demi untuk meringankan pengucapannya, akhirnya jadilah Dassaahaa.

Alazhar

"Dan celakalah barangsiapa yang mengotorinya." (ayat 10). Lawan dari mensucikan atau membersihkan ialah mengotorinya.

Membawa diri ke tempat yang kotor; kotor jasmani tersebab najis, tidak istinja' (bersuci daripada najis dan hadas), tidak berwudhu' lalu tidak sembahyang, tidak tahu kebersihan.

Seorang yang beriman hendaklah selalu mengusahakan pembersihan diri luar dan dalam, dan jangan mengotorinya. Sebab kekotoran akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan yang besar.

Sebagai salah satu bukti dari kekotoran jiwa itu ialah perbuatan kaum Tsamud, kaum yang didatangi oleh Rasul Allah yang bernama Shalih.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 10 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Asy-Syams |91:11|

كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا

każżabaṡ ṡamuudu bithoghwaahaaa

(Kaum) Samud telah mendustakan (Rasul-Nya) karena mereka melampaui batas (zalim),

Thamud denied [their prophet] by reason of their transgression,

Tafsir
Jalalain

(Kaum Tsamud telah mendustakan) rasulnya, yaitu Nabi Saleh (karena mereka melampaui batas) disebabkan tindakan mereka yang melampaui batas.

Alazhar

"Telah mendustakan Tsamud, tersebab kesombongannya." (ayat 11). Kesombongan adalah salah satu akibat dari kekotoran jiwa.

Kaum Tsamud sombong, angkuh dan lantaran itu mereka tidak memperdulikan peraturan dan tidak menghargai janji yang telah diikat dengan Allah;

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 11 |

Tafsir ayat 11-15

Allah Swt. menceritakan tentang kaum Samud, bahwa mereka mendustakan Rasul Allah yang diutus kepada mereka, karena sudah menjadi watak mereka perbuatan sewenang-wenang dan melampaui batas.

Muhammad ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena mereka melampaui batas. (Asy-Syams: 11) Bahwa lafaz tagwaha artinya semuanya, yakni kaum Samud semuanya.

Tetapi pendapat yang paling utama adalah pendapat yang pertama, yang mengartikan 'melampaui batas'. Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan Qatadah serta selain keduanya.

Maka sebagai akibat dari sikap dan watak mereka yang demikian itu akhirnya mereka mendustakan hidayah dan keyakinan yang disampaikan oleh rasul mereka.


{إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا}


ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. (Asy-Syams: 12) Yakni orang yang paling jahat di antara kabilah, dia adalah Qaddar ibnu Salif si penyembelih unta betina, dia dijuluki dengan sebutan Uhaimir Samud, dan dialah yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:


فَنادَوْا صاحِبَهُمْ فَتَعاطى فَعَقَرَ


Maka mereka memanggil kawannya, lalu kawannya menangkap (unta itu) dan membunuhnya. (Al-Qamar: 29) Lelaki itu adalah seorang yang perkasa lagi dimuliakan di kalangan kaumnya, mempunyai kedudukan

nasab yang terhormat, dan pemimpin yang ditaati. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Zam'ah

yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. dalam suatu khotbahnya menceritakan perihal unta betina ini dan menyebutkan orang yang menyembelihnya. Maka beliau Saw. bersabda:


«إِذِ انْبَعَثَ أَشْقاها انْبَعَثَ لَهَا رَجُلٌ عَارِمٌ عَزِيزٌ مَنِيعٌ فِي رَهْطِهِ مِثْلُ أَبِي زَمْعَةَ»


Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka menuju ke unta itu (untuk menyembelihnya), dia adalah seorang lelaki yang kuat, dimuliakan, dan paling dipengaruhi di kalangan kaumnya, seperti halnya Abu Zam'ah

imam Bukhari meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dan Imam Muslim di dalam Sifatun Nar, juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab sunan masing-masing. Demikian pula Ibnu Jarir dan Ibnu 'Abu Hatim,

dari Tauq, dari Hisyam ibnu Urwah dengan sanad yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan

kepada kami Isa ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Muhammad ibnu Khaisam, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dari Muhammad ibnu

Khaisam ibnu Abu Marsad, dari Ammar ibnu Yasir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Ali, "Maukah aku ceritakan kepadamu tentang orang yang paling celaka?" Ali menjawab, "Tentu saja mau." Rasulullah Saw. bersabda:


«رَجُلَانِ أُحَيْمِرُ ثَمُودَ الَّذِي عَقَرَ النَّاقَةَ وَالَّذِي يَضْرِبُكَ يَا عَلِيُّ عَلَى هَذَا- يَعْنِي قَرْنَهُ- حَتَّى تَبْتَلَّ منه هذه»


Dua orang lelaki —yaitu Uhaimir Samud—yang telah menyembelih unta betina dan lelaki yang telah memukulmu, haiA li, pada bagian ini mu, hingga kamu bersimbah darah karenanya. Yang dimaksud ialah bagian dagunya. Firman Allah Swt.:


{فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ}


lalu Rasul Allah berkata kepada mereka. (Asy-Syams: 13) Rasul Allah yang diutus kepada mereka adalah Nabi Saleh a.s.


{نَاقَةُ اللَّهِ}


Inilah unta Allah. (Asy-Syams: 13) Yaitu hati-hatilah kalian terhadap unta Allah ini, jangan sampai kalian mengganggunya dengan menimpakan keburukan terhadapnya.


{وَسُقْيَاهَا}


dan minumannya. (Asy-Syams: 13) Maksudnya, janganlah kalian melampaui batas atau bersikap zalim terhadap giliran minumnya, karena sesungguhnya dia mempunyai hari giliran tertentu bagi minumnya, juga bagi kalian ada hari giliran tertentu lainnya yang telah dimaklumi.Allah Swt. berfirman:


{فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا} أَ


Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. (Asy-Syams: 14) Yakni mereka mendustakan apa yang diperintahkan oleh nabi mereka, dan akibat dari sikap itu mereka berani menyembelih unta betina yang

dikeluarkan oleh Allah Swt. dari sebuah batu besar, sebagai mukjizat Nabi Saleh terhadap mereka dan sekaligus sebagai hujah (alasan) terhadap mereka (bilamana mereka mendustakannya).


{فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ}


maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. (Asy-Syams: 14) Allah murka terhadap mereka, maka Dia membinasakan mereka hingga semuanya hancur dan mati.


{فَسَوَّاهَا}


lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah). (Asy-Syams: 14) Yaitu Allah menjadikan hukuman yang ditimpakan kepada mereka berakibat mereka disamaratakan dengan tanah. Qatadah mengatakan

bahwa telah sampai kepada kami suatu berita yang menyebutkan bahwa Uhaimir Samud masih belum menyembelih unta betina itu hingga ia diikuti oleh semua kaumnya yang kecil, yang dewasa, yang laki-laki dan

yang wanitanya semuanya ikut andil. Ketika mereka bersekutu menyembelih unta betina itu, maka Allah membinasakan mereka semuanya disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka dengan tanah.Firman Allah Swt.:


{وَلا يَخَافُ}


dan Allah tidak takut. (Asy-Syams: 15) Qiraat lain ada yang membacanya yukhafu.


عُقْبَاهَا


terhadap akibat tindakan-Nya itu. (Asy-Syams: 15) Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah tidak takut terhadap siapa pun tentang apa yang telah dilakukan-Nya, tiada seorang pun yang akan meminta pertanggungjawaban

terhadap-Nya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Al-Hasan, Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, dan selain mereka. Ad-Dahhak dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.:

dan dia tidak takut terhadap akibat dari perbuatannya. (Asy-Syams: 15) Demikianlah makna ayat menurut keduanya, yakni orang yang menyembelih unta betina Allah itu tidak takut kepada akibat dari perbuatannya itu.

Tetapi pendapat pertamalah yang lebih kuat, mengingat konteks kalimat menunjukkan kepada pengertian tersebut; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Surat Asy-Syams |91:12|

إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا

iżimba'aṡa asyqoohaa

ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka,

When the most wretched of them was sent forth.

Tafsir
Jalalain

(Ketika bangkit) artinya bersegera (orang yang paling celaka di antara mereka) orang tersebut dikenal dengan nama julukan si pendekar, lalu ia bersegera menyembelih unta Nabi Saleh atas izin mereka.

Alazhar

"Seketika telah bangkit orang yang paling celaka di antaranya." (ayat 12). Di dalam Surat-surat yang lain yang telah kita tafsirkan,

telah kita ketahui bahwa sekelompok orang-orang celaka yang tidak menghargai nilai-nilai budi dan sopan, santun, peminum tuk dan pezina, telah bangkit menantang dan melanggar peraturan Allah.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 12 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Asy-Syams |91:13|

فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا

fa qoola lahum rosuulullohi naaqotallohi wa suqyaahaa

lalu Rasul Allah (Salih) berkata kepada mereka, "(Biarkanlah) unta betina dari Allah ini dengan minumannya."

And the messenger of Allah [Salih] said to them, "[Do not harm] the she-camel of Allah or [prevent her from] her drink."

Tafsir
Jalalain

(Lalu Rasul Allah berkata kepada mereka) yakni Nabi Saleh ("Unta betina Allah) maksudnya biarkanlah unta betina Allah ini (dan minumannya") dan hari bagian minumnya;

sesungguhnya bagian minum itu digilirkan antara mereka dan unta; untuk unta sehari dan untuk mereka sehari.

Alazhar

"Lalu berkata Rasul Allah kepada mereka." (pangkal ayat 13). Yaitu Rasul Allah dan Nabi-Nya, Shalih 'alaihis-salam,

yang telah diutus Allah kepada kaum itu. Mulanya mereka tidak mau percaya kepada Risalat yang dibawa oleh Nabi Shalih; lalu akhirnya mereka meminta ayat,

atau tanda dan mu'jizat akan jadi bukti bahwa dia memang Utusan Tuhan. Lalu Tuhan ciptakan seekor unta besar.

Maka dibuatlah janji bersama, bahwa jika unta itu tercipta, maka minuman akan dibagi; sehari minuman untuk unta dan sehari untuk penduduk negeri itu.

Air itu timbul dari satu mata-air yang jernih. Di hari minuman unta mereka tidak boleh mengambil air, walaupun seteguk.

Di hari minum mereka unta tidak akan minum, walaupun seteguk. Itulah yang diperingatkan oleh Nabi Shalih; "(Jagalah) unta Allah dan minumannya." (ujung ayat 13).

Artinya janganlah perjanjian dan pembahagian itu dilanggar, turutilah baik-baik dan jangan unta Allah itu diganggu supaya kalian selamat.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 13 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Asy-Syams |91:14|

فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا

fa każżabuuhu fa 'aqoruuhaa fa damdama 'alaihim robbuhum biżambihim fa sawwaahaa

Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah).

But they denied him and hamstrung her. So their Lord brought down upon them destruction for their sin and made it equal [upon all of them].

Tafsir
Jalalain

(Lalu mereka mendustakannya) mendustakan ucapan Nabi Saleh yang mengatakan, bahwa unta itu adalah milik Allah,

dan bila mereka melanggarnya niscaya hal itu akan berakibat turunnya azab atas mereka (dan menyembelih unta itu) atau mereka membunuhnya itu,

dengan maksud supaya bagian minum itu diperoleh seluruhnya oleh mereka (maka menimpakanlah) atau menurunkanlah (kepada mereka Rabb mereka) azab (disebabkan dosa mereka, lalu Allah meratakan azab) atas mereka,

sehingga tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat lolos atau menyelamatkan diri dari azab-Nya.

Alazhar

"Tetapi mereka dustakan dia." (pangkal ayat 14). Mulanya mereka langgar peraturan yang telah diperbuat itu. Karena si celaka itu,

dua orang kepalanya, yaitu si Qadar dan si Mashda ingin minuman tuak di rumah kekasih mereka seorang perempuan jahat.

Setelah tuak itu dihidangkan ternyata sangat tebal alkoholnya. Mereka ingin ditambah sedikit dengan air.

Tetapi pada malam itu air tidak ada dalam kendi perempuan itu, dan malam itu air tidak boleh diambil ke telaga,

sebab sedang hari minuman unta. Maka dengan sombongnya kedua kepala penjahat atau orang celaka itu menyuruh

anak buah mereka menyauk air dan minum sepuas-puasnya dan jangan diperdulikan peraturan yang dibuat Nabi Shalih itu.

Kalau membuat-buat peraturan yang mengikat kemerdekaan mereka, kalau perlu Shalih sendiri dibunuh; "Lalu mereka bunuh unta itu.

" Yang dinamai "Naqat Allah", unta Allah. Unta itu mereka bunuh beramai-ramai pada malam itu juga,

mereka bagi-bagi dagingnya dan mereka makan bersama-sama. "Maka Tuhan mereka pun mencurahkan azab kepada mereka lantaran dosa mereka itu.

" Sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa Surat sebelum ini, didatangkan Tuhanlah kepada mereka siksaan tiga hari lamanya;

khusus kepada sekalian mereka yang telah memakan daging unta itu; Hari pertama seluruh badan jadi kuning, hari kedua masak jadi merah,

hari ketiga menjadi hitam. Dan pada petang hari yang ketiga itu kedengaranlah suara pekik yang sangat hebatnya,

sehingga pecahlah anak telinga mendengarkannya dan sampai kepada perut pun jadi pecah.

Adapun orang yang tidak turut memakan daging unta itu telah dibawa oleh Nabi Shalih terlebih dahulu meninggalkan negeri itu,

sehingga mereka pun selamat; "Hingga Dia ratakan kebinasaan itu." (ujung ayat 14). Tidak ada yang terlepas,

semua yang bersalah, laki-laki dan perempuan, bahkan siapa saja pun rata disapu oleh azab itu,

kecuali orang-orang yang beriman yang telah dapat memelihara diri di bawah pimpinan Nabi Shalih sebelum azab turun.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 14 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Asy-Syams |91:15|

وَلَا يَخَافُ عُقْبَاهَا

wa laa yakhoofu 'uqbaahaa

Dan Dia tidak takut terhadap akibatnya.

And He does not fear the consequence thereof.

Tafsir
Jalalain

(Dan tiadalah) dapat dibaca Walaa dan Falaa (Allah takut terhadap akibat tindakan-Nya itu) maksudnya akibat azab yang akan terjadi.

Alazhar

"Maka tidaklah Dia menghiraukan akibat dari kesalahan mereka." (ayat 15). Artinya, jika semua yang bersalah itu mendapat siksa yang rata dari Allah, tanpa kecuali,

janganlah sampai orang menyangka bahwa Allah berbuat aniaya kepada hamba-Nya. Azab Allah itu adalah akibat saja. Di dalam ayat tersebut uqbaaha daripada pelanggaran yang telah mereka lakukan.

Maka segala manusia pun demikianlah jalan yang akan mereka tempuh. Tidaklah mereka dengan tiba-tiba datang dan diazab saja.

Tuhan terlebih dahulu memberikan Ilham mana jalan yang salah dan yang buruk dan mana pula jalan yang takwa dan selamat.

Untuk perlengkapannya maka Allah mengutus Rasul, guna menyempurnakan ilham yang diberikan Tuhan itu.

Berbahagialah orang yang berusaha mensucikan dirinya lahir dan batin, dan celakalah orang yang mengotorinya.

Cobalah perhatikan kaum Tsamud itu; telah Tuhan utus seorang Rasul kepada mereka.

Lalu mereka meminta tanda dia jadi Utusan Tuhan. Permohonan mereka dikabulkan. Lalu diikat janji dan disetujui bersama,

dan Tuhan pun menciptakan Unta Allah itu. Tetapi rupanya masih ada di antara mereka yang mengotori diri dengan perangai-perangai jahat dan celaka,

sampai mereka bunuh unta itu, dan mereka bagi-bagikan dagingnya dan mereka makan bersukaria,

seakan-akan mempertontonkan bahwa peraturan dan perjanjian dengan Allah itu tidaklah akan mencelakakan diri kalau dilanggar. Akibatnya ialah bahwa Allah mengambil sikap; mereka pun dihncurkn.

Maka tidaklah Allah menghiraukan atau sedikit pun Allah tidak merasa kasihan, meskipun sifat Allah itu adalah Rahman,

dan Rahim, Pengasih dn Penyayang. Terhadap orag ini Tuhan melakukan sifatnya: ‘Aziizun, dzun-tiqaam.

Artinya Gagah Perkasa dan membalas kesalahan dengan setimpal. Karena dalam sifat-sifat yang demikian tidak sedikit pun kurang atau rusak sifat Rahman dan Rahim Allah itu.

Bahkan Rahman dan Rahim kepada makhluk-Nya dan hamba-Nya yang lain, diperlihatkan hal ini kepada mereka, karena Allah Kasih dan Sayang, jangan sampai hamba yang lain menempuh jalan yang salah itu pula.

Itulah artinya bahwa Allah tiada menghiraukan akibat dari kesalahan mereka, sebagaimana yang terlukis pada ayat 15 ayat penutup Surat

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Asy-Syams | 91 : 15 |

penjelasan ada di ayat 11

Surat Al-Lail |92:1|

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

wal-laili iżaa yaghsyaa

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),

By the night when it covers

Tafsir
Jalalain

(Demi malam apabila menutupi) semua apa yang ada di langit dan di bumi dengan kegelapannya.

Alazhar

"Demi malam, apabila dia kelam." (ayat 1). Untuk menarik perhatian lagi bagaimana pentingnya malam bagi kehidupan manusia, untuk istirahat, untuk zikir dan tafakkur.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 1 |

Tafsir ayat 1-11

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, dari Alqamah, bahwa ia datang ke negeri Syam, lalu masuk masjid

Dimasyq (Damaskus) dan mengerjakan salat dua rakaat di dalamnya, lalu mengucapkan doa berikut: "Ya Allah, berilah aku rezeki teman duduk yang saleh." Lalu duduklah ia bergabung ke dalam majelis Abu Darda,

maka Abu Darda bertanya kepadanya, "Dari manakah engkau berasal?" Alqamah menjawab, "Dari Kufah." Abu Darda bertanya, bahwa bagaimanakah engkau mendengar bacaan Ibnu Ummi Abdin (maksudnya Abdullah ibnu Mas'ud)

terhadap firman Allah Swt: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan. (Al-Lail: 1-3) Maka Alqamah membacakannya dengan bacaan berikut:

dan (demi) laki-laki dan perempuan. (Al-Lail: 3) Tanpa memakai wama khalaqa, sehingga bacaannya menjadi waz zakari wal un'sa. Maka Abu Darda menjawab, bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar bacaan itu

dari Rasulullah Saw., tetapi mereka masih tetap meragukan bacaan itu. Kemudian Abu Darda berkata, "Bukankah di kalangan kalian terdapat orang yang mempunyai jamaah yang sangat besar dan pemegang rahasia

yang tiada seorang pun mengetahuinya selain dia, dan yang dilindungi dari godaan setan melalui lisan Nabi Muhammad Saw.?"Imam Bukhari meriwayatkan hadis sehubungan tafsir ayat ini dan juga Imam Muslim

melalui jalur Al-A'masy, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud datang kepada Abu Darda, mereka mencarinya dan akhirnya menemukannya. Maka Abu Darda bertanya kepada mereka

"Siapakah di antara kalian yang pandai membaca Al-Qur'an menurut qiraat Abdullah?" Mereka menjawab, "Kami semuanya." Abu Darda bertanya, "Siapakah di antara kalian yang paling hafal?" Mereka menunjuk

ke arah Alqamah. Maka Abu Darda bertanya, bahwa bagaimanakah engkau dengar dia membaca firman-Nya: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). (Al-Lail: 1) Maka Alqamah menjawab, bahwa terusannya

(sesudah ayat berikutnya) ialah: dan (demi) laki-Laki danperempuan. (Al-Lail: 3) Abu Darda pun berkata, "Demi Allah, aku pernah mendengar bacaan itu dari Rasulullah Saw., dan beliau tidak menghendaki aku membacanya

dengan bacaan: 'dan penciptaan laki-laki dan perempuan. ' (Al-Lail: 3) oleh karena itu demi Allah, aku tidak mau menuruti kemauan mereka.”Demikian teks hadis menurut Imam Bukhari Dan demikianlah ayat ini dibaca

oleh Ibnu Mas'ud dan Abu Darda; dan Abu Darda sendiri telah me-rafa'-kannya, yakni telah mendengarnya langsung dari Rasulullah Saw.Adapun menurut pendapat jumhur ulama, maka mereka membacanya sebagaimana

yang termaktub di dalam mushaf usmani, yaitu mushaf induk yang telah disebarkan ke berbagai negeri Islam di masa itu, yaitu: dan penciptaan laki-laki dan perempuan. (Al-Lail: 3) Allah Swt. bersumpah melalui firman-Nya:


{وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى}


Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). (Al-Lail: 1) Yakni apabila malam hari menyelimuti semua makhluk dengan kegelapannya.


{وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى}


dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 2) Yaitu terang benderang berkat cahayanya.


{وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالأنْثَى}


dan penciptaan laki-laki dan perempuan. (Al-Lail: 3) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:


وَخَلَقْناكُمْ أَزْواجاً


dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. (An-Naba': 8) Dan firman-Nya:


وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنا زَوْجَيْنِ


Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan. (Adz-Dzariyat: 49) Mengingat sumpah yang dikemukakan dengan menyebut nama berbagai hal yang berlawanan, maka subjek sumpahnya pun demikian pula. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman-Nya:


{إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّى}


sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. (Al-Lail: 4) Maksudnya, amal perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya berlawanan pula dan beraneka ragam; maka ada yang berbuat baik dan ada yang berbuat buruk. Dalam firman berikutnya disebutkan:


{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى}


Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. (Al-Lail: 5) Yakni mengeluarkan apa yang diperintahkan untuk dikeluarkan dan ia bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya.


{وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى}


dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (Al-Lail: 6) Yaitu percaya adanya balasan amal perbuatan, menurut Qatadah. Dan Khasif mengatakan percaya dengan adanya pahala. Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah,

Abu Saleh, dan Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (Al-Lail: 6) Yakni percaya dengan adanya penggantian.Abu Abdur Rahman As-Sulami

dan Ad-Dahhak telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan membenarkan (kalimah) yang terbaik. (Al-Lail: 6) Yaitu "Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah", karena kalimah yang terbaik

adalah kalimat ini. Dan menurut riwayat Lain dari Ikrimah disebutkan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan membenarkan pahala yang terbaik. (Al-Lail: 6) Yakni apa yang telah diberikan oleh Allah

kepadanya berupa berbagai macam nikmat. Dan menurut riwayat lain dari Zaid ibnu Aslam, disebutkan sehubungan dengan firman-Nya: dan membenarkan adanya pahala yang terbaik. (Al-Lail: 6) Yaitu salat, zakat, dan

puasa; di lain waktu Zaid ibnu Aslam mengatakan dan sedekah (zakat) fitrah.Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Saleh

Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, telah menceritakan kepadaku seseorang yang mendengar Abul Aliyah Ar-Rabbani

menceritakan hadis berikut dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna Al-Husna ini, maka beliau Saw. menjawab:


«الْحُسْنَى: الجنة»


Al-Husna ialah surga. Firman Allah Swt.


{فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى}


Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Al-Lail: 7) Menurut Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah kebaikan. Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah surga. Sebagian ulama Salaf

mengatakan, termasuk pahala kebaikan ialah mengerjakan kebaikan lagi sesudahnya, dan termasuk balasan keburukan ialah mengerjakan keburukan lagi sesudahnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:


{وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ}


Dan adapun orang-orang yang bakhil. (Al-Lail: 8) Maksudnya kikir dengan apa yang ada pada sisi (milik)nya.


{وَاسْتَغْنَى}


dan merasa dirinya cukup. (Al-Lail: 8) Ikrimah telah mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah kikir dengan hartanya dan merasa dirinya telah cukup, tidak memerlukan Allah Swt. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.


{وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى}


dan mendustakan pahala yang terbaik. (Al-Lail: 9) Yakni adanya balasan pahala di negeri akhirat.


{فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}


maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (A 1-Lail: 10) Yaitu untuk menuju ke jalan keburukan, sebagaimana pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:


وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصارَهُمْ كَما لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ


Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati danpenglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An'am: 110)

Dan ayat-ayat lain yang semakna cukup banyak yang semuanya menunjukkan bahwa Allah Swt. membalas orang yang berniat untuk mengerjakan kebaikan dengan memberinya kekuatan untuk mengerjakannya,

dan barang siapa yang berniat akan melakukan keburukan, Allah akan menghinakannya; dan semuanya itu berdasarkan takdir yang telah ditetapkan. Juga hadis-hadis yang

menunjukkan kepada pengertian ini banyak, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diceritakan oleh Abu Bakar As-Siddiq r.a. Imam Ahmad mengatakan:


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاش، حَدَّثَنِي الْعَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَذْكُرُ أَنَّ أَبَاهُ سَمِعَ أَبَا بَكْرٍ وَهُوَ يَقُولُ: قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَعْمَلُ عَلَى مَا فُرِغَ مِنْهُ أَوْ عَلَى أَمْرٍ مُؤْتَنِفٍ؟ قَالَ: "بَلْ عَلَى أمر قد فُرغ منه" قَالَ: فَفِيمَ العملُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "كُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ"


telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku Al-Attaf ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari penduduk Basrah, dari Talhah ibnu Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu

Abu Bakar As-siddiq, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya bercerita bahwa ayahnya pernah mendengar Abu Bakar r.a bercerita bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Saw.

”Wahai Rasulullah, apakah kita beramal berdasarkan ketetapan yang telah diputuskan ataukah berdasarkan suatu urusan yang baru dimulai?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak demikian, sebenarnya kita beramal berdasarkan

apa yang telah dirampungkan keputusan (takdir)nya. Abu Bakar bertanya, "Lalu untuk apakah beramal itu, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab: Setiap orang dimudahkan untuk melakukan apa (bakat) yang dia diciptakan untuknya.


قَالَ الْبُخَارِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَقِيع الغَرْقَد فِي جِنَازَةٍ، فَقَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتب مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ". فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نَتَّكِلُ؟ فَقَالَ: "اعْمَلُوا، فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ". قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى} إِلَى قَوْلِهِ: {لِلْعُسْرَى}


Imam Bukhari mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Sa'id ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali ibnu Abu Talib r.a.

yang mengatakan, bahwa ketika kami sedang bersama Rasulullah Saw. di Baqi'ul Garqad saat mengebumikan jenazah, maka beliau Saw. bersabda: Tiada seorang pun dari kalian melainkan telah ditetapkan kedudukannya

di surga dan kedudukannya di neraka. Maka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu berarti kita bertawakal saja?" Rasulullah Saw. bersabda: Berbuatlah, maka tiap-tiap orang itu dimudahkan untuk mengerjakan

apa yang dia diciptakan untuknya. Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik,

maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Al-Lail: 5-7) Sampai dengan firman-Nya: (jalan) yang sukar. (Al-Lail: 10) Hal yang sama telah diriwayatkan melalui jalur Syu'bah dan Waki', dari AL-A'masy dengan lafaz yang semisal.

Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Usman ibnu Syaibah, dari Jarir, dari Mansur, dari Sa'id ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang telah mengatakan bahwa:


كُنَّا فِي جِنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ، وَمَعَهُ مخْصَرَةٌ فَنَكَسَ فَجَعَلَ ينكُت بِمِخْصَرَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: "مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ -أَوْ: مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا قَدْ كُتِبَتْ شَقِيَّةٌ أَوْ سَعِيدَةٌ". فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا نَتَّكِلُ وَنَدَعُ الْعَمَلَ؟ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مَنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَمَنْ كَانَ مِنَّا مَنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَسَيَصِيرُ إِلَى أَهْلِ الشَّقَاءِ؟ فَقَالَ: "أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ، وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُونَ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاءِ". ثُمَّ قَرَأَ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى} الْآيَةَ


ketika kami sedang mengebumikan jenazah di Baqi'ul Garqad, maka datanglah Rasulullah Saw., lalu beliau duduk dan kami pun duduk pula di sekitarnya, sedangkan di tangan beliau terdapat sebuah tongkat kecil, lalu ia

mengetukkan tongkatnya dan bersabda, "Tiada seorang pun dari kami atau tiada suatu diri pun yang bernyawa, melainkan telah dipastikan kedudukannya dari surga dan nerakanya, atau terkecuali telah tercatat apakah

dia orang yang celaka ataukah orang yang berbahagia." Maka ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyerahkan diri kita kepada apa yang telah ditetapkan dan kita meninggalkan amal (berusaha)?

Mengingat siapa di antara kita yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, dia pasti akan menjadi golongan orang-orang yang berbahagia. Dan siapapun dari kita yang telah ditakdirkan menjadi

orang-orang yang celaka, maka pastilah dia termasuk orang-orang yang celaka?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, maka

dimudahkan bagi mereka untuk mengamalkan perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang celaka, maka dimudahkan bagi mereka melakukan perbuatan

orang-orang yang celaka. Kemudian beliau Saw. membaca firman-Nya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan

menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya

(jalan)yang sukar. (Al-Lail: 5-10) Jamaah lainnya telah mengetengahkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Sa'id ibnu Ubaidah dengan sanad yang sama.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ: سمعتُ سَالِمَ بنَ عَبْدِ اللَّهِ يُحدث عَنِ ابْنِ عُمَر: قَالَ: قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَا نَعْمَلُ فِيهِ؟ أَفِي أَمْرٍ قَدْ فُرغ أَوْ مُبْتَدَأٍ أَوْ مُبْتَدَعٍ؟ قَالَ: " فِيمَا قَدْ فُرغَ مِنْهُ، فَاعْمَلْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، فَإِنَّ كُلا مُيَسَّر، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَإِنَّهُ يَعْمَلُ لِلسَّعَادَةِ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَإِنَّهُ يَعْمَلُ لِلشَّقَاءِ".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim ibnu Ubaidillah yang mengatakan bahwa ia telah mendengar Salim ibnu Abdullah

menceritakan hadis berikut dari Ibnu Umar menceritakan bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau tentang apa yang kita amalkan. Apakah itu merupakan ketentuan

takdir yang telah dirampungkan ketetapannya ataukah sebagai suatu hal yang permulaan atau baru dibuat?" Rasulullah Saw. menjawab: Kita beramal menurut ketetapan yang telah dirampungkan, maka beramallah engkau

hai Ibnul Khattab, karena sesungguhnya tiap orang itu dimudahkan. Adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang berbahagia, maka sesungguhnya dia akan mengerjakan amal perbuatan orang-orang

yang berbahagia. Dan adapun orang yang telah ditakdirkan termasuk orang-orang yang celaka, maka dia akan mengerjakan perbuatan orang-orang celaka. Imam Turmuzi meriwayatkan hadis ini di dalam Bab

"Takdir," dari Bandar, dari ibnu Mahdi dengan sanad yang sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan berarti sahih.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يُونُسُ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أخبرني عمرو ابن الْحَارِثِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أنعمل لأمر قد فرغ مِنْهُ، أَوْ لِأَمْرٍ نَسْتَأْنِفُهُ؟ فَقَالَ: "لِأَمْرٍ قَدْ فُرِغَ مِنْهُ". فَقَالَ سُرَاقَةُ: فَفِيمَ الْعَمَلُ إِذًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُ عَامِلٍ مُيَسَّر لِعَمَلِهِ".


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari AbuzZubair, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ia

pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita beramal berdasarkan keputusan yang telah dirampungkan ketetapannya, ataukah berdasarkan suatu urusan yang baru?" Maka Rasulullah Saw. menjawab,

"Berdasarkan keputusan yang telah dirampungkan ketetapannya." Suraqah bertanya, "Kalau begitu, apa gunanya kita beramal?" Rasulullah Saw. menjawab:

Tiap orang yang beramal dimudahkan untukmengerjakan amalnya. Imam Muslim meriwayatkamiya dari Abut Tahir, dari Ubay ibnu Wahb dengan sanad yang sama.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يُونُسُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنِ طَلْقِ ابن حَبِيبٍ، عَنْ بَشِيرِ بْنِ كَعْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ: سَأَلَ غُلَامَانِ شَابَّانِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَعْمَلُ فِيمَا جَفَّت بِهِ الْأَقْلَامُ وجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ، أَوْ فِي شَيْءٍ يُسْتَأْنَفُ؟ فَقَالَ: "بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ، وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ". قَالَا فَفِيمَ الْعَمَلُ إِذًا؟ قَالَ: "اعْمَلُوا فَكُلُ عَامِلٍ مُيَسَّرٌ لِعَمَلِهِ الَّذِي خُلِقَ لَهُ". قَالَا فَالْآنَ نَجِدُّ وَنَعْمَلُ


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada Yunus, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Talq ibnu Habib, dari Basyir ibnu Ka'b Al-Adawi yang menceritakan bahwa pernah ada dua orang

pemuda bertanya kepada Nabi Saw. keduanya mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah kita beramal menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh qalam takdir di zaman azali, ataukah berdasarkan urusan yang baru?’’Maka Rasulullah Saw.

menjawab, "Tidak demikian, sebenarnya kita beramal berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh qalam takdir yang telah kering dan menunggu pelaksanaannya." Keduanya bertanya, "Lalu kalau demikian apa gunanya kita beramal?"

Rasulullah Saw. menjawab: Beramallah kalian, maka tiap orang yang beramal akan dimudahkan kepada amalnya yang dia telah diciptakan untuknya. Maka keduanya berkata, "Kalau begitu, kami akan beramal dengan sungguh-sungguh."


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هَيْثَم بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ عُتْبَةَ السُّلَمِيُّ، عَنْ يُونُسَ بْنِ مَيْسَرَةَ بْنِ حَلْبس، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَا نَعْمَلُ، أَمْرٌ قَدْ فُرغ مِنْهُ أَمْ شَيْءٌ نَسْتَأْنِفُهُ؟ قَالَ: "بَلْ أَمْرٌ قَدْ فُرِغَ مِنْهُ". قَالُوا: فَكَيْفَ بِالْعَمَلِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "كُلُّ امْرِئٍ مُهَيَّأٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi' Sulaiman ibnu Atabatus Salim, dari Yunus ibnu Maisarah ibnu Halbas, dari Abu Idris,

dari Abud Darda yang mengatakan bahwa para sahabat pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang amal yang kita kerjakan, apakah itu merupakan suatu urusan yang telah ditakdirkan

ataukah suatu urusan yang baru kita memulainya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak, sebenarnya berdasarkan urusan yang telah ditetapkan oleh takdir." Mereka bertanya, "Lalu apakah gunanya kita beramal, wahai Rasulullah Saw.?"

Maka beliau menjawab: Tiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang dia diciptakan untuknya. Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid melalui jalur ini.


قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ أَبِي كَبْشَة، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ رَاشِدٍ، عَنْ قَتَادَةُ، حَدَّثَنِي خُلَيد الْعَصَرِيُّ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْ يَوْمٍ غَرَبَتْ فِيهِ شَمْسُهُ إِلَّا وبجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ خَلْقُ اللَّهِ كُلُّهُمْ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَأَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا". وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ الْقُرْآنَ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى}


Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Hasan ibnu Salamah ibnu Abu Kabsyah, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Amr dan telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Rasyid, dari Qatadah,

telah menceritakan kepadaku Khulaid Al-Asri, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu hari pun yang mentari terbenam padanya melainkan pada sisinya terdapat

dua malaikat yang berseru yang suaranya terdengar oleh semua makhluk Allah kecuali jin dan manusia, "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak dan timpakanlah kerusakan kepada orang kikir.”

Dan berkenaan dengan hal ini Allah Swt. telah menurunkan firman-Nya: Adapan orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami

kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cnkup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya

(jalan) yang sukar (Al-Lail: 5-10) Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Ibnu Abu Kabsyah berikut sanadnya dengan lafazyang semisal.


قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الطِّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَر العَدَاني، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانٍ عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَجُلًا كَانَ لَهُ نَخْلٌ، وَمِنْهَا نَخْلَةٌ فَرْعُهَا إِلَى دَارِ رَجُلٍ صَالِحٍ فَقِيرٍ ذِي عِيَالٍ، فَإِذَا جَاءَ الرَّجُلُ فَدَخَلَ دَارَهُ وَأَخَذَ الثَّمَرَ مَنْ نَخْلَتِهِ، فَتَسْقُطُ الثَّمَرَةُ فَيَأْخُذُهَا صِبْيَانُ الْفَقِيرِ فَنَزَلَ مِنْ نَخْلَتِهِ فَنزع الثَّمَرَةَ مِنْ أيديهم، وإن أدخل أحدهم الثَّمَرَةَ فِي فَمِهِ أَدْخَلَ أُصْبُعَهُ فِي حَلْقِ الْغُلَامِ وَنَزَعَ الثَّمَرَةَ مَنْ حَلْقِهِ. فَشَكَا ذَلِكَ الرجلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَخْبَرَهُ بِمَا هُوَ فِيهِ مِنْ صَاحِبِ النَّخْلَةِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اذْهَبْ". وَلَقِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صاحب النخلة، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَعْطِنِي نَخْلَتَكَ الَّتِي فَرْعُهَا فِي دَارِ فُلَانٍ وَلَكَ بِهَا نَخْلَةٌ فِي الْجَنَّةِ" فَقَالَ لَهُ: لَقَدْ أَعْطَيْتُ، وَلَكِنْ يُعْجِبُنِي ثَمَرُهَا، وَإِنَّ لِي لَنَخْلًا كَثِيرًا مَا فِيهَا نَخْلَةٌ أَعْجَبُ إِلَيَّ ثَمَرَةً مِنْ ثَمَرِهَا. فَذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَبِعَهُ رَجُلٌ كَانَ يَسْمَعُ الْكَلَامَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ صَاحِبِ النَّخْلَةِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ أَنَا أَخَذْتُ النَّخْلَةَ فَصَارَتْ لِي النَّخْلَةُ فَأَعْطَيْتُهَا أَتُعْطِينِي بِهَا مَا أَعْطَيْتَهُ بِهَا نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ؟ قَالَ: "نَعَمْ". ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ لَقِيَ صَاحِبَ النَّخْلَةِ، وَلِكِلَاهُمَا نَخْلٌ، فَقَالَ لَهُ: أُخْبِرُكَ أَنَّ مُحَمَّدًا، [قَدْ] أَعْطَانِي بِنَخْلَتِي الْمَائِلَةِ فِي دَارِ فُلَانٍ نَخْلَةً فِي الْجَنَّةِ، فَقُلْتُ، لَهُ: قَدْ أعطيتُ وَلَكِنْ يُعْجِبُنِي ثَمَرُهَا. فَسَكَتَ عَنْهُ الرجلُ، فَقَالَ لَهُ: أتُراك إِذَا بِعْتَهَا؟ قَالَ: لَا إِلَّا أَنْ أُعْطَى بِهَا شَيْئًا، وَلَا أَظُنُّنِي أُعْطَاهُ. قَالَ: وَمَا مُنَاكَ بِهَا ؟ قَالَ: أَرْبَعُونَ نَخْلَةً. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ جئتَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ، نَخْلَتُكَ تَطْلُبُ بِهَا أَرْبَعِينَ نَخْلَةً؟! ثُمَّ سَكَتَا وَأَنْشَأَ فِي كَلَامٍ [آخَرَ] ثُمَّ قَالَ: أَنَا أَعْطَيْتُكَ أَرْبَعِينَ نَخْلَةً، فَقَالَ: أَشْهِدْ لِي إِنْ كُنْتَ صَادِقًا. فَأَمَرَ بِأُنَاسٍ فَدَعَاهُمْ فَقَالَ: اشْهَدُوا أَنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهُ مِنْ نَخْلِي أَرْبَعِينَ نَخْلَةً بِنَخْلَتِهِ الَّتِي فَرْعُهَا فِي دَارِ فُلَانِ ابْنِ فُلَانٍ. ثُمَّ قَالَ: مَا تَقَوُّلُ؟ فَقَالَ صَاحِبُ النَّخْلَةِ: قَدْ رَضِيتُ. ثُمَّ قَالَ بعدُ: لَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بَيْعٌ لَمْ نَفْتَرِقْ قَالَ لَهُ: قَدْ أَقَالَكَ اللَّهُ، وَلَسْتُ بِأَحْمَقَ حِينَ أَعْطَيْتُكَ أَرْبَعِينَ نَخْلَةً بِنَخْلَتِكَ الْمَائِلَةِ. فَقَالَ صَاحِبُ النَّخْلَةِ: قَدْ رضيتُ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي الْأَرْبَعِينَ عَلَى مَا أُرِيدُ. قَالَ: تُعْطِينِيهَا عَلَى سَاقٍ. ثُمَّ مَكَثَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: هِيَ لَكَ عَلَى سَاقٍ وَأَوْقَفَ لَهُ شُهُودًا وَعَدَّ لَهُ أَرْبَعِينَ نَخْلَةً عَلَى سَاقٍ، فَتَفَرَّقَا، فَذَهَبَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ النَّخْلَةَ الْمَائِلَةَ فِي دَارِ فُلَانٍ قَدْ صَارَتْ لِي، فَهِيَ لَكَ. فَذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الرَّجُلِ صَاحِبِ الدَّارِ فَقَالَ لَهُ: "النَّخْلَةُ لَكَ وَلِعِيَالِكَ". قَالَ عِكْرِمَةُ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى} إِلَى قَوْلِهِ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى} إِلَى آخِرِ السُّورَةِ


Ibnu Abu Hatim mengatakan, bahwa telah menceritakan kepada Abu Abdullah Az-Zaharani, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Umar Al-Adani, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah,

dari Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki yang memiliki banyak pohon kurma, yang salah satunya bercabang keluar pagar masuk ke rumah seorang lelaki yang saleh, miskin, dan beranak banyak. Maka apabila lelaki

itu datang dan hendak memetik buah pohon kurma yang satu itu, ia memasuki pekarangan rumah orang yang saleh itu, lalu baru memetiknya. Maka berjatuhanlah buahnya, dan anak-anak lelaki yang miskin itu memungutnya.

Kemudian lelaki pemilik kurma itu turun dari pohonnya dan merampas buah kurma yang ada di tangan mereka. Jika seseorang dari mereka telah memasukkan buah kurma itu ke dalam mulut-nya,

maka lelaki itu memasukkanjari tangannya ke mulut anaktersebut dan mencabut buah kurma yang hampir ditelannya dari kerongkongannya. Maka lelaki yang miskin itu mengadu kepada Nabi Saw. dan menceritakan kepada

beliau sikap dari pemilik buah kurma tersebut. Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Sekarang mari kita berangkat." Lalu Nabi Saw. menjumpai lelaki pemilik pohon kurma itu dan bersabda kepadanya: Berikanlah kepadaku pohon

kurmamu yang cabangnya berada di pekarangan rumah si Fulan, maka engkau akan mendapatkan gantinya sebuah pohon kurma di surga nanti. Lelaki pemilik kurma itu menjawab, "Bisa saja aku memberikannya,

tapi sesungguhnya aku banyak memiliki pohon kurma, ternyata tiada suatu pun darinya yang buahnya lebih aku sukai daripada buah pohon kurma yang ini." Nabi Saw. pergi, dan beliau diikuti oleh seseorang yang mendengar

pembicaraan Nabi Saw. kepada lelaki pemilik kurma itu, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, jika pohon kurma itu aku ambil dan telah menjadi milikku, dan aku berikan kurma itu kepada engkau, apakah engkau akan memberiku

sebagai gantinya sebuah pohon kurma di surga?'" Rasulullah menjawab, "Ya." Kemudian lelaki itu menjumpai lelaki pemilik kurma tersebut; keduanya adalah pemilik pohon kurma yang banyak jumlahnya.

Lalu ia berkata kepadanya, "Aku akan menceritakan kepadamu, bahwa Muhammad bersedia memberiku sebuah pohon kurma di dalam surga sebagai ganti dari pohon kurmaku yang condong ke pekarangan rumah si Fulan

Maka kukatakan kepadanya bahwa aku bisa saja memberikannya, tetapi buah pohon kurma itu benar-benar sangat kusukai." Lelaki itu diam tidak menanggapi, lalu ia berkata kepada pemilik kurma itu,

"Bagaimanakah pendapatmu jika kamu jual saja pohon kurma itu." Pemilik kurma menjawab, "Tidak akan, kecuali jika gantinya adalah sesuatu yang berarti. Tetapi menurut dugaanku, tiada seorang pun yang mau

menukarkannya." Lelaki itu bertanya (kepada pemilik kurma itu), "Lalu berapakah jumlah yang engkau inginkan sebagai gantinya?" Lelaki pemilik kurma itu menjawab, "Empat puluh pohon kurma."

Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya engkau terlalu membesar-besarkan masalah, satu pohon kurmamu minta ditukar dengan empat puluh pohon kurma lainnya." Keduanya terdiam, dan keduanya memulai pembicaraan lagi.

Pada akhirnya lelaki itu menyerah dan berkata, "Baiklah, aku ganti satu pohon kurmamu itu dengan empat puluh pohon kurmaku." Pemilik kurma berkata, "Adakah persaksian jika engkau adalah seorang yang benar."

Maka lelaki itu menyuruh orangnya untuk memanggil orang banyak, lalu ia berkata, "Saksikanlah oleh kalian, bahwa sesungguhnya aku memberi sebagian dari pohon kurma milikku sebanyak empat puluh pohon sebagai

penukaran dari sebuah pohon kurmanya yang cabangnya condong ke dalam pekarangan rumah si Fulan ibnu Fulan." Kemudian lelaki itu bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu dengan persaksian ini?"

Pemilik kurma menjawab, "Aku rela." Kemudian pemilik kurma itu berkata, "Tiada jual beli antara aku dan kamu selama kita belum berpisah." Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya Allah telah memecatmu, dan aku bukanlah

orang yang pandir saat memberimu empat puluh pohon kurma sebagai ganti dari sebuah pohon kurmamu yang condong itu." Pemilik kurma berkata, "Sesungguhnya aku rela, dengan syarat engkau memberiku empat puluh

pohon kurma menurut apa yang kukehendaki." Dan pemilik kurma itu berkata lagi, "Engkau memberiku berikut dengan pohonnya." Lelaki itu diam sejenak, lalu berkata, "Ya, empat puluh pohon kurma berikut semua batangnya

adalah untukmu," lalu ia mengajak saksi-saksi saat menghitung empat puluh batang pohon kurma tersebut, setelah itu keduanya bubar. Kemudian lelaki itu pergi menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah,

sesungguhnya pohon kurma yang condong ke dalam pekarangan rumah si Fulan itu telah menjadi milikku, maka aku berikan ia kepadamu." Maka Rasulullah Saw. pergi menjumpai lelaki yang miskin lagi banyak anaknya itu,

lalu bersabda kepadanya: Sekarang pohon kurma itu adalah menjadi milikmu dan anak-anakmu. Ikrimah mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Demi malam apabila menutupi

(cahaya siang), (Al-Lail: 1) sampai dengan firman-Nya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya

jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar (Al-Lail: 5-10), hingga akhir surat.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, hadis ini sangat gharib.Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar As-Siddiq. Ibnu Jarir

mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu idris Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq,

dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq r.a., dari Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa dahulu Abu Bakar r.a. sering memerdekakan budak karena

masuk Islam di masa periode Mekah. Dia memerdekakan budak-budak yang telah lanjut usia dan budak-budak wanita jika mereka masuk Islam.Maka kedua orang tuanya bertanya kepadanya, "Hai anakku, kulihat engkau

memerdekakan orang-orang yang lemah, maka sekiranya saja engkau memerdekakan laki-laki yang kuat, kelak mereka akan membantumu dan menjaga serta mempertahankan dirimu dari gangguan orang lain."

Maka Abu Bakar menjawab, "Wahai ayahku, sesungguhnya kulakukan ini hanya semata-mata karena mengharap pahala yang ada di sisi Allah."Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair melanjutkan kisahnya, bahwa sebagian dari

ahli baitnya pernah menceritakan kepadanya bahwa ayat-ayat berikut diturunkan berkenaan dengan sahabat Abu Bakar r.a., yaitu firman Allah Swt: Adapun orang memberikan

(hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Al-Lail: 5-7) Adapun firman Allah Swt:


{وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى}


Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. (Al-Lail: 11) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila yang bersangkutan mati.

Abu Saleh dan Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa makna yang dimaksud ialah bila' orang yang bersangkutan telah dilemparkan ke dalam neraka.

Surat Al-Lail |92:2|

وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

wan-nahaari iżaa tajallaa

demi siang apabila terang benderang,

And [by] the day when it appears

Tafsir
Jalalain

(Dan siang apabila terang benderang) apabila menampilkan dirinya. Lafal Idzaa yang ada pada dua tempat di atas hanya menunjukkan makna Zharaf atau waktu. Sedangkan yang menjadi Amilnya adalah Fi'il Qasam.

Alazhar

"Demi siang, apabila dia terang." (ayat 2). Apabila malam telah habis, fajar mulai menyingsing, kemudian diiringi oleh terbitnya matahari, maka hari pun sianglah. Dalam pergantian siang dan malam itulah manusia hidup,

sebagaimana yang telah diterangkan juga pada Surat-surat yang lain. Lebih jelas lagi pembahagian itu dalam Surat 78, An-Naba'.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 2 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:3|

وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ

wa maa kholaqoż-żakaro wal-unṡaaa

demi penciptaan laki-laki dan perempuan,

And [by] He who created the male and female,

Tafsir
Jalalain

(Dan apa) lafal Maa di sini bermakna Man, yakni manusia; atau dianggap sebagai Maa Mashdariyah (yang Dia telah menciptakannya, yaitu laki-laki dan perempuan) yang dimaksud adalah Adam dan Hawa,

demikian pula setiap laki-laki dan perempuan lainnya. Adapun banci/wadam yang tidak dapat diketahui apakah ia sebagai laki-laki atau perempuan di sisi Allah swt.,

maka jika seseorang yang bersumpah bahwa dia tidak akan berbicara dengan siapa pun baik laki-laki atau perempuan, lalu dia berbicara dengan orang banci, maka dia dianggap telah melanggar sumpahnya itu.

Alazhar

"Demi yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan." (ayat 3). Atau yang pada mulanya sekali telah menciptakan Adam dan Hawa.

Daripada kedua laki-laki dan perempuan itulah berkembang manusia di permukaan jagat ini, menjadi bangsa-bangsa, suku bangsa dan perkauman.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 3 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:4|

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

inna sa'yakum lasyattaa

sungguh, usahamu memang beraneka macam.

Indeed, your efforts are diverse.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya usaha kalian) atau kerja kalian (memang berbeda-beda) beraneka macam; ada orang yang beramal atau bekerja untuk mendapatkan surga,

dengan cara menempuh jalan ketaatan; dan ada pula orang yang beramal atau bekerja untuk neraka, dengan cara menempuh jalan kemaksiatan.

Alazhar

"Sesungguhnya usaha kamu itu bermacam-macam." (ayat 4). Berkembang-biaklah laki-laki dan perempuan di muka bumi ini,

hidup dalam pergantian di antara siang dan malam. Di waktu siang mereka berjalan, berusaha dan bekerja mengambil manfaat yang telah disediakan Allah. Usaha itu bermacam-macam menurut pembawaan,

bakat dan menurut yang dipusakai dari lingkungan orang tua atau iklim tempat tinggal. Ada yang menjadi petani, saudagar,

menjadi pelaksana pemerintahan dalam suatu masyarakat yang teratur dan ada pula yang menjadi penjaga keamanan Negara. Bermacam-macam, bersilang siur mata usaha manusia.

Semuanya penting, yang satu berkehendak kepada yang lain. Maka tidaklah ada pekerjaan atau usaha yang hina,

bahkan semuanya mulia dan baik, asal dilaksanakan menurut garis-garis yang telah ditentukan Tuhan, yaitu mengambil yang manfaat dan menjauhi yang mudharat.

Ketahuilah bahwa segala usaha manusia adalah mempunyai dua tujuan, yaitu keduanya sama pentingnya,

dan kait-berkait di antara satu dengan yang lain. Usaha yang kita hadapi niscaya berdasar khidmat kepada sesama manusia.

Asal khidmat kepada sesama manusia itu kita sadari, niscaya sesama manusia pun menghargai usaha kita itu.

Sebab itu tidaklah ada satu macam usaha yang hanya untuk kepentingan diri kita sendiri

. Dan tidak pula ada usaha yang hanya untuk kepentingan orang lain dan diri sendiri hanya mengerjakan saja dengan tidak mendapat faedah.

Diambil satu misal, yaitu seorang pengarang. Asal karangannya itu disengaja untuk kemuslihatan orang banyak,

buku itu akan dihargai bahkan dibeli orang. Maka si pengarang akan mendapat untung dari penjualan itu.

Bertambah naik dan bagus mutu karangannya, bertambah naik pula penghargaan masyarakat,

dan si pengarang pun bertambah dapat untung pula. Sebab itu maka keuntungan masyarakat dan peribadi tidaklah dapat dipisahkan.

Sebab hati dan perasaan menyukai yang baik, menjauhi yang buru, samalah di antara peribadi dengan masyarakat;

sebab keduanya sama-sama diciptakan Tuhan daripada laki-laki dan perempuan. Di ayat 10 diterangkan bahwa usaha manusia di dalam hidup bermacam-macam, tidak sama.

Tetapi meskipun usaha tidak sama, namun yang menjadi pokok utama ialah sikap hidup itu sendiri.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 4 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:5|

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ

fa ammaa man a'thoo wattaqoo

Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,

As for he who gives and fears Allah

Tafsir
Jalalain

(Adapun orang yang memberikan) menginfakkan hartanya di jalan Allah (dan bertakwa) kepada Allah.

Alazhar

"Adapun orang yang memberi dan bertakwa." (ayat 5).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 5 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:6|

وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَىٰ

wa shoddaqo bil-ḥusnaa

dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),

And believes in the best [reward],

Tafsir
Jalalain

(Dan membenarkan perkara yang baik) yaitu makna yang terkandung di dalam lafal Laa Ilaaha Illallaah yang artinya tiada Tuhan selain Allah.

Dengan kata lain, bahwa infak di jalan Allah yang dilakukannya dan bertakwa kepada-Nya yang dijalankannya itu tiada lain berangkat dari keimanannya kepada kalimat Laa Ilaaha Illallaah.

Alazhar

"Dan mengakui akan adanya kebaikan." (ayat 6).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 6 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:7|

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ

fa sanuyassiruhuu lil-yusroo

maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).

We will ease him toward ease.

Tafsir
Jalalain

(Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya tempat yang mudah) yaitu surga.

Alazhar

"Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang mudah." (ayat 7). Apa saja mata usahamu, entah saudagar atau tukang rumput. Jadi Menteri atau jadi supir Menteri,

jadi nelayan naik pecalang mengharung lautan atau jadi nahkoda kapal berlayar menghadang gelombang di samudera luas,

jadi petani atau jadi buruh, semuanya itu adalah lumrah, karena usaha memang bermacam-macam.

Maka di dalam usaha yang bermacam-macam itu, Tuhan Allah memberikan pedoman untuk keselamatan dirimu

. Di dalam ketiga ayat ini bertemu tiga syarat yang harus kamu penuhi: (1) Suka memberi kepada sesama manusia, suka berderma,

menolong orang yang susah. Itu adalah alamat hati terbuka. (2) Hendaklah takwa selalu kepada Tuhan,

pelihara hubungan dengan Tuhan pada malam dan pada siang, (3) Mengakui adanya nilai-nilai yang baik dalam dunia ini,

yang terpuji oleh sesama manusia. Kalau ketiganya ini telah dipegang teguh, pemurah, takwa dan menjunjung tinggi kebaikan,

diberilah jaminan atau janji oleh Tuhan: "Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang mudah." (ayat 7).

Artinya akan dilapangkan Allah dada menghadapi perjalanan hidup itu; teguh pertalian jiwa dengan sesama manusia dan teguh pula pertalian jiwa dengan Allah.

Dan ilham atau petunjuk akan selalu diberikan oleh Tuhan, sehingga segala langkah maju di dalam hidup itu tidak ada yang sukar.

Artinya meskipun ada kesukaran terbelintang di hadapan, akan ada-ada saja petunjuk Tuhan untuk mengatasi kesukaran itu.

Melihat kepada jalan yang digariskan Allah dengan ketiga ayat ini, kita diberi peringatan bahwa kekayaan batin sejati ialah shilatur-rahmi dengan masyarakat,

takwa kepada Allah dan cinta akan kebaikan. Bukanlah kekayaan itu rumah gedung bagus, kendaraan indah mengkilap,

pangkat tinggi membumbung, disegani orang ke mana pergi. Itu belum tentu kekayaan, kalau ketiga kekayaan batin tadi tidak ada. Dan ini dijelaskan pada ayat selanjutnya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 7 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:8|

وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَىٰ

wa ammaa mam bakhila wastaghnaa

Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah),

But as for he who withholds and considers himself free of need

Tafsir
Jalalain

(Dan adapun orang yang bakhil) tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah (dan merasa dirinya cukup) artinya tidak membutuhkan pahala-Nya.

Alazhar

"Dan adapun barangsiapa yang bakhil dan merasa segala cukup." (ayat 8).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 8 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:9|

وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ

wa każżaba bil-ḥusnaa

serta mendustakan (pahala) yang terbaik,

And denies the best [reward],

Tafsir
Jalalain

(Serta mendustakan perkara yang baik.)

Alazhar

"Dan mendustakan adanya kebaikan." (ayat 9). Di sini terdapat pula tiga hal yang akan membawa celaka: (1) Bakhil, yaitu tidak mau mengeluarkan harta-benda untuk menolong orang yang patut ditolong.

Tidak mau mempergunakan harta untuk berbuat amal jariah. Sebab hidupnya telah dipukau oleh harta itu sendiri.

Orang mengumpul harta ialah untuk dikuasainya. Tetapi si bakhil mengumpulkan harta untuk dikuasai oleh harta itu sendiri,

sehingga hatinya jadi tertutup, tidak mengenal kasih sayang, tidak mengenal shilatur-rahmi. (2) Merasa segala cukup kita pakai menjadi arti dari kalimat istaghnaa.

Yaitu orang-orang yang mengurung diri karena takut kena! Kadang-kadang dia kurang senang menerima pertolongan orang,

karena takut kalau-kalau nanti terpaksa membalas budi dengan menolong pula. Sebagai kelanjutan dari keruntuhan jiwa dengan penyakit itu, ialah datangnya penyakit ketiga,

yaitu (3) Mendustakan adanya kebaikan. Dia tidak mempercayai bahwa di dunia ini ada nilai-nilai kebaikan.

Kebaikan hubungan sesama manusia dan kebaikan hubungan dengan Allah, dan kebaikan yang ditemui di dunia ini diharapkan akan ditemui pula di akhirat.

Di ayat 6 dan ayat 9 bertemu perkataan Al-Husnaa yang kita artikan kebaikan. Menurut tafsir Al-Qasyani mengakui betapa pentingnya Al-Husnaa atau kebaikan itu ialah

"melakukan dalam kenyataan apa yang telah dirasakan dalam hati." Artinya bahwa semua orang memang merasakan dalam hati bahwa berbuat baik memang baik.

Tetapi tidaklah semua orang sanggup mengerjakannya. Walaupun orang yang bakhil itu sendiri mengakui dalam hatinya bahwa berbuat baik adalah satu budi yang luhur,

namun dia tidak mau membuatnya dalam kenyataan, karena sudah jadi "penyakit" dalam jiwanya. . Sebab itu maka perbuatannya ialah mendustakan!

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 9 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:10|

فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ

fa sanuyassiruhuu lil-'usroo

maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).

We will ease him toward difficulty.

Tafsir
Jalalain

(Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya) menyediakan baginya (tempat yang sukar) yaitu neraka.

Alazhar

"Maka akan Kami mudahkan dia ke jalan yang sukar." (ayat 10). Artinya, setiap dicoba melangkah, hanyalah kesukaran jua yang bertemu, yaitu kesukaran kenaikan jiwa.

"Dijadikan Tuhan dadanya sangat sempit, seperti orang yang mencoba hendak naik ke langit.

" Syaikh Muhammad Abduh menulis arti mudahnya ialah menuju kesukaran; tiap melangkah bukan membawa naik,

melainkan membawa jatuh, tertutup jalan kemanusiaan dan jatuh derajat rendah kebinatangan, sampai bergelimang dengan dosa-dosa:

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 10 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:11|

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّىٰ

wa maa yughnii 'an-hu maaluhuuu iżaa taroddaa

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa.

And what will his wealth avail him when he falls?

Tafsir
Jalalain

(Dan tiadalah) huruf Maa di sini bermakna Nafi yakni tidaklah (berguna bagi dirinya harta miliknya apabila ia telah terjerumus) ke dalam neraka.

Alazhar

"Dan tidaklah hartanya akan dapat menolong dia, jika dia terjerumus." (ayat 11). Hendak bangkit kembali dari dalam gelimangan dosa

, atau kejahatan meruah karena bakhil itu, tidaklah dapat ditebus dengan harta yang selama ini disimpan itu. Karena sudah terlambat. Fikir dahulu pendapatan sesal kemudian tak ada lagi gunanya.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 11 |

penjelasan ada di ayat 1

Surat Al-Lail |92:12|

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

inna 'alainaa lal-hudaa

Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk,

Indeed, [incumbent] upon Us is guidance.

Tafsir
Jalalain

(Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk) untuk membedakan antara jalan hidayah dan jalan kesesatan; dimaksud supaya ia mengerjakan perintah Kami dengan menempuh jalan yang pertama, dan ia Kami larang dari menempuh jalan yang kedua.

Alazhar

"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menunjukkan jalan." (ayat 12). Ayat ini adalah penguat dari yang telah diterangkan sebelumnya.

Artinya tiadalah patut manusia itu berjalan menuju kesukaran. Bakhil dan merasa cukup sendiri lalu mengurung diri dan tiap datang seruan kebaikan didustakan.

Sebab Tuhan telah memberikan tuntunan-Nya. Tuhan telah mengutus Rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

Tiada kurangnya lagi. Dan di dalam diri sendiri sudah disediakan Allah alat penimbang, yaitu akal.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 12 |

Tafsir ayat 12-21

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk. (Al-Lail: 12) Yakni menerangkan yang halal dan yang haram. Selain Qatadah mengatakan bahwa barang siapa

yang menempuh jalan petunjuk, akan sampailah ia kepada Allah. Dan berpendapat demikian menjadikan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:


{وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ}


Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus. (An-Nahl: 9) Artinya, jalan yang lurus itu akan menghantarkan kepada Allah. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Firman Allah Swt:


{وَإِنَّ لَنَا لَلآخِرَةَ وَالأولَى}


dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia. (Al-Lail: 13)Yaitu semuanya adalah milik Kami, dan Akulah yang mengatur pada keduanya.Firman Allah Swt.:


{فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّى}


Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. (Al-Lail: 14) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang apinya bergejolak.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شعبة، عن سِماك بْنِ حَرْبٍ، سمعتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَخْطُبُ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: "أُنْذِرُكُمُ النَّارَ [أَنْذَرْتُكُمُ النَّارَ، أَنْذَرْتُكُمُ النَّارَ] حَتَّى لَوْ أَنَّ رَجُلًا كَانَ بِالسُّوقِ لَسَمِعَهُ مِنْ مَقَامِي هَذَا. قَالَ: حَتَّى وَقَعَتْ خَميصة كَانَتْ عَلَى عَاتِقِهِ عِنْدَ رِجْلَيْهِ


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Samak ibnu Harb, bahwa ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu Basyir mengatakan dalam khotbahnya,

bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda dalam khotbahnya: Aku memperingatkan kalian dengan neraka! Yakni dengan suara yang lantang; sehingga andaikata seseorang berada di pasar,

tentulah dia mendengar suara itu dari tempat dudukku sekarang ini. An-Nu'man melanjutkan, bahwa sehingga selendang yang beliau kenakan di pundaknya terjatuh ke kakinya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَاقَ: سَمِعْتُ النعمان ابن بَشِيرٍ يَخْطُبُ وَيَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رجلٌ تُوضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهَا دِمَاغُهُ".


Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepadaku Syu'bah alias Abu Ishaq; ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu Basyir berkata dalam khotbahnya,

bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya ahli neraka yang paling ringan siksaannya di hari kiamat ialah seorang lelaki yang diletakkan dua buah bara api neraka di kedua telapak kakinya, yang karenanya otaknya mendidih. Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis ini.


قَالَ مُسْلِمٌ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا مَنْ لَهُ نَعْلَانِ وَشِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ يَغلي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ كَمَا يَغْلي المِرْجَل، مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا أَشَدَّ مِنْهُ عَذَابًا، وَإِنَّهُ لَأَهْوَنُهُمْ عَذَابًا"


Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Abu Ishaq, dari An-Nu'man ibnu Basyir yang mengatakan

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya ahli neraka yang paling ringan siksanya ialah seseorang yang mengenakan dua terompah dan dua talinya dari api, yang karenanya ia mendidih sebagaimana panci berisi air mendidih.

Seakan-akan bila dilihat tiada seorangpun yang lebih berat siksanya daripada dia, padahal sesungguhnya dia adalah ahli neraka yang paling ringan siksanya. Firman Allah Swt:


{لَا يَصْلاهَا إِلا الأشْقَى}


Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka. (Al-Lail: 15) Yaitu tiada yang dijerumuskan ke dalamnya sehingga diliputi oleh api neraka dari segala penjurunya kecuali hanya orang yang paling celaka. Kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya:


{الَّذِي كَذَّبَ}


yang mendustakan. (Al-Lail: 16) Maksudnya, hatinya mendustakan hal tersebut.


{وَتَوَلَّى}


dan berpaling. (Al-Lail: 16) Yakni semua anggota tubuhnya tidak mau mengamalkannya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا عَبْدُ رَبِّهِ بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَدْخُلُ النَّارَ إِلَّا شَقِيٌّ". قِيلَ: وَمَنِ الشَّقِيُّ؟ قَالَ: "الَّذِي لَا يَعْمَلُ بِطَاعَةٍ، وَلَا يَتْرُكُ لِلَّهِ مَعْصِيَةً"


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan Ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang mengatakan

bahwaRasulullah Saw. telah bersabda: Tiada yang masuk neraka selain orang yang celaka. Ketika ditanyakan kepada beliau Saw.”Siapakah orang yang celaka itu?"

Maka beliau Saw. menjawab: Orang yang tidak mau mengamalkan ketaatan kepada Allah dan tidak mau meninggalkan perbuatan durhaka kepada-Nya.


قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ وسُريج قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيح، عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيرة قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ أُمَّتِي تَدْخُلُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَبَى". قَالُوا: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى".


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus dan Syuraih, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Falih, dari Hilal ibnu Ali, dari Ata ibnu Yasar, dari Hurairah yang mengatakan

bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Semua umatku akan masuk surga di hari kiamat nanti, terkecuali orang yang membangkang. Ketika mereka bertanya, "Siapakah orang yang membangkang itu wahai Rasulullah Saw.?"

Maka beliau Saw. menjawab: Barang siapa yang taat kepadaku, niscaya masuk surga; dan barang siapa durhaka kepadaku, berarti dia membangkang. Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibnu Sinan, dari Falih dengan sanad yang sama. Firman Allah Swt.:


{وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى}


Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. (Al-Lail: 17) Yakni kelak akan dijauhkan dari neraka orang yang bertakwa dan orang yang paling bertakwa, kemudian dijelaskan oleh firman berikutnya siapa yang dimaksud dengan orang yang bertakwa itu:


{الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى}


(yaitu) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. (Al-Lail: 18) Yaitu membelanjakan hartanya untuk jalan ketaatan kepada Tuhannya, untuk mensucikan dirinya, hartanya dan segala apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya berupa agama dan dunia.


{وَمَا لأحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى}


padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. (Al-Lail: 19) Maksudnya, pembelanjaan yang dikeluarkannya itu bukanlah untuk membalas jasa kebaikan yang pernah diberikan oleh orang lain kepadanya, melainkan dia mengeluarkannya hanya semata-mata.


{ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى}


tetapi semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. (Al-Lail: 20) Yakni hanyalah semata-mata karena mengharapkan untuk dapat melihat Allah di negeri akhirat di dalam taman-taman surga. Lalu disebutkan dalam firman berikutnya:


{وَلَسَوْفَ يَرْضَى}


Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. (Al-Lail: 21) Artinya, orang yang menyandang sifat-sifat ini niscaya akan mendapat kepuasan. Banyak kalangan ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat-ayat ini diturunkan

berkenaan dengan Abu Bakar As-siddiq r.a. sehingga sebagian dari mereka ada yang meriwayatkannya sebagai suatu kesepakatan di kalangan ulama tafsir. Dan memang tidak diragukan lagi dia termasuk ke dalamnya.

sebagaimana termasuk pula ke dalam pengertiannya seluruh umat ini bila ditinjau dari pengertian umumnya, mengingat lafaznya memakai lafaz yang mengandung pengertian umum, yaitu firman Allah Swt.:


{وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى وَمَا لأحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى}


Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, (yaitu orang) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya, padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat

kepadanyayang harus dibalasnya. (Al-Lail: 17-19) Akan tetapi, Abu Bakar r.a. merupakan orang yang diprioritaskan dari kalangan umat ini, dan dia adalah pendahulu mereka dalam menyandang sifat-sifat ini dan

sifat-sifat terpuji lainnya. Dia adalah seorang yang berpredikat siddiq, bertakwa, mulia, lagi dermawan, banyak membelanjakan hartanya di jalan ketaatan kepada Allah Swt. dan menolong Rasul-Nya. Berapa banyak uang

dinar dan dirham yang telah dibelanjakan Abu Bakar demi mengharapkan rida Tuhannya Yang Mahamulia, padahal tiada seorang pun yang berjasa baginya hingga perlu untuk ia balas jasanya itu dengan imbalan pemberian.

Bahkan kemurahan dan kebaikannya juga menyentuh para pemimpin, dan orang-orang yang terhormat dari kalangan berbagai kabilah. Karena itulah Urwah ibnu Mas'ud pemimpin Bani Saqif ketika terjadi

Perjanjian Hudaibiyah mengatakan kepada Abu Bakar, "Ingatlah, demi Allah, seandainya saja aku tidak teringat akan jasamu padaku yang masih belum terbalaskan, tentulah aku akan meladenimu," tersebutlah bahwa

Abu Bakar r.a. bersikap kasar terhadapnya dalam menyambutnya. Untuk itu apabila keadaan Abu Bakar sangat disegani di kalangan para penghulu orang Arab dan para pemimpinnya,

maka terlebih lagi orang-orang yang selain mereka, lebih segan kepadanya karena kebaikan dan kedermawanannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:


{وَمَا لأحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى وَلَسَوْفَ يَرْضَى}


Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. (Al-Lail: 19-20) Di dalam hadis sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:


"مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ دَعَته خَزَنَةُ الْجَنَّةِ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، هَذَا خَيْرٌ"، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا عَلَى مَنْ يُدعى مِنْهَا ضَرُورَةٌ فَهَلْ يُدْعَى مِنْهَا كُلِّهَا أَحَدٌ؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ"


Barang siapa yang membelanjakan sepasang barang dijalan Allah, maka para malaikat penjaga surga memanggilnya, "Hai hamba Allah, inilah yang baik.” Maka Abu bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah merupakan

suatu keharusan bagi seseorang (yang masuk surga) dipanggil dari pintunya, dan apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu surga (untuk memasukinya)?"

Rasulullah Saw. menjawab: Ya ada, dan aku berharap semoga engkau termasuk seseorang dari mereka (yang dipanggil masuk surga dari semua pintunya).

Surat Al-Lail |92:13|

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَالْأُولَىٰ

wa inna lanaa lal-aakhirota wal-uulaa

dan sesungguhnya milik Kamilah akhirat dan dunia itu.

And indeed, to Us belongs the Hereafter and the first [life].

Tafsir
Jalalain

(Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia) maka barang siapa yang mencari keduanya tanpa meminta kepada Kami berarti dia telah sesat jalan.

Alazhar

"Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia." (ayat 13). Tuhan menjelaskan hal ini,

supaya manusia jangan lupa bahwa manusia tidaklah mempunyai kekuasaan berbuat sesuka hati dalam dunia fana ini.

Manusia mesti patuh, karena akhirat dan dunia itu Allah Yang Maha Menguasainya. Lebih baiklah tunduk daripada berkeras kepala.

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 13 |

penjelasan ada di ayat 12

Surat Al-Lail |92:14|

فَأَنْذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

fa anżartukum naaron talazhzhoo

Maka Aku memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala,

So I have warned you of a Fire which is blazing.

Tafsir
Jalalain

(Maka Kami memperingatkan kalian) maksudnya Kami pertakuti kalian hai penduduk Mekah (dengan neraka yang menyala-nyala) asal kata Talazhzhaa adalah Tatalazhzhaa,

kemudian salah satu di antara kedua huruf Ta dibuang, sehingga jadilah Talazhzhaa. Akan tetapi ada juga suatu qiraat yang membaca sesuai dengan huruf asalnya.

Alazhar

"Maka Aku ancam kamu dengan api yang bernyala-nyala." (ayat 14).

Ibnu katsir

Tafsir Ibnu Katsir | Al-Lail | 92 : 14 |

penjelasan ada di ayat 12